Vous êtes sur la page 1sur 23

Resusitasi pada Asfiksia Neonatorum

Abstract

Asphyxia neonatorum is a State of newborn babies who fail to breathe spontaneously and
regularly soon after birth. This situation is accompanied by hypoxia, hiperkapnia, and
ends with acidosis. Hypoxia in the sufferers it is the most important factor of asphyxia which may
inhibit adaptation newborn towards life ekstrauterin. The frequency of bleeding disorders in infants as a
result of hypoxia is very high. Acidosis, cardiovascular disorders and its complications as a direct result
of hypoxia is the main cause of failure of adaptation newborn. This failure will often continue into the
respiratory disorders syndrome in the first days after birth. This circumstance is very physical and
mental inhibits the growth of a baby at a later date. For hiding or reduce the possibility of the
above, specific actions that need to be considered appropriate and rational in accordance
with changes that may occur in people with asphyxia.

Key words: Asphyxia neonatorum, fail to breathe, asidosis.

Abstrak

Asfiksia neonatorum ialah suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal bernapas secara spontan dan teratur
segera setelah lahir. Keadaan ini disertai hipoksia, hiperkapnia, dan berakhir dengan asidosis. Hipoksia
yang terdapat pada penderita asfiksia ini merupakan faktor terpenting yang dapat menghambat adaptasi
bayi baru lahir terhadap kehidupan ekstrauterin. Frekuensi gangguan perdarahan pada bayi sebagai akibat
hipoksia sangat tinggi. Asidosis, gangguan kardiovaskular serta komplikasinya sebagai akibat langsung
dari hipoksia merupakan penyebab utama kegagalan adaptasi bayi baru lahir. Kegagalan ini akan sering
berlanjut menjadi sindrom gangguan pernapasan pada hari-hari pertama setelah lahir. Keadaan ini sangat
menghambat pertumbuhan fisik dan mental bayi di kemudian hari. Untuk menghindari atau mengurangi
kemungkinan tersebut di atas, perlu dipikirkan tindakan tertentu yang tepat dan rasional sesuai dengan
perubahan yang mungkin terjadi pada penderita asfiksia.

Kata kunci: Asfiksia neonatorum, gagal bernafas, asidosis.

Definisi

Abruptio plasenta ialah terlepasnya plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada uterus,
sebelum janin dilahirkan. Definisi ini berlaku pada kehamilan dengan masa gestasi di atas 22
minggu atau berat janin diatas 500 gram. Proses abruptio plasenta dimulai dengan terjadinya
perdarahan dalam desibua basalis yang menyebabkan hematoma retroplasenta. Abruptio plasenta
bervariasi dari sebagian area plasenta sehingga seluruh luas plasenta terlepas. Jenis abruption
plasenta terdiri dari:

1
 Sinus marginalis-hanya sedikit bagian plasenta yang terlepas
 Ringan-termasuk sinus marginalis, area yang terlepas sangat kecil
 Sedang-area yang terlepas 1/4 tetapi tidak lebih dari 2/3 dari luas plasenta
 Berat –lebih 2/3 luas area plasenta yang terlepas

1. Pemantauan Denyut Jantung Janin

Ada dua metode yang biasa digunakan untuk mendeteksi laju jantung janin intrapartum, yaitu:
Continuous Electronic Fetal heart rate Monitoring (EFM) dan Intermittent Auscultation (IA).
Electronic Fetal heart rate Monitoring (EFM), merekam perubahan relatif laju jantung janin
terhadap kontraksi uterus, telah menggantikan IA di kebanyakan institusi dan dipertimbangkan
sebagai metode utama dalam mengevaluasi keadaan janin. Tujuan utama dari EFM adalah untuk
mengidentifikasi janin dengan hypoxic acidemia. EFM terdiri dari komponen akselerasi dan
variabilitas laju jantung janin. Jika terjadi penurunan variabilitas dan deselerasi laju jantung janin
adalah indikasi terjadinya fetal distress. EFM mempunyai keakuratan 90% dalam meramalkan
nilai Apgar menit ke-5.1,2

2. Scalp and Acoustic Stimulation

Fetal scalp stimulation melibatkan penggunaan jari atau alat untuk menekan vertex janin.
Pemeriksaan ini dilakukan jika serviks telah dilatasi dan ketuban pecah sehingga alat berukuran

2
kecil seperti penghapus pensil dan terbuat dari plastik dapat dimasukan. Elektroda berupa kawat
spiral diletakkan dibawah kulit kepala bayi. Karena monitor ini menempel langsung pada bayi,
sinyal denyut jantung janin kadang lebih jelas dan konsisten daripada peralatan monitor eksternal
seperti contohnya EFM. Acoustic stimulation adalah suatu pemeriksaan yang tidak invasif
dimana sebuah alat elektronik ditempatkan pada perut ibu, kemudian alat tersebut akan
mengirimkan suara kepada janin. Dari hasil yang diperoleh, jika laju jantung janin meningkat
lebih dari 15 kali per menit diatas nilai normal selama lebih dari 15 menit, hal ini mungkin
menandakan janin mengalami asidosis.1

3. Biophysical Profile Score

Penelitian telah menunjukkan beberapa keuntungan menggunakan Biophysical Profile Score.


Biophysical Profile Score menyediakan suatu ukuran langsung dan akurat dari oksigenasi
jaringan yang normal dengan kombinasi penilaian yang sonographic dari

(1) pergerakan nafas janin


(2) kereaktifan denyut jantung
(3) pergerakan seluruh tubuh
(4) tonus janin
(5) volume cairan amnion.

Setiap parameter diberi skor 0 ( jika criteria tidak terpenuhi) atau 2 (jika kriteria terpenuhi),
dengan 0/0 adalah skor terendah yang dapat dicapai dan 10/10 adalah skor yang paling tinggi.
Skor lebih dari 8 mengindikasikan oksigenasi jaringan normal, score 0-4 kemungkinan terjadi
asidosis dan berisiko tinggi terjadi asfiksia dalam 1 minggu jika tidak ada intervensi. Skor 6
adalah meragukan.2

3
4. Fetal Pulse Oximetry

Fetal pulse oximetry adalah metode lain yang sekarang ini digunakan untuk menilai janin
intrapartum. Ada tiga sistem yang telah dikembangkan dan digunakan secara komersial. Yaitu
Sensor OB Scientific, Nonin Medical System dan Nellcor Sensor. Alat-alat ini digunakan untuk
mendeteksi saturasi oksigen janin. Jika SpO2 janin >30%, menandakan saturasi oksigen janin
baik dan tidak terjadi asidosis. Tapi jika SpO2 <30%, menandakan saturasi oksigen janin tidak
baik dan mungkin terjadi asidosis. Dan jika SpO2 <30% menetap lebih dari 10menit, hal ini
mungkin memprediksikan pH kulit kepala kurang dari 7.2 dan memperlukan resusitasi
intrauterin atau mempercepat kelahiran.2

4
5. Fetal Doppler Ultrasound Study

Fetal Doppler Ultrasound Study adalah suatu metoda untuk mengevaluasi keadaan janin yang
sering digunakan bersama dengan Biophysical Profile Score. Fetal Doppler Study menggunakan
indeks denyut nadi dan bentuk gelombang percepatan arus sebagai parameter diagnostik dan
untuk menilai prognosis adaptasi janin. Ada beberapa jenis Doppler yang digunakan untuk
mengevaluasi ibu, janin dan sirkulasi plasenta. Pertama, Doppler arteri uterina. Sering digunakan
pada trimester kedua untuk menilai efek sirkulasi ibu pada janin. Informasi yang didapat
bermanfaat dalam memprediksikan adanya pre-eclampsia dan keterlambatan pertumbuhan janin
di dalam kandungan. Kedua,Doppler arteri umbilikalis. Menilai efek defisiensi plasenta di
berbagai sistem organ pada janin, dan jika ditemukan adanya defisiensi plasenta akan
menyebabkan keterlambatan pertumbuhan janin dalam kandungan.3

Efek anestesi pada neonatus selama persalinan

Selama proses persalinan dan kelahiran, keadaan janin dapat dipengaruhi obat-obat analgesia dan
anestesi yang digunakan, sehingga pemilihan obat-obatan ini harus benar-benar diperhatikan.

I. Transmisi obat melalui plasenta

Obat yang digunakan selama proses persalinan dan kelahiran dapat mempengaruhi janin melalui
sirkulasi uteroplasental. Obat-obatan anestesi lokal dan golongan narkotik mudah menembus
sirkulasi uteroplasental.

II. Analgesia

a. Opioid-Obat golongan opioid intravena mudah ditransmisikan melalui sirkulasi uteroplasenta


dan dapat menyebabkan depresi nafas. Golongan morfin dapat menyebabkan depresi nafas yang
berat pada janin.

b. Antagonis opioid-Naloxone dapat digunakan untuk mengembalikan depresi nafas pada janin
yang diakibatkan penggunaan opioid.

5
c. Sedatif atau transquilizer

Barbiturat dapat melewati plasenta dengan cepat, mengakibatkan somnolen dan hipoventilasi
yang dapat berlangsung selama beberapa hari. Pemberian diazepam pada dosis besar dapat
menyebabkan hipotonia, lethargy, poor feeding, dan gangguan termoregulasi, yang dapat
bertahan selama beberapa hari. Ketamin dalam dosis >1mg/kg dapat menyebabkan depresi pada
neonatus. Namun, dosis ketamin yang biasanya digunakan pada proses persalinan sebesar 0.1-0.2
mg/kg merupakan batas yang aman.

d. Anestesi untuk operasi


i) Anestesi spinal
Abnormalitas pada neonatus sangat jarang terjadi dibandingkan dengan anestesi umum. Dosis
obat pada maternal dan fetal sangat rendah sehingga jarang mengakibatkan abnormalitas.
ii) Anestesi epidural
Terjadi transmisi dari obat anestesi, akan tetapi efek obat hanya dapat dideteksi dari pemeriksaan
fungsi luhur.
iii) Anestesi umum
 Thiopental (4mg/kg) digunakan untuk induksi pada anestesi umum. Nilai APGAR tidak
dipengaruhi thiopental dengan dosis 4mg/kg/dosis.
 Ketamin (1mg/kg) digunakan dalam induksi anestesi. Efek setelah pemberian ketamin
lebih baik daripada penggunaan thiopental.
 Pelemas otot melewati sirkulasi uteroplasental dalam jumlah yang kecil sehingga hanya
mengakibatkan efek minimal pada neonatus.
 Nitrous Oxide melewati plasenta dengan cepat. Pada pemberian konsentrasi yangtinggi
dapat mengakibatkan nilai APGAR yang rendah. Pemberian dengan konsentrasi sampai
dengan 50% masih merupakan batas yang aman, akan tetapi neonatus membutuhkan
suplementasi oksigen setelah kelahiran.
 Zat anestesi halogen (isoflurane, enflurane, sevoflurane, desflurane, dan halothane)
pada penggunaan dengan konsentrasi yang rendah, jarang mengakibatkan anestesia pada
neonatus. Pada penggunaan dengan konsentrasi yang tinggi dapat menurunkan
kontraktilitas uterus sehingga setelah proses kelahiran, konsentrasinya harus diturunkan
untuk mengurangi risiko terjadinya atonia uteri.4

6
Langkah-langkah resusitasi neonatus

Neonatus aterm yang cairan ketubannya jernih dan bersih dari mekonium,langsung bernafas,
menangis, dan tonus ototnya baik memerlukan perawatan rutin, seperti mengeringkan,
menghangatkan, dan membersihkan jalan nafas dengan balon penghisap atau kateter penghisap.
Sebaliknya, neonatus yang tidak memenuhi kriteria di atas memerlukan langkah-langkah
resusitasi. Nilai Apgar dapat digunakan untuk menentukan perlu tidaknya resusitasi. Langkah-
langkah resusitasi neonatus antara lain:

1. Stabilisasi
2. Ventilasi
3. Kompresi dada
4. Penggunakan medikasi

Setiap langkah memerlukan waktu 30 detik untuk menuju ke langkah berikutnya. Untuk menuju
ke langkah berikutnya diperlukan penilaian terhadap respirasi, detak jantung, dan kulit bayi.
Contohnya, apnea dan gasping merupakan indikasi bantuan ventilasi. Peningkatan atau
penurunan detak jantung dapat menunjukkan kondisi perbaikan atau perburukan. Sianosis
sentral, penurunan cardiac output, hipotermia, asidosis, atau hipovolemia merupakan indikasi
dari resusitasi lebih lanjut. Langkah-langkah yang digunakan ini merupakan suatu petunjuk yang
digunakan di rumah sakit berkenaan dengan kasus gawat pada perawatan neonatus. Petunjuk ini
berdasarkan daripada American Heart Association (AHA) Guidelines for Cardiopulmonary
2005 dan juga berdasarkan Neonatal Resusitation Guidelines and Emergency Cardiovascular
Care(ECC) of Pediatric yang dikeluarkan pada tahun 2006. Pada makalah ini, akan dibahaskan
dengan lebih lanjut berkenaan dengan langkah resusitasi neonatus di rumah sakit yang harus
dilaksnakan dalam batas waktu tertentu sesuai dengan petunjuk yang dijelaskan dalam
guidelines. Terdapat batas waktu dalam setiap langkah tertentu adalah bertujuan untuk
mengurangkan kerusakan organ dan kematian sel pada bayi yang akan meningkat jika fetal
distress tidak ditangani dengan segera yang akan memburukan lagi prognosis pada anak
tersebut. Oleh itu, dengan adanya guidelines ini akan dapat membantu para ahli medis mengenai
gambaran sebenar keadaan darurat neonatus dan juga langkah-langkah penting yang harus
dilaksanakan dalam waktu yang terbatas.4

7
Langkah Awal Resusitasi

Langkah awal untuk memulai resusitasi meliputi mengurangi pengeluaran panas, memposisikan
kepala pada sniffing position untuk membuka jalan nafas, membersihkan jalan nafas, dan
memberikan rangsangan.

1. Menghangatkan

Termoregulasi merupakan aspek penting dari langkah awal resusitasi. Hal ini dapat dilakukan
dengan meletakkan neonatus di bawah radiant warmer. Sebaiknya bayi yang diletakkan di bawah
radiant warmer dibiarkan tidak berpakaian agar dapat diobservasi dengan baik serta mencegah
terjadinya hipertermi. Bayi yang dengan berat kurang dari 1500 gram, mempunyai risiko tinggi

8
terjadinya hipotermi. Untuk itu, sebaiknya bayi tersebut dibungkus dengan plastik, selain
diletakkan di bawah radiant warmer. Tujuan dari resusitasi neonatus yaitu untuk mencapai
normotermi dengan cara memantau suhu, sehingga tidak terjadi hipertermi iatrogenik.4

2. Memposisikan kepala dan membersihkan jalan nafas

Setelah diletakkan di bawah radiant warmer, bayi sebaiknya diposisikan terlentang dengan
sedikit ekstensi pada leher pada posisi sniffing position. Kemudian jalan nafas harus dibersihkan.
Jika tidak ada mekonium, jalan nafas dapat dibersihkan dengan hanya menyeka hidung dan
mulut dengan handuk, atau dapat dilakukan suction dengan menggunakan bulb syringe atau
suction catheter jika diperlukan. Sebaiknya dilakukan suction terhadap mulut lebih dahulu
sebelum suction pada hidung, untuk memastikan tidak terdapat sesuatu di dalam rongga mulut
yang dapat menyebabkan aspirasi. Selain itu, perlu dihindari tindakan suction yang terlalu kuat
dan dalam karena dapat menyebabkan terjadinya refleks vagal yang menyebabkan bradikardi dan
apneu. Jika terdapat mekonium tetapi bayinya bugar, yang ditandai dengan laju nadi lebih dari
100 kali per menit, usaha nafas dan tonus otot yang baik, lakukan suction pada mulut dan hidung
dengan bulb syringe ( balon penghisap ) atau kateter penghisap besar jika diperlukan.4

Pneumonia aspirasi yang berat merupakan hasil dari aspirasi mekonium saat proses persalinan
atau saat dilakukan resusitasi. Oleh karena itu, jika bayi menunjukan usaha nafas yang buruk,
tonus otot yang melemah, dan laju nadi kurang dari 100 kali per menit, perlu dilakukan suction
langsung pada trachea dan harus dilakukan secepatnya setelah lahir. Hal ini dapat dilakukan
dengan laringoskopi langsung dan memasukan kateter penghisap ukuran 12 French (F) atau 14 F
untuk membersihkan mulut dan faring posterior, dilanjutkan dengan memasukkan endotracheal
tube, kemudian dilakukan suction. Langkah ini diulangi hingga keberadaan mekonium sangat
minimal.4

9
3. Mengeringkan dan Memberi Rangsangan

Ketika jalan nafas sudah dibersihkan, bayi dikeringkan untuk mencegah terjadinya kehilangan
panas, kemudian diposisikan kembali. Jika usaha nafas bayi masih belum baik, dapat diberikan
rangsang taktil dengan memberikan tepukan secara lembut atau menyentil telapak kaki, atau
dapat juga dilakukan dengan menggosok-gosok tubuh dan ekstremitas bayi.4

Penelitian laboratotium menunjukkan bahwa pernapasan adalah tanda vital pertama yang
berhenti ketika bayi baru lahir kekurangan oksigen. Setelah periode awal pernapasan yang cepat
maka peride selanjutnya disebut apnu primer. Rangsangan seperti mengeringkan atau menepuk
telapak kaki akan menimbulkan pernapasan.4

Walaupun demikian bila kekurangan oksigen terus berlangsung, bayi akan melakukan beberapa
usaha bernapas megap – megap dan kemudian masuk ke dalam periode apneu sekunder. Selama
masa apnu sekunder, rangsangan saja tidak akan menimbulkan kembali usaha pernapasan bayi
baru lahir. Bantuan pernapasan dengan ventilasi tekanan positif harus diberikan untuk mengatasi
masalah akibat kekurangan oksigen. Frekuensi jantung akan mulai menurun pada saat bayi
mengalami apnu primer , tekanan darah akan tetapbertahan sampai dimulainya apnu sekunder.4

4. Evaluasi pernafasan, laju nadi, dan warna kulit

Langkah terakhir dari langkah awal resusitasi yaitu evaluasi pernafasan, laju nadi dan warna
kulit. Pergerakan dada harus baik dan tidak ada megap megap (gasping ). Gasping menunjukkan
adanya usaha nafas yang tidak efektif dan memerlukan ventilasi tekanan positif. Selain itu, laju
nadi harus lebih dari 100 kali per menit, yang diukur dengan cara melakukan palpasi tekanan
nadi di daerah dasar umbilikus, atau dengan auskultasi dinding dada sebelah kiri. Jika laju nadi
kurang dari 100 kali per menit, segera lakukan ventilasi tekanan positif.5

Penilaian warna kulit dapat dilakukan dengan memperhatikan bibir dan batang tubuh bayi untuk
menilai ada tidaknya sianosis sentral. Sianosis sentral menandakan terjadinya hipoksemia,
sehingga perlu diberikan oksigen tambahan. Jika masih terjadi sianosis setelah diberikan oksigen
tambahan, ventilasi tekanan positif perlu dilakukan, bahkan dengan laju nadi lebih dari 100 kali

10
per menit. Jika sianosis sentral masih terjadi dengan ventilasi tekanan positif yang adekuat, perlu
dipikirkan adanya penyakit jantung bawaan atau adanya hipertensi pulmoner yang persisten.5

Penilaian dan penatalaksanaan jalan nafas

Penilaian Jalan Nafas

Penilaian dan penatalaksanaan dari jalan nafas dapat dilakukan dengan cara pembersihan jalan
nafas, memposisikan bayi pada sniffing position untuk membuka jalan nafas. Selain itu, dapat
pula dilakukan evaluasi terhadap laju nadi dan warna kulit bayi. Evaluasi ini harus dilakukan
dengan baik karena bila ada salah satu tanda vital yang abnormal, akan segera membaik jika
diberikan ventilasi. Jadi, di dalam resusitasi neonatus, pemberian ventilasi yang adekuat
merupakan langkah yang paling penting dan paling efektif.5

Pemberian Oksigen

Pemberian oksigen diperlukan apabila neonatus dapat bernafas, laju nadi lebih dari 100 kali per
menit, tetapi masih terjadi sianosis sentral. Oksigen aliran bebas oksigen diberikan dengan cara
dialirkan ke hidung bayi secara pasif, dapat diberikan menggunakan sungkup, T-piece
resuscitator, atau selang oksigen (oxygen tubing) sesuai dengan cara yang diperlukan. Untuk
memastikan neonatus mendapatkan oksigen dengan konsetrasi tinggi, sungkup harus diletakkan
menempel pada wajah, agar menciptakan tekanan yang setara dengan Continuous Positive
Airway Pressure (CPAP) atau Positive End Expiratory Pressure (PEEP). Jika menggunakan
selang oksigen, posisi tangan harus dibentuk seperti mangkok di ujung selang dan diletakkan di
depan wajah bayi. Oksigen tidak boleh diberikan lebih dari 10 liter per menit (LPM) untuk waktu
yang lama. Oksigen cukup diberikan dengan aliran 5 LPM dalam resusitasi. 5

Standar oksigen yang digunakan dalam resusitasi neonatus yaitu oksigen 100%. Terdapat
penelitian yang meneliti penggunaan udara ruangan (oksigen 21%) dan oksigen 100% untuk
resusitasi neonatus. Disebutkan bahwa penggunaan oksigen 100% dapat merugikan selama masa
post asfiksia, hal ini berdasarkan teori:

11
1. Pada observasi in vitro , produksi oksigen radikal saat reoksigenasi hipoksia bergantung pada
konsentrasi oksigen.5

2. Peningkatan konsentrasi hipoxantine di plasma selama hipoksia mencapai level lebih tinggi
pada saat resusitasi. Karena hipoxantine terakumulasi pada neonatus yang asfiksia , maka dapat
kita artikan bahwa limitasi oksigen pada masa post asfiksi secara potensial dapat mengurangi
luka akibat akumulasi dari oksigen radikal.5

3. Selain itu hiperoksia memperlambat aliran darah pada bayi aterm maupun preterm dan
pemberian oksigen 100% saat persalinan dapat menyebabkan penurunan aliran darah jangka
panjang pada bayi preterm.5

Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa mortalitas neonatus lebih rendah pada penggunaan
oksigen 21% daripada oksigen 100% ( 5,8 % dan 9,5% ) dan pada neonatus preterm juga berlaku
hal yang sama yaitu mortalitas pada penggunaan oksigen 21% lebih rendah daripada oksigen
100% ( 21 % dan 35 % ). Hal ini menunjukkan resusitasi menggunakan oksigen 21% ( udara
ruangan) tampaknya potensial sebagai strategi untuk menurunkan mortalitas neonatus bahkan
pada neonatus preterm.5

Penggunaan oksigen memiliki efek samping seperti dapat merusak paru-paru dan jaringan,
terutama pada bayi prematur. Hal ini menyebabkan direkomendasikannya penggunaan oksigen
dengan konsentrasi kurang dari 100%, yang dapat diperoleh dengan menggunakan oxygen
blender yang dapat mencampur oksigen dan udara untuk menghasilkan konsentrasi udara yang
diinginkan. Pada bayi yang menderita penyakit jantung bawaan, penggunaan oksigen 100%
dapat mengganggu perfusi jaringan. Secara umum, saturasi oksigen harus dijaga antara 85-95%,
dimana 70-80% didapatkan pada menit awal kehidupan. 5

Pemberian oksigen tambahan juga diberikan pada bayi yang memerlukan ventilasi tekanan
positif. Indikasi dari ventilasi tekanan positif dengan oksigen tambahan antara lain:

1. Bayi yang apnea

2. Laju nadi kurang dari 100 kali per menit setelah 30 detik

3. Terjadi sianosis sentral setelah diberikan oksigen tambahan

12
Ventilasi tekanan positif pada bayi aterm

Beberapa penelitian menunjukkan pada bayi yang mengalami apnea atau gasping (megap
megap), pemberian ventilasi tekanan positif dengan kecepatan 40-60 kali per menit dengan
oksigen 100% merupakan cara yang efektif untuk memcapai laju nadi lebih dari 100 kali per
menit. Tekanan yang diperlukan untuk dapat melakukan ventilasi tekanan positif pada bayi aterm
dan preterm dengan efektif yaitu antara 30-40 cm H2O, walaupun dengan tekanan 20 cm H2O
sudah cukup efektif. Tanda dari ventilasi yang adekuat yaitu adanya peningkatan dari laju nadi.
Apabila tidak terjadi peningkatan laju nadi, reposisi ulang kepala dan sungkup, serta bersihkan
kembali jalan nafas atau lakukan suction lagi. Bila masih gagal dengan ventilasi yang non-
invasif, perlu dilakukan intubasi.6

Ventilasi Tekanan Positif pada Bayi Preterm

Paru-paru pada bayi preterm lebih mudah terluka oleh volume inflasi yang besar, sehingga lebih
sulit untuk dilakukan ventilasi. Tekanan sebesar 20-25 cm H2O sudah cukup adekuat dalam
ventilasi pada bayi preterm. Pada bayi yang menunjukkan tanda-tanda pernapasan yang buruk
dan/atau sianosis dapat digunakan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) sekitar 4-6 cm
H2O. Sama seperti bayi aterm, jika masih gagal,perlu dilakukan intubasi.6

Alat-alat ventilasi

Ventilasi pada neonatus dapat menggunakan beberapa macam alat seperti:

1. Self-inflating bags
2. Flow-inflating bag
3. T-piece resuscitator
4. Laryngeal mask airways
5. Endotracheal tube

13
 Self-inflating bags merupakan alat yang paling banyak dipakai dalam ventilasi manual.
Alat ini memiliki katup pengaman yang menjaga tekanan inflasi sebesar 35 cm H2O.
Namun katup pengaman ini kurang efektif bila digunakan terlalu kuat. Positive End-
Expiratory Pressure (PEEP) dapat diberikan apabila katup PEEP disambungkan. Tetapi
self-inflating bags tidak dapat menggunakan CPAP. Selain itu, self-inflating bags tidak
dapat digunakan untuk mengalirkan oksigen aliran bebas (free-flow oxygen).6
 Flow-inflating bags atau balon tidak mengembang sendiri dapat mengembang apabila ada
sumber gas. Alat ini tidak memiliki katup pengaman, namun dengan alat ini dapat
dilakukan PEEP atau CPAP karena adanya katup yang dapat mengatur aliran udara.
Selain itu, dengan alat ini dapat dialirkan oksigen aliran bebas dan lebih baik dalam
resusitasi neonatus.
 T-piece resuscitator merupakan alat yang dapat mengatur aliran udara serta juga dapat
membatasi tekanan yang diberikan. Tekanan inflasi yang diinginkan dan waktu inspirasi
lebih stabil dengan alat ini dibandingkan dengan self-inflating bags dan flow-inflating
bags. Selain itu, dengan alat ini dapat dilakukan PEEP dan dapat mengalirkan oksigen
aliran bebas.
 Laryngeal mask airway (LMA) merupakan alat yang dapat digunakan apabila penggunaan
sungkup sudah tidak efektif.
 Indikasi penggunaan endotracheal tube antara lain:
a) Penghisapan mekonium dari trakea
b) Saat ventilasi menggunakan sungkup sudah tidak efektif
c) Koordinasi dengan kompresi dada
d) Penggunaan Epinefrin
e) Keadaan resusitasi khusus (seperti hernia diafragma kongenital)
Untuk mengurangi terjadinya hipoksia saat melakukan intubasi, sebaiknya dilakukan
preoksigenasi, dengan cara memberikan oksigen aliran bebas selama 20 detik. Biasanya
digunakan blade yang lurus pada tindakan ini. Blade no.1 digunakan untuk bayi aterm,
no.0 untuk bayi preterm, dan no.00 untuk bayi yang sangat preterm. Ukuran dari
endotracheal tube dipilih berdasarkan berat dari neonatus. Posisi dari endotracheal tube
yang benar dapat ditandai dengan peningkatan laju nadi,adanya pengeluaran CO2,
terdengarnya suara nafas, pergerakan dinding dada, adanya embun pada selang, dan tidak

14
ada distensi abdomen saat ventilasi. Apabila tidak ada peningkatan dari laju nadi dan
tidak ada pengeluaran CO2, posisi dari endotracheal tube harus diperiksa dengan
laringoskop.6

Kompresi Dada

Kompresi dada harus dilakukan apabila laju nadi kurang dari 60 kali per menit walaupun sudah
dilakukan ventilasi secara adekuat dengan pemberian oksigen tambahan selama 30 detik.
Kompresi dada harus dilukan dengan kecepatan 90 kali per menit dengan perbandingan kompresi
dengan ventilasi 3:1 (90:30). Kompresi dilakukan di bawah sela iga ketiga dengan kedalaman
sepertiga dari diameter anterior dan posterior. Ada 2 cara yang dapat digunakan, yaitu dengan
metode 2 jari (2 finger method) dan metode ibu jari ( thumb method). Metode ibu jari lebih
direkomendasikan karena tidak cepat lelah dan dapat mengatur kedalaman tekanan dengan baik.
Selain itu, menurut beberapa penelitian, metode tangan melingkari dada menghasilkan tekanan
sistolik, diastolik, mean arterial pressure, dan perfusi jaringan yang lebih baik daripada metode 2
jari. Metode 2 jari digunakan apabila dibutuhkan akses ke umbilikus untuk memasang umbilical
catheter. Setelah dilakukan kompresi dada selama 30 detik, lakukan penilaian kembali terhadap
laju nadi, laju pernafasan, dan warna kulit. Kompresi dada harus dilakukan sampai laju nadi
lebih dari atau sama dengan 60 kali per menit secara spontan.7

Penghentian Resusitasi

Di dalam persalinan, ada kondisi dimana tidak dilakukan resusitasi, antara lain bayi dengan masa
gestasi kurang dari 23 minggu, bayi dengan berat lahir kurang dari 400 gram, anencephaly, dan
bayi yang dipastikan menderita trisomi 13 dan 18. Sedangkan penghentian resusitasi dapat
dilakukan apabila tidak terjadi sirkulasi spontan dalam waktu 15 menit.6

15
Medikasi

1. Epinefrin

Epinefrin sangat penting penggunaannya dalam resusitasi, terutama saat oksigenasi dengan
ventilasi dan kompresi dada tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Epinefrin dapat
menyebabkan vasokontriksi perifer, meningkatkan kontraktilitas jantung, dan meningkatkan
frekuensi jantung. Dosis yang digunakan 0.01-0.03 mg/kg yang dapat diberikan IV atau dosis
yang lebih tinggi 0.03 sampai 0.1 mg/kg melalui pipa endotrakeal. Pemberian ini dapat diulang
setiap 3-5 menit sekali.

2. Volume expanders

Pada neonatus yang membutuhkan resusitasi, harus dipikirkan kemungkinan terjadinya


hipovolemia terutama pada neonatus dengan respons yang tidak adekuat terhadap resusitasi yang
diberikan. Volume expanders yang dapat digunakan whole blood O-rh negative 10ml/kg, atau
Ringer Lactate 10ml/kg, dan normal saline 10 ml/kg. Semuanya ini dapat diberikan secara intra
vena selama 5-10 menit.

3. Naloxone hydrochloride

Merupakan antagonis opioid yang sebaiknya diberikan pada neonatus dengan depresi nafas yang
tidak responsif terhadap resusitasi ventilasi yang sebelumnya lahir dari ibu dengan mendapatkan
narkotik 4 jam sebelum kelahiran. Dosis yang diberikan 0.1 mg/kg secara IV ataupun melalui
pipa endotrakeal. Dosis ini dapat diulangi setiap 5 menit apabila dibutuhkan.

4. Dextrose

Glukosa darah sewaktu harus diperiksa setidaknya 30 menit setelah lahir pada neonatus yang
mengalami asfiksia, neonatus yang lahir dari ibu dengan diabetes, atau prematur. Bolus dextrosa
10% diberikan dengan dosis 1-2 ml/kg IV dan selanjutnya dapat diberikan dextrosa 10% dengan
laju 4-6ml/kg/menit (80-100ml/kg/hari). 6

16
Komplikasi bayi prematur

Kebanyakan komplikasi yang terjadi pada bayi prematur adalah yang berhubungan dengan
fungsi organ yang belum sempurna atau matang sepenuhnya untuk beradaptasi dengan kondisi
extrauterin dan juga harus beradaptasi karena tidak lagi mendapat bantuan dari ibunya lagi.
Komplikasi-komplikasi yang bisa terjadi meliputi:

a) Paru-paru

Produksi surfaktan seringkali tidak memadai guna mencegah alveolar collapse dan atelektasis,
yang dapat terjadi Respitarory Distress Syndrome.7

b) SSP ( Susunan syaraf pusat)

Disebabkan tidak memadainya koordinasi refleks menghisap dan menelan, bayi yang lahir
sebelum usia gestasi 34 minggu harus diberi makanan secara intravena atau melalui sonde
lambung. Immaturitas pusat pernafasan di batang otak mengakibatkan apneic spells (apnea
sentral).7

c) Infeksi

Sepsis atau meningitis kira-kira 4X lebih berisiko pada bayi premature daripada bayi normal.

d) Pengaturan suhu

Bayi prematur mempunyai luas permukaan tubuh yang besar dibanding rasio masa tubuh, oleh
karena itu ketika terpapar dengan suhu lingkungan dibawah netral, dengan cepat akan kehilangan
panas dan sulit untuk mempertahankan suhu tubuhnya karena efek shivering pada prematur tidak
ada.7

e)Saluran pencernaan (Gastrointestinal tract).

Volume perut yang kecil dan reflek menghisap dan menelan yang masih immatur pada bayi
prematur, pemberian makanan melalui nasogastrik tube dapat terjadi risiko aspirasi.

17
f) Ginjal

Fungsi ginjal pada bayi prematur masih immatur, sehingga batas konsentrasi dan dilusi cairan
urine kurang memadai seperti pada bayi normal.7

g) Hiperbilirubinemia

Pada bayi prematur bisa berkembang hiperbilirubinemia lebih sering daripada pada bayi aterm,
dan kernicterus bisa terjadi pada level bilirubin serum paling sedikit 10mg/dl (170 umol/L) pada
bayi kecil, bayi prematur yang sakit.7

h) Hipoglikemia

Hipoglikemia merupakan penyebab utama kerusakan otak pada periode perinatal. Kadar glukosa
darah kurang dari 20 mg/100cc pada bayi kurang bulan atau bayi prematur dianggap menderita
hipoglikemia.7

i) Mata

Retrolental fibroplasia, kelainan ini timbul sebagai akibat pemberian oksigen yang berlebihan
pada bayi prematur yang umur kehamilannya kurang dari 34 minggu. Tekanan oksigen yang
tinggi dalam arteri akan merusak pembuluh darah retina yang masih belum matang (immatur).

18
Komplikasi maternal

Komplikasi juga dapat terjadi pada ibu yang melahirkan secara bedah Caesar dan dalam kasus
ini, ibu tersebut terpaksa dilakukan tindakan bedah untuk melahirkan anak karena terjadi
abruption plasenta atau terlepasnya plasenta dari linea uterus yang dapat menyebabkan
perdarahan yang banyak sehingga dapat menyebabkan syok pada ibu tersebut. Oleh itu, dalam
kasus ini kita harus memperhatikan kedua-dua kondisi pasien kita yaitu si ibu dan juga anaknya
yang masih dalam keadaan lemah setelah dilahirkan karena ternyata bayi tersebut masih
premature. Komplikasi pada syok dapat berakibat lebih buruk pada pasien kita karena perfusi
yang berkurang pada salah satu organ yang akhirnya dapat menyebabkan kegagalan organ yang
menjadikan prognosis menjadi lebih buruk. Oleh itu, pertama sekali kita harus mengenali
beberapa gejala syok sesuai dengan derajat yaitu syok ringan hingga berat, dan setelah itu
barulah kita dapat melakukan terapi sesuai dengan derajat syok yang diderita oleh ibu tersebut.7

Syok ringan Syok sedang Syok berat


Takikardi minimal/normal Takikardi 100-120x/menit Takikardi 120x/menit
Hipotensi sedikit Hipotensi sistolik 90-100mmhg Hipotensi sistolik <60mmHg
Vasokonstriksi perifer ringan Oliguri/anuria Pucat sekali
(kulit dingin, pucat, basah) Keluhan; haus Anuria
Urin normal/sedikit kurang Kesadaran menurun
Keluhan; merasa dingin

Prosedur penanganan syok

1. Resusitasi syok harus dilakukan dengan segera dengan tujuan untuk pemulihan segera
perfusi jaringan dan kapasitas angkut oksigen yang adekuat.
2. Posisi pasien yang berbaring terlentang dengan kaki ditinggikan.
3. Bebaskan dan pelihara jalan napas, tidur tanpa bantal dengan kepala tengadah.
4. Beri O2 5-10 liter/menit melalui kanula hidung atau sungkap muka.
5. Resusitasi cairan

19
a. Pasang kanula intravena dengan diameter terbesar(No. 16G) dan ambil sampel darah
dan seterusnya pasang kateter vena sentral. Petunjuk keberhasilan resusitasi adalah
perbaikan tekanan pengisian atrium, produksi urin dan perbaikan kesadaran.
b. Monitor tekanan atrium dengan pengukuran tekanan baji arteri pulmonalis sedangkan
untuk pengukuran tekanan vena sentral dapat menggambarkan tekanan pengisian
atrium secara kasar kecuali pada pasien payah jantung dan penyakit paru obstruktif.7
c. Tahap awal diberikan Ringer laktat yaitu cairan garam berimbang sebanyak 2-3kali
dari jumlah darah yang hilang dengan tetesan 20-30 kali/menit.7
d. Cairan tersebut diharapkan dapat memulihkan sirkulasi( tekanan darah dan tekanan
vena sentral naik) dan produksi urin dan mengatasi asidosis metabolic ringan. Dan
dipertahankan di dalam intravascular 25%.7
e. Pada syok ringan dan sedang, tekanan vena sental 15cm H20 masih dapat ditoleransi.
Tetapi pada syok berat dan lama, dimana terjadi cedera kapiler dan kebocoran ke
ruang interstitial, tekanan vena sental dipertahankan 3-8cm H20 dan jika > 8cm H20
dapat terjadi edema interstitial.7
f. Pemberian cairan dextrose 5% dalam air tidak dianjurkan pada tahap awal syok,
karena dapat terjadi intoksifikasi air dan edema otak, ini disebabkan oleh ekstravasasi
air ke ruang ekstravaskuler yang banyak.7
g. Oleh itu, hanya 1/12 cairan dextrose dalam air yang masih dipertahankan
intravaskuler. Pada syok hemoragik yang berat dapat diberikan cairan koloid plasma(
dekstran, albumin 5% atau cairan HES hydroxyethyl starch) sebanyak 10-20ml/kg BB
dan cairan Ringer laktat.7
h. Pasien dengan hemoglobin 4-3g%( hematokrit 15-10%) dalam tingkat dekompensasi
reversible dan asidosis metabolic, tetapi masih dapat bertahan hidup. Transfuse darah
sebanyak jumlah perdarahan merupakan terapi efektif.7
6. Pemberian obat hanya sebagai terapi tambahan dan pemberian harus hati-hati dengan
titrasi per-infus
a. Sodium bikarbonat: diberikan jika pH arteri <7,2 sedangkan pemberian cairan sudah
adekuat dan terjadi hiperventilasi sedang. Jumlah sodium bikarbonat yang diberikan
dengan formula [base excess X BB X 1/3]; ½ dosis diberikan bolus intravena dan
selebihnya melalui infuse.7

20
b. Vasokonstriktor: digunakan untuk mencegah henti jantung dan dapat diberikan
sebelum resusitasi cairan. Vasikontriktor meningkatkan tekanan arteri rata-rata
sehingga memperbaiki perfusi pada jaringan otak dan jantung. Obat yang dapat
dipakai adalah norepinefrin, fenilefrin, metoksamin, metarminol dan dopamine dosis
tinggi.7
c. Kortikosteroid: kegunaan masih diragukan kecuali pada pasien dengan supresi
korteks adrenal yang mengalami perdarahan.

Kegagalan resusitasi

1. Terjadi peningkatan pengisian atrium dan produksi di atas normal menunjukan volume
overload dan segera pemberian cairan harus diperlambatkan.
2. Lebih banyak cairan diperlukan jika tekanan pengisian atrium dan produksi urin masih di
bawah normal.
3. Jika tekanan pengisian atrium meningkat tetapi produksi urin berkurang haruslah
dilakukan pengukuran tekanan baji arteri pulmonalis dan mengukur curah jantung.

Penilaian resusitasi

1. Observasi setiap 15 menit yang harus diukur adalah tekanan darah, nadi, nafas, kesadaran
dan tekanan vena sentral.
2. Ukur cairan masuk dan keluar yaitu produksi urin bagi mengetahui lebih dini jika terjadi
nekrosis tubular akut atau gagal ginjal.
3. Periksa hemoglobin dan hematokrit secara periodic bila dicurigai perdarahan masih
berlangsung.
4. Lakukan analisa gas darah arteri untuk menilai fungsi kardiopulmoner.7

21
Kesimpulan

Pada kasus ini, kita telah mendapatkan seorang wanita yang baru pertama kali hamil dan
mengalami abruption plasenta sehingga dia terpaksa menjalani tindakan bedah Caesar waluapun
usia kehamilan masih premature yaitu 36 minggu. Anak yang dilahirkan ternyata dalam keadaan
yang sangat lemah dengan nilai skor APGAR yang sangat rendah sehingga kita dapat simpulkan
bahwa anak ini harus mendapatkan diterapi di unit gawat darurat. Selain itu, kita juga harus
waspada terhadap kondisi si ibu tersebut karena abruption plasenta menyebabkan suatu
perdarahan yang banyak dan dapat menimbulkan komplikasi syok hipovolemia pada ibu tersebut
jika tidak ditangani dengan segera. Di samping itu, tindakan bedah Caesar juga dapat
menimbulkan banyak perdarahan dan dokter bedah harus mempertimbangkan kondisi ibu
tersebut sebelum melanjutkan tindakan bedah. Pada tindakan bedah juga akan digunakan obat
anestesi yang dapat memperberat lagi keadaan anak yang premature tersebut. Oleh itu, pemilihan
obat anestesi juga harus dipikirkan dalam hal ini. Setelah keadaan ibu dan anak menjadi stabil,
kita tetap harus memonitor kondisi ibu dan anaknya sehingga menjadi lebih stabil. Khususnya
pada anak yang premature ini, harus dimonitor karena system organ pada anak tersebut belum
mengalami pematangan yang sempurna sehingga membutuhkan bantuan dan terapi suportif
untuk membantu anak tersebut beradaptasi terhadap kondisi ekstrauterin. Dalam kes ini, bayi
yang tampak lemah itu akan diterapi berdasarkan guidelines yang dikeluarkan oleh American
Heart Society yang membataskan suatu tindakan tersebut untuk dilakukan dalam suatu tempoh
tertentu. Ini adalah bertujuan untuk mengurangi efek hipoperfusi pada anak yang akan
menyebabkan lebih banyak kematian sel jika tidak ditangani dengan segera. Oleh yang demikian,
anak tersebut harus dibantu dalam gold period principle yang menjadi suatu standar atau patokan
suatu tindakan harus dilakukan. Sebagai kesimpulan, tujuan utama yang harus kita
pertimbangkan dalam kasus ini adalah memastikan status hemodinamik ibu dalam keadaan stabil
dan pada anak dilakukan tindakan resusitasi untuk memperbaiki perfusi pada anak tersebut dan
setelah itu dilanjutkan dengan terapi sehingga system organ pada anak tersebut menjadi lebih
matang dan berfungsi dengan lebih sempurna bagi mengelakkan terjadi komplikasi pada bayi
prematur. Antara komplikasi yang sering terjadi pada bayi premature adalah respiratory distress
syndrome akibat daripada system pernafasan yang belum berfungsi dengan sempurna.

22
Daftar pustaka

1. Behrman Richard, Kliegman Roberts, Jenson Hal. Nelson Textbook of Pediatric.17th ed.
Pennsylvania: An Imprint of Elsevier Science. 2006
2. Kaye D Alan, Pickney LM, Hall M. Stan, Baluch R.Amir, Frost Elizabeth, Ramadhyani
Usha. Update On Neonatal Resuscitation. 2009. diunduh dari
http://staff.aub.edu.lb/~webmeja/20_1.html//
3. Barber CA. , Wyckoff MH. . Use and Efficacy of Endotracheal Versus Intravenous
Epinephrine During Neonatal Cardiopulmonary Resuscitation in the Delivery Room.
Illinois: American Academy of Pediatrics.2006.
4. Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care, diunduh dari
http://circ.ahajournals.org/
5. O2 flow : Ramji S , Saugstad OD. Use of 100% Oxygen or Room Air in Neonatal
Resuscitation. Illinois: American Academy of Pediatrics . 2005.
6. O'Donnell C, Kamlin O, Davis P, Morley C J. Endotracheal Intubation Attempts During
Neonatal Resuscitation: Success Rates, Duration, and Adverse Effects. Illinois: American
Academy of Pediatrics.2006.
7. Hanifa Wiknjosastro, Saifudin AB, Trijatmo Rachimhadhi, Ilmu bedah kebidanan, Ed. 1
Cet. 8: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2010.

23

Vous aimerez peut-être aussi