Vous êtes sur la page 1sur 16

MODEL PENGEMBANGAN HUNIAN VERTIKAL MENUJU

PEMBANGUNAN PERUMAHAN BERKELANJUTAN


Tito Murbaintoro1, M. Syamsul Ma’arif2, Surjono H. Sutjahjo2, Iskandar Saleh1
E-mail : titomur@yahoo.com
1) Kementrian Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia, Jl. Raden Patah I/1 Kebayoran Baru-Jakarta Selatan
2) Guru Besar Sekolah Pasca Sarjana-Institut Pertanian Bogor, Jl. Darmaga, Bogor 16680
Tanggal masuk naskah: 21 Januari 2009, Tanggal disetujui: 09 Agustus 2009

Abstrak
Pengembangan hunian vertikal di Kota Depok merupakan salah satu alternatif strategi memenuhi
kebutuhan perumahan bagi masyarakat terutama Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR),
mengurangi backlog, dan mengoptimalkan pemenuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Penelitian ini
bertujuan untuk membangun model pengembangan hunian vertikal menuju pembangunan perumahan
berkelanjutan dan implikasinya terhadap kebijakan pembangunan perumahan bagi MBR. Metode analisis
data yang digunakan meliputi analisis deskriptif, analisis statistika, analisis finansial, analisis input-output
(I-O), dan analisis sistem dinamik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Kota Depok
memiliki potensi minat yang besar terhadap hunian vertikal namun tingkat keterjangkauan terutama
MBR masih sangat rendah. Untuk meningkatkan keterjangkauan masyarakat dalam memiliki hunian,
maka peran pemerintah sangat diperlukan terutama dalam pemberian bantuan dan insentif kepemilikan
hunian. Pembangunan perumahan juga memberikan dampak ganda (multiplier effect) terhadap
pembangunan di Kota Depok dan daerah sekitarnya. Dampak tersebut antara lain tingginya
pembangunan perumahan, meningkatnya pendapatan masyarakat, dan tingginya tingkat penyerapan
tenaga kerja akibat pembangunan perumahan. Peningkatan kebutuhan jumlah hunian, serta backlog
perumahan di Kota Depok menunjukkan kecenderungan pertumbuhan mengikuti kurva eksponensial
pada tahun simulasi 2001 sampai tahun 2025. Untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat di
Kota Depok khususnya MBR dengan mempertimbangkan kemampuan masyarakat dan mempertahankan
ketersediaan lahan RTH pada tingkat tertentu, skenario yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan
RTH sampai pada luasan 5000 ha, dengan mendorong pertumbuhan hunian vertikal melalui subsidi
bunga sebesar 8% dan subsidi uang muka sebesar Rp 10.000.000 – Rp 13.000.000.
Kata kunci : Hunian vertikal, RTH, MBR, backlog, model, dan berkelanjutan

Abstract
Vertical residential development in Depok city is one of the alternative strategies to meet the need of
housing for people, especially low income people, decrease the backlog and optimizing the need of open
green space. The research was purposed to create a model of the development of vertical residential for
the sustainable of housing development and its impact to the housing development policy for the low
income people. The methods used to analyze the data were descriptive analysis, statistical analysis,
financial analysis, input-output (I-O) analysis and dynamic system analysis. The result of the research
showed that people in Depok city had great interest in having vertical residential, however the
affordability of low income people, were still low. To increase the people’s purchasing power,
participation of the government is greatly necessary especially in form of incentive and housing subsidy.
Housing development also resulted in multiplier effects for the development of Depok city and its
surrounding area, such as the high supply of housing, increasing of people income, and the higher
absorption level of manpower related the housing development. The increasing number of shelters

72 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009


need as well as housing backlog in Depok city tended to grow similarly with the exponential curve in the
simulation years of 2001-2025. To meet the need of housing in Depok city, especially for the low income
people, with consideration to their ability and maintaining the open green space at certain level, the
scenario that could be done is utilization of the open green space up to 5000 ha, with support to the
vertical residential growth through subsidizing the interest of 8% as well as down payment in the range
of Rp 10,000,000 to Rp 13,000,000.
Keywords : Vertical residential, open green space, low income people, backlog, model, sustainable

PENDAHULUAN masyarakat untuk menyewa atau membeli


hunian serta pendapat masyarakat tentang
Pemenuhan kebutuhan rumah bagi setiap
hunian yang diminati. Hal ini terkait dengan tiga
keluarga (shelter for all) dan pengembangan
pilar konsep pembangunan berkelanjutan yakni
perumahan yang berkelanjutan (sustainable
pembangunan yang telah mempertimbangkan
housing development) sudah menjadi agenda
secara seimbang tiga dimensi berkelanjutan
global yang harus diwujudkan oleh setiap
yaitu ekologi/lingkungan, ekonomi dan sosial
negara. Persoalan lain yang sangat mendasar
(Munasinghe, 1993).
adalah pemenuhan kebutuhan rumah yang
terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan Sejalan dengan upaya pembangunan
rendah (MBR). Hal ini juga menjadi perhatian perumahan, permukiman dan perkotaan
berbagai pemangku kepentingan di dunia berkelanjutan Kementerian Negara Lingkungan
sebagaimana dicanangkan pada The 12th Hidup (Meneg LH) bekerjasama dengan UNDP
Session of the Commission on Sustainable (United Nations Development Programme) telah
Development (CSD 12) tanggal 14-30 April 2004 menerbitkan Agenda 21 Sektoral (nasional),
di New York, yakni ”to achieve significant yaitu agenda permukiman untuk pengembangan
improvements in the living conditions of the kualitas hidup secara berkelanjutan yang salah
poorest population groups, in particular slum satunya mengamanatkan perlu upaya
inhabitants, by the year 2020” (Butters, 2003). melindungi masyarakat dari praktek-praktek
spekulasi dan monopoli penguasaan tanah
Perwujudan pembangunan perumahan dan
(Meneg LH, 2000). Ini menunjukkan komitmen
permukiman berkelanjutan, tidak dapat
pemerintah dan seluruh masyarakat Indonesia
dilepaskan dari pembangunan perkotaan secara
untuk mewujudkan pembangunan perumahan,
keseluruhan, apalagi bila dikaitkan dengan
permukiman dan perkotaan berkelanjutan.
ketersediaan lahan yang merupakan
sumberdaya alam yang tidak terbarukan. Salah Beberapa pemikiran tersebut diatas sudah
satu indikator pembangunan berkelanjutan yang barang tentu memberikan konsekuensi logis
dimotori oleh United Nations Centre for Human pada pengendalian pembangunan perumahan
Settlements (UNCHS) adalah memberikan dan permukiman di perkotaan agar dapat
rekomendasi tentang bagaimana menetapkan memenuhi persyaratan kota yang termasuk
indikator lingkungan untuk pembangunan kategori kota berwawasan lingkungan
perumahan, permukiman dan perkotaan. (sustainable city) antara lain : tetap terjaga
Indikator lingkungan perkotaan yang terkait ketersediaan ruang terbuka hijau yang cukup di
dengan sustainibilitas lingkungan perkotaan kawasan perkotaan (sustainable land use
adalah terpenuhinya luas ruang terbuka planning and management serta sustainable
(km2)/% (Junaidi, 2000). Ketersediaan ruang housing and urban development), terpenuhinya
terbuka hijau (RTH) merupakan salah satu kebutuhan hunian yang layak dan terjangkau
indikator utama penelitian dalam melakukan bagi seluruh masyarakat (affordable low cost
analisis pembangunan perumahan berkelanjutan. housing) dan terwujudnya kehidupan sosial
Indikator lain adalah tingkat keterjangkauan kemasyarakatan yang harmonis dan efisien

Model Pengembangan Hunian …(Tito Murbaintoro) 73


(compact city) melalui pengembangan hunian dan termasuk salah satu wilayah penanganan
vertikal. Pengembangan hunian vertikal di kota Bogor-Puncak-Cianjur (Bopuncur).
besar dan metro sudah menjadi kebutuhan yang
Kerangka penelitian ini dirancang dalam
sangat mendesak, problem ketersediaan lahan
kerangka teori pembangunan berkelanjutan,
merupakan faktor pendorong bagi berbagai
yang menyatakan bahwa konsep pembangunan
pemangku kepentingan untuk segera
yang seimbang adalah pembangunan yang telah
memikirkan pola pengembangan perumahan
mempertimbangkan tiga dimensi berkelanjutan
dan permukiman yang selama ini masih
yaitu ekologi/lingkungan, ekonomi dan sosial.
didominasi oleh pengembangan hunian tapak
Tujuan utama penelitian ini adalah
(landed). Sudah banyak terjadi perubahan
mengembangkan model hunian vertikal menuju
fungsi lahan pertanian produktif menjadi
pembangunan perumahan berkelanjutan dan
kawasan perumahan yang pada gilirannya akan
implikasinya terhadap kebijakan pembangunan
mengakibatkan degradasi lingkungan.
perumahan bagi MBR. Dalam menyusun model
Untuk menjawab persoalan tersebut penelitian tersebut, ada beberapa tujuan antara yang
tentang pengembangan hunian vertikal menuju mendukung terwujudnya tujuan utama
pembangunan perumahan berkelanjutan telah penelitian ini yaitu : menganalisis tingkat
dilakukan di Kota Depok, Jawa Barat, Indonesia manfaat pengembangan hunian vertikal pada
sejak 2004 yang lalu. Pemilihan Kota Depok suatu wilayah kota dikaitkan dengan
sebagai lokus penelitian didasarkan pada ketersediaan RTH, menganalisis tingkat minat
beberapa pertimbangan antara lain : merupakan masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal,
salah satu dari 15 kota besar di Indonesia yang menganalisis tingkat kelayakan finansial
pertumbuhannya sangat pesat antara tahun pengembangan hunian vertikal pada suatu
1990-2000 (Silas, 2001), sebagai salah satu kota wilayah kota, khususnya yang terjangkau oleh
penyangga ibukota yang sangat strategis, MBR, menganalisis dampak pembangunan
tingkat penduduk komuter termasuk kategori perumahan terhadap perekonomian daerah Kota
tinggi, kondisi RTH dan kerusakan lahan Depok, mendisain model pengembangan hunian
pertanian masih belum terlalu parah, yaitu vertikal secara berkelanjutan. Secara
terdapat 49 % RTH (Wihana, 2008), merupakan diagramatis kerangka pemikiran tersebut dapat
wilayah yang menjadi incaran pengembangan dilihat pada gambar 1 berikut ini:
perumahan karena berada di selatan Jakarta,
Promoting
The objective of sustainable sustainable landuse
Human Settlements planning and
Development: “to achive management
significant improvements in the (UNEP)
living conditions of the poorest TUJUAN EKOLOGI/
population groups, inparticular BIOFISIK
(Pembangunan
slum inhabitants, by the year Perumahan
2020” (CSD 12) Berkelanjutan)

Perencanaan
Wilayah

HUNIAN VERTIKAL
BERBASIS
LINGKUNGAN “ECO
MULTISTORIES Implikasi PERENCANA
RESIDENTIAL” Kebijakan AN KOTA
MODELPENGEMBANGAN
HUNIAN VERTIKAL
MENUJU PEMBANGUNAN
PERUMAHAN LISIBA BS
BERKELANJUTAN

"improving human
settlement
management” (UNEP) TUJUAN EKONOMI
TUJUAN SOSIAL
(Pemenuhan kebutuhan (Kelayakan
hunian/shelter for all finansial dan
yang terjangkau) manfaat)

"providing "providing
adequate adequate
shelter for all” shelter for all”
(UNEP) (UNEP)

Kondisi Ideal Yang Diharapkan Lisiba Berdiri Sendiri (Lisiba BS)


Perkiraan Kondisi Saat Ini Perencanaan Kota (Urban Design)
Hunian Vertikal Berbasis Ekologi Perencanaan Wilayah (Regional Planning)

Gambar 1. Pengembangan Hunian Vertikal Menuju Pembangunan Perumahan Berkelanjutan

74 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009


Hasil penelitian telah memberikan gambaran Penataan Ruang telah mengamanatkan untuk
nyata tentang bagaimana pembangunan menyediakan RTH publik minimal 20 % dari luas
perumahan di kota besar dan metro harus kota dan RTH privat minimal 10 % dari luas
ditangani secara komprehensif. Hal lain yang kota.
juga perlu mendapat perhatian adalah
Secara umum kondisi RTH kota-kota di
sumbangan pemikiran tentang arah kebijakan
Indonesia menunjukkan tingkat ketersediaan
pembangunan perumahan yang harus di
yang belum optimal. Kurang optimalnya
tetapkan oleh regulator di tingkat kota serta
pemenuhan kebutuhan ruang terbuka hijau
implikasinya kepada pembangunan perumahan
(RTH) dapat dilihat dari luas RTH di beberapa
bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)
kota di Indonesia yang mengalami penurunan
dan pembangunan perkotaan secara
secara signifikan dalam 30 tahun terakhir, dari
keseluruhan.
35 % pada awal tahun 1970-an menjadi kurang
Pengembangan Hunian Vertikal pada dari 10 % terhadap luas kota secara
Suatu Wilayah Kota Dikaitkan dengan keseluruhan (Kirmanto, 2005). Apabila ditinjau
Ketersediaan RTH dari kondisi kuantitas RTH di beberapa negara,
Pengembangan hunian vertikal pada suatu rasio RTH kota-kota metro di Indonesia sangat
wilayah kota dikaitkan dengan ketersediaan RTH jauh lebih rendah dibandingkan dengan kota-
sangat terkait erat dengan indikator kota di Jepang (5 m2 / penduduk), Inggris (7-
pembangunan perumahan, permukiman dan 11.5 m2 / penduduk) dan Malaysia (2 m2 /
perkotaan. Oleh karena itu untuk menilai suatu penduduk). Fakta lain yang terkait dengan
kota diperlukan indikator-indikator yang dapat ketersediaan RTH adalah cukup tingginya lahan
digunakan untuk mengukur tingkat kelayakan pertanian yang beralih fungsi menjadi kawasan
suatu kota, antara lain mengukur kinerja; perumahan dan permukiman serta industri. Data
mengkaji tren; memberi informasi; menetapkan empiris juga menunjukkan bahwa alih fungsi
target; membandingkan kondisi atau tempat; lahan pertanian terbesar adalah wilayah Jawa
peringatan dini; dan menyusun pilihan strategis Barat yang merupakan salah satu lumbung padi
dalam pembangunan kota (Banerjeen, 1996 nasional (Hatmoko, 2004). Kondisi tersebut di
dalam Junaidi, 2000). Kajian indikator atas merupakan konsekuensi dari lebih tingginya
pembangunan perkotaan di beberapa negara nilai ekonomi lahan (land rent) untuk industri,
menunjukkan bahwa salah satu indikator yang perumahan dan permukiman dibandingkan
terkait dengan aspek lingkungan adalah untuk penggunaan lainnya (Barlowe, 1986).
ketersediaan RTH yang memadai bagi penduduk Disamping itu, pengembangan properti selama
kota. Indikator lingkungan perkotaan yang ini menggunakan konsep highest and best use
terkait dengan sustainibilitas lingkungan (Grasskamp dalam Jarchow, 1991) yaitu
perkotaan adalah terpenuhinya luas ruang pemanfaatan lahan didasarkan pada kegunaan
terbuka dalam km2 (Junaidi, 2000). Menurut yang paling menguntungkan secara ekonomi
penelitian yang dilakukan oleh Zoer’aini, fungsi dan memiliki tingkat pengembalian usaha
hutan kota sebagai bagian dari RTH dapat (return) yang lebih tinggi dibandingkan dengan
menyerap hasil negatif dari kota antara lain : fungsi lain. Teori lain menyatakan bahwa dalam
suhu kota, kebisingan, debu, dan hilangnya konteks land economics, land value sangat
habitat burung (Zoer’aini, 2005). Belum ada dipengaruhi oleh hubungan komplementer
standar baku yang mengatur tentang kebutuhan antara land rent dengan transportation cost
RTH di suatu kota, tetapi data empiris di (Alonso, 1964). Kondisi tersebut dapat dilihat
beberapa kota dunia menunjukkan bahwa juga dari tren kenaikan harga tanah di Perum
kebutuhan RTH di suatu kota antara 6-10 Perumnas Depok pada tahun 1990 an, dalam
m2/kapita (Ditjen Penataan Ruang, 2005)., waktu dua tahun mencapai 75 % (Gandi, 1994
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang dalam Winarso, 2001). Berdasarkan penelitian

Model Pengembangan Hunian …(Tito Murbaintoro) 75


yang dilakukan selama 40 tahun terakhir Kecenderungan berkurangnya RTH dan alih
pendapatan bersih tanah per m2 untuk real fungsi lahan pertanian produktif juga terjadi di
estate, 200 kali lipat dibandingkan untuk Kota Depok, tetapi menurut data yang diperoleh
pertanian (Agroindonesia, 2004). Disamping dari pemerintah Kota Depok ketersediaan RTH
indikator sustainabilitas lingkungan perkotaan di Kota Depok sampai saat ini masih cukup baik
yang bersifat komprehensif, UNCHS juga telah yakni sekitar 49% dari seluruh wilayah Kota
mengembangkan indikator untuk lingkungan Depok. Kalau tidak dikendalikan secara dini,
perumahan pada tahun 1993 (Junaidi, 2000). maka Kota Depok akan mengalami degradasi
Indikator lingkungan perumahan antara lain : lingkungan seperti halnya kota metro lain di
luas lantai per orang dan portofolio kredit Indonesia. Tren ketersediaan RTH Kota Depok
perumahan. Dalam konteks luas lantai per orang selama kurun waktu lima tahun (2000-2005)
dan ketersediaan RTH di suatu kota, maka menunjukkan penurunan yang cukup signifikan
pengembangan hunian vertikal akan dapat terutama untuk lahan pertanian sebagaimana
menjaga sustainabilitas lingkungan perkotaan. dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1.
Penurunan Lahan Pertanian Kota Depok Tahun 2000-2005
Lahan Pertanian Tahun
(Ha) 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Sawah Teknis 926,58 931,00 931,00 907,00 907,00 785,00

Sawah Non Teknis 401,68 401,00 401,00 380,00 380,00 187,50

Perkebunan 1.527,35 1.501,05 1.420,30 1.357,65 1.285,12 1.272,80


Sumber : Pemerintah Kota Depok, 2006 diolah
Penurunan ketersedian RTH untuk lahan Tabel 2.
pertanian yang terdiri dari sawah teknis, sawah Ketersediaan RTH untuk Taman Kota
non teknis dan perkebunan terus terjadi, Tahun 2000-2005
walaupun pada awalnya cenderung mengalami Tahun Taman Kota (Ha)
peningkatan seperti sawah teknis pada tahun 2000 12,05
2000 seluas 926,58 Ha meningkat menjadi
2001 12,36
931,00 Ha pada tahun 2001 dan bertahan
sampai tahun 2003, tetapi pada tahun 2004 luas 2002 18,35
sawah teknis tersebut mengalami penurunan. 2003 22,16
Untuk sawah non teknis dan perkebunan sejak
2004 26,57
tahun 2000 cenderung mengalami penurunan.
Tren penurunan luas RTH ini menunjukkan 2005 61,75
bahwa semakin lama luas RTH di Kota Depok Sumber : Pemerintah Kota Depok, 2006 diolah
akan semakin menurun yang disebabkan oleh
kebutuhan lahan untuk pengembangan Dilain pihak kebutuhan akan rumah di Kota
perumahan dan kebutuhan lainnya seiring Depok menunjukkan angka yang cukup besar.
dengan tren pertambahan ijin lokasi dan ijin Pemenuhan kebutuhan rumah di suatu kota
mendirikan bangunan di Kota Depok. Beruntung dapat dilihat dari backlog dan pertumbuhan
Kota Depok masih memiliki kebijakan kebutuhan rumah akibat bertambahnya keluarga
penambahan taman kota yang setiap tahunnya baru di suatu kota. Disamping itu, perlu
meningkat sebagaimana dilihat pada tabel 2. dianalisis juga jumlah rumah tangga yang
termasuk kategori komuter. Kota Depok

76 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009


termasuk kota yang tingkat pertumbuhan Dengan tetap berupaya memenuhi kebutuhan
penduduknya relatif tinggi, yaitu 3,7% per rumah untuk seluruh keluarga disatu pihak dan
tahun. Hal ini menyebabkan pertumbuhan menjaga kualitas lingkungan terutama
kebutuhan rumah di Kota Depok cukup tinggi. ketersediaan ruang terbuka hijau sebagai salah
Data BPS tahun 2003 menunjukkan bahwa dari satu indikator lingkungan perkotaan yang
234.733 rumah tangga, dengan tingkat berkelanjutan di lain pihak, maka model
pertumbuhan penduduk 3,7 % per tahun maka pengembangan hunian vertikal perlu segera
angka kebutuhan rumah per tahun kurang lebih diterapkan untuk kota-kota yang masih memiliki
10.375 unit rumah, disamping itu backlog rumah ruang terbuka hijau yang cukup dan tingkat
menunjukkan angka cukup tinggi. Pertumbuhan pertumbuhan kebutuhan rumah yang cukup
jumlah penduduk yang mengakibatkan signifikan setiap tahunnya.
bertambahnya keluarga baru setiap tahunnya
Dengan pembangunan perumahan secara
sebagaimana dilihat pada tabel 3.
vertikal maka akan membantu mengurangi laju
Tabel 3. pengurangan lahan RTH. Pembangunan hunian
Jumlah dan Tingkat Pertumbuhan Penduduk vertikal dengan satuan luas lahan yang relatif
Kota Depok lebih kecil dibandingkan dengan hunian tapak
Jumlah Pertumbuhan memberi peluang untuk menyediakan rumah
Sub Pusat
No. Penduduk Penduduk lebih banyak sehingga backlog dapat ditekan.
Pengembangan
(Jiwa) (%/Tahun)
Secara simulatif dengan memasukkan hunian
1. Cimanggis 435.477 3,36 vertikal dalam pembangunan perumahan di Kota
2. Sawangan 214.601 5,29 Depok dapat menurunkan backlog hingga
3. Limo 190.359 4,88 mencapai 8.207 unit rumah pada tahun 2025.
Pada kondisi tersebut ketersediaan RTH dapat
4. Pancoran Mas 278.943 3,04
ditekan yaitu sebesar 4.174 ha (20.83%). Hasil
5. Beji 201.363 6,45 simulasi model pengembangan hunian vertikal di
6. Sukmajaya 345.500 2,70 Kota Depok sebagaimana dilihat pada tabel 4.
Sumber: RTRW Kota Depok, 2000-2010

Tabel 4.
Tabel Simulasi Pembangunan Hunian Vertikal dalam Perencanaan Pembangunan Perumahan
di Kota Depok
Backlog RTH

Dengan Persen Dengan Persen


Tahun Tanpa rumah Tanpa rumah
rumah terhadap luas rumah terhadap luas
vertikal vertikal
vertikal kota vertikal kota
(Unit) (Ha)
(Unit) (%) (Ha) (%)

2001 100.753 100.753 9.833 49.07 9.833 49.07

2005 111.759 104.806 9.215 45.99 9.278 46.30

2010 120.766 101.162 8.272 41.28 8.445 42.14

2015 124.686 87.238 7.103 35.45 7.426 37.06

2020 118.645 57.498 5.671 28.30 6.191 30.90

2025 102.410 8.207 4.061 20.27 4.174 20.83

Model Pengembangan Hunian …(Tito Murbaintoro) 77


Tingkat Minat Masyarakat untuk mayoritas responden masyarakat Kota Depok
Tinggal di Hunian Vertikal masih berpendapat bahwa rumah susun dan
Minat menghuni rumah bagi setiap individu dan apartemen merupakan bangunan yang sangat
keluarga tidak hanya dilihat bahwa mereka berbeda/ berbeda (>70%), rumah susun akan
tinggal secara fisik di rumah, tetapi merupakan menimbulkan kekumuhan baru (70,5%). Dilain
proses pembentukan jatidiri manusia secara pihak persepsi masyarakat bahwa tinggal di
utuh dan merupakan tempat persemaian rumah susun dapat memberikan kepuasan
keluarga dan budaya masyarakat. Oleh karena (42%) dan sudah merasa memiliki/ menghuni
itu menghuni rumah sangat terkait dengan rumah (40%), memberikan peluang untuk dapat
proses pembentukan ruang (Crowe, 1997), ditingkatkan persepsi masyarakat atas
sehingga menghuni rumah merupakan fungsi keberadaan rumah susun. Hasil penelitian
dari tempat/ lokasi, waktu dan temporal (secara tentang motivasi masyarakat untuk tinggal di
fungsional dapat dirumuskan sebagai berikut : hunian vertikal menunjukkan bahwa mayoritas
pembentukan ruang = f (place, locality, time, responden masyarakat Kota Depok memiliki
temporal)). Jadi sangat tergantung dari persepsi motivasi yang sangat besar untuk tinggal di
dan makna yang dirasakan oleh manusia hunian vertikal bila dibandingkan dengan tinggal
(Crowe, 1997 dalam Mas Santosa, 2001). Proses di rumah tapak dengan kondisi rumah tapak
pembentukan ruang juga akan menemukan yang kumuh (>70%), atau jauh dari tempat
konflik antara tradisi dan modernitas sehingga kerja/ sekolah, atau harga sewa rumah susun
pada gilirannya akan memudarkan identitas kota yang lebih murah daripada tinggal di rumah
yang sangat terkait dengan aspek lokalitas tapak sewa (>60%). Hasil penelitian tentang
(Correa, 2000 dalam Mas Santosa, 2001). Jadi lokasi hunian vertikal yang diminati masyarakat
identitas kota sangat dipengaruhi oleh bentuk menunjukkan bahwa mayoritas responden
kota (urbanform), kultur dan kepadatan kota. masyarakat Kota Depok memiliki keinginan
Pada beberapa pendapat terdahulu fenomena untuk tinggal di rumah susun yang berada dekat
sosio kultural dan fisikal merupakan kekuatan dengan tempat kerja / sekolah (>70%), atau
yang membentuk arsitektur tradisional (Oliver, rumah susun ditengah kota (>60%), atau
1987) dan pada kenyataannya arsitektur memiliki akses kereta api/ jalan tol (>50%), dan
tradisional merupakan proses yang mampu dikawasan yang tenang (76,3%) dibandingkan
menunjukkan interaksi antara manusia dan dengan tinggal di hunian tapak yang memiliki
lingkungannya, dan bentuk interaksi tersebut karakteristik sebaliknya.
secara gradual berubah karena terkait dengan Kenyataan tersebut diatas menunjukkan bahwa
konteksnya (Rapoport, 1994). potensi masyarakat Kota Depok tinggal di
Bertolak dari beberapa pemikiran tersebut, hunian vertikal sangat besar apabila
aspek sosial sebagai salah satu pilar pengembangan hunian vertikal dilakukan secara
pembangunan berkelanjutan menjadi salah satu terencana dengan memperhatikan faktor-faktor
unsur yang penting didalam meneliti yang mempengaruhi tingkat persepsi, motivasi
pengembangan hunian vertikal di kawasan masyarakat dan pemilihan lokasi hunian vertikal.
perkotaan. Penelitian ini mengungkap seberapa Aspek lain yang masih harus menjadi
besar minat masyarakat Kota Depok tinggal di pertimbangan adalah kemiripan proses
hunian vertikal. Memperhatikan beberapa hal pembentukan ruang hunian vertikal bagi MBR
penting sebagaimana diuraikan diatas, penelitian dan proses pembentukan ruang kampung yang
tentang minat masyarakat Kota Depok untuk memiliki ciri hampir sama yaitu didaerah yang
tinggal di hunian vertikal dititik beratkan pada berkepadatan tinggi, di lingkungan urban/
tiga aspek yaitu persepsi, motivasi, dan lokasi. perkotaan, mayoritas tumbuh secara informal
Hasil penelitian tentang persepsi masyarakat khususnya untuk masyarakat berpenghasilan
atas hunian vertikal menunjukkan bahwa rendah. Kampung merupakan wujud yang

78 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009


menunjukkan suatu proses terbentuknya ruang keterjangkauan masyarakat untuk memiliki
di daerah berkepadatan tinggi yang tumbuh rumah melalui kredit/ pembiayaan pemilikan
secara informal di lingkungan urban tropis, rumah (KPR) atau membayar sewa. Aspek ini
sehingga lokasi penetapan tatanan lingkungan sangat penting, tinjauan aspek ekonomi sebagai
pembentukan ruang mengikuti kepercayaan / salah satu pilar pembangunan berkelanjutan
kebiasaan yang sifatnya turun temurun (Mas mejadi sangat penting untuk dikaji secara
Santosa, 2001). Pada hunian tradisional, ruang mendalam dan komprehensif. Oleh karena itu
utama yang berfungsi sebagai ruang keluarga indeks keterjangkauan yang selama ini telah
sangat mendominasi aktifitas anggota keluarga dikembangkan oleh beberapa lembaga di
(Mas Santosa, 2001). Oleh karena itu konsep beberapa negara menjadi salah satu hal yang
kampung susun menjadi sesuatu ide yang harus penting untuk dipertimbangkan. Indeks
dikembangkan terutama untuk memfasilitasi keterjangkauan (median multiple) yang
hunian vertikal bagi masyarakat berpenghasilan merupakan perbandingan antara median harga
rendah. rumah (median house price) dan median
pendapatan keluarga setahun (median
Tingkat Kelayakan dan Keterjangkauan household income multiple) telah mengalami
Pengembangan Hunian Vertikal kenaikan secara tajam di beberapa negara
Bagi Masyarakat Berpenghasilan (Wendell Cox and Hugh Pavletich, 2007).
Rendah Idealnya median harga rumah 3 (tiga) kali atau
Kebutuhan akan hunian harus disesuaikan kurang dari median pendapatan keluarga selama
dengan kemampuan untuk memiliki atau setahun. Secara umum indeks keterjangkauan
menyewa hunian yang ditunjukkan oleh tingkat dapat di bagi kedalam empat kategori, yakni :

Median harga rumah


Indeks keterjangkauan (IK) =
Median penghasilan masyarakat pertahun
Dimana :
IK < 3,0 = Hunian terjangkau oleh masyarakat
IK 3,1 - 4,0 = Hunian agak terjangkau oleh masyarakat
IK 4,1 - 5,0 = Hunian tidak terjangkau oleh masyarakat
IK > 5,1 = Hunian sangat tidak terjangkau oleh masyarakat
(Sumber : Brash, 2008 dan Sirmans, 1989)

Kondisi tersebut menjadi menarik apabila untuk masyarakat berpenghasilan rendah harus
dikaitkan dengan perkiraan perhitungan indeks mendapat intervensi dari pemerintah dalam
keterjangkauan di negara kita. Untuk bentuk subsidi perumahan atau subsidi silang
menghitung indeks keterjangkaun secara dengan kompensasi harga kawasan komersial
nasional membutuhkan analisis data secara atau hunian komersial. Dengan data median
nasional. Median penghasilan masyarakat secara income tahun 2004 (dengan asumsi kenaikan
nasional yang pernah diolah pada tahun 2002 pendapatan sebesar 10%) sebesar Rp.
adalah sebesar Rp 950.000 (HOMI, 2002) dan 1.045.000 dan harga rumah bersubsidi saat itu
pada saat tersebut harga rumah yang berhak sebesar Rp. 49 juta,- maka perkiraan angka
disubsidi adalah Rp. 42 juta,-. Apabila indeks keterjangkauan meningkat menjadi 3,9.
diasumsikan median harga rumah sebesar harga Bila dikaitkan kondisi saat ini dengan harga
rumah yang dapat disubsidi, maka perkiraan rumah bersubsidi sebesar Rp. 55 juta,-, angka
angka indeks keterjangkauan masyarakat indeks keterjangkauan diperkirakan meningkat
berpenghasilan rendah secara nasional adalah menjadi > 4. Hal ini menunjukkan
3,6 yang menunjukkan bahwa pemilikan rumah perkembangan indeks keterjangkauan di

Model Pengembangan Hunian …(Tito Murbaintoro) 79


Indonesia juga mengalami peningkatan secara tahun. Kondisi ini tidak mungkin diterapkan
nasional sebagaimana terjadi di beberapa kepada MBR, oleh karena itu investasi rusunawa
negara yang berarti kemampuan masyarakat masih harus membutuhkan intervensi
untuk akses KPR semakin menurun. pemerintah. Kondisi ini tidak jauh berbeda
dengan yang terjadi di Kota Depok, bahwa tren
Selain melalui kredit/pembiayaan pemilikan
harga rumah dan pendapatan masyarakat Kota
rumah, pemenuhan kebutuhan hunian bagi
Depok masih menunjukkan bahwa masyarakat
masyarakat berpenghasilan rendah juga dapat
berpenghasilan rendah Kota Depok masih
dilakukan melalui program hunian sewa. Untuk
membutuhkan intervensi dari pemerintah daerah
mengembangkan hunian vertikal sewa bagi
melalui kebijakan subsidi atau insentif di tingkat
masyarakat berpenghasilan rendah/rumah susun
kota.
sederhana sewa (rusunawa) perlu
mempertimbangkan tingkat kelayakan investasi Dampak Pembangunan Perumahan
rusunawa yang terjangkau oleh masyarakat terhadap Perekonomian Daerah Kota
berpenghasilan rendah. Ukuran tingkat Depok
kelayakan investasi secara finansial dapat dilihat Lingkungan perkotaan secara geografis, sosial-
dari beberapa indikator antara lain net present budaya, dan sosial ekonomi merupakan
value (NPV) yang merupakan nilai netto kawasan yang sangat kompleks. Pertumbuhan
investasi saat ini, internal rate of return (IRR) penduduk yang cukup tinggi di Kota Depok
yang merupakan tingkat pengembalian yang menuntut penyediaan perumahan yang layak
diinginkan dan payback period (PBP) yang huni yang tinggi pula. Dalam pembangunan
merupakan periode pengembalian investasi. perumahan ini, diharapkan memberikan dampak
Hasil simulasi investasi menunjukkan bahwa ganda (Multiplier Effect) terhadap perekonomian
pembangunan rumah susun sewa sederhana daerah terutama dari segi output, income, dan
(rusunawa) untuk MBR yang diasumsikan employment. Dampak pembangunan
mampu membayar sewa < Rp. 300.000,-/bulan perumahan terhadap struktur ekonomi di Kota
menghasilkan nilai IRR, NPV dan PBP yang tidak Depok dianalisis dari 36 sektor yang didasarkan
menarik bagi investor, yakni IRR 9%, 6% dan - pada transaksi domestik atas dasar harga
4% (untuk usia ekonomis 30, 20 dan 10 tahun), produsen (juta rupiah) pada tahun 2006 yang
dengan payback period 13 tahun. Investasi diturunkan dari Tabel IO Nasional. Hasil
rusunawa baru menunjukkan angka yang cukup penelitian menunjukkan sebagai berikut :
menarik apabila tarif sewa menjadi > Rp.
2.500.000,-/bulan yang menghasilkan nilai IRR, Nilai pengganda output, income dan
NPV dan PBP yang menarik bagi investor, yakni employment tipe I dan II sebagaimana dilihat
IRR 32%, 32% dan 29% (untuk usia ekonomis pada tabel 5.
30, 20 dan 10 tahun), dengan payback period 4

Tabel 5.
Dampak Pembangunan Perumahan terhadap Struktur Pembangunan Ekonomi Total Output, Income,
Employment, dan Value Added di Kota Depok
Dampak Pengganda (Multiplier Effect)
Kode
Nama Sektor Output Income Employment
Sektor
Tipe I Tipe II Tipe I Tipe II Tipe I Tipe II
Perumahan Dibangun
18 1.302 1.368 1.367 1.438 1.543 1.641
Pengembangan
Perumahan Permanen
19 1.297 1.363 1.361 1.431 1.542 1.640
Swadaya
20 Perumahan Tidak Permanen 1.299 1.365 1.364 1.434 1.543 1.641
31 Real Estate 1.220 1.276 1.295 1.362 1.473 1.639

80 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009


Dampak output untuk empat sektor terbesar Model Pengembangan Hunian Vertikal
perumahan yaitu perumahan yang dibangun secara Berkelanjutan
oleh pengembang, perumahan permanen Sistem merupakan agregasi obyek yang saling
swadaya, perumahan tidak permanen, dan real berinteraksi untuk mencapai tujuan tertentu
estate memiliki nilai output yang relatif sama (Ma’arif dan Tanjung, 2003). Pengertian lain
baik pada pengganda tipe I maupun tipe II sistem adalah suatu entitas yang terkait dengan
dengan nilai output rata-rata lebih besar dari suatu tujuan tertentu yang terdiri atas sub-sub
satu. Sektor perumahan yang dibangun oleh sistem yang saling terkait (Ma’arif dan Tanjung,
pengembang memiliki nilai output yang lebih 2003). Pendekatan sistem sangat bermanfaat
besar kemudian diikuti oleh bentuk perumahan untuk suatu pengambilan keputusan. Dalam
lainnya. Hal ini berarti bahwa dampak pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua
pembangunan perumahan terhadap output telah hal, yaitu : (1) mencari semua faktor penting
memberikan keuntungan bagi pertumbuhan yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik
ekonomi wilayah termasuk penciptaan lapangan untuk menyelesaikan masalah; (2) dibuat suatu
kerja bagi Kota Depok. model kuantitatif untuk membantu keputusan
Tenaga kerja dalam analisis I-O pada prinsipnya secara rasional (Eriyatno, 2003). Model dapat
sama dengan definisi yang digunakan dalam diartikan sebagai suatu perwakilan atau abtraksi
sensus penduduk sejak tahun 1990, yaitu dari sebuah obyek atau situasi aktual, yang
penduduk yang berumur 10 tahun ke atas yang memperlihatkan hubungan-hubungan langsung
bekerja dengan maksud memperoleh atau maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik
membantu memperoleh penghasilan, sekurang- (sebab akibat). Sebagai suatu abstraksi dari
kurangnya satu jam secara tidak terputus dalam suatu realitas, maka wujud model dapat lebih
seminggu yang lalu (BPS, 2005). Tenaga kerja kompleks atau kurang kompleks daripada
merupakan salah satu faktor produksi yang realitas itu sendiri. Lengkap tidaknya suatu
memiliki peran yang sangat penting. Tenaga model bergantung pada apakah model tersebut
kerja memiliki hubungan linier dengan output dapat mewakili berbagai aspek dari realitas itu
yang dihasilkan dalam suatu proses produksi, sendiri. Dalam hal ini semakin dapat mewakili
sehingga naik turunnya output disuatu sektor realitas, maka suatu model dapat dikatakan
akan berpengaruh terhadap naik turunnya semakin lengkap. Dasar utama pengembangan
jumlah tenaga kerja di sektor tersebut. model adalah untuk menemukan peubah-
peubah yang penting dan tepat dalam
Tabel 5 menunjukkan nilai pengganda tenaga membangun model. Untuk menirukan perilaku
kerja rata-rata lebih besar dari nilai satu baik suatu gejala atau proses dibuat simulasi model.
dampak pengganda tipe I maupun tipe II Simulasi ini bertujuan untuk memahami gejala
dengan nilai masing-masing 1,543 (tipe I) dan atau proses tersebut, membuat analisis dan
1,641 (tipe II) untuk perumahan yang dibangun meramalkan perilaku gejala atau proses tersebut
pengembang, 1,542 (tipe I) dan 1,640 (tipe II) di masa depan.
untuk perumahan permanen swadaya, dan
1,543 (tipe I) dan 1,641 (tipe II) untuk Salah satu situasi aktual yang dapat
perumahan tidak permanen, serta 1,473 (tipe I) diabstraksikan melalui suatu pemodelan adalah
dan 1,639 (tipe II) untuk real estate. Hal ini pengembangan hunian vertikal di lingkungan
berarti bahwa kebutuhan tenaga kerja di sektor perkotaan yang secara geografis, sosial-budaya,
perumahan sangat besar, baik tenaga kerja dan sosial ekonomi merupakan kawasan yang
yang berasal dari dalam wilayah Kota Depok sangat kompleks untuk diramalkan gejala-gejala
maupun yang berasal dari luar wilayah Kota atau proses yang akan terjadi dimasa yang akan
Depok. datang khususnya di Kota Depok. Dalam model
pengembangan hunian vertikal tersebut,
beberapa peubah-peubah yang saling

Model Pengembangan Hunian …(Tito Murbaintoro) 81


berhubungan antara satu dengan lain baik rumah mewah (RTA). Pada kondisi eksisting,
langsung maupun tidak langsung meliputi Kota Depok belum secara spesifik
pertumbuhan penduduk, ketersediaan lahan, mengembangkan hunian vertikal. Oleh karena
kebutuhan rumah yaitu rumah tapak dan rumah itu pada simulasi kondisi eksisting jumlah rusun
vertikal (rusun dan apartemen), ketersediaan dan apartemen tidak ada.
rumah, backlog, MBR, masyarakat
Pada tahun 2001 belum terlihat pembangunan
berpenghasilan menengah (MBM), masyarakat
rumah tersebut di atas dan baru terlihat pada
berpenghasilan atas (MBA), subsidi rusun, dan
tahun 2002 yang terus mengalami peningkatan
harga rumah, serta minat untuk memiliki rumah.
sampai pada tahun simulasi 2025, masing-
Model pengembangan hunian vertikal di Kota
masing RSH sebesar 134.369 unit, RTM sebesar
Depok dibangun dalam tiga (3) sub model yaitu
123.883 unit, dan RTA sebesar 24.776 unit.
sub model pertumbuhan penduduk dan RTH,
Semakin meningkatnya kebutuhan rumah
dan sub model kebutuhan perumahan, dan sub
tersebut akan berdampak terhadap perluasan
model kebutuhan lahan hunian di Kota Depok.
kawasan terbangun dan semakin menurunnya
Hasil simulasi model menunjukkan bahwa Ruang Terbuka Hijau (RTH). Untuk
penduduk Kota Depok akan meningkat terus mengantisipasi semakin menurunnya RTH maka
dari 1.204.687 jiwa menjadi 2.487.515 jiwa pengembangan perumahan diarahkan pada
pada tahun 2025 dengan asumsi rata-rata pengembangan hunian vertikal. Dalam
tingkat kelahiran penduduk sebesar 4 % pengembangan hunian vertikal ini dipengaruhi
pertahun dan tingkat kematian rata-rata 1 % oleh minat masyarakat untuk tinggal di hunian
pertahun. Tingkat pertumbuhan penduduk Kota vertikal. Sedangkan minat ini sangat dipengaruhi
Depok yang semakin meningkat setiap tahun oleh motivasi, persepsi, dan lokasi hunian.
akan berimplikasi terhadap kebutuhan
Untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi
penggunaan lahan dan kebutuhan rumah.
masyarakat di Kota Depok khususnya
Ketersediaan lahan di Kota Depok yang semakin masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)
terbatas akan menyebabkan ketersediaan lahan dengan mempertimbangkan kemampuan
tersebut menjadi faktor pembatas terhadap masyarakat untuk memiliki rumah dan
tingkat pertumbuhan penduduk Kota Depok. mempertahankan ketersediaan lahan RTH, maka
Dalam model dibatasi daya dukung lahan skenario terbaik yang dapat dilakukan adalah
sebesar 5000 jiwa/ha dan apabila melebihi dari memanfaatkan RTH sampai pada luasan 4000-
kapasitas tersebut maka perlu dilakukan 5000 ha, dengan mendorong pertumbuhan
tindakan untuk mengatasi laju pertumbuhan hunian vertikal melalui subsidi bunga minimal
penduduk yang semakin meningkat. Sementara sebesar 8% dan subsidi uang muka sebesar Rp
itu dilihat dari tingkat kebutuhan rumah 10.000.000 – Rp 13.000.000.
menunjukkan ketidakseimbangan antara total
rumah yang tersedia dengan jumlah penduduk. IMPLIKASI KEBIJAKAN
Jumlah penduduk Kota Depok pada tahun 2001
berjumlah 1.204.687 jiwa (BPS Kota Depok, Seluruh proses analisis dan simulasi
2007) sedangkan total rumah yang tersedia komprehensif pengembangan hunian vertikal
belum mencapai jumlah KK yang membutuhkan menuju pembangunan perumahan yang
unit rumah. Hal tersebut menyebabkan berkelanjutan membawa implikasi dan
terjadinya backlog unit rumah dan ini akan konsekuensi logis kepada penentuan arah
terjadi peningkatan secara terus-menerus kebijakan pembangunan perumahan secara
sampai pada tahun 2025. Pertumbuhan menyeluruh di Kota Depok. Secara filosofis
kebutuhan rumah yang sangat signifikan adalah kerangka implikasi kebijakan tersebut dapat
rumah sederhana sehat (RSH) yang diikuti dikaitkan dengan pemikiran tentang spatial
dengan rumah menengah (RTM), selanjutnya arrangement and sustainable development

82 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009


(Haryadi, 1997). Kebijakan dan strategi biasanya bersifat kompleks dan kontekstual,
merupakan intervensi dari pemerintah (pusat, maka kebijakan generik seharusnya berfikir
propinsi, kabupaten/ kota) dalam sistem secara menyeluruh dan mendorong terwujudnya
aktivitas di masyarakat agar dapat berjalan suatu perspektif yang luas dan pada gilirannya
seimbang. Sebagaimana dipahami bersama akan membantu mencari solusi yang berujung
bahwa sistem aktifitas dimasyarakat sangat pada suatu keadaan yang spesifik untuk
dipengaruhi oleh gaya hidup yang bersumber menghasilkan alternatif kebijakan yang dapat
pada kultur masyarakat. Dan semuanya itu tidak dilaksanakan secara berkelanjutan. Ada lima hal
terlepas dari daya dukung lahan (land capacity). penting yang termasuk dalam kebijakan generik,
yakni : i) peraturan perundangan; ii)
Ada beberapa pendekatan tentang analisis
pembebasan, fasilitasi dan simulasi pasar; iii)
implikasi kebijakan ini terutama yang berkaitan
pajak dan subsidi; iv) penyediaan barang
dengan pengembangan hunian vertikal, antara
melalui mekanisme nonpasar; v) asuransi dan
lain : generic policies dan compact cities. Salah
jaring pengaman.
satu pendekatan analisis kebijakan yang
digunakan pada penelitian ini adalah konsep Dengan menggunakan pendekatan kebijakan
kebijakan generik. Menurut Weimer dan Vining generik sebagaimana diuraikan diatas, maka
(1999), kebijakan generik (generic policies) penerapan kebijakan generik dalam
adalah berbagai macam tindakan pemerintah pengembangan hunian vertikal menuju
yang dilakukan untuk memecahkan masalah pembangunan perumahan berkelanjutan dapat
yang dihadapi dan biasanya berupa suatu dilihat pada tabel 6 dibawah ini:
strategi umum. Karena masalah kebijakan

Tabel 6.
Kebijakan Generik Pengembangan Hunian Vertikal Menuju Pembangunan
Perumahan Berkelanjutan
Kelompok
Kebijakan Karakteristik Kebijakan Jenis Kebijakan Penerapan Kebijakan
Generik
Peraturan Kebijakan Konstitusi Konstitusi dan Peraturan Daerah dan atau Peraturan
Perundangan (constitutive policies) Regulasi Umum Walikota tentang :
berisi pengaturan umum  Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
bagi masyarakat luas,  Pengaturan arah kebijakan
semua mendapat pembangunan kota
keuntungan bersama, yang  Pembangunan hunian vertikal
melanggar akan  Ijin lokasi
menanggung resiko  Ijin Mendirikan Bangunan
 Ijin Penghunian Bangunan
 Fee dampak pembangunan
Pembebasan, Kebijakan Distribusi  Deregulasi Peraturan Daerah dan atau Peraturan
Fasilitasi dan (distributive policies),  Legalisasi Walikota tentang :
Simulasi Pasar berisi keputusan yang  Privatisasi  Pengaturan kemitraan pemerintah,
(Freeing, bersifat tidak memaksa  Alokasi swasta dan masyarakat dalam
Facilitating (noncoercive decisions),  Existing pembangunan perumahan
Markets) dalam kondisi dan situasi  Goods  Pengaturan pemanfaatan komponen
yang stabil  Penciptaan Barang dan tenaga kerja lokal
Baru yang dapat  Pengaturan regionalisasi dan klasifikasi
dipasarkan jenis pekerjaan di bidang perumahan
 Simulasi Pasar  Pengaturan pendataan dan pencatatan
hak property

Model Pengembangan Hunian …(Tito Murbaintoro) 83


Lanjutan Tabel 6
Kelompok
Kebijakan Karakteristik Kebijakan Jenis Kebijakan Penerapan Kebijakan
Generik
Subsidi dan Pajak Kebijakan Regulasi Regulasi khusus Peraturan Daerah dan atau Peraturan
(iregulatory policies), Walikota tentang :
berisi keputusan yang  Subsidi bunga/ uang muka
bersifat memaksa  Subsidi infrastruktur
(coercive decisions),  Insentif retribusi dan pajak daerah
dalam kondisi yang kurang
stabil
Penyediaan Kebijakan Redistribusi Redistribusi Peraturan Daerah dan atau Peraturan
Barang melalui (redistributive policies), Walikota tentang :
Mekanisme berisi keputusan yang  Subsidi silang pembangunan
Nonpasar bersifat memaksa perumahan
(coercive decisions),  Pengaturan pemanfaatan lahan untuk
dalam kondisi yang tidak perumahan
stabil
Asuransi dan Kebijakan Redistribusi Redistribusi Peraturan Daerah dan atau Peraturan
Jaring Pengaman (redistributive policies), Walikota tentang :
berisi keputusan yang  Subsidi premi asuransi KPR
bersifat memaksa  Pembangunan rumah susun sederhana
(coercive decisions), sewa (rusunawa) bersubsidi
dalam kondisi yang tidak  Pembangunan rumah sosial (panti
stabil jompo, panti sosial dll)

KESIMPULAN DAN SARAN 2. Minat masyarakat untuk tinggal di hunian


vertikal merupakan proses pembentukan
Hasil penelitian telah memberikan gambaran
jatidiri manusia secara utuh dan sangat
nyata tentang bagaimana pembangunan
terkait dengan proses pembentukan ruang
perumahan di kota besar dan metro harus
yang terkadang akan menimbulkan konflik
ditangani secara sistemik dan holistik dalam
antara tradisi dan modernisasi. Secara
rangka mewujudkan pembangunan perumahan
teoritis dan hasil penelitian di lapangan
yang berkelanjutan. Dari penelitian ini dapat
menunjukkan bahwa minat menghuni
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
rumah dalam konteks pembentukan ruang
1. Pembangunan perumahan yang didominasi
sangat tergantung dari persepsi dan
oleh hunian tapak di suatu wilayah
motivasi masyarakat serta lokasi hunian.
perkotaan, sangat berpengaruh pada
Masih ada peluang cukup tinggi minat
ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH) dan
masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal,
pada gilirannya akan mengabaikan konsep
tetapi dibutuhkan perencanaan yang
pembangunan berkelanjutan. Ada
matang dan terpadu. Konsep kampung
kecenderungan penurunan jumlah RTH yang
susun menjadi penting, karena diharapkan
sangat signifikan terutama untuk lahan
menjadi model kombinasi pengembangan
pertanian. Secara simulatif, pembangunan
hunian vertikal secara fisik dan proses
hunian vertikal menjadi solusi alternatif
pembentukan jatidiri melalui pembentukan
untuk dapat mempertahankan ketersediaan
ruang secara sosial.
RTH disatu pihak dan pemenuhan
3. Pemenuhan kebutuhan hunian bagi
kebutuhan rumah bagi masyarakat dilain
masyarakat, sangat dipengaruhi oleh tingkat
pihak.
keterjangkauan masyarakat untuk menyewa

84 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009


atau mimiliki rumah. Secara simulatif, melakukan kajian dan perumusan kebijakan
kemampuan masyarakat untuk memenuhi pembangunan perumahan di wilayahnya.
kebutuhan rumahnya membutuhkan 1. Arah kebijakan pembangunan perkotaan
intervensi pemerintah melalui bantuan perlu dipikirkan secara komprehensif, baik
/subsidi perumahan atau subsidi silang yang bersifat konstitusi dan regulasi
pengembangan kawasan perumahan dan maupun substantif antara lain dengan mulai
permukiman. mengembangkan konsep pembangunan
4. Pembangunan perumahan memberikan kota yang kompak (compact city)
dampak pengganda (multiplier effect) 2. Penerapan ketentuan yang tegas atas
terhadap perekonomian kota. Dampak peraturan perundang-undangan (law
tersebut dilihat dari tingginya angka enforcement) untuk menjamin kepastian
permintaan dan penawaran terhadap hukum bagi para pemangku kepentingan di
perumahan, meningkatnya pendapatan bidang perumahan, baik yang berkaitan
masyarakat dan terciptanya lapangan kerja dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
bagi masyarakat kota. maupun ketentuan teknis lainnya yang
5. Pertumbuhan populasi penduduk kota berimplikasi pada perijinan.
menunjukkan kecenderungan mengikuti 3. Pengaturan kemitraan pemerintah, swasta
kurva eksponensial yang konsekuensinya dan masyarakat harus dikembangkan secara
akan meningkatkan kebutuhan akan rumah berkelanjutan agar minat investor dan
bagi masyarakat, dilain pihak dengan masyarakat akan hunian vertikal meningkat
meningkatnya kawasan terbangun melalui secara berkelanjutan. Hal ini dibutuhkan
pembangunan perumahan akan mengurangi karena investasi di bidang perumahan
RTH. Secara simulatif melalui model sangat membutuhkan peran berbagai pihak
pengembangan hunian vertikal, maka terutama investasi dari sektor swasta
pembangunan dapat dikendalikan sesuai termasuk pengembangan konsep subsidi
dengan skenario kebijakan yang ditetapkan silang.
oleh pemerintah kota setempat dan pada 4. Pengembangan hunian vertikal di suatu kota
gilirannya akan menjaga keseimbangan masih membutuhkan peran dari pemerintah
antara pemenuhan kebutuhan rumah bagi (pusat, propinsi dan kota) secara sinergis
setiap keluarga (shelter for all) yang untuk dapat membantu masyarakat yang
tejangkau (affordable) di satu sisi dan berpenghasilan menengah bawah dan
pengembangan perumahan yang berkelanjutan berpenghasilan rendah dalam bentuk
(sustainable housing development) di sisi bantuan /subsidi perumahan
lain. Dalam konteks pembangunan 5. Minat masyarakat untuk tinggal di hunian
perumahan di perkotaan, pengembangan vertikal masih perlu ditingkatkan seiring
hunian vertikal diharapkan dapat dengan upaya pemenuhan kebutuhan
mewujudkan kehidupan sosial rumah secara vertikal melalui proses
kemasyarakatan yang harmonis dan efisien pemberdayaaan dan peningkatan kapasitas
(konsep compact city). pengelola hunian vertikal agar lebih
profesional sehingga meningkatkan persepsi
Memperhatikan hasil penelitian dan kebutuhan
masyarakat terhadap hunian vertikal.
pemenuhan kebutuhan rumah di lokus penelitian
6. Perlu penelitian lebih lanjut tentang :
yakni di Kota Depok, beberapa saran dapat
a. ukuran indeks keterjangkauan dengan
disampaikan sebagai pertimbangan dalam
pendekatan fraksi pendapatan dan
merumuskan kebijakan pembangunan
harga rumah, serta faktor pengeluaran
perumahan di perkotaan. Saran ini akan dapat
rumah tangga atas biaya transport
memberikan inspirasi juga bagi kota-kota yang
b. rumusan kebijakan operasional setiap
memiliki karakteristik hampir sama untuk
tingkatan jajaran birokrasi di

Model Pengembangan Hunian …(Tito Murbaintoro) 85


pemerintah kota selaku regulator dan Kantor Meneg Lingkungan Hidup. 2000. Agenda
kebijakan pengembangan kerjasama 21 Sektoral - Permukiman, untuk
dengan mitra kerja pemerintah kota Pengembangan Kualitas Hidup secara
c. posisi kontribusi sektor/bidang Berkelanjutan. Proyek Agenda 21 Sektoral.
perumahan terhadap perekonomian Jakarta.
suatu kota Kirmanto, D. 2002. Pembangunan Perumahan
d. pengembangan sumber pembiayaan dan Permukiman yang Berwawasan
perumahan di suatu kota dengan Lingkungan Strategis dalam Pencegahan
memperhatikan potensi lokal Banjir di Perkotaan, disampaikan dalam
e. rencana rinci kawasan perumahan yang Seminar Peduli Banjir “FOREST” Jakarta 25
memperhatikan optimalisasi ketersediaan Maret 2002.
RTH sesuai dengan standar yang Kirmanto, D. 2005. Peran Ruang Publik Dalam
disepakati dan daya dukung lingkungan Pengembangan Sektor Properti dan Kota.
dimasing masing bagian wilayah kota Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta
Ma’arif, M.S. 2003. Bahan Kuliah Analisis
DAFTAR PUSTAKA Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan,
Program Studi PSL – IPB.
Arikunto, S. 2003. Manajemen Penelitian. Rineka Ma’arif, M.S. dan H. Tanjung. 2003. Teknik-
Cipta. Jakarta. teknik Kuantitatif untuk Manajemen. Hal.
Badan Pusat Statistik. 2005. Kerangka Teori dan 164-168. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Analisis Tabel Input – Output. Badan Pusat Jakarta.
Statistik. Jakarta. Pemerintah Kota Depok. 2004. Identifikasi
Butters, C. 2003. Sustainable Human Pemanfaatan Ruang Kota Depok. Badan
Settlements – Challenges for CSD, working Perencanaan Pembangunan Daerah. Depok.
paper in the 12th Session of the Peraturan Daerah Kota Depok. 2001. Rencana
Commission on Sustainable Development Tata Ruang Wilayah Kota Depok 2000-
(CSD 12). NABU. New York. 2010. Depok.
Ditjen Penataan Ruang. 2005. Kajian Konsepsi Peraturan Menteri Kehutanan, No. P-03/Menhut-
Ruang Terbuka Hijau. Jakarta V/2004 tentang Pedoman Pembuatan
Djunaedi, A. 2000. Indikator Indikator Tanaman Penghijauan Kota, Gerakan
Lingkungan Perkotaan : Belajar dari Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan.
Pengalaman Negara-negara Lain. Pusat Peraturan Pemerintah Nomor 67 tahun 2005
Penelitian Lingkungan Hidup, Universitas tentang Kerjasama Pemerintah dengan
Gajah Mada. Yogyakarta. Badan Usaha dalam Penyediaan
Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem, Meningkatkan Mutu Infrastruktur.
dan Efektivitas Manajemen. Jilid Satu. Edisi Peraturan Pemerintah Nomor 80. 1999. Kawasan
Ketiga. IPB Press. Bogor. Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun
Eryatno dan F. Sofyar. 2007. Riset Kebijakan, yang Berdiri Sendiri. Jakarta.
Metode Penelitian untuk Pascasarjana. IPB Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
Press. Bogor. 79 hal. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota.
Hatmoko, W. 2004. Indonesia Bisa Kelaparan : Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Depok. 2000-
Alih Fungsi Lahan Pertanian di Jabar 2010.
Tertinggi. Pikiran Rakyat. 30 September. Santosa, M. 2001. Lingkungan Tropis
Jakarta. Berkepadatan Tinggi : Lokalitas, Tradisi,
HOMI Project. 2002. Laporan Studi Pasar dan Modernitas. Pusat Penelitian Ligkungan
Perumahan di Indonesia, Direktorat Hidup, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Jenderal Perumahan dan Permukiman. Silas, J. 2001. Toll Road and the Development of
Jakarta. New Settlements, the Case of Surabaya

86 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009


Compared to Jakarta. J Humanities and Human Settlement Development. Chapter
Social Sciences of Southeast Asia and 7.
Oceania. KITLV. Winarso, H. 2001. Access to Main Roads or Low
Undang Undang No. 26 tahun 2007 tentang Cost Land Residential Land Developers’
Penataan Ruang Behaviour in Indonesia. J Humanities and
Undang-Undang R.I. Nomor 23 Tahun 1997 Social Sciences of Southeast Asia and
tentang Lingkungan Hidup Oceania. KITLV.
Undang-Undang R.I. Nomor 25 Tahun 2000 Winarso, H. dan B. Kombaitan. 2001. The Large
tentang Propenas Scale Residential Land Development
Undang-Undang R.I. Nomor 26 Tahun 2007 Process in Indonesia, The Case of
tentang Penataan Ruang Jabotabek. Paper prepared for World
Undang-Undang R.I. Nomor 32 Tahun 2004 Planning Schools Congress. Shanghai.
tentang Pemerintahan Daerah www. Agroindonesia.com. Tanggal 21/12/2004
United Nation for Environment Programme, Zoer’aini, D.I. 2005. Tantangan Lingkungan dan
2000. Agenda 21-Promoting Sustainable Lansekap Hutan Kota. Bumi Akasara.
Jakarta.

Model Pengembangan Hunian …(Tito Murbaintoro) 87

Vous aimerez peut-être aussi