Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
Nefron terdiri atas glomerulus, tubulus kontortus proksimalis, lengkung
Henle, tubulus kontortus distalis, dan duktus kolegentes. Darah yang
membawa sisa hasil metabolisme tubuh difiltrasi (disaring) di dalam
glomerulus dan kemudian setelah sampai di tubulus ginjal, beberapa zat yang
masih diperlukan tubuh mengalami reabsorbsi dan zat sisa metabolisme yang
tidak diperlukan oleh tubuh mengalami sekresi membentuk urine.
Setiap hari tidak kurang 180 liter cairan tubuh difiltrasi di glomerulus dan
menghasilkan urine sebanyak 1-2 liter. Urine yang terbentuk di dalam nefron
disalurkan melalui piramida ke sistem pelvikalises ginjal untuk kemudian
disalurkan ke dalam ureter. Sistem pelvikales ginjal terdiri atas kaliks minor,
infundibulum, kaliks major, dan pielum/pelvis renalis. Mukosa sistem
oelvikales terdiri atas epitel transisional dan dindingnya terdiri atas otot polos
yang mampu berkontraksi untuk mengallirkan urine sampai ke ureter.
Suplai darah ke ginjal diperankan oleh arteri dan vena renalis. Arteri
renalis merupakan cabang langsung aorta abdominalis dan vena renalis yang
bermuara langsung ke dalam vena kava inferior. Arteri dan vena keluar dari
ginjal di dalam area yang disebut hilus renalis. Arteri renalis bercabang
menjadi arteri interlobaris yang berjalan di dalam kolumna Bertini, kemudian
membelok membentuk busur mengikuti basis piramida sebagai arteri arkuata,
dan selanjutnya menuju korteks sebagai arteri lobularis. Arteri ini bercabang
3
kecil menuju ke glomeruli sebagai arteri afferen dan dari glomeruli keluar
arteri eferen yang menuju tubulus ginjal. Sistem arteri ginjal adalah end
arteries, yaitu arteri yang tidak mempunyai anastomosis dengan cabang dari
arteri lain, sehingga tidak terdapat kerusakan pada salah satu cabang arteri ini,
.berakibat timbulnya iskemia atau nekrosis pada daerah yang dilayaninya.
Ginjal mendapatkan persarafan melalui pleksus renalis, yang seratnya
berjalan bersama dengan arteri renalis. Input dari sistem simpatetik
menyebabkan vasokonstriksi yang menghambat aliran darah ke ginjal. Ginjal
diduga tidak mendapat persarafan parasimpatetik.
Gambar 2. Nefron
4
Dinding kapiler glomerulus, yang terdiri dari selapis sel endotel
gepeng, memiliki lubang – lubang dengan banyak pori – pori besar atau
fenestra, yang membuatnya seratus kali lebih permeabel terhadap H2O dan
zat terlarut dibandingkan kapiler di tempat lain.
Membran basal terdiri dari glikoprotein dan kolagen dan terselip di
antara glomerulus dan kapsula bowman. Kolagen menghasilkan kekuatan
struktural, sedangkan glikoprotein menghambat filtrasi protein plasma
kecil. Walaupun protein plasma yang lebih besar tidak dapat difiltrasi
karena tidak dapat melewati pori – pori diatas, pori – pori tersebut
sebenarnya cukup besar untuk melewatkan albumin dan protein plasma
terkecil. Namun, glikoprotein karena bermuatan sangat negatif akan
menolak albumin dan pritein plasma lain, karena yang terakhir juga
bermuatan negatif. Dengan demikian, protein plasma hampir seluruhnya
tidak dapat di filtrasi dan kurang dari 1% molekul albumin yang berhasil
lolos untuk masuk ke kapsula bowman.
Lapisan dalam kapsula bowman terdiri dari podosit, sel mirip gurita
yang mengelilingi berkas glomerulus. Setiap podosit memiliki banyak
tonjolan memanjang seperti kaki yang saling menjalin dengan tonjolan
podosit di dekatnya. Celah sempit antara tonjolan yang berdekatan dikenal
sebagai celah filtrasi, membentuk jalan bagi cairan untuk keluar dari
kapiler glomerulus dan masuk ke dalam lumen kapsula bowman.
Tekanan yang berperan dalam proses laju filtrasi glomerulus adalah
tekanan darah kapiler glomerulus, tekanan onkotik koloid plasma, dan
tekanan hidrostatik kapsula bowman. Tekanan kapiler glomerulus adalah
tekanan cairan yang ditimbulkan oleh darah di dalam kapiler glomerulus.
Tekana darah glomerulus yang meningkat ini mendorong cairan keluar
dari glomerulus untuk masuk ke kapsula bowman di sepanjang kapiler
glomerulus dan merupakan gaya utama yang menghasilkan filtrasi
glomerulus.
GFR dapat dipengaruhi oleh jumlah tekanan hidrostatik osmotik koloid
yang melintasi membran glomerulus. Tekanan onkotil plasma melawan
filtrasi, penurunan konsentrasi protein plasma, sehingga menyebabkan
5
peningkatan GFR. Sedangkan tekanan hidrostatik dapat meningkat secara
tidak terkontrol dan dapat mengurangi laju filtrasi. Untuk
mempertahankan GFR tetap konstan, maka dapat dikontrol oleh
otoregulasi dan kontrol simpatis ekstrinsik.
Mekanisme otoregulasi ini berhubungan dengan tekanan darah arteri,
karena tekanan tersebut adalah gaya yang mendorong darah ke dalam
kapiler glomerulus. Jika tekanan darah arteri meningkat, maka akan diikuti
oleh peningkatan GFR. Untuk menyesuaikan aliran darah glomerulus agar
tetap konstan, maka ginjal melakukannya dengan mengubah kaliber
arterial aferen, sehingga resistensi terhadap aliran darah dapat disesuaikan.
Apabila GFR meningkat akibat peningkatan tekanan darah arteri, maka
GFR akan kembali menjadi normal oleh konstriksi arteriol aferen yang
akan menurunkan aliran darah ke dalam glomerulus.
Selain mekanisme otoregulasi, untuk menjaga GFR agar tetap konstan
adalah dengan kontrol simpatis ekstrinsik GFR. Diperantarai oleh
masukan sistem saraf simpatis ke arteriol aferen untuk mengatur tekanan
darah arteri sehingga terjadi perubahan GFR akibat refleks baroreseptor
terhadap perubahan tekanan darah.
Dalam keadaan normal, sekitar 20% plasma yang masuk ke
glomerulus difiltrasi dengan tekanan filtrasi 10 mmHg dan menghasilkan
180 L filtrat glomerulus setiap hari untuk GFR rata – rata 125 ml/menit
pada pria dan 160 liter filtrat per hari dengan GFR 115 ml/menit untuk
wanita.
6
dan di sekresi ke dalam tubulus distal. Reabsorpsi natrium terjadi secara
aktif di sepanjang tubulus kecuali pada ansa henle pars descendens. H2O,
Cl-, dan urea direabsorpsi ke dalam tubulus proksimal melalui transpor
pasif. Berikut ini merupakan zat – zat yang direabsorpsi di ginjal :
a. Reabsorpsi Glukosa
Glukosa direabsorpsi secara transpor altif di tubulus proksimal. Proses
reabsorpsi glukosa ini bergantung pada pompa Na ATP-ase, karena
molekul Na tersebut berfungsi untuk mengangkut glukosa menembus
membran kapiler tubulus dengan menggunakan energi.
b. Reabsorpsi Natrium
Natrium yang difiltrasi seluruhnya di glomerulus, 98 – 99% akan
direabsorpsi secara aktif ditubulus. Sebagian natrium 67%
direabsorpsi di tubulus proksimal, 25% dereabsorpsi di lengkung
henle dan 8% di tubulus distal dan tubulus pengumpul. Natrium yang
direabsorpsi sebagian ada yang kembali ke sirkulasi kapiler dan dapat
juga berperan penting untuk reabsorpsi glukosa, asam amino, air dan
urea.
c. Reabsorpsi Air
Air secar apasif direabsorpsi melalui osmosis di sepanjang tubulus.
Dari H2O yang difiltrasi, 80% akan direabsorpsi di tubulus proksimal
dan ansa henle. Kemudian sisa H2O sebanyak 20% akan direabsorpsi
di tubulus distal dan duktus pengumpul dengan kontrol vasopressin.
d. Reabsorpsi Klorida
Ion klorida yang bermuatan negatif akan direabsorpsi secara pasif
mengikuti penurunan gradien reabsorpsi aktif dan natrium yang
bermuatan positif. Jumlah Klorida yang direabsorpsikan ditentukan
oleh kecepatan reabsorpsi Na
e. Reabsorpsi Kalium
Kalium difiltrasi seluruhnya di glomerulus, kemudian akan
direabsorpsi secara difusi pasif di tubulus proksimal sebanyak 50%,
40% kalium akan dirabsorpsi di ansa henle pars assendens tebal, dan
sisanya direabsorpsi di duktus pengumpul.
7
f. Reabsorpsi Urea
Urea merupakan produk akhir dari metabolisme protein. Ureum akan
difiltrasi seluruhnya di glomerulus, kemudian akan direabsorpsi
sebagian di kapiler peritubulus, dan urea tidak mengalami proses
sekresi. Sebagian ureum akan direabsorpsi di ujung tubulus proksimal
karena tubulus kontortus proksimal tidak permeabel terhadap urea.
Saat mencapai duktus pengumpul urea akan mulai direabsorpsi
kembali.
g. Reabsorpsi Fosfat dan Kalsium
Ginjal secara langsung berperan mengatur kadar kedua ion fosfat dan
kalsium dalam plasma. Kalsium difiltrasi seluruhnya di glomerulus,
40% direabsorpsi di tubulus kontortus proksimal dan 50%
direabsorpsi di ansa henle pars assendens. Dalam reabsorpsi kalsium
dikendalikan oleh homon paratiroid. Ion fosfat ayng difiltrasi, akan
direabsorpsi sebanyak 80% di tubulus kontortus proksimal kemudian
sisanya akan dieksresikan ke dalam urin.
8
Gambar 3. Fisiologi Ginjal
9
7. Mengeksresikan banyak senyawa asing. Misalnya obat, zat penambah
pada makanan, pestisida, dan bahan – bahan eksogen non-nutrisi
lainnya yang berhasil masuk ke dalam tubuh
8. Mensekresikan eritropoietin, suatu hormon yang dapat merangsang
pembentukan sel darah merah
9. Mensekresikan renin, suatu hormon enzimatik yang memicu reaksi
berantai yang penting dalam proses konservasi garam oleh ginjal
10. Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya
10
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit
Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal ≥ 90
atau
2 Kerusakan ginjal dengan LFG 60 – 89
ringan
3 Kerusakan ginjal dengan LFG 30 – 59
sedang
4 Kerusakan ginjal dengan LFG berat 15 – 29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis
Klasifikasi atas dasar penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung
dengan mempergunakan rumus Kockcroft – Gault sebagai berikut :
11
Transplant glomerulopathy
D. Epidemiologi
Hasil Riskesdas 2013 juga menunjukkan prevalensi meningkat seiring
dengan bertambahnya umur, dengan peningkatan tajam pada kelompok umur
35-44 tahun dibandingkan kelompok umur 25-34 tahun. Prevalensi pada laki-
laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%), prevalensi lebih tinggi terjadi
pada masyarakat perdesaan (0,3%), tidak bersekolah (0,4%), pekerjaan
wiraswasta, petani/nelayan/buruh (0,3%), dan kuintil indeks kepemilikan
terbawah dan menengah bawah masing-masing 0,3%. Sedangkan provinsi
dengan prevalensi tertinggi adalah Sulawesi Tengah sebesar 0,5%, diikuti
Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi Utara masing-masing 0,4 %.4
E. Etiologi
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatat
penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia adalah
sebagai berikut:5
- Glomerulonefritis, bakteri patogen yang melekat ke permukaan gigi di
sekitar gusi yang cukup lama membuat jaringan sekitar terpapar toksin dan
terbentuk reaksi antigen-antibodi, pada keadaan tertentu kompleks imun
dalam sirkulasi dan mengendap pada kapiler glomerulus ginjal dan
menyebabkan glomerulonefritis.
- Diabetes melitus
- Obstruksi dan infeksi
- Hipertensi
- Sebab lainnya
F. Patofisiologi
Pengurangan masa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan
fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya
kompensasi, yang diperantai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan
growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti
12
oleh peningkatan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa
sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini diikuti dengan penurunan
fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya tidak aktif lagi.
Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan
daya cadang ginjal, pada keadaan mana basal LFG masih normal atau
malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi
penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60
% pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah
terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG
sebesar 30 % mulai terjadi keluhan pada seperti nokturia, badan lemah,
mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG
kurang 30 % pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata
seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor
dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga
mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas,
maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan
air seperti hipo atau hipervolumia, gangguan keseimbangan elektrolit
antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15 % akan terjadi
gejala dan komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah memerlukan
terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau
transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada
stadium gagal ginjal. 2
G. Diagnosis
Gejala klinis
Pada gagal ginjal kronik, gejala – gejalanya berkembang secara
perlahan. Pada awalnya tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi ginjal
hanya dapat diketahui dari pemeriksaan laboratorium. Sejalan dengan
berkembangnya penyakit, maka lama kelamaan akan terjadi peningkatan
kadar ureum darah semakin tinggi (uremia). Pada stadium ini, penderita
13
menunjukkan gejala – gejala fisik yang melibatkan kelainan berbagai
organ seperti :2
- Kelainan saluran cerna : nafsu makan menurun, mual, muntah dan
fetor uremik
- Kelainan kulit : urea frost dan gatal di kulit
- Kelainan neuromuskular : tungkai lemah, parastesi, kram otot,
daya konsentrasi menurun, insomnia, gelisah
- Kelainan kardiovaskular : hipertensi, sesak nafas, nyeri dada,
edema
- Gangguan kelamin : libido menurun, nokturia, oligouria
-
Gambaran Laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :2
a) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b) Penurunan fungsi ginjal berupa peningakatan kadar ureum dan
kreatinin serum, dan penurunan LFG
c) Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia,
hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis
metabolik
d) Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast,
isostenuria
Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :2
a) Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio – opak
b) Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan
c) Pielografi antegrad atau retrograd sesuai indikasi
14
d) Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal,
kista, massa, kalsifikasi
e) Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi:
- Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
- Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
- Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
- Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
- Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
Perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit ginjal kronik sesuai
dengan derajatnya dapat dilihat pada tabel berikut.
15
I. Komplikasi
Gagal ginjal kronik dapat menyebabkan berbagai komplikasi sebagai
berikut :2
- Hiperkalemia
- Asidosis metabolik
- Komplikasi kardiovaskuler ( hipertensi dan CHF )
- Kelainan hematologi (anemia)
- Osteodistrofi renal
J. Prognosis
Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka
panjangnya buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan
yang dilakukan sekarang ini, bertujuan hanya untuk mencegah progresifitas
dari GGK itu sendiri. Selain itu, biasanya GGK sering terjadi tanpa disadari
sampai mencapai tingkat lanjut dan menimbulkan gejala sehingga
penanganannya seringkali terlambat.
16
b) Serostomia
Serostomia adalah kondisi mulut kering. Pada penderita ginjal kronis dan
penderita yang menjalani hemodialisis, gejala ini sangat sering dan
signifikan. Hal ini sering terjadi sebagai hasil dari manifestasi beberapa
faktor seperti inflamasi kimia, dehidrasi, pernafasan melalui mulut
(Kussmaul’s respiration) dan keterlibatan langsung kelenjar salivarius,
restriksi konsumsi cairan, dan efek samping dari obat. Serostomia
cenderung menambah kerentanan penderita terhadap karies dan inflamasi
gusi, kandidiasis, serta menyebabkan kesulitan berbicara, penurunan
retensi gigi palsu, kesulitan mastikasi, disfagia, dan gangguan penciuman.3
c) Plak, Kalkulus dan Karies.
Terdapat berbagai teori yang menentang hubungan antara efek dari
penyakit ginjal kronis terhadap pembentukan plak dan kalkulus. Dalam
satu penelitian, serostomia akan meningkatkan predisposisi penderita
terhadap karies karena retensi produk urea serta pengaliran dan produksi
saliva yang sedikit. Proses dialisis dapat memperburukkan kondisi rongga
mulut di mana jumlah kalkulus meningkat, dan banyaknya dijumpai lesi
karies. Deposit kalkulus dapat bertambah akibat dari hemodialisis. Namun
menurut beberapa penelitian, hidrolisis urea akan menghasilkan
konsentrasi ammonia yang tinggi dan mengubah pH saliva menjadi basa
pada penderita penyakit ginjal kronis sehingga meningkatkan substansi
fosfat dan ammonia dalam saliva dan hasilnya kapasitas buffer yang tinggi
disertai risiko karies menurun. Hal ini turut didukung oleh peneliti, di
mana hidrolisis urea mampu meningkatkan kapasitas antibakteri akibat
peningkatan urea nitrogen dalam saliva. Kebenaran teori ini terus
diperkuat terutama pada anak-anak walaupun konsumsi gula yang tinggi
dan kurang penjagaan kesehatan rongga mulut, risiko karies tetap rendah
dan terkontrol.6,7 Pembentukan kalkulus pada jaringan keras gigi berkaitan
erat dengan gangguan homeostasis kalsium-fosfor. Presipitasi kalsium dan
fosfor yang didorong oleh pH yang buruk pada penderita penyakit ginjal
kronis karena hidrolisis urea saliva menjadi ammonia, dimana ammonia
berperan dalam menyebabkan pH menjadi basa. Secara langsung, retensi
17
urea akan menfasilitasi alkanisasi plak gigi, dan meningkatkan
pembentukan kalkulus terutama pada penderita yang menjalani
hemodialisis. Selain itu, penderita yang menjalani hemodialisis memiliki
jumlah magnesium saliva yang sangat rendah. Pada kalkulus penderita
yang menjalani hemodialisis mengandung oksalat, dan pada kondisi
uremia turut menyebabkan retensi oksalat.8
d) Pembesaran Gusi
Pembesaran gusi skunder akibat penggunaan obat adalah manifestasi oral
pada penyakit ginjal yang paling sering dilaporkan. Hal ini dapat
diakibatkan oleh cyclosporin dan/atau calcium channel blockers.
Prinsipnya mempengaruhi papila interdental labia, walaupun kadang dapat
menjali lebih luas, yaitu dengan melibatkan tepi gusi dan lidah serta
permukaan palatum. (i) Pembesaran Gusi akibat Cyclosporin, prevalensi
pembesaran gusi pada orang yang mengkonsumsi cyclosporin masih
belum jelas, dan dilaporkan memiliki rentang yang luas dari 6 sampai
85%. Hal ini dapat terlihat pada pemakaian cyclosporin dalam 3 bulan.
Anak-anak dan remaja mungkin lebih rentan terkena pembesaran gusi
akibat cyclosporin dibandingkan dengan dewasa. Jika higienitas mulut
jelek, orang yang lebih tua juga rentan terkena pembesaran gusi. Perbaikan
pada higienitas mulut dan pembersihan secara profesional menghasilkan
pengurangan pembesaran gusi berhubungan dengan cyclosporin. Akan
tetapi, ini mungkin dikarenakan berkurangnya peradangan yang
berhubungan dengan plak bukan karena pembesaran gusi yang
berhubungan dengan obat. (ii) Pembesaran Gusi akibat Calcium Channel-
blocker, prevalensi yang dilaporkan pembesaran gusi akibat penggunaan
nifedipin bervariasi dan terjadi pada 10 sampai 83% pada yang
mengkonsumi obat ini. Tidak ada data penelitian mengenai frekuensi
pembesaran gusi yang diakibatkan oleh calcium channel-blocker lainnya.
Keberadaan plak gigi mungkin merupakan predisposisi terjadinya
pembesaran gusi akibat nifedipine. Tetapi itu tidak sangat berpengaruh
dalam perkembangannya. Dosis dan durasi pengobatan tidak berkaitan
dengn prevalensi terjadinya pembesaran gusi. Beberapa penelitian telah
18
melaporkan penurunan pembesaran gusi setelah penggantian nifedipin
dengan calcium channel-bocker lain, tetapi obat-obat ini juga sebagian
masih dapat menyebabkan pembesaran gusi.3
19
Stomatitis uremik perlu diperhatikan dan dapat muncul sebagai daerah
berpigmentasi putih, merah maupun keabuan pada mukosa oral. Pada
stomatitis uremik tipe eritematous, suatu lapisan pseudomembran keabuan
yang akan melapisi lesi eritema dan lesi ini selalu menyakitkan. Stomatitis
uremik tipe ulseratif memiliki gambaran merah dan ditutupi lapisan yang
pultaceous. Secara umumnya, gambaran stomatitis uremik amat luas tetapi
unik dan tidak paralel secara klinis. Manifestasi klinis ini dapat terjadi
akibat peningkatan nitrogen yang membentuk trauma kimia secara
langsung akibat gagal ginjal.3
f) Perubahan Warna Mukosa
Mukosa rongga mulut penderita gagal ginjal sering terlihat lebih pucat.
Hal ini disebabkan karena pengaruh anemia dari penderita tersebut dan
kondisi ini disebut pallor. Gejala lain yang sering terlihat adalah warna
kemerahan pada mukosa akibat deposit beta-karotin. 6,7
g) Keganasan Rongga Mulut
Risiko karsinoma sel skuamosa pada mulut pada pasien yang menerima
hemodialisis adalah sama dengan risiko pada populasi orang yang sehat,
walaupun telah ada laporan yang menunjukkan bahwa terapi yang
menyertai tranplantasi ginjal merupakan predisposisi kejadian displasia
epitelial dan karsinoma pada bibir. Mungkin, Sarkoma Kaposi dapat
muncul pada mulut resipien transplantasi ginjal yang mengalami
imunosupresi. Ada beberapa laporan kejadian karsinoma sel skuamosa di
daerah pembengkakan gusi yang disebabkan penggunaan siklosporin. Tiap
peningkatan risiko keganasan mulut pada pasien gagal ginjal kronis
mungkin menunjukkan efek imunosupresan iatrogenik, yang
meningkatkan kejadian tumor yang berhubungan dengan virus seperti
sarkoma Kaposi atau limfoma Non Hodgkin. Perkembangan tumor juga
bisa berkaitan erat dengan penderita AIDS yang menderita penyakit ginjal
kronis, sebagai faktor risiko primer maupun sekunder.6
h) Infeksi Rongga Mulut
Infeksi rongga mulut pada penyakit ginjal kronis biasa lebih banyak terjadi
pada pasien yang menjalani transplantasi ginjal akibat menurunnya
20
imunitas tubuh oleh obatobatan imunosupresan, juga pada beberapa pasien
hemodialisis. Infeksi yang sering terjadi adalah infeksi jamur dan virus.
Angular cheilitis merupakan salah satu manifestasi infeksi jamur dan
terjadi 4% pada pada pasien yang menjalani transplantasi ginjal dan
hemodialisis yang dilaporkan pada suatu penelitian, dan juga lesi jamur
lainnya pada rongga mulut, seperi pseudomembranous (1.9%),
erythemoatous (3.8%), dan chronic atrophic candidiosis (3.8%).
Sedangkan Infeksi virus pada penyakit ginjal kronis biasannya berupa
infeksi hepres yang pernah dilaporkan pada pasien yang menerima
transplantasi ginjal, tetapi sekarang ini penggunaan rejimen anti herpes
telah mengurangi frekwensi kejadian tersebut.6
i) Kelainan Gigi
Beberapa kelainan struktur gigi seperti hipoplasia enamel, erosi gigi,
peningkatan mobiliti gigi, dan maloklusi dapat terjadi pada penderita
penyakit ginjal kronis. Gigi lambat tumbuh dilaporkan pada anak-anak
dengan gagal ginjal kronis. Hipoplasi enamel pada gigi susu maupun
21
permanen dengan atau tanpa warnanya berubah menjadi coklat juga dapat
timbut akibat dari perubahan metabolisme kalsium dan fosfor. Selain itu,
pada gigi penderita tampak juga adanya erosi. Menurut beberapa
penelitian, erosi yang parah pada gigi tersebut merupakan hasil mual dan
muntah setelah menjalani perawatan dialisis. Manifestasi klinis lain
termasuk mobiliti gigi, maloklusi, dan kalsifikasi jaringan lunak.
Peningkatan mobiliti dan drifting pada gigi tanpa pembentukan kantung
periodontal yang patologis bisa terjadi dan dapat mengakibatkan pelebaran
pada ligamen periodontal. Apabila keadaan ini semakin berlanjut maka
dapat terjadi maloklusi.6
j) Lesi Tulang Alveolar
Beragam jenis kelainan tulang dapat dijumpai pada penyakit ginjal kronis.
Ini menunjukkan bermacam jenis kelainan metabolisme kalsium, termasuk
hidroksilasi dari 1- hidroksikolekalsiferol menjadi vitamin D aktif,
penurunan ekskresi ion hidrogen, hiperpospatemia, hipokalsemia,dan
hiperparatiroidisme sekunder yang diakibatkan, dan terakhir gangguan
biokimiawi pospat oleh proses dialisis. Hiperparatiroidisme sekunder
mempengaruhi 92% pasien yang menerima hemodialisis.
Hiperparatiroidisme dapat berakibat antara lain menjadi tumor coklat
maksila, pembesaran tulang basis skeletal dan mempengaruhi mobilitas
gigi. Beberapa kelainan pada tulang yang lain antara lain adalah
demineralisasi tulang, fraktur rahang, lesi fibrokistik radiolusen,
penurunan ketebalan korteks tulang, dan lain-lain. Sedang pada gigi dan
jaringan periodonsium antara lain, terlambat tumbuh, hipoplasi enamel,
kalsifikasi pulpa, penyempitan pulpa, dan lain-lain.6
22
identifikasi dini dari komplikasi rongga mulut dari penyakit ginjal. Perawatan
yang diindikasikan adalah perawatan periodontal yang teratur, dan non-
bedah. Selain itu, meskipun memiliti tingkat kebutuhan untuk perawatan gigi
yang tinggi, kehadiran pasien ketempat perawatan gigi tidak lebih baik
dibandingkan mereka yang tanpa penyakit ginjal.3
Dokter gigi harus membentuk komunikasi dengan dokter penyakit dalam,
terutama konsultasi dengan nefrologis untuk memberikan informasi mengenai
status penyakit, jenis pengobatan, dan waktu yang tepat untuk perawatan gigi,
ataupun mengenai komplikasi kesehatan apabila terjadi. Setiap adanya
perubahan pengobatan yang digunakan oleh pasien atau aspek lain dari
pengobatan mereka harus dikonsultasikan terlebih dahulu dengan nefrologis.3
Kondisi hematologik yang paling membutuhkan perhatian adalah
perdarahan yang berlebihan dan anemia pada penyakit ginjal kronis sehingga
disarankan agar tes hematologi seperti darah rutin dan tes koagulasi dilakukan
sebelum perawatan invasif dilakukan. Infeksi rongga mulut harus dieliminasi
dan profilaksis antibiotik harus dipertimbangkan apabila risiko endokarditis
infektif (pada penderita yang menjalani hemodialisis) dan septimia
meningkat. Contohnya, pada saat pencabutan gigi, perawatan periodontal dan
bedah. Demi mengurangi risiko perdarahan, perawatan dapat dijadwalkan
pada hari setelah hemodialisis supaya heparin dalam darah berada pada
tingkat paling 8 minimal. Sebelum perawatan dimulai, tekanan darah
penderita harus diperhatikan dan disaran untuk mengurangi perasaan cemas
pada penderita dengan sedasi.3
Kebersihan mulut yang teliti dapat menurunkan plak yang berhubungan
dengan penyakit gusi, tetapi mungkin masih ada beberapa penyakit
pembesaran gusi yang diakibatkan oleh obat. Penatalaksanakan pembesaran
gusi akibat efek obat idealnya adalah dengan mengganti dengan obat lain,
tetapi ini tidak selamanya dapat dilakukan, satu penelitian melaporkan
penggunakan obat kumur antimikrobial seperti metronidazole untuk
mengurangi pembesaran gusi, tetapi metronidazole juga dapat meningkatkan
konsentrasi siklosporin dan berpotensial untuk nefrotoksik. Rekurensi sering
23
terjadi sehingga disarankan agar melakukan kontrol plak yang efektif dan
dapat dibantu dengan pemberian klorheksidin glukonat topikal atau triklosan.
24
BAB III
KESIMPULAN
1. Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan
umumnya berakhir dengan gagal ginjal.
2. Penyakit ginjal kronik dapat bermanifestasi ke sistemik salah satunya ke oral
berupa gejala serostomia, pembesaran ginggiva, inflamasi ginggiva, oral
malodor, hipoplasia email dan peningkatan karies sehingga perawatan gigi
harus disesuaikan dengan kondisi kesehatan umum penderita penyakit ginjal.
25
DAFTAR PUSTAKA
26