Vous êtes sur la page 1sur 6

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Penelitian ini melibatkan anak usia 6 bulan sampai 1 tahun yang

memiliki riwayat kelahiran di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang

pada bulan 1 Maret 2016- 31 Maret 2017 dan telah memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi. Penelitian dilaksanakan mulai pada tanggal 15 Januari

2017 sampai 20 Februari 2017.

4.1.1. Karakteristik Responden

Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian ini, seluruh

bayi dengan asfiksi ditemukan bahwa frekuensi paling banyak

asfiksi terjadi pada bayi laki-laki 31(75,6%) sedangkan pada bayi

perempuan sebesar 10(24,4%). Karakteristik responden berdasarkan

jenis kelamin disajikan pada tabel 4.1.

Tabel 4.1. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin.


Jenis Kelamin Jumlah Total
Laki-Laki 31 (75,6%)
41 (100%)
Perempuan 10 (24,4%)

4.1.2. Hubungan Asfiksia dengan Perkembangan

Perkembangan anak dinilai menggunakan Kuesioner Pra

Skrinning Perkembangan (KPSP) dengan menggunakan 4 aspek

penilaian yaitu gerak kasar, gerak halus, bicara dan bahasa serta

sosialisasi dan kemandirian dalam 10 pertanyaan. Total skor dalam


KPSP diklasifikasikan menjadi : skor 9-10 perkembangan anak

sesuai dengan tahap perkembangan, kurang dari 8 terjadi

penyimpangan perkembangan.

Hasil uji bivariat antar variabel dengan menggunakan uji Chi-

Square menunjukan nilai p= 0,000 hal ini memberikan makna bahwa

terdapat hubungan antara derajat asfiksi dengan gangguan

perkembangan bayi (p<0,05).

Tabel 4.2. Tabulasi silang derajat asfiksia dengan perkembangan


Gangguan Perkembangan
Derajat Asfiksi Total
Ya Tidak
Ringan 2 (14,3%) 12 (85,7%) 14 (100%)
Sedang 5 (55,6%) 4 (44,4%) 9 (100%)
Berat 17 (94,4%) 1 (5,6%) 18 (100%)

Hasil tabulasi silang antara derajat asfiksi dengan gangguan

perkembangan menunjukan bahwa dari 18 anak yang menderita

asfiksi berat 17(94,4%) anak mengalami gangguan perkembangan

dan 3 (5,6%) anak tidak mengalami gangguan perkembangan,

sedangkan dari 9 anak dengan asfiksi derajat sedang ditemukan 5

(55,6%) anak mengalami gangguan perkembangan dan 4 (44,4%)

anak tidak mengalami ganggun perkembangan, pada asfiksi derajat

ringan yaitu 14 anak ditemukan bahwa 2 (14,3%) anak menglami

gangguan perkembangn sedangkan 12 (85,7%) anak tidak

mengalami gangguan perkembangan.


4.1.3. Jenis Kelamin dan Perkembangan

Tabel 4.3. Tabulasi silang jenis kelamin dengan perkembangan


Gangguan Perkembangan
Jenis Kelamin Total
Ya Tidak
Laki-Laki 17 (54,8%) 14 (45,2%) 31 (100,0%)
Perempuan 7 (70,0%) 3 (30,0%) 10 (100,0%)

Data diatas menunjukan bahwa dari 31 bayi laki-laki sebanyak

17(54,8%) mengalami gangguan perkembangan sedangkan

14(45,2%) tidak menglami gangguan perkembangan sedangkan dari

13 bayi perempuann 7(70,0%) mengalami gangguan perkembangan

sedangkan 3(30,0%) tidak mengalami gangguan perkembangan

4.1.4. Usia dan Perkembangan

Gangguan perkembangan terbanyak terjadi pada anak usia 6

bulan yaitu 8 (66,7%) dari total 12 anak usia 6 bulan, disusul

kemudian anak usia 12 bulan sebanyak 7 (63,6%) anak mengalami

gangguan perkembangan dari total 11 anak usia 12 bulan.

Berikutnya gangguan perkembangan terjadi pada usia 7 bulan 5

(62,5%) anak dari total 8 anak dan diikuti usia 9 bulan 4 (66,7%)

anak dari total 6 anak.

Tabel 4.4. Tabulasi silang usia dengan perkembangan


Gangguan Perkembangan
Usia (Bulan) Total
Ya Tidak
6 8 (66,7%) 4 (33,3%) 12 (100,0%)
7 5 (62,5%) 3 (37,5%) 8 (100,0%)
8 0 (00,0%) 2 (100,0%) 2 (100,0%)
9 4 (66,7%) 2 (33,3%) 6 (100,0%)
10 0 (00,0%) 2 (100,0%) 2 (100,0%)
12 7 (63,6%) 4 (36,4%) 11 (100,0%)
4.2. Pembahasan Penelitian

Pada hasil analisis data, didapatkan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara riwayat asfiksia dengan perkembangan anak usia 6 bulan

sampai 1 tahun.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Siti

Mulidah di Poli Anak RSMS Purwokerto yang menyatakan bahwa terdapat

hubungan signifikan antara kelahiran asfiksia dengan perkembangan balita

(Mulidah, 2006). Keadaan tersebut disebabkan oleh kegagalan bayi

melakukan proses adaptasi setelah lahir yang menyebabkan adanya

gangguan pertukaran gas antara fetal dan plasenta (Kosim, 1998). Tubuh

akan mengkompensasinya dengan cara melakukan metabolisme anaerob.

Dimana dalam kondisi tersebut didapatkan pH yang menurun, pCO2

meningkat dan pO2 yang menurun. Jika keadaan tersebut tidak segera

tertangani dengan baik, maka dalam tubuh bayi akan mengalami penurunan

curah jantung yang akan mengakibatkan hipotensi. Hal itu menyebabkan

terjadinya hipoksia dan iskemik pada bayi (Purwadi, 2007). Hipoksia dan

iskemia yang terjadi pada bayi asfiksia akan menimbulkan kerusakan

terhadap beberapa jaringan organ di dalam tubuh bayi (Pammi, 2000).

Organ yang paling banyak terpengaruh adalah otak dan ginjal (Kurnia,

2008). Pada penelitian Fadhli dinyatakan bahwa kerusakan otak pada bayi

asfiksia akan sangat berpengaruh pada kualitas hidupnya (Fadhli, 2010).

Otak yang telah mengalami kerusakan dapat ditunjukkan dengan adanya


gangguan perkembangan (Mulidah, 2006). Penelitian Sarosa juga

menunjukkan kerusakan yang terjadi pada sel otak dapat meningkatkan.

resiko terjadinya gangguan pendengaran sensorineural yang diduga

akan mempengaruhi perkembangannya (Sarosa, 2011). Iskemik yang terjadi

akibat gagalnya proses adaptasi akan memberikan dampak yang lebih hebat

dari pada hipoksia karena perfusi jaringan tidak bisa berlangsung dengan

baik. Glukosa tidak dapat terdistribusi dengan baik sebagai sumber energi

organ. Pada pembuluh darah kapiler akan terjadi sumbatan permanen akibat

iskemik apabila asfiksia terjadi selama lebih dari 5 menit. Pembuluh darah

kapiler tidak akan mendapat pasokan darah dan oksigen walaupun perfusi

sudah normal (Radityo, 2011). Aliran darah dan oksigen ke beberapa organ,

terutama pada otak juga ikut menurun (Purwadi, 2007). Akibatnya otak

akan mengalami kerusakan yang nantinya akan mempengaruhi

perkembangan (Mulidah, 2006). Pada asfiksia berat akan terjadi kerusakan

sel membran, terurama sel saraf pusat pada otak (Radityo, 2011). Pada

asfiksia berat juga akan terjadi peningkatan resistensi serebrovascular yang

akan mengakibatkan aliran darah ke otak sangat menurun (Setyarini, 2011).

Apabila asfiksia berat tidak dapat ditangani selama 8-15 menit atau lebih

setelah bayi lahir, maka akan terjadi kerusakan pada sel otak (Radityo,

2011). Kerusakan tersebut akan menimbulkan squele, yaitu kehidupan

dengan gejala sisa (Varney, 2007). Akibatnya bayi akan mengalami cedera

pada otak karena hipoksia dan iskemik (Purwadi, 2007). Keadaan hipoksia
dan iskemik tersebut dapat ditunjukkan dengan adanya gangguan

perkembangan (Mulidah, 2006). Hal tersebut juga dapat berpengaruh pada

kualitas hidupnya (Fadhli,2010).

Adanya perkembangan bayi yang menyimpang didapatkan paling

banyak pada bayi dengan riwayat asfiksia berat. Hal ini sesuai dengan

Mochtar yang menyatakan bahwa semakin berat derajat asfiksia yang

didapatkan, maka kondisi bayi akan semakin buruk (Mochtar, 2002). Faktor

lain seperti faktor herediter, faktor lingkungan dan faktor internal

kemungkinan dapat mempengaruhi dan menjadi faktor perancu yang tidak

dapat dikendalikan karena keterbatasan penelitian ini. Data rekam medik

yang kurang lengkap, responden telah meninggal dunia, dan kegagalan

peneliti saat menemukan tempat tinggal masing-masing responden

menyebabkan beberapa responden menjadi drop out. Kemampuan peneliti

dalam menilai perkembangan menggunakan KPSP masih bersifat subyektif

dikarenakan faktor keahlian. Setelah dilakukan kunjungan ulang pada 4

responden dengan riwayat asfiksia yang mengalami perkembangan

menyimpang, ternyata perkembangan bayi sudah sesuai dengan usianya.

Maka penilaian perkembangan dengan menggunakan KPSP seharusnya

dilakukan secara berulang agar dapat mengetahui perkembangan bayi

dengan baik. Beberapa hal di atas merupakan kelemahan dalam penelitian

ini.

Vous aimerez peut-être aussi