Vous êtes sur la page 1sur 5

NAMA : FATIMATUZ ZAHRO’

NIM : 16360026

ALAT BUKTI SAKSI DALAM HUKUM ACARA PERDATA

Hukum Acara Perdata dapat disebut juga dengan Hukum Perdata Formil, namun lebih
lazim dipergunakan istilah “Hukum Acara Perdata”. Hukum Acara Perdata merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hukum perdata disebabkan Hukum Acara Perdata
adalah ketentuan yangmengatur cara-cara berperkara di depan pengadilan.

Dalam berbagai literatur Hukum Acara Perdata, terdapat berbagai macam definisi
Hukum Acara Perdata ini dari para ahli (sarjana), yang satu sama lain merumuskan berbeda-
beda, namun pada prinsipnya mengandung tujuan yang sama. Wirdjono Prodjodikoro (1976 :
43) menyatakan bahwa Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang
memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan
bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan
berjalannya peraturan-peraturan Hukum Perdata. Sudikno Mertokusumo (1993 : 2),
menyatakan bahwa Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana
caranya menjamin ditaatinya Hukum Materiil dengan perantaraan hakim”.

Soepomo (1958 : 4) dalam bukunya “Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri”


meskipun tidak memberikan batasan, tetapi dengan menghubungkan tugas hakim,
menjelaskan. Dalam peradilan perdata tugas hakim ialah mempertahankan tata hukum
perdata, menetapkan apa yang ditetapkan oleh hukum dalam suatu perkara. Inti dari berbagai
definisi (rumusan) Hukum Acara Perdata diatas ini, agakanya tidak berbeda dengan apa yang
telah dirumuskan dalam Laporan Hasil Simposium Pembaharuan Hukum Acara Perdata
Nasional yang diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman tanggal 21 – 23 tahun
1984 di Yogyakarta, bahwa Hukum Acara Perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana
caranya untuk menjamin ditegakkannya atau dipertahankannya hukum perdata materiil.

Hukum perdata materiil yang ingin dipertahankan atau ditegakkan dengan Hukum
Acara Perdata tersebut meliputi peraturan hukum tertulis dalam bentuk perundang-undangan
(seperti BW, WVK, UUPA, Undang-Undang Perkawinan dan sebagainya) dan peraturan
hukum yang tidak tertulis berupa Hukum Adat yang hidup dalam masyarakat. Hukum perdata
ini harus ditaati oleh setiap orang agar tecipta ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat.

Apabila dalam pergaulan hukum di tengah-tengah masyarakat, ada yang melakukan


pelanggaran terhadap norma/kaidah Hukum Perdata tersebut, misalnya penjual tidak
menyerahkan barang yang dijualnya maka hal itu jelas menimbulkan kerugian terhadap pihak
lain. Untuk memulihkan hak perdatapihak lain yang telah dirugikan ini, maka Hukum Perdata
Materiil yang telah dilanggar itu harus dipertahankan atau ditegakkan, yaitu dengan cara
mempergunakan Hukum Acara Perdata. Jadi pihak lain yang hak perdatanya dirugikan
karena pelanggaran terhadap hukum perdata tersebut, tidak boleh memulihkan hak
perdatanya itu dengan cara main hakim sendiri, melainkan harus menurut ketantuan yang
termuat dalam Hukum Acara Perdata.

Di sisi lain dapat dikatakan, bahwa pelanggaran terhadap Hukum Perdata itu akan
menimbulkan perkara perdata, yakni perkara dalam ruang lingkup Hukum Perdata. Cara
menyelesaikan perkara perdata ini di dalam negara yang berdasar atas hukum, tidak boleh
dengan main hakim sendiri, tetapi harus dengan jalan yang diatur dalam Hukum Acara
Perdata. Oleh karena itu dapat juga dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan Hukum Acara
Perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menyelesaikan
perkara perdata melalui badan peradilan.

Seluk beluk bagaimana caranya menyelesaikan perkara perdata melalui badan


peradilan, semuanya diatur dalam Hukum Acara Perdata. Dengan adanya Hukum Acara
Perdata masyarakat merasa adanya kepastian hukum, bahwa setiap orang dapat
mempertahankan hak perdatanya dengan sebaik-baiknya, dan setiap orang yang melakukan
pelanggaran terhadap Hukum Perdata yang menyebabkan kerugian terhadap orang lain dapat
dituntut melalui pengadilan. Dengan Hukum Acara Perdata diharapkan tercipta ketertiban
dan kepastian hukum (perdata) dalam masyarakat.

Untuk dapat mencapai apa yang menjadi tujuan Hukum Acara Perdata sebagaimana
disebutkan diatas ini, maka pada umumnya peratutan-peraturan Hukum Acara Perdata
bersifat mengatur dan memaksa. karena dianggap menyelenggarakan kepentingan umum,
sehingga peraturan Hukum Acara Perdata yang bersifat mengatur dan memaksa ini tidak
dapat dikesampingkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan pihak-pihak yang
berkepentingan mau tidak mau harus tunduk dan mentaatinya. Meskipun demikian ada juga
bagian dari Hukum Acara Perdata yang bersifat pelengkap, karena dianggap mengatur
penyelenggaraan kepentingan khusus dari yang bersangkutan, sehingga peraturan Hukum
Acara Perdata yang bersifat pelengkap ini dapat dikesampingkan atau disampingi oleh pihak-
pihak yang berkepentingan, misalnya mengenai alat-alat bukti yang dipergunakan untuk
pembuktian suatu perkara, pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengadakan perjanjian
yang menetapkan bagi mereka hanya dapat mempergunakan satu alat bukti saja misalnya
tulisan, dan pembuktian dengan alat bukti lain yang diperkenankan. Perjanjian yang mengatur
tentang pembuktian yang berlaku bagi orang-orang yang mengadakan perjanjian tersebut
dinamakan “Perjanjian Pembuktian”, yang menurut hukum memang dibolehkan dalam batas-
batas tertentu.

Dalam proses peradilan perkara perdata dikenal adanya Testimonium de auditu yaitu
keterangan saksi yang diperolehnya dari pihak lain yang melihat dan mengetahui adanya
suatu peristiwa namun pihak yang mengetahui tersebut tidak bersaksi di pengadilan
melainkan menceritakan pengetahuannya kepada saksi. Misalnya, pihak ketiga mengetahui
secara langsung bahwa kedua belah pihak yang berperkara pernah mengadakan perjanjian
hutang piutang. Kemudian pihak ketiga ini menceritakan pengetahuannya kepada saksi. Di
persidangan saksi memberikan kesaksian bahwa ia mendengar dari pihak ketiga bahwa telah
terjadi perjanjian utang piutang antara kedua belah pihak.

Hal yang penting diketahui sehubungan dengan kesaksian Testamonium de Auditu


adalah kekuatan pembuktian keterangan tersebut. Untuk mengetahui kekuatan
pembuktiannya maka hal yang harus diperhatikan adalah Pasal 171 ayat (2) HIR/Pasal 308
ayat (2) Rbg/1907 BW sebagai sumber hukum perdata di Indonesia. Dalam ketentuan
tersebut disebutkan bahwa keterangan yang diberikan oleh saksi haruslah tentang peristiwa
atau sesuatu yang dilihat sendiri, didengar sendiri atau dialami sendiri. Lagi pula setiap
kesaksian harus disertai alasan-alasan apa sebabnya dan bagaimana sehingga peristiwa atau
sesuatu yang diterangkannya.

Pendapat atau dugaan yang diperoleh karena berpikir bukanlah merupakan kesaksian.
Demikian juga kesaksian yang didengar dari orang lain yang disebut testimonium de auditu
tersebut jika didasarkan pada Pasal 171 ayat (2) HIR/Pasal 308 ayat (2) Rbg/1907 BW bukan
merupakan alat bukti dan tidak perlu dipertimbangkan (Mahkamah Agung tgl 15-03-1972
No. 547 K/Sip/1971 tanggal 05-05-1971 No. 803 K/Sip/1970). tapi dalam putusan tanggal 11
November 1959 No. 308 K/Sip/1959 Mahkamah Agung menyatakan bahwa meskipun
testimonium de auditu tidak dapat digunakan sebagai alat bukti langsung namun
penggunaaannya tidak dilarang sebagai persangkaan.Pada umumnya, testimonium de auditu
tidak diperkenankan karena tidak berhubungan dengan peristiwa yang dialami sendiri.
Namun, hakim tetap dapat bebas untuk memberikan pendapat bahwa keterangan saksi yang
diperoleh dari pihak ketiga dapat dianggap sebagai persangkaan.

Sama seperti pembahasan Alat bukti yang lain, dalam pembahasan alat bukti Saksi
disini akan menititikberatkan pada 4 hal yaitu Pengertian, Dasar Hukum, Syarat Pengajuan,
dan Kekuatan Pembuktian.

Dalam sengketa acara perdata tidak selamanya pembuktian dapat dilakukan dengan alat
bukti tertulis, karena terkadang para pihak sama sekali tidak mempunyai alat bukti tertulis
atau alat bukti tertulis yang ada tidak/belum memenuhi batas minimal pembuktian. Dala
keadaan yang seperti ini para pihak biasanya menghadirkan seorang atau lebih saksi, dimana
saksi ini merupakan orang yang melihat, mendengar, mengalami, atau merasakan sendiri
suatu kejadian/peristiwa hukum yang terjadi.

Dalam KUH Perdata pembuktian menggunakan saksi diatur dalam Pasal 1895-1912,
dalam uraian mengenai saksi dalam Pasal tersebut, ada beberapa kriteria atau syarat agar
orang dapat dikatakan sebagai saksi. Kriteria/syarat tersebut dapat diklasifikasikan kedalam
dua macam syarat saksi, yaitu syarat formil dan syarat materiil.
Syarat Formil

1. Orang yang kan dimintai keteranganya sebagai saksi harus cakap (sudah dewasa
menurut UU, tidak gila, tidak dalam pengampuan, atau dengan kata lain dapat
mempertanggungjawabkan perbuatanya);
2. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah maupun semenda dengan salah satu
pihak, kecauali UU menentukan lain. termasuk juga hubungan perkawinan walaupun
sudah bercerai;
3. Tidak ada hubungan kerja dengan menerima upah, kecuali UU menentukan lain;
4. Mengkahadap ke persidangan;
5. Diperiksa satu per satu;
6. Mengucapkan Sumpah;

Syarat Materiil

1. Menerangkan apa yang telah dilihat, didengar dan dialami sendiri;


2. Diketahu sebab-sebab mengapa saksi mengetahui suatu peristwa yang akan diperiksa;
3. Bukan merupakan pendapat atau kesimpulan dari saksi sendiri;
4. Saling bersesuaian satu sama lain;
5. Tidak bertentangan dengan akal sehat.

apabila syarat-sayrat untuk menjadi seorang saksi telah terpenuhi, maka keterangan
saksi tersebut dapat dijadikan sabagai suatu alat bukti yang sempurna dan mengikat apabila
keterangan saksi tersebut berhubungan dengan alat bukti lainya. Dengan kata lain keterangan
dari seorang saksi saja tidak dapat dikatakan sebagai saksi (unus testis nullus testis) seperti
yang diterangkan pada Pasal 169 HIR, 306 RBG, dan 1905 KUH Perdata. Jadi keterangan
saksi yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang mempunyai nilai pembuktian yang
sempurna dan mengikat adalah keterangan saksi yang berasal dari dua tau lebih saksi yang
saling bersesuaian, atau keterangan saksi yang terdapat hubungan/bersesuaian dengan alat
bukti lainnya.

TESTIMONIUM DE AUDITU

Dalam pengertianya, saksi merupakan orang yang mendengar, melihat, dan mengalami
suatu peristiwa hukum yang merupakan syarat materiil saksi sebagai suatu alat bukti. Seperti
apa yang jituangkan dalam Pasal 171 HIR, Pasal 1907 KUH Perdata bahwa keterangan saksi
yang diberikan harus berdasarkan sumber pengetahuan yang jelas, dimana sumber
pengetahuan yang dibenarkan hukum mesti merupakan pengalaman, penglihatan, dan
pendengaran yang bersifat langsung dari kejadian atau peristiwa yang terjadi yang di
sengketakan para pihak di pengadilan. Namun, dalam praktek ang senyatanya tidak jarang
seorang saksi yang bersaksi atas sumber atau cerita dari keterangan yang disampaikan orang
lain. keterangan yang seperti ini tentu bertentangan atau tidak sejalan dengan apa yang telah
diatur dalam PAsal 171 HIR dan 1907 KUH Perdata. Sehingga, keterangan saksi yang
bersumber dari keterangan orang lain dikatakan keterangan yang hanya berkualitas
sebagai testimonium de auditu, yaitu keterangan seorang saksi yang hanya bersumber atau
berdasar pada keterangan yang didapatkan dari orang lain tanpa mendengar, melihat, dan
mengalami peristiwa hukumnya.

Keterangan saksi de auditu pada hakekatnya tidak dapat dikatakan sebagai alat bukti
karena syarat materiil sebagai saksi tidak terpenuhi sehingga tidak mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna dan mengikat, namun dalam prakteknya saksi de auditu juga
dapat di pertimbangkan keteranganya atau dapat diakui secara eksepsional, seperti contoh
dalam Putusan MA No. 239 K/Sip/1973. Dalam kasus tersebut, baik PN, PT, dan MA
membenarkan kesaksian de auditu sebagai suatu alat bukti dengan pertimbangan sebagai
berikut:

 Bahwa keterangan saksi-saksi diatas pada umumnya adalah menurut pesan,


tetapi haruslah pula dipertimbangkan bahwa ahampir semua kejadian atau pebuatan
atau peistiwa hukum yang terjadi dahulu tidak mempunyai surat, tetapi adalah
berdasarkan pesan turun-temurun, sedangkan saksi-saksi yang langsung menghadapi
perbuatan hukum itu dulunya tidak ada lagi yang diharapkan hidup sekarang,
sehingga dalam hal demikian pesan turun temurun itulah yang dapat diharapkan
sebagai keterangan dan menurut pengetahuan Hakim Majelis sendiri psan-pesan
seperti ini oleh masyarakat Batak pada umumnya daianggap berlaku dan benar;
o dalam pada itu harus pula diperhatikan tentang dari siapa pesan itu diterima
dan orang yang memberi keterangan bahwa dialah yang menerima pesan
tersebut;
o oleh karena itu, dari sudut inilah dinilai keterangan saksi-saksi tersebut.

Dalam putusan diatas, pengecualian terhadap saksi de auditu dilakukan karena saksi
yang diharapkan dapat menjadi sumber terpercaya karena mengalami sendiri peristiwanya,
sudah tidak ada lagi atau meninggal dunia padahal peristiwa hukum tersebut tidak di
abadikan dalam bentuk tulisan dalam bentuk surat atau semacamnya, disisi lain saksi yang
memberikan keterangan mendapat pesan dari pelaku yang melakukan peristiwa hukumnya
secara langsung sehingga dalam putusan ini, MA membenarkan keterangan dari saksi de
auditu dengan syarat saksi de auditu tersebut harus terdiri dari beberapa orang yang
keteranganya saling berhubungan satu sama lainya.

Saksi dalam Hukum Acara Perdata

Vous aimerez peut-être aussi