Vous êtes sur la page 1sur 11

3.

LAHAN SUB-OPTIMAL DI INDONESIA

Lahan marginal sub-optimal adalah lahan yang mempunyai


potensi rendah sampai sangat rendah untuk
dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, namun dengan
penerapan suatu teknologi dan sistem pengelolaan yang
tepat, lahan tersebut dapat menjadi lebih produktif dan
berkelanjutan. Lahan sub- optimal di Indonesia terdiri atas
lahan pasang surut, lahan salin, gambut, dan lahan-lahan yang
berada di dekat area pertambangan (Yuniati, 2004).
Lahan pertanian di Indonesia luasnya mencapai 188 juta ha,
terdiri atas lahan kering 148 juta ha dan lahan basah 40 juta ha.
Sebagian besar (sekitar 103 juta ha) lahan kering merupakan
lahan kering masam dengan pH < 5, sedangkan lahan kering
tidak masam hanya 45 juta ha. Gambar 1 memperlihatkan
diagram pembagian lahan di Indonesia berdasarkan
permasalahannya.

Sumber daya lahan (188)

Lahan kering (148) Lahan basah (40)

Lahan kering Lahan kering tidak Sawah Lahan rawa


masam (103) masam (45) permanen (1) (39)

Gambut (< 1) Pasang surut (23) Lebak (15)

Angka di dalam tanda kurung menunjukkan luas dalam juta ha


Sumber: Mulyani et al. (2004); Widjaja-Adhi et al. (2000); Subagyo dan
Widjaja-Adhi (1998)
Gambar 1. Luas masing-masing lahan pertanian di Indonesi
Lahan basah terdiri atas sawah permanen dan rawa. Luas
sawah permanen hanya sekitar 1 juta ha, sementara luas lahan
rawa 39 juta ha. Pada umumnya lahan rawa merupakan lahan
masam, yang terdiri atas lahan gambut 5 – 6 juta ha, lahan
pasang surut 23 juta ha dan lebak 13 juta ha. Lahan pasang
surut dan lebak biasanya merupakan lahan salin. Dengan
demikian, sebagian besar lahan di Indonesia merupakan lahan-
lahan bermasalah atau lahan sub-optimal.
Walaupun lahan sub-optimal di Indonesia sangat luas,
pemanfaatannya untuk pertanian belum optimal. Ketersediaan
inovasi teknologi untuk pengembangan lahan sub-optimal juga
masih terbatas. Pemanfaatan lahan sub-optimal memerlukan
upaya dan teknologi spesifik lokasi agar lahan dapat
berproduksi secara optimal dan berkelanjutan.

3.1. Lahan kering

Lahan kering di Indonesia merupakan sumberdaya yang sangat


penting dan strategis karena sebagian besar wilayah Indonesia
terdiri atas lahan kering. Namun, potensi yang besar itu kurang
mendapat perhatian karena perhatian pemerintah dan
masyarakat pada umumnya tertuju kepada lahan sawah, baik
dalam prioritas pembangunan (pembuatan waduk dan saluran
irigasi) maupun penyediaan prasarana dan sarana pertanian,
seperti sarana transportasi, pupuk, dan pengaturan harga
gabah. Akibat kurangnya perhatian terhadap lahan kering,
maka degradasi lahan dalam berbagai bentuk terus terjadi
seperti erosi dan penurunan kesuburan tanah (Abdurachman,
2005).
Lahan kering mempunyai potensi besar untuk pengembangan
pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura, maupun
perkebunan. Mengingat potensinya yang besar, maka
pengembangan lahan kering perlu didorong dan
ditingkatkan. Mengembangkan pertanian lahan kering
merupakan pilihan
strategis dalam menghadapi tantangan peningkatan
produksi pertanian untuk mendukung ketahanan pangan
nasional.
Lahan kering dapat dikembangkan menjadi lahan pertanian
tanaman pangan, melalui peningkatan produktivitas dan indeks
pertanaman pada areal yang sudah diusahakan. Kendala fisik
lahan kering yang umum dijumpai adalah lereng curam,
erosi/longsor, batuan di permukaan, singkapan batuan,
penampang dangkal, dan ketersediaan air. Pada lahan kering
beriklim kering, kendala yang menonjol adalah ketersediaan
air yang terbatas, karena curah hujannya yang rendah dan
musim kemarau yang panjang, yang mengakibatkan
penguapan yang lebih besar daripada curah hujan. Kendala
lain adalah tanah mudah erosi dan pada musim hujan. Apabila
air mencukupi serta pengelolaan tanah dan tanaman cukup
baik, maka produktivitas lahan ini termasuk tinggi.
Wilayah lahan kering iklim kering juga masih tertinggal, baik
dalam hal pertumbuhan ekonomi, prasarana maupun
kesejahteraan petaninya. Menurut Rasahan dan
Gunawan (1993), kemiskinan di Indonesia sebagian besar
terdapat di daerah lahan kering, dan lahan kritis. Demikian
juga hasil penelitian Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian
menunjukkan bahwa sebaran lokasi kantong-kantong
kemiskinan berkorelasi positif dengan wilayah lahan kering
(PSE, 1993).

Definisi
Di dalam membicarakan lahan kering, ada beberapa istilah
yang perlu dipahami. Dengan demikian, definisi lahan kering
bisa bermacam-macam, bergantung pada sudut pandangnya.
Beberapa definisi lahan kering yang umum dijadikan acuan di
Indonesia adalah:
a. Hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau tidak
digenangi air pada sebagian besar waktu dalam setahun atau
sepanjang waktu (Hidayat dan Mulyani, 2005)
b. Lahan yang sumber pengairannya semata-mata berasal dari
air hujan. Lahan ini bisa berupa sawah tadah hujan,
pekarangan, hutan, kebun, dan tegal (Semaoen et al., 1991)
c. Lahan yang hampir sepanjang tahun tidak tergenang secara
permanen (Muljadi, 1977)
d. Lahan yang dalam keadaan alamiah lapisan atas dan bawah
tubuh tanah (top soil dan sub-soil) tidak jenuh air dan tidak
tergenang sepanjang tahun, serta kelembapan tanah sepanjang
tahun atau hampir sepanjang tahun berada di bawah kapasitas
lapang (Satari et al., 1977)
e. Lahan yang pemenuhan kebutuhan airnya untuk tanaman
bergantung sepenuhnya pada air hujan dan tidak pernah
tergenang sepanjang tahun (Guritno et al., 1997)

Walaupun lahan kering didefinisikan bermacam-macam,


secara umum oleh Badan Pusat Statistik (BPS, 2003)
dikelompokkan menjadi pekarangan,
tegal/kebun/ladang/huma, padang rumput, dan lahan
perkebunan.

Penyebaran

Lahan kering di Indonesia tersebar di semua pulau besar.


Kalimantan merupakan pulau dengan lahan kering terluas,
yaitu
42,5 juta ha, diikuti oleh Papua dan Sumatera dengan luas
masing-masing sekitar 33 juta ha (Hidayat dan Mulyani,
2005). Berdasarkan ketinggian tempat, lahan kering bisa
digolongkan menjadi lahan kering dataran rendah, yaitu lahan
yang berada pada elevasi sampai 700 m dpl, dan lahan kering
dataran tinggi dengan batas ketinggian di atas 700 m dpl.
Sebagian besar lahan kering dataran rendah mempunyai
bentuk wilayah (relief) datar, berombak, bergelombang dan
berbukit. Di Indonesia lahan kering dataran rendah pada
umumnya terdapat di Kalimantan dan Sumatera (Hidayat dan
Mulyani, 2005)
Selain berdasarkan ketinggian tempat, lahan kering juga
dibedakan berdasarkan iklim, yaitu iklim basah dan iklim
kering. Iklim basah pada umumnya mempunyai curah hujan
yang tinggi (> 1.500 mm/tahun) dengan masa hujan yang
relatif panjang. Sementara itu, iklim kering mempunyai curah
hujan rendah (<
1.500 mm/tahun) dengan masa curah hujan yang pendek yaitu
3
– 5 bulan. Data dari Puslittanak (2000) menunjukkan bahwa
lebih dari 75% luas lahan kering di Indonesia berada di
wilayah iklim basah, sedangkan yang berada di wilayah
iklim kering hanya 25%.
Lahan kering juga dibedakan berdasarkan kemasaman tanah,
yaitu lahan kering di tanah masam dan di tanah tidak masam.
Luas lahan kering di tanah masam sekitar 103 juta ha,
sedangkan yang di tanah tidak masam sekitar 45 juta ha.
Dengan demikian, sebagian besar lahan kering di Indonesia
berada di wilayah dataran rendah beriklim basah dengan sifat
tanah masam.
Lahan kering masam adalah lahan yang mempunyai sifat-sifat
antara lain pH rendah, kapasitas tukar kation (KTK),
kejenuhan basa (KB) dan kandungan C-organik rendah,
kandungan AL (kejenuhan Al) tinggi, fiksasi P tinggi,
kandungan besi dan mangan mendekati batas meracuni
tanaman, peka erosi, dan miskin unsur biotik (Adiningsih
dan Sudjadi, 1993; Soepardi,
2001).
Potensi tanah sulfat masam di Indonesia mencapai 6,6 juta ha
lebih. Namun yang telah dimanfaatkan baru 612.000 ha lebih
dan sebagian besar pada tanah sulfat masam. Tanah sulfat
masam akan berdayaguna apabila dikelola dengan tepat yang
meliputi pengeringan, yang perendaman, dan pembilasan
yang dilanjutkan dengan remediasi dengan cara pengapuran
yang dilakukan berdasarkan karakterisitik spesifik tanahnya.
Variasi iklim dan curah hujan yang relatif tinggi di sebagian
besar wilayah Indonesia mengakibatkan tingkat pencucian
basa di dalam tanah cukup intensif, sehingga kandungan basa
rendah

dan tanah menjadi masam (Subagyo et al., 2000). Hal ini yang
menyebabkan sebagian besar tanah di lahan kering bereaksi
masam (pH 4,6 – 5,5) dan miskin unsur hara, yang umumnya
terbentuk dari tanah mineral.
Mulyani et al. (2004) telah mengidentifikasi lahan kering
masam berdasarkan data sumber daya lahan eksplorasi skala
1 : 1.000.000. Dari total lahan kering sekitar 148 juta ha dapat
dikelompokkan menjadi lahan kering masam 102,8 juta ha dan
lahan kering tidak masam 45,2 juta ha.
Ciri utama lahan masam adalah tingkat produktivitas lahannya
yang rendah khususnya untuk tanaman pangan seperti padi,
jagung, dan kedelai. Untuk meningkatkan produktivitasnya
diperlukan pemupukan berimbang (pupuk organik dan
anorganik), dan untuk meningkatkan pH tanah diperlukan
pengapuran.

Vous aimerez peut-être aussi