Vous êtes sur la page 1sur 42

Akar-Akar Persamaan

2
2.1. Motivasi
Tidak linear
Dalam aplikasi sains dan rekayasa, metoda pencarian akar dari persamaan tidak linear
sangat dibutuhkan. Banyak sekali bidang-bidang dalam rekayasa dan sains yang
diperhadapkan kepada problema pencarian akar dari persamaan tidak linear. Desain
rangkaian listrik listrik yang melibatkan tahanan, induktor dan kapasitor, analisis catenary
cable yang berujung pada perhitungan tangential tension, dan disain sistem suspensi mobil
menghasilkan persamaan tidak linear yang harus dicari berapakah akar-akarnya. Demikian
juga dengan perhitungan volume molar dan faktor kompresibilitas gas nyata untuk tekanan
dan temperatur tertentu, perhitungan temperatur optimum dari suatu reaksi kimia yang
berada dalam kesetimbangan (dimana konstanta kesetimbangan dipengaruhi oleh
temperatur). Perhitungan faktor gesekan bagi aliran dalam pipa pada kondisi turbulen dan
analisis break-even dari proyek-proyek besar maupun kecil akan berujung pada persamaan
tidak linear yang harus dicari akar-akarnya.

2.1.1. Rangkaian Listrik RLC


Rangkaian RLC merupakan rangkaian listrik yang naturnya adalah transient. Dikatakan
demikian karena untuk rangkaian ini, jika diberikan gangguan yang tiba-tiba akan
memberikan respons transient. Sebagai ontoh, perhatikan rangkaian RLC sederhana berikut
yang terdiri atas Batere, resistor, induktor dan kapasitor serta switch seperti yang diberikan
dalam Gambar 1 berikut ini.

Switch i

- -
Batere V0 C Kapasitor Induktor L
+ +

Gambar 2.1. Rangkaian RLC sederhana


Untuk rangkaian ini berlaku:
Arus listrik yang melaui tahanan R menyebabkan penurunan tegangan sepanjang tahanan
sebesar:
VR = iR (2.1)
Induktor juga menghambat arus listrik yang melewatinya dan ini menyebabkan terjadi
penurunan tegangan sebesar
𝑑𝑖
𝑉𝐿 = 𝐿 (2.2)
𝑑𝑡
Di mana L adalah induktansi. Jika L dan i masing-masing mempunyai satuan henry dan
ampere, maka satuan VL adalah volt.
Penurunan tegangan sepanjang kapasitor (VC) bergantung kepada muatan listrik (q) pada
kapasitor, sehingga
𝑞
𝑉𝐶 = (2.3)
𝐶
di mana C adalah kapasitansi. Bila muatan dinyatakan dalam coulomb, maka satuan C
adalah farad.
Hukum Kirchhoff kedua menyatakan bahwa jumlah penurunan tekanan sepanjang suatu
sirkit tertutup adalah nol, dengan demikian untuk Gambar 2.1 berlaku
𝑑𝑖 𝑞
𝐿 + 𝑅𝑖 + = 0 (2.4)
𝑑𝑡 𝐶
Tetapi karena
𝑑𝑞
𝑖=
𝑑𝑡
Maka dengan memasukkan kenyataan terakhir ini, kita dapat menuliskan bentuk akhir
persamaan diferensial untuk rangkaian dalam Gambar 2.1 sebagai berikut
𝑑2 𝑞 𝑑𝑞 𝑞
𝐿 +𝑅 + =0 (2.5)
𝑑𝑡 2 𝑑𝑡 𝐶
Persamaan terakhir merupakan persamaan differensial orde kedua dan solusinya adalah:
1 𝑅 2
𝑞(𝑡) = 𝑞0 𝑒 −𝑅𝑡/2𝐿 cos (√ − ( ) 𝑡) (2.6)
𝐿𝐶 2𝐿

Di mana pada t = 0, q = q0 = V0C, dan V0 adalah tegangan batere pengisi. Persamaan ini
menggambarkan perubahan muatan listrik yang terjadi dalam kapasitor. Problema disain
tipikal untuk rangkaian seperti ini adalah bagai mana menentukan resistor yang tepat agar
dapat mendisipasi energi listrik pada kecepatan tertentu untuk L dan C yang diketahui.
Dengan demikian persamaan terakhir dapat ditulis dalam bentuk
1 𝑅 2 𝑞
𝑓(𝑅) = 𝑒 −𝑅𝑡/2𝐿 cos (√ − ( ) 𝑡) − =0 (2.7)
𝐿𝐶 2𝐿 𝑞0

Sebagai contoh untuk L = 10 Henry, C = 10-4 Farad, q/q0 = 0.0075 dan t = 0.02 detik, 10
ohm maka persamaan di atas dapat ditulis kembali sebagai
𝑓(𝑅) = 𝑒 −0.0005𝑅 cos(√1000 − 0.00005𝑅2 ) − 0.0075 = 0 (2.8)
2.1.2. Problema Catenary
Suatu kabel (kawat baja) yang ujung-ujungnya diikatkan pada dua titik yang tidak dalam
garis vertikal yang sama seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 2.2. Berat kabel adalah
W N/m diagram dengan panjang l meter.
Gambar 2.2-(a) menunjukkan bahwa tidak ada beban yang diberikan kepada penggalan
kawat kecuali beratnya sendiri. Dengan demikian berat dari kawat tersebut bekerja sebagai
beban yang uniform persatuan panjang sepanjang kabel W (N/m). Gambar 2.2-(b) ini
merupakan free-body diagram dari bagian AB dari kawat yang ditunjukkan dalam Gambar
(a), ada tiga gaya yang bekerja dalam bagian AB ini, regangan yang terjadi di A, TA,
regangan tangensial yang bekerja di B, TB, dan berat dari kabel, yaitu Wl. Jika sistem ini
dalam keadaan diam, gaya dalam arah horisontal berada setimbang, yaitu:
𝑇𝐴 = 𝑇𝐵 cos 𝜃 dan 𝑊𝑙 = 𝑇𝐵 sin 𝜃
Dengan membagikan persamaan kedua dengan persamaan pertama, kita kan memperoleh
𝑇𝐵 sin 𝜃 𝑊𝑙
= tan 𝜃 = (2.9)
𝑇𝐵 cos 𝜃 𝑇𝐴

TB

A
TA Wl

y0

(a) (b)
Gambar 2.2 . Catenary
Tetapi tan θ = dy/dx, maka
𝑑𝑦 𝑊𝑙
= (2.10)
𝑑𝑥 𝑇𝐴

Dari kalkulus, kita dapat menghitung l dengan persamaan


𝑑𝑦 2
𝑙 = ∫ √1 + ( ) 𝑑𝑥 (2.11)
𝑑𝑥

Dua persamaan terakhir dapat didiferensiasikan dan kemudian digabungkan untuk


mendapatkan
𝑑2𝑦 𝑊 2
= √1 + (𝑑𝑦) (2.12)
𝑑𝑥 2 𝑇𝐴 𝑑𝑥

Persamaan terakhir ini adalah model matematika dari bagian AB dari kawat yang
menggantung seperti yang ditunjukkan dalam Gambar. Karena persamaan ini merupakan
persamaan differensial orde kedua, itu berarti bahwa diperlukan dua keadaan awal, untuk
kasus ini kondisi pertama adalah
𝑑𝑦
= 0, ketika 𝑥 = 0 (2.13)
𝑑𝑥
Keadaan kedua menyatakan tinggi y pada x = 0, yaitu ketinggian pada keadaan horisontal
adalah y0, dengan demikian, kondisi kedua adalah
y = y0 pada x = 0 (2.14)
Dengan dua kondisi awal ini, maka persamaan differensial akan mempunyai solusi:
𝑇𝐴 𝑊 𝑇𝐴
𝑦= cosh ( 𝑥) + 𝑦0 − (2.15)
𝑊 𝑇𝐴 𝑊
Atau kalau ditulis lebih rinci berdasarkan definisi dari cosh x,
𝑊 𝑊
𝑇𝐴 ( 𝑥) −( 𝑥) 𝑇𝐴
𝑦= (𝑒 𝑇𝐴 +𝑒 𝑇𝐴 ) +𝑦0 − (2.16)
2𝑊 𝑊
Model matematika ini menyediakan cara yang sederhana untuk meramalkan harga dari
variabel dependent, tinggi kabel y, untuk variabel bebas x tertentu dan parameter-parameter
TA, W dan y0. Sekarang, kalau kita mengambil W = 15, TA = 2300 dan y = 1.5, maka kita
dapat menghitung ketinggian kabel di Gambar (2.2).
Apabila parameter TA yang akan dihitung, maka kita dapat menulis kembali persamaan
terakhir dalam bentuk
𝑊 𝑊
𝑇𝐴 ( 𝑥) −( 𝑥) 𝑇𝐴
𝑓(𝑇𝐴 ) = (𝑒 𝑇𝐴 +𝑒 𝑇𝐴 ) +𝑦0 − 𝑦 − =0 (2.17)
2𝑊 𝑊

Untuk W, x, y0 dan y yang konstan dan tertentuh harganya. Sebagai contoh untuk W = 15,
x = 75, y0 = 5 dan y = 15, maka kita dapat menyelesaikan persaman (2.17) untuk parameter-
parameter yang diketahui. Persamaan ini merupakan persamaan tidak linear, maka metoda
komputasi yang dikembangkan di Bab ini dapat digunakan untuk menemukan persamaan
ini.

2.1.3. Sistem Suspensi Kendaraan bermotor


Contoh berikut adalah perancangan sistem suspensi kendaraan bermotor. Sistem suspensi
untuk menjamin kenyamanan pengendara mobil terdiri atas dua komponen utama, yaitu
per dan peredam kejutan (dash spot) Untuk itu perhatikan Gambar 2.3

Gambar 2.3. Sistem Suspensi pada kendaraan bermotor


Seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 2.3, mobil dengan massa M ditopang oleh empat
buah pegas dan empat buah peredam kejut. Pada setiap saat, gaya netto yang bekerja pada
sistem suspensi kendaraan bermotor ini adalah gaya yang dialami pegas dan peredam kejut.
Gaya yang dialami oleh pegas adalah Fs secara sederhana dinyatakan oleh persamaan
berikut:
Fs = - kx (2.18)
Sedangkan gaya yang dialami oleh peredam kejut adalah Fd dinyatakan oleh persamaan
berikut:
𝑑𝑥
𝐹𝑑 = −𝑐 (2.19)
𝑑𝑡
Tanda minus bahwa gaya berat mobil dilawan oleh gaya yang dihasilkan oleh pegas dan
peredam kejut. Dengan demikian persamaan akhir yang diperoleh
𝑑 2 𝑥(𝑡) 𝑑𝑥(𝑡)
𝑀 = −𝑘𝑥(𝑡) − 𝑐 (2.20)
𝑑𝑡 2 𝑑𝑡
Jika persamaan (2.20) disusun kembali untuk mendapatkan persamaan differensial orde
kedua yang homogen, maka akan diperoleh:
𝑑 2 𝑥(𝑡) 𝑐 𝑑𝑥(𝑡) 𝑘
𝑑𝑡 2
+ 𝑀 𝑑𝑡 + 𝑀 𝑥(𝑡) = 0 (2.21)
Persamaan differensial orde kedua yang dinyatakan oleh persamaan (2.21) dapat
diselesaikan dengan menggunakan metoda-metoda yang telah dipelajari. Katakan misalnya
mobil melindas sebuat batu kecil di jalanan pada waktu t = 0 sehingga sistem bergeser dari
posisi keseimbangan sejauh x0 dan dx/dt = 0, maka solusi persamaa differnsial (2.21)
diberikan oleh
𝑝
𝑥(𝑡) = 𝑒 −𝑝𝑡 [𝑥0 cos 𝑞𝑡 + 𝑥0 sin 𝑞𝑡] (2.22)
𝑞
Dimana
𝑐
𝑝= (2.23)
2𝑀
Dan
𝑘 𝑐2
𝑞= √ − (4𝑀2 )
(2.24)
𝑀

Syarat yang diperlukan agar q tidak nol adalah


𝑘 𝑐2
> (4𝑀2 )
(2.26)
𝑀

Persamaan (2.22) akan memberikan jawaban banyak karena tabiat dari persamaan ini
adalah osilasi sehingga titik potong fungsi dengan sumbu waktu banyak dan karena itu
akan lebih baik jika digunakan metoda membagi dua interval.
2.1.4. Perhitungan Faktor Gesekan pada Sistem Perpipaan
Untuk aliran fluida dalam pipa, persamaan yang menyatakan faktor f untuk aliran
turbulen, dinyatakan oleh persamaan Colebrook, yang diberikan sebagai fungsi kekasaran
pipa bagian dalam, ε, diameter, D, bilangan Reynold, NRe dan f sendiri dan persamaan itu
adalah:
1 ∈/𝐷 2.51
√𝑓 = −0.86 ( 3.7 + 𝑁 ) (2.27)
𝑅𝑒 √𝑓
Untuk menghitung f persamaan di atas harus disusun kembali hingga membentuk
persamaan tidak linear yang akarnya adalah f. Hal ini dapat dilakukan dengan
menggabungkan ruas kanan dengan ruas kiri, sehingga diperoleh
1 ∈/𝐷 2.51
𝑔(𝑓) = √ + 0.86 ( + )=0 (2.28)
𝑓 3.7 𝑁𝑅𝑒 √𝑓
Dengan menghitung akar dari g(f) = 0 kita dapat menemukan nilai f untuk ε, diameter, D,
bilangan Reynold, NRe yang tertentu. Karena g(f) adalah persamaan tidak linear, maka
dibutuhkan metoda yang memungkinkan kita untuk menghitungnya dengan bantuan
komputer.
2.1.5. Perhitungan Volume Molar Gas Nyata
Contoh lain yang sederhana dalam industri proses kimia, untuk mencari volume molar dari
gas tidak ideal digunakan persamaan-persamaan gas real seperti van der Waals, Peng
Robinson, Redlich-Kwong, Soave-Redlich-Kwong, Patel-Teja, Heyen dan lain-lain.
Persamaan-persamaan keadaan gas seperti ini adalah persamaan-persamaan kubik dengan
koefisien yang bukan bilangan bulat yang sederhana yang tidak mungkin dihitung secara
manual. Perhatikanlah persamaan keadaan gas nyata yang paling sederhana, yaitu
persamaan keadaan van der Waals berikut ini.
𝑎
(𝑃 + 2 ) (𝑣 − 𝑏) = 𝑅𝑇 (2.29)
𝑣
Karena yang akan dihitung adalh volume molar gas nyata, v, maka persamaan di atas perlu
disusun kembali menjadi fungsi v, karena P dan T konstan sehingga diperoleh:
f(v) = Pv3 – [Pb - RT]v2 + av – ab = 0 (2.30)
dengan
27𝑅 2 𝑇𝑐2
𝑎= (2.31)
64𝑃𝑐
dan
𝑅𝑇𝑐
𝑏= (2.32)
8𝑃𝑐

Dengan demikian fungsi yang dinyatakan oleh persamaan terakhir ini dapat dihitung
akarnya, yaitu volume molar,v dengan metoda yang akan dipelajari dalam Bab ini.
Perhatikan juga pendekatan yang lebih modern terhadap gas real seperti yang ditawarkan
oleh Redlich dan Kwong berikut ini.
𝑅𝑇 𝑎
𝑃= − 0.5(𝑣+𝑏) (2.33)
𝑉−𝑏 𝑇
dengan
0.42748𝑅 2𝑇𝑐2.5
𝑎= (2.34)
𝑃𝑐
dan
0.08664𝑅𝑇𝑐
𝑏= (2.35)
𝑃𝑐
Dengan menyusun kembali persamaan (2.33) untuk mendapatkan f(v) = 0, seperti halnya
yang kita lakukan dengan (2.29) untuk mendapatkan (2.30) kita dapat menghitung volume
molar dari gas real.
Untuk gas real yang mengikuti persamaan Redlich-Kwong ada alternatif lain untuk
merepresentasikannya, yaitu dengan faktor kompresibilitas Z. Dengan memperkalikan
persamaan (2.33) dengan v/RT dan mengambil
𝑏 𝑏 𝑏𝑃
ℎ= = = (2.36)
𝑣 𝑍𝑅𝑇/𝑃 𝑍𝑅𝑇
maka kita akan memperoleh
1 4.9340 ℎ
𝑍= − ( ) (2.37)
1−ℎ 𝑇𝑐1.5 1+ℎ

Atau secara spesifik kita akan memperoleh


1 4.9340 ℎ 𝑅𝑇 1
[ − ( )] − =0 (2.38)
1−ℎ 𝑇𝑐1.5 1+ℎ 𝑏𝑃 ℎ

Ini merupakan fungsi f(h) yang tidak linear dan dengan demikian kita dapat mencari nilai h
dengan menggunakan metoda yang dikembangkan dalam Bab 2 ini.

2.1.6. Menghitung Konversi di Reaktor Kimia pada keadaaan Kestimbangan


Sekarang, kita akan melihat contoh lain, yaitu mencari konversi reaksi kimia yang berada
dalam keadaan kesetimbangan di dalam reaktor. Kita akan melihat secara khusus untuk
reaksi ekimolar campuran karbon monooksida dan oksigen yang mencapai kesetimbangan
pada temperatur 3000K dan 5 Atmosfir. Reaksi teoritisnya adalah:
CO + ½ O2 CO2 (2.39)
Reaksi kimia aktua yang terjadi adalah
CO + O2 x CO + ½(1 + x) O2 + (1 - x) CO2 (2.40)
Dimana x adalah fraksi CO yang tersisa dalam reaksi kesetimmbangan dengan konstanta
kesetimbangan yang mengikuti persamaan berikut
(1+𝑥)(3+𝑥)1/2
𝐾𝑃 = (2.41)
𝑥(𝑥+1)1/2 𝑃1/2

Dimana KP=3.06 konstanta kesetimbangan untuk reaksi (2.39) pada 3000K, dan P = 5 Atm.
Dengan memasukkan nilai KP ke dalam persamaan (2.41), maka akan diperoleh

3.06𝑥(𝑥 + 1)1/2 2,236068 = (1 + 𝑥)(3 + 𝑥)1/2


atau
6.8423𝑥(𝑥 + 1)1/2 = (1 + 𝑥)(3 + 𝑥)1/2
atau
𝑓(𝑥) = 6.8423𝑥(𝑥 + 1)1/2 − (1 + 𝑥)(3 + 𝑥)1/2 = 0 (2.42)
Persamaan (2.42) kemudian dapat diselesaikan dengan metoda-metoda yang dibahas dalam
Bab ini.

2.1.7. Menghitung Akar dari persamaan Karakteristik Sistem Control Otomatis


Dalam merancang sistem control otomatis kestabilannya perlu diperhatikan. Aturan yang
digunakan dalam mengendalikan suatu sistem control otomatis adalah: “Akar persamaan
karakteritik dari fungsi transfer loop terbuka harus berada di sebelah kiri bidang
kompleks”. Suatu sistem control umpan balik hipotetik yang menggunakan proportional
control seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 2.4 dapat direduksi menjadi bentuk
kanoniknya yang diperlihatkan dalam Gambar 2.5.

K GFC(s) GP(s)

H(s)

Gambar 2.4. Sistem Control Umpan balik dengan modus control proportional
Kita dapat merubah sistem feedback ini dengan menyatukan semua fungsi transfer maju
menjadi
G(s) = KGFC(s)GP(s) (2.43)
Sehingga bentuk kanonik dari sistem control umpan balik di Gambar 2.4 dapat
digambarkan kembali seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2.5.

+ G(s)
-

H(s)

Gambar 2.5. Bentuk Kanonik dari Sistem Control Umpan balik di Gambar 2.4.
Dengan demikian fungsi transfer loop terbuka dari sistem kanonik yang tertera dalam
Gambar 2.5, adalah
𝐺(𝑠)
𝐺𝑂𝐿 (𝑠) = (2.44)
1+𝐺(𝑠)𝐻(𝑠)

Persamaan karakteristik untuk sistem kontrol ini adalah


1 + G(s)H(s) = 0 (2.45)
Persamaan (2.45) akan memberikan persamaan polinom yang akar-akarnya dapat dihitung
dengan menggunakan metoda-metoda yang diberikan dalam Bab ini.

2.1.8. Analisis Ekonomi Proyek


Untuk menganalisis break-even point dari suatu proyek. Praktek rekayasa yang baik
menghendaki agar suatu proyek rekayasa yang dikerjakan harus melibatkan perencanaan
proyek, produk, tenaga kerja dan waktu yang secara efektif dan ekonomis dapat
dipertanggung jawabkan.
Perhatikan sebuah pabrik mempertimbangkan untuk membeli peralatan proses baru untuk
kebutuhan salah satu unit produksi tertentu dalam rangkaian proses di dalam pabrik yang
akan dibangun. Untuk itu pemilik proyek dihadapkan kepada dua pilihan, yaitu Peralatan
Proses-I (PP-I) dan Peralatan Peralatan-II (PP-II) dengan data data sebagai berikut:

Tabel 1.
Peralatan Proses-I Peralatan Proses-II
Nomor Komponen Biaya Biaya ($) Komponen Biaya Biaya
($)
1 Harga Peralatan Proses -PPP-I Harga Peralatan Proses -PPP-II
2 Kenaikan dalam biaya -GOP-I Kenaikan dalam biaya -GOP-II
operasi $/thn/thn operasi $/thn/thn
3 Keuntungan tahunan Aprofit-I Keuntungan tahunan ($/thn) Aprofit-II
($/thn)
Umur n n
(tahun)

Untuk pemilihan ini kita perlu menyusun persamaan aliran dana yang dilibatkan untuk
setiap mesin. Karena keuntungan tiap tahun itu sama, maka kita juga bisa membuat harga
peralatan proses dan kenaikan biaya setiap tahunnya juga dikonversi menjadi biaya
tahunan yang sama dan ekivalen dengan kenaikan yang terjadi.
0

Harga Peralatan Proses


Gambar 2.6. Konversi dari Biaya awal (harga peralatan proses) menjadi biaya tahunan
Untuk diagram dalam Gambar 2.6 ini kita bisa menerapkan persamaan:
𝑖(1+𝑖)𝑛
𝐴𝑃𝑃 = 𝑃𝑃𝑃 (1+𝑖)𝑛 (2.46)
−1
Kenaikan dalam biaya operasi juga dapat disebarkan secara merata setiap tahunnya seperti
yang ditunjukkan oleh Gambar 2.7.
0

Gambar 2.7. Konversi dari Biaya operasi (gradien) menjadi biaya tahunan

Dari Gambar 2.7 ini kita dapat menyimpulkan secara matematis bahwa
1 𝑛
𝐴𝑜𝑝 = 𝐺𝑜𝑝 [ − (1+𝑖)𝑛 ] (2.47)
𝑖 −1

Tetapi
Pemasukan Tahunan = Keuntungan Tahunan – (Biaya Pembelian + Biaya operasi)
(2.48)
Atau
Pemasukan Tahunan = Aprofit – (Biaya Pembelian + Biaya operasi) (2.49)
Atau
𝑖(1+𝑖)𝑛 1 𝑛
𝐴𝑖𝑛𝑐𝑜𝑚𝑒 = 𝐴𝑝𝑟𝑜𝑓𝑖𝑡 − [𝑃𝑃𝑃 (1+𝑖)𝑛 + 𝐺𝑜𝑝 [ − (1+𝑖)𝑛 ]] (2.50)
−1 𝑖 −1

Di mana Aincome , i dan n masing-masing adalah Pemasukan tahunan, suku bunga dan
perioda keuangan.
Kalau kita mengambil
Jadi untuk Peralatan Proses-I:
𝑖(1+𝑖)𝑛 1 𝑛
𝐴𝑖𝑛𝑐𝑜𝑚𝑒−𝐼 = 𝐴𝑝𝑟𝑜𝑓𝑖𝑡−𝐼 − [𝑃𝑃𝑃−𝐼 (1+𝑖)𝑛 + 𝐺𝑜𝑝−𝐼 [ − (1+𝑖)𝑛 ]] (2.51)
−1 𝑖 −1

Dan untuk Peralatan Proses-II:


𝑖(1+𝑖)𝑛 1 𝑛
𝐴𝑖𝑛𝑐𝑜𝑚𝑒−𝐼𝐼 = 𝐴𝑝𝑟𝑜𝑓𝑖𝑡−𝐼𝐼 − [𝑃𝑃𝑃−𝐼𝐼 (1+𝑖)𝑛 + 𝐺𝑜𝑝−𝐼𝐼 [ − (1+𝑖)𝑛 ]] (2.52)
−1 𝑖 −1

Sehingga dengan memasukkan data-data PPP-I dalam Tabel 1dan tingkat suku bunga
17.5% pertahun, kita akan memperoleh
Untuk Peralatan Proses-I:
61250(1.175)𝑛 −10000𝑛
𝐴𝑖𝑛𝑐𝑜𝑚𝑒−𝐼 = 1257142.8571 − [ (1.175)𝑛 −1
] (2.53)
Untuk Peralatan Prosee-II:
65625(1.175)𝑛+7500𝑛
𝐴𝑖𝑛𝑐𝑜𝑚𝑒−𝐼𝐼 = 1542857.1429 − [ (1.175)𝑛 −1
] (2.54)

Sekarang kita mencoba mengambil n = 6, maka akan diperoleh


Aincome-I = 1195126.759 dan dan Aincome-II = 1482978
Contoh kedua yang akan kita ambil adalah menghitung suku bunga yang dibutuhkan agar
suatu proyek mencapai break-even. Dengan mengetahui nilai tingkat sukubunga ini
seseorang dapat menyimpulkan apakah proyek yang dievaluasinya layak secara ekonomi.
Akar-akar yang dibutuhkan dari persamaan-persamaan ini adalah akar-akar yang real.
Karena itu kita bisa menggunakan metoda untuk mencari akar persamaan tidak linear yang
real, yaitu metoda yang pertama dalam menghitung akar-akar persamaan tidak linear.
Selain itu juga kita akan membahas juga metoda-metoda yang digunakan untuk
menemukan semua akar dari fungsi tidak linear, seperti metoda Horner, dan metoda
Bairstow. Kita akan segera memulai dengan membahas metoda-metoda yang terkait
dengan metoda pencarian akar real dari suatu fungsi yang tidak linear.
2.2.Metoda untuk mencari akar real dari Persamaan tidak linear
Dalam metoda ini, dari cara penelusurannya, dibagi menjadi dua, yaitu metoda terbuka dan
metoda tertutup. Metoda terbuka meliputi metoda-metoda iterasi titik tetap (fixed point
iteration method), metoda Newton-Raphson dan metoda Secant. Sedangkan metoda jenis
kedua meliputi metoda membagi dua interval (bisection method) dan metoda regula falsi.
Untuk kedua metoda terakhir ini, akar yang hendak ditemukan dikurung dalam suatu
interval tertentu.
2.2.1. Metoda terbuka.
Untuk metoda tertutup ini, yang akan kita tinjau pertama sekali adalah metoda iterasi titik
tetap (fixed point iteration). Kemudian disusul oleh metoda Newton-Raphson dan terakhir
kita akan membicarakan metoda Secant. Sekarang kita akan mulai dengan yang pertama.
2.2.1.1 Metoda iterasi titik tetap. Secara sederhana, dalam metoda ini kita akan merubah
fungsi f(x) = 0 menjadi f(x) = x – F(x) = 0 atau kita dapat menuliskan x = F(x) dengan
mengambil suatu nilai xi, kita dapat mengevaluasi nilai fungsi F(x), yaitu F(xi) dan nilai ini
kita sebut xi+1, dengan demikian kita bisa menuliskan xi+1 = F(xi). Kita akan mengevaluasi
apakah nilai x penelusuran ke i + 1 sudah mendekati nilai x pada penelesuran sebelumnya,
yaitu nilai absolut dari (F(xi+1) – F(xi)) cukup kecil dari eps, misalnya eps = 0.000001
berarti xi+1 adalah akar dari f(x) yang dicari. Itu berarti kita dapat menuliskan proses iterasi
dari metoda ini adalah
xi+1 = F(xi) (1) (2.55)
Teorema berikut memberikan kondisi cukup untuk eksistensi dan keunikan dari suatu titik
tetap (fixed point).
Teorema 2.1. Jika F(x) kontinu dalam interval [a, b] dan F(x)𝜖[𝑎, 𝑏], maka F mempunyai
suatu titik tetap di dalam [a, b]. Lebih lagi F’(x) ada dalam (a, b) dan
|F’(x)| ≤ μ < 1 untuk semua 𝑥𝜖(𝑎, 𝑏) (2) (2.56)
dan p adalah titik tetap yang unik dalam [a, b], di mana p adalah nilai x pada saat F(p) = p.
Bukti: Jika F(a) = a atau F(b) = b, eksistensi dari titik tetap jelas. Anggaplah bahwa tidak
demikian adanya, maka sudah seharusnya benar bahwa F(a) > a dan F(b) < b. Sekarang,
kita mendefinisikan h(x) = F(x) – x; h kontinu pada [a, b], dan lebih lagi,
h(a) = F(a) – a > 0, h(b) = F(b) – b < 0
Teorema nilai antara memberikan arti bahwa ada 𝑝𝜖(𝑎, 𝑏) untuk mana h(p) = 0, jadi
F(p) – p = 0 dan p adalah titik tetap dari F.
Sebagai tambahan anggaplah bahwa bahwa ketidak persamaan (2.56) berlaku dan bahwa p
dan q kedua-duannya adalah titik tetap dalam [a, b] dengan p ≠ q. Dengan teorema nilai
rata-rata (mean value theorem), ada suatu bilangan ξ di antara p dan q , dan karena itu
berada dalam [a, b] dengan
|p - q| = |F(p) – F(q)| = |F’(ξ)||p - q| ≤ μ|p - q| < |p - q|,
Yang mana merupakan suatu kontradiksi. Kontradiksi ini harus datang dari satu-satunya
supposisi, p≠q. Dan karena itu p = q dan karena itu titik tetapa di dalam [a, b] adalah unik.
Untuk menghampiri titik tetap dari suatu fungsi F(x), kita mengambil suatu hampiran awal
p0 dan kemudian kita menghasilkan barisan {𝑝𝑖 }∞ 𝑖=0 dengan mengambil pi+1 = F(pi) untuk
setiap i ≥ 1. Jika barisan konvergen menuju p dan F kontinu, maka berdasarkan teorema
kontinuitas suatu fungsi dan barisan, kita dapat menuliskan
𝑝 = lim 𝑝𝑖+1 = lim 𝐹(𝑝𝑖 ) = 𝐹 (lim 𝑝𝑖 ) = 𝐹(𝑝)
𝑖→∞ 𝑖→∞ 𝑖→∞

Dan dengan demikian, solusi dari x = F(x) diperoleh dan teknik ini disebut sebagai teknik
iterasi titik tetap.
Dari persamaan (2.55) kita dapat membuat algoritma untuk menghitung akar real dari suatu
persamaan tidak linear seperti yang ditunjukkan oleh Algoritma 1 berikut ini.
Algoritma 2.1. Algoritma Iterasi titik tetap.
Algoritma ini mengharuskan f(x) dirubah menjadi f(x) = x – F(x) = 0
Inputnya adalah nilai coba-coba, nilai konvergensi yang ingin dicapaiStep 1. Set eps =
0.000001; Set i = 0; Set x(0) = x0 = nilai coba-coba awal;
Step 2. Hitung xi+1 = F(xi)
Hitung galat = abs[(F(xi+1 – F(xi+1)]
Step 3. Apakah galat ≤ eps? Jika tidak, naikkan counter iterasi satu poin, yaitu i =i + 1
dan kembali ke Step 2. Jika tidak lanjut ke Step 4.
Step 4. Akar persamaan adalah x* = xi+1. Komputasi selesai. STOP
Secara geometris, teknik ini dapat diterangkan berdasarkan Gambar berikut ini.

(a) (b)
Gambar 2.8

Sebagai contoh, kita akan menggunakan algoritma ini untuk menghitung volume molar gas
tidak ideal yang mengikuti persamaan keadaan van der Waals. Untuk itu mari kita lihat
bentuk umum dari persamaan keadaan van der Waals sebagai berikut ini.
𝑎
(𝑃 + 2) (𝑉 − 𝑏) = 𝑅𝑇 (3) (2.57)
𝑉
Algoritma ini kemudian diterapkan dalam script MATLAB menjadi suatu fungsi seperti
yang diperlihatkan dalam program iterasi_titik_tetap.m
function [z iterasi] = iterasi_satu_titik(fungsi,xcoba)
% Fungsi iterasi_satu_titik(fungsi,xcoba)digunakan untuk menghitung akar
% dari persamaaan tidak linear g(x) = 0 yang terlebih dahulu dirubah
% menjadi g(x) = f(x) - x = 0 sehingga x = f(x) atau untuk setiap x(ii)
% yang diketahui kita dapat menghitung x(ii+1) f(x(ii)). f(x) dinyatakan
% dalam fungsi(x). Jadi untuk menghitung akar dari persamaan tidak linear
% g(x) = 0, kita memerlukan dua input, yaitu
% fungsi adalah representasi dari f(x) sehingga g(x) = f(x) - x
% xcoba adalah nilai tebakan awal akar dari g(x)
% Sedangkan output dari program ini adalah:
% z adalah akar dari g(x) yang dihitung
% iterasi adalah jumlah iterasi yang diperlukan agar x konvergen
iterasimaks =150;
toleransi = 1e-16;
ii = 1; iterasi = ii;
z = 0;
x(ii) = xcoba;
galat = 0.100;
while ii <= iterasimaks
x(ii+1) = fungsi(x(ii));
galat = abs(x(ii+1)-x(ii));
if galat <= toleransi
break
end
z = x(ii+1);
iterasi = ii;
if iterasi == iterasimaks
disp('');
disp('perhitungan gagal,akar tidak konvergen hingga iterasi
maksimum');
break
end
ii =ii + 1;
end
z
iterasi

Persamaan (3) ini perlu dibuat menjadi persamaan diubah ke dalam bentuk f(V) = 0, yaitu
𝑃𝑉 3 − (𝑏𝑃 + 𝑅𝑇)𝑉 2 + 𝑎𝑉 − 𝑎𝑏 = 0
Langkah berikutnya adalah mengubah persamaan f(V) = V – F(V) dan dengan demikian
kita akan memperoleh
1
(𝑏𝑃+𝑅𝑇)𝑉 2 −𝑎𝑉+𝑎𝑏 3
𝑉=[ ] (4) (2.58)
𝑃
Dengan demikian persamaan untuk proses iterasinya menjadi
1
(𝑏𝑃+𝑅𝑇)𝑉𝑖2 −𝑎𝑉𝑖 +𝑎𝑏 3
𝑉𝑖+1 = [ ] (5) (2.59)
𝑃
Dengan
27𝑅 2 𝑇𝐶2
𝑎= (6) (2.60)
64𝑃𝐶
Dan
𝑅𝑇𝐶
𝑏= (7) (2.61)
8𝑃𝐶
Karena a dan b sudah ada nilainya sebelum digunakan dalam persamaan (2.59), maka
sudah harus dihitung dalam Step 1. Nilai coba-coba awal yang diambil adalah
𝑅𝑇
𝑉(0) = (8) (2.62)
𝑃
Persamaan (2.60) hingga (2.62) harus diset di Step 1. Demikian juga dengan P, R dan T
harus di inputkan di Step 1. Dengan demikian, kita dapat menyusun Algoritma untuk
menghitung volume molar gas tidak ideal dengan menggunakan persamaan keadaan van
der Waals seperti berkut ini.
Algoritma van der Waals (Fixed point).
27𝑅 2 𝑇𝐶2 𝑅𝑇𝐶
Step 1. Input P, T, PC, TC dan R; Hitung 𝑎 = dan 𝑏 =
64𝑃𝐶 8𝑃𝐶
𝑅𝑇
Set eps = 0.000001; Set i = 0; Set 𝑉(0) = = nilai coba-coba awal;
𝑃
1
(𝑏𝑃+𝑅𝑇)𝑉𝑖2 −𝑎𝑉𝑖 +𝑎𝑏 3
Step 2. Hitung 𝑉𝑖+1 = [ ]
𝑃
Hitung galat = abs[(F(Vi+1) – F(Vi+1)]
Step 3. Apakah galat ≤ eps? Jika tidak, naikkan counter iterasi satu poin, yaitu i =i + 1
dan kembali
ke Step 2.
Jika tidak, Akar persamaan adalah V* = Vi+1. Komputasi selesai. STOP
Dari algoritma ini kemudian kita dapat membuat script Matlab dan script ini disimpan
dengan nama vanderwaals1.m.
% Fungsi script yang digunakan untuk mencari volume molar dari gas tidak
% ideal menggunakan persamaan keadaan van der Waals dengan Pc dan Tc yang
% sesuai yang dihitung pada P dan T tertentu dengan menggunakan metoda
% Fixed point iteration
function [z iterasi] = vanderwaals1(Pc,Tc,P,T)
iterasimaks = 50;
R =0.0814;
a = 27*R*Tc^2/(64*Pc);
b = R*Tc/(8*Tc);
toleransi =0.000001;
ii = 1;
v(ii)= R*T/P;
galat =0.01
while galat >= toleransi
if ii >= iterasi
disp('ketelitian volume yang dihitung tidak tercapai!!')
disp('setelah jumlah iterasi maksimum (50) dilewati...')
end
v(ii+1) = (((b*P+R*T)*v(ii)^2-a*v(ii)+a*b)/P)^(1/3);
galat = abs(v(ii+1)-v(ii));
iterasi = ii;
z = v(ii+1);
ii = ii + 1;
end
z
iterasi

Dari contoh yang barusa saja kita lihat memperlihatkan bahwa kita memerlukan prosedur
yang memberikan jaminan bahwa fungsi F(x) ke suatu jawaban x = F(x) dan juga bahwa
pemilihan F dengan cara sedemikian sehingga membuat konvergensi ini lebih cepat.
Langkah pertama untuk menentukan prosedur seperti ini adalah dengan teorema berikut
ini.
Teorema 2.2 Katakanlah bahwa F(x) adalah fungsi yang kontinu dalam interval tertutup
[a, b] dan anggaplah bahwa F(x) 𝜖[a, b]. Berikutnya F’ ada dalam interval terbuka (a, b)
dengan
|F’(x)| ≤ w < 1 untuk semua t 𝜖(a, b) (9) (2.63)
Jika t0 adalah setiap bilangan yang berada di dalam interval tertutup [a, b], maka barisan
yang didefinisikan oleh
tk = F(tk-1), k ≥1
akan konvergen kesuatu titik tertentu t dalam [a, b].
Bukti: Berdasarkan Teorema 2.1, ada suatu titik yang unik dan karena F memetakan [a, b]
ke dirinya sendiri, maka barisan {𝑡𝑘 }∞ 𝑘=0 terdefinisi untuk semua k ≥ 0 dan tk𝜖 [a, b] untuk
semua k. Dengan memanfaatkan ketidaksamaan yang diberikan dalam persamaan (2.63)
dan Teorema Nilai Rata-Rata,
|tk – t| = |F(tk-1)– F(tk)| = |F’(ξ)||tk-1 – t| ≤ w|tk-1 – t| (10) (2.64)
dimana ξ 𝜖 (a, b). Sekarang, dengan menerapkan persamaan (4.64), secara induktif, aka
diperoleh
|tk – t| ≤ w|tk-1 – t| ≤ w2 |tk-2 – t| ≤ w3|tk-3 – t| ... ≤ wk|t0 – t| (11) (2.65)
karena w < 1, maka
lim |𝑡𝑘 − 𝑡| ≤ lim 𝑤 𝑘 |𝑡0 − 𝑡| = 0 (12) (4.66)
𝑘→∞ 𝑘→∞
dan {𝑡𝑘 }∞
𝑘=0 konvergen menuju t.

Torema 2.2 ini memberikan dua akibat seperti yang diperlihatkan berikut ini.
Akibat 2.2.1. Jika F memenuhi hipotesis dari teorema 2, batas untuk galat yang dilibatkan
dalam penggunaan tk untuk memperkirakan nilai t, diberikan oleh
|tk – t| ≤ 𝑤 𝑘 𝑚𝑎𝑥{𝑡0 − 𝑎, 𝑏 − 𝑡0 } (13) (2.67)
Dari ketidaksamaan yang ditunjukkan oleh persamaan (4.65), kita memperoleh
|tk – t| ≤ wk|t0 – t| ≤ 𝑤 𝑘 𝑚𝑎𝑥{𝑡0 − 𝑎, 𝑏 − 𝑡0 } (14) (2.68)
karena t 𝜖 [a, b].
Akibat 2.2.2. Jika F memenuhi hipotesis yang diberikan dalam Teorema 2.2, maka
𝑤𝑘
|𝑡𝑘 − 𝑡| ≤ |𝑡 − 𝑡1 | untuk semua k ≥ 1 (15) (2.69)
1−𝑤 0
Bukti: Untuk k ≥ 1, prosedur yang digunakan dalam pembuktian Teorema 2
mengimplikasikan bahwa
|tk+1 – tk| = |F(tk) – F(tk-1)| ≤ w|tk – tk-1| ≤ w2 |tk-1 – tk-2| ≤ w3|tk-2 – tk-3| ... ≤ wk|t1 – t0|
(2.70)
Dengan demikian, untuk n > k ≥ 1, kita mendapatkan
|𝑡𝑛 − 𝑡𝑘 | = |𝑡𝑛 − 𝑡𝑛−1 + 𝑡𝑛−1 + 𝑡𝑛−2 − 𝑡𝑛−2 … − +𝑡𝑘+1 + 𝑡𝑘+1 − 𝑡𝑘 |
≤ |𝑡𝑛 − 𝑡𝑛−1 | + |𝑡𝑛−1 − 𝑡𝑛−2 | + |𝑡𝑛−2 − 𝑡𝑛−3 | + ⋯ |𝑡𝑘+1 − 𝑡𝑘 |
≤ 𝑤 𝑛−1 |𝑡1 − 𝑡0 | + 𝑤 𝑛−2 |𝑡1 − 𝑡0 | + 𝑤 𝑛−3 |𝑡1 − 𝑡0 | + ⋯ 𝑤 𝑘 |𝑡1 − 𝑡0 |
= 𝑤 𝑘 (1 + 𝑤 + 𝑤 2 + 𝑤 3 + ⋯ + 𝑤 (𝑛−𝑘+1) )|𝑡1 − 𝑡0 |
Berdasarkan Teorema 2, lim 𝑡𝑛 = 𝑡, dengan demikian, maka
𝑛→∞
𝑤𝑘
|𝑡 − 𝑡𝑘 | = lim |𝑡𝑛 − 𝑡𝑘 | ≤ 𝑤 𝑘 |𝑡1 − 𝑡0 | ∑∞
𝑚=1 𝑤
𝑚
= |𝑡0 − 𝑡1 | ... qed
𝑛→∞ 1−𝑤
Kedua Akibat dari Teorema 2 ini menghubungkan laju konvergensi ke batas w pada
turunan pertaman. Dan jelaslah bahwa laju konvergensi bergantung kepada wk/(1 – w), dan
makin kecil w diambil, maka konvergensi dicapai lebih cepat. Konvergensi akan menjadi
sangat lambat apabila w dekat dengan 1.
2.2.1.2. Metoda Newton Raphson. Metoda ini biasanya disebut metoda Newton (tanpa
Raphson) dibelakangnnya. Metoda ini paling banyak digunakan karena metoda ini sangat
berdaya guna (powerfull). Ada tiga cara yang paling umum untuk memperkenalkan
Metoda Newton ini. Cara yang paling umum digunakan adalah cara grafis seperti yang
ditunjukkan dalam Gambar. Kemungkinan yang lain adalah Metoda ini diturunkan dari
daret Taylor dengan memotongnya hingga suku yang linear saja. Sekarang kita akan
memulai dengan deret Taylor di sekitar x = a, yaitu:
𝑓′′(𝑎) 𝑓 (𝑛) (𝑎)
𝑓(𝑥) = 𝑓(𝑎) + 𝑓 ′ (𝑎)(𝑥 − 𝑎) + (𝑥 − 𝑎)2 + ⋯ + (𝑥 − 𝑎)𝑛 + ⋯
2! 𝑛!
(17) (2.71)
Karena metoda ini menggunakan deret ini hanya sampai bentuk linearnya, maka
persamaan (2.71) ini kemudian ditulis kembali sebagai
𝑓(𝑥) = 𝑓(𝑎) + 𝑓 ′ (𝑎)(𝑥 − 𝑎) + 𝐺𝑎𝑙𝑎𝑡 (18) (2.72)
Karena untuk menghitung akar persamaan maka kita mengambil f(x) = 0 dan dengan
memasukkan galat yang dibuat karena pemenggalan kita dapat menuliskan kembali (2.72)
sebagai
𝑓′′(𝜉)
𝑓(𝑥) = 𝑓(𝑎) + 𝑓 ′ (𝑎)(𝑥 − 𝑎) + (𝑥 − 𝑎)2 (19) (4) (2.73)
2!
Di mana ξ berada di antara x dan a. karena f(t) = 0, maka persamaan (2.73), dengan x = t
akan memberikan
𝑓′′(𝜉)
0 = 𝑓(𝑎) + 𝑓 ′ (𝑎)(𝑡 − 𝑎) + (𝑡 − 𝑎)2 (20) (2.74)
2!
2
Metoda Newton diturunkan berdasarkan assumsi bahwa suku (𝑡 − 𝑎) diabaikan sehingga
0 ≈ 𝑓(𝑎) + 𝑓 ′ (𝑎)(𝑡 − 𝑎) (21) (2.75)
Atau
𝑓(𝑎)
𝑡 ≈ 𝑎 − ′(𝑎) (22) (2.76)
𝑓
yang mana t, harus lebih baik dari a. Jika kita menggantikan a dengan ti dan t dengan ti+1,
maka kita akan menemukan persamaan utama proses iterative Newton, yaitu
𝑓(𝑡 )
𝑡𝑖+1 = 𝑡𝑖 − ′(𝑡𝑖 ) (23) (2.77)
𝑓 𝑖
Seperti yang sudah diutarakan di atas metoda yang paling umum yang digunakan untuk
menurunkan (2.77) adalah metoda Grafis seperti yang diberikan oleh Gambar. Dalam
Gambar ini diperlihatkan garis singgung yang berurutan yang digunakan untuk
menurunkan metoda ini.
Dari Gambar ini kita dapat melihat bahwa
𝑓(𝑥𝑖 )
𝑓′(𝑥𝑖 ) = (24) (2.78)
𝑥𝑖 −𝑥𝑖+1
Dengan menyusun kembali persamaaan (2.76), kita dapat menemukan persamaan utama
proses iteratif metoda Newton-Raphson seperti yang diperlihatkan dalam persamaan
(2.77).
Kriteria penghentian iterasi ini didasarkan atas nilai konvergensi yang dihitung dari
kenyataan sebagai berikut. Hasilkanlah nilai-nilai t1, t2, …, tN-1, tN berdasarkan persamaan
(2.77)dan pilihlah suatu nilai toleransi tertentu sedemikian sehingga
|tN – tN - 1| < ε (25) (2.79)
Demikian juga
|𝑡𝑁 −𝑡𝑁−1 |
|𝑡𝑁 |
< 𝜀, 𝑡𝑁 ≠ 0 (26) (2.80)
Dan
f(tN) < ε (2.81)
dimana ε > 0.Untuk ini, nilai toleransi (konvergensi) yang diambil adalah ε.

x
xi+2 xi+1 xi xi-1

Gambar 2.9
Dengan demikian kita dapat menyusun Algoritma Newton-Raphson, seperti yang diberikan
dalam algoritma berikut ini.
Agoritma . (Newton-Raphson)
Algoritma ini membutuhkan f(x) dan f’(x), serta input i = 1, nilai coba-coba awal x1
Step 1. Set eps = 0.000001; Set i = 1; Set x(i) = x1 (x1 adalah nilai tebakan awal)
𝑓(𝑥 )
Step 2. Hitung 𝑥𝑖+1 = 𝑥𝑖 − ′ (𝑥𝑖 )
𝑓 𝑖
Hitung Galat = abs(xi – xi - 1)
Step 3. Apakah Galat ≤ eps? Jika tidak, naikkan counter iterasi i satu poin, yaitu i=i +1
dan kembali ke Step 2. Jika ya, x* = xi+1, proses komputasi selesai. STOP.
Dalam program script Matlab dengan nama newtonraphson.m adalah representasi dari
metoda ini dan kode scriptnya diberikan seperti berikut ini.
% Script yang digunakan untuk menemukan akar real dari fungsi(x) dengan
% metoda Newton-Raphson fungsi adalah fungsi(x) dan turunan adalah turunan
% dari fungsi(x) dan a adalah nilai coba-coba awal dari akar yang dicari
function [z iterasi] = newtonraphson(fungsi,turunan,a)
iterasimaks = 75; ii = 1;x(ii) = a; toleransi = 0.000001; galat = 1;
while galat >= toleransi
x(ii+1) = x(ii) - fungsi(a)/turunan(a);
galat=abs(x(ii+1) - x(ii));a = x(ii+1);z = a; iterasi = ii;
if ii >= iterasimaks
disp('Jumlah iterasi melampaui jumlah iterasi maksimum')
disp('nilai akar yang dihitung tidak konvergen!!')
break
end
ii = ii + 1;
end
Penurunan metoda Newton dari deret Taylor menyatakan pentingnya suatu hampiran awal
yang akurat. Asumsi krusial datangnya dari peralihan persamaan (2.71) ke persamaan
(2.72), yaitu bahwa persamaan asal yang melibatkan (𝑡 − 𝑎)2 dapat dihilangkan. Jelaslah
bahwa ini adalah asumsi yang salah terkecuali a adalah hampiran yang terbaik dari t. Pada
khususnya, jika x0 tidak begitu dekat dengan, mungkin saja metoda ini tidak akan
konvergen ke arah akar yang diinginkan. Namun demikinan inilah bukannya kasus yang
selalu terjadi.
Dalam Teorema 2.3 berikut ini, yaitu teorema tentang konvergensi untuk metoda Newton
memperlihatkan pentingnya pemilihan nilai hampiran awal x0.
Teorema 2.3. Katakanlah bahwa f(x) kontinu hingga turunan kedua dalam [a, b]
sedemikian sehingga f(t) = 0 dan f’(t) ≠ 0, maka ada suatu δ > 0 sedemikian sehingga
metoda Newton-Raphson akan menghasilkan barisan {𝑡𝑖 }∞ 𝑖=1 konvergen ke t untuk setiap
hampiran awal 𝑡0 ϵ[𝑡 − 𝛿, 𝑡 + 𝛿].
Bukti: Bukti yang diberikan disini akan berbasis pada analisis metoda Newton sebagai
suatu skema iterasi fungsional dari ti = F(ti - 1) untuk i ≥ 1, dengan
𝑓(𝑥)
𝐹(𝑥) = 𝑥 − (27) (2.81)
𝑓′(𝑥)
Objek yang hendak ditemukan, untuk suatu harga w dalam interval terbuka (0, 1) adalah
suatu interval [t – δ, t + δ] sedemikian sehingga F(x) memetakan interval [t – δ, t + δ]
kepada dirinya sendiri dan |F’(x)| ≤ w < 1 untuk x 𝜖[t – δ, t + δ].
Karena f’(t) ≠ 0 dan f’ adalah fungsi yang kontinu, maka ada δ1 > 0 sedemikian sehingga
f’(x) ≠ 0 untuk x 𝜖[t – δ1, t + δ1] ⊂ [a, b]. Dengan demikian F terdefinisi dan kontinu pada
[t – δ1, t + δ1]. Juga,
𝑓 ′(𝑥)𝑓 ′(𝑥)−𝑓(𝑥)𝑓 ′′ (𝑥) 𝑓(𝑥)𝑓 ′′(𝑥)
𝐹 ′ (𝑥) = 1 − [𝑓 ′(𝑥)]2
= [𝑓 ′(𝑥)]2
(20)28 (2.82)

untuk x 𝜖[t – δ1, t + δ1]. Karena f(x) kontinu hingga turunan kedua dalam [a, b], F kontinu
hingga turunan pertama pada [t – δ, t + δ]. Dengan mengambil assumsi, f(t) = 0,

𝑓(𝑡)𝑓 ′′ (𝑡)
𝐹 ′ (𝑡) = [𝑓 ′ (𝑡)]2
=0 (21)29 (2.83)

karena F’ kontinu, maka persamaan (21) meengimplikasikan bahwa ada suatu δ dengan
0<δ<δ1 dan
|𝐹 ′ (𝑥)| ≤ 𝑤 untuk x 𝜖[t – δ1, t + δ1]. (22)30 (2.84)
Jadi yang tertinggal untuk dibuktikan adalah F: [t – δ, t + δ] [t – δ, t + δ]. Dengan
demikian jika x 𝜖[t – δ1, t + δ1], torema nilai rata-rata (Mean Value Theorem)
mengimplikasikan bahwa untuk beberapa bilangan ξ di antara x dan t, |𝐹(𝑥) − 𝐹(𝑡)| =
|𝐹′(𝜉)||𝑥 − 𝑡|. Dengan demikian
|𝐹(𝑥) − 𝑡| = |𝐹(𝑥) − 𝐹(𝑡)| = |𝐹′(𝜉)||𝑥 − 𝑡| < |𝑥 − 𝑡|
Sekarang, karena x 𝜖[t – δ, t + δ], maka kita akan mendapatkan bahwa |x – t| < δ dan
dengan demikian juga |𝐹(𝑥) − 𝑡| < 𝛿. Hal ini pada akhirnya mengimplikasikan bahwa
F: [t – δ, t + δ] [t – δ, t + δ].
Teorema 2.3. ini dengan jelas mengatakan, bahwa dengan assumsi yang masuk akal,
metoda Newton akan selalu konvergen jika nilai penghampiran awal disiapkan dengan baik
atau dipilih dengan akurat. Metoda ini juga mengandung arti konstanta w yang membatasi
turunan dari F dan secara konsekwen mengindikasikan laju konvergensi dari metoda ini
akan menurun seiring dengan iterasi yang dilakukan.
Metoda ini adalah metoda yang sangat berdaya guna, tetapi ada suatu kesulitan utama,
yaitu kita perlu mengetahui turunan dari fungsi yang hendak ditentukan akarnya. Sering
kali f’(x) jauh lebih sulit dihitung dan membutuhkan banyak operasi aritmetik. Sebagai
contoh yang sederhana katakanlah bahwa f(x) = x34x cos 2x, maka turunan fungsi ini adalah
f’(x) = 3x4xcos 2x + x24x(coes 2x)ln 3 - x34x cos 2x yang sangat melelahkan untuk
menyelesaikannya.
2.2.1.3. Metoda Secant. Metoda Newton adaah metoda yang sangat berdaya guna, tetapi
mempunyai kelemahan, yaitu kita memerlukan nilai turunan pada setiap penghampiran
nilai akar yang dilakukan. Sering sekali f’(x) sulit ditemukan dan memerlukan lebih banyak
operasi arithmetic untuk menghitungnya ketimbang untuk menghitung f(x) khususnya
fungsi yang melibatkan fungsi-fungsi trigonometric dan fungsi pangkat dalam satu fungsi.
Turunan-turunan untuk fungsi-fungsi yang demikian ini rumit dan memerlukan banyak
operasi aritmetik untuk menghitungnya.
Untuk mengatasi hal ini, turunan dalam metoda Newton di rubah menjadi:
𝑓(𝑥)−𝑓(𝑡𝑖 )
𝑓′(𝑡𝑖 ) = lim (19)31 (2.85)
𝑥→𝑡𝑖−1 𝑥−𝑡𝑖

Dengan mengambil x =ti-1, kita dapat menuliskan

𝑓(𝑡𝑖−1 )−𝑓(𝑡𝑖 ) 𝑓(𝑡𝑖 )−𝑓(𝑡𝑖−1 )


𝑓 ′ (𝑡𝑖 ) ≈ = (20)32 (2.86)
𝑡𝑖−1 −𝑡𝑖 𝑡𝑖 −𝑡𝑖−1

Dengan memasukkan nilai hampiran ini ke dalam metoda Newton, kita akan menemukan
𝑓(𝑡𝑖 )[𝑡𝑖 −𝑡𝑖−1 ]
𝑡𝑖+1 = 𝑡𝑖 − (21)33 (2.87)
𝑓(𝑡𝑖 )−𝑓(𝑡𝑖−1 )

Dengan menggantikan t dengan x, maka kita dapat menuliskan kembali persamaan (2.87)
sebagai:
𝑓(𝑥𝑖 )[𝑥𝑖 −𝑥𝑖−1 ]
𝑥𝑖+1 = 𝑥𝑖 − (22)34 (2.88)
𝑓(𝑥𝑖 )−𝑓(𝑥𝑖−1 )

Proses yang dinyatakan oleh persamaan (2.88) ini dapat dilukiskan dalam Gambar 2.10.
Dari persamaan proses iterasi yang diberikan dalam persamaan (2.88) disebut sebagai
metoda Secant dan berdasarkan persamaan ini, kita dapat menyusun Algoritma Secant
seperti yang diberikan dalam Algoritma berikut ini.
Algoritma. Metoda Secant
Algoritma ini membutuhkan f(x), nilai tebakan awal x0, nilai coba-coba x1 dan toleransi eps
Step 1. Set eps = 0.000001; Set i = 0; Set x(i) = x0 (x0 adalah nilai coba-coba pertama)
Set i = 1; Set x(i) = x1 (x1 adalah nilai coba-coba kedua);
𝑓(𝑥𝑖 )[𝑥𝑖 −𝑥𝑖−1 ]
Step 2. Hitung 𝑥𝑖+1 = 𝑥𝑖 −
𝑓(𝑥𝑖 )−𝑓(𝑥𝑖−1 )
Hitung Galat = abs(xi+1 – xi )
Step 3. Apakah Galat ≤ eps? Jika tidak, naikkan counter iterasi i satu poin, yaitu i=i +1
dan kembali ke Step 2.
Jika ya, x* = xi+1, proses komputasi selesai. STOP.

Dalam program script Matlab dengan nama metoda secant.m adalah representasi dari
metoda ini dan kode scriptnya diberikan seperti berikut ini.
function [z iterasi] = secant(fungsi,x0,x1)
% Untuk program ini, inputnya masing-masing adalah fungsi(x) yang akan
dicari
% akarnya, x0 dan x1 adalah nilai-nilai hampiran pertama dn kedua
% Sedangkan outputnya adalah z adalah akar fungsi dan iterasi = iterasi yang
% dilakukan untuk mendapatkan akar dari fungsi(x)
iterasimaks = 75;
ii = 2;
x(ii) = x1;
x(ii-1) = x0;
toleransi = 0.0000001;
galat = 0.1;
while galat >= toleransi
x(ii+1) = x(ii) - fungsi(x(ii))*(x(ii)-x(ii-1))/(fungsi(x(ii))-
fungsi(x(ii-1)));
galat = abs(x(ii+1) - x(ii));
z = x(ii+1); iterasi = ii;
if ii >= iterasimaks
disp('Jumlah iterasi melampaui jumlah iterasi maksimum')
disp('nilai akar yang dihitung tidak konvergen!!')
break
end
ii = ii + 1;
end
z
iterasi

xi-1 xi+1
x
xi

Gambar 2.10

2.2.1.4. Perbandingan antara Metoda Newton dan Metoda Secant. Dalam bagian ini
kita akan melihat lebih gamblang mengenai kelebihan apa yang dimiliki oleh metoda
Secant ketimbang Metoda Newton. Kalau dilihat sepintas lalu, mugkin kita akan
menemukan bahwa Metoda Newton lebih cepat. Tetapi yang perlu diketahui juga bahwa
Metoda Secant hanya membutuhkan hanya satu evaluasi terhadap fungsi, yang dengan
demikian akan mempersiapkan nilai yang dihitung untuk tidak dihitung kembali karena itu
memang tidak perlu. Metoda Newton membutuhkan dua kali evaluasi fungsi setiap
langkah komputasiny. Dengan demikian Metoda Newton secara umum akan membutuhkan
lebih sedikit iterasi untuk mendapatkan akurasi yang diinginkan, tetapi lebih banyak
membutuhkan komputasi periterasi.
Sekarang kita akan menganalisis berapa lamakah diperlukan untuk mencapai nilai akar
yang diinginkan dalam suatu toleransi galat ∈ dan untuk mempermudah langkah yang
diambil, kita anggap bahwa tebakan awal kita cukup dekat dengan nilai akar yang hendak
dihitung. Karena itu kita perlu mendefinisikan
𝑓(𝑥𝑖 )
𝑥𝑖+1 = 𝑥𝑖 − (2.)
𝑓 ′(𝑥𝑖 )

𝑓(𝑥̅𝑖 )[𝑥̅𝑖 −𝑥̅𝑖−1 ]


𝑥̅𝑖+1 = 𝑥̅𝑖 − i≥1 (2.)
𝑓(𝑥̅𝑖 )−𝑓(𝑥̅𝑖−1 )

Sekarang, ambil 𝑥0 = 𝑥̅0 ; kemudian kita akan mendefinisikan 𝑥̅𝑖 yang didasarkan atas
formula konvergensi berikut
|𝛽 − 𝑥𝑖+1 | ≈ 𝑐|𝛽 − 𝑥𝑖 |2 i ≥ 0

Di mana
𝑓′′(𝛽)
𝑐=| |
2𝑓′(𝛽)
Juga
|𝛽 − 𝑥̅𝑖+1 | ≈ 𝑑|𝛽 − 𝑥̅𝑖 |𝑟 i ≥ 0
Dengan
1 + √5
𝑟=
2
Dan
𝑑 = 𝑐 𝑟−1

Secara induktif, untuk galat dalam iterasi pada metoda Newton,


𝑐|𝛽 − 𝑥𝑖+1 | ≈ 𝑐|𝛽 − 𝑥𝑖 |2
𝑖
𝑐|𝛽 − 𝑥𝑖 | ≈ 𝑐|𝛽 − 𝑥0 |2
1 𝑖
|𝛽 − 𝑥𝑖 | ≈ |𝛽 − 𝑥0 |2 i≥0
𝑐

Dengan cara yang sama, untuk iterasi pada metoda secant,


2 𝑖−1 𝑖
|𝛽 − 𝑥̅𝑖+1 | ≈ 𝑑|𝛽 − 𝑥̅𝑖 |𝑟 ≈ 𝑑1+𝑟+𝑟 …+𝑟 |𝛽 − 𝑥̅0 |𝑟
Lalu dengan menggunakan deret geometrik finite
𝑟𝑖 − 1
1 + 𝑟 + 𝑟 2 … + 𝑟 𝑖−1 =
𝑟−1
Diperoleh
2 …+𝑟 𝑖−1 𝑟 𝑖 −1 𝑖
𝑑1+𝑟+𝑟 =𝑑 𝑟−1 = 𝑐 𝑟 −1
Dan dengan demikian
𝑖 𝑖 1 𝑖
|𝛽 − 𝑥̅𝑖 | ≈ 𝑐 𝑟 −1 |𝛽 − 𝑥̅0 |𝑟 ≈ [|𝛽 − 𝑥0 |]𝑟
𝑐
Agar memenuhi |𝛽 − 𝑥𝑖 | ≤∈, untuk iterasi Newton, dibutuhkan
𝑖
(𝑐|𝛽 − 𝑥0 |)2 ≤ 𝑐 ∈
𝐾 log ∈ 𝑐
𝑖≥ , 𝐾 = log ( )
log 2 log 𝑐|𝛽 − 𝑥0 |

Sekarang, ambillah j adalah untuk mengevaluasi f(x) dan katakanlah bahwa s.j adalah
waktu yang dibutuhkan untuk mengevaluasi f’(x).
Sehingga waktu minimum memperoleh akurasi yang diinginkan dari metoda Newton
adalah
(1 + 𝑠)𝑗𝐾
𝑇𝑁 = (𝑗 + 𝑗𝑠)𝑖 =
log 2
Untuk metoda Secant, cara perhitungan yang sama memperlihatkan bahwa |𝛽 − 𝑥̅𝑖 | ≤∈
jika
𝐾
𝑖≥
log 𝑟
Dengan demikian, waktu minimum untuk mendapatkan akurasi yang diinginkan adalah
𝑗𝐾
𝑇𝑆 = 𝑗𝑖 =
log 𝑟

Untuk memperbandingkan waktu yang diperlukan untuk metoda secant dan metoda
Newton, diperoleh
𝑇𝑆 log 2
=
𝑇𝑁 (1 + 𝑠) log 𝑟
Metoda Secant lebih cepat dari metoda Newton jka rasio lebih kecil dari satu,
𝑇𝑆
<1
𝑇𝑁
Atau
log 2
𝑠> − 1 =̇ 0.44
log 𝑟

Jika waktu untuk mengevaluasi f’(x) lebih dari 44 persen dari yang diperlukan untuk
mengevaluasi f(x), maka metoda Secant lebih efisien.
Argumen-argumen di atas sangat berguna untuk mengilustrasikan kecepatan perhitungan
matematis untuk knvergensi yang tidak sempurna. Waktu komputasi secara keseluruhan,
kemudahan menggunakan algoritma, kestabilan dan faktor-faktor yang lain harus
diperhatian juga yaitu relatif kebutuhan satu algoritma dibandingkan algoritma lainnya.

2.2.2 Metoda Tertutup


Metoda ini mengisolasi akar yang akan dicari dalam satu interval tertentu. Dengan dasar
ini kita dapat mencari akar yang diisolasi dengan menggunakan dua cara yaitu dengan
metoda membagi dua interval dan metoda regula falsi (false position method). Kita akan
mulai dengan metoda yang pertama.
2.2.2.1. Metoda Membagi Dua Interval. Dalam metoda ini, pertama sekali interval yang
diketahui di awal komputasi dibagi menjadi dua. Yang perlu diperhatikan adalah nilai
fungsi. Jika titik tengah memberikan nilai fungsi yang lebih kecil dari nol maka nilai
tengah ini menjadi batas kiri interval, jika titik tengah memberikan nilai fungsi yang
positif, maka titik tengah menjadi ujung interval kanan yang baru. Interval baru ini
kemudian dibagi dua untuk mendapat titik tengah dan kita mengevaluasi fungsi di titik ini
seperti dalam langkah sebelumnya. Hal ini dilakukan terus sehingga diperoleh nilai-nilai
fungsi dikedua ujung interval memberikan selisih yang sangat kecil. Metoda ini dapat di
jelaskan dengan Gambar 2.11.
Dari Gambar 2.11 ini, kita dapat melihat bahwa ada dua kemungkinan bagi titik tengah
yang dihitung. Titik-titik tengah itu bisa menjadi titik ujung kanan interval baru, misalnya
xkn(1) = xc(1) atau titik ujung kiri interval yang baru, yaitu xkr(1) = xc(1). Karena ada dua
kemungkinan yang terjadi maka perlu dilakukan pengecekan nilai fungsi. Sehingga dengan
demikian untuk mempermudah, tuliskan bahwa xkr(1) adalah nilai x pertama di sebelah
kiri akar yang akan dituju dan xkn(1) adalah nilai x pertama di sebelah kanan akar yang
akan dituju. Sedangkan xc(1) adalah nilai x titik tengah antara xkr(1) dan xkn(1) hingga
didapatkan
1
𝑥𝑐 (1) = [𝑥𝑘𝑟 (1) + 𝑥𝑘𝑛 (1)] (2.89)
2
Check nilai fungsi f(𝑥𝑐 (1)), jika nilai ini positif, maka 𝑥𝑘𝑛 (2) = 𝑥𝑐 (1), dan masukkan
nilai 𝑥𝑘𝑟 (1) ke 𝑥𝑘𝑟 (2), yaitu 𝑥𝑘𝑟 (2) = 𝑥𝑘𝑟 (1). Tetapi jika nilai ini negatif, maka
𝑥𝑘𝑟 (2) = 𝑥𝑐 (1), dan masukkan nilai 𝑥𝑘𝑛 (1) ke 𝑥𝑘𝑛 (2), yaitu 𝑥𝑘𝑛 (2) = 𝑥𝑘𝑛 (1). Hitung
lagi titik tengah baru, yaitu
1
𝑥𝑐 (2) = [𝑥𝑘𝑟 (2) + 𝑥𝑘𝑛 (2)] (2.90)
2
Check nilai fungsi f(𝑥𝑐 (2)), jika nilai ini positif, maka 𝑥𝑘𝑛 (3) = 𝑥𝑐 (2), dan masukkan
nilai 𝑥𝑘𝑟 (2) ke 𝑥𝑘𝑟 (3), yaitu 𝑥𝑘𝑟 (3) = 𝑥𝑘𝑟 (2). Tetapi jika nilai ini negatif, maka
𝑥𝑘𝑟 (3) = 𝑥𝑐 (2), dan masukkan nilai 𝑥𝑘𝑛 (2) ke 𝑥𝑘𝑛 (3), yaitu 𝑥𝑘𝑛 (3) = 𝑥𝑘𝑛 (2). Hitung
lagi titik tengah baru, yaitu
1
𝑥𝑐 (3) = [𝑥𝑘𝑟 (3) + 𝑥𝑘𝑛 (3)] (2.91)
2

Check nilai fungsi f(𝑥𝑐 (3)), jika nilai ini positif, maka 𝑥𝑘𝑛 (4) = 𝑥𝑐 (3), dan masukkan
nilai 𝑥𝑘𝑟 (3) ke 𝑥𝑘𝑟 (4), yaitu 𝑥𝑘𝑟 (4) = 𝑥𝑘𝑟 (3). Tetapi jika nilai ini negatif, maka
𝑥𝑘𝑟 (4) = 𝑥𝑐 (3), dan masukkan nilai 𝑥𝑘𝑛 (3) ke 𝑥𝑘𝑛 (4), yaitu 𝑥𝑘𝑛 (4) = 𝑥𝑘𝑛 (3). Hitung
lagi titik tengah baru, yaitu
1
𝑥𝑐 (4) = [𝑥𝑘𝑟 (4) + 𝑥𝑘𝑛 (4)] (2.92)
2

Proses komputasi ini berulang terus hingga konvergensi tercapai atau kita dapat
meringkaskan dengan prosedur berikut.
1
1. Hitung: 𝑥𝑐 (𝑖) = [𝑥𝑘𝑟 (𝑖) + 𝑥𝑘𝑛 (𝑖)]
2
2. Cek Nilai fungsi: Jika f(𝑥𝑐 (𝑖)) > 0 𝑥𝑘𝑛 (𝑖 + 1) = 𝑥𝑐 (𝑖), dan 𝑥𝑘𝑟 (𝑖 + 1) = 𝑥𝑘𝑟 (𝑖)
Jika f(𝑥𝑐 (𝑖)) < 0 𝑥𝑘𝑟 (𝑖 + 1) = 𝑥𝑐 (𝑖), dan 𝑥𝑘𝑛 (𝑖 + 1) = 𝑥𝑘𝑛 (𝑖)
3. Cek kovergensi Galat = 𝑥𝑘𝑛 (𝑖 + 1) − 𝑥𝑘𝑟 (𝑖 + 1)
4. Ulangi untuk i = 1, 2, ..., mulai dari (1) sampai (3) hingga konvergensi terjadi
Berdasarkan kenyataan ini kita dapat menyusun algoritma untuk menghitung akar
persamaan tidak linear dengan metoda bagi dua interval seperti yang diberikan dalam
Algoritma Bagi Dua Interval seperti yang ditunjukkan oleh Algoritma 4. Jadi jelaslah
bahwa metoda ini didasarkan atas teorema nilai antara (Teorema..)
Algoritma Bagi dua Interval ini, secara konseptual jelas mempunyai kelemahan yang
cukup signifikan. Kriteria pemberhentian iterasi yang diambil ada kriteria lain yang dapat
digunakan dalam Step 3., Algoritma. Ambil suatu kriteria toleransi ε > 0 dan hasilkan titik
tengah dengan iterasi, xc(1), xc(3), ..., xc(N); hingga salah satu dari kriteria konvergesi
berikut tercapai.
|𝑥𝑐 (𝑁) − 𝑥𝑐 (𝑁 − 1)| < 𝜀 (2.93)

|𝑥𝑐 (𝑁) −𝑥𝑐 (𝑁−1)|


|𝑥𝑐 (𝑁)|
< 𝜀 (2.94)

Atau
𝑓(𝑥𝑐 (𝑁)) < 𝜀 (2.95)
Tak dapat dihindari munculnya kesulitan dengan kriteria-kriteria penghentian iterasi di
atas. Sebagai contoh, ada barisan {𝑥𝑐 (𝑁)} dengan sifat bahwa beda 𝑥𝑐 (𝑁)−𝑥𝑐 (𝑁 + 1)
konvergen menuju nol ketika barisan itu sendiri divergen. Juga ada kemungkinan
𝑓(𝑥𝑐 (𝑁)) dekat dengan nol ketika 𝑓(𝑥𝑐 (𝑁)) berbeda secara signifikan dari xc. Tanpa
tambahan pengetahuan mengenai f dan xc, ketidak persamaan (2.94) adalah kriteria
pemberhentian iterasi yang paling baik, karena kriteria ini melibatkan pengujian terhadap
galat relatif

xkr(3) = xc(2)

xkr(1)
x
xkn(1)

xkn(2) = xc(1)
Gambar 2.11
Algoritma 4. Algoritma Bagi Dua Interval
Step 1. Masukkan nilai ujung interval kanan awal xkn
Masukkan nilai ujung interval kiri awal xkr
Masukkan nilai konvergensi eps = 0.000001
𝑥 +𝑥
Step 2. Hitung titik tengah interval 𝑥𝑐 = 𝑘𝑛 𝑘𝑟
2
Step 3. Hitung Galat = abs(xkn - xkr)
Apakah Galat ≤ eps?
Jika tidak, lanjut ke Step 4.
Jika ya, akar persamaan xc* = xkn. Proses komputasi selesai. STOP.
Step 4. Cek d = f(xc)!
Jika d > 0, maka xkn = xc dan kembali ke Step 2. (xkr tidak berubah)
Jika d < 0, maka xkr = xc dan kembali ke Step 2. (xkn tidak berubah)
Script dari program Matlab yang dibuat berdasarkan algoritma ini adalah
bagiduainterval.m yang listingnya diberikan berikut ini.
% Script fungsi untuk menghitung akar fungsi satu variabel fungsi(x) yang
% tidak linear dengan menggunakan metoda bagi dua interval di mana a dalah
% nilai interval ujung kiri dan b adalah ujung interval kanan sehingga
% fungsi(a) mempunyai nilai negatif, sedangkan fungsi(b) mepunyai nilai
% positif
function z = bagiduainterval(fungsi,a,b)
toleransi =0.00000001;
iterasimaks = 250;
min = fungsi(a)
maks = fungsi(b)
if min > 0
disp('ganti nilai a karena nilai fungsi tidak negatif!!')
return
end
if maks < 0
disp('ganti nilai b karena nilai fungsi tidak positif!!')
return
end
ii= 1;
galat = 0.100000;
disp('langkah a b p f(tengah)')
while galat <= toleransi | ii <=iterasimaks
tengah = a + (b - a)/2;
ftengah = fungsi(tengah);
fprintf('%3d %8.6f %8.6f %8.6f %8.6f\n',ii,
a,b,tengah, ftengah);
galat = (b - a)/2;
if galat < toleransi
fprintf('Akar persamaan = %g dalam %g langkah\n',tengah ,
ii);
break;
else
fa = fungsi(a);
if (fa*ftengah)> 0
a = tengah;
else
b = tengah;
end
end
ii = ii + 1;
end
z = a
if ii >= iterasimaks
disp('Perhitungan gagal dalam %g iterasi',iterasimaks);
end
Bila kita menggunakan komputer untuk menghasilkan penghampiran nilai, adalah baik
untuk menambahkan kondisi batas atas dan batas bawah yang akan diset sebelum iterasi
dilakukan. Dengan memilih kondisi yang cocok akan menghindarkan komputer melakukan
looping yang tidak berhingga atau barisan divergen.
Metoda ini lambat dalam mencapai konvergensi. Ini terjadi karena konvergensi yang
lambat, yaitu ketikan N menjadi sangat besar sebelum 𝑥𝑐 (𝑁) − 𝑥𝑐 (𝑁 − 1) cukup kecil.
Jadi perlu dicatat, pemilihan kondisi batas atas dan batas bawah yang menyebabkan
fungsinya kecil.
Teorema 2. Katakanlah bahwa f(x) kontinu dalam interval tertutup a ≤ x ≤ b dan juga
f(a).f(b) < 0. Algoritma Biseksi menghasilkan barisan {𝑥𝑐 (𝑁)} yang menghampiri 𝑥𝑐
menurut pertidaksamaan
𝑏−𝑎
|𝑥𝑐 (𝑁)−𝑥𝑐 | ≤ 𝑁 , N≥1 (2.96)
2
Bukti: untuk setiap N ≥ 1 dan 𝑥𝑐 𝜖(𝑥𝑘𝑟 (𝑁), 𝑥𝑘𝑛 (𝑁)) kita memperoleh
𝑏−𝑎
𝑥𝑘𝑛 (𝑁) − 𝑥𝑘𝑟 (𝑁) = 𝑁−1,
2
Tetapi karena
1
𝑥𝑐 (𝑁) = [𝑥𝑘𝑟 (𝑁) + 𝑥𝑘𝑛 (𝑁)], untuk semua N ≥ 1
2
Maka akan diperoleh
1 𝑏−𝑎
|𝑥𝑐 (𝑁)−𝑥𝑐 | ≤ (𝑥𝑘𝑛 (𝑁) − 𝑥𝑘𝑟 (𝑁)) = 𝑁 𝑞𝑒𝑑
2 2
Sekarang berdasarkan Definisi, ketidakpersamaan (2.96) mengimplikasikan bahwa
{𝑥𝑐 (𝑁)}∞
𝑁=1 konvergen menuju ke 𝑥𝑐 dan dibatasi oleh suatu barisan yang konvergen ke
nol dengan laju konvergensi O(2-n).
2.2.2.2. Metoda Regula Falsi. Metoda ini disebut juga sebagai metoda “false position”
adalah metoda yang di dasarkan atas interpolasi linear. Sama seperti pada metoda
sebelumnya, hal yang paling pertama dilakukan adalah mengurung akar yang hendak dicari
dalam suatu interval tertentu, yaitu [p, q][x2, x1], sedemikian sehingga f(q) > 0 dan f(p) < 0
f(x1) > 0 dan f(x2) < 0. Untuk menjelaskan hal ini, perhatikan Gambar 4.
Pertama, kita akan mencari persamaan garis yang melalui titik (xkr, f(xkr)) dan (xkn, f(xkn)).
Persamaan garis ini adalah
𝑦(𝑥) = 𝑎𝑥 + 𝑏 (2.97)
Dengan a adalah slope garis y(x), yang dihitung dengan persamaan
𝑓(𝑥𝑘𝑛 )−𝑓(𝑥𝑘𝑟 )
𝑎= (2.98)
𝑥𝑘𝑛 −𝑥𝑘𝑟

Sedangkan b dihitung dengan persamaan berikut ini.


𝑥𝑘𝑛 𝑓(𝑥𝑘𝑟 )−𝑥𝑘𝑟 𝑓(𝑥𝑘𝑛 )
𝑏= (2.99)
𝑥𝑘𝑛 −𝑥𝑘𝑟

c adalah titik potong dari garis yang diberikan oleh persamaan (2.93) dengan sumbu x, atau
kita mendapatkan y(c) = 0 = ac + b, atau c = -b/a tetapi c ini menjadi xkr yang baru
sehingga kita dapat menuliskan persamaan proses iterative metoda regula falsi sebagai
berikut.
𝑓(𝑥𝑘𝑛 )(𝑥𝑘𝑛 −𝑥𝑘𝑟 )
𝑥𝑘𝑟 = 𝑐 = 𝑥𝑘𝑛 − (2.100)
𝑓(𝑥𝑘𝑛 )−𝑓(𝑥𝑘𝑟 )

Dengan demikian kita dapat menyusun algoritma untuk menemukan akar persamaan
persamaan tidak linear f(x) dengan menggunakan proses iteratif metoda regula falsi dengan
yang ditunjukkan dalam Algoritma 2..
Sekarang, untuk memahami tabiat konvergensi dari Metoda Regula Falsi, kita memerlukan
formula yang menyatakan galat. Script dari proram Matlab yang dibuat berdasarkan
algoritma ini adalan regulafalsi.m yang listingnya diberikan di halaman.
Untuk persamaan (2.100), kita perlu membuktikan teorema berikut ini.

Teorema 2. Untuk persamaan (2.100), berlaku


(𝛽−𝑥𝑘𝑟 )(𝛽−𝑥𝑘𝑛 )𝑓′′(𝜁)
𝛽−𝑐 = (2.101)
2𝑓′(𝜉)
xkr
c x
xkn

Gambar 2.12

Algoritma
Step 1. Tentukan konvergensi yang akan dicapai toleransi = 0.000001
Tentukan xkn sedemikian sehingga f(xkn) > 0
Tentukan xkr sedemikian sehingga f(xkr) < 0
Set iterMax = 250; Set i = 1 (counter iterasi awal)
Step 2. Hitung xkr yang baru dengan menggunakan persamaan (2.100), yaitu
ax = xkr
𝑓(𝑥𝑘𝑛 )(𝑥𝑘𝑛 −𝑥𝑘𝑟 )
𝑥𝑘𝑟 = 𝑥𝑘𝑛 −
𝑓(𝑥𝑘𝑛 )−𝑓(𝑥𝑘𝑟 )
Hitung Galat = abs(ax - xkr)
Step 3. Apakah Galat ≤ toleransi?
Jika tidak, naikkan counter iterasi satu poin, yaitu i = i + 1 dan kembali ke Step 2.
Jika ya, nilai akar dari f(x) adalah x* = xkn. Proses komputasi. STOP
Jika i > iterMax lanjut ke Step 4.
Step 4. “Proses komputasi gagal karena jumlah iterasi maksimum dilewati”. STOP
Sekarang, untuk memahami tabiat konvergensi dari Metoda Regula Falsi, kita memerlukan
formula yang menyatakan galat. Script dari proram Matlab yang dibuat berdasarkan
algoritma ini adalan regulafalsi.m yang listingnya diberikan di halaman.
Untuk persamaan (2.100), kita perlu membuktikan teorema berikut ini.
Nilai-nilai ξ yang berada di antara xkr dan xkn untuk nilai-nilai ζ yang berada di antara nilai
maksimum dan minimum dari xkr, xkn dan β. Juga dalam hal ini kita mengasumsikan bahwa
f(x) dua kali diferensiasi secara kontinu dalam interval yang mengandung xkr, xkn dan β.
Untuk mendapatkan persamaan (2.101), kita perlu memperkalikan persamaan (2.100)
dengan -1 dan menambahkan β kedua ruas persamaan tersebut
𝑓(𝑥𝑘𝑛 )(𝑥𝑘𝑛 −𝑥𝑘𝑟 )
𝛽 − 𝑐 = 𝛽 − 𝑥𝑘𝑛 + (2.102)
𝑓(𝑥𝑘𝑛 )−𝑓(𝑥𝑘𝑟 )

Dengan memfaktorkan (𝛽 − 𝑥𝑘𝑟 )(𝛽 − 𝑥𝑘𝑛 ) dari ruas kanan dan dengan sedikit manipulasi
aljabar diperoleh
𝑓[𝑥𝑘𝑟 ,𝑥𝑘𝑛 ,𝛽]
𝛽 − 𝑐 = −(𝛽 − 𝑥𝑘𝑟 )(𝛽 − 𝑥𝑘𝑛 ) (2.103)
𝑓[𝑥𝑘𝑟 ,𝑥𝑘𝑛 ]

𝑓[𝑥𝑘𝑟 , 𝑥𝑘𝑛 , 𝛽] dan 𝑓[𝑥𝑘𝑟 , 𝑥𝑘𝑛 ] adalah beda hingga terbagi, dan ini telah diperkenalkan
dalam Bab 1.
Kasus yang paling umum dari metoda Regula Falsi, adalah pada saat f’’(β)≠0 dan β adalah
satu-satunya akar di dalam [xkr, xkn]. Sekarang kita akan menyederhanakan analisis,
anggaplah bahwa f’’(x)≥0 untuk xkr ≤ x ≤ xkn; gantikan f dengan –f jika f’’(x)<0. Dengan
menganggap bahwa f’’(x)≥0, segmen garis lurus yang menghubungkan (x1, f(x1)) dan
(x2, f(x2)) berada di atas grafik y=f(x) untuk semua pilihan dalam xkr ≤ x1 < x2 ≤ xkn. Kita
akan melihat lebih sepesifik lagi untuk dua kasus yang terjadi jika f’(β) ≠ 0.
Kasus 1 f’(β) > 0. Dengan menggunakan persamaan (2.101) dan kenyataan ruang di atas
yaitu bahwa f’’(x)≥0, segmen garis lurus yang menghubungkan (x1, f(x1)) dan (x2, f(x2))
berada di atas grafik y=f(x) untuk semua pilihan dalam xkr ≤ x1 < x2 ≤ xkn. Nilai iterasi c,
harus selalu berada di antara xkr dan β seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2.12. Jadi
dalam step 3 Algoritma Regula Falsi, c selalu menggantikan xkr ketimbang xkn. Galat β-xkn
tetap. Sekarang ambillah xkr(n) meyatakan nilai xkr yang ke-n dalam algoritma, maka
(𝛽−𝑥𝑘𝑟 (𝑛))(𝛽−𝑥𝑘𝑛 )𝑓′′(𝜁𝑛)
𝛽 − 𝑥𝑘𝑟 (𝑛 + 1) = ,n≥1 (2.104)
2𝑓′(𝜉𝑛 )

dengan 𝜉𝑛 dan 𝜁𝑛 berada diantara 𝑥𝑘𝑟 (𝑛) dan xkn. Dengan demikian metoda yang
dihasilkan ini linear. Jadi tidaklah sulit untuk mendapatkan contoh dimana konstanta
pengali
(𝛽−𝑥𝑘𝑛 )𝑓′′(𝜁𝑛)
, n≥1 (2.105)
2𝑓′(𝜉𝑛 )

selalu lebih besar dari ½. Kenyataan ini membuat metoda membagi dua interval lebih cepat
untuk contoh-contoh seperti ini.
Sebagai contoh f(x) = x2 - 1½x + ½, dengan β =1 dan ½ < xkr(0) < 1 dengan langsung
menggunakan persamaan (2.100) kita dapat menghitung
(2−𝑥𝑘𝑟 (𝑛))(1−𝑥𝑘𝑟 (𝑛))
1 − 𝑥𝑘𝑟 (𝑛 + 1) = 3 (2.106)
1+ 𝑥𝑘𝑟 (𝑛)−𝑥𝑘𝑟 (𝑛)2
2

Dengan demikian, konstanta pengali dibatasi di bawah 2/3; dan konvergensinya linear
dengan kecepatan pembatas 2/3.
Kasus 2 f’(β) < 0. Iterasi terhadap nilai c selalu memenuhi β < c < xkn. Titik xkr akan tetap
tidak berubah dengan nilai c yang menggantikan nilai xkn dalamsetiap iterasinya. Semua
kenyataan lain yang ada dalam kasus pertama dapat digunakan di sini.
Masih ada problema lain terkati metoda Regula Falsi, uji galat dapat menjadi sangat jelek,
dengan memprediksinya terlalu kecil atau terlalu tinggi. Problema umum yang dapat
digunakan dalam memperkirakan galat untuk metoda-metoda iteratif diberikan dalam sub
bagian 2.2.3.

% Script fungsi untuk menghitung akar fungsi satu variabel fungsi(x) yang
% tidak linear dengan menggunakan metoda regula falsi di mana a dalah
% nilai interval ujung kiri dan b adalah ujung interval kanan sehingga
% fungsi(a) mempunyai nilai negatif, sedangkan fungsi(b) mepunyai nilai
% positif
function z = regula_falsi(fungsi,a,b)
toleransi =0.0000001;
iterasimaks = 100;
min = fungsi(a)
maks = fungsi(b)
if min > 0
disp('ganti nilai a karena nilai fungsi tidak negatif!!')
return
end
if maks < 0
disp('ganti nilai b karena nilai fungsi tidak positif!!')
return
end
xkr = a;
xkn = b;
ii= 1;
galat = 0.100000;
while galat >= toleransi %| ii <iterasimaks
ax = xkr
delta = fungsi(xkn)*(xkn - xkr)/(fungsi(xkn)-fungsi(xkr));
xkr = xkn - delta
galat = abs(xkr - ax)
iterasi =ii
if ii >= iterasimaks
disp('perhitungan gagal walaupun sudah mencapai iterasi maksimum')
return
end
ii = ii + 1;
z = xkr;
end
z

2.2.3 Analisis Galat dalam Metoda Iterasi


Dalam bagian ini akan dipelajari orde konvergensi dari iterasi fungsional dan dimaksud
sebagai cara untuk menemukan cara agar tercapai konvergensi dengan cepat. Kita akan
memulainya dengan mendefinisikan prosedur yang tepat untuk mengukur kecepatan
konvergensi.

Definisi Katakanlah bahwa bahwa {𝑡𝑖 }∞ 𝑖=0 adalah suatu barisan yang konvergen ke suatu
nilai t dan ei = ti – t untuk setiap i ≥ 1. Jika ada dua konstanta positif γ dan β sedemikian
sehingga
|𝑡 − 𝑡| |𝑒 |
lim |𝑡𝑖+1 𝛽 = lim |𝑒𝑖+1
|𝛽
= 𝛾, (2.107)
𝑖→∞ 𝑖 − 𝑡| 𝑖→∞ 𝑖
maka barisan {𝑡𝑖 }∞
𝑖=1 dikatakan konvergen menuju t dari orde β, dengan konstanta galat
asimptotik γ.
Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa suatu metoda iteratif untuk menyelesaikan
problema dengan bentuk x = F(x) dikatakan berorde β jika, bilamana metoda memberikan
konvergensi untuk {𝑡𝑖 }∞ ∞
𝑖=1 , dimana ti+1 = F(ti) untuk i ≥ 2, maka barisan {𝑡𝑖 }𝑖=1 konvergen
menuju solusi dengan orde β.
Secara umum suatu barisan dengan orde konvergensi yang besar akan konvergen lebih
cepat ketimbang barisan dengan orde konvergensi yang lebih kecil. Konstanta galat
asimptotik akan mempengaruhi kecepatan konvergensi, tetapi tidak sebesar pengaruh orde
konvergensi. Ada dua kasus orde konvergensi yang mendapat perhatian yang khusus, yaitu
1. Jika β = 1, metoda yang digunakan disebut linear
2. Jika β = 2, metoda yang digunakan disebut kuadratik.
Teorema berikut digunakan untuk menentukan karakteristik skema iterasi fungsional.

Teorema 2. Katkanlah bahwa t adalah solusi dari x = F(x). Juga bahwa F’(t) dan F’’(t)
kontinu dalam interval terbuka yang mengandung t. Maka ada satu δ > 0 sedemikian
sehingga untuk (t - δ) ≤ t0 ≤ (t + δ), barisan yang didefinisikan oleh tn+1 = F(tn) untuk
semua n > 0, untuk semua n ≥ 0, konvergen secara kuadratik.

Bukti: Pilih δ > 0 sedemikian sehingga pada interval (t - δ) ≤ t0 ≤ (t + δ), |F’(x)| ≤ w ≤ 1


dan F’’(x) kontinu. Karena |F’(x)| ≤ w ≤ 1, maka suku-suku dari barisan {𝑡𝑖 }∞ 𝑖=0 akan
berada di dalam (t - δ) ≤ t0 ≤ (t + δ). Sekarang dengan mengekspansi F(x) dalam polinom
Taylor untuk yang berada dalam interval tertutup akan memberikan
𝐹 ′′ (𝜉)
𝐹(𝑥) = 𝐹(𝑡) + 𝐹 ′ (𝑡)(𝑥 − 𝑡) + (𝑥 − 𝑡)2 ,
2
dimana ξ berada di antara x dan t. Dengan menggunakan hipotesis F(t)dan F’(t) = 0, kita
dapat mengatakan
𝐹 ′′ (𝜉)
𝐹(𝑥) = 𝑡 + (𝑥 − 𝑡)2 .
2
Secara khusus ketika, x = ti untuk beberapa nilai i.
𝐹 ′′ (𝜉𝑖 )
𝑡𝑖+1 = 𝐹(𝑡𝑖 ) = 𝑡 + (𝑡𝑖 − 𝑡)2 .
2
Dengan ξi berada di antara ti dan t. Jadi karena itu
𝐹′′ (𝜉 )
𝑡𝑖+1 − 𝑡 = 𝑒𝑖+1 = + 𝑖
𝑒𝑖2 . (2.108)
2
Karena |F’(x)| ≤ w ≤ 1 pada interval (t - δ) ≤ t0 ≤ (t + δ), dan juga karena F memetakan
interval (t - δ) ≤ t0 ≤ (t + δ) ke dalam dirinya sendiri, dengan sendirinya akan mengikuti
kenyataan yang diberikan oleh Teorema 2.2. bahwa barisan {𝑡𝑖 }∞ 𝑖=0 konvergen ke t. Tetapi
karena ξi berada di antara ti dan t untuk setiap i, maka barisan {𝜉𝑖 }∞
𝑖=0 juga konvergen ke t
dan
|𝑒𝑖+1 | |𝐹′′(𝑡)|
lim = . (2.109)
𝑖→∞ |𝑒𝑖 |2 2
Dan kenyataan ini mengimplikasikan bahwa barisan {𝑡𝑖 }∞
𝑖=0 konvergen secara kuadratis.
Dengan demikian teorema ini telah terbukti.

Agar kita dapat menggunakan Teorema 2. ini untuk menyelesaikan persamaan dengan
bentuk f(x) = 0, dan juga dengan menganggap f(x) = 0 mempunyai solusi t untuk mana
f’(t)≠0.
Sekarang perhatikan model iterasi titik tetap berikut

𝑡𝑖+1 = 𝐹(𝑡𝑖 ), i ≥ 1
dimana F mempunyai bentuk
F(x) = x - ϕ(x)f(x),
Di mana ϕ(x) adalah fungsi pembobot yang akan dipilih. Jika ϕ(x) terbatas, maka F(t)=t,
dan prosedur komputasi iteratif yang diturunkan merupakan prosedur yang konvergen
secara kuadratis. Prosedur ini memenuhi kenyataan bahwa F’(t) = 0, tetapi juga
F’(x) = x - ϕ’(x)f(x) - ϕ(x)f’(x),
Dan
F’(t) =1 - f’(t)ϕ(t),

Secara konsekwen kita dapati bahwa F’(t) = 0, jika dan hanya jika ϕ(t) = 1/f’(t)
Khususnya, konvergensi kuadratik berlaku untuk prosedur

𝑓(𝑡𝑖 )
𝑡𝑖+1 = 𝐹(𝑡𝑖 ) = 𝑡𝑖 − , i≥1 (2.110)
𝑓′(𝑡𝑖 )
Untuk kondisi tertentu dari f. Namun demikian, karena t dan demikian juga dengan f’(t),
secara umumnya tidak diketahui, pendekatan yang masuk akal untuk ini adalah mengambil
ϕ(x) = 1/f’(x), Dengan demikian prosedur komputasi menjadi seperti yang ditunjukkan oleh
persamaan (2.110) yang mana tidak lain adalah prosedur komputasi Newton-Raphson.
Dalam diskusi yang telah kita lakukan, pembatasantelah dilakukan dengan mengambil
f(t)≠0, ketika solusi f(x) adalah t. Dari Metoda Newton ini muncul suatu kerumitan, yaitu
f’(ti) dan f(ti) bergerak bersama-sama menuju nol. Khususnya, metoda ini dan metoda
Secant secara umum akan memberikan problema ketika f’(t) = 0 ketika f(t) = 0. Untuk
menelusuri kesulitan ini dengan lebih baik kita memerlukan definisi berikut.

Definisi 2. Suatu solusi t dari f(x) = 0, dikatakan mempunyai multisiplitas (multiplicity


atau pengulangan akar) m jika f(x) dapat ditulis sebagai f(x) = (x - t)mq(x), untuk x ≠ t,
dimana lim 𝑞(𝑥) ≠ 0.
𝑥→𝑡

Pada hakekatnya, q(x) menyatakan bagian dari f(x) yang tidak berkontribusi pada akar dari
f(x). Teorema berikut memberikan cara yangmudah untuk mengidentifikasi akar-akar dari
suatu fungsi yang mempunyai multisiplitas satu. Nilai akar yang demikian disebut
sederhana.

Teorema 2. Katakanlah bahwa fungsi f kontinu hingga turunan pertama dalam interval
tertutup [a, b] mempunyai akar sederhana t dalam interval terbuka (a, b) jika dan hanya
jika f(t) = 0, tetapi f’(t)≠0

Bukti: Jika f mempunyai akar sederhana di t, maka f(t) = 0 dan f(x) = (x - t)q(x), dimana
lim 𝑞(𝑥) ≠ 0. Karena fungsi f kontinu hingga turunan pertama dalam interval tertutup [a,
𝑥→𝑡
b], maka
𝑓 ′ (𝑡) = lim 𝑓 ′ (𝑥) = lim[𝑞(𝑥) + (𝑥 − 𝑡)𝑞′(𝑥)] = lim 𝑞(𝑥) ≠ 0
𝑥→𝑡 𝑥→𝑡 𝑥→𝑡
Sebaliknya, jika f(t) = 0, tetapi f’(t) ≠ 0, yang kita lakukan adalah mengekspansikan f
dalam suatu deret Taylor berdereajat nol di sekitar t, maka
𝑓(𝑥) = 𝑓(𝑡) + 𝑓 ′ (𝜉(𝑥))(𝑥 − 𝑡) = (𝑥 − 𝑡)𝑓 ′ (𝜉(𝑥))
Dimana 𝜉(𝑥) berada di antara x dan t. Karena fungsi f kontinu hingga turunan pertama
dalam interval tertutup [a, b], maka
lim 𝑓 ′ (𝜉(𝑥)) = 𝑓′ (lim 𝜉(𝑥)) = 𝑓′(𝑡) ≠ 0
𝑥→𝑡 𝑥→𝑡
Dengan mengambil 𝑞 = 𝑓 ′ o 𝜉 memberikan f(x) = (x - t)q(x), dimana lim 𝑞(𝑥) ≠ 0. Jadi
𝑥→𝑡
dengan demikian f mempunyai akar sederhana di t. QED

Hasil dari Teorema ini mengmpilikasikan bahwa suatu interval di sekitar t ada sedemikian
sehingga Metoda Newton konvergen secara kuadratik ke t untuk setiap penghampiran
awal, menghasilkan t sebagai suatu aar sederhana. Lihat soal untuk aplikasi dari teorema
ini.

2.2.4. Percepatan Konvergensi—Metoda Stefenson.


Dalam bagian ini kita akan membahas suatu konsep yang disebut sebagai metoda Δ 2
Aitken. Metoda ini dapat digunakan untuk mengakselerasi konvergensi dari setiap barisan
yang konvergen secara linear tanpa mempedulikan bentuk asalnya. Konsep ini dapat
diuraikan sebagai berikut.
Katakanlah bahwa {𝑡𝑖 }∞ 𝑖=0 adalah suatu barisan yang konvergen dengan limit t, yaitu
ei = ti – t, maka berlaku
|𝑒𝑖+1 |
lim = 𝜆 dan 0 < λ < 1 (27)
𝑖→∞ |𝑒𝑖 |
Sekarang kita akan menyelidiki suatu barisan baru {𝑡̂𝑖 }∞
yang konvergen lebih cepat
𝑖=0
ketimbang t. Untuk memulainya, anggaplah bahwa i cukup besar sehingga rasio dapat
digunakan untuk menghampiri limit. Jika kita juga menganggap bahwa setiap ei
mempunyai tanda yang sama, maka
𝑒𝑖+1 ≈ 𝜆𝑒𝑖 dan 𝑒𝑖+2 ≈ 𝜆𝑒𝑖+1
Dengan demikian kita akan memperoleh 𝑡𝑖+2 ≈ 𝑒𝑖+2 + 𝑡 ≈ 𝜆𝑒𝑖+1 + 𝑡, atau
𝑡𝑖+2 ≈ 𝜆(𝑡𝑖+1 − 𝑡) + 𝑡 (28)
Dengan menggantikan (i + 1) dengan i dalam persamaan (28), maka kita akan memperoleh
𝑡𝑖+1 ≈ 𝜆(𝑡𝑖 − 𝑡) + 𝑡 (29)
Dan dengan menyelesaikan persamaan (28) dan (29) untuk mendapatkan t sambil
mengeleminasi λ setelah beberapa operasi aljabar, maka diperoleh bentuk akhir
(𝑡𝑖+1 − 𝑡𝑖 )2
𝑡 = 𝑡𝑖 − (30)
𝑡𝑖+2 −2𝑡𝑖+1 +𝑡𝑖

Metoda Δ2 Aitken didasarkan atas asumsi bahwa {𝑡̂𝑖 }∞


𝑖=0 , yang didefinisikan oleh
(𝑡𝑖+1 − 𝑡𝑖 )2
𝑡̂𝑖 = 𝑡𝑖 − (31)
𝑡𝑖+2 −2𝑡𝑖+1 +𝑡𝑖

yang konvergen dengan cepat menuju t, ketimbang barisan asal {𝑡𝑖 }∞


𝑖=0 .
Δ Aitken yang terkait dengan metoda ini asalnya dinyatakan oleh definisi berikut ini.

Definisi. Diberikan barisan {𝑡𝑖 }∞


𝑖=0 , definisikan beda hingga maju Δti oleh

Δti = ti+1 - ti (32)


Karena definisi ini, kita dapat menurunkan
Δ2ti = Δ(Δti) = Δti+1 - Δti
= (ti+2 - ti+1) – (ti+1 - ti)
= ti+2 - 2ti+1 + ti (33)
Jadi dengan memasukkan persamaan (32) dan (33) ke dalam persamaan (31), kita akan
memperoleh persamaan berikut ini.
(∆𝑡𝑖 )2
𝑡̂𝑖 = 𝑡𝑖 − (34)
∆2 𝑡𝑖

Hingga di sini, kita telah membahas mengenai konsep Δ2 Aitken, dan kita telah
mendapatkan bahwa barisan {𝑡̂𝑖 }∞ 𝑖=0 konvergen ke t lebih cepat ketimbang yang dicapai
oleh barisan asal {𝑡𝑖 }∞
𝑖=0 , tetapi kita tidak dapat secara eksak menjelaskan tentang apa yang
dimaksudkan dengan ungkapan “lebih cepat” mencapai konvergensi. Untuk itu teorema
berikut akan menjelaskan dan menjustifikasi terminology ini.
Teorema. Katakanlah bahwa ti adalah setiap barisan yang konvergen secara linear menuju
limit t dengan ei = ti – t ≠ 0 untuk semua i ≥ 0. Maka barisan {𝑡̂𝑖 }∞
𝑖=0 konvergen dengan
cepat menuju t ketimbang barisan asal {𝑡𝑖 }∞
𝑖=0 dalam sense bahwa
𝑡̂𝑖 −𝑡
lim
𝑖→∞ 𝑡𝑖 −𝑡
Bukti: Lihat soal no.
Dengan menerapkan metoda Δ2 Aitken kepada barisan yang konvergen secara linear yang
diperoleh dari iterasi titik tetap, kita dapat mengakselerasi konvergensi menjadi kuadratik.
Prosedur ini dikenal sebagai metoda Stefenson dan berbeda sedikit dari penggunaan
metoda Δ2 Aitken secara langsung kepada barisan iterasi titik tetap yang konvergen secara
linear. Prosedur langsung dapat dikonstruksi dalam urutan t0, t1 = F(t0), t2 = F(t1), 𝑡̂0 =
{∆2 }𝑡0 , t3 = F(t2), 𝑡1̂ = {∆2 }𝑡1 , …
Dimana {∆2 } menyatakan dimana proses Δ2 Aitken diterapkan. Dalam algoritma
Stefenson, mengkonstruksi empat suku dalam urutan seperti di atas, yaitu t0, t1, t2, dan 𝑡̂0 .
Bagaimanapun pada Step ini, dianggap bahwa 𝑡̂0 adalah hampiran yang terbaik terhadap t
ketimbang t2 dan menerapkan iterasi titik-tetap (fixed-point iteration), kepada 𝑡̂0 ketimbang
kepada t2. Dengan menggunakan notasi seperti yang akan digunakan dalam Algoritma
Stefenson yang akan kita susun, barisan yang terbentuk adalah:

(0) (0) (0) (0) (0) (1) (0) (1) (1)


𝑡0 , 𝑡1 = 𝐹(𝑡0 ), 𝑡2 = 𝐹(𝑡1 ), 𝑡0 = {∆2 }𝑡0 , 𝑡1 = 𝐹(𝑡0 ) , …
Dengan demikian kita sudah menyusun Algoritma Stefenson seperti yang ditunjukkan oleh
algoritma berikut ini.
Algoritma . Algoritma Stefenson
Input: Konvergensi yang disyaratkan eps = 0.000001; Nilai coba-coba awal t0
Step 1. Masukkan nilai coba-coba awal t0. Set i = 1
Step 2. Hitung: t1 = F(t0); t2 = F(t1)
(𝑡1 − 𝑡0 )2
𝑡 = 𝑡0 −
𝑡2 −2𝑡1 +𝑡0
Jika abs(t – t0) < eps, maka akar persamaan adalah x* = t. STOP.
Step 3. Apakah i = N? Jika tidak, naikkan iterasi satu poin, yaitu i=i + 1 dan kembali ke
Step 2. Jika tidak, Komputasi gagal setelah iterasi maksimum dilewati. STOP

Algorima ini kemudian diterjemahkan ke dalam program script MATLAB dengan nama
seperti berikut ini.
function [z S] = steffenson_accel(fungsi,turunan,xcoba)
% Sript ini merupakan penterjemahan dari algoritma Steffenson yang
% digunakan untuk mencari solusi dari x = g(x) dengan nilai coba-coba awal
% xcoba. Dengan metoda ini, metoda titik tepat akan dipercepat menuju
% konvergensi. Untuk fungsi ini, inputnya adalah
% fungsi adalah fungsi yang mau dicari nilai akar realnya
% turunan adalah turunan dari fungsi
% xcoba adalah nilai tebakan awal dari akar yang hendak dicari
% Sedangkan output dari script ini adalah:
% z adalah akar real dari fungsi
% S adalah matriks yang berisi barisan Steffenson
iterasimaks = 250; %jumlah iterasi maksimum yang diambil
% Mulai dengan menset suatu matrik Q
beda = 0.000001; % menetapkan toleransi terhadap xcoba
Q = zeros(iterasimaks,3);
% elemen pertama Q(1,1) adalah nilai tebakan awal
Q(1,1) = xcoba;
ii = 1;
while ii <=iterasimaks
jj = 2;
while jj <= 3
% pembagi dari metoda Newton-Raphson dihitung.
pembaginewton = turunan(Q(ii,jj-1));
% hitung penghampiran Newton-Raphson
if pembaginewton == 0
'pembagian dengan nol pada metoda Newton-Raphson')
break
else
Q(ii,jj) = Q(ii,jj-1) - fungsi(Q(ii,jj-1))/pembaginewton;
end
% Sekarang kita menghitung penghampiran dengan metoda akselerasi
% Aitken dimulai dengan menghitung pembagi
pembagiAitken = Q(ii,3) - 2*Q(ii,2) + Q(ii,1);
if pembagiAitken == 0
'pembagian dengan nol pada metoda Aitken')
break
else
Q(ii+1,1) = Q(ii,1) - (Q(ii,2)-Q(ii,1))^2/pembagiAitken;
end
jj =jj+1;
end
% Jika pembagian dengan nol terjadi script program ini dihentikan
if (pembaginewton==0)| (pmbagiAitken==0)
break
end
% Sekarang kriteria penghentian iterasi dievaluasi
galat = abs(Q(ii,1)-Q(ii+1,1);
galatrel = galat/(abs(Q(ii+1,1))+beda)
w = fungsi(Q(ii+1,1));
if (galat<beda)| (galatrel<beda)|(y < toleransi)
% Nilai akar dan matriks S ditentukan
z = Q(ii+1,1);
S = Q(1:ii+1,:);
break
end
ii = ii +1;
end
z
S
2.3. Menghitung semua akar dari persamaan-persamaan tidak Linear
Persamaan tidak linear yang umum kita temui adalah persamaan polinom yang berderajat
n, seperti yang dinyatakan oleh persamaan berikut ini.
f(x) = a0 + a1x + a2x2 + a3x3 + . . . + anxn = 0 (35)
di mana setiap ai menyatakan koefisien dari f dan yang merupakan konstan dan an ≠ 0.
Dalam hal ini, f disebut sebagai polinom berderajat n. Fungsi f yang nol, yaitu f(x) = 0
mengisyaratkan bahwa kita dapat menemukan akar-akar dari fungsi polinom ini. Teorema
berikut merupakan teorema fundamental untuk aljabar yang pembuktiannya ada dalam
buku-buku teks yang terkait dengan aljabar.
Teorema. (Teorema Fundamental dari Aljabar). Jika f adalah suatu polinom berderajat n
dimana n≥1, maka f(x) = 0, mempunyai paling sedikit satu akar (yang mungkin kompleks).
Walupun Teorema ini merupakan teorema dasar untuk setiap studi yang terkait dengan
fungsi-fungsi elementer, biasanya membutuhkan teknik-teknik pembuktian dari study yang
terkait dengan teori fungsi kompleks, untuk itu para pembaca yang ingin membuktikan
teorema ini perlu berkonsultasi dengan buku-buku mengenai fungsi kompleks. Akibat yang
penting yang diberikan oleh teorema ini adalah Akibat 1 dan Akibat 2.
Akibat 1. Jika f(x) = a0 + a1x + a2x2 + a3x3 + . . . + anxn adalah suatu polinom berderajat
n ≥ 1, maka ada konstanta-konstanta unik x1, x2, …, xk, yang mungkin saja di antaranya ada
yang kompleks, dan bilangan-bilangan positif m1, m2, …, mk sedemikian sehingga
∑𝑘𝑖=1 𝑚𝑖 = 𝑛 dan
𝑓(𝑥) = (𝑥 − 𝑥1 )𝑚1 (𝑥 − 𝑥2 )𝑚2 … (𝑥 − 𝑥𝑘 )𝑚𝑘
Akibat 1 dari teorema ini menyatakan kepada kita bahwa akar-akar dari polinom adalah
unik, dan bahwa setiap akar xi dihitung sebanyak multiplisitasnya, yaitu mi, maka polinom
berderajat n secara tepat mempunyai n buah akar.
Akibat 2. Katakanlah bahwa f dan g masing-masing adalah polinom yang berderajat paling
besar n. Jika x1, x2, …, xk, k > n, adalah bilangan-bilangan yang berbeda dengan f(xi) = g(xi)
untuk i = 1, 2, …, k, maka f(x) = g(x) untuk semua harga dari x.
Metoda Horner. Penggunaan dari metoda Newton-Raphson untuk mencari nilai dari akar
suatu persamaan tidak linear, kita memerlukan turunan dari fungsi yang hendak dievaluasi
akarnya. Metoda berikut adalah metoda Horner yang digunakan untuk menghitung akar
dari suatu persamaan tidak linear. Teorema berikut akan mengantarkan kita kepada Metoda
ini.
Teorema (Horner). Katakanlah bahwa
f(x) = a0 + a1x + a2x2 + a3x3 + . . . + anxn = 0 dan bn = an
Jika
bk= ak + bk+1x0 untuk k = n – 1, n – 2, . . ., 2, 1, 0
maka
b0 = f(x0). Lebih-lebih lagi jika
g(x) = b1 + b2x + b3x2 + . . . + bnxn-1 = 0,
maka
f(x) = (x - x0)g(x) + b0 (36)
Bukti: Berdasarkan definisi dari g(x), maka
(x - x0)g(x) + b0 = (x - x0)(b1 + b2x + b3x2 + . . . + bnxn-1) + b0
= (bnxn + bn-1xn-1 +…+ b2x2 + b1x)
-(bnx0xn-1 + bn-1x0xn-2 + … + b2x0x + b1x0) + b0
= bnxn + (bn-1 – bnx0)xn-1 +…+( b1 - b2x0) x +(b0 - b1x0)

Berdasarkan hypothesis, bn = an dan bk - bk + 1x0 = ak, maka dengan demikian


f(x) = (x - x0)g(x) + b0 dan b0 = f(x0)
Berdasarkan Teorema ini kita dapat menyusun Algoritma Horner seperti yang
diperlihatkan dalam Agoritma berikut ini.

Algoritma. Algoritma Horner


Algoritma ini digunakan untuk mengevaluasi polinom f(x) = a0 + a1x + a2x2 + a3x3 + . . .
+ a nx n
dan turunannya
Input derajat polinom, n, koefisien dari polinom, a0, a1, a2, …, an
Step 1. Set z = an; w = an
Set j = n – 1;
Step 2. Hitung z = x0z + aj; w = x0w + z;
Step 3. Apakah j = 1? Jika tidak kurangkan indeks j satu poin yaitu j = j -1 dan kembali ke
Step 2. Jika ya, ke Step 4.
Step 4. Set z = x0z + a0
Step 5. Output (z, w); Proses komputasi selesai. STOP
Problema lain yang terkait penerapan metoda Newton bagi polinom menyangkut
kemungkinan dari polinom untuk mempunyai akar-akar yang kompleks, sekalipun semua
koefisien dari polinom adalah bilangan real. Jika hampiran awal menggunakan metoda
Newton merupakan bilangan real, semua hampiran berikutnya akan berupa bilangan real.
Salah satu cara untuk mengatasi kesulitan ini adalah memulai dengan hampiran awal yang
tidak real dan lakukan semua komputasi dengan menggunakan aritmetik kompleks.
Alternatif ini berbasiskan Teorema berikut ini.

Teorema. Jika w = p + qi adalah akar kompleks dengan multisiplitas m dari polinom f,


maka 𝑤̅ = 𝑝 − 𝑞𝑖 adalah juga akar dengan multisiplitas m dari polinom f dan (x2 -2ax + a2
+ b2)m adalah suatu factor dari f.

Bukti:

Metoda Müller.
Suatu pembagian sintetis yang melibatkan polinom kuadratik dapat disiapkan untuk
menghampiri polinom dengan pemfaktoran sehingga satu suku akan menjadi polinom
kuadratik yang memiliki akar kompleks yang merupakan hampiran dari akar polinom asli.
Sekarang kita akan melihat pada metoda yang pertama kalinya diberikan oleh D.E. Muller
di tahun 1956. Metoda yang diusulkan ini dapat digunakan untuk setiap problema
pencarian akar, tapi khususnya bermanfaat untuk pencarian akar dari polinom.
Metoda Muller merupakan generalisasi dari metoda Secant. Metoda Secant bermula
dengan dua nilai penghampiran, yaitu x0 dan x1 dan menentukan hampiran berikutnya
sebagai perpotongan antara garis yang melalui (x0, f(x0)) dan (x1, f(x1)) dengan sumbu-x,
perhatikan Gambar 5. Metoda Muller menggunakan tiga hampiran awal yakni x0, x1, dan x2
dan kemudian menentukan hampiran berikut x3 dengan mempertimbangkan perpotongan
antara sumbu-x dengan parabola melalui tiga titik hampiran, yakni (x0, f(x0)), (x1, f(x1)) dan
(x2, f(x2)) perhatikan Gambar 5 (b).

f(x0)
f(x1)

x
x0 x1 x0 x1 x2 x3

(a) (b)

Gambar 5
Penurunan metoda Muller ini dimulai dengan mempertimbangkan polinom kuadratik
berikut ini:
f(x) = a(x – x2)2 + b(x – x2) + c
Polinom kuadratik ini melewati titik-titik (x0, f(x0)), (x1, f(x1)) dan (x2, f(x2)). Konstanta a,
b, dan c dapat ditentukan dari kondisi-kondisi
f(x0) = a(x0 – x2)2 + b(x0 – x2) + c
f(x1) = a(x1 – x2)2 + b(x1 – x2) + c
f(x2) = a(x2 – x2)2 + b(x2 – x2) + c
dari kondisi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa
c = f(x2) (37)

(𝑥0 −𝑥2 )2 [𝑓(𝑥1 )−𝑓(𝑥2 )]−(𝑥1 −𝑥2 )2 [𝑓(𝑥0 )−𝑓(𝑥2 )]


𝑏= (𝑥0 −𝑥2 )(𝑥1 −𝑥2 )(𝑥0 −𝑥1 )
(38)

dan
(𝑥1 −𝑥2 ) [𝑓(𝑥0 )−𝑓(𝑥2 )]−(𝑥0 −𝑥2 ) [𝑓(𝑥1 )−𝑓(𝑥2 )]
𝑎= (𝑥0 −𝑥2 )(𝑥1 −𝑥2 )(𝑥0 −𝑥1 )
(39)

Untuk menentukan x3, akar dari f kita menerapkan formula kuadratik. Karena problema
galat pembulatan yang disebabkan karena pengurangan dari bilangan yang hampir sama,
bagaimanapun kita akan menggunakan formula berikut ini.
−2𝑐
𝑥3 − 𝑥2 = (40)
𝑏±√𝑏 2 −4𝑎𝑐

Hal ini memberikan dua kemungkinan untuk x3 bergantung kepada tanda dari suku radikal
dalam persamaan (39). Dalam metoda Muller, tanda dipilih untuk sesuai dengan tanda dari
b. Memilih dalam cara ini, penyebut akan merupakan yang terbesar dan akan memberikan
hasil x3 yang dipilih dekat dengan akar dari f ke x2. Dengan demikian
−2𝑐
𝑥3 = 𝑥2 − (41)
𝑏+𝑠𝑖𝑔𝑛(𝑏)√𝑏 2 −4𝑎𝑐

di mana a, b dan c diberikan dalam persamaan-persamaan (37) sampai (39).


Dengan demikian kita dapat menyusun algoritma untuk metoda Muller ini berdasarkan
persamaan-persamaan yang diturunkan di atas yakni persamaan (37) hingga (41)
Sekali x3 ditentukan, algoritma akan direinisialisasi menggunakan x1, x2, dan x3 sebagai
pengganti x0, x1, dan x2 untuk menemukan nilai hampiran x4. Demikian seterusnya
sehingga suatu kesimpulan yang memuaskan ditemukan. Suatu catatan yang perlu dibuat
bahwa dalam setiap iterasi, radikal √𝑏 2 − 4𝑎𝑐 selalu dilibatkan dan inilah yang
memungkinkan metoda ini untuk menghampiri akar-akar kompleks juga.
Algoritma yang disusun berdasarkan metoda ini dapat dilihat dalam Algoritma berikut ini
Algoritma. (Metoda Muller)
Algoritma ini digunakan untuk mencari akar-akar dari persamaan tidak linear (polynom)
dengan tiga hampiran awal x0, x1, dan x2. Karena perhitungan bersifat iteratif, maka
diperlukan syarat konvergensi eps = 0.000001 (sebagai contoh) dan jumlah iterasi
maksimum, maxIter.
Step 1. Hitung h1 = x1 – x0; h2 = x2 – x1;
delta1 = [f(x1) – f(x0)]/h1; delta2 = [f(x2) – f(x1)]/h2;
d = [delta2 – delta1]/(h2 + h1);
Set i = 2;
Step 2. Hitung b = delta2 + h2d;
Disk = (b2 – 4f(x2)d)1/2;
Step 3. Jika abs(b – Disk) < abs(b + Disk), maka Set E = b + Disk
Kalau yang lain yang terjadi Set E = b – Disk
Step 4. Hitung h = -2f(x2)/E; t = x2 + h;
Step 5. Jika abs(h) < eps, maka Keluaran(t). Proses Komputasi Selesai. STOP.
Step 6. Set x0 = x1; (Langkah ini merupakan persiapan untuk iterasi berikutnya)
x1 = x2; x2 = t;
Step 7. Hitung h1 = x1 – x0; h2 = x2 – x1;
delta1 = [f(x1) – f(x0)]/h1; delta2 = [f(x2) – f(x1)]/h2;
d = [delta2 – delta1]/(h2 + h1);
Step 8. Apakah i = maxIter? Jika tidak, naikkan counter iterasi satu poin, yaitu
i = i + 1 kembali ke Step 2
Jika ya, jumlah iterasi melebihi jumlah iterasi maksimum. Komputasi
gagal. STOP
Algoritma ini kemudian diterjemahkan ke dalam script program MATLAB berikut ini.
function [z fy iterasi] = muller_method(fungsi,x1,x2,x3)
% Fungsi ini digunakan untuk menghitung akar dari persamaan tidak linear
% f(x) menggunakan metoda Muller. Fungsi miller_method(fungsi,x0,x1,x2)
% memerlukan input sebagai berikut
% fungsi(x) adalah f(x) yang tidak linear dimana f(x)=0 yang hendak
% dicari akar realnya.
% x1, x2 dan x3 adalah nilai tebakan ke 1, 2 dan 3 akar dari f(x)=0
% Selain itu miller_method(fungsi,x0,x1,x2) akan memberikan output
% sebagai berikut:
% z sebagai nilai dari akar f(x) = 0
% fy sebagai nilai dari fungsi f(x) = 0 di x = z
% iterasi merupakan jumlah iterasi yang diperlukan dalam komputasi
% hingga mendapatkan nilai akar z
iterasimaks = 250;
toleransi = 0.0000001;
beda = 0.000001;
% Pertama, inisialisasi matriks Q dan R
Q = [x1 x2 x3];
W = fungsi(Q);
% Hitung parameter-parameter a dan b
ii = 1;
while ii <= iterasimaks
h1 = Q(1) - Q(3); h2 = Q(2) - Q(3);
e1 = W(1) - W(3); e2 = W(2) - W(3);
c = W(3);
penyebut = h2*h1^2 - h1h2^2;
a = (e1*h2 - e2*h1)/penyebut;
b = (e2*h1^2 - e1*h2^2)/penyebut;
% Tekan semua akar yang imajiner
if (b^2 - 4*a*c)>0
diskriminan = sqrt(b^2 - 4*a*c);
else
diskriminan = 0;
end
% Menghitung akar terkecil
if b < 0
diskriminan = -diskriminan;
end
u = -2*c/(b + diskriminan);
z = Q(3) + u;
% Lakukan pensortiran terhadap entri dari Q untuk menemukan dua
% terdekat dengan z
if abs(z - Q(2)) < abs(z - Q(1))
Boneka = [Q(2) Q(1) Q(3)];
Q = Boneka;
W = fungsi(Q);
end
if abs(z - Q(3)) < abs(z - Q(2))
Wayang = [Q(1) Q(3) Q(2)];
Q = Wayang;
W = fungsi(Q);
end
% Menggantikan entri Q yang terjauh dari z dengan z
Q(3) =z;
W(3) = fungsi(Q(3));
fy = W(3);
% Tentukan kriteria langkah
galat = abs(u);
galatrel =galat/(abs(z) + beda);
if (galat < beda) | (galatrel < beda) | (abs(fy) < toleransi)
break
end
if ii == iterasimaks
disp('Iterasi maksimum dicapai tanpa mendapatkan hasil yang
konvergen')
return
end
ii = ii + 1;
end

Hal lain yang perlu kita catat di sini, bahwa metoda Muller ini tidak seefisien seperti
metoda Newton. Orde konvergensinya sekitar 1.84 sedangkan metoda Newton 2.0. Tapi
yang jelas metoda ini lebih baik ketimbang metoda Secant dimana orde konvergensinya
1.62.
Secara umum deflasi biasanya digunakan bersama-sama metoda Muller ketika suatu akar
hampiran diperoleh. Setelah penghampiran terhadap akar dari persamaan yang telah
dideflasi diperoleh, gunakan entah metoda Muller atau metoda Newton dengan akar ini
sebagai hampiran awal. Ini akan menjamin bahwa akar yang dihampiri merupakan solusi
dari persamaan yang sesungguhnya, bukan bagi persamaan yang dideflasi.
Metoda berorde tinggi yang lainnya juga tersedia untuk menentukan akar dari polinom.
Ada metoda lain seperti metoda Bairstow dan metoda Laguerre.
Metoda Bairstow.
Perhatikan yang diberikan di persamaan (35) di atas. Karena persamaan ini adalah suatu
persamaan polinom berorde n, maka berdasarkan Teorema kita memastikan bahwa
persamaan ini mempunyai n akar. Metoda umum yang dipakai untuk melokalisir akar-akar
dari polinom adalah dengan menemukan semua factor kuadratiknya. Faktor-faktor
kuadratik itu akan mempunyai bentuk
g(x) = x2 + αx + β (42)
Katakanlah kita mempunyai suatu persamaan lain yaitu h(x) dan R(x), yaitu
h(x) = b2 + b3x + b4x2 + … + bn-1xn-3 + bnxn-2 (43)
dan
R(x) = b0 + b1x (44)
Sehingga polinom f(x) di persamaan (35) dapat dinyatakan dalam bentuk perbanyakan dari
persamaan (42) dan (43) yang kemudian ditambahkan dengan persamaan (44), yakni
f(x) = g(x)h(x) + R(x) (45)
Yang memberikan
f(x) = (x2 + αx + β)( b2 + b3x + b4x2 + … + bn-1xn-3 + bnxn-2) + b0 + b1x (46)
Dengan menyamakan koefisien yang sesuai untuk x dan pangkatnya, maka kita akan
memperoleh sistem persamaan berikut ini.
an = bn
an-1 = bn-1 + αbn
an-2 = bn-2 + αbn-1 + βbn
an-3 = bn-3 + αbn-2 + βbn-1
. . . . . .
. . . . . . (47)
a3 = b3 + αb4 + βb5
a2 = b2 + αb3 + βb4
a1 = b1 + αb2 + βb3
a0 = βb2

Persamaan (47) ini bisa diselesaikan untuk mendapatkan koefisien-koefisien bn, bn-1, bn-2,
…, b2, b1, b0 sebagai berikut:
bn = an
bn-1 = an-1 - αbn
bn-2 = an-2 - αbn-1 - βbn
bn-3 = an-3 - αbn-2 - βbn-1
. . . . . .
. . . . . . (48)
. . . . . .
b3 = a3 - αb4 - βb5
b2 = a2 - αb3 - βb4
b1 = a1 - αb2 - βb3
b0 = a0 - βb2

Yang kita butuhkan adalah g(x) sebagai faktor kuadratik eksak dari f(x), dengan demikian
sisa R(x) seperti yang diberikan dalam persamaan (44) adalah nol. Dan ini mengisyaratkan
b0 = 0 dan b1 = 0 (49)
Dapat kita lihat dari persamaan (48), bahwa b0 dan b1 adalah fungsi dari α dan β. Kalau
sekarang kita katakan bahwa 𝛼̂ dan 𝛽̂ masing-masing menyatakan nilai yang benar dari α
dan β, persamaan (49) akan memberikan
b0(𝛼̂, 𝛽̂ ) = 0 dan b1(𝛼̂, 𝛽̂ ) = 0 (50)
Jika kita mengambil α dan β sebagai hampiran awal dari 𝛼̂ dan 𝛽̂ , kita akan mencari harga-
harga yang diperbaiki yaitu α + dα dan β + dβ, yang mendorong persamaan (50)
mendekati nol. Dengan mengekspansikan b0 dan b1 dalam deret Taylor di sekitar α dan β,
kita akan mendapatkan
𝜕𝑏 𝜕𝑏
𝑏0 (𝛼 + 𝑑𝛼, 𝛽 + 𝑑𝛽) = 𝑏0 (𝛼, 𝛽) + Δ𝛼 ( 0 ) + Δ𝛽 ( 0 ) (51)
𝜕𝛼 𝜕𝛽
dan
𝜕𝑏1 𝜕𝑏1
𝑏1 (𝛼 + 𝑑𝛼, 𝛽 + 𝑑𝛽) = 𝑏1 (𝛼, 𝛽) + Δ𝛼 ( ) + Δ𝛽 ( ) (52)
𝜕𝛼 𝜕𝛽
di mana turunan parsial dievaluasi pada α dan β, dan Δα dan Δβ yang diberikan oleh:
Δ𝛼 = 𝛼̂ − 𝛼 dan Δ𝛽 = 𝛽̂ − 𝛽 (53)

Dengan membuat persamaan (51) dan (52) menjadi nol, yaitu dengan mengambil anggapan
bahwa 𝛼 + 𝑑𝛼 ≈ 𝛼̂ dan 𝛽 + 𝑑𝛽 ≈ 𝛽̂ , kita akan memperolah
𝜕𝑏 𝜕𝑏
Δ𝛼 ( 0 ) + Δ𝛽 ( 0 ) = −𝑏0 (𝛼, 𝛽) (54)
𝜕𝛼 𝜕𝛽
Dan
𝜕𝑏1 𝜕𝑏1
Δ𝛼 ( ) + Δ𝛽 ( ) = −𝑏1 (𝛼, 𝛽) (55)
𝜕𝛼 𝜕𝛽
Dapat dilihat bahwa evaluasi turunan parsial dari b0 dan b1dalam persamaan-persamaan
(54) dan (55) menghendaki perhitungan rekursif turunan-turunan parsil dari semua bi,
untuk i = n, n-1, …, 2, 1, 0 dalam persamaan (48), yaitu
𝜕𝑏𝑛
=0
𝜕𝛼
𝜕𝑏𝑛
=0
𝜕𝛽
𝜕𝑏𝑛−1 𝜕𝑏𝑛
= −𝑏𝑛 − 𝛼 = −𝑏𝑛
𝜕𝛼 𝜕𝛼
𝜕𝑏𝑛−1 𝜕𝑏𝑛
=𝛼 =0
𝜕𝛽 𝜕𝛽
𝜕𝑏𝑛−2 𝜕𝑏𝑛−1 𝜕𝑏𝑛
= −𝑏𝑛−1 − 𝛼 −𝛽 = −𝑏𝑛−1 + 𝛼𝑏𝑛
𝜕𝛼 𝜕𝛼 𝜕𝛼
𝜕𝑏𝑛−2 𝜕𝑏𝑛−1 𝜕𝑏𝑛
= −𝛼 − 𝑏𝑛 − 𝛽 = −𝑏𝑛
𝜕𝛽 𝜕𝛽 𝜕𝛽
. . . . . .
. . . . . . (56)
𝜕𝑏2 𝜕𝑏3 𝜕𝑏
= −𝑏3 − 𝛼 −𝛽 4
𝜕𝛼 𝜕𝛼 𝜕𝛼
𝜕𝑏2 𝜕𝑏3 𝜕𝑏4
= −𝛼 − 𝑏4 − 𝛽
𝜕𝛽 𝜕𝛽 𝜕𝛽
𝜕𝑏1 𝜕𝑏2 𝜕𝑏3
= −𝑏2 − 𝛼 −𝛽
𝜕𝛼 𝜕𝛼 𝜕𝛼
𝜕𝑏1 𝜕𝑏2 𝜕𝑏3
= −𝛼 − 𝑏3 − 𝛽
𝜕𝛽 𝜕𝛽 𝜕𝛽
𝜕𝑏0 𝜕𝑏2
= −𝛽
𝜕𝛼 𝜕𝛼
𝜕𝑏0 𝜕𝑏2
= −𝑏2 − 𝛼
𝜕𝛽 𝜕𝛽

Disini semua turunan parsil dievaluasi di (α, β). Sekali turnan-turunan parsil dari b0 dan b1
terhadap α dan β dievaluasi, persamaan (57) dapat diselesaikan untuk Δα dan Δβ dan kita
akan memperoleh
𝜕𝑏0 𝜕𝑏
𝑏1 ( )−𝑏0 ( 1 )
𝜕𝛽 𝜕𝛽
∆𝛼 = 𝜕𝑏 𝜕𝑏 𝜕𝑏 𝜕𝑏 (57)
( 0 1− 1 0)
𝜕𝛼 𝜕𝛽 𝜕𝛼 𝜕𝛽

𝜕𝑏 𝜕𝑏
𝑏0 ( 𝜕𝛼1 )−𝑏1 ( 𝜕𝛼0 )
∆𝛽 = 𝜕𝑏1 𝜕𝑏0 𝜕𝑏0 𝜕𝑏1 (58)
( − )
𝜕𝛽 𝜕𝛼 𝜕𝛽 𝜕𝛼

Sekali Δα dan Δβ diketahui, penghampiran baru untuk mengoreksi harga-harga dari 𝛼̂ dan
𝛽̂ masing-masing dihitung sebagai α + Δα dan β + Δβ.
Faktor kuadratik dari polinom, yaitu x2 + αx + β dan akar-akarnya dihitung secara iterative
dengan menggunakan algoritma yang disusun berdasarkan metoda yang telah diturunkan di
atas yang diberikan oleh Algoritma Bairstow.

Algoritma . Bairstow.

Step 1. Pilihlah nilai hampiran untuk α dan β, masing-masing untuk 𝛼̂ dan 𝛽̂ .


Set i = 1
Step 2. Hitunglah koefisien-koefisien b1 dan b0 dengan menggunakan
persamaan (48)
Step 3. Hitung turunan-turunan parsial dari b1 dan b0 masing-masing terhadap
α dan β dengan
menggunakan persamaan (56)
Step 4. Selesaikan persamaan (57) dan (58) untuk Δα dan Δβ.
Step 5. Hitung penghampiran baru untuk 𝛼̂ dan 𝛽̂ sebagai α + Δα dan β + Δβ.
Step 6. Apakah Δα dan Δβ sudah cukup kecil (lebih atau sama dengan batas
toleransi eps)?
Jika belum, naikkan counter itersi satu poin, yaitu i = i + 1, dan
kembali ke Step 2. Jika sudah, lanjut ke Step 7.
Step 7. Gunakan nilai-nilai α dan β yang telah konvergen ke 𝛼̂ dan 𝛽̂
untuk menghitung akar persamaan f(x) dari factor kuadratik
x2 + 𝛼̂x + 𝛽̂ = 0 dengan menggu nakan rumus abc.
Carilah polinom baru yang mempunyai derajat n – 2, dan kemudian
cari faktor kuadratik yang aru dan ulangi kembali dari Step 1.
Metoda Bairstow ini dapat digunakan untuk menentukan akar-akar real, kompleks atau
yang berulang dari fungsi polinom. Namun demikian seringkali kita terkendala dengan
pemilihan hampiran awal. Kelemahan lainnya, bahwa akar yang dihitung tidak terlalu
akurat.

2.3. Soal-Soal

Vous aimerez peut-être aussi