Vous êtes sur la page 1sur 30

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

KELOMPOK V

NUR NADHILAH I.D.S BARANUDDIN 2117008


ANDI TENRI ULANDARICITRA 2117025
FITRAH TAMBIO 2117011

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
GEMA INSAN AKADEMIK
MAKASSAR
2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur hanyalah bagi Allah SWT, karena atas limpahan rahmat, taufik
dan hidayah-Nya kepada penyusun sehingga mampu menyelesaikan salah satu
tugas mata kuliah farmakoterapi lanjutan dengan judul makalah “Penyakit Paru
Obstruksi Kroni (PPOK)” ini dengan baik.
Ucapan terima kasih penyusun sampaikan kepada seluruh pihak yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Penyusun menyadari sepenuhnya atas keterbatasan ilmu maupun dari segi
penyampaian yang menjadikan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan dari semua pihak
untuk sempurnanya makalah ini, sehingga dapat melengkapi khasanah ilmu
pengetahuan yang senantiasa berkembang dengan cepat.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................
DAFTAR ISI........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................
A. Latar Belakang..................................................................................................
B. Rumusan Masalah.............................................................................................
C. Tujuan...............................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................
A. Defenisi PPOK.................................................................................................
B. Etiologi..............................................................................................................
C. Patofisiologi......................................................................................................
D. Gejala Dan Tanda.............................................................................................
E. Klasifikasi ........................................................................................................
F. Tatalaksana Terapi.............................................................................................
G. KIE (Konseling,Informasi dan Edukasi)..........................................................
H. Kasus PPOK Dan Tatalaksana Terapi...............................................................
BAB III PENUTUP.............................................................................................
A. Kesimpulan.......................................................................................................
B. Saran.................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Istilah CARA atau Chronic Aspecific Respiratory Affections
mencangkup semua penyakit saluran napas yang bercirikan penyumbatan
(obstruksi) bronchi disertai pengembangan mukosa dan sekreesi dahak
berlebihan. Penyakit-penyakit tersebut meliputi berbagai bentuk penyakit
beserta peralihannya, yakni asma,bronchitis kronis dan enfisema paru atau
PPOK.
PPOK menempati urutan ketiga dari kematian penduduk di negri
Belanda (setelah Penyakit Jantung dan Pembuluh (PJP) dan kanker). Juga
secara global mortalitas akibat gangguan ini meningkat, sedangkan
kematian karena penyakit kardiovaskuler menurun. Menurunkan angka
kematian dari COPD/PPOK merupakan salah satu tujuan dari “Global
initiative for chronic obstructive lung disease (GOLD) “ suau organisasi
dari WHO dan US National heart, Lung and Blood Institute.
Berkaitan dengan farmakoterapi bagi cara pemilihan terapi yang
baik salah satunya adalah tatalaksana terapi sesuai alogaritma terapi
dengan meminimalkan efek samping. Sehingga untuk mengetahui
pemilihan tatalaksana terapi yang sesuai diperlukan pemahaman lebih
lanjut mengenai penyakit PPOK ini baik itu meliputi etiologi,
patofisiologi, klasifikasi, gejala dan tanda serta alogaritma terapinya.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan PPOK, etiologi dan
patofisiologidari PPOK
2. Untuk mengetahui pengklasifikasian PPOK, gejala dan tanda PPOK
3. Untuk mengetahui tatalaksana terapi dan KIE PPOK
4. Untuk mengetahui pengkajian salah satu kasus pasien PPOK

4
BAB II
TINJAUAN TEORI

I. KONSEP DASAR KEPERAWATAN

A. Defenisi PPOK
Menurut WHO yang dituangkan dalam Global Initiative for
Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) tahun 2001 dan di-update
tahun 2005, Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) atau
penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) didefenisikan sebagai penyakit
yang dikarakteristir oleh adanya obstruksi saluran pernafasan yang
tidak reversibel sepenuhnya. Sumbatan aliran udara ini umunya
bersifat progresif dan berkaitan dengan responinflamasi abnormal
paru-paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya. Beberapa rumah
sakit di Indonesia ada yang menggunakan istilah PPOM (Penyakit
Paru Obstruksi Menahun) yang merujuk pada penyakit yang sama.
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau
reversibel parsial.
Menurut PDPI (Persatuan Doktr Paru Indonesia) PPOK adalah
penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel
parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau
gabungan keduanya.
PPOK terdiri dari Bronchitis kronis dan emfisema atau
gabungan keduanya. Bronchitis kronis adalah kondisi dimana terjadi
sekresi mucus berlebihan ked alam cabang bronkus yang
bersifat kronis dan kambuhan, disertai batuk yang terjadi pada hampir
setiap hari selama sedikitnya 3 bulan dalam setahun untuk 2 tahun
berturut-turut. Sedangkan emfisema adalah kelainan paru-paru yang
dikarakterisir oleh pembesaran rongga udara bagian distal sampai
keujung bronkiole yang abnormal dan permanent, disertai dengan
kerusakan dinding alveolus. Pasien pada umumnya mengalami kedua
gangguan ini, dengan salah satunya dominan.

B. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernafasan


5
Saluran pernafasan atau tractus respiratorius (respiratory rate)
adalah bagian tubuh manusia yang berfungsi sebagai tempat lintasan
dan tempat pertukaran gas yang diperlukan untuk proses pernafasan.
Saluran ini berpangkal pada hidung, faring, laring, trakhea, bronkus
utama, bronkus lobaris, bronkiolus dan paru-paru (Wibowo, 2005 :
68).
Sistem pernafasan berfungsi sebagai pendistribusi udara dan
penukaran gas sehingga oksigen dapat disuplai ke dan karbon dioksida
dikeluarkan dari sel-sel tubuh, karena sebagian besar dari jutaan sel
tubuh kita letaknya terlalu jauh dari tempat terjadinya pertukaran gas,
maka udara pertama-tama harus bertukaran dengan darah, darah harus
bersirkulasi dan akhirnya darah dan sel-sel harus melakukan
pertukaran gas (Asih, 2003 : 20).
Saluran pernafasan terbagi menjadi saluran pernafasan atas dan
saluran pernafasan bawah.
1. Saluran pernafasan atas
a. Hidung
Hidung merupakan pintu masuk pertama udara yang kita
hirup yang terbentuk dari dua tulang hidung dan beberapa
kartilago. Terdapat dua pintu pada dasar hidung yaitu nostril
(lubang hidung), atau neres eksternal yang dipisahkan oleh septum
nasal di bagian tengahnya.
b. Faring
Faring atau tenggorokan adalah tuba muskular yang terletak
di posterior ronggal nasal dan oral dan di anterior vertebra
servikalis. Faring dapat dibagi menjagi tiga segmen :
1) Nasofaring : terletak di belakang rongga nasal. Adenoid atau
tonsil faringeal terletak pada dinding posterior nasofaring, yaitu
nodus limfe yang mengandung makrofag. Nasofaring adalah
saluran yang hanya dilalui oleh udara, tetapi bagian faring
lainnya dapat dilalui baik oleh udara maupun makanan.
2) Orofaring : terletak di belakang mulut. Tonsil adenoid dan
lingual pada dasar lidah, membentuk cincin jaringan limfatik
mengelilingi faring untuk menghancurkan patogen yang masuk
ke dalam mukosa.
3) Laringofaring : merupakan bagian paling inferior dari faring.
Laringofaring ke arah anterior ke dalam laring dan ke arah

6
posterior ke dalam esofagus. Kontraksi dinding muskular
orofaring dan laringofaring merupakan bagian dari refleks
menelan.
c. Laring
Fungsinya yaitu berbicara adalah saluran pendek yang
menghubungkan faring dengan trakhea. Laring menjadi sarana
pembentukan suara. Dinding laring terutama dibentuk oleh
tulang rawan (kartilago) dan bagian dalamnya dilapisi oleh
membran mukosa bersilia. Kartilago laring yang terbesar adalah
kartilago tiroid : teraba pada permukaan anterior leher (pada pria
kartilago ini membesar yang disebut Adam’s apple).
Epiglotis atau kartilago epiglotik adalah kartilago yang
paling atas, bentuknya seperti lidah dan keseluruhannya dilapisi
oleh membran mukosa. Selama menelan, laring bergerak ke atas
dan epiglotis tertekan ke bawah menutup glotis. Gerakan ini
mencegah masuknya makanan atau cairan ke dalam laring.
Pita suara terletak di kedua sisi glotis. Selama bernapas pita
suara tertahan di kedua sisi glotis sehingga udara dapat masuk
dan keluar dengan bebas dari trakhea.
2. Saluran pernafasan bawah
a. Trakhea
Terletak di depan esofagus dan saat palpasi teraba sebagai
struktur yang keras, kaku tepat di permukaan anterior leher trakhea
memanjang dari laring ke arah bawah ke dalam rongga toraks
tempatnya terbagi menjadi bronkhi kanan dan kiri. Dinding trakhea
disangga oleh cincin-cincin kartilago, otot polos dan serat elastik
dan dilapisi oleh membran mukosa bersilia yang banyak
mengandung sel yang mensekresi lendir.
a. Bronkhial dan alveoli
Ujung distal trakhea membagi menjadi bronkhi primer
kanan dan kiri yang terletak di dalam rongga dada. Di dalam paru-
paru membentuk cabang menjadi bronkhus sekunder. Fungsi
percabangan bronkhial untuk memberikan saluran bagi udara
antara trakhea dan alveoli. Sangat penting artinya untuk menjaga
agar jalan udara ini tetap terbuka dan bersih.
Unit fungsi paru atau alveoli berjumlah sekitar 300 sampai
500 juta di dalam paru-paru pada rata-rata orang dewasa.

7
Fungsinya sebagai satu-satunya tempat pertukaran gas antara
lingkungan eksternal dan aliran darah. Setiap alveolus terdiri atas
ruang udara mikroskopik yang dikelilingi oleh dinding yang tipis
yang terdiri atas satu lapis epitel skuamosa. Diantara sel epitel
terdapat sel-sel khusus yang menyekresi lapisan molekul lipid
seperti deterjen yang disebut surfaktan yang melapisi permukaan
dalam dinding alveolar.
b. Paru-paru
Paru-paru terletak di kedua sisi jantung di dalam rongga dada
dan dikelilingi serta dilindungi oleh sangkar iga. Fungsi paru-paru
adalah tempat terjadinya pertukaran gas antara udara atmosfir dan
udara dalam aliran darah. Setiap paru dibagi menjadi kompartemen
yang lebih kecil, pertama disebut lobus. Paru kanan terdiri atas tiga
lobus dan lebih besar dari kiri yang hanya terdiri atas dua lobus.
Lapisan yang membatasi antara lobus disebut fisura. Lobus
kemudian membagi lagi menjadi kompartemen yang lebih kecil
dan dikenal sebagai segmen. Setiap segmen terdiri atas banyak
lobulus, yang masing-masing mempunyai bronkhiale, arteriole,
venula, dan pembuluh limfatik.
Dua lapis membran serosa mengelilingi setiap paru dan disebut
sebagai pleura. Lapisan terluar disebut pleura parietal yang melapisi
dinding dada dan mediastium. Lapisan di dalamnya disebut pleura
viseral yang mengelilingi paru dan dengan kuat melekat pada
permukaan luarnya. Rongga pleural ini mengandung cairan yang
dihasilkan oleh sel-sel serosa di dalam pleura yang fungsinya
melicinkan permukaan dua membran pleura untuk mengurangi gesekan
saat paru-paru mengembang dan kontraksi saat bernafas.
d. Thoraks
Rongga thoraks terdiri atas rongga pleura kanan dan kiri dan
bagian tengah yang disebut mediastrium. Thoraks mempunyai
peran penting. Thoraks menjadi lebih besar ketika dada
dibusungkan dan menjadi lebih kecil ketika dikempeskan. Saat
diafragma berkontraksi, diafragma akan mendatar keluar dan
dengan demikian menarik dasar rongga thoraks ke arah bawah
sehingga memperbesar volume thoraks ketika diafragma rileks
maka memperkecil volume rongga thoraks (Asih, 2003 : 3-9).

8
Proses respirasi berlangsung beberapa tahap menurut (Alsagaff,
2006 : 7) yaitu :
1) Ventilasi : yaitu pergerakan udara ke dalam dan ke luar paru.
Inspirasi yaitu pergerakan udara dari luar ke dalam paru.
Ekspirasi yaitu pergerakan udara dari dalam ke luar paru.
2) Pertukaran gas di dalam alveoli dan darah. Proses ini disebut
pernafasan luar.
3) Transportasi gas melalui darah.
4) Pertukaran gas antara darah dengan sel-sel jaringan. Proses ini
disebut pernafasan dalam.
5) Metabolisme penggunaan O2 di dalam sel serta pembuatan CO2
yang disebut juga pernafasan seluler.

C. Etiologi
Ada beberapa faktor resiko utama berkembangnya penyakit ini,
yang dibedakan menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host.
Beberapa faktor paparan lingkungan antara lain adalah :
1. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK, dengan
risiko 30 kali lebih besar pada perokok dibanding dengan bukan
perokok, dan merupakan penyebab dari 85-90% kasus PPOK. Kurang
lebih 15-20% perokok akan mengalami PPOK. Kematian akibat PPOK

9
terkait dengan banyaknya rokok yang dihisap, umur mulai merokok,
dan status merokok yang terakhir saat PPOK berkembang.
Namun demikian, tidak semua penderita PPOK adalah perokok.
Kurang lebih 10 % orang yang tidak merokok juga mungkin menderita
PPOK. Perokok pasif (tidak merokok tetapi sering terkena asap rokok)
juga berisiko menderita PPOK.
2. Pekerjaan
Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan
keramik yang terpapar debu silika, atau pekerja yang terpapar debu
katun dan debu gandum, toluene diisosianat, dan asbes, mempunyai
risiko yang lebih besar daripada yang bekerja di tempat selain yang
disebutkan di atas.
3. Polusi udara
Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan semakin memburuk
gejalanya dengan adanya polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari luar
rumah seperti asap pabrik, asap kendaraan bermotor, dll, maupun
polusoi dari dalam rumah misalnya asap dapur.
4. Infeksi
Kolonisasi bakteri pada saluran pernafasan secara kronis
merupakan suatu pemicu inflamasi neurotofilik pada saluran nafas,
terlepas dari paparan rokok. Adanya kolonisasi bakteri menyebabkan
peningkatan kejadian inflamasi yang dapat diukur dari peningkatan
jumlah sputum, peningkatan frekuensi eksaserbasi, dan percepatan
penurunan fungsi paru, yang semua ini meningkatkan risiko kejadian
PPOK.
Sedangkan faktor risiko yang berasal dari host/pasiennya antara lain :
1. Usia
Semakin bertambah usia, semakian besar risiko menderita
PPOK. Pada pasien yang didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun,
kemungkinan besar dia menderita gangguan genetik
berupa defisiensi α1-antitripsin.
2. Jenis kelamin
Laki-laki lebih berisiko terkena PPOK daripada wanita,
mungkin ini terkait dengan kebiasaan merokok pada pria. Namun
ada kecendrungan peningkatan prevalensi PPOK pada wanita
karena meningkatnya jumlah wanita yang merokok.

10
3. Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi
Adanya gangguan fungsi paru-paru merupakan faktor risiko
terjadinyaPPOK,misalnya defisiensiImmunoglobulinA (IgA/ hypog
ammaglubulin) atau infeksi pada masa kanak-kanak seperti TBC
dan bronkiektasis. Orang yang pertumbuhan parunya tidak normal
karena lahir dengan berat badan rendah, ia memiliki risiko lebih
besar untuk mengalami PPOK.
4. Predisposisi genetik, yaitu defisiensi a1-antitripsin (AAT)
Defisiensi AAT ini terutama dikaitkan dengan emfisema,
yang disebabkan oleh hilangnya elastisitas jaringan di dalam paru-
paru secara progresif karena adanya ketidakseimbangan
antara enzim proteolitik dan faktor protektif
D. Patofisiologi
Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama
pada PPOK yang diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada
saluran nafas bagian proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi
paru yang dikarenakan danya suatu inflamasi yang kronik dan
perubahan struktural pada paru. Terjadinya peningkatan penebalan
pada saluran nafas kecil dengan peningkatan formasi folikel limfoid
dan deposisi kolagen dalam dinding luar salurannafas mengakibatkan
restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil
berkurangakibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat
inflamasi, yang meningkat sesuai berat sakit. Dalam keadaan normal
radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan seimbang.
Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan
di paru.
Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan
kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru.
Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya
akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid
selanjutnya akan menimbulkan kerusakan sel dan inflamasi. Proses
inflamasi akan mengaktifkan sel makrofag alveolar, aktivasi sel
tersebut akan menyebabkan dilepaskannya faktor kemotataktik
neutrofil seperti interleukin 8 dan leukotrienB4,tumuor necrosis factor
(TNF),monocyte chemotactic peptide(MCP)-1 danreactive oxygen
species(ROS). Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil
melepaskan protease yang akanmerusak jaringan ikat parenkim paru

11
sehingga timbul kerusakan dinding alveolar danhipersekresi mukus.
Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya limfosit CD 8,
selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses inflamasi. Pada keadaan
normal terdapatkeseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Enzim
NADPH yang ada dipermukaan makrofagdan neutrofil akan
mentransfer satu elektron ke molekul oksigen menjadi anion
superoksidadengan bantuan enzim superoksid dismutase. Zat hidrogen
peroksida (H2O2) yang toksik akandiubah menjadi OH dengan
menerima elektron dari ion feri menjadi ion fero, ion fero
denganhalida akan diubah menjadi anion hipohalida (HOCl).
Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat
menginduksi batuk kronis sehingga percabangan bronkus lebih mudah
terinfeksi. Penurunan fungsi paru terjadi sekunder setelah perubahan
struktur saluran napas. Kerusakan struktur berupa destruksi alveol
yang menuju ke arah emfisema karena produksi radikal bebas yang
berlebihan oleh leukosit, polusi dan asap rokok.

Konsep patogenesis PPO

E. Gejala Dan Tanda (Manifestasi Klinik)


Gejala klinis yang biasa ditemukan pada penderita PPOK adalah
sebagai berikut :
1. Batuk kronik
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan dalam 2
tahun terakhir yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan.
Batuk dapat terjadi sepanjang hari atau intermiten. Batuk kadang
terjadi pada malam hari.

12
2. Berdahak kronik
Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi sputum. Kadang
kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerustanpa disertai
batuk. Karakterisktik batuk dan dahak kronik ini terjadi pada pagi hari
ketika bangun tidur.
3. Sesak napas
Terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah
mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat
sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Anamnesis harus dilakukan
dengan teliti, gunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak .
Tabel skala sesak
Skala Sesak Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas
0 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat
1 Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga
1 tingkat
2 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak
3 Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa menit
4 sesak bila mandi atau berpakaian

Tanda fisik pada PPOK jarang ditemukan hingga terjadi


hambatan fungsi paru yang signifikan. Pada pemeriksaan fisik seringkali
tidak ditemukan kelainan yang jelas terutama auskultasi pada PPOK
ringan, karena sudah mulai terdapat hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada
PPOK derajat sedang dan PPOK derajat berat seringkali terlihat perubahan
cara bernapas atau perubahan bentuk anatomi toraks.
Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal
sebagai berikut:
a. Inspeksi
i. Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong)
ii. Terdapat purse lips breathing (seperti orang meniup)
iii. Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot
bantu nafas
b. Palpasi yaitu sel iga melebar
c. Perkusi yaitu hipersonor
d. Auskultasi
i. Fremitus melemah
ii. Suara nafas vesikuler melemah atau normal
iii. Ekspirasi memanjang
iv. Bunyi jantung menjauh

13
v. Terdapat mengi waktu bernapas biasa /ekspirasi paksa
F. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau chronic
obstructive pulmonary disease (COPD) harus dibedakan dari gangguan
sistem pernafasan lainnya.
1. Anamnesis
Pada anamnesis, pasien penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) atau chronic obstructive pulmonary disease (COPD)
biasanya datang dengan kombinasi gejala dari bronkitis kronik,
emfisema, dan asma. Gejala utama antara lain:
a. Batuk produktif, yang biasanya lebih berat pada pagi hari disertai
produksi sputum
b. Sesak nafas yang biasanya memberat pada usia 60 tahun ke atas
c. Wheezing dapat ditemukan pada beberapa pasien, terutama saat
aktifitas.
Gejala tersebut berubah menjadi semakin berat, sehingga
menyebabkan keluhan sesak yang hebat, keterbatasan aktifitas fisik
dan perubahan pada status mental. Terkadang ditemukan gejala-
gejala tambahan yang khas pada tipe PPOK tertentu.
Pada PPOK tipe bronkhitis kronik, gejala khas yang sering
muncul adalah
i. Batuk produktif yang semakin parah seiring waktu dan
menyebabkan sesak yang hilang timbul
ii. Infeksi paru yang sering berulang
iii. Gagal nafas/gagal jantung yang berkembang secara progresif
disertai edema dan peningkatan berat badan
Pada PPOK tipe emfisema, gejala khas yang sering muncul adalah:
1) Riwayat sesak nafas yang progresif disertai batuk nonproduktif
2) Sputum mukopurulent yang jarang kambuh
3) Cachexia
Merokok merupakan faktor risiko utama dari PPOK, sehingga
perlu ditanyakan riwayat merokok pada pasien. Riwayat merokok yang
perlu ditanyakan adalah jumlah dan lama merokok, termasuk usia
mulai merokok dan usia berhenti merokok. Riwayat terpapar zat iritan
di tempat bekerja juga perlu ditanyakan. Penyakit komorbid yang
mungkin dapat ditenukan pada PPOK adalah kanker paru,
bronkiektasis, penyakit jantung, osteoporosis, sindrom metabolik,

14
kelemahan otot, anxietas, depresi, dan gangguan fungsi kognitif.
Pasien dapat juga memiliki riwayat keluarga penderita PPOK atau
penyakit pernafasan kronik lainnya.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada PPOK fase awal umumnya normal atau
hanya menunjukkan ekspirasi yang memanjang. Pemeriksaan fisik
akan semakin bervariasi sesuai dengan tingkat keparahan PPOK dan
semakin bermakna pada PPOK berat.
a. Inspeksi
1) Penampilan pink puffer (kurus, kulit kemerahan) atau blue
bloater(gemuk, sianosis, edema tungkai)
2) Bila telah terjadi gagal jantung kanan dapat terlihat denyut
vena jugularis dan edema tungkai
3) Penggunaan dan hipertrofi otot bantu nafas
4) Pursed-lips breathing
5) Barrel chest( diameter antero-posterior dan transversal
sebanding)
b. Palpasi
1) Pada tipe emfisema, fremitus paru dirasakan melemah dengan
sela iga melebar.
c. Perkusi
1) Pada perkusi toraks akan ditemukan suara paru hipersonor,
batas jantung mengecil, dan letak diafragma rendah.
d. Auskultasi
1) Pada auskultasi toraks akan ditemukan ekspirasi memanjang,
wheezing pada waktu bernafas biasa atau ekspirasi paksa,
penurunan suara nafas vesikuler, dan suara jantung terdengar
menjauh.
3. Diagnosis Banding
Diagnosis banding penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau
chronic obstructive pulmonary disease (COPD) bergantung dari
presentasi klinis pasien. Secara umum, PPOK dapat didiagnosis
banding dengan:
a) Asma
Asma biasanya sudah muncul dari usia anak. Gejala asma
biasanya muncul pada malam atau dini hari dan bersifat reversibel.

15
Dapat juga ditemukan alergi, rhinitis dan/atau eczema. Namun
dapat juga ditemukan kombinasi gejala dari PPOK dan Asma.
b) Gagal Jantung Kongestif
Gagal jantung merupakan penyebab sesak nafas yang
sering ditemui pada pasien usia tua, dan beberapa pasien
merasakan berat di dada dan wheezing dengan penumpukan cairan.
Pada gagal jantung biasanya ditemukan rhonki basah halus pada
basal paru. Pada foto thoraks ditemukan kardiomegali dan edema
paru. Pada pemeriksaan fungsi paru menunjukkan adanya restriksi
volume, bukan keterbatasan aliran udara. Peningkatan BNP juga
dapat ditemukan pada gagal jantung kongestif.
c) Bronkiektasis
Merupakan pelebaran abnormal bronchus yang
berhubungan dengan infeksi kronik atau infeksi berulang. Gejala
menyerupai PPOK, namun disertai dengan sesak semakin berat
dengan produksi sputum yang mukopurulen.
d) Tuberkulosis
Tuberkulosis dapat terjadi pada semua usia. Foto thoraks
polos menunjukkan gambaran infiltrat dan dikonfirmasi dengan
pemeriksaan mikrobiologis.
e) Bronkiolitis Konstriktif
Biasanya muncul pada usia muda, dan terjadi setelah
trauma inhalasi, transplantasi (sumsum tulang, paru), riwayat
reumatoid arthritis atau inflammatory bowel disease (IBS). Pasien
akan mengalami batuk dan sesak yang dapat muncul saat istirahat
atau beraktifitas. Tes fungsi paru menunjukkan keterbatasan aliran
udara yang progresif dan ireversibel.
f) Panbronkiolitis Difusa
Biasanya ditemukan pada pasien dengan keturunan asia.
Sebagian besar pasien laki-laki dan tidak merokok. Tes fungsi paru
menunjukkan adanya gambaran obstruktif, namun terkadang
ditemukan juga campuan obstruktif-restriktif.
4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) atau chronic obstructive pulmonary disease (COPD) yang
bermanfaat diantaranya adalah pemeriksaan fungsi paru dan
pemeriksaan radiologis.

16
a) Pemeriksaan Fungsi Paru
Pemeriksaan fungsi paru sangat penting dalam menegakkan
diagnosis, menentukan tingkat keparahan PPOK dan untuk
mengkaji ulang kondisi pasien PPOK. Pemeriksaan dengan
spirometri pada PPOK diutamakan untuk menentukan nilai forced
expiratory volume in 1 second (FEV1) dan the forced vital
capacity (FVC).
Pada PPOK ditemukan penurunan nilai FEV1 dengan
penurunan rasio FEV1/FVC. Dapat juga dilakukan uji
bronkodilator. Jika Nilai rasio FEV1/FVC post pemberian
bronkodilator <0.70, ini menunjukkan adanya keterbatasan aliran
udara yang persisten.
Global Initiative Lung Disease (GOLD) melakukan
klasifikasi tingkat keparahan keterbatasan aliran udara pada PPOK.
Klasifikasi ini berdasarkan pemeriksaan spirometri setelah
dilakukan pemberian bronkodilator inhalasi kerja pendek untuk
meminimalisir variabilitas. Berikut klasifikasinya berdasarkan nilai
FEV1 post-bronkodilator dengan rasio FEV1/FVC <70%:
1) GOLD 1 (Mild) : FEV1 > 80% predicted
2) GOLD 2 (Moderate) : 50% < FEV1 < 80% predicted
3) GOLD 3 (Severe) : 30% < FEV1 < 50% predicted
4) GOLD 4 (Very Severe) : FEV1 < 30% predicted
b) Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan pada PPOK
adalah foto rontgen toraks dan CT Scan toraks. Pada foto rontgen
thoraks anteroposterior-lateral, dapat ditemukan hiperinflasi paru,
hiperlusensi, diafragma tampak datar, bayangan jantung yang
sempit, dan gambaran jantung seperti pendulum (tear drop
appearance). Pada PPOK tipe bronkitis kronis dapat ditemukan
pertambahan corak vascular paru dan kardiomegali.
Pemeriksaan CT scan toraks dapat membantu dalam
mendiagnosis berbagai tipe dari PPOK. CT Scan lebih spesifik
dalam mendiagnosa emfisema jika dibandingkan foto thoraks
polos.

17
Su
mber: anonim, Openi, 2014.

Gambar: Gambaran CT scan pada penderita PPOK emfisematosa


(kiri) dan non-emfisematosa (kanan)
c) Pemeriksaan Echokardiografi
Pada pasien dengan PPOK lama, dapat menyebabkan timbulnya
hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan (cor pulmonale).
Echocardiografi dapat digunakan untuk menilai tekanan sistolik arteri
pulmonal dan fungsi sitolik ventrikel kanan.
d) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium sebetulnya tidak ada yang spesifik untuk
PPOK. Apabila dilakukan pemeriksaan laboratorium, maka akan
didapatkan :
1) Pemeriksaan Analisa Gas Darah (AGD) dapat digunakan untuk
memprediksi tingkat keparahan dan serangan akut dari PPOK. Secara
umum. pH < 7.3 menandakan adanya gangguan pernafasan akut.
Biasanya juga ditemukan kompensasi ginjal sehingga nilai pH
mendekati normal.
2) Pemeriksaan darah lengkap dapat digunakan untuk melihat apakah ada
infeksi sekunder pada PPOK yang ditandai dengan leukositosis
3) Pemeriksaan kimia darah pada pasien PPOK dapat menunjukkan
retensi natrium. Obat-obatan PPOK (agonis beta adrenergic, teofiline)
memiliki efek penurunan kadar kalium serum, sehingga harus
dilakukan monitor berkala.
4) Pemeriksaan Sputum
Pada bronchitis kronis, biasanya sputum bersifat mukoid dan
penuh dengan makrofag. Pada PPOK eksaserbasi, sputum akan

18
menjadi purulent dan penuh dengan neutrofil. Perlu juga dilakukan
pemeriksaan kultur mikroorganisme, sehingga dapat diberikan
antibiotik yang definitif.
5) Pemeriksaan Brain natriuretic peptide (BNP) dapat membantu dalam
membedakan sesak yang disebabkan oleh PPOK atau oleh gagal
jantung kongestif. Namun tetap harus memperhatikan gejala klinis
pasien.
6) Pemeriksaan enzim alpha1-antitrypsin (AAT) dapat ditemukan
defisiensi AAT. Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada pasien yang
memiliki riwayat keluarga menderita emfisema pada usia muda. [2, 8,
9, 10]
G. Penatalaksanaan Medis
1. Tujuan penatalaksanaan :
a. Mengurangi gejala
b. Mencegah eksaserbasi berulang
c. Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
d. Meningkatkan kualiti hidup penderita
2. Terapi Farmakologi
a. Terapi Menggunakan Obat-Obatan
i. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat
penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser
tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat
berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release)
atau obat berefek panjang (long acting).
Macam - macam bronkodilator :
a) Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat,
disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi
lendir ( maksimal 4 kali perhari ).
b) Golongan agonis beta – 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak,
peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor
timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan
sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi
eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan

19
jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk
mengatasi eksaserbasi berat.
c) Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan
memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya
mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu
penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan
mempermudah penderita.
d) Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan
pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat
sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau
drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka
panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.
ii. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk
oral atau injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang
terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison.
Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila
terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP 1
pasca bronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
iii. Antibiotika
Antibiotik hanya diberikan bila terdapat infeksi.
Antibiotik yang dapat digunakan :
a) Lini I : amoksisilin, makrolid
b) Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin,
kuinolon, makrolid baru
Untuk Perawatan di Rumah Sakit dapat dipilih :
a) Amoksilin dan klavulanat
b) Sefalosporin generasi II & III injeksi
c) Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas
d) Aminoglikose per injeksi
e) Kuinolon per injeksi
f) Sefalosporin generasi IV per injeksi
iv. Antioksidan

20
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti
hidup, digunakan N - asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK
dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai
pemberian yang rutin
v. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena
akan mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada
bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi
eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan
sebagai pemberian rutin
vi. Antitusif
Diberikan dengan hati – hati
Tabel pemilihan terapi PPOK disertai gejala
Gejala Golongan Obat Obat dan Kemasan Dosis
Tanpa gejala Tanpa obat
Gejala intermiten Agonis β2 Inhalasi kerja Bila perlu
(pada waktu aktiviti) cepat
Gejala terus menerus Antikolinergik Ipratropium 2 – 4 semprot
bromida 20 μgr 3 – 4 x/hari
Inhalasi Fenoterol 2 – 4 semprot
Agonis β2 kerja 100 μgr/semprot 3 – 4 x/hari
cepat
Salbutamol 2 – 4 semprot
100 μgr/semprot 3 – 4 x/hari
Terbutalin 2 – 4 semprot
0,5 μgr/semprot 3 – 4 x/hari
Prokaterol 2 – 4 semprot
10 μgr/semprot 3 – 4 x/hari
Kombinasi Ipratropium 2 – 4 semprot
terapi bromid 20 μgr + 3 – 4 x/hari
salbutamol 100
μgr
Pasien memakai Inhalasi agonis Formoterol 6 μgr, 1 – 2 semprot
inhalasi agonis β2 β2 kerja lambat 12 μgr/semprot 2 x/hari tidak
(tidak dipakai melebihi 2x/hari
untuk
eksaserbasi)
Atau Timbul gejala Salmeterol 1 – 2 semprot
pada waktu malam 25 μgr/semprot 2 x/hari tidak
atau pagi hari melebihi 2x/hari

21
Teofilin Teofilin lepas 400 – 600
lambat mg/hari
Teofilin/aminofilin 3 - 4 x/hari
150 mg x 3-
4x/hari
Anti oksidan N asetil sistein 600 mg/hari
Pasien tetap Kostikosteroid Prednison 30 - 40 mg/hari
mempunyai gejala oral (uji Metil selama 2 minggu
dan atau terbatas kostikosteroid) Predinosolon
dalam aktiviti harian
meskipun mendapat
pengobatan
bronkodilator
Uji kostikosteroid Inhalasi Beklometason 1 - 2 semprot
memberikan respon kostikosteroid 50µgr, 2 - 4 x/hari
positif 250µgr/semprot
Budesonid 100µgr, 200 - 400µgr
250µgr, 2x/hari maks
400µgr/semprot 2400 µgr/hari
Sebaiknya Flutikason 125 – 250 µgr
pemberian 125µgr/semprot 2x/hari maks
kortikosteroid 1000 µgr/hari
inhalasi dicoba bila
mungkin untuk
memperkecil efek
samping

vii. Terapi Oksigen


Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan
berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan.
Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting
untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah
kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya.
Manfaat oksigen yaitu :
a) Mengurangi sesak dan vasokonstriksi
b) Mengurangi hipertensi pulmonal
c) Mengurangi hematokrit
d) Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
e) Meningkatkan kualiti hidup
Macam terapi oksigen :
a) Pemberian oksigen jangka panjang

22
b) Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
c) Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
d) Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas
viii. Terapi Pembedahan
Bertujuan untuk :
a) Memperbaiki fungsi paru
b) Memperbaiki mekanik paru
c) Meningkatkan toleransi terhadap eksaserbasi
d) Memperbaiki kualiti hidup
Operasi paru yang dapat dilakukan yaitu :
a) Bulektomi
b) Bedah reduksi volume paru (BRVP) / lung volume reduction
surgey (LVRS)
c) Transplantasi paru
(1) Terapi Non Farmakologi
(a) Menghentikan kebiasaan merokok
(b) Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada
eksaserbasi dengan gagal napas akut, gagal napas akut
pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK
derajat berat dengan napas kronik. Ventilasi mekanik
dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di
rumah.
(c) Ventilasi mekanik tanpa intubasi, digunakan pada
PPOK dengan gagal napas kronik dan dapat digunakan
selama di rumah.
ix. Perbaikan nutrisi
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang
agresis tidak akan mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi
pada PPOK tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat
metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara kalori
yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat
diberikan secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa
nasogaster. Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi
lemak rendah karbohidrat, protein, dan elektrolit.
x. Rehabilitasi PPOK

23
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi
latihan dan memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK. Penderita
yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka
yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai simptom
pernapasan berat, beberapa kali masuk ruang gawat darurat dan
kualiti hidup yang menurun. Program rehabilitiasi terdiri dari 3
komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan latihan pernapasan.
H. Komplokasi
1. Hipoksemia
Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 < 55
mmHg, dengan nilai saturasi oksigen < 85%. Pada awalnya klien
akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi, dan
menjadi pelupa. Pada tahap lanjut akan timbul sianosis.
2. Asidosis Respiratori
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnea).
Tanda yang muncul antara lain nyeri kepala, fatigue, letargi,
dizzines, dan takipnea.
3. Infeksi Respiratori
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan
produksi mukus dan rangsangan otot polos bronkial serta edema
mukosa. Terbatasnya aliran udara akan menyebabkan peningkatan
kerja napas dan timbulnya dispnea.

4. Gagal Jantung
Terutama kor pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit
paru), harus diobservasi terutama pada klien dengan dispnea berat.
Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronkitis kronis,
tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami masalah
ini.
5. Kardiak Disritmia
Timbul karena hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat
atau asidosis respiratori
6. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asma
bronkial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam
kehidupan, dan sering kali tidak berespons terhadap terapi yang
biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernapasan dan distensi
vena leher sering kali terlihat pada klien dengan asma.
I. Discharge Planning

24
1. Evaluasi kesiapan untuk pulang. Faktor yang di kaji adalah sebagai
berikut :
a. Status pernafasan yang stabil
b. Masukan nutrisi dan pertumbuhan yang adekuat
c. Kebutuhan obat yang stabil
d. Rencana pengobatan medis yang realistik untuk di rumah
e. Orang tua dan memberi asuhan lain dapat memberi peralatan
yang dilakukan
f. Sarana dirumah dan monitor yang diperlukan disediakan
g. Orang tua memiliki dukungan sosial dan finansial yang
dibutuhkan
h. Keperluan perawatan dirumah dan istirahat disediakan
2. Beri instruksi pemulangan kepada orang tua seperti berikut :
a. Penjelasan tentang penyakit
b. Bagaimana memantau tanda tanda distres pernafasan dan
masalah medis lainnya
c. Kebutuhan makan perorangan
d. Kebutuhan bayi sehat
e. Kapan harus memanggil dokter
f. Bagaimana melakukan resusitasi jantung paru
g. Penggunaan peralatan dirumah dan pemantauan
h. Bagaimana memberi dan memantau efek pengobatan
i. Pencegahan infeksi
j. Pentingnya daerah bebas rokok
k. Aktivitas perkembangan yang tepat
l. Pengenalan isyarat stress dan interaksi pada bayi
m. Sumber di komunitas dan sarana pendukung yang ada.
3. Lakukan program tindak lanjut untuk memantau kebutuhan
pernafasan, nutrisi, perkembangan, dan kebutuhan khusus lainnya
yang sifatnya terus menerus.
a. Bantu orang tua membuat janji kunjungan pemeriksaan tindak
lanjut yang pertama, beri catatan tertulis tentang kapan janji
itu harus dilaksanakan
b. Buat rujukan untuk kunjungan keperawatan di rumah sesuai
yang dibutuhkan bayi dan keluarga (Mansjoer,2000)
J. Pathway

25
II. KONSEP KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Identitas
Penyakit PPOK banyak diderita oleh kaum pria
d a r i p a d a w a n i t a , y a n g perbandinganya adalah 3-10 :
a. Pekerjaan penderita sering berhubungan erat dengan
faktor alergi dan hiperreaktifitas bronkus. Didaerah
perkotaan,insiden PPOK 1 ½ kali lebih banyak daripada
dipedasaan. ( Hood Alsagaff,1989)2 . R i w a y a t atau
a d a n y a f a k t o r- f a k t o r p e n u n j a n g
b. Merokok produksi tembakau ( f a k t o r- f a k t o r
penyebab utama)
c . Ti n g g a l a t a u b e k e r j a d i a r e a p o l u s i u d a r a y a n g
berat.

d . R i w a y a t a l e rg i p a d a k e l u a rg a

26
e . R i w a y a t a t a u a d a n y a f a k t o r- f a k t o r y a n g d a p a t
m e n c e t u s k a n eksaserbasi, seperti alergen (serbuk,
debu kulit, serbuk sari ,jamur ), stres emosional ,
aktivitas fisik berlebihan , polusi udara , infeksi saluran
napas, kegagalan program pengobatan yang dianjurkan

f. Pemeriksaan fisik berdasarkan pengkajian


sistem pernapasan

B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan
hiperventilasi (napas berlebihan).

C. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa NOC NIC Rasional
1. Ketidakefektifa Setelah dilakukan Managemen jalan Managemen
n pola napas tindakan napas jalan napas
berhubungan keperawatan selama 1. Posisikan 1.Untuk
dengan 2x24 jam diharapkan pasien untuk membantu
hiperventilasi(n masalah memaksimalka memudahkan
apas ketidakefektifanbersi n ventilasi pasien untuk
berlebihan). han jalan napas 2. Lakukan bernapas
dapat teratasi dengan pisioterapi 2.Untuk
criteria : dada,sebagaim membantu
1.Frekuensi ana mestinya pasien
pernapasan dari 1 3. Motifasi pasien melakukan
menjadi 4 untuk bernapas tehnik napas

27
2.Kedalaman pelan, dalam, efektif.
inspirasi dari 2 berputar dan 3.Untuk
menjadi 4 batuk mengurangi
3.Suara auskultasi 4. Auskultasi sesak pada
napas dari 1 menjadi suara pasien.
4 napas,catat 4.Untuk
4. Kepatenan jalan area yang mengetahui
napas dari 2 menjadi ventilasinya adanya bunyi
4 menurun atau napas tambahan
tidak ada dan sf
adanya suara 1.
tambahan. 2.

28
BAB III
PENUTUP

2. Kesimpulan
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan
aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau
reversibel parsial. Etiologi PPOK meliputi faktor paparan lingkungan
(merokok, pekerjaan dan polusi udara) dan faktor resiko dari host (usia,
jenis kelamin, gangguan fungsi paru dan prediposisi genetik). Patofisiologi
PPOK yaitu inhalasi bahan berbahaya sehingga timbul inflamasi sehingga
terjadi kerusakan jaringan paru sebabkan penyempitan saluran napas dan
fibrosis, destruksi parenkim dan hipersekresi mukus.
Gejala PPOK meliputi batu kronik, berdahak kronik dan sesak
napas. Sedangkan tanda fisiknya ditemukan hal-hal seperti inspeksi,
palpasi, perkusi, dan auskultasi. Klasifikasi PPOK berdasarkan nilai FEV 1
dan gejala yang ditimbulkan meliputi tingkat 1 ringan, tingkat2 sedang,
tingkat 3 berat dan tingkat 4 sangat berat.
Tatalaksana terapi PPOK meliputi terapi farmakologi yaitu
menggunakan obat-obatan (bronkodilator,antiinflamasi, antibiotik,
antioksidan, mukolitik dan antitusif), terapi oksigen dan terapi
pembedahan. Dan terapi non farmakologi meliputi hentikan kebiasaan
merokok, ventilasi mekanik, perbaikan nutrisi dan rehabilitasi PPOK.

3. Saran
Saran kami sebaiknya dalam melakukan terapi farmakologi bagi
pasien PPOK perlu diperhatikan algoritma terapinya dan kondisi fisiologi
pasien agar diperoleh efek yang terapi yang tepat, selain itu interaksi
mungkin terjadi perlu juga diketahui pada golongan obat-obatan tersebut.

29
DAFTAR PUSTAKA

Ikawati, Z., 2011, Penyakit Sistem Pernapasan dan Terapinya, Bursa Ilmu,
Yogyakarta.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2013, Penyakit Paru Obstruktif Kronik
( PPOK ) Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia.
Sukandar, Ellin Yulinah. et al, 2010, ISO Farnakoterapi, PT. ISFI Penerbitan,
Jakarta.
Tjay, T.H dan Kirana, R., 2017, Obat-Obat Penting edisi Keenam, Elex Media
Komputindo, Jakarta.
MedScape. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). March 2017 [ Cited
2017 14 March]; Available from : http://emedicine.medscape.com/article/297664
GOLD. Global Strategy for the Diagnosis, Management and Prevention of COPD,
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2017. January
2017. [Cited 2017 15 March]; available from: http://www.goldcopd.org
MedScape. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) and Emphysema in
Emergency Medicine. January 2016 [Cited 2017 15 March]; Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/807143
Antariksa B, Sitompul ANL, Ginting AK, Hasan A, Tanuwihardja BY,
Drastyawan B, et al. Penyakit Paru Obstruktif Kronik Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI); 2011.
hal.1-86

30

Vous aimerez peut-être aussi