Vous êtes sur la page 1sur 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring dengan semakin meningkatnya populasi lanjut usia

pemerintah telah merumuskan berbagai kebijakan pelayanan kesehatan

lanjut usia yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mutu

kehidupan lansia untuk mencapai masa tua bahagia dan berdaya guna

dalam kehidupan keluarga dan masyarakat sesuai dengan keberadaanya.

Lanjut usia (lansia) adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari

kejadiannya (Depkes RI, 2005) . Biasanya bila suatu negara makin maju,

akan terjadi pergeseran struktur penduduk.

Saat ini diseluruh dunia jumlah lanjut usia diperkirakan lebih dari

629 juta jiwa ( 1 dari 10 orang berusia lebih dari 60 tahun) dan pada tahun

2025 lanjut usia akan mencapai 1.2 milyar. Negara maju

populasi/penduduk lanjut usia telah diantisipasi sejak abad ke XX. Tidak

heran bila masyarakat dinegara maju sudah lebih siap menghadapi

pertambahan populasi lanjut usia dengan aneka tantangan.

Namun saat ini dinegara berkembangpun mulai menghadapi masalah yang

sama. (Nugroho, 2008)

Kantor Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (KESRA)

melaporkan, jika tahun 1980 usia harapan hidup (UHH) 52,2 tahun dan

1
jumlah lansia 7.998.543 orang (5,45%) maka pada tahun 2006 menjadi 19

juta orang (8,90%) dan UHH juga meningkat (66,2 tahun). Pada tahun

2010 perkiraan penduduk lansia di Indonesia akan mencapai 23,9 juta atau

9,77 % dan UHH sekitar 67,4 tahun. Sepuluh tahun kemudian atau pada

2020 perkiraan penduduk lansia di Indonesia mencapai 28,8 juta atau

11,34 % dengan UHH sekitar 71,1 tahun.

Sekalipun tidak tersedia data khusus, berdasarkan data kemiskinan

yang ada di Indonesia, diduga banyak penduduk lansia yang hidup di

bawah garis kemiskinan. Sebagai gambaran, dari data Badan Pusat

Statistik (BPS) jumlah penduduk lansia miskin hingga Maret 2007

sebanyak 37, 17 juta orang. Dari jumlah tersebut, sebagian besar yaitu

63,52 persen, penduduk miskin berada di perdesaan.

Pembinaan Lansia di Indonesia dilaksanakan berdasarkan

peraturan perundang-undangan sebagai landasan menentukan

kebijaksanaan pembinaan sesuai dengan UU RI No.36 tahun 2009 tentang

kesehatan dan UU No 13/1998 tentang Kesejahteraan lansia yang

menyebutkan bahwa pelayanan kesehatan yang dimasudkan adalah untuk

memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan dan kemampuan lansia,

agar kondisi fisik, mental, dan sosialnya dapat berfungsi secara wajar.

Pelayanan kesehatan bagi lanjut usia sebagaimana dimaksud dilaksanakan

melalui peningkatan: penyuluhan dan penyebarluasan informasi kesehatan

lanjut usia, upaya penyembuhan (kuratif), yang diperluas pada bidang

2
pelayanan geriatrik/gerontologik, pengembangan lembaga perawatan

lanjut usia yang menderita penyakit kronis dan/atau penyakit terminal.

Upaya kesehatan melalui puskesmas merupakan upaya menyeluruh dan

terpadu yang meliputi peningkatan, pencegahan, pengobatan dan

pemulihan.

Menurut. Departemen Kesehatan, Departemen dalam Negeri serta

Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga telah

merumuskan tatanan tersebut yang dilaksanakan dalam bentuk Pos

Pelayanan Terpadu (Posyandu) yang diselenggarakan oleh masyarakat

untuk masyarakat secara rutin tiap bulanya ( Dep.Kes RI, 2001)

Menurut Azwar (2002) pelayanan kesehatan yang diberikan oleh

Departemen Kesehatan kepada lansia masih terbatas dan tidak seluruh

puskesmas di Indonesia memiliki posyandu lansia. Dalam hal ini Dinas

Kesehatan Sumatera utara mempunyai kebijakan bahwa setiap kabupaten

menentukan dua puskesmas santun usila/ puskesmas percontohan /desa

binaan di tiap kabupaten setiap tahun. Kebijakan ini bertujuan agar

puskesmas atau desa diluar percontohan/binaan termotivasi untuk

menggalakkan program pembinaan kesehatan lansia di wilayah masing-

masing.

Sebagai wujud nyata pelayanan sosial dan kesehatan pada

kelompok lansia ini, pemerintah telah mencanangkan pelayanan pada

lansia melalui beberapa jenjang. Pelayanan kesehatan di tingkat

3
masyarakat posyandu lansia, pelayanan kesehatan di tingkat dasar

puskesmas, dan pelayanan kesehatan tingkat lanjut rumah sakit. (Depkes

RI, 2005) Posyandu lansia adalah pos pelayanan terpadu untuk masyarakat

lansia di suatu wilayah tertentu yang sudah disepakati, yang digerakkan

oleh masyarakat dimana mereka bisa mendapatkan pelayanan kesehatan.

Tujuan pembentukan posyandu lansia adalah meningkatkan jangkauan

pelayanan kesehatan lansia di masyarakat, sehingga terbentuk pelayanan

kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan lansia. Adapun kegiatannya

adalah pemeriksaan kesehatan secara berkala, melakukan kegiatan

olahraga secara teratur untuk meningkatkan kebugaran, pengembangan

keterampilan, bimbingan pendalaman agama, dan pengelolaan dana sehat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah pada makalah

ini yaitu bagaimanakah faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan

lansia?

C. Tujuan

1. Mengetahui faktor budaya yang mempengaruhi kesehatan lansia

2. Mengetahui faktor keluarga yang mempengaruhi kesehatan lansia

3. Mengetahui faktor ekonomi yang mempengaruhi kesehatan lansia

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Faktor Budaya Yang Mempengaruhi Kesehatan Lansia

Istilah kebudayaan atau culture dalam bahasa Inggris, berasal dari

bahasa Yunani culere yang berarti mengerjakan tanah. Dalam bahasa

Indonesia, kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta ’buddhayah’,

yaitu bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal), sehingga kebudayaan

diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Ada pendapat yang

mengatakan bahwa kata budaya merupakan perkembangan dari kata

majemuk ’budi-daya’ yang berarti daya dari budi, yaitu berupa cipta,

karsa, dan rasa. Budi adalah akal yang merupakan unsur rohani dalam

kebudayaan, sedangkan kebudayaan diartikan sebagai hasil dari akal dan

ikhtisar manusia (Widyosiswoyo, 2004).

Koentjaraningrat (1987) mendefenisikan kebudayaan sebagai

seluruh total pikiran, karya, dan hasil manusia yang tidak berakar kepada

nalurinya, dan hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah proses belajar.

Taylor (dalam Ibrahim, 2003) mendefenisikan kebudayaan sebagai segala

sesuatu yang termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum,

adat istiadat, dan kebiasaan lain yang didapat oleh seseorang sebagai

anggota masyarakat.

5
Kebudayaan menurut Kroeber dan Kluckhohn adalah manifestasi

atau penjelmaan kerja jiwa manusia dalam arti seluas-luasnya. Dan

menurut Ki Hajar Dewantara, kebudayaan berarti buah budi manusia yang

merupakan hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yaitu

alam dan zaman (kodrat dan masyarakat) yang merupakan bukti kejayaan

hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di

dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan

kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai (Widyosiswoyo,

2004). Dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan gagasan,

hasil karya manusia, dan kebiasaan yang didapat oleh seseorang sebagai

anggota masyarakat yang diperoleh setelah proses belajar.

Kebudayaan yang diartikan sebagai totalitas pikiran, tindakan dan

karya manusia tersebut mempunyai tiga wujud (Koentjoroningrat, 1987

dalam Ibrahim, 2003). Pertama, kebudayaan sebagai kompleks dari ide-

ide, gagasan, nilai, normanorma, peraturan, yag bersifat abstrak yang

hanya dapat dirasakan, tetapi tidak dapat dilihat dan diraba. Widyosiswoyo

(2004) mengatakan gagasan-gagasan yang ada di masyarakat saling terkait

antara satu dengan yang lainnya, sehingga membentuk suatu sistem

budaya atau culture system, contohnya adalah adat istiadat dan ilmu

pengetahuan.

Wujud kedua adalah suatu kompleks aktivitas, tingkah laku

berpola, perilaku, upacara-upacara serta ritus-ritus dari manusia dalam

masyarakat yang mempunyai sifat dapat dirasakan dan dilihat tetapi tidak

6
dapat diraba. Widyosiswoyo (2004) mengatakan wujud ini sebagai Sistem

Sosial atau social system, contohnya adalah gotong royong dan kerja sama.

Wujud ketiga adalah kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya

manusia yang bersifat dapat dilihat, dirasa, dan diraba. Wujud ini paling

konkrit yang disebut kebudayaan fisik atau material (material culture),

contohnya adalah Candi borobudur, rumah adat sampai kepada pesawat

terbang, pesawat ruang angkasa.

Menurut Kluckhohn dalam karyanya Universal Categories Of

Culture, ada tujuh unsur dalam kebudayaan universal (Ibrahim, 2003;

Widyosiswoyo, 2004). Tujuh unsur tersebut adalah spiritualitas, sistem

organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup,

sistem teknologi dan peralatan, bahasa, kesenian.

B. Faktor Keluarga Yang Mempengaruhi Kesehatan Lansia

Dalam melakukan perawatan terhadap lansia, setiap anggota

keluarga memiliki peranan yang sangat penting. Ada beberapa hal yang

harus diperhatikan oleh anggota keluarga dalam melaksanakan peranya

terhadap lansia yaitu (1) Melakukan pembicaraan terarah, (2) Membantu

dalam hal transportasi, (3) Membantu memenuhi sumber keuangan, (4)

Menghormati dan menghargai, (5). Menyediakan waktu serta perhatian,

(6) Memberikan kesempatan untuk tinggal bersama, (7) Membantu

7
mencukupi kebutuhanya, (8) Memeriksakan kesehatan secara teratur, (9)

Memelihara kesehatan merupakan tanggungjawab bersama, (Siti, 2008)

Keluarga merupakan support sistem utama bagi lansia dalam

mempertahankan kesehatanya. Peranan keluarga dalam perawatan lansia

antara lain menjaga atau merawat lansia, mempertahankan dan

meningkatkan status mental, mengantisipasi perubaahn sosial ekonomi

serta memberikan motivasi dan memfasilitasi kebutuhan spiritual bagi

lansia.

Perkembangan keluarga merupakan tanggung jawab yang harus

dicapai keluarga dalam setiap tahap perkembanganya. Keluarga

diharapkan dapat memenuhi kebutuhan biologis, imperative (saling

menguatkan), budaya dan aspirasi, serta nilai-nilai keluarga. Menurut

Andersen dan Newman (1973) faktor yang memengaruhi pemanfaatan

pelayanan kesehatan yaitu: faktor demografi, (jumlah, penyebaran,

kepadatan, pertumbuhan, struktur umur, dan rasio jenis kelamin), tingkat

pendapatan , faktor sosio budaya (tingkat pendidikan dan, status

kesehatan) aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan, produktivitas,

teknologi kesehatan. Pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh keluarga

tergantung pada: (1) predisposisi keluarga untuk menggunakan jasa

pelayanan kesehatan, (2) kemampuan mereka untuk melaksanakannya, dan

(3) kebutuhan mereka terhadap jasa pelayanan

tersebut. Komponen predisposisi mencakup karakteristik keluarga

sebelum kejadian penyakit, dimana terdapat kecenderungan yang berbeda

8
dalam penggunaan pelayanan kesehatan: meliputi variabel demografi

(jumlah, penyebaran, kepadatan, pertumbuhan, struktur umur, dan rasio

jenis kelamin), variabel struktur sosial budaya (tingkat pendidikan dan,

status kesehatan). Andersen mengemukakan bahwa pola pemanfaatan

pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh individu- individu dari berbagai

kelompok usia, yang berbeda menurut jenis serta frekuensi kejadian

penyakit; oleh keluarga yang berbeda menurut struktur dan gaya hidup,

fisik, lingkungan sosial dan pola perilaku; dan oleh variasi kepercayaan

mengenai keberhasilan pelayanan medis (misalnya, keluarga yang sangat

percaya terhadap keberhasilan suatu cara pengobatan penyakit maka

mereka akan segera mencari jenis pertolongan tersebut dan lebih sering

memanfaatkannya)

Komponen kedua dari model Andersen adalah suatu kondisi yang

memungkinkan orang memanfaatkan pelayanan kesehatan atau setidak-

tidaknya mereka siap memanfaatkannya. Andersen mengemukakan bahwa

meskipun keluarga memberikan predisposisi untuk memanfaatkan

pelayanan kesehatan namun beberapa faktor harus tersedia untuk

menunjang pelaksanaanya, yaitu faktor kemampuan baik dari keluarga

(misalnya: penghasilan, pekerjaan, simpanan, asuransi kesehatan atau

sumber-sumber yang lain.

Jika faktor predisposisi keluarga dan kemampuan tersebut ada

maka variasi persepsi terhadap penyakit atau kemungkinan kejadianya

serta cara orang menanggapi penyakit atau kemungkinan sakit akan

9
menentukan dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan. Sub komponen

pertama, yakni kebutuhan yang dirasakan (perceived need), diukur

dengan: (1) perasaan sabjektip terhadap penyakit, (2) evaluasi klinis

terhadap penyakit.

Andersen menyatakan bahwa jumlah penggunaan pelayanan

kesehatan oleh suatu keluarga merupakan karakteristik predisposisi,

kemampuan serta kebutuhan keluarga itu atas pelayanan kesehatan.

Sedangkan kebutuhan merupakan faktor yang lebih penting dibandingkan

dengan faktor predisposisi dan kemampuan.

C. Faktor Ekonomi Yang Mempengaruhi Kesehatan Lansia

Pada umumnya para lanjut usia adalah pensiunan atau mereka yg

kurang produktif lagi. Secara ekonomis keadaan lanjut usia bisa

digolongkan menjadi 3 (tiga) yaitu golongan mantap, kurang mantap &

rawan (Trimarjono, 1997).Golongan mantap merupakan para lanjut usia yg

berpendidikan tinggi, sempat menikmati kedudukan/jabatan baik. Mapan

pada usia produktif, sebagai akibatnya pada usia lanjut bisa berdikari dan

nir tergantung dalam pihak lain. Pada golongan kurang mantap lanjut usia

kurang berhasil mencapai kedudukan yg tinggi ,namun sempat

mengadakan investasi dalam anak-anaknya, contohnya mengantar anak-

anaknya ke jenjang pendidikan tinggi, sehingga kelak akan dibantu oleh

anak-anaknya. Sedangkan golongan rawan yaitu lanjut usia yang tidak

10
mampu menaruh bekal yang cukup kepada anaknya sehingga ketika purna

tugas tiba akan mendatangkan kecemasan lantaran terancam kesejahteraan

Pemenuhan kebutuhan ekonomi bisa dicermati dari pendapatan lanjut usia

& kesempatan kerja.

Faktor penghasilan atau ekonomi merupakan suatu faktor yang

secara tidak langsung mempengaruhi dalam program kesehatan. Apabila

penghasilan yang didapat berlebih, maka seseorang lebih cenderung untuk

menggunakan fasilitas kesehatan yang lebih baik, contohnya seperti rumah

sakit dengan fasilitas yang ada di lingkungan tempat tinggalnya.

11
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Dukungan keluarga juga sangat berperan dalam mendorong minat

dan kesediaan lansia untuk mengikuti kegiatan kesehatan pada Lansia.

Keluarga bisa menjadi motivator kuat bagi lansia apabila selalu

menyediakan diri untuk mendampingi, mengingatkan lansia jika lupa

jadwal posyandu dan berusaha membantu mengatasi segala permasalahan

bersama lansia.

Faktor penghasilan atau ekonomi merupakan suatu faktor yang

secara tidak langsung mempengaruhi dalam program kesehatan. Apabila

penghasilan yang didapat berlebih, maka seseorang lebih cenderung untuk

menggunakan fasilitas kesehatan yang lebih baik, contohnya seperti rumah

sakit dengan fasilitas yang ada di lingkungan tempat tinggalnya.

B. Saran

Sebagai acuan bagi dunia keperawatan khusunya lanjut usia untuk

mengatasi persoalan – persoalan hidup lanjut usia agar mereka dapat hidup

mandiri dan pengembangan ilmu pengetahuan mengenai hubungan faktor-

faktor yang mempengaruhi kesehatan pada lansia.

12
DAFTAR PUSTAKA

Kartika NPRD & Sudibia IK (2014) Pengaruh variabel sosial demografi dan
sosial ekonomi terhadap partisipasi kerja penduduk lanjut usia. E-Jurnal EP
UNUD 3 (6): 247-256.

N.N (2013) Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia. Buletin Jendela Data
dan Informasi Kesehatan. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI

Wirakartakusumah MD & Evi HA (1994) Aging in Indonesia: Demographic


Characteristic. Departemen of Geography University of Adelaide

13

Vous aimerez peut-être aussi