Vous êtes sur la page 1sur 39

Grand Case

BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA (BPH)

Oleh:
Ifwil Kartini
1840312216

Preseptor:
Dr. dr. H. Alvarino, Sp.B, Sp.U

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU BEDAH RSUP DR. M. DJAMIL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2019

1
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah diagnosis klinis yang
mendeskripsikan gejala saluran kemih akibat obstruksi oleh prostat, meskipun
beberapa pasien dengan BPH mengalami pembesaran prostat yang minimal, dan
beberapa pembesaran prostat tidak memiliki gejala.1 BPH sebenarnya merupakan
istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel
kelenjar prostat.2
Pada dasarnya, BPH terjadi pada pria yang menginjak usia tua dan memiliki
testis yang masih menghasilkan testosterone. BPH sering terjadi pada pria di atas 50
tahun3. BPH terjadi pada sekitar 70% pria di atas 60 tahun, dan akan meningkat
hingga 90% pada pria usia di atas 80 tahun.2
BPH merupakan penyakit paling umum yang menyebabkan gejala saluran
kemih bagian bawah pada pria, dan yang paling sering menyebabkan obstruksi pada
leher buli atau dikenal sebagai bladder outlet obstruction (BOO) atau benign
prostatic obstruction (BPO) pada pria diatas 70 tahun. Obstruksi ini lama kelamaan
dapat menimbulkan perubahan struktur buli-buli maupun ginjal sehingga
menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun bawah.2,3
Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa lower urinary
tract symptoms (LUTS) yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms), gejala
iritasi (storage symptoms), dan gejala pasca berkemih. Gejala obstruksi meliputi
pancaran kemih lemah, dan terputus,serta merasa tidak puas sehabis berkemih.
Gejala iritasi meliputi frekuensi berkemih meningkat, urgensi, nokturia. Gejala pasca
berkemih berupa urine menetes, hingga gejala yang paling berat, yaitu retensio
urine.2
Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan pemeriksaan
yang penting pada pasien BPH, disamping pemeriksaan fisik pada regio suprapubik
untuk mencari kemungkinan adanya distensi buli-buli.4 Colok dubur pada
pembesaran prostat benigna menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti meraba
ujung hidung, lobus kiri dan kanan simetris, dan tidak terdapat nodul.5
BPH adalah penyakit yang progresif, yang artinya semakin bertambah usia,
volume protat semakin bertambah, laju pancaran urine semakin menurun, keluhan

2
yang berhubungan dengan miksi semakin bertambah, sehingga penyulit yang terjadi
semakin banyak, sehingga diperlukan terapi dengan tujuan memperbaiki keluhan
miksi, meningkatkan kualitas hidup, dan mencegah progresifitas penyakit. Hal ini
dapat dicapai dengan cara medikamentosa, pembedahan, atau tindakan endourologi
yang kurang invasive.5

1.2.Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk memahami serta menambah pengetahuan
mengenai BPH.

1.3 Batasan Penulisan


Batasan penulisan case ini membahas mengenai anatomi, definisi,
epidemiologi, etiologi, faktor risiko, patofisiologi, diagnosis, dan penatalaksanaan
BPH.

1.4 Metode Penulisan


Metode penulisan makalah ini berupa tinjauan pustaka yang merujuk pada
beberapa literatur.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Histologi Prostat


Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh
kapsul fibromuskuler, yang terletak di sebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi
bagian proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah anterior rektum.
Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih
20 gram, dengan jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm
6
dengan tebal 2,5 cm.

Gambar 2.1: Anatomi Kelenjar Prostat

6
Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus :
1. Lobus medius
2. Lobus lateralis (2 lobus)
3. Lobus anterior
4. Lobus posterior

Selama perkembangannya, lobus medius, lobus anterior, lobus posterior akan


menjadi satu dan disebut lobus medius saja. Pada penampang, lobus medius kadang-
kadang tak tampak karena terlalu kecil dan lobus lain tampak homogen berwarna
abu-abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar
prostat.

4
5
Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain:
a. Zona Anterior atau Ventral
Sesuai dengan lobus anterior, tidak punya kelenjar, terdiri atas stroma
fibromuskular. Zona ini meliputi sepertiga kelenjar prostat.
b. Zona Perifer
Sesuai dengan lobus lateral dan posterior, meliputi 70% massa kelenjar prostat.
Zona ini rentan terhadap inflamasi dan merupakan tempat asal karsinoma
terbanyak.
c. Zona Sentralis.
Lokasi terletak antara kedua duktus ejakulatorius, sesuai dengan lobus tengah
meliputi 25% massa glandular prostat. Zona ini resisten terhadap inflamasi.
d. Zona Transisional.
Zona ini bersama-sama dengan kelenjar periuretra disebut juga sebagai kelenjar
preprostatik. Merupakan bagian terkecil dari prostat, yaitu kurang lebih 5% tetapi
dapat melebar bersama jaringan stroma fibromuskular anterior menjadi benign
prostatic hyperpiasia (BPH).
e. Kelenjar-Kelenjar Periuretra
Bagian ini terdiri dari duktus-duktus kecil dan susunan sel-sel asinar abortif
tersebar sepanjang segmen uretra proksimal.

Vaskularisasi kelenjar prostat yang utama berasal dari a. vesikalis inferior


(cabang dari a. iliaca interna), a. hemoroidalis media (cabang dari a. mesenterium
inferior), dan a. pudenda interna (cabang dari a. iliaca interna). Cabang-cabang dari
arteri tersebut masuk lewat basis prostat di Vesico Prostatic Junction. Aliran limfe
dari kelenjar prostat membentuk plexus di peri prostat yang kemudian bersatu untuk
membentuk beberapa pembuluh utama, yang menuju ke kelenjar limfe iliaca interna ,
iliaca eksterna, obturatoria dan sakral.6
Prostat mendapatkan inervasi otonomik simpatetik dan parasimpatetik dari
pleksus prostatikus atau pleksus pelvikus yang menerima masukan serabut
parasimpatetik dari korda S2-4 dan simpatetik dari nervus hipogastrikus (T10-L2).
Ransangan parasimpatetik meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat,
sedangkan ransangan simpatetik menyebabkan pengeluaran cairan prostat ke dalam
uretra posterior, seperti pada saat ejakulasi. Sistem simpatetik memberi inervasi pada
otot polos prostat, kapsula prostat, dan leher buli-buli. Di tempat itu banyak terdapat

5
reseptor alfa adrenergic. Ransangan simpatetik menyebabkan dipertahankan tonus otot
polos tersebut.

Gambar 2.2: Zona Prostat

Secara histopatologik, kelenjar prostat terdiri dari komponen kelenjar yang


dilapisi epitel thoraks selapis dan di bagian basal terdapat juga sel-sel kuboid,
sehingga keseluruhan epitel tampak menyerupai epitel berlapis, dan stroma yang
terdiri atas otot polos, fibroblas, pembuluh darah, saraf, dan jaringan penyanggah
yang lain. Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen
dari cairan semen atau ejakulat. Cairan ini dialirkan melalui duktus sekretarius dan
bermuara di uretra posterior untuk kemuadian dikeluarkan bersama cairan semen
yang lan saat ejakulasi. Volume prostat merupakan sekitar 25% dari seluruh cairan
ejakulat.5

6
2.2 Definisi BPH
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah diagnosis klinis yang
mendeskripsikan gejala saluran kemih akibat obstruksi oleh prostat, meskipun
beberapa pasien dengan BPH mengalami pembesaran prostat yang minimal, dan
beberapa pembesaran prostat tidak memiliki gejala.1 BPH sebenarnya merupakan
istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel
kelenjar prostat.2
Sementara itu, istilah benign prostatic enlargement (BPE) merupakan istilah
klinis yang menggambarkan bertambahnya volume protat akibat adanya perubahan
histopatologis yang jinak pada prostat (BPH). Diperkirakan hanya sekitar 50% dari
kasus BPH yan berkembang menjadi BPE. Pada kondisi yang lebih lanjut, BPE dapat
menimbulkan obstruksi pada saluran kemih, disebut dengan istilah benign prostatic
obstruction (BPO). BPO sendiri adalah bagian dari suatu entitas penyakit yang
menyebabkan obstruksi pada leher kandung kemih dan uretra, yaitu bladder outlet
obstruction (BOO).

Gambar 2.3: Benign Prostate Hyperplasia (BPH)

2.3 Epidemiologi BPH


Pada dasarnya, BPH terjadi pada pria yang menginjak usia tua dan memiliki
testis yang masih menghasilkan testosterone. BPH sering terjadi pada pria di atas 50
tahun.3 BPH terjadi pada sekitar 70% pria di atas 60 tahun, dan akan meningkat hingga
90% pada pria usia di atas 80 tahun. Angka kejadian BPH di Indonesia yang pasti belum
pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran hospital prevalence di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) sejak tahun 1994-2013 ditemukan 3804 kasus dengan rata-rata
umur penderita berusia 66,61 tahun.2
Meskipun penggunaan terapi medis telah meluas, BPH tetap mengalami
peningkatan pada tingkat populasi, terkait dengan BOO, termasuk LUTS, infeksi saluran

7
kemih, batu kandung kemih, retensi urin, dan gagal ginjal akut. Dalam sebuah penelitian
terhadap 3,7 juta pria AS yang datang ke IGD di negara bagian California, kejadian
retensi urin meningkat 25% dari 2007 hingga 2010. Masalah kesehatan masyarakat
yang penting lainnya adalah biaya yang terkait dengan diagnosis dan perawatan..
Perkiraan biaya tahunan perawatan BPH di AS. setidaknya $ 3,9 miliar dolar.7

2.4 Etiologi dan Faktor Risiko BPH


Pada tingkat populasi, ada 2 kategori besar faktor risiko yang terkait dengan
BPH dan LUTS : tidak dapat dimodifikasi (usia, geografi dan genetika) dan dapat
dimodifikasi (hormon steroid seks, sindrom metabolik, obesitas, diabetes, aktivitas
fisik, diet, merokok dan peradangan).7
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat
erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging
(menjadi tua).5
Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya
hiperplasia prostat adalah:5
1. Teori Hormonal
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal,
yaitu antara hormon testosteron dan hormon estrogen. Karena produksi testosteron
menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di
perifer dengan pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan
merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa
testosteron diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian
estrogenlah yang berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah
perubahan konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi
dan potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya
pembesaran prostat.
Pada keadaan normal, hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan
produksi hormon androgen testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat.
Dengan makin bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler
(spermatogenesis) yang akan menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi
androgen. Hal ini mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat merangsang
produksi hormon estrogen oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis, prostat

8
terdiri dari dua bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen
dan bagian perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen.
2. Teori Growth Factor (Faktor Pertumbuhan)
Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar
prostat. Terdapat empat peptic growth factor yaitu: basic transforming growth factor,
transforming growth factor 1, transforming growth factor 2, dan epidermal growth
factor.
3. Teori berkurangnya kematian sel prostat
Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme
fisiologis untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada apoptsis terjadi
kondensasi dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis
akan difagositosis oleh sel-sel disekitarnya kemudian digradasi oleh enzim lisosom.
Pada jaringan normal, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati
dalam keadaan seimbang. Sampai sekarang, belum dapat diterangkan secara pasti
faktor-faktor yang menghambat apoptosis, diduga hormon androgen berperan dalam
menghambat apoptosis sel prostat, dan estrogen diduga juga mampu memperpanjang
usia sel-sel prostat.

4. Teori Sel Stem (stem cell hypothesis)


Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada seorang
dewasa berada dalam keadaan keseimbangan “steady state”, antara pertumbuhan sel
dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar testosteron tertentu
dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat
berproliferasi. Pada keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga
terjadi proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem menyebabkan
produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar periuretral prostat menjadi
berlebihan.
5. Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Dehidrotestosteron adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron didalam sel prostat
oleh enzim 5α-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH.

9
Gambar 2.4: Teori DHT

Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh
berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya pada BPH, aktivitas enzim 5α-
reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini
menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga
replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.

Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian
dari kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh
globulin menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Hanya 2% dalam keadaan
testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam “target cell”
yaitu sel prostat melewati membran sel langsung masuk kedalam sitoplasma, di
dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha reductase menjadi 5
dehidrotestosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor sitoplasma menjadi
“hormone receptor complex”. Kemudian “hormone receptor complex” ini mengalami
transformasi reseptor, menjadi “nuclear receptor” yang masuk kedalam inti yang
kemudian melekat pada chromatin dan menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini
akan menyebabkan sintesis protein menyebabkan terjadinya pertumbuhan kelenjar
prostat.

2.5 Patofisiologi BPH


Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan
pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan. Pada tahap awal setelah terjadi
pembesaran prostat, terjadi penyempitan lumen uretra pars prostatika dan
menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan

10
intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, vesika urinaria harus berkontraksi lebih
kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan
peruabahan anatomi vesika urinaria berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi,
terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan ini dirasakan oleh
pasien sebagai keluhan pada saluran kemih bawah atau lower urinary tract symptoms
5,8
(LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus.
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian vesika urinaria
termasuk pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ini dapat
menimbulkan aliran balik urine dari vesika urinaria ke ureter (refluks vesico-ureter).
Keadaan ini jika terus berlangsung akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis,
5
bahkan akhirnya dapat jatuh ke gagal ginjal.

2.6 Diagnosis BPH


2.6.1 Anamnesis
a. Riwayat penyakit
 Keluhan yang dirasakan dan berapa lama keluhan itu telah mengganggu
 Riwayat penyakit lain dan penyakit saluran urogenital (pernah cedera,
infeksi, hematuria, kencing batu, atau pembedahan saluran kemih
 Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual
 Riwayat konsumsi obat yang dapat menimbulkan keluhan berkemih.2
b. Skor Keluhan
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih
sebelah bawah, WHO menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat
gangguan miksi yang disebut Skor Internasional Gejala Prostat atau
International Prostatic Symptom Score (I-PSS). Sistem skoring I-PSS terdiri atas
tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi (LUTS) dan satu
pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setiap pertanyaan
yang berhubungan dengan keluhan miksi diberi nilai 0 sampai dengan 5,
sedangkan keluhan yang menyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1
hingga 7.2,5

11
Dari skor I-PSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu:2,5
- Ringan : skor 1-7
- Sedang : skor 8-19
- Berat : skor 20-35

Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot buli


untuk mengeluarkan urine. Pada suatu saat otot buli mengalami kepayahan
sehingga masuk ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam retensi
urine akut.5
Timbulnya dekompensasi vesica urinaria biasanya didahului oleh
beberapa faktor pencetus, antara lain:2
- Volume vesica urinaria tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin,
menahan kencing terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan atau minuman
yang mengandung diuretikum (alkohol, kopi) dan minum air dalam jumlah
yang berlebihan.
- Massa prostat tiba-tiba membesar, yaitu setelah melakukan aktivitas
seksual atau mengalami infeksi prostat akut.
- Setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi
otot detrusor atau yang dapat mempersempit leher vesica urinaria, antara lain:
golongan antikolinergik atau alfa adrenergik.
c. Catatan harian berkemih ( voiding diaries)
Pencatatan harian berkemih sangat berguna pada pasien yang mengeluh
nokturia sebagai keluhan yang menonjol. Dengan mencatat kapan dan berapa
jumlah asupan cairan yang dikonsumsi serta kapan dan berapa jumlah urine yang
dikemihkan, dapat diketahui seorang pasien menderita nokturia idiopatik,
instabilitas detrusor akibat obstruksi infravesika, atau karena poliuria akibat
asupan air yang berlebih. Sebaiknya pencatatan dikerjakan 3 hari berturutturut
untuk mendapatkan hasil yang baik.2

12
Gambar 2.5: Skor IPSS dan Kualitas Hidup

2.6.2. Pemeriksaan Fisik


a. Status Urologis
- Ginjal
Pemeriksaan fisik ginjal pada kasus BPH untuk mengevaluasi adanya
obstruksi atau tanda infeksi.

13
- Kandung kemih
Pemeriksaan kandung kemih dilakukan dengan palpasi dan perkusi
untuk menilai isi kandung kemih, ada tidaknya tanda infeksi.2
b. Colok Dubur
Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan
pemeriksaan yang penting pada pasien BPH. Dari pemeriksaan colok dubur ini
dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya
nodul yang merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat. Mengukur
volume prostat dengan DRE cenderung lebih kecil daripada ukuran yang
sebenarnya.
Pada pemeriksaan colok dubur juga perlu menilai tonus sfingter ani dan
refleks bulbokavernosus yang dapat menunjukkan adanya kelainan pada
lengkung refleks di daerah sakral.2
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan prostat teraba
membesar, konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, permukaan
rata, lobus kanan dan kiri simetris, tidak didapatkan nodul, dan menonjol ke
dalam rectum, sedangkan pada karsinoma prostat, konsistensi prostat keras
dan atau teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris.5

Gambar 2.5: Pemeriksaan colok dubur

Derajat berat hiperplasia prostat berdasarkan colok dubur : 8


I : Penonjolan prostat, batas atas mudah diraba (sisa volume urine <50mL)
II : Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat dicapai (sisa volume urine 50-

14
100 mL)
III : Batas atas prostat tidak dapat diraba (sisa volume urine >100 mL)
IV : Retensi urine total

Berdasarkan penonjolan prostat ke dalam rektum :


Derajat 1 : penonjolan 0-1 cm ke dalam rektum
Derajat 2 : penonjolan 1-2 cm ke dalam rektum
Derajat 3 : penonjolan 2-3 cm ke dalam rektum
Derajat 4 : penonjolan > 3 cm ke dalam rektum

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang2


a. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat menentukan adanya leukosituria dan
hematuria. Apabila ditemukan hematuria, maka perlu dicari penyebabnya. Bila
dicurigai adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine.
b. Pemeriksaan fungsi ginjal
Obstruksi infravesika akibat BPH dapat menyebabkan gangguan pada
saluran kemih bagian atas. Gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 0,3--30%
dengan rata-rata 13,6%. Pemeriksaan faal ginjal berguna sebagai petunjuk perlu
tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih bagian atas.
c. Pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigen)
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi
bukan cancer specific. Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan
pada keradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP),
pada retensi urine akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua
Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari
BPH; dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti:
- pertumbuhan volume prostat lebih cepat,
- keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan
- lebih mudah terjadi retensi urine akut

Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan


kadar PSA. Semakin tinggi kadar PSA, maka semakin cepat laju pertumbuhan
prostat. Laju pertumbuhan volume prostat rata--rata setiap tahun pada kadar

15
PSA 0,2-- 1,3 ng/dl adalah 0,7 mL/tahun, sedangkan pada kadar PSA 1,4--
3,2 ng/dl adalah 2,1 mL/tahun, dan kadar PSA 3,3--9,9 ng/dl adalah 3,3
mL/tahun.Serum PSA dapat meningkat pada saat terjadi retensi urine akut dan
kadarnya perlahan--lahan menurun terutama setelah 72 jam dilakukan
kateterisasi.
Pemeriksaan PSA bersama dengan colok dubur lebih superior daripada
pemeriksaan colok dubur saja dalam mendeteksi adanya karsinoma prostat. Oleh
karena itu, pada usia di atas 50 tahun atau di atas 40 tahun (pada kelompok
dengan risiko tinggi) pemeriksaan PSA menjadi sangat penting guna mendeteksi
kemungkinan adanya karsinoma prostat. Apabila kadar PSA >4 ng/ml, biopsi
prostat dipertimbangkan setelah didiskusikan dengan pasien.
d. Uroflowmetry (Pancaran Urine )
Uroflowmetry adalah pemeriksaan pancaran urine selama proses
berkemih. Pemeriksaan non--invasif ini ditujukan untuk mendeteksi gejala
obstruksi saluran kemih bagian bawah. Dari uroflowmetry dapat diperoleh
informasi mengenai volume berkemih, laju pancaran maksimum (Qmax), laju
pancaran rata--rata (Qave), waktu yang dibutuhkan untuk mencapai laju
pancaran maksimum, dan lama pancaran. Pemeriksaan ini dipakai untuk
mengevaluasi gejala obstruksi infravesika, baik sebelum maupun setelah terapi.
Hasil uroflowmetry tidak spesifik menunjukkan penyebab terjadinya
kelainan pancaran urine. Pancaran urine yang lemah dapat disebabkan obstruksi
saluran kemih bagian bawah atau kelemahan otot detrusor. Terdapat hubungan
antara nilai Qmax dengan kemungkinan obstruksi saluran kemih bagian bawah
(BOO). Pada batas nilai Qmax sebesar 10 mL/detik memiliki spesifisitas sebesar
70%, positive predictive value (PPV) sebesar 70 %, dan sensitivitas sebesar
47% untuk mendiagnosis BOO. Sementara itu, dengan batas nilai Qmax sebesar
15 mL/detik memiliki spesifisitas sebesar 38%, PPV sebesar 67%, dan
sensitivitas sebesar 82% untuk mendiagnosis BOO.
Sebaiknya, penilaian ada tidaknya obstruksi saluran kemih bagian
bawah tidak hanya dinilai dari hasil Qmax saja, tetapi juga digabungkan dengan
pemeriksaan lain. Kombinasi pemeriksaan skor IPSS, volume prostat, dan Qmax
cukup akurat dalam menentukan adanya obstruksi saluran kemih bagian bawah.
Pemeriksaan uroflowmetry bermakna jika volume urine >150 mL.

16
e. Residu urine
Residu urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine di
kandung kemih setelah berkemih. Jumlah residu urine pada pria normal rata--
rata 12 mL.
Pemeriksaan residu urine dapat dilakukan dengan cara USG, bladder
scan atau dengan kateter uretra. Pengukuran dengan kateter ini lebih akurat
dibandingkan USG, tetapi tidak nyaman bagi pasien, dapat menimbulkan
cedera uretra, infeksi saluran kemih, hingga bakteremia.
Peningkatan volume residu urine dapat disebabkan oleh obstruksi
saluran kemih bagian bawah atau kelemahan kontraksi otot detrusor. Volume
residu urine yang banyak pada pemeriksaan awal berkaitan dengan peningkatan
risiko perburukan gejala. Peningkatan volume residu urine pada pemantauan
berkala berkaitan dengan risiko terjadinya retensi urine.
f. Pencitraan
- Saluran Kemih Bagian Atas
Pencitraan saluran kemih bagian atas hanya dikerjakan apabila terdapat
hematuria, infeksi saluran kemih, insufisiensi renal, residu urine yang banyak,
riwayat urolitiasis, dan riwayat pernah menjalani pembedahan pada saluran
urogenitalia. Pemeriksaan USG direkomendasikan sebagai pemeriksaan awal
pada keadaan-keadaan tersebut.
- Saluran Kemih Bagian bawah
Pemeriksaan uretrosistografi retrograd dilakukan jika dicurigai adanya
striktur uretra.
- Prostat
Pemeriksaan pencitraan prostat merupakan pemeriksaan rutin yang
bertujuan untuk menilai bentuk dan besar prostat, dengan menggunakan
ultrasonografi transabdominal (TAUS) atau ultrasonografi transrektal (TRUS).
Pengukuran besar prostat penting dalam menentukan pilihan terapi
invasif, seperti operasi terbuka, teknik enukleasi, TURP, TUIP, atau terapi
minimal invasif lainnya. Selain itu, hal ini juga penting dilakukan sebelum
pengobatan dengan 5ARI.

17
g. Uretrosistoskopi
Uretrosistoskopi dikerjakan pada pasien dengan riwayat hematuria, striktur
uretra, uretritis, trauma uretra, instrumentasi uretra, riwayat operasi uretra, atau
kecurigaan kanker kandung kemih.
h. Urodinamik
Pemeriksaan urodinamik merupakan pemeriksaan opsional pada
evaluasi pasien BPH. Indikasi pemeriksaan urodinamik pada BPH adalah:
pasien berusia kurang dari 50 tahun atau lebih dari 80 tahun, volume residu
urine >300 mL, Qmax >10 ml/detik, setelah menjalani pembedahan radikal
pada daerah pelvis, setelah gagal dengan terapi invasif, atau kecurigaan adanya
kelainan buli--buli neurogenik. Urodinamik saat ini merupakan pemeriksaan
yang paling baik dalam menentukan derajat obstruksi saluran kemih bawah dan
mampu memprediksi hasil tindakan invasif. Pemeriksaan ini mempunyai
sensitivitas 87%, spesifisitas 93%, dan nilai prediksi positif sebesar 95%.

2.7 Diagnosis Banding


Pada pasien dengan keluhan obstruksi saluran kemih di antaranya:
1. Struktur uretra
2. Batu buli-buli kecil
3. Kanker prostat
4. Kelemahan detrusor, misalnya pada penderita asma kronik yang menggunakan
obat-obat parasimpatolitik
Pada pasien dengan keluhan iritatif saluran kemih, dapat disebabkan oleh :
1. Instabilitas detrusor
2. Infeksi saluran kemih
3. Prostatitis
4. Batu ureter distal
5. Batu vesika kecil.

2.8 Penatalaksanaan BPH


Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk
menentukan berat gangguan miksi yang disebut WHO PSS (WHO Prostate
Symptom Score). Skor ini berdasarkan jawaban penderita atas delapan pertanyaan
mengenai miksi. Terapi non bedah dianjurkan bila WHO PSS tetap dibawah 15.

18
Untuk itu dianjurkan melakukan kontrol dengan menentukan WHO PSS. Terapi
bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila timbul obstruksi.
Pembagian derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I-IV digunakan untuk
menentukan cara penanganan, yaitu :
 Derajat satu : pengobatan secara konservatif.
 Derajat dua sebenarnya sudah ada indikasi untuk melakukan intervensi operatif,
dan yang sampai sekarang masih dianggap sebagai cara terpilih ialah trans uretral
resection (TUR). Kadang-kadang derajat dua penderita masih belum mau
dilakukan operasi, dalam keadaan seperti ini masih bisa dicoba dengan
pengobatan konservatif.
 Derajat tiga, TUR masih dapat dikerjakan oleh ahli urologi yang cukup
berpengalaman biasanya pada derajat tiga ini besar prostat sudah lebih dari 60
gram. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga reseksi tidak akan
selesai dalam satu jam maka sebaiknya dilakukan operasi terbuka.
Derajat empat tindakan pertama yang harus segera dikerjakan ialah membebaskan
penderita dari retensi urin total, dengan jalan memasang kateter atau memasang
sistostomi setelah itu baru dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi
diagnostik, kemudian terapi definitif dapat dengan TURP atau operasi terbuka.
Mengingat gejala klinik hiperplasia prostat disebabkan oleh 3 faktor yaitu
pembesaran kelenjar periuretral, menurunnya elastisitas leher vesika, dan
berkurangnya kekuatan detrusor, maka pengobatan gejala klinik ditujukan untuk :
1. Menghilangkan atau mengurangi volume prostat
2. Mengurangi tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3. Melebarkan uretra pars prostatika, menambah kekuatan detrusor
Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah menghilangkan obstruksi
pada leher vesica urinaria. Hal ini dapat dicapai dengan cara medikamentosa,
pembedahan, atau tindakan endourologi yang kurang invasive.

19
Tabel 2.1: Pilihan Terapi pada BPH

Observasi Medikamentosa Operasi Invasif Minimal

Penghambat TUMT
Watchfull waiting Prostatektomi terbuka
adrenergik α TUBD

Penghambat Endourologi Strent uretra dengan


reduktase α 1. TURP prostacath
Fitoterapi 2. TUIP TUNA
Hormonal 3. TULP (laser)

2.8.1 Observasi (watchfull waiting)


Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan (skor IPSS < 7). Pada
penatalaksanaan ini pasien hanya diberikan penjelasan mengenai sesuatu hal yang
mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya:
a. Jangan banyak minum dan minum kopi atau alkohol setelah makan malam
b. Kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi buli-
buli (kopi atau coklat)
c. Membatasi penggunaan obat-obatan influenza yang mengandung
dekongestan
d. Jangan menahan kencing terlalu lama
e. Setiap 6 bulan, kontrol dan periksa kembali skor IPSS, perubahan keluhan,
laju pancaran kencing, dan residual urin.
2.8.2 Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah untuk:
1. Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan
penghambat alfa adrenergik
2. Menurunkan volume prostat dengan cara menurunkan kadar hormon
testosteron/dehidrotestosteron (DHT)
2.8.2.1 Obat Penghambat adrenergik
Dasar pengobatan ini adalah mengusahakan agar tonus otot polos di dalam
prostat dan leher vesica berkurang dengan menghambat rangsangan alpha
adrenergik. Seperti diketahui di dalam otot polos prostat dan leher vesica banyak
terdapat reseptor alpha adrenergik. Obat-obatan yang sering digunakan prazosin,
terazosin, doksazosin, dan alfuzosin. Obat penghambat alpha adrenergik yang lebih

20
selektif terhadap otot polos prostat yaitu α1a (tamsulosin), sehingga efek sistemik
yang tak diinginkan dari pemakai obat ini dapat dikurangi. Dosis dimulai 1 mg/hari
sedangkan dosis tamzulosin 0,2-0,4 mg/hari. Penggunaan antagonis alpha 1
adrenergik untuk mengurangi obstruksi pada vesica tanpa merusak kontraktilitas
detrusor.
Obat-obatan golongan ini memberikan perbaikan laju pancaran urine,
menurunkan sisa urine dan mengurangi keluhan. Obat-obat ini juga memberi
penyulit hipotensi, pusing, mual, lemas, dan meskipun sangat jarang bisa terjadi
ejakulasi retrograd, biasanya pasien mulai merasakan berkurangnya keluhan dalam
waktu 1-2 minggu setelah pemakaian obat.
2.8.2.2 Obat Penghambat Enzim 5 Alpha Reduktase
Obat yang dipakai adalah finasterid (proskar) dengan dosis 1x5 mg/hari. Obat
golongan ini dapat menghambat pembentukan dehidrotestosteron sehingga prostat
yang membesar dapat mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat daripada
golongan alpha blocker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang sangat besar.
Salah satu efek samping obat ini adalah melemahkan libido dan ginekomastia.
2.8.2.3 Fitoterapi
Merupakan terapi alternatif yang berasal dari tumbuhan. Fitoterapi yang
digunakan untuk pengobatan BPH adalah Serenoa repens atau Saw Palmetto dan
Pumpkin Seeds. Keduanya, terutama Serenoa repens semakin diterima
pemakaiannya dalam upaya pengendalian prostatisme BPH dalam konteks
“watchfull waiting strategy”.
Saw Palmetto menunjukkan perbaikan klinis dalam hal:
 Frekuensi nokturia berkurang
 Aliran kencing bertambah lancer
 Volume residu di kandung kencing berkurang
 Gejala kurang enak dalam mekanisme urinaria berkurang.
Mekanisme kerja obat diduga kuat:
 Menghambat aktivitas enzim 5 alpha reduktase dan memblokir reseptor androgen
 Bersifat antiinflamasi dan anti oedema dengan cara menghambat aktivitas enzim
cyclooxygenase dan 5 lipoxygenase.

21
2.8.3 Terapi Operatif
Tindakan operasi ditujukan pada hiperplasi prostat yang sudah menimbulkan
penyulit tertentu, antara lain: retensi urin, batu saluran kemih, hematuri, infeksi
saluran kemih, kelainan pada saluran kemih bagian atas, atau keluhan LUTS yang
tidak menunjukkan perbaikan setelah menjalani pengobatan medikamentosa.
Tindakan operasi yang dilakukan adalah operasi terbuka atau operasi endourologi
transuretra.
2.8.3.1 Prostatektomi terbuka
1. Retropubic infravesica (Terence Millin)
Keuntungan :
 Tidak ada indikasi absolut, baik untuk adenoma yang besar pada
subservikal
 Mortaliti rate rendah
 Langsung melihat fossa prostat
 Dapat untuk memperbaiki segala jenis obstruksi leher buli
 Perdarahan lebih mudah dirawat
 Tanpa membuka vesika sehingga pemasangan kateter tidak perlu
selama bila membuka vesika
Kerugian :
 Dapat memotong pleksus santorini
 Mudah berdarah
 Dapat terjadi osteitis pubis
 Tidak bisa untuk BPH dengan penyulit intravesikal
 Tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang harus
dikerjakan dari dalam vesika
Komplikasi : perdarahan, infeksi, osteitis pubis, trombosis

2. Suprapubic Transvesica/TVP (Freeyer)


Keuntungan :
 Baik untuk kelenjar besar
 Banyak dikerjakan untuk semua jenis pembesaran prostat

22
 Operasi banyak dipergunakan pada hiperplasia prostat dengan
penyulit : batu buli, batu ureter distal, divertikel, uretrokel, adanya
sistostomi, retropubik sulit karena kelainan os pubis, kerusakan
sphingter eksterna minimal.
Kerugian :
 Memerlukan pemakain kateter lebih lama sampai luka pada
dinding vesica sembuh
 Sulit pada orang gemuk
 Sulit untuk kontrol perdarahan
 Merusak mukosa kulit
 Mortality rate 1 -5 %
Komplikasi :
 Striktura post operasi (uretra anterior 2 – 5 %, bladder neckstenosis
4%)
 Inkontinensia (<1%)
 Perdarahan
 Epididimo orchitis
 Recurent (10 – 20%)
 Carcinoma
 Ejakulasi retrograde
 Impotensi
 Fimosis
 Deep venous trombosis

3.Transperineal
Keuntungan :
 Dapat langssung pada fossa prostat
 Pembuluh darah tampak lebih jelas
 Mudah untuk pinggul sempit
 Langsung biopsi untuk karsinoma

23
Kerugian :
 Impotensi
 Inkontinensia
 Bisa terkena rektum
 Perdarahan hebat
 Merusak diagframa urogenital

2.8.3.2 Prostatektomi Endourologi


1. Trans Urethral Resection of the Prostate (TURP)
Yaitu reseksi endoskopik malalui uretra. Jaringan yang direseksi
hampir seluruhnya terdiri dari jaringan kelenjar sentralis. Jaringan
perifer ditinggalkan bersama kapsulnya. Metode ini cukup aman,
efektif dan berhasil guna, bisa terjadi ejakulasi retrograd dan pada
sebagaian kecil dapat mengalami impotensi. Hasil terbaik diperoleh
pasien yang sungguh membutuhkan tindakan bedah. Untuk keperluan
tersebut, evaluasi urodinamik sangat berguna untuk membedakan
pasien dengan obstruksi dari pasien non-obstruksi. Evaluasi ini
berperan selektif dalam penentuan perlu tidaknya dilakukan TUR.
Saat ini tindakan TUR P merupakan tindakan operasi paling
banyak dikerjakan di seluruh dunia. Reseksi kelenjar prostat dilakukan
trans-uretra dengan mempergunakan cairan irigan (pembilas) agar
supaya daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh
darah. Cairan yang dipergunakan adalah berupa larutan non ionik,
yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi.
Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup murah adalah H2O
steril (aquades).
Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik
sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik
melalui pembuluh darah vena yang terbuka pada saat reseksi.
Kelebihan air dapat menyebabkan terjadinya hiponatremia relatif atau
gejala intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma TUR P. Sindroma

24
ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen,
tekanan darah meningkat, dan terdapat bradikardi.
Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami edema otak yang
akhirnya jatuh dalam keadaan koma dan meninggal. Angka mortalitas
sindroma TURP ini adalah sebesar 0,99%. Karena itu untuk
mengurangi timbulnya sindroma TUR P dipakai cairan non ionik yang
lain tetapi harganya lebih mahal daripada aquades, antara lain adalah
cairan glisin, membatasi jangka waktu operasi tidak melebihi 1 jam,
dan memasang sistostomi suprapubik untuk mengurangi tekanan air
pada buli-buli selama reseksi prostat.

Gambar 2.7: TURP

Keuntungan :
 Luka incisi tidak ada
 Lama perawatan lebih pendek
 Morbiditas dan mortalitas rendah
 Prostat fibrous mudah diangkat
 Perdarahan mudah dilihat dan dikontrol
Kerugian :
 Teknik sulit
 Resiko merusak uretra
 Intoksikasi cairan

25
 Trauma sphingter eksterna dan trigonum
 Tidak dianjurkan untuk BPH yang besar
 Alat mahal
 Ketrampilan khusus
Komplikasi:
 Selama operasi: perdarahan, sindrom TURP, dan perforasi
 Pasca bedah dini: perdarahan, infeksi lokal atau sistemik
 Pasca bedah lanjut: inkontinensia, disfungsi ereksi, ejakulasi
retrograd, dan striktura uretra.

2. Trans Urethral Incision of Prostate (TUIP)


Metode ini di indikasikan untuk pasien dengan gejala obstruktif,
tetapi ukuran prostatnya mendekati normal.Pada hiperplasia prostat
yang tidak begitu besar dan pada pasien yang umurnya masih muda
umumnya dilakukan metode tersebut atau incisi leher buli-buli atau
bladder neck incision (BNI) pada jam 5 dan 7. Terapi ini juga
dilakukan secara endoskopik yaitu dengan menyayat memakai alat
seperti yangg dipakai pada TUR P tetapi memakai alat pemotong yang
menyerupai alat penggaruk, sayatan dimulai dari dekat muara ureter
sampai dekat ke verumontanum dan harus cukup dalam sampai tampak
kapsul prostat.
Kelebihan dari metode ini adalah lebih cepat daripada TUR dan
menurunnya kejadian ejakulasi retrograde dibandingkan dengan cara
TUR.
3. Trans Urethral Laser of the Prostate (Laser prostatectomy)
Oleh karena cara operatif (operasi terbuka atau TUR P) untuk
mengangkat prostat yang membesar merupakan operasi yang berdarah,
sedang pengobatan dengan TUMT dan TURF belum dapat
memberikan hasil yang sebaik dengan operasi maka dicoba cara
operasi yang dapat dilakukan hampir tanpa perdarahan.

26
Waktu yang diperlukan untuk melaser prostat biasanya sekitar 2-4
menit untuk masing-masing lobus prostat (lobus lateralis kanan, kiri
dan medius). Pada waktu ablasi akan ditemukan pop corn effect
sehingga tampak melalui sistoskop terjadi ablasi pada permukaan
prostat, sehingga uretra pars prostatika akan segera menjadi lebih lebar,
yang kemudian masih akan diikuti efek ablasi ikutan yang akan
menyebabkan “laser nekrosis” lebih dalam setelah 4-24 minggu
sehingga hasil akhir nanti akan terjadi rongga didalam prostat
menyerupai rongga yang terjadi sehabis TUR.
Keuntungan bedah laser ialah :
 Tidak menyebabkan perdarahan sehingga tidak mungkin terjadi
retensi akibat bekuan darah dan tidak memerlukan transfusi
 Teknik lebih sederhana
 Waktu operasi lebih cepat
 Lama tinggal di rumah sakit lebih singkat
 Tidak memerlukan terapi antikoagulan
 Resiko impotensi tidak ada
 Resiko ejakulasi retrograd minimal
Kerugian :
Penggunaan laser ini masih memerlukan anestesi (regional).

2.8.3.3 Invasif Minimal


1. Trans Urethral Microwave Thermotherapy (TUMT)
Cara memanaskan prostat sampai 44,5°C – 47°C ini mulai
diperkenalkan dalam tiga tahun terakhir ini. Dikatakan dengan memanaskan
kelenjar periuretral yang membesar ini dengan gelombang mikro
(microwave) yaitu dengan gelombang ultarasonik atau gelombang radio
kapasitif akan terjadi vakuolisasi dan nekrosis jaringan prostat, selain itu
juga akan menurunkan tonus otot polos dan kapsul prostat sehingga tekanan
uretra menurun sehingga obstruksi berkurang. lanjut mengenai cara kerja
dasar klinikal, efektifitasnya serta side efek yang mungkin timbul.

27
Cara kerja TUMT ialah antene yang berada pada kateter dapat
memancarkan microwave kedalam jaringan prostat. Oleh karena temperatur
pada antene akan tinggi maka perlu dilengkapi dengan surface costing agar
tidak merusak mucosa ureter. Dengan proses pendindingan ini memang
mucosa tidak rusak tetapi penetrasi juga berkurang.
Cara TURF (trans Uretral Radio Capacitive Frequency) memancarkan
gelombang “radio frequency” yang panjang gelombangnya lebih besar
daripada tebalnya prostat juga arah dari gelombang radio frequency dapat
diarahkan oleh elektrode yang ditempel diluar (pada pangkal paha)
sehingga efek panasnya dapat menetrasi sampai lapisan yang dalam.
Keuntungan lain oleh karena kateter yang ada alat pemanasnya mempunyai
lumen sehingga pemanasan bisa lebih lama, dan selama pemanasan urine
tetap dapat mengalir keluar.
2. Trans Urethral Ballon Dilatation (TUBD)
Dilatasi uretra pars prostatika dengan balon ini mula-mula
dikerjakan dengan jalan melakukan commisurotomi prostat pada jam
12.00 dengan jalan melalui operasi terbuka (transvesikal).
Prostat di tekan menjadi dehidrasi sehingga lumen uretra melebar.
Mekanismenya :
1. Kapsul prostat diregangkan
2. Tonus otot polos prostat dihilangkan dengan penekanan tersebut
3. Reseptor alpha adrenergic pada leher vesika dan uretra pars prostatika
dirusak
3. Trans Urethral Needle Ablation (TUNA)
Yaitu dengan menggunakan gelombang radio frekuensi tinggi
untuk menghasilkan ablasi termal pada prostat. Cara ini mempunyai
prospek yang baik guna mencapai tujuan untuk menghasilkan prosedur
dengan perdarahan minimal, tidak invasif dan mekanisme ejakulasi
dapat dipertahankan.

28
4. Stent Urethra
Pada hakekatnya cara ini sama dengan memasang kateter uretra,
hanya saja kateter tersebut dipasang pada uretra pars prostatika. Bentuk
stent ada yang spiral dibuat dari logam bercampur emas yang dipasang
diujung kateter (Prostacath). Stents ini digunakan sebagai protesis
indwelling permanen yang ditempatkan dengan bantuan endoskopi atau
bimbingan pencitraan. Untuk memasangnya, panjang uretra pars
prostatika diukur dengan USG dan kemudian dipilih alat yang panjangnya
sesuai, lalu alat tersebut dimasukkan dengan kateter pendorong dan bila
letak sudah benar di uretra pars prostatika maka spiral tersebut dapat
dilepas dari kateter pendorong. Pemasangan stent ini merupakan cara
mengatasi obstruksi infravesikal yang juga kurang invasif, yang
merupakan alternatif sementara apabila kondisi penderita belum
memungkinkan untuk mendapatkan terapi yang lebih invasif.

2.9 Komplikasi BPH


Hiperplasia prostat dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut :
o Inkontinensia Paradoks
o Batu Kandung Kemih
o Hematuria
o Sistitis
o Pielonefritis
o Retensi Urin Akut Atau Kronik
o Hidroureter
o Hidronefrosis
o Gagal Ginjal

29
BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. Syahril
Umur : 67 tahun
Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pensiun PNS
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Alamat : Muaro Pingai Junjung Sirih Kabupaten Solok
Nomor RM : 01.03.99.68

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama :
Buang air kecil via kateter sejak 3 bulan yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang:
 BAK via kateter sejak 3 bulan yang lalu. Sebelumnya pasien mengeluhkan tidak
bisa buang air kecil, lalu pasien dibawa ke Rumah Sakit Tentara Solok, dan
dilakukan pemasangan kateter. Pasien mengaku telah lima kali ganti kateter.
Pasien kemudian di rujuk ke Poli Urologi RSUP dr. M. Djamil pada tanggal 11
Februari 2019.
 Nyeri saat BAK sejak 6 bulan yang lalu.
 BAK tidak lancar sejak 6 bulan yang lalu. BAK harus sedikit mengedan agar air
kencingnya keluar, selain itu pasien merasakan BAK tidak tuntas atau tidak puas.
Pasien merasakan gejala yang dirasakan menjadi bertambah, pasien merasa BAK
menjadi lebih sering, dan keluarnya menetes dan terasa sakit.
 Riwayat BAK berdarah (-), berpasir (-)
 Riwayat demam (-)
 Penurunan nafsu makan (-), penurunan BB (-)
 BAB biasa

30
Riwayat Penyakit Dahulu
 Pasien tidak pernah mengalami penyakit seperti ini sebelumnya
 Riwayat pernah kencing mengeluarkan batu disangkal
 Riwayat pernah nyeri buang air kecil disertai buang air kecil berwarna kemerahan
disangkal
 Riwayat hipertensi disangkal
 Tidak pernah menderita penyakit jantung, hati, DM, penyakit menular, dan
kejiwaan.

Riwayat Pengobatan
Belum pernah mendapatkan pengobatan sebelumnya

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan yang sama dengan pasien.
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit menular, keturunan dan
kejiwaan.

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan, dan Kebiasaan


Pasien seorang pension PNS, aktivitas sedang, merokok 2 bungkus/hari selama 40
tahun dan telah berhenti sejak umur 60 tahun, pasien malas minum

Riwayat alergi
Tidak ada

Riwayat seksual
Tidak ada kelainan

3.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Komposmentis kooperatif (GCS 15)

31
Vital sign
Tekanan darah : 140/90 mmHg
Nadi : 87 x/menit, regular, isi: kuat angkat
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,5 º C
TB : 165 cm
BB : 60 kg

Status Generalisata
Kepala : Normocephal, rambut tidak mudah rontok
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
bulat isokor (2mm/2 mm), reflek cahaya (+/+)
Hidung : Tidak ada pernafasan cuping hidung, mukosa tidak
hiperemis, sekret tidak ada, tidak ada deviasi
septum
Telinga : Simetris, tidak ada kelainan, otore (-/-)
Mulut : Sianosis, perdarahan gusi (-), lidah tidak
kotor,faring tidak hiperemis
Leher : Tidak ada deviasi trakhea, tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid dan getah bening, JVP tidak
meningkat
Thorax
Paru:
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : Taktil fremitus simetris kanan-kiri
Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler pada seluruh lapangan paru,
wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V.

32
Perkusi : Batas atas sela iga II LMCS
Batas kanan sela iga V garis sternal kanan
Batas kiri 1 jari medial LMCS RIC V
Auskultasi : Bunyi jantung I – II reguller, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Perut tidak nampak membuncit
Palpasi : Hepar dan Lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrium (-),
nyeri lepas (-), defans muskuler (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas
Superior : Sianosis (-), oedem (-), ikterik (-)
Inferior : Sianosis (-), oedem (-), ikterik (-)

Status Lokalis
Regio Costovertebra
Inspeksi : Ramping pinggang (+), benjolan (-), jejas (-)
Palpasi : Bimanual Ballotement ginjal (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Nyeri Ketok CVA (-)
Regio Supra Pubis
Inspeksi : Terdapat rambut pubis, tidak ada benjolan
Palpasi : Nyeri Tekan (-), Nyeri Lepas (-), Defans Muscular (-),
massa (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : BU (+) Normal
Regio Genetalia Eksterna
Inspeksi : Orifisium uretra eksterna baik, discharge (-), terpasang kateter
Palpasi : Testis teraba dua buah, kanan dan kiri., konsistensi
kenyal
Regio Anal
Inspeksi : Benjolan (-), laserasi (-)

33
Rectal Toucher : Sfingter ani menjepit,
Pada mukosa teraba massa yang konsistensinya kenyal,
permukaan rata, sulcus medianus (+),
pool atas tidak teraba, nodul (-), nyeri tekan (-)
Handscoon : Darah, lendir dan feses tidak ada

Pemeriksaan penunjang
Laboratorium ( tanggal 15 Februari 2019)
Hb : 13,3 g/dl
Ht : 42 %
3
Leukosit : 6.930/mm
3
Trombosit : 239.000/mm
PT/APTT : 10,6 s/ 28,0 s
GDP : 87 mg/dl
Ur/Cr : 15/1,1 mg/dl
Na/K/Cl : 140/5,1/9,1 mmol/L
SGOT/SGPT : 19/12 mikro/L
Tot.Protein/Alb/Glo : 8,7/3,5/5,2 g/dl
Asam urat : 7,8 mg/dl
PSA : 9,60 ng/ml

Kesan: Asam urat meningkat, Albumin menurun, Globulin meningkat, PSA meningkat

34
USG urologi ( tanggal 15 Februari 2019 )

Hasil USG :

Prostat : ukuran membesar 5,3 X 5,2 X 6,5 cm


Ekhostruktur inhomogen. Tidak tampak lesi fokal/SOL.
Tampak
Tampak kalsifikasi

Kesimpulan : Hipertrofi prostat

35
Diagnosis:
BPH

Diagnosis Banding:
Tumor Prostat

Rencana Terapi
Biopsi + TURP

Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam

36
BAB IV
DISKUSI
Seorang laki—laki, 67 tahun datang ke poli urologi RSUP Dr.M.Djamil Padang
dengan keluhan utama BAK via kateter sejak 3 bulan yang lalu. Dari BAK via kateter
sejak 3 bulan yang lalu. Sebelumnya pasien mengeluhkan tidak bisa buang air kecil,
lalu pasien dibawa ke Rumah Sakit Tentara Solok, dan dilakukan pemasangan kateter.
Pasien mengaku telah lima kali ganti kateter. Nyeri saat BAK sejak 6 bulan yang lalu.
BAK tidak lancar sejak 6 bulan yang lalu. BAK harus sedikit mengedan agar air
kencingnya keluar, selain itu pasien merasakan BAK tidak tuntas atau tidak puas.
Pasien merasakan gejala yang dirasakan menjadi bertambah, pasien merasa BAK
menjadi lebih sering, dan keluarnya menetes dan terasa sakit. Gejala ini tanpa disertai
dengan demam. Riwayat BAK berdarah disangkal. BAK berpasir disangkal,
penurunan nafsu makan dan penurunan BB disangkal, BAB biasa.
Dari anamnesis di atas tergambar kemungkinan ada masalah pada saluran
kemih dimana terjadi sumbatan pada saluran tersebut. Kebanyakan pada usia lanjut,
1,2,3
sumbatan ini diakibatkan oleh adanya pembesaran prostat. Pada kasus ini dapat
ditemukan gejala Lower Urinanry Tract Syndrom (LUTS). Gejalanya meliputi gejala
obstruktif dan gejala iritatif yang sering disebut sebagai sindroma prostatismus.
Infeksi saluran kemih, maupunn batu saluran kemih bisa disingkirkan karena keluhan
yang megarah ke sana disangkal pasien.
Dari pemeriksaan fisik status lokalis didapatkan Regio Costovertebrae,
Inspeksi tidak tampak jejas, ramping pinggang (+), benjolan (-), Palpasi Nyeri Tekan -
/-, Ballotement -/-.Perkusi nyeri ketok CVA -/-. Regio Supra Pubis, Inspeksi tidak
ada benjolan, scar (-). Palpasi nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), defans muskular (-),
massa(-). Regio Genitalia Eksterna, Inspeksi normal, OUE baik, discharge(-). Regio
Anal, Inspeksi benjolan (-), laserasi (-), dari pemeriksaan RT didapatkan sfingter ani
menjepit, pada mukosa teraba massa yang konsistensinya kenyal, permukaan rata,
sulcus medianus (+), pool atas tidak teraba, nodul (-), nyeri tekan (-), handschoon:
darah, lendir dan feses tidak ada. Dari pemeriksaan fisik, kelaianan juga mengarah
pada saluran kemih, karena pada pemeriksaan RT ditemukan suatu massa yang
mengarah pada pembesaran prostat.

37
Dari pemerikssaan laboratorium ditemukan adanya peningkatan PSA. Hasil ini
menunjukkan kelainan mengarah pada prostat. Dari pmeriksaan USG didapatkan
kesimpulan hipertrofi prostat.
Jadi dari anamnesis,pemerikaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, mendukung
diagnosis kearah BPH. Selanjutnya direncanakan Biopsi dan TURP. Terapi operasi
TURP yaitu reseksi endoskopik malalui uretra. Jaringan yang direseksi hampir
seluruhnya terdiri dari jaringan kelenjar sentralis. Jaringan perifer ditinggalkan
bersama kapsulnya. Metode ini memiliki beberapa keuntungan luka incisi tidak ada,
lama perawatan lebih pendek, morbiditas dan mortalitas rendah, prostat fibrous
mudah diangkat, perdarahan mudah dilihat dan dikontrol.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Schwartz SI, Shires GT, Spncer FC, Daly JM, Fischer JE, Galloway AC. Principles
of Surgery. United States of America: McGraw-Hill companies. 2010.
2. Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI). Panduan Penatalaksanaan Klinis Pembesaran
Prostat Jinak (BPH). Jakarta. 2015
3. Williams NS, Bulstrode CJ, O’Connell PR, Bailey and Love’s Short Practice of
Surgery. 26th ed. CRC Press.2010
4. Mansjoer, A., Suprohaita, Wahyu, I.W., Wiwiek, S. Kapita Selekta Kedokteran
Edisi Ketiga Jilid Kedua. Jakarta: Media Aesculapius. 2000.
5. Purnomo, B.B. Dasar-Dasar Urologi Edisi Kedua. Jakarta: Sagung Seto. 2009.
6. Snell, R.S. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC. 2011.
7. Patel ND, Parsons JK. Epidemiology and etiology of benign prostatic hyperplasia
and bladder outlet obstruction. Indian Journal of Urology. 2014 Apr-Jun; 30(2):
170–176
8. Sjamsuhidajat, R., Warko K. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC. 2010.

39

Vous aimerez peut-être aussi