Vous êtes sur la page 1sur 11

More rina.marlina1411@gmail.

com Dashboard Sign Out

Sudiyatmo,MD Blog & Journal


Go confidently in the direction of your dreams... and Live the life you have imagined...

Sabtu, 23 Februari 2013 Total Kunjungan

TRAUMA GINJAL 209637

Arsip Blog
►  2016 (2)
Oleh : Sudiyatmo, MD
►  2015 (5)
Ditulis saat menjalani stase PPDS Bedah di RSUD Suliki (Februari 2013)
►  2014 (2)
References : ▼  2013 (6)
►  Maret (2)
·         Emergencies in Urology, editor Markus Hohenfellner, Richard A.Santucci
▼  Februari (4)
·         Urological Emergencies in Clinical Practice, Hashim Hashim et al TRAUMA GINJAL
INTESTINAL STOMA
·         Campbell-Walsh Urology, 9th ed.
HERNIA INGUINALIS
Ileus Obstruksi (Obstruksi Intestinal)

PENDAHULUAN
►  2012 (18)
Trauma ginjal terjadi sekitar 1%-5% dari total seluruh trauma. Trauma
ginjal dapat menjadi problem akut yang mengancam nyawa, namun About me
sebagian besar trauma ginjal bersifat ringan dan dapat dirawat secara
didi sudiyatmo
konservatif. Perkembangan dalam pencitraan dan derajat trauma
Follow 10
selama 20 tahun terakhir telah mengurangi angka intervensi bedah pada
kasus-kasus trauma ginjal. Lihat profil lengkapku

MEKANISME TRAUMA

Mekanisme trauma dapat berupa trauma tumpul atau trauma tembus Wikipedia
(penetrating injury). Pada daerah pedesaan persentase trauma tumpul
mencapai 90%-95%. Sementara di daerah perkotaan, trauma tembus
meningkat hingga 18%.

Trauma tumpul biasanya terjadi pada kasus-kasus kecelakaan lalu lintas,


terjatuh dari ketinggian, cedera saat olahraga atau berkelahi. Sehingga
informmasi yang penting untuk diketahui yang berkenaan dengan
riwayat trauma adalah besarnya prose decelerasi yang terjadi.
Decelerasi yang sangat cepat dapat menyebabkan kerusakan pembuluh
darah, trombosis arteri renalis, peregangan pembuluh darah vena, atau
avulsi pedicle ginjal.

Laserasi ginjal yang disertai dengan trauma pada vaskularisasi, hanya


terjadi sekitar 10%-15% dari seluruh trauma tumpul ginjal. Luka tembak
dan luka tusuk merupakan penyebab utama trauma tembus ginjal. Pada
luka tembak, hal terpenting adalah mengetahui jenis senjata dan peluru.
Trauma tembus sendiri dapat mengenai organ retroperitoneal bahkan
hingga mencapai peritoneum. Sehingga memungkinkan untuk
menciptakan kondisi yang tidak steril. Adanya perdarahan dan
kebocoran urin pada trauma tembus ginjal akan menciptakan
lingkungan yang ideal bagi pertumbuhan bakteri. Sehingga trauma
tembus ginjal cenderung lebih berat dan sukar untuk diprediksi
dibandingkan trauma tumpul ginjal.

  

KLASIFIKASI TRAUMA GINJAL

Klasifikasi trauma ginjal membantu dalam penyamaan persepsi


(standarisasi) akan berbagai jenis pasien, pilihan terapi dan hasil yang
diharapkan. Total terdapat 26 klasifikasi trauma ginjal telah
dipublikasikan selama 50 tahun terakhir. Namun American Association
for the Surgery of Trauma (AAST) telah mengembangkan
penklasifikasian trauma ginjal yang diterima luas hingga saar ini.
Trauma ginjal diklasifikasikan dari derajat I-V. Sebagian besar penelitian
klinis dan penerapan dilapangan telah mengadopsi pengklasifikasian
ini.

DIAGNOSIS : INITIAL EMERGENCY ASSESSMENT

Penilaian awal pasien trauma harus meliputi jalan napas, mengontrol


pendarahan yang tampak, resusistasi syok jika diperlukan. Pada kasus
multiple trauma resusistasi harus segera dilakukan. Pada banyak kasus
pemeriksaan fisik dilakukan secara simultan dengan stabilisasi pasien.
Dada, perut dan pinggang tidak boleh luput dari pemeriksaan. Ketika
trauma pada ginjal dicurigai maka diperluka evaluasi lebih lanjut.

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Indikator yang memungkinkan untuk terjadinya trauma ginjal meliputi


mekanisme deselerasi yang cepat seperti pada; jatuh dari ketinggian
atau kecelakaan bermotor dengan kecepatan tinggi, serta trauma
langsung pada regio flank. Pada kasus trauma tembus, informasi yang
diperlukan meliputi jenis benda tajam atau kaliber peluru pada kasus
luka tembak.

Riwayat penyakit sebelumnya juga perlu digali, adakah kemungkinan


adanya disfungsi organ sebelum terjadinya trauma. Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa adanya riwayat penyakit ginjal sebelumnya dapat
memperberat trauma minor. Hidronefrosis, batu ginjal, kista maupun
tumor telah dilaporkan dapat menimbulkan komplikasi yang lebih
berat.

Pemeriksaan fisik merupakan dasar pemeriksaan pada setiap pasien


trauma. Stabilitas hemodinamik merupakan kriteria utama dalam
penatalaksanaan semua trauma ginjal. Shok dapat diartikan sebagai
tekanan sistole yang <90 mmHg pada saat pasien dievaluasi. Vital sign
harus dicatat untuk mengevaluasi pasien.

Pada pemeriksaan fisik dinilai adanya trauma tumpul atau tembus pada
regio flank, lower thorax dan upper abdomen. Pada luka tembus,
panjangnya luka tidak secara kurat mengambarkan dalamnya penetrasi.
Penemuan berupa; hematuri, jejas dan nyeri pada pinggang, patah
tulang iga bawah, atau distensi abdomen dapat dicurigai adanya trauma
pada ginjal.

Pemeriksaan Laboratorium Urinalisa, darah rutin dan kreatinin


merupakan pemeriksaan laboratorium yang penting. Urinalisa
merupakan pemeriksaan dasar untuk mengetahui adanya cedera pada
ginjal. Hematuria mikroskopis pada pasien trauma dapat didefenisikan
sebagai adanya >5 sel darah merah per-lapang pandang besar,
sementara pada gross hematuria telah dapat dilihat langsung pada urin.

Hematuria merupaka poin disgnostik penting untuk trauma ginjal.


Namun tidak cukup sensitif dan spesifik untuk membedakan apakah
suatu trauma minor ataukah mayor. Perlu diingat beratnya hematuria
tidak berkorelasi lurus dengan beratnya trauma ginjal. Bahkan
untuk trauma ginjal yang berat, seperti; robeknya ureteropelvic
junction, trauma pedikel ginjal, atau trombosis arteri dapat tampil tanpa
disertai dengan hematuria.

Hematokrit serial merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk


mengevaluasi pasien trauma. Penurunan hematokrit dan kebutuhan
akan transfusi darah merupakan tanda kehilangan darah yang banyak,
dan respon terhadap resusistasi akan menjadi pertimbangan dalam
pengambillan keputusan. Peningkatan kreatinin dapat sebagai tanda
patologis pada ginjal.

Pencitraan : Kriteria Penilaian Radiologis

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan hematuria


mikroskopis tanpa disertai shok pasca trauma tumpul ginjal biasanya
merupakan tanda tidak beratnya trauma pada ginjal. Oleh karena itu
pemeriksaan radiologis perlu dipertimbangkan indikasinya, mengingat
rasa tidak nyaman yang timbul pada pasien, reaksi alergi terhadap
kontras, paparan radiasi, dan pemeriksaan radiologis yang berlebihan.

Indikasi untuk dilakukannya pemeriksaan radiologis pada trauma ginjal


antara lain adalah gross hematuri, hematuri mikroskopik yang disertai
shok, atau adanya trauma multi organ. Pada luka tembus, setiap
kecurigaan adanya luka yang mengarah pada ginjal maka perlu
dilakukan pemeriksaan radiologis tanpa memandang derajat hematuri.

Ultrasonografi Abdomen USG merupakan modalitas pencitraan yang


populer untuk penilaian awal suatu trauma abdomen. USG dapat
dilakukan dengan cepat, tidak invasif, biaya murah, dan dapat menilai
adannya cairan bebas tanpa paparan radiasi atau zat kontras. Namun
penggunaan USG pada trauma ginjal cukup banyak dipertanyakan,
disamping pemakainaya sangat bergantung pada operator.

USG dapat mendeteksi adanya laserasi pada ginjal, namun tidak mampu
secara tepat memastikan seberapa dalam dan luas laserasi yang terjadi,
dan tidak mampu menampilkan data yang mendukung untuk menilai
ekskresi ginjal dan ada tidaknya kebocoran urin. USG doppler dapat
digunakan untuk menilai aliran darah yang menuju ke ginjal. Pada USG
dengan kontras, pencitraan dengan baik dapat dilihat pada posisi pasien
supine atau dekubitus kontralateral.

Karena penggunaanya yang relatif cepat, USG dapat digunakan pada


saat penilaian awal trauma. Pada saat evaluasi, USG lebih sensitif dan
spesifik dibandingkan IVP standar untuk kasus trauma minor. Pada
penelitian lain yang membandingkan USG dan IVP, sensitifitas USG akan
makin berkurang berbanding lurus dengan beratnya derajat trauma,
sementara sensitifitas IVP sama tingginya pada semua derajat trauma
ginjal.

USG dapat digunakan untuk mengevaluasi resolusi urinoma dan


hematom retroperitoneal pada kasus pasien trauma ginjal yang stabil.
USG juga dapat digunakan pada pasien yang hamil dan berguna untuk
follow-up rutin dalam menilai lesi parenkim atau hematom pada pasien
yang dirawat di ruang intensive care unit (ICU). Kesimpulannya, USG
berguna pada saat triase pasien dengan trauma tumpul abdomen, dan
membantu untuk menentukan modalitas diagnostik yang lebih agresif.
USG abdomen tidak memberikan data yang akurat untuk menilai derajat
trauma ginjal.
One shot-Intraoperative Intraveous Pyelography Pasien yang tidak
stabil merupakan kriteria untuk tindakan operatif (kondisi tidak stabil
sehingga tidak dimukinkan dilakukan CT scan), pada pasien tersebut
perlu dilakukan one shot-IVP di ruang operasi. Tekniknya dengan
melakukan injeksi kontras sebanyak 2 ml/KgBB dan diikuti dengan satu
kali pengambilan plain foto tunggal 10 menit setelah injeksi kontras.
Pemeriksaan akan memberikan informasi untuk tindakan laparotomi
segera, dan data mengenai normal atau tidaknya fungsi ginjal
kontralateral.

Walaupun banyak ahli yang menganjurkan penggunaannya, namun


tidak semua penelitian menunjukkan manfaat dari one shot-IVP. Pada
kasus trauma tembus, Patet et al, menemukan positive predictive value
yang hanya 20%, artinya 80% pasien dengan one shot-IVP yang normal,
tidak mampu mendeteksi adanya trauma ginjal pada pasien tersebut.
Sehingga disimpulkan bahwa one-shot IVP tidak memiliki manfaat yang
signifikan untuk menilai pasien dengan trauma tembus ginjal yang akan
menjalani operasi laparotomi.

Computed Tomography CT scan merupakan standar baku pemeriksaan


radiologi pada pasien trauma ginjal dengan hemodinamik stabil. Pada
banyak penelitian CT scan lebih unggul dibandingkan pencitraan lain
seperti IVP, USG atau angiografi. CT scan lebih akurat untuk menilai
lokasi trauma, mendeteksi kontusio dengan jelas, memberikan
gambaran retroperitoneum dan hematom, dan secara simultan
memberikan gambaran abdomen dan pelvis. CT scan juga memberikan
keunggulan dalam gambaran detail anatomi, yang mencakup; laserasi
ginjal, ada tidaknya trauma penyerta, dan gambaran ginjal kontralateral.
Luasnya hematom yang tampak pada CT scan dapat dijadikan dasar
evaluasi pada kasus trauma tumpul dan penentuan terapi lebih lanjut.

Kontras intravena dapat dilakukan untuk menilai ginjal. Adanya


ekstravasasi kontras pada trauma ginjal menandakan suatu trauma
pedicle ginjal. Jika tanpa kontras, adanya hematom sentral peri-hilum
dapat dicurigai sebagai trauma pedicle. Hal ini harus dipastikan pada
kondisi dimana parenkim ginjal tampak normal. Trauma pada vena
renalis merupakan hal yang sulit untuk dideteksi dengan modalitas
pencitraan apapun, namun kita dapat mencurigainya jika didapati
hematom yang luas pada sisi medial ginjal.
Magnetic Resonance Imaging Walaupun MRI tidak banyak digunakan
pada sebagian besar kasus trauma ginjal, namun beberapa penelitian
telah menunjukkan beberapa manfaat MRI. MRI (1,0 tesla) dapat dengan
akurat mangambarkan hematom perirenal, viabilitas fragmen ginjal,
dan mendeteksi kelainan ginjal sebelumnya, namun gagal
memvisualisasikan ekstravasasi urin pada pemeriksaan awal. Namun
demikian MRI bukan pilihan diagnostik pertama pada pasien trauma
karena waktu pemeriksaannya yang lama dan biayanya yang mahal.

Angiografi. CT scan telah menggantikan penggunaan angiografi dalam


menilai derajat trauma ginjal, hal ini dikarenakan angiografi kurang
spesifik, waktu pemeriksaan yang lama, dan lebih invasif. Namun
demikian, angiografi lebih spesifik dalam menentukan lokasi pasti dan
derajat trauma vaskular. Angiografi dapat menentukan lacerasi ginjal,
ekstravasasi, dan trauma pedicle.

Indikasi utama angiografi pada trauma ginjal adalah ginjal yang


nonvisual pada pemeriksaan IVP setelah trauma yang berat dan tidak
memiliki fasilitas CT scan. Penyebab dari ginjal nonvisual biasanya
adalah avulsi total pembuluh darah ginjal, trambosis arteri renalis,
kontusio berat yang menyebabkan spasme pembuluh darah. Angiografi
juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik stabil, untuk
menilai trauma pedicle yang tidak begitu jelas pada CT scan, atau pada
pasien dengan hematuri yang persisten.

PENATALAKSANAAN TRAUMA GINJAL

Satu jam pertama setelah trauma merupakan masa terpenting dan


membutuhkan penilaian yang cepat, melakukan resusistasi berdasarkan
prioritas yang telah ditetapkan oleh American College of Surgeons Acute
Trauma Life Support Program meliputi; A, airway dengan proteksi
servikal collar; B, Breathing; C, Circulation dan mengontrol pendarahan;
D, disability atau status neurologis; dan E, exposure and environment.

Tujuan utama dari manajemen pasien trauma ginjal adalah


meminimalisir morbiditas dan mengamankan fungsi ginjal. Oleh karena
itu eksplorasi ginjal harus dipastikan dengan sangat selektif. Derajat
trauma ginjal, kondisi pasien secara keseluruhan, dan kebutuhan akan
transfusi merupakan faktor prognosis untuk nefrektomi dan hasil akhir
secara keseluruhan.

Hemodinamik yang tidak stabil yang disebabkan oleh pendarahan ginjal


merupakan indikasi mutlak untuk dilakukannya eksplorasi ginjal, baik
pada trauma tumpul maupun trauma tembus. Indikasi lain untuk
dilakukannya eksplorasi adalah hematom perirenal yang pulsatile dan
ekspanding (berdenyut dan meluas). Pada situasi ini one shot-IVP dapat
memberikan informasi yang bermanfaat. Visualisasi yang tidak baik
pada ginjal yang mengalami trauma termasuk indikasi eksplorasi. Pasien
trauma ginjal grade 5 juga merupakan indikasi mutlak untuk
dilakukannya eksplorasi.

MANAJEMEN- EKSPLORASI

Secara keseluruhan eksplorasi dilakukan pada <10% kasus trauma ginjal


dan akan makin berkurang pada masa yang akan datang karena
semakin banyaknya pihak yang menganut pendekatan konservatif pada
kasus trauma ginjal. Tujuan utama eksplorasi adalah untuk mengontrol
pendarahan dan menyelamatkan ginjal. Mayoritas ahli menganjurkan
pendekatan transperitoneal (laporatomi). Akses pada pedikel ginjal lebih
baik dilakukan dengan pendekatan peritoneum parietal poterior,
dengan insisi di atas aorta, medial dari vasa mesenterica inferior.

Secara keseluruhan 13% pasien mengalami nefrektomi pada saat


eksplorasi, umumnya nefrektomi dilakukan pada pasien dengan riwayat
shok dan score trauma yang berat. Pada kasus luka tembak, rekonstruksi
mungkin sulit dilakukan sehingga dibutuhkan nefrektomi.

Renorafi merupakan teknik rekonstruksi yang umum dilakukan.


Nefrektomi parsial dapat dipertimbangkan jika ditemui jaringan yang
non-viable. Penutupan defek kolekting sistem dilakukan dengan
penjahitan yang kedap-air, beberapa ahli menganjurkan menutup defek
kolekting sistem dengan parenkim ginjal untuk hasil yang lebih baik.
Jika kapsul ginjal tidak dapat dipreservasi maka dapat dilakukan
omental pedicle flap sebagai penutup defek. Pada semua kasus,
direkomendasikan penggunaan drainase retroperitoneal untuk
mengalirkan kebocoran urin.

Semua trauma tembus harus dieksplorasi melalui pendekatan


transabdominal, agar dapat mengeksplorasi ginjal kontralateral dan
mengontrol trauma abdomen lainnya. Ginjal dieksplorasi dengan
membuka fascia gerota dan dinilai ada tidaknya pendarahan aktif,
hamtom perirenal yang meluas, atau kebocoran urin. Lakukan penilaian
pada hillum dan ureter bagian proksimal. Trauma tusuk dengan derajat
3 akan mangalami perjalanan penyakit yang sulit untuk diprediksi dan
dapat mengalami komplikasi lambat dan operasi yang tertunda.
Banyaknya jaringan ginjal yang nonviable merupakan indikasi relatif
untuk dilakukan eksplorasi.
Trauma pada organ vaskular ginjal jarang terjadi, biasanya kasus ini
berhubungan dengan trauma penyerta yang luas dan meningkatnya
angka morbiditas dan mortalitas. Pada kasus trauma ginjal bilateral
dipertimbangkan untuk melakukan repair, pada kasus soliter dapat
dilakukan nefrektomi. Arteriografi dengan embolisasi untuk mengontrol
pendarahan merupakan alternatif untuk laparotomi. Banyak yang
melaporkan angka keberhasilan tindakan ini baik pada kasus trauma
tumpul atau trauma tembus.
MANAJEMEN NON-OPERATIF/KONSERVATIF
Manajemen non-operatif semakin banyak dipertimbangkan untuk
pasien-pasien trauma ginjal. Semua kasus trauma ginjal grade 1 dan 2
dapat dirawat secara konservatif baik pada trauma tumpul atau trauma
tembus. Terapi pada trauma ginjal grade 3 telah menjadi kontroversi
selama bertahun-tahun. Mayoritas pasien dengan trauma ginjal grade 4
dan 5 datang dengan trauma penyerta dan akhirnya menjalani
eksplorasi dan tingginya angka nefrektomi.
Pasien trauma ginjal grade 4 dan 5 dapat dirawat konservatif dengan
syarat kondisi hemodinamik stabil. Ekstravasasi urin bukan indikasi
mutlak untuk dilakukan eksplorasi, dan umumnya dapat sembuh
dengan sendirinya. Jika derajat ekstravasasi makin berat dalam 48 jam
dapat dipertimbangkan insersi JJ stent.
Pasien dengan hemodinamik stabil harus dilakukan penilaian derajat
trauma dengan lengkap untuk memastikan luasnya trauma. Kasus luka
tembak dengan kecepatan peluru yang rendah atau luka tusuk kecil
dapat dirawat dengan hasil yang dapat diterima. Pendekatan klinis yang
sistematis berdasarkan pada temuan klinis, laboratorium, dan
penunjang radiologi dapat meminimalisir angka negatif eksplorasi. 
PERAWATAN POST-OPERASI DAN FOLLOW-UP
Pasien yang berhasil dirawat secara konservatif memiliki beberapa
resiko komplikasi. Pencitraan dapat diulang 2-4 hari setelah trauma
untuk meminimalisir resiko komplikasi yang tidak terdeteksi sejak awal
terutama pada trauma grade 3-5. CT scan dapat dipertimbangkan pada
kondisi pasien dengan demam, hematuri yang terus-menerus, dan nyeri
pinggang yang berat.
Follow-up harus mencakup pemeriksaan fisik, urinalisa, evaluasi
radiologi, tekanan darah, fungsi ginjal. Sedikit sekali literatur yang
menilai efek trauma ginjal jangka panjang. Pada pemeriksaan
histopatologi, pada kasus-kasus pasien dengan perawatan konservatif
atau trauma minor ginjal akan menjadi distrofi.

KOMPLIKASI
Komplikasi awal yang dapat terjadi pada satu bulan pertama berupa;
perdarahan, fistula arteri-vena renalis, hipertensi, ekstravasasi urin, dan
urinoma. Komlikasi lambat yang terjadi hidronefrosis, pembentukan
batu, pyelonefritis akut, hipertensi, fistula arteri-vena, dan
pseudoaneurisma.
Menurut literatur kejadian hipertensi post-trauma sebesar <5%.
Hipertensi dapat terjadi segera sebagai akibat kompresi eksternal oleh
hematom perirenal, atau muncul kemudian akibat kompresi dari
terbentuknya scar. Hipertensi yang dimediasi oleh renin dapat terjadi
sebagai komplikasi jangka panjang, hal ini diakibatkan trombosis arteri
renalis, trombosis arteri segmental, stenosis arteri renalis, dan fistula
arterivena. Arteriografi akan memberikan informasi yang bermanfaat
pada kasus hipertensi post-trauma. Penatalaksanaan hipertensi berupa
terapi medical, eksisi parenkim yang iskemik, rekonstruksi vaskular,
atau bahkan total nefrektomi.
Arterivena fistula biasanya muncul kemudian dengan gejala hematuri,
hipertensi, gagal jantung, dan gagal ginjal yang progresif dan banyak
terjadi pada kasus trauma tembus ginjal. Embolisasi perkutaneus atau
stenting arteri renalis mungkin efektif untuk menangani masalah ini,
walaupun kebanyakan kasus dilakukan operasi terbuka.
Pseudoaneurisma merupakan komplikasi yang jarang. Beberapa penulis
melaporkan keberhasilan embolisasi transkateter untuk menangani
pseudoaneurisma.
Diposting oleh didi sudiyatmo di 20.35
Reaksi:  lucu (0) menarik (0) keren (0)

3 komentar:

Oktahermoniza Tanjung 27 Februari 2013 08.55


Maju terus Di. Didi memang Oke!
Di, gmn caranya blog kita bisa di edit?
Balas

Sudiyatmo, MD 6 Maret 2013 01.43


Maaf mas okta, baru sempat buka blog lagi.
Kalau mau ngedit langsung aja mas buka desain blog dipojok kanan atas halaman
blog.
Kalau sudah masuk,pilih saja item "POS" di kiri. Tinggal pilih artikel mana yang mau
di edit.
Balas

Unknown 14 Mei 2017 01.40


macam mana rumus membendung ejakulasi dini?

kamu mampu mengahdiri dokter guna berkonsultasi. Dokter bakal


merekomendasikan sesi penyuluhan yg menyeret-nyeret psikoterapi. demikian lagi
dgn formula berkomunikasi dgn pasangan menyangkut disfungsi seksual. terkecuali
pengarahan, pengobatan yang lain serta dapat menyeret-nyeret alat tabiat, anestesi
topikal yg( diberikan serta-merta buat kulit), dan sekian banyak remedi. Berikut ini
sekian banyak penjelasannya:

1. proses perilaku
Seperti yg telah dijelaskan di atas, ejakulasi dini mampu berjalan dikarenakan kamu
merasa terpojok. daya upaya perilaku sanggup dibilang tak runyam, kamu bisa jadi
dapat direkomendasikan guna masturbasi seputar tunggal, atau dua jam sebelum
lakukan senggama. tabiat ini ditujukan buat membimbing ejakulasi dini selagi kamu
bersambung seksual. rahasia yang lain yg sepertinya direkomendasikan yaitu
menghindari senggama selagi sekian banyak kala buat konsentrasi buat kategori
permainan/rangsangan seksual saja, maka tekanan yg menyulut pendapat dekat
pikiran kamu bisa dihilangkan.

BACA berulang: Berapa Kali Masturbasi yg Dianggap sedang Normal?

2. Latihan basic panggul


tak cuma wanita yg mampu melaksanakan senam Kegel, cowok pula mampu
melakukannya. Senam Kegel mematok otot-otot basic panggul. Ejakulasi dini mampu
disebabkan bersama lemahnya otot basic panggul maka kemampuan pada
mengganjal ejakulasi tengah 5 memindahkan. Latihan basic panggul dgn senam
Kegel sanggup membenarkan otot-otot ini.

trick melaksanakan senam Kegel:

- dapatkan otot yg sah. Caranya kamu dapat cobalah aktivitas mengganjal ajaran
kencing, atau kencangkan otot disaat kamu mengganjal buang udara. apabila kamu
telah meraih otot yg sahih, kamu dapat lakukan kegiatan ini kapan saja. Pastikan
perihal ini tak menciptakan kamu jadi mengganjal urin, atau menyangga buang
cuaca, lantaran dampaknya tak apik terhadap kesegaran. melakukan kegiatan tertera
kala tak mau buang air mungil atau buang angin.

Vous aimerez peut-être aussi