Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
I. PENDAHULUAN
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di
bagian korteks kelenjar adrenal akibat peran hormon adrenokortikotropik (ACTH)
yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis, atau atas angiotensin II. Hormon ini
berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, seperti stres, sistem kekebalan
tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein
dan kadar elektrolit darah.1 Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok besar
berdasarkan atas aktivitas biologis, yakni glukokortikoid dan mineralokortikoid.
Golongan glukokortikoid berperan mengendalikan metabolisme karbohidrat,
lemak dan protein, juga bersifat anti inflamasi dengan cara menghambat pelepasan
fosfolipid, serta dapat pula menurunkan kinerja eosinofil. Golongan
mineralokortikoid berfungsi mengatur kadar elektrolit dan air, dengan cara
penahanan garam di ginjal.2
Penelitian mengenai kortikosteroid tahun 1929 menghasilkan obat baru,
yaitu kortison yang digunakan pada tahun 1935.3 Pada tahun 1952, kortikosteroid
sintetik mulai digunakan sebagai terapi. Pada tahun 1952, Sulzberger dan Wittern
berhasil mengobati pasien erupsi eksematous dengan hidrokortison topikal. Sejak
saat itu, dalam 40 tahun terakhir, penelitian terus dilakukan untuk mengeksplorasi
potensi, konsentrasi, bentuk sediaan, dan bahan aktif kortikosteroid untuk
meminimalisasi efek jangka panjang penggunaan terapi ini.4
Dalam bidang dermatologi, kortikosteroid terdiri atas 2 jenis, yaitu
kortikosteroid sistemik dan kortikosteroid topikal. Pemilihan koretikosteroid
topikal berdasarkan derajat berat penyakit yang berbeda, lokasi aplikasi pada
tubuh, area yang terlibat dan umur penderita.3 Saat ini, kortikosteroid memiliki
beragam jenis terapi, antara lain terapi oral, intramuskular, intravena, dan topikal.
1
Kortikosteroid topikal adalah terapi yang paling sering digunakan untuk
penatalaksanaan pada pasien kulit dan kelamin.5 Refrat ini bertujuan untuk
membahas apa saja kegunaan kortikosteroid topikal, agar dapat diaplikasikan
dalam penatalaksaan penyakit kulit dan kelamin dengan tepat.
II. PEMBAHASAN
Struktur Molekul
Kortikosteroid memiliki sebuah struktur dasar yang terdiri atas 17 atom
karbon dengan tiga cincin heksana dan satu cincin pentana (Gambar 1).7
Modifikasi dari kortisol dengan penambahan atau perubahan gugus fungsi
pada posisi tertentu akan menghasilkan beragam potensi dan efek samping.
Penambahan sebuah molekul fluorin pada posisi C6 dan/atau C9
meningkatkan potensi steroid, tetapi diikuti juga dengan peningkatan aktivitas
mineralokortikoid.6,7
Klasifikasi
Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok besar berdasarkan atas
aktivitas biologis, yakni glukokortikoid dan mineralokortikoid. Golongan
glukokortikoid berperan mengendalikan metabolisme karbohidrat, lemak dan
protein, juga bersifat anti inflamasi dengan cara menghambat pelepasan
fosfolipid, serta dapat pula menurunkan kinerja eosinofil. Golongan
2
mineralokortikoid berfungsi mengatur kadar elektrolit dan air, dengan cara
penahanan garam di ginjal.
Dalam bidang dermatologi, kortikosteroid terdiri atas 2 jenis, yaitu
kortikosteroid sistemik dan kortikosteroid topikal. Pemilihan koretikosteroid
topikal berdasarkan derajat berat penyakit yang berbeda, lokasi aplikasi pada
tubuh, area yang terlibat dan umur penderita.3
Secara umum berdasarkan potensinya, kortikosteroid dibagi menjadi
4, yaitu : potensi sangat kuat, potensi kuat, potensi sedang dan potensi
lemah.8,9
3
Tabel 2. Kategori potensi kortikosteroid5,6,7
Kelas I (super potent) Kelas V (lower mid-strength)
Clobetasol propionate 0,05% Flurandrenolide 0,05%
Betamethason dipropionate 0,05% Fluticasone propionate 0,05%
Diflorasone diacetate 0,05% Betamethasone dipropionate 0,05%
Halobetasol propionate 0,05% Triamcinolone acetonide 0,1%
Hydrocortison butyrate 0,1%
Fluocinolone acetonide 0,025%
Betamethasone valerate 0,1%
Hydrocortisone valerate 0,2%
Kelas II (potent) Kelas VI (mild strenght)
Amcinonide 0,1% Alclometasone dipropionate 0,05%
Betamethasone dipropionate 0,05% Triamcinolone acetonide 0,1%
Mometasone furoate 0,1% Desonide 0,05%
Diflorasone diacetate 0,05% Fluocinolone acetonide 0,01%
Halcinonide 0,1% Betamethasone valerate 0,1%
Fluocinonide 0,05%
Desoximethasone 0,25%
Kelas III (potent upper mid-strength) Kelas VII (least potent)
Triamcinolone acetonide 0,1% Topikal dengan hydrocortisone
Fluticasone propionate 0,005% Dexamethason, flumethason
Amcinonide 0,1% Prednisolon dan metilprednisolon
Betamethasone dipropionate 0,05%
Diflorasone diacetate 0,05%
Halcinonide 0,1%
Fluocinonide 0,05%
Kelas IV (mid-strength)
Flurandrenolide 0,05%
Mometasone furoate 0,1%
Triamcinolone acetonide 0,1%
Betamethasone valerate 0,12%
Fluocinolone acetonide 0,025%
Hydrocortisone valerate 0,2%
Mekanisme Kerja
Kortikosteroid memiliki efek spesifik dan nonspesifik yang
berhubungan dengan mekanisme yang berbeda, termasuk efek antiinflamasi,
efek imunosupresi, efek antiproliferatif, dan efek vasokonstiksi. Efek
kortikosteroid pada sel kebanyakan dimediasi oleh ikatan kortikosteroid pada
reseptor di sitosol, diikuti dengan translokasi kompleks pada daerah nukleus
DNA yang dikenal dengan corticosteroid responsive element, dimana bisa
menstimulasi atau menghambat transkripsi gen yang berdampingan, dengan
demikian dapat meregulasi proses inflamasi. 5,6,7
4
1. Efek Antiinflamasi
Kortikosteroid memiliki efek antiinflamasi dengan menghambat
pelepasan fosfolipase A2, yaitu enzim yang berperan dalam pembentukan
prostaglandin, leukotrien, dan derivat asam arakhidonat. Kortikosteroid
juga menghambat faktor transkripsi seperti activator protein 1 dan
nuclear factor B yang berperan dalam aktivasi gen proinflamasi. Gen
tersebut diregulasi kortikosteroid, hal itu berperan dalam resolusi
inflamasi meliputi lipocortin dan p11/calpactin binding protein yang
keduanya melepaskan asam arakhidonat dari fosfolipid. Kortikosteroid
juga mengurangi pelepasan interleukin 1α (IL-1α). Kortikosteroid
menghambat fagositosis dan stabilisasi membran lisosom dari sel
fagositik.5,6,7
2. Efek Imunosupresi
Kortikosteroid memiliki efek imunosupresi yaitu dengan menekan
produksi dan efek dari faktor humoral meliputi respon inflamasi,
menghambat migrasi leukosit ke tempat inflamasi, dan menghalangi
fungsi sel endotel, granulosit, sel mast, dan fibroblast. Beberapa
penelitian mengungkapkan bahwa kortikosteroid dapat menyebabkan
berkurangnya sel mast pada kulit serta penghambatan kemotaksis lokal
netrofil dan menurunkan jumlah sel langerhans. Kortikosteroid pun dapat
menurunkan proliferasi sel T dan meningkatkan apoptosis sel T.5,6,7
3. Efek Antiproliferasi
Kortikosteroid memiliki efek antiproliferasi dengan menghambat
sintesis DNA dan mitosis. Aktivitas fibroblas dan pembentukan kolagen
juga dihambat topikal kortikosteroid. Topikal kortikosteroid juga
menstabilisasikan membran lisosom, sehingga enzim perusak jaringan
tidak dikeluarkan.5,6,7
5
4. Efek Vasokonstriksi
Mekanisme kortikosteroid topikal menyebabkan vasokonstriksi
sampai saat ini masih belum jelas. Akan tetapi, mekanisme ini mungkin
berhubungan dengan penghambatan vasodilator natural seperti histamin,
bradikinin, dan prostaglandin. Kortikosteroid topikal menyebabkan
kapiler pada dermis superfisial menjadi kontriksi sehingga eritema
berkurang.5,6,7
6
diperbolehkan pada kehamilan dengan catatan apabila manfaat
penggunaannya lebih besar dibandingkan kemungkinan resiko yang terjadi
pada janin. Pada ibu menyusui penggunaan kortikosteroid topikal
diperbolehkan pada lokasi lesi yang jauh dari payudara.6
7
atau salep. Tabel berikut merupakan petunjuk pemakaian krim atau salep
berdasarkan bagian tubuh yang memerlukan.5
Tabel 5. Pemakaian krim atau salep dengan FTU sesuai bagian tubuh yang memerlukan pada
orang dewasa.4
Bagian tubuh Krim atau salep
Wajah dan leher 2,5 FTU
Trunkus anterior 7 FTU
Trunkus posterior 7 FTU
1 lengan 3 FTU
1 tangan 1 FTU
1 tungkai 6 FTU
1 kaki 2 FTU
Tabel 6. Pemakaian krim atau salep dengan FTU sesuai bagian tubuh yang memerlukan pada
anak-anak.4
Bagian tubuh 3-6bulan 1-2thn 3-5 thn 6-10 thn
Wajah dan leher 1/1 FTU 3/3 FTU 3/3 FTU 4/4 FTU
Lengan dan tangan 1/1 FTU 3/3FTU 4/4 FTU 5/5 FTU
Tungkai dan kaki 1,5/1,5 FTU 4/4 FTU 6/6 FTU 9/9 FTU
Trunkus anterior 1/1 FTU 4/4 FTU 6/6 FTU 7/7 FTU
Trunkus posterior dan 1,5/1,5 FTU 6/6FTU 7/7 FTU 10/10FTU
bokong
8
Frekuensi pemberian kortikosteroid topikal yang dianjurkan yaitu satu
kali sehari. Berdasarkan penelitian, keuntungan pemberian kortikosteroid
topikal satu kali sehari sama dengan dua kali sehari. Maka frekuensi
pemberian kortikosteroid topikal sebaiknya satu kali sehari sehingga lebih
efektif, mengurangi efek samping, serta menurunkan biaya terapi.
Dosis pemberian kortikosteroid topikal pada orang dewasa tidak lebih
dari 45 gram/minggu pada golongan poten atau tidak lebih dari 100 gram/
minggu pada kortikosteroid golongan potensi medium dan lemah.
Lama pemakaian kortikosteroid topikal sebaiknya tidak lebih dari 2
minggu untuk golongan potensi tinggi dan tidak lebih dari 4-6 minggu untuk
golongan potensi lemah.5,6
Cara penggunaan kortikosteroid topikal yaitu memulai poten terendah
dalam mengontrol suatu penyakit dan menghindari penggunaan jangka
panjang. Ketika area permukaan yang luas terlibat, penatalaksanaan dengan
poten rendah dan sedang direkomendasikan. Penyakit dengan respon tinggi
biasanya respon terhadap penggunaan steroid lemah, sebaliknya pada
penyakit dengan respon rendah biasnya respon terhadap steroid kuat. Potensi
rendah idealnya digunakan pada wajah dan daerah intertrigenosa.
Kortikosteroid poten sangat kuat biasanya digunakan pada dermatosis
hiperkeratosis dan lisenifikasi dan pada keterlibatan telapak tangan. Selain
itu, peningkatan luas permukaan tubuh terhadap IMT dan peningkatan resiko
absorbsi sistemik, potensi tinggi dan halogenasi potensi menengah, harus
dihindari pada bayi dan anak-anak, selain untuk aplikasi jangka pendek
Farmakokinetik
Berdasarkan penelitian, kortikosteroid hanya sedikit diabsorbsi setelah
diberikan pada kulit normal. Struktur kulit merupakan parameter kunci
penetrasi pengobatan topikal. Variasi penetrasi kortikosteroid menurut
regional anatomi ditunjukkan pada tabel 7.8
9
Tabel 7. Perbandingan resorpsi kortikosteroid (hidrokortison) dari kulit di berbagai daerah tubuh 8
Daerah tubuh Perbandingan
Lengan bawah 1
Telapak kaki 0,1
Pergelangan kaki 0,4
Telapak tangan 0,5
Punggung 3,7
Kulit kepala 3,5
Ketiak 3,6
Muka 6,0
Skrotum 42,0
10
Efek Samping
Efek samping lokal penggunaan kortikosteroid topikal lebih banyak
terjadi dibandingkan reaksi sistemik. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh
efek antiproliferatif dari agen ini.7
Efek samping dari kortikosteroid topikal ini dipengaruhi oleh 3 faktor
yaitu jenis steroid berdasarkan potensinya, area lesi yang diberi pengobatan
kortikosteroid topikal, dan faktor predisposisi pasien terhadap timbulnya efek
samping. Gejala efek samping dari penggunaan kortikosteroid topikal dapat
berupa efek lokal dan efek sistemik. Efek lokal yang dapat terjadi antara lain
atrofi, striae atrofise, telangiektasis, purpura, dermatosis akneformis,
hipertrikosis setempat, hipopigmentasi, dermatitis perioral, menghambat
penyembuhan ulkus, infeksi mudah terjadi dan meluas.
Efek sistemik yang dapat terjadi antara lain efek pada okular, supresi
hyphothalamic-pituitary-adrenal axis, dan efek samping metabolik.
Penggunaan kortikosteroid dapat mempengaruhi pertumbuhan anak dengan
dermatitis atopik dan menjadi addsonian steroid dependency dan juga
cushing syndrome.5,6
Interaksi Obat
Interaksi kortikoteroid topikal dengan obat topikal lain belum dievaluasi.
Karena rendahnya konsentrasi bahan aktif yang terdeteksi dalam darah,
interaksi obat secara sistemik mungkin tidak terjadi, tetapi tidak dapat
diabaikan. 5,6
III. KESIMPULAN
Kortikosteroid topikal merupakan salah satu bahan aktif dalam pengobatan
penyakit kulit karena memiliki efek antiinflamasi, imunosupresi, antiproliferasi,
dan vasokonstriksi. Reabsopsi obat tergantung pada bagian tubuh yang diberi
obat. Secara umum kortikosteroid topikal berdasarkan potensinya dibagi menjadi
7 golongan, yaitu yaitu superpotent, potent, poten upper mid-strength, mid-
strength, lower mid-strength, mild strength, dan least potent.
11
Pemberian kortikosteroid berhubungan dengan respon dari penyakit kulit
yang dialami, yang dikategorikan menjadi tiga, yaitu responsif tinggi, responsif
sedang, dan responsif rendah. Terdapat beberapa faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam pemilihan kortikosteroid topikal, yaitu jenis penyakit
kulit, jenis vehikulum, kondisi penyakit (stadium penyakit, luas atau tidaknya lesi,
dalam atau dangkalnya lesi, dan lokalisasi lesi), serta umur pasien.
Dosis pemberian kortikosteroid topikal tidak lebih dari 45 gram/minggu pada
golongan poten atau 100 gram/minggu pada kortikosteroid golongan potensi
medium dan lemah. Frekuensi pemberian kortikosteroid topikal adalah satu kali
sehari. Lama pemakaian kortikosteroid topikal sebaiknya tidak lebih dari 4-6
minggu untuk golongan potensi lemah dan tidak lebih dari 2 minggu untuk
golongan potensi tinggi.
Efek samping pemakaian kortikosteroid topikal dapat terjadi secara lokal
maupun sistemik. Terdapat berbagai pertimbangan dalam menggunakan
kortikosteroid topikal pada pasien penyakit kulit. Sampai saat ini belum ada
mekanisme yang jelas mengenai interaksi obat.
12