Vous êtes sur la page 1sur 31

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK

PADA KLIEN DENGAN


GANGGUAN ELEMINASI FEKAL

Disusun oleh :

Kelompok VII
1. ABUNYAMIN ( B21410001 )

2. LINDA MARNI ( B21410025 )

3. DELIANAH ( B21410007 )

4. LESTARI APRIANI (B21410023 )

5. NELLI NURMA (B214100

STIK SITI KHODIJAH PALEMBANG PRODI S1


KEPERAWATAN (ALIH PROGRAM)TAHUN AJARAN
2014/2015

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
Keperawatan Gerontik ini dengan judul “ Asuhan Keperawatan Gerontik Pada Klien denga
Gangguan Eleminasi Fekal ”. Makalah ini di susun dalam rangka memenuhi tugas kelompok
mata kuliah Keperawatan Gerontik Program Studi Ilmu Keperawatan STIK Siti Khadijah
Palembang.

Dalam penyusunan makalah ilmiah ini, penulis banyak memperoleh bantuan serta
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima
kasih kepada Dosen Pembimbing dan kepada teman teman yang telah mendukung
terselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna
sempurnanya makalah ini. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Palembang, April 2015

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................. ii
Daftar Isi........................................................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN............................................................................................ 4
LATAR BELAKANG...................................................................................... 4
BAB II
TINJAUAN TEORI.......................................................................................... 5
A. PENGERTIAN ELEMINASI FEKAL.................................................... 5
B. PENCERNAAN NORMAL DAN ELEMINASI.................................... 5
C. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ELEMINASI FEKAL............... 9
D. MASALAH-MASALAH GANGGUAN ELEMINASI FEKAL............. 14
E. TANDA DAN GEJALA.......................................................................... 16
F. ETIOLOGI............................................................................................... 17
G. PATOFISIOLOGI.................................................................................... 19
H. PATOFLOW............................................................................................. 20
I. DIVERSI USUS....................................................................................... 20
J. PEMERIKSAAN PENUNJANG............................................................. 21
BAB III
TINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN...................................................... 22
1. Pengkajian............................................................................................. 22
2. Diagnosis Keperawatan......................................................................... 23
3. Intervensi............................................................................................... 25
4. Implementasi......................................................................................... 25
5. Evaluasi................................................................................................. 25
BAB IV
PENUTUP......................................................................................................... 27
A. KESIMPULAN..................................................................................... 27
B. SARAN................................................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 28

iii
BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Eliminasi fekal adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh berupa


bowel (feses). Pengeluaran feses yang sering, dalam jumlah besar dan
karakteristiknya normal biasanya berbanding lurus dengan rendahnya insiden kanker
kolorektal (Robinson& Weigley, 1989). Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus
dan rektum. Hal ini juga disebut bowel movement. Frekuensi defekasi pada setiap
orang sangat bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu.
Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik
mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum
dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi. Eliminasi
yang teratur dari sisa-sisa produksi usus penting untuk fungsi tubuh yang normal.
Perubahan pada eliminasi dapat menyebabkan masalah pada gastrointestinal dan
bagian tubuh yang lain. Karena fungsi usus tergantung pada keseimbangan beberapa
faktor, pola eliminasi dan kebiasaan masing-masing orang berbeda. Klien sering
meminta pertolongan dari perawat untuk memelihara kebiasaan eliminasi yang
normal. Keadaan sakit dapat menghindari mereka sesuai dengan program yang
teratur. Mereka menjadi tidak mempunyai kemampuan fisik untuk menggunakan
fasilitas toilet yang normal; lingkungan rumah bisa menghadirkan hambatan untuk
klien dengan perubahan mobilitas, perubahan kebutuhan peralatan kamar mandi.
Untuk menangani masalah eliminasi klien, perawat harus mengerti proses
eliminasi yang normal dan faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi Eliminasi
produk sisa pencernaan yang teratur merupakan aspek penting untuk fungsi normal
tubuh. Perubahan eliminasi dapat menyebabkan masalah pada sistem gastrointestinal
dan sistem tubuh lainnya.

iv
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1. PENGERTIAN ELIMINASI FEKAL

Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa urine atau
bowel (feses). Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga
disebut bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari
beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi
setiap orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan
rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap
kebutuhan untuk defekasi.
Gangguan eliminasi fekal adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau
berisiko tinggi mengalami statis pada usus besar, mengakibatkan jarang buang air besar,
keras, feses kering. Untuk mengatasi gangguan eliminasi fekal biasanya dilakukan
huknah, baik huknah tinggi maupun huknah rendah. Memasukkan cairan hangat melalui
anus sampai ke kolon desenden dengan menggunakan kanul rekti.

2.2. PENCERNAAN NORMAL DAN ELIMINASI

Saluran gastrointestiral ( GI ) merupakan serangkaian organ muscular berongga yang


dilapisi oleh membrane mukosa ( selaput lendir ). Tujuan kerja organ ini ialah
mengabsorpsi cairan dan nutrisi, menyiapkan makanan untuk diabsorpsi dan digunakan
oleh sel – sel tubuh, serta menyediakan tempat penyimpanan fese sementara. Fungsi utama
system GI adalah membuat keseimbangan cairan. GI juga menerima banyak sekresi dari
organ – organ, seperti kandung empedu dan pancreas. Setiap kondisi yang secara serius
mengganggu absorpsi atau sekresi normal cairan GI, dapat menyebabkan
ketidakseimbangan cairan.

v
Organ – organ saluran gastrointestinal
Anatomi fisiologi saluran pencernaan terdiri dari :
2.2.1. Mulut
Saluran GI secara mekanis dan kimiawi memecah nutrisi ke ukuran dan bentuk yang
sesuai. Semua organ pencernaan bekerja sama untuk memastikan bahwa masa atau
bolus makanan mencapai daerah absorpsi nutrisi dengan aman dan efektif. Gigi
mengunyah makanan, memecahkan menjadi berukuran yang dapat di telan. Sekresi
saliva mengandung enzim, seperti ptyalin, yang mengawali pencernaan unsure –
unsure makanan tertentu. Saliva mencairkan dan melunakkan bolus makanan di dalam
mulut sehingga lebih mudah ditelan.
2.2.2. Esophagus
Begitu makanan memasuki bagian atas esophagus, makanan berjalan melalui otot
sirkular, yang mencegah udara memasuki esophagus dan makanan mengalami refluks
( bergerak ke belakang ) kembali ke tenggorokan. Bolus makanan menelusuri
esophagus yang panjangnya kira – kira 25 cm. makanan didorong oleh gerakan
peristaltic lambat yang dihasilkan oleh kontraksi involunter dan relaksasi otot halus
secara bergantian. Pada saat bagian esophagus berkontraksi di atas bolus makanan,
otot sirkular di bawah ( atau di depan ) bolus berelaksasi. Kontraksi – kontraksi otot
halus yang saling bergantian ini mendorong makanan menuju gelombang berikutnya.
Dalam 15 detik, bolus makanan bergerak menuruni esophagus dan mencapai sfingter
esophagus bagian bawah. Sfingter esophagus bagian bawah terletak di antara
esophagus dan lambung. Factor – factor yang mempengaruhi tekanan sfingter
esophagus bagian bawah meliputi antacid, yang meminimalkan refluks, dan nikotin
serta makanan berlemak, yang meningkatkan refluks.
2.2.3. Lambung
Di dalam lambung, makanan disimpan untuk sementara dan secara mekanis dan
kimiawi dipecahkan untuk dicerna dan diabsorpsi. Lambung menyekresi asam
hidroklorida ( HCL ), lendir, enzim pepsin, dan factor intrinsic. Konsentrasi HCL
mempengaruhi keasaman lambung dan keseimbangan asam – basa tubuh. HCL
membantu mencampur dan memecahkan makanan di lambung. Lendir melindungi
mukosa lambung dari keasaman dan aktivitasenzim. Pepsin mencerna protein,
walaupun tidak banyak pencernaan yang berlangsung di lambung. Factor intrinsik
adalah komponen penting yang dibutuhkan untuk absopsi viatamin B12 di dalam usus

vi
dan selanjutnya untuk pembentukan sel darah merah normal. Kekurangan factor
intrinsic ini mengakibatkan anemia dan pernisiosa.
Sebelum makan meninggalkan lambung, makanan diubah menjadi materi semicair
yang disebut kimus. Kimus lebih mudah dicerna dan diabsorpsi daripada makanan
padat. Klien yang sebagian lambungnya diangkat atau yang memiliki pengosongan
lambung yang cepat ( seperti pada gastritis ) dapat mengalami masalah pencernaan
yang serius karena makanan tidak dipecah menjadi kimus.
2.2.4. Usus Halus
Selama proses pencernaan normal. Kimus meninggalkan lambung dan memasuki
usus. Usus halus merupakan sebuah saluran dengan diameter sekitar 2.5 cm dan
panjang 6 m. Usus halus dibagi mkenjadi 3 bagian : duodenum, jejunum, dan ileum.
Kimus bercampur dengan enzim – enzim pencernaan ( missal : empedu dan amylase )
saat berjalan memalui usus halus. Segmentasi ( kontrasi dan relaksasi otot halus
secara bergantian ) mengaduk kimus, memecahkan makanan lebih lanjut untuk
dicerna. Pada saat kimus bercampur, gerakan peristaltic berikutnya sementara
berhenti sehingga memungkinkan absorpsi. Kimus berjalan perlahan melalui usus
halus untuk memungkinkan absorpsi.
Kebanyakan nutrisi dan elektrolit diabsorbsi di dalam usus halus. Enzim dari pancreas
( misal : amylase ) dan empedu dari kandungan empedu dilepaskan ke dalam
duodenum. Enzim di dalam usus halus memecahkan lemak, protein, dan karbohidrat
menjadi unsure – unsur dasar. Nutrisi hampir seluruhnya diabsorbsioleh duodenum
dan jejunum. Ileum mengabsorpsi vitamin – vitamin tertentu, zat besi, dan garam
empedu. Apabila fungsi ileum terganggu, proses pencernaan akan mengalami
perubahan besar. Inflamasi, reseksi bedah, atau obstruksi dapat mengganggu
peristaltic, mengurangi area absorpsi, atau menghambat aliran kimus.
2.2.5. Usus Besar
Saluran GL bagian bawah disebut usus besar ( kolon ) karena ukuran diameternya
lebih besar daripada usus halus. Namun, panjangnya, yakni 1,5 sampai 1,8 m jauh
lebih pendek. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rectum. Usus besar
merupakan utama dalam eliminasi fekal.
2.2.5.1. Sekum
Kimus yang tidak diabsorpsi memasuki sekum melalui katup ileosekal. Katup ini
merupakan lapisan otot sirkulat yang mencegah regurgitasi dan kembalinya isi
kolon ke usus halus.

vii
2.2.5.2. Kolon
Walaupun kimus yang berair memasuki kolon, volume air menurum saat kimus
bergerak di sepanjang kolon. Kolon dibagi menjadi kolon asendens, kolon
transversal, kolon desenden, kolon sigmoid. Kolon dibangun oleh jaringan otot,
yang memungkinkannya menampung dan mengeliminasi produk buangan dalam
jumlah besar. Kolon memiliki empat fungsi yang saling berkaitan : absorpsi,
proteksi, sekresi, dan eliminasi.
2.2.5.3. Rectum
Produk buangan yang mencapai bagian kolon sigmoid, disebut feses. Sigmoid
menyimpan feses sampai beberapa saat sebelum defekasi. Rectum merupakan
bagian akhir pada saluran GL. Panjang rectum bervariasi menurut usia :
2.2.5.3.1. Bayi 2,5 sampai 3,8 cm
2.2.5.3.2. Toddler 5 cm
2.2.5.3.3. Pra sekolah 7,5 cm
2.2.5.3.4. Anak usia sekolah 10 cm
2.2.5.3.5. Dewasa 15 sampai 20 cm
Dalam kondisi normal, rectum tidak berisi feses sampai defekasi. Rectum dibangun
oleh lipatan – lipatan jaringan vertical dan transversal. Setiap lipatan vertical berisi
sebuah arteri dan lebih dari satu vena. Apabila vena menjadi distensi akibat
tekanan selama mengedan, maka terbentuk hemoroid. Hemoroid dapat membuat
proses defekasi terasa nyeri. Apabila masa feses atau gas bergerak kedalam rectum
untuk membuat dindingnya berdisensi, maka proses defekasi dimulai. Proses ini
melibatkan control voluntary dan control involunter. Sfingter interna adalah sebuah
otot polos ynag di persarafi oleh system saraf otonom.
Saat sfingter interna relaksasi sfingter eksterna juga relaksasi. Orang dewasa dan
anak- anak yang sudah menjalani toilet training ( latihan defekasi ) dapat
mengontrol sfingter eksterna secara volunteer ( sadar ). Tekanan untuk
mengeluarkan feses dapat dilakukan dengan meningkatkan tekanan intraabdomen
atau melakukan valsava maneuver. Maneuver valsava ialah kontraksi volunter otot
– otot abdomen saat indivudu mengeluarkan nafas secara paksa, sementara glottis
menutup (menahan napas saat mengedan).

viii
2.3. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ELIMINASI FEKAL

Faktor eliminasi fekal:

2.3.1. Usia
Perubahan dalam tahapan perkembangan dalam mempengaruhi status eliminasi terjadi
disepanjang kehidupan. Seorang bayi memiliki lambung yang kecil dan lebih sedikit
menyekresi enzim pencernaan. Beberapa makanan, seperti zat pati yang kompleks,
ditoleransi dengan buruk. Bayi tidak mampu mengontrol defekasi karana kurangnya
perkembangan neuromuskolar. Perkembangan ini biasanya tidak terjadi sampai 2
sampai 3 tahun. Pertumbuhan usus besar terjadi sangat pesat selama masa remaja.
Sekresi HCL meningkat khususnya pada anak laki-laki. Anak remaja biasanya
mengkonsumsi makana dalam jumlah lebih besar. Sistem GI pada lansia sering
mengalami perubahan sehingga merusak proses pencernaan dan eliminasi. Beberapa
lansia mungkin tidak lagi memiliki gigi sehingga mereka tidak mampu mengunyah
makanan dengan baik. Makanan yang memasuki saluran GI hanya dikunyah sebagian
dan tidak dapat dicerna karena jumlah enzim pencernaan didalam saliva dan volume
asam lambung menurun seiring dengan proseas penuaan. Ketidakmampuan untuk
mencerna makanan yang mengandung lemak mencerminkan terjadinya kehilangan
enzim limpase.

2.3.2. Diet
Asupan makanan setiap hari secara teratur membantu mempertahankan pola peristaltic
yang teratur di dalam kolon. Makanan yang dikonsumsi individu mempengaruhi
eliminasi. Serat, residu makanan yang tidak dapat dicerna, memungkinkan
terbentuknya masa dalam materi feses. Makanan pembentuk masa mengabsorbsi
cairan sehingga meningkatkan masa feses. Dinding usus teregang, menciptakan
gerakan peristaltic dan menimbulkan reflex defekasi. Usus bayi yang belum matang
biasanya tidak dapat mentoleransi makanan berserat sampai usianya mencapai
beberapa bulan. Dengan menstimulasi peristaltic, masa makanan berjalan dengan cepat
melalui usus, mempertahankan feses tetap lunak. Makanan-makanan berikut
mengandung serat dalam jumlah tinggi (massa) ;
2.3.2.1. Buah-buahan mentah (apel, jeruk)
2.3.2.2. Buah-buahan yang diolah (prum, apricot)

ix
2.3.2.3. Sayur-sayuran (bayam, kangkung, kubis)
2.3.2.4. Sayur-sayuran mentah (seledri, mentimun)
2.3.2.5. Gandum utuh (sereal, roti)

Mengkonsumsi makanan tinggi serat meningkatkan kemungkinan normalnya pola


eliminasi jika factor lain juga normal. Makanan yang menghasilkan gas, seperti
bawang, kembang kol, dan buncis juga menstimulasi peristaltic. Gas yang dihasilkan
membuat dinding usus berdistensi , meningkatkan motilitas kolon. Beberapa makanan
pedas dapat meningkatkan peristaltic , tetapi juga dapat menyebabkan pencernaan
tidak berlangsung dan feses menjadi encer. Beberapa jenis makanan, seperti susu dan
produk-produk susu, sulit atau tidak mungkin dicerna oleh beberapa individu. Hal ini
disebabkan oleh intoleransi laktosa. Laktosa, suatu bentuk karbohidrat sederhana yang
ditemukan di dalam susu, secara normal dipecah oleh enzim lactase. Intoleransi
terhadap makana tertentu dapat mengakibatkan diare, distensi gas, dan kram.

2.3.3. Asupan Cairan


Asupan cairan yang tidak adekuat atau gangguan yang menyebabkan kehilangan
cairan (seperti muntah) mempengaruhi karakter feses. Cairan mengencerkan isi usus,
memudahkannya bergerak melalui kolon. Asupan cairan yang menurun memperlambat
pergerakan makanan yang melalui usus. Orang dewasa harus minum 6 sampai 8 gelas
(1400 sampai 2000ml) cairan setiap hari. Minuman ringan yang hangat dan jus buah
memperlunak feses dan meningkatkan peristaltic. Konsumsi susu dalam jumlah besar
dapat memperlambat peristaltic pada beberapa individu dan menyebabkan konstipasi.

2.3.4. Aktivitas Fisik


Aktivitas fisik meninkatkan peristaltic, sementara imobilisasi menekan motilitas kolon.
Ambulasi dini setelah klien menderita suatu penyakit dianjurkan untuk meningkatkan
dipertahankannya eliminasi normal. Upaya mempertahankan tonus otot rangka, yang
digunakan selama proses defekasi, merupakan hal yang penting. Melemahnya otot-otot
dasar panggul dan abdomen merusak kemampuan individu untuk meningkatkan
tekanan intraabdomen dan untuk mengontrol sfingter eksterna. Tonus otot dapat
melemah atau hilang akibat penyakit yang berlangsung dalam jangka waktu lama atau
penyakit neurologis yang merusak transmisi saraf.

x
2.3.5. Faktor Psikologis
Fungsi dari hampir semua sistem tubuh dapat mengalami gangguan akibat stress
emosional yang lama. Apabila individu mengalami kecemasan, ketakutan, atau marah,
muncul respons stress, yang memungkinkan tubuh membuat pertahanan. Untuk
menyediakan nutrisi yang dibutuhkan dalam upaya pertahanan tersebut, proses
pencernaan dipercepat dan peristaltic meningkat. Efek samping peristaltic yang
meningkat antara lain diare dan distensi gas. Apabila individu mengalami depresi,
sistem saraf otonom memperlambat impuls saraf dan peristaltic dapat menurun.
Sejumlah penyakit pada saluran GI dapat dikaitkan dengan stress. Penyakit ini
meliputi colitis ulseratif, ulkus lambung, dan penyakit crohn. Upaya penelitian
berulang yang dilakukan sejak lama telah gagal membuktikan mitos bahwa penyebab
klien mengalami penyakit tersebut adalah karena memiliki kondisi psikopatologis.
Namun, ansietas dan depresi mungkin merupakan akibat dari masalah kronik tersebut
(cooke,1991).

2.3.6 Kebiasaan Pribadi


Kebiasaan eliminasi pribadi mempengaruhi fungsi usus. Kebanyakan individu merasa
lebih mudah melakukan defekasi dikamar mandi mereka sendiri pada waktu yang
paling efektif dan paling nyaman bagi mereka. Jadwal kerja yang sibuk dapat
mengganggu kebiasaan dan mengakibatkan perubahan seperti konstipasi. Individu
harus mencari waktu terbaik untuk melaksanakan eliminasinya. Reflex gastrokolik
adalah reflex yang paling mudah distimulasi untuk menimbulkan defekasi setelah
sarapan.

2.3.7. Posisi Selama Defekasi


Posisi jongkok merupakan posisi yang normal saat melakukan defekasi. Toilet modern
dirancang untuk memfasilitasi posisi ini, sehingga memungkinkan individu untuk
duduk tegak ke arah depan, mengeluarkan tekanan intraabdomen dan mengontraksi
otot-otot pahanya. Namun, klien lansia atau individu yang menderita penyakit sendi,
seperti artritis, mungkin tidak mampu bangkit dari tempat duduk tpilet memampukan
klienuntuk bangun dari posisi duduk di toilet tanpa bantuan. Klien yang
mengguanakan alat tersebut dan individu yang berposter pendek, mungkin
membutuhkan pijakan kaki yang memungkinkan ia menekluk pinggulnya dengan
benar.

xi
Untuk klien imobilisasi di tempat tidur, defekasi seringkali dirasakan sulit. Posisi
telentang tidak memungkinkan klien mengontraksi otot-otot yang digunakan selama
defekasi. Membantu klien ke posisi duduk yang lebih normal pada pispot. Akan
meningkatkan kemampuan defekasi.

2.3.8. Nyeri
Dalam kondisi normal, kegiatan defekasi tidak menimbulkan nyeri. Namun, pada
sejumlah kondisi, termasukhemoroid, bedah rectum, fistula rectum, bedah abdomen,
dan melahirkan anak dapat menimbulkan rasa tidak nyaman ketika defekasi. Pada
kondisi-kondisi seperti ini, klien seringkali mensupresi keinginanya untuk berdefekasi
guna menghindari rasa nyeri yang mungkin akan timbul. Konstipasi merupakan
masalah umum pada klien yang merasa nyeri selama defekasi.

2.3.9. Kehamilan
Seiring dengan meningkatnya usia kehamilan dan ukuran fetus, tekanan diberikan pada
rectum. Obsetruksi semenmtara akibat keberadaan fectus mengganggu pengeluaran
feses. Konstipasi adalah masalah umum yang muncul pada trimester terakhir. Wanita
hamilselama defekasi dapat menyebabkan terbentukannya hemoroid yang permanen.

2.3.10. Pembedahan dan Anestesia


Agen anestesi yang digunakan selama proses pembedahan, membuat gerakan
peristaltic berhenti untuk sementara waktu. Agens anestesi yang dihirup menghambat
impuls saraf parasimpatis ke otot usus. Kerja anestesi tersebut memperlambat atau
menghentikan gelombang peristaltic. Klien yang menerima anestesi local atau regional
beresiko lebih kecil untuk mengalami perubahan eliminasi karena aktivitas usus hanya
dipengaruhi sedikitt atau bahkan tidak dipengaruhi sama sekali.
Pembedahan yang melibatkan manipulasi usus secara langsung, sementara akan
menghentikan gerakan peristaltic. Kondisi ini disebut ileus paralitik yang biasanya
berlangsung sekitar 24 sampai 48 jam. Apabila klien tetap tidak aktif atau tidak dapat
makan setelah pembedahan, kembalinya fungsi normal usus dapat terhambat lebih
lanjut.

xii
2.3.11. Obat-obatan
Obat-obatan untuk meningkatkan defekasi telah tersedia . laksatif dan katartik
melunakkan feses dan meningkatkan peristaltic. Obat-obatan seperti disiklomin HCL
(Bentyl) menekan gerakan peristaltic dan mengobati diare. Beberapa obat memiliki
efek samping yang dapat mengganggu eliminasi. Obat analgesic narkotik menekan
gerakan peristaltic. Opiat umumnya menyebabkan konstipasi.

Obat-obatan antikolinergik, seperti atropin, atau glikopirolat (robinul), menghambat


sekresi asam lambung dan menekan motilitas saluran GI. Walupun bermanfaat dalam
mengobati gangguan usus, yakni hiperaktivitas usus, agens antikolinegik dapat
menyebabkan konstipasi, banyak antibiotik menyebabkan diare dengan menggangu
flora bakteri normal didalam saluran GI. Apabila diare dan kram abdomen yang
terkait dengan diare semakin parah, obat-obatan yang diberikan kepada klien mungkin
perlu diubah. Intervensi keperawatan dapat digunakan untuk diare osmotic, yang
disebabkan oleh obat-obatan hiperosmolar telah diuraikan oleh Fruto(1994).

2.3.12. Pemeriksaan Diagnostik


Pemeriksaan diagnostik, yang melibatkan visualisasi struktur saluran GI, sering
memerlukan dikosongkannya isi dibagian usus. Klien tidak diizinkan untuk makan
atau minum setelah tengah malam jika esoknya akan dilakukan pemeriksaan, seperti
pemeriksaan yang menggunakan barium enema, endoskopi saluran GI bagian bawah
atau serangkaian pemereksaan saluran GI bagian atas. Pada kasus penggunaan barium
enema atau endoskopi, klien biasanya meneri,ma katartik dan enema. Pengosongan
usus dapat mengganggu eliminasi sampai klien dapat makan dengan normal.
Prosedur pemeriksaan menggunakan barium menimbulkan masalah tambahan. Barium
mengeras jika dibiarkan di dalam saluran GI. Hal ini dapat menyebabkan konstipasi
atau impaksi usus. Seorang klien harus menerima katartik untuk meningkatkan
eliminasi barium setelah prosedur dilakukan. Klien yang mengalami kegagalan dalam
mengevakuasi semua barium, mungkin usus klien perlu dibersihkan dengan
menggunakan enema.

xiii
2.4. MASALAH-MASALAH GANGGUAN ELIMINASI FEKAL

Perawat mungkin merawat klien yang mengalami atau beresiko mengalami masalah
eliminasi akibat stress emosional ( ansietas atau depresi ), perubahan fisiologis pada
saluran GI, perubahan truktur usus melalui pembedahan, program terapi lain, atau
gangguan yang mengganggu defekasi. Masalah eliminasi fekal yang sering ditemukan
yaitu:

2.4.1. Konstipasi
Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit yaitu menurunnya frekuensi BAB
disertai dengan pengeluaran feses yang sulit, keras, dan mengejan. BAB yang keras
dapat menyebabkan nyeri rektum. Kondisi ini terjadi karena feses berada di intestinal
lebih lama, sehingga banyak air diserap.
Penyebabnya :
2.4.1.1.Kebiasaan BAB tidak teratur, seperti sibuk, bermain, pindah tempat, dan lain-
lain.
2.4.1.2.Diet tidak sempurna/adekuat : kurang serat (daging, telur), tidak ada gigi,
makanan lemak dan cairan kurang.
2.4.1.3.Meningkatnya stress psikologik.
2.4.1.4.Kurang olahraga / aktifitas : berbaring lama.
2.4.1.5.Obat-obatan: kodein, morfin, anti kolinergik, zat besi. Penggunaan obat
pencahar / laksatif menyebabkan tonus otot intestinal kurang sehingga refleks
BAB hilang.
2.4.1.6.Usia, peristaltik menurun dan otot-otot elastisitas perut menurun sehingga
menimbulkan konstipasi.
2.4.1.7.Penyakit-penyakit : Obstruksi usus, paralitik ileus, kecelakaan pada spinal cord
dan tumor.

2.4.2. Impaction
Impaction merupakan akibat konstipasi yang tidak teratur, sehingga tumpukan feses
yang keras di rektum tidak bisa dikeluarkan. Impaction berat, tumpukan feses sampai
pada kolon sigmoid. Penyebabnya pasien dalam keadaan lemah, bingung, tidak sadar,
konstipasi berulang dan pemeriksaan yang dapat menimbulkan konstipasi. Tandanya :
tidak BAB, anoreksia, kembung/kram dan nyeri rektum.

xiv
2.4.3. Diare
Diare merupakan BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk. Isi
intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat. Iritasi di dalam kolon
merupakan faktor tambahan yang menyebabkan meningkatkan sekresi mukosa.
Akibatnya feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan menahan
BAB.

2.4.4. Inkontinensia fecal


Yaitu suatu keadaan tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus, BAB encer
dan jumlahnya banyak. Umumnya disertai dengan gangguan fungsi spingter anal,
penyakit neuromuskuler, trauma spinal cord dan tumor spingter anal eksternal. Pada
situasi tertentu secara mental pasien sadar akan kebutuhan BAB tapi tidak sadar
secara fisik. Kebutuhan dasar pasien tergantung pada perawat.

2.4.5. Flatulens
Yaitu menumpuknya gas pada lumen intestinal, dinding usus meregang dan distended,
merasa penuh, nyeri dan kram. Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau
anus (flatus). Hal-hal yang menyebabkan peningkatan gas di usus adalah pemecahan
makanan oleh bakteri yang menghasilkan gas metan, pembusukan di usus yang
menghasilkan CO2. Makanan penghasil gas seperti bawang dan kembang kol.

2.4.6. Haemoroid
Yaitu dilatasi pembengkakan vena pada dinding rektum (bisa internal atau eksternal).
Hal ini terjadi pada defekasi yang keras, kehamilan, gagal jantung dan penyakit hati
menahun. Perdarahan dapat terjadi dengan mudah jika dinding pembuluh darah
teregang. Jika terjadi infla-masi dan pengerasan, maka pasien merasa panas dan gatal.
Kadang-kadang BAB dilupakan oleh pasien, karena saat BAB menimbulkan nyeri.
Akibatnya pasien mengalami konstipasi.

xv
2.5. TANDA DAN GEJALA GANGGUAN ELIMINASI FEKAL
2.5.1. Konstipasi
2.5.1.1. Menurunnya frekuensi BAB
2.5.1.2. Pengeluaran feses yang sulit, keras dan mengejan
2.5.1.3. Nyeri rektum
2.5.2. Impaction
2.5.2.1. Tidak BAB
2.5.2.2. Anoreksia
2.5.2.3. Kembung/kram
2.5.2.4. Nyeri rektum
2.5.3. Diare
2.5.3.1. BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk
2.5.3.2. Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat
2.5.3.3. Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan
meningkat-kan sekresi mukosa.
2.5.3.4. Feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan menahan
BAB.
2.5.4. Inkontinensia Fekal
2.5.4. 1. Tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus.
2.5.4. 2. BAB encer dan jumlahnya banyak .
2.5.4. 3. Gangguan fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma spinal cord
dan tumor spingter anal eksternal.
2.5.5. Flatulens
2.5.5.1. Menumpuknya gas pada lumen intestinal.
2.5.5.2. Dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram.
2.5.5.3. Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus).
2.5.6. Haemoroid
2.5.6.1. Pembengkakan vena pada dinding rectum
2.5.6.2. Perdarahan jika dinding pembuluh darah vena meregang
2.5.6.3 Merasa panas dan gatal jika terjadi inflamasi
2.5.6.4 Nyeri
xvi
2.6. ETIOLOGI
2.6.1. Pola diet tidak adekuat / tidak sempurna
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi eliminasi feses. Cukupnya selulosa,
serat pada makanan, penting untuk memperbesar volume feses. Makanantertentu pada
beberapa orang sulit atau tidak bisa dicerna. Ketidakmampuan ini berdampak pada
gangguan pencernaan, di beberapa bagian jalur dari pengairan feses. Makan yang
teratur mempengaruhi defekasi. Makan yang tidak teratur dapat mengganggu
keteraturan pola defekasi. Individu yang makan pada waktu yang sama setiap hari
mempunyai suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada pemasukan makanan dan
keteraturan pola aktivitas peristaltik di colon.

2.6.2. Cairan
Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika pemasukan cairan yang
adekuat ataupun pengeluaran (contoh: urine, muntah) yang berlebihan untuk beberapa
alasan, tubuh melanjutkan untuk mereabsorbsi air dari chyme ketika ia lewat di
sepanjang colon. Dampaknya chyme menjadi lebih kering dari normal, menghasilkan
feses yang keras. Ditambah lagi berkurangnya pemasukan cairan memperlambat
perjalananchyme di sepanjang intestinal, sehingga meningkatkan reabsorbsi cairan dari
chime.

2.6.3. Meningkatnya stress psikologi


Dapat dilihat bahwa stres dapat mempengaruhi defekasi. Penyakit-penyakit tertentu
termasuk diare kronik, seperti ulcus pada collitis, bisa jadi mempunyai komponen
psikologi. Diketahui juga bahwa beberapa orang yagn cemas atau marah dapat
meningkatkan aktivitas peristaltik dan frekuensi diare. Ditambah lagi orang yagn
depresi bisa memperlambat motilitas intestinal, yang berdampak pada konstipasi.

2.6.4. Kurang aktifitas, kurang berolahraga, berbaring lama


Pada pasien immobilisasi atau bedrest akan terjadi penurunan gerak peristaltik dan
dapat menyebabkan melambatnya feses menuju rectum dalam waktu lama dan terjadi
reabsorpsi cairan feses sehingga feses mengeras.

2.6.5. Obat-obatan
Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat berpengeruh terhadap eliminasi yang
normal. Beberapa menyebabkan diare yang lain seperti dosis yang besar dari

xvii
tranquilizer tertentu dan diikuti dengan prosedur pemberian morphin dan codein,
menyebabkan konstipasi. Beberapa obat secara langsung mempengaruhi eliminasi.
Laxative adalah obat yang merangsang aktivitas usus dan memudahkan eliminasi feses.
Obat-obatan ini melunakkan feses, mempermudah defekasi. Obat-obatan tertentu
seperti dicyclomine hydrochloride (Bentyl), menekan aktivitas peristaltik dan kadang-
kadang digunakan untuk mengobati diare .

2.6.6. Usia
Umur tidak hanya mempengaruhi karakteristik feses, tapi juga pengontrolannya. Anak-
anak tidak mampu mengontrol eliminasinya sampai sistem neuromuskular berkembang,
biasanya antara umur 2 – 3 tahun. Orang dewasajuga mengalami perubahan
pengalaman yang dapat mempengaruhi proses pengosongan lambung. Di antaranya
adalahatony (berkurangnya tonus otot yang normal) dari otot-otot polos colon yang
dapat berakibat pada melambatnya peristaltik dan mengerasnya (mengering) feses, dan
menurunnya tonus dari otot-otot perut yagn juga menurunkan tekanan selama proses
pengosongan lambung. Beberapa orang dewasa juga mengalami penurunan kontrol
terhadap muskulus spinkter ani yang dapat berdampak pada proses defekasi.

2.6.7. Penyakit-penyakit seperti obstruksi usus, paralitik ileus, kecelakaan pada spinal cord
dan tumor.

Cedera pada sumsum tulang belakan dan kepala dapat menurunkan stimulus sensori
untuk defekasi. Gangguan mobilitas bisa membatasi kemampuan klien untuk merespon
terhadap keinginan defekasi ketika dia tidak dapat menemukan toilet atau mendapat
bantuan. Akibatnya, klien bisa mengalami konstipasi. Atau seorang klien bisa
mengalami fecal inkontinentia karena sangat berkurangnya fungsi dari spinkterani.

xviii
2.7. PATOFISIOLOGI
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut
bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari beberapa
kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap
orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan
rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap
kebutuhan untuk defekasi. Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu
refleks defekasi instrinsik. Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding
rektum memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksus mesentrikus untuk
memulai gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon sigmoid, dan didalam
rektum. Gelombang ini menekan feses kearah anus. Begitu gelombang peristaltik
mendekati anus, spingter anal interna tidak menutup dan bila spingter eksternal tenang
maka feses keluar.

Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika serat saraf dalam rektum
dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2 – 4) dan kemudian kembali ke
kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal – sinyal parasimpatis ini
meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan spingter anus internal dan
meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingter anus individu duduk ditoilet atau
bedpan, spingter anus eksternal tenang dengan sendirinya. Pengeluaran feses dibantu
oleh kontraksi otot-otot perut dan diaphragma yang akan meningkatkan tekanan
abdominal dan oleh kontraksi muskulus levator ani pada dasar panggul yang
menggerakkan feses melalui saluran anus. Defekasi normal dipermudah dengan refleksi
paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang meningkatkan
tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks defekasi diabaikan atau jika defekasi
dihambat secara sengaja dengan mengkontraksikan muskulus spingter eksternal, maka
rasa terdesak untuk defekasi secara berulang dapat menghasilkan rektum meluas untuk
menampung kumpulan feses. Cairan feses di absorpsi sehingga feses menjadi keras dan
terjadi konstipasi.

xix
xx
2.8. DIVERSI USUS

Penyakit tertentu menyebebkan kondisi-kondisi yang mencegah pengeluaran feses secara


normal dari rectum. Hal ini menimbulkan kebutuhan untuk membentuk suatu lubang
(stoma) buatan yang permanen atau sementara. Lubang uyang dibuat melalui upaya
bedah(ostomi ) paling sering di bentuk di Ileum (ileostomi) atau di kolom (kolostomi)(Mc.
Garity,1992). Ujung usus kemudian ditarik kesebuah lubang di dinding abdomen untuk
membentuk stoma.

Ada dua jenis ostomi yaitu:

2.8.1 Ostomi Kontinen : klien memiliki control terhadap pengeluaran feses.


Dimana dalam ostomi kontingen tipe pembedahan tertentu memungkinkan kontinensia
pada klien tertentu yang mengalami kolektomi (pengangkatan kolon). Ostomi
Kontinen ini juga disebut Disversi kontinen atau reservoir kontinen. Pada sebuah
prosedur yang disebut dengan ileoanal pull-through, kolon diangkat dan ileum
dianastomosis atau disambungkan ke sfingter anus yang utuh.
Di beberapa prosedur bedah terbaru yang didasarkan pada upaya ileoanal pull-through
adalah reservoar ileoanal. Reservoar ileoanal juga disebut protokolektomi restorasi,
anastomosis kantong ileum anus, atau kantong pelvis. Pada prosedur ini klien tak
memiliki stoma eksterna yang permanen dan dengan demikian tidak perlu mengenakan
kantong ostomi. Klien mengenakan kantung interna yang berasal dari ileumnya.
Kantong ileum ini dapat di bentuk dalam berbagai bentuk seperti bentuk lateral, S, J,
atau W. Ujung kantong kemudian dijahit atau di anastomosis ke anus. Pembedahan
dilakukan dalam berbagai tahapandan klien dapat mempunyai ostomi yang bersifat
sementara sampai kantung ileum yang dibentuk melalui upaya bedah telah sembuh.

2.8.2 Ostomi Inkintingen: klien tidak mempunyai control terhadap pengeluaran feses.
Pada hal ini lokasi ostomi menentukan kosistensi feses. Sebuah ileostomi merupakan
jalan pintas keluarnya feses sehingga feses tidak melalui seluruh bagian usus besar.
Akibatnya feses akan keluar lebih sering dan dalam bentuk cair. Kejadian serupa juga
terjadi pada kolostomi di kolon asenden. Kolostomi pada kolon transversal umumnya
akan menghasilkan feses yang lebih padat dan berbentuk, sedangkan kolostomi
sigmoid menghasilkan feses yang sudah mendekati feses normal. Dalam hal ini
kolostm dibagi menjadi 3 yaitu:
xxi
2.8.2.1. Loop Colostomy
Loop colostomy biasanya di lakukan dalam kondisi kedaruratan medis yang
nantinya colostomy tersebut akan ditutup. Jenis colostomy ini biasanya
mempunyai stoma yang berukuran besar, dibentuk di kolon transversal dan
sifatnya sementara.
2.8.2.2 End Colostomy
End Coostomy terdiri dari satu stoma, yang dibentuk dari ujung proksimal usus
dengan bagian distal saluran GI dapat dibuang atau dijahit tertutup (disebut
kantong Hartmann) dan dibiarkan di dalam rongga abdomen.
2.8.2.2. Double Barrel colostomy
Tidak seperti loop colostomy , usus dipotong melalui pembedahan kedalam bentuk
double barrel colostomy dan kedua ujungnya ditarik keatas abdomen . Double-
barrel colostomy terdiri dari dua stoma yang berbeda yaitu stoma proksimal yang
berfungsi dan stoma distal yang tak berfungsi.

Pertimbangan Psikologi
Sebuah ostomi dapat menimbulkan perubahan citra tubuh yang serius, terutama
apabila ostomi tersebut bersifst permanen. Klien yang memiliki riwayat penyakit usus
kronik dalam jangka waktu yang lama seperti penyakit Crohn atau Kolitis ulseratif
telah meningkatkan kualitas hidupnya, tetapi memiliki citra tubuh yang lebih rendah.
Sebaliknya, Klien yang membutuhkan ostomi akibat kanker memiliki citra tubuh yang
lebih tinggi, tetapi kualitas hidupnya berkurang.
Klien sering mempersepsikan stoma sebagai bentuk pemotongan/perusakan. Walaupun
pakaian menutupi ostomi, klien merasa berbeda. Banyak klien memiliki kesulitan
untuk mempertahankan/memulai hubungan seksual yang normal. Faktor penting yang
mempengaruhi reaksi klien adalah karakter sekresi feses dan kemampuan untuk
mengontrolnya. Bau busuk kebocoran atau tumpahan feses tang encer dan
ketidakmempuan mengatur defekasi membuat klien kehilangan harga dirinya.

2.9. PEMERIKSAAN PENUNJANG


2.9.1. Pemeriksaan USG
2.9.2. Pemeriksaan foto rontgen
2.9.3. Pemeriksaan laboratorium; urine dan feses.

xxii
BAB III
TINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PROSES KEPERAWATAN ELIMINASI FEKAL


3.1. Pengkajian
3.1.1. Riwayat keperawatan
3.1.1.1) Pola defekasi : frekuensi, pernah berubah
3.1.1.2) Prilaku defekasi : penggunaan laksatif, cara mempertahankan pola
3.1.1.3) Deskripsi feses: warna, bau, dan tekstur
3.1.1.4) Diet : makanan yang mempengaruhi defekasi, makanan yang biasa
dimakan, makanan yang dihindari, dan pola makan yang teratur atau
tidak.
3.1.1.5) Cairan : jumlah dan jenis minuman/ hari
3.1.1.6) Aktivitas : kegiatan sehari-hari
3.1.1.7) Kegiatan yang spesifik
3.1.1.8) Penggunaan medikasi : obat-obatan yang mempengaruhi defekasi
3.1.1.9) Stress : stress yang berkepanjangan atau pendek, koping untuk
menghadapiatau bagaimana menerima
3.1.1.10) Pembedahan/ penyakit menetap

3.1.2. Pemeriksaan fisik


3.1.1) Abdomen : distensi, simetris, gerakan peristaltic, adanya massa pada perut,
tendernessi.
3.1.2) Rectum dan anus : tanda-tanda imflamasi, perubahan warna, lesi, fistula,
hemoroid, adanya massa, tendernessi.

3.1.3. Keadaan feses


3.1.3.1) Konsistensi, bentuk bau, warna, jumlah, unsur abnormal dalam feses,
lendir.

3.1.4. Pemeriksaan diagnostic


3.1.4.1) Anuskopi
3.1.4.2) Proktosigmoidoskopi
3.1.4.3) Rontgen dengan kontras

xxiii
3.2. Diagnosis Keperawatan
Contoh diagnose Keperawata NANDA untuk masalah gangguan eleminasi fekal :
3.2.1. Konstipasi yang berhubungan dengan :
3.2.1.1. Imobilitas
3.2.1.2. Asupan cairan dan asupan serat kurang adekuat
3.2.1.3. Ganguan proses pikir

3.2.2. Diare yang berhubungan dengan :


3.2.2.1. Stress dan dan ansietas
3.2.2.2. Asupan diet

3.2.3. Inkontinen defekasi berhubungan dengan :


3.2.3.1. Keterlibatan neuromuscular
3.2.3.2. Depresi, ansietas berat

3.2.4. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan :


3.2.4.1. Penurunan kekuatan dan daya tahan tubuh
3.2.4.2. Intoleransi aktifitas

3.2.5. Resiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan :


3.2.5.1. Inkontinensia feses

3.2.6. Gangguan citra tubuh yang berhubungan dengan :


3.2.6.1. Adanya ostomi
3.2.6.2. Inkontinensia feses

xxiv
3.3. Intervensi Keperawatan
Contoh Intervensi Keperawatan untuk diagnosa :
Konstipasi yang berhubungan dengan asupan cairan dan asupan serat kurang adekuat.

Tujuan yang diharapkan :


a. Pasien kembali ke pola normal dari fungsi bowel
b. Terjadi perubahan pola hidup untuk menurunkan factor penyebab konstipasi

NO INTERVENSI RASIONAL
1 Catat dan kaji kembali warna, konsistensi, Pengkajian dasar untuk mengetahui
jumlah air,dan waktu buang air besar adanya masalah bowel
2 Kaji dan catat pergerakan usus Deteksi dini penyebab konstipasi
3 Lakukan pengeluaran manual dan lakukan Membantu mengeluarkan feses
gliserin klisma
4 Konsultasikan dengan dokter tentang Meningkatkan eliminasi
pemeriksaan laksatif, enema, dan pengobatan
5 Berikan cairan adekuat Membantu feses lebih lunak
6 Berikan makanan tinggi serat dan hindari Menurunkan konstipasi
makanan yang banyak mengandung gas
dengan konsultasi bagian gizi
7 Bantu klien dalam melakukan aktivitas aktif Meningkatkan pergerakan usus
dan pasif
8 Berikan pendidikan kesehatan Mengurangi/ menghindari inkontenensia

3.4. Implementasi
3.4.1. Mencatat dan kaji kembali warna, konsistensi, jumlah air,dan waktu buang air
besar.
3.4.2. Mengkaji dan catat pergerakan usus.
3.4.3. Melakukan pengeluaran manual dan lakukan gliserin klisma.
3.4.4. Mengkonsultasikan dengan dokter tentang pemeriksaan laksatif, enema, dan
pengobatan.
3.4.5. Memerikan cairan adekuat.
3.4.6. Memberikan makanan tinggi serat dan hindari makanan yang banyak
mengandung gas dengan konsultasi bagian gizi.
3.4.7. Membantu klien dalam melakukan aktivitas aktif dan pasif.
3.4.8. Memberikan pendidikan kesehatan.

xxv
3.5. Evaluasi
S = Subjective data(Data Subjektif ), Keluhan pasien
O= Objective data(Data Objaktif)
A= Assessment (Pengkajian), Hasil dari evaluasi, ada 3, yaitu :
a. Tujuan tercapai
b. Tujuan tercapai sebagian
c. Tujuan tidak tercapai
P= Planning (Perencanaan), Pertahankan kondisi atau lanjutkan intervensi

Misalnya :
S = Pasien mengatakan nyeri pada saat ingin buang air besar
O= Pasien tampak lebih nyaman dengan skala 3(0-10)
A= Masalah teratasi sebagian
P= Lanjutkan intervensi
a. Mengkaji skala nyeri (0-10)
b. Makan-makanan yang berserat
c. Banyak minum air

xxvi
BAB IV
PENUTUP

4.1. KESIMPULAN
Eliminasi fekal merupakan proses pembuangan sisa metabolisme tubuh yang tidak
terpakai. Eliminasi yang teratur dari sisa-sisa produk usus penting untuk fungsi tubuh
normal. Perubahan pada defekasi dapat menyebabkan masalah pada gastrointestinal dan
bagian tubuh lain karena sisa-sisa produk adalah racun. Jumlah fese yang dikeluarkanpun
berfarisasi jumlahnya tiap individu. Fese normal mengandung 75 % air dan 25 % materi
padat. Feses normal berwarna coklat karena adanya sterkobilin dan uriubilin yang berasal
dari bilirubin. Warna feses dapat dipengaruhi oleh kerja Escherecia coli. Flatus yang
dikeluarkan orang dewasa selama 24 jam yaitu 7-10 lt flatus dalam usus besar. Kerja
mikroorganisme mempengaruhi bau feses. Fungsi usus tergantung pada keseimbangan
beberapa factor, pola eleminasi dan kebiasaan masing-masing orang berbeda.

4.2. SARAN
Dari uraian diatas dapat kami menyarankan sebaiknya para pembaca khususnya
perawat, pada kasus klein dengan gangguan eleminasi fekal dapat mengetahui tentang faktor-
faktor resiko yang mungkin ditemui, pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan dan
cara penatalaksanaannya.
Penulis mengajukan beberapa saran untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan
dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan ganguan eliminasi fekal sebagai
berikut :
4.2.1. Perlunya ditingkatkan dan dipertahankan komunikasi yang efektif antara klien,
keluarga dan perawat agar terbina hubungan saling percaya dalam memberikan
asuhan keperawatan sehingga perawat dapat mendapatkan data-data yang
dibutuhkan.
4.2.2. Sistem pendokumentasian asuhan keperawatan dipertahankan dan dilengkapi dengan
respon klien agar asuhan keperawatan yang diberikan lebih efektif.

xxvii
DAFTAR PUSTAKA

Potter & Perry.1999. Fundamental Keperawatan: konsep, proses, dan praktik, edisi 4.
Jakarta: EGC.

Wartonah, Tarwoto. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan.edisi 3.


Jakarta: Salemba Medika.

Alimul Aziz. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses
Keperawatan.

Nugroho, W. 2000. Keperawatan Gerontik Edisi 2. Jakarta : EGC.

Watson, R. 2003. Perawatan pada Lansia. Jakarta : EGC.

Tarwoto, Wartonah. 2010. Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba Medika.

Potter, P.A., & Perry, A.G. (2005). Fundamental Keperawatan (Edisi 4). Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta

Marilynn, D.E., dkk (2000). Rencana Asuhan Keperawatan (Edisi 3). Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta

xxviii
1.DIAGNOSA KEPERAWATAN:
KONSTIPASI yang berhubungan dengan asupan diet berserat yang tidak adekuat dan
terbatas nya asuapan cairan.

DEFINISI:
Konstipasi adalah suatu keadaan yang individu mengalami perubahan dalam kebiasaan
normal defekasi yang karakteristik nya penurunan frekwensi defekasi atau keluarnya feses
keras dan kering,(Kim,McFarland,Mclane).

TUJUAN:klien memahami dan menelan makanan dan cairan yang di butuhkan untuk
meningkatkan pengeluaran feses yang lunak dan berbentuk.

HASIL YANG DI HARAP KAN:klien mendiskripsikan sumber makanan yang tinggi


serat,klien menjelaskan asupan cairan normal untuk meningkatkan defekasi,klien
menyapakan menu untuk 24 jam,termasuk makanan yang tinggi serat dan cairan.

INTERVENSI:
>intruksi klien untuk lebih banyak mengosumsi makanan yang menstimulasi
peristaltic(gandum,roti,selada)
>Dan beriakan cairan 6 sampai 8 gelas (lebih baik jus jeruk)setiap hari.
>Dan dorong klien mengatakan komitmen nya untuk berupaya melakukan defekasi dalam 5
menit setelah merasakan keinginana untuk defekasi.

RASIONAL:
>makanan yang mengandung tinggi serat meningkatkan peristaltic dan membatu
mengerakan usus didalam saluran gastro intestinal.
>Asupan cairan adekuat membantu mempertahan kan materi feses tetap lunak.
>Reflek gastro kolik paling sensitive pada pagi hari dan setelah makan.
>Kontrak tentang prilaku antara klien dengan perawat memperlihatkan keberhasilan
modifikasi prilaku,

2.DIAGNOSA KEPERAWATAN
KOSTIPASI berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur
Tujuan: pasien dapat defekasi dengan teratur (setiap hari)

HASIL YANG DI HARAPKAN


> Defekasi dapat dilakukan satu kali sehari
> Konsistensi feses lembut
> Eliminasi feses tanpa perlu mengejan berlebihan
INTERVENSI

 Tentukan pola defekasi bagi klien dan latih klien untuk menjalankannya
 Atiur waktu yang tepat untuk defekasi klien seperti sesudah makan
 Berikan cakupan nutrisi berserat sesuai dengan indikasi
 Berikan cairan jika tidak kontraindikasi 2-3 liter per hari

xxix
RASIONAL
> Untuk mengembalikan keteraturan pola defekasi klien
> Untuk memfasilitasi refleks defekasi
> Nutrisi serat tinggi untuk melancarkan eliminasi fekal
> Untuk melunakkan eliminasi feses dan mengeluarkannya

3.DIAGNOSA KEPERAWATAN.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hilangnya nafsu makan
TUJUAN: menunjukkan status gizi baik

HASIL YANG DI HARAPKAN


> Toleransi terhadap diet yang dibutuhkan
> Mempertahankan massa tubuh dan berat badan dalam batas normal
> Nilai laboratorium dalam batas normal
> Melaporkan keadekuatan tingkat energi
INTERVENSI

 Buat perencanaan makan dengan pasien untuk dimasukkan ke dalam jadwal makan.
 Dukung anggota keluarga untuk membawa makanan kesukaan pasien dari rumah.

 Tawarkan makanan porsi besar disiang hari ketika nafsu makan tinggi
 Pastikan diet memenuhi kebutuhan tubuh sesuai indikasi.
 Pastikan pola diet yang pasien yang disukai atau tidak disukai.
 Pantau masukan dan pengeluaran dan berat badan secara periodik.
 Kaji turgor kulit pasien

RASIONAL

 Menjaga pola makan pasien sehingga pasien makan secara teratur

 Pasien merasa nyaman dengan makanan yang dibawa dari rumah dan dapat
meningkatkan nafsu makan pasien.
 Dengan pemberian porsi yang besar dapat menjaga keadekuatan nutrisi yang masuk.

 Tinggi karbohidrat, protein, dan kalori diperlukan atau dibutuhkan selama perawatan.
 Untuk mendukung peningkatan nafsu makan pasien
 Mengetahui keseimbangan intake dan pengeluaran asuapan makanan
 Sebagai data penunjang adanya perubahan nutrisi yang kurang dari kebutuhan

Konstipasi yang kemungkinan berhubungan dengan :

xxx
a. Imobilitas
b. Asupan cairan dan serat kurang adekuat
c. Ileus
d. Stress
e. Menurunnya mobilitas intestinal
g. Perubahan atau pembatasan diet

Kemungkinan data yang ditemukan :


a. Menuruunnya bising usus
b. Mual
c. Nyeri abdomen
d. Adanya massa pada abdomen bagian kiri bawah
e. Perubahan konsistensi feses, frekuensi buang air besar

Kondisi klinis kemungkinan terjadi pada :


a. Anemia
b. Hipotiroidisme
c. Dialisa ginjal
d. Pembedahan abdomen
e. Paralisis
f. Cedera spinal cord
g. Imobilitas yang lama

xxxi

Vous aimerez peut-être aussi