Vous êtes sur la page 1sur 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Difteri merupakan penyakit infeksi yang dapat menyerang pada
saluran napas bagian atas disebabkan oleh kuman Corynebacterium
diphteriae yang bersifat gram positif, polimorf, dan tidak membentuk
spora. Penyakit ini mudah menyerang anak-anak melalui udara atau pada
alat yang terkontaminasi (Hidayat, 2010).
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular,
yang disebabkan oleh Corynebacterium diptheriae dengan ditandai
pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau mukosa (Sumarno,
2002). Difteri adalah suatu penyakit akut yang bersifat toxin-mediated
disease dan disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Nama
kuman ini berasal dari bahasa Yunani, diphtera yang berarti leather hide.
Penyakit ini disebut pertama kali oleh Hyppocrates pada abad ke-5 SM
dan epidemi pertama terjadi pada abad ke-6 oleh Aetius. Bakteri ini
ditemukan pertama kali pada membran penderita difteri tahun 1883 oleh
Klebs. Antitoksin ditemukan pertama kali pada akhir abad ke-19,
sedangkan toksoid dibuat sekitar tahun 1920 (Vivian, 2010).

2.2 Klasifikasi
Menurut Sumarmo 2002, klasifikasi difteri berdasarkan letaknya
dibedakan menjadi 4 yaitu:
1. Difteri Hidung (nasal diphteria)
Difteri yang terjadi di hidung, pada awalnya menyerupai
commond cold dengan gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala
sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinus dan
kemudian mukopurulen menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas.
Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi.
Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak
nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.

1
2. Difteri Tonsil Faring (pharingeal diphteriae)
Difteri yang ditandai dengan anoreksia, malaise, demam ringan
dan nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membrane yang
melekat, berwarna putih kelabu dapat menutup tonsil dan dinding
faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau kebawah ke laring dan
trakea. Usaha melepaskan membrane akan mengakibatkan perdarahan.
3. Difteri Laring (laryngo tracheal diphteriae)
Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Pda
difteri primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring
mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa
faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok.
Gejala klinis difteri laring sukar untuk dibedakan dengan tipe infectius
croups yang lain, seperti nafas bunyi, stridor yang progresif, suara
parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat
retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi
pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian
mendadak.
4. Difteri Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga
Difteria kulit, difteria vulvovaginal, diftera konjungtiva dan
difteri telinga merupakan tipe difteri yang tidak lazim. Difteri kulit
berupa tukak di kulit, tetapi jelas dan terdapat membran pada dasarnya.
Kelainan cenderung menahun. Difteri pada mata dengan lesi pada
konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada
konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dan sekret
purulen dan berbau. (Sumarmo.2002)

2
2.3 Komplikasi
Pengobatan difteri harus segera dilakukan untuk mencegah
penyebaran sekaligus komplikasi yang serius, terutama pada penderita
anak-anak. Diperkirakan hampir satu dari lima penderita difteri balita dan
berusia di atas 40 tahun yang meninggal dunia diakibatkan oleh
komplikasi.
Jika tidak diobati dengan cepat dan tepat, toksin dari bakteri difteri
dapat memicu beberapa komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa.
Beberapa di antaranya meliputi:
a. Masalah pernapasan. Sel-sel yang mati akibat toksin yang diproduksi
bakteri difteri akan membentuk membran abu-abu yang dapat
menghambat pernapasan. Partikel-partikel membran juga dapat luruh
dan masuk ke paru-paru. Hal ini berpotensi memicu inflamasi pada
paru-paru sehingga fungsinya akan menurun secara drastis dan
menyebabkan gagal napas.
b. Kerusakan jantung. Selain paru-paru, toksin difteri berpotensi masuk
ke jantung dan menyebabkan inflamasi otot jantung atau miokarditis.
Komplikasi ini dapat menyebabkan masalah, seperti detak jantung
yang tidak teratur, gagal jantung dan kematian mendadak.
c. Kerusakan saraf. Toksin dapat menyebabkan penderita mengalami
masalah sulit menelan, masalah saluran kemih, paralisis atau
kelumpuhan pada diafragma, serta pembengkakan saraf tangan dan
kaki. Masalah saluran kemih dapat menjadi indikasi awal dari
kelumpuhan saraf yang akan memengaruhi diagfragma. Paralisis ini
akan membuat pasien tidak bisa bernapas sehingga membutuhkan alat
bantu pernapasan atau respirator. Paralisis diagfragma dapat terjadi
secara tiba-tiba pada awal muncul gejala atau berminggu-minggu
setelah infeksi sembuh. Karena itu, penderita difteri anak-anak yang
mengalami komplikasi apa pun umumnya dianjurkan untuk tetap di
rumah sakit hingga 1,5 bulan dan di isolasi untuk mencegah penularan.

3
d. Difteri hipertoksik. Komplikasi ini adalah bentuk difteria yang sangat
parah. Selain gejala yang sama dengan difteri biasa, difteri hipertoksik
akan memicu pendarahan yang parah dan gagal ginjal.
Komplikasi bisa dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran,
jumlah toksin, waktu antara timbulnya penyakit dengan pemberian
antitoksin. Komplikasi difteri terdiri dari :
1. Infeksi sekunder, biasanya oleh kuman streptokokus dan
stafilokokus
2. Infeksi Lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau
oedema jalan nafas
3. Infeksi Sistemik karena efek eksotoksin.

2.4 Etiologi
Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheriae.
Berbentuk batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul.
Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat
mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin. Toxin difteri ini, karena mempunayi
efek patoligik meyebabkan orang jadi sakit. Ada tiga type variants dari
Corynebacterium diphtheriae ini yaitu; type mitis, type intermedius dan
type gravis. Corynebacterium diphtheriae ini dalam bentuk satu atau dua
varian yang tidak ganas dapat ditemukan pada tenggorokan manusia, pada
selaput mukosa (Depkes, 2007).
Menurut Sumarmo (2002), penyebab difteri adala
bakteri Corynebacterium diphteriae, bakteri gram positif yang bersifat
polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarna sediaan
langsung dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan
dengan sediaan langsung dari lesi. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak
dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau merupakan kelompok
dengan formasi mirip huruf cina. Kuman tumbuh secara aerob, bisa dalam
media sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang mengandung K-
tellurit atau media Loeffler. Pada membran mukosa manusia C.diphteriae
dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphteroid saprofit yang

4
mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-
kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen,
kanji,glukosa, maltosa dan sukrosa.

Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang terbentuk, dapat


dibedakan 3 jenis basil yang dapat memproduksi toksin yaitu, gravis,
intermediate, dan mitis.

a. Gravis, koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak


menimbulkan hemolisis eritrosit.
b. Mitis, koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks, dan dapat
menimbulkan hemolisis eritrosit.
c. Intermediate, koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di
tengahnya dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
d.
2.5 Patofisiologi

5
Bakteri C.diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta
berkembang biak pada permukaan mukosa saluran napas bagian atas dan
mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya
menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limpa dan pembuluh darah.
Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan
protein dalam sel. Kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan
eksotoksin. Pseudomembran timbul local dan menjalar dari laring, faring
dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening akan tampak membengkak
dan mengandung toksin. Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan
mengakibatkan terjadinya miokarditis dan timbul paralysis otot-otot
pernafasan bila mengenai jaringan syaraf. Sumbatan pada jalan nafas
sering terjadi akibat dari pseudomembran pada laring dan trachea
menyebabkan kondisi yang fatal.
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi
sekunder dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membrane
dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan napas. Gangguan
pernapasan dapat terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau
cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bias
mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan
ginjal. Antitoksin difteri hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau
yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah
melakukan penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel,
terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis.
Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi sraf pada
umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok
adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ
dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel
mononuclear pada serat otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak
neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis
hati bias disertai gejala hipoglikemia kadang-kadang tampak perdarahan
adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.

6
Toksin difteri yang diproduksi oleh C. diphtheriae dapat
mengakibatkan myocarditis (radang otot jantung), polyneuritis
(peradangan di banyak saraf), dan efek sistemik lainnya. Toksin difteri
diabsorpsi kedalam selaput lendir dan menyebabkan kerusakan epitel serta
respon inflamasi superfisial. Epitel yang rusak bercampur dengan fibrin
yang dikeluarkan, dan sel darah merah, serta sel darah putih, sehingga
terbentuk pseudomembran yang berwarna keabuan, biasanya ditemukan di
tonsil, faring, atau laring dan sangat mudah berdarah jika tersentuh
(Brooks et al, 2001).
Toksin difteri diproduksi pada tempat infeksi dan kemudian
menyebar melalui pembuluh darah dan limfe. Dampak penyebaran toksin
difteri dapat bermanifestasi pada jantung, saraf, dan ekstremitas. Pada
jantung, eksotoksin (racun yang dikeluarkan di luar sel) dapat
menimbulkan miokarditis (radang otot jantung) dan biasanya terjadi pada
pasien yang terlambat menerima antitoksin difteri. Pada miokardium,
toksin menyebabkan sistesis protein oleh sel otot jantung, adanya infiltrasi
lemak pada sel otot jantung, serat otot akan mengalami nekrosis hialin.
Setelah terjadi kerusakan jaringan miokardium, peradangan setempat akan
terjadi, diikuti dengan perivaskular dibalut dengan leukosit (cuffing)
(Muttaqin, 2009).

2.6 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan penderita difteri, menurut Sumarmo 2002 ialah
untuk menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah
dan menguasahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi
C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi
penyerta dan penyulit difteria.

Penatalaksanaan umum

a. Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui selama 2-3 minggu


b. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu
c. Pemberian cairan dan diet yang adekuat.

7
Bentuk makanan disesuaikan dengan toleransi, untuk hal ini dapat
diberikan makanan lunak, saring/cair, bila perlu sonde lambung jika
ada kesukaran menelan (terutama pada paralysisis palatum molle dan
otot-otot faring).
d. Jamin kemudahan defekasi. Jika perlu berikan obat-obat pembantu
defekasi (klisma, laksansia, stool softener) untuk mencegah
mengedan berlebihan.
e. Berikan oksigen apabila ada tanda-tanda obstruksi jalan napas.
Penatalaksanaan khusus:
a. Antitoksin : Anti Diphtheriae Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah diagnosis difteria.
Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada
penderita kurang dari 1 %. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke
6, angka kematian ini bisa meningkat sampai 30 %.
Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit dan amat
terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi
anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin a:1000 dalam
semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam
larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila
dalam 20 menit terjadi induraksi >10 mm. Uji mata dilakukan dengan
meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada
mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20
menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi.
Bila uji kulit dan mata positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi
(Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut diatas negative, ADS
harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan
secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak
tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000
KI. Pemebrian ADS intravena dalam larutan fisiologis atau 100 ml
glukosa 5 % dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek
samping obat/reaksi sakal dilakukan selama pemberian antitoksin dan

8
selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya
reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness)

Dosis ADS menurut lokasi membrane dan lama sakit

Tipe difteria Dosis ADS (KI) Cara Pemberian


Difteria hidung 20.000 Intramuscular
Difteria tonsil 40.000 Intramuscular atau
intravena
Difteria faring 40.000 Intramuscular atau
intravena
Difteria laring 40.000 Intramuscular atau
intravena
Kombinasi lokasi diatas 80.000 Intravena
Difteria + penyulit, 80.000-100.000 Intravena
bullneck
Trelambat berobat (> 72 80.000-100.000 Intravena
jam), lokasi dimana saja

b. Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin,
melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi
toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/kgBB/hari selama 10 hari,
bila terdapat riwayat hipersensitivitas penisilin diberikan eritrosmisin
40 mg/kgBB/hari.

c. Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini
pada difteria. Dianjurkan kortikosteroid diberikan pada kasus difteria
yang disertai dengan gejala obstruksi saluran napas bagian atas (dapat
disertai atau tidak bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis.
Pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak

9
terbukti. Dapat diberikan prednison 2 mg/kgbb/hari,selama 3 minggu
yang kemudian dihentikan secara bertahap.

2.7 Pencegahan
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan
memberikan pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada
umumnya setelah seseorang anak menderita difteria, kekebalan terhadap
penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi. Pencegahan secara
khusus terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang anak
yang telah mendapat imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibody
terhadap toksin difteria tetapi tidak mempunyai antibody terhadap
organismenya. Keadaan demikian memungkinkan seseorang menjadi
pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau menderita difteria
ringan.

2.8 Pemeriksaan Penunjang


Menurut FKUI tahun 2007, dapat diketahui terkena difteria yaitu
dengan dilakukannya pemeriksaan-pemeriksaan sebagai berikut:

1. Bakteriologik. Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan


mukosa hidung dan tenggorok (nasofaringeal swab)
2. Darah rutin : Hb, leukosit, hitung jenis, eritrosit, albumin
3. Urin lengkap : aspek, protein dan sedimen
4. Enzim CPK, segera saat masuk RS
5. Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)
6. EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot
jantung dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu,
kecuali bila ada indikasi biasa dilakukan 2-3x seminggu.
7. Tes schick
Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah
seseorang telah mengandung antitoksin. Dengan titer antitoksin
0,03ml satuan per millimeter darah cukup dapat menahan infeksi
difteria. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD yang

10
diberikan intrakutan dalam bentuk larutan yang telah diencerkan
sebanyak 0.1 ml. pada seseorang yang tidak mengandung antitoksin,
akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan hilang setelah beberapa
minggu. Pada yang mengandung antitoksin rendah, uji Schick dapat
positif, pada bekas suntikan timbul warna merah kecoklatan dalam 24
jam. Uji Schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun
pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas
atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat
reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang akan menghilang dalam
72 jam.

Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan


dan kasus-kasus yang mengalami kontak dengan difteri, sehingga
diobati dengan sempurna. Cara melakukan Schick test ialah, sebanyak
0,1 ml toksin difetri disuntikkan intrakutan pada lengan klien, pada
lengan yang lain disuntikkan toksin yang sudah dipanaskan (kontrol).
Reaksi dibaca pada hari ke-45, hasilnya positif bila terjadi indurasi
eritema yang diameternya 10mm atau lebih pada tempat suntikkan.
Hasil positif berarti adanya antitoksin difteri dalam serumnya
(menderita difteri). (Sumarmo: 2008)

2.9 Imunisasi Difteri


Imunisasi DPT (Difteri, pertussis dan tetanus). Vaksin ini akan
melindungi tubuh terhadap difteri, tetanus dan pertussis. DPT (DTP) dan
DTaP adalah vaksin yang sama, namun bentuknya saja yang berbeda.
Vaksin diberikan dengan suntikan. Pemberian vaksin ini terbukti
menghilangkan kemungkinan terkena difteri dan tetanus pada masa kanak-
kanak, serta mengurangi secara nyata kasus pertussis. Di beberapa negara
maju, pada saat mendaftar, calon murid sekolah harus bisa menunjukkan
keterangan telah mendapatkan vaksin ini secara lengkap. (Staf pengajar
FKUI. 2007)

11
a. Jadwal pemberian
Diberikan sebagai satu seri yang terdiri dari 5 kali suntik. Yaitu
pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, 15 s/d 18 bulan dan terakhir saat
sebelum masuk sekolah (4 s/d 6 tahun). Dianjurkan untuk
mendapatkan vaksin Td (penguat terhadap difteri dan tetanus) pada
usia 11 s/d 12 tahun atau paling lambat 5 tahun setelah imunisasi DTP
terakhir. Setelah itu direkomendasikan untuk mendapatkan Td setiap
10 tahun.
b. Resiko yang mungkin timbul
Seringkali pemberian vaksin ini menimbulkan panas badan
ringan atau panas di sekitar bekas suntikan yang diakibatkan oleh
komponen pertussis dalam vaksin.
c. Menunda Pemberian :
1) Bila anak sakit lebih dari sekedar panas badan ringan.
2) Bila anak memiliki kelainan syaraf atau tidak tidak tumbuh
secara normal, komponen pertussis dari vaksin dianjurkan untuk
tidak diberikan dan hanya DT (difteri & tetanus) saja.
3) Bila setelah mendapatkan vaksin DTP (DTaP) timbul gejala seperti
dibawah konsultasikan dengan dokter anak sebelum mendapatkan
vaksin lainnya :
a) kejang-kejang dalam 3 s/d 7 hari setelah imunisasi
b) kejang-kejang yang makin memburuk dibanding sebelumnya
apabila pernah mengalaminya
d. Reaksi Alergi
1) kesulitan makan atau gangguan pada mulut, tenggorokan atau
muka panas badan lebih dari 40 derajat Celcius (105 derajat
Fahrenheit)
2) pingsan dalam 2 hari pertama setelah imunisasi
3) terus menangis lebih dari 3 jam di 2 hari pertama setelah
imunisasi.

12
e. Setelah Pemberian :
Anak mungkin mengalami panas badan ringan dan atau
kemerah-merahan di sekitar bekas suntikan. Untuk mencegah panas
badan kadangkala dokter anak memberikan resep obat sebelum
imunisasi.

3.0 Manifestasi Klinis

Tergantung pada berbagai faktor, manifestasi penyakit ini bisa


bervariasi dari tanpa gejala sampai keadaan berat dan fatal. Sebagai faktor
primer adalah imunitas pejamu, virulensi serta toksigenitas C. diphteriae
(kemampuan kuman membentuk toksin) dan lokasi penyakit secara
anatomis. Difteria mempunyai masa tunas 2-6 hari. Berikut ini adalah
beberapa jenis difteri menurut lokasinya. (IDAI.2010)

1. Difteri saluran napas


Fokus infeksi primer yang sering, yaitu pada tonsil atau pharynx
kemudian hidung dan larynx. Infeksi dari nares anterior lebih sering
terjadi pada bayi, menyebabkan sekret serosanguinis, purulen, dan
rhinitis erosiva dengan pembentukan membran. Ulkus dangkal dari
nares eksternal dan bibir atas merupakan tanda khas. Pada difteria
tonsilar dan pharyngeal, sakit tenggorokan merupakan gejala yang
pertama kali muncul. Separuh pasien memiliki gejala demam dan
sebagian lagi mengeluhkan disfagia, suara serak, malaise atau sakit
kepala. Injeksi pharyngeal ringan diikuti dengan pembentukan
membran tonsilar baik uni maupun bilateral yang bisa meluas ke uvula
(bisa mengakibatkan paralisis yang dimediasi oleh toksin), palatum
molle, oropharynx posterior, hypopharynx, atau area glotis.
2. Difteri hidung
Difteria hidung pada awalnya menyerupai common cold dengan
gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret
hidung berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen,
menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan

13
tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorpsi toksin
sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga
diagnosis lambat dibuat.
3. Difteri tonsil dan faring
Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam
ringan, dan nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran
yang mudah perdarah, melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup
tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke
bawah ke laring dan trakea. Dapat terjadi limfadenitis servikalis dan
submandibular, bila limfadenitis terjadi bersamaan dengan edema
jaringan lunak leher yang luas timbul bullneck. Selanjutnya, gejala
tergantung dari derajat penetrasi toksin dan luas membran. Pada kasus
berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan dan sirkulasi, paralisi
palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan
dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam 1 minggu
sampai 10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi secara
berangsur dan bisa disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada
kasus ringan, membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya
terjadi penyembuhan sempurna.
4. Difteri laring
Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteria faring. Pada
difteria laring gejala toksik kurang jika dibandingkan difteri faring
karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah
dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas
atas lebih mencolok. Gejala klinis difteria laring sukar dibedakan
dengan gejala sindrom croup, seperti nafas berbunyi, stridor yang
progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang
berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal, dan supraklavikular.
Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi
kematian mendadak. Pada kasus berat, membran dapat meluas ke
percabangan trakeobronkial. Apabila difteria laring terjadi sebagai

14
perluasan dari difteria faring maka gejala yang tampak merupakan
campuran gejala obstruksi dan toksemia.
5. Difteri kulit
Difteria kulit merupakan infeksi nonprogresif yang ditandai dengan
ulkus superfisial, ektima, indolent dengan membran coklat kelabu di
atasnya, sulit dibedakan dengan impetigo akibat Stapyllococcus/
Streptococcus dan biasanya bersamaan dengan infeksi kulit ini. Pada
banyak kasus infeksi, difteri merupakan infeksi sekunder pada
dermatosis, laserasi, luka bakar, tersengat atau impetigo. Ekstremitas
lebih sering terkena daripada leher atau kepala. Infeksi simtomatik atau
kolonisasi kuman di traktus respiratorius dengan komplikasi toksin
terjadi pada sebagian kecil penderita difteria kulit.

15
BAB III
TEORI ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian

a. Umur: Biasanya terjadi pada anak-anak umur 2-10 tahun dan jarang
ditemukan pada bayi berumur dibawah 6 bulan dari pada orang
dewasa diatas 15 tahun
b. Suku bangsa : Dapat terjadi diseluruh dunia terutama di negara
miskin
c. Tempat tinggal : Biasanya terjadi pada penduduk di tempat-tempat
pemukiman yang rapat-rapat, higine dan sanitasi jelek dan fasilitas
kesehatan yang kurang
d. Keluhan Utama: Klien marasakan demam yang tidak terlalau tinggi,
lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia, lemah
e. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit
kepala, anoreksia.
Difteria Tonsil dan Faring: Panas tidak tinggi, nyeri telan ringan,
mual, muntah, nafas berbau, Bullneck.
Difteria Laring dan Trachea: Sesak nafas hebat, stridor inspirator,
terdapat retraksi otot supra sternal dan epigastrium, laring tampak
kemerahan, sembab, banyak secret, permukaan tertutup oleh
pseudomembran.
f. Riwayat Kesehatan Dahulu
Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring,
dan saluran nafas atas dan mengalami pilek dengan sekret bercampur
darah
g. Riwayat Kesehatan Keluarga
Dimungkinkan ada keluarga/ lingkungan yang menderita penyakit
Difteria.

16
h. Riwayat Tumbuh Kembang
Pertumbuhan dan perkembangan motorik, sensorik klien dengan
difteri biasanya terganggu pernapasan sehingga sulit menelan.
i. Riwayat kehamilan dan persalinan
1) Riwayat kehamilan
Apakah selama hamil ibu klien selalu memeriksa kehamilanya
kebidan.
2) Riwayat persalinan
Kaji dimana klien dilahirkan, berat badan, panjang badan.
j. Riwayat Imunisasi
Imunisasi DPT 1, 2, 3 pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan yang kurang
memadai.
k. Pola Fungsi Kesehatan
1. Pola nutrisi dan metabolisme
Jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoraksia
2. Pola aktivitas
Klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam
3. Pola istirahat dan tidur
Klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan
tidur
4. Pola eliminasi
Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah
asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoreksia
l. Pemeriksaan
Pemeriksaan umum
a. B1 : Breating
Adanya pembengkakan kelenjer limfe (Bull’s neck), timbul
peradangan pada laring/trakea, suara serak, stridor, sesak
napas.
b. B2 : Blood

17
Adanya degenerasi fatty infiltrate dan nekrosis pada
jantung menimbulkan miokarditis dengan tanda irama
derap, bunyi jantung melemah atau meredup, kadang-
kadang ditemukan tanda-tanda payah jantung.
c. B3 : Brain
Gangguan system motorik menyebabkan paralise.
d. B4 : Bladder
Tidak ada kelainan.
e. B5 : Bowel
Nyeri tenggorokan, sakit saat menelan, anoreksia, tampak
kurus, BB cenderung menurun, pucat.
f. B6 : Bone
Bedrest.

Pemeriksaan Penunjang:

1. Laboratorium Bakteriologi : Hapusan tenggorokan di


temukan kuman corinebakterium difteria
2. Darah : Penurunan kadar HB dan leukosit
polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit dan kadar
albumin.
3. Skin test : Test kulit untuk menentukan status imunitas

3.2 Diagnosa dan Intervensi Keperawatan

Diagnosa atau masalah keperawatan yang terjadi pada anak dengan


difteri menurut Aziz Alimul Hidayat 2010 adalah sebagai berikut:

1. Ketidakefektifan jalan napas berhubungan dengan obstruksi jalan


nafas akibat pembengkakan.

Tujuan: Pasien mampu bernafas tetap pada batas normal


Kriteria Hasil:
a. Tidak terjadi Obstruksi jalan nafas
b. Pernapasan tetap pada batas normal

18
No Intervensi Rasional

1. Monitor perubahan frekuensi napas, Mempengaruhi pilihan


kedalaman, dan tipe pernapasan keefektifan intervensi

2. Berikan oksigenasi sesuai dengan Mempertahankan


ketentuan kebutuhan oksigen yang
maksimal bagi pasien

3. Atur posisi dengan membaringkan Memudahkan


setengah duduk (semi fowler) pernapasan pasien

4. Kolaborasi dengan dokter pemberian Menetralisir toksin


ADS sehingga mengurangi
peradangan

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan


dengan gangguan menelan dan anoreksia

Tujuan: Meningkatkan nafsu makan sehingga kebutuhan nutrisi


terpenuhi.
Kriteria hasil:
a. Klien dapat meningkat berat badan sesuai tujuan
b. Klien tidak mengalami tanda-tanda malnutrisi

No. Intervensi Rasional


1. Kaji kemampuan pasien Menentukan pilihan makanan
untuk mengunyah, menelan yang tepat.

2. Berikan makan sedikit dan Meningkatkan asupan nutrisi


sering hingga jumlah
asupan nutrisi tercukupi

19
3. Berikan diet dalam bentuk Meningkatkan nafsu makan
hangat dan sediaan
lunak/bubur serta penyajian
yang menarik
4. Pemasangan NGT Mempermudah masukan nutrisi
5. Kolaborasi dengan ahli gizi Memberikan asupan nutrisis yang
sesuai dengan kondisi anak

3. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis


Tujuan: memberikan kenyamanan pada anak sehingga anak mampu
menoleransi nyeri hingga batas toleransi nyeri.
Kriteria hasil:
a. Nyeri dapat berkurang
b. Klien dapat istirahat dengan nyaman

No Intervensi Rasional
1. Berikan mainan-mainan Mengalihkan perasaan nyeri
pada anak yang dialami
2. Monitor perubahan nyeri Mempengaruhi pilihan
dan tanda vital keefektifan intervensi
3. Latih tehnik relaksasi Mengurangi nyeri yang dialami
4. Libatkan orang tua dalam Memberikan kenyamanan pada
perawatan anak anak
5. Kolaborasi dengan dokter Menurunkan intensitas nyeri
pemberian pbat analgetik
dan antibiotik

4. Resiko terjadinya komplikasi yang disebakan oleh kuman difteri


yang masuk ke dalam tubuh.
Tujuan: mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut dengan cara
memperbaiki dan meningkatkan kekebalan tubuh anak.
Kriteria hasil:

20
a. Tidak terjadi komplikasi
b. Kekebalan anak berangsur membaik

No Intervensi Rasional
1. Monitor adanya tanda Mempengaruhi pilihan
komplikasi dan tanda vital keefektifan intervensi dan
mengetahui adakah komplikasi
2. Berikan perawatan isolasi Memberikan kenyamanan pada
pasien
3. Kolaborasi dengan dokter Meningkatkan penyembuhan
dalam pemberian ADS pasien
4. Berikan istirahat total selama Meningkatkan penyembuhan
kurang lebih 3 minggu pasien
5. Kolaborasikan dalam Mengurangi resiko komplikasi
tindakan pengobatan
khususnya pada miokarditis,
kelainan saraf dan ginjal

21
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Difteria pada buku ajar infeksi & pediatri tropis. Jakarta: IDAI.

Hidayat, A. Aziz Alimul.2010.Pengantar Ilmu Keperawatan Anak.


Jakarta:Salemba Medika.

Doengoes, E Marlynn,dkk.1999. Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3


penterjemah Monica Ester.Jakarta:EGC

Staf Pengajar IKA FKUI. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Vol.2. Infomedika: Jakarta

Sumarmo.2002.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak.Jakarta:FKUI

Suriadi, dan Rita Yuliani. 2010. Asuhan Keperawatan pada Anak. Edisi 2. Jakarta:
Sagung seto.

Vivian, Nanny Lia Dewi. 2010. Asuhan Neonatus, Bayi, Anak dan Balita.
Jakarta:Salemba Medika

22

Vous aimerez peut-être aussi