Vous êtes sur la page 1sur 2

BAB III

KESIMPULAN

Alergi makanan adalah kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan
sistem tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap makanan, merupakan reaksi IgE-
mediated, cell-mediated, ataupun kombinasi keduanya. Alergi makanan perlu
dibedakan dengan reaksi simpang makanan lainnya, seperti keracunan makanan,
intoleransi makanan, dan reaksi idiosinkrasi makanan. Prevalensi alergi makanan di
Amerika Serikat sebanyak 3,5-4% dari seluruh populasi, dengan kejadian terbanyak
mengenai anak usia sekolah dan anak di bawah 3 tahun.
Penyebab alergi makanan adalah alergen, yang sebagian besar berupa
glikoprotein dengan berat molekul 10 sampai 70 kd, tahan terhadap panas, asam, dan
enzim proteolitik. Reaksi alergi yang terjadi dapat diperberat dengan adanya faktor
pencetus, berupa faktor fisik dan psikis.
Gejala klinis reaksi alergi makanan tergantung dari target organ yang terkena,
biasanya mengenai kulit, sistem respiratorik, dan sistem gastrointestinal. Pada
masing-masing target organ perantaranya, manifestasi yang timbul sesuai dengan
mekanismenya apakah IgE-mediated, cell-mediated, atau kombinasi keduanya. Pada
kulit dapat terjadi urtikaria akut, angioedema, dermatitis atopik, dermatitis kontak,
atau dermatitis herpetiformis. Pada sistem respiratorik timbul rinokonjungtivitis akut,
asma, dan sindrom Heiner. Sedangkan pada sistem gastrointestinal akan timbul oral
allergy syndrome, gastrointestinal anafilaksis, esofagitis dan gastroenteritis
eosinofilik alergi, Food protein-induced proctocolitis, induced enterocolitis, dan
induced enteropathy.
Diagnosis alergi makanan berdasarkan anamnesis, riwayat keluarga, riwayat
pemberian makanan, tanda dan gejala alergi makanan sejak bayi hingga sekarang.
Pemeriksaan untuk alergi makanan dapat in vivo atau in vitro. Pemeriksaan in vivo
untuk alergi makanan dengan tes kulit dan tes provokasi makanan. Sedangkan
pemeriksaan in vitro diantaranya adalah pemeriksaan IgE, antibodi monoklonal,

24
pelepasan histamin oleh basofil, dan pelepasan hitamin oleh sel mast intestinal. Tes
provokasi makanan merupakan baku emas untuk diagnosis alergi makanan.
Jika diagnosis alergi makanan telah ditegakkan, manajemen yang terbukti
efisien adalah menghindari makanan penyebab. Hal tersebut dapat dilakukan dengan
diet eliminasi dan perhatian pasien terhadap label makanan yang dijual. Edukasi dan
persiapan dalam menangani anafilaksis menjadi perhatian berikutnya. Imunoterapi
spesifik yang bermanfaat pada pasien alergi pollen tidak dianjurkan dilakukan pada
pasien alergi makanan, karena risiko anafilaksis. Pengobatan yang masih dalam
penelitian adalah terapi genetik dan anti-IgE.

25

Vous aimerez peut-être aussi