Vous êtes sur la page 1sur 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Suatu dokumen kontrak konstruksi harus benar-benar dicermati dan ditangani
secara benar dan hati-hati karena mengandung aspek hukum yang akan
mempengaruhi dan menentukan baik buruknya pelaksanaan kontrak. Pentingnya
Administrasi kontrak bertujuan untuk memastikan bahwasanya Pihak-pihak yang
terkait dalam kontrak tersebut dapat memenuhi kewajiban sesuai dengan
perjanjian. Walaupun kelihatannya sederhana, namun dalam kenyataannya
mengadministrasikan suatu kontrak tidaklah mudah.
Dalam kebiasaan pelaksanaan suatu kontrak konstruksi yang melibatkan
Owneer/Pengguna Jasa dan Kontraktor selaku Penyedia Jasa, posisi Penyedia
Jasa selalu dipandang lebih lemah daripada posisi Pengguna Jasa. Dengan kata
lain posisi Pengguna Jasa lebih dominan dari pada posisi Penyedia Jasa. Penyedia
Jasa hampir selalu harus memenuhi konsep/draf kontrak yang dibuat Pengguna
Jasa karena Pengguna Jasa selalu menempatkan dirinya lebih tinggi dari Penyelia
Jasa. Peraturan perundang-undangan yang baku untuk mengatur hak-hak dan
kewajiban para pelaku industri jasa konstruksi sampai lahirnya Undang-Undang
No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi, belum ada sehingga asas “Kebebasan
Berkontrak” sebagaimana diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPer) Pasal 1338 dipakai sebagai satu-satunya asas dalam penyusunan
kontrak. Dengan posisi yang lebih dominan, Pengguna Jasa lebih leluasa
menyusun kontrak dan ini dapat merugikan Penyedia Jasa.
Ketidak seimbangan antara terbatasnya pekerjaan Konstruksi/Proyek dan
banyaknya Penyedia Jasa mengakibatkan posisi tawar Penyedia Jasa sangat
lemah. Dengan banyaknya jumlah Penyedia Jasa maka Pengguna Jasa leluasa
melakukan pilihan. Adanya kekhawatiran tidak mendapatkan pekerjaan yang
ditenderkan Pengguna jasa/Pemilik Proyek menyebabkan Penyedia Jasa “rela”
menerima Kontrak Konstruksi yang dibuat Pengguna Jasa. Bahkan sewaktu proses
tender biasanya Penyedia Jasa enggan bertanya hal-hal yang sensitive namun
penting seperti ketersediaan dana, isi kontrak, kelancaran pembayaran, Penyedia
Jasa takut pihaknya dimasukkan dalam daftar hitam.

1
Dalam penyelenggaraan proyek konstruksi, fungsi-fungsi perencanaan dan
Pelaksanaan dilaksanakan secara terpisah-pisah oleh berbagai pihak
yang berbeda. Sejalan dengan meningkatnya aktivitas pembangunan berbagai
fasilitas infrastruktur yang disertai dengan kemajuan teknologi konstruksi, terdapat
peningkatan potensi timbulnya perbedaan pemahaman, perselisihan pendapat,
maupun pertentangan antar berbagai pihak yang terlibat dalam kontrak
konstruksi. Hal ini seringkali tidak dapat dihindari. Perselisihan yang timbul
dalam penyelenggaraan proyek-proyek konstruksi perlu diselesaikan sejak dini
dan memuaskan bagi semua pihak. Sehingga menjadi persengketaan dan
berakibat pada penurunan kinerja pelaksanaan konstruksi secara keseluruhan.
Sengketa konstruksi dapat timbul antara lain karena, keterlambatan penyelesaian
pekerjaan, perbedaan penafsiran dokumenkontrak, ketidak mampuan baik
teknis maupun manajerial dari para pihak.
Seringkali juga terjadi perselisihan disebabkan karena faktor eksteren Penyedia
jasa, seperti perbedaan gambar rencana dengan Spesifikasi teknis dan Bill of
Quantity, lambatnya keputusan direksi pekerjaan dalam suatu usulan material
atau design, adanya force majeure, dan lain-lain yang mengakibatkan
bertambahnya waktu penyelesaian dan biaya pelaksanaa pekerjaan. Sementara
kebiasaan pada proyek pemerintah terutama yang dibiayai oleh APBD/APBN
dibatasi oleh Tahun anggaran, dimana proyek harus diselesaikan sebelum tutup buku
anggaran.
Pembahasan Makalah kita saat ini difokuskan pada penyelesaian sengketa kontrak
konstruksi sebelum sampai melibatkan pihak ketiga ( mediasi, arbitrase, dll ) dan
kaitannya dengan kontrak konstruksi dan aspek hukumnya.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun yang menjadi Rumusan Masalah dalam makalah ini adalah :
1. Prinsip-prinsip Hukum apakah yang harus dipatuhi dalam suatu kontrak
konstruksi?
2. Aspek hukum apa sajakah yang perlu diperhatikan dalam kontrak konstruksi
sehingga tidak berdampak hukum?
3. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya sengketa konstruksi ?

4. Jenis Sengketa kontrak Konstruksi apakah yang sering terjadi dalam

2
pelaksanaan suatu kontrak konstruksi?
5. Kekuatan dokumen apa yang diperlukan dalam sengketa konstruksi?

1.3 Tujuan

Adapun yang menjadi tujuan dalam makalah ini adalah :

1. Dapat mengetahui prinsip – prinsip Hukum yang harus di patuhi dalam suatu kontrak
konstruksi
2. Untuk mengetahui aspek hukum apa saja yang perlu di perhatikan dalam kontrak
konstruksi sehingga tidak berdampak oknum
3. Untuk mengetahui factor-faktor yang menyebabkan sengketa konstruksi
4. Untuk mengetahui jenis sengketa kontrak konstruksi yang sering terjadi dalam
pelaksanaan suatu kontrak konstruksi
5. Untuk mengetahui kekuatan dokumen apa yang di perlukan dalam sengketa konstruksi.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Kontrak Konstruksi

Istilah kontrak kerja konstruksi merupakan terjemahan dari construction contract. Kontrak
kerja konstruksi merupakan kontrak yang dikenal dalam pelaksanaan konstruksi bangunan,
baik yang dilaksanakan oleh Pemerintah maupun pihak swasta. 42 Menurut Pasal 1 Ayat (5)
UUJK, Kontrak kerja kostruksi merupakan: “Keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan
hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi”.
Dalam kenyataan sehari-hari, istilah kontrak konstruksi sering juga disebut dengan perjanjian
pemborongan. Istilah pemborongan dan konstruksi mempunyai keterikatan satu sama lain.
Istilah pemborongan memiliki cakupan yang lebih luas dari istilah konstruksi. Hal ini
disebabkan karena istilah pemborongan dapat saja berarti bahwa yang dibangun tersebut bukan
hanya konstruksinya, melainkan dapat juga berupa pengadaan barang saja, tetapi dalam teori
dan praktek hukum kedua istilah tersebut dianggap sama terutama jika terkait dengan istilah
hukum/kontrak konstruksi atau hukum/kontrak pemborongan. Jadi dalam hal ini istilah
konstruksi dianggap sama, karena mencakup keduanya yaitu ada konstruksi
(pembangunannya) dan ada pengadaan barangnya dalam pelaksanaan pembangunan.
Menurut R. Subekti perjanjian pemborongan adalah perjanjian dimana pihak yang satu, si
pemborong mengikatkan diriuntuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang
memborongkan denganmenerima suatu harga yang ditentukan. 44 Dalam KUH Perdata ,
perjanjian pemborongan disebut dengan istilah pemborongan pekerjaan, sebagaimana yang
dinyatakan dalam Pasal 1601 (b) KUH Perdata bahwa : “Perjanjian peborongan adalah
perjanjian dengan mana pihak satu (sipemborong) mengikatkan diri untuk menyelenggarakan
suatu pekerjaan bagi pihak lain (pihak yang memborongkan) dengan menerima suatu harga
yang ditentukan Menurut Mariam Darus Badrulzaman, dilihat dari sistem hukum maka kontrak
bangunan merupakan salah satu komponen dari hukum bangunan (construction law,
bouwrecht). Istilah construction law biasa dipakai dalam kepustakaan anglo saxon, sedangkan
bouwrecht lazim dipergunakan dalam kepustakaan Hukum Belanda. Dengan demikian, yang
dinamakan hukum bangunan adalah seluruh perangkat peraturan perundang-undangan yang
bertalian dengan bangunan meliputi pendirian, perawatan, pembongkaran, penyerahan, baik
bersifat perdata maupun publik/administratif.

4
Dalam kontrak konstruksi, sebagaimana kontrak pada umumnya akan menimbulkan
hubungan hukum maupun akibat hukum antara para pihak yang membuat perjanjian.
Hubungan hukum merupakan hubungan antara pengguna jasa dan penyedia jasa yang
menimbulkan akibat hukum dalam bidang konstruksi. Akibat hukum, yaitu timbulnya hak dan
kewajiban diantara para pihak. Momentum timbulnya akibat itu adalah sejak
ditandatanganinya kontrak konstruksi oleh pengguna jasa dan penyedia jasa.

2.2 Pengaturan Hukum Tentang Kontrak Konstruksi


Penyelengaraan pengadaan bidang konstruksi di Indonesia telah diatur secara khusus dalam
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Dari segi substansinya,
kecuali mengenai segi-segi hukum kontrak, undang-undang ini cukup lengkap mangatur
pengadaan jasa konstruksi.47
Undang-undang ini dibuat pada masa reformasi. Latar belakang lahirnya undang-undang ini
karena berbagai peraturan perunang-undangan yang berlaku belum berorientasi pada
pengembangan jasa konstruksi yang sesuai dengan karakteristiknya. Hal ini mengakibatkan
kurang berkembangnya iklim usaha yang mendukung peningkatan daya saing secara optimal
maupun bagi kepentingan masyarakat. UUJK ditetapkan pada tanggal 7 Mei 1999 . ketentuan
terdiri atas 12 bab dan 47 pasal.48
Pengaturan lebih lanjut dari undang-undang ini tertuang dalam tiga peraturan pemerintah yaitu
: Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Serta Masyarakat Jasa
Konstruksi (PP No. 28/2000) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor
4 Tahun 2000 (PP No. 4/2010), Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (PP No. 29/2000) sebagaiman telah diubah dengan Peraturan
Presiden Nomor 59 Tahun 2010 (Perpres No. 59/2010), dan Peraturan Pemerintah Nomor 30
Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi (PP No. 30/2000).
Dalam kaitannya dengan pengadaan jasa konstruksi, tata cara dan prosedur pengadaan barang
dan jasa untuk kepentingan instansi Pemeritah, telah diatur dalam Keputusan Presiden
(Keppres) No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah yang telah disempurnakan melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 Tahun
2010. Kemudian Perpres No. 54 Tahun 2010 diubah melalui Peraturan Presiden (Perpres) No.
70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah. Selain itu, terkait dengan izin usaha konstruksi dalam hal ini terdapat
Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan Nomor 23 Tahun 2002 dan Peraturan Daerah Kabupaten
Asahan Nomor 35 Tahun 2008 tentang Retribusi Izin Usaha Jasa Konstruksi.

5
Para pihak yang terlibat dalam pelaksanaan kontrak konstruksi, adalah sebagai berikut :
Pihak pengguna jasa sering juga disebut sebagai pemeberi tugas, yang memborongkan,
pemimpin proyek, dan lain-lain. Pengguna jasa adalah pereseorangan atau badan pemberi tugas
atau pemilik pekerjaan/proyek yang memerlukan layanan jasa konstruksi.50 Pengguna jasa
mempunyai hubungan dengan para perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas
konstruksi.

2.3 Peserta Dalam Kontrak Konstruksi


Pihak Pengguna Jasa, badan usaha, baik badan hukum maupun tidak berbadan hukum; dan
badan yang bukan badan usaha tapi berbadan hukum, yaitu pemerintah dan atau lembaga
negara dimana pemerintah dan atau lembaga negara dengan menggunakan anggaran yang telah
ditentukan baik dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pihak penyedia jasa sering juga disebut sebagai
kontraktor, pemborong, rekanan, dan lain-lain. Dengan berlakunya UUJK, maka telah
dirumuskan pengertian jasa konstruksi. Pengertian jasa konstruksi senagaimana yang
dinyatakan dalam Pasal 1 Angka 1 UU Jasa Konstruksi tersebut , menunjukkan bahwa
hubungan hukum yang diatur dan diakui oleh Negara ada tiga yaitu perencanaan, pelaksanaan
pekerjaan, dan pengawasan.
Dalam hal kontrak pengadaan jasa konstruksi, khususnya yang dilakukan oleh Pemerintah telah
diatur dalam ketentuan Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah. Adapun pihak-pihak atau peserta yang terlibat dalam Pengadaan Barang/Jasa oleh
Pemerintah berdasarkan Pasal 7 dan 19 Perpres No. 54 Tahun 2013 adalah sebagai berikut :
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disebut PA adalah Pejabat pemegang kewenangan
penggunaan anggaran Kementrian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Pejabat yang
disamakan pada institusi lain Pengguna APBN/APBD. Sedangkan Kuasa Pengguna Anggaran
yang selanjutnya a. PA/KPAdisebut KPAadalah Pejabat yang ditetapkan oleh PA untuk
menggunakan APBN atau ditetapka oleh Kepala Daerah untuk menggunakan APBD Pejabat
Pembuat Komitmen yang selanjutnya disebut PPK adalah pejabat yang ditetapkan PA/KPA
untuk bertanggung jawab atas pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.
Unit Layanan Pengadaan yang selanjutnya disebut ULP adalah unit organisasi pemerintah yang
berfungi melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri
atau melekat pada unit yang sudah ada. Sedangkan Pejabat Pengadaan adalah personil yang
memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa yang melaksanakan pengadaan
barang/jasa.

6
Panitia/ Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan adalah panitia/pejabat yang ditetapkan oleh
PA/KPA yang bertugas memeriksa dan menerima hasil pekerjaan.
Penyedia Barang/Jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan yang menyediakan
Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Konsultasi/Jasa Lainnya.

2.4 Proses Terjadinya Kontrak Konstruksi


Dalam proses terjadinya suatu kontrak konstruksi terdapat tahapan-tahapan yang harus
dilakukan oleh para pihak. Seperti kontrak pada umumnya, tentu saja diawali dengan adanya
2 (dua) pihak atau lebih yang sepakat untuk mengadakan suatu perjanjian pengadaan pekerjaan
konstruksi. Proses terjadinya kontrak konstruksi dimulai dengan proses pemilihan pihak
kontraktor atau penyedia jasa oleh pihak pengguna jasa. Adapun tahapan-tahapan yang harus
dilalui dalam proses terjadinya kontrak kontruksi berdasarkan Perpres Nomor 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

2.5 Tahap Pembuatan Kontrak


Tahapan selanjutnya adalah pembentukan kontrak antara pihak pengguna jasa atau PPK
dengan penyedia jasa yang dinyatakan sebagai pemenang. Para pihak harus segera melengkapi
dokumen-dokumen yang diperlukan dalam pembuatan kontrak, setelah semua lengkap maka
dikeluarkanlah surat perjanjian (kontrak). selanjutnya para pihak akan saling merevisi,
melengkapi isi atau klausul dalam perjanjian tersebut. Apabila telah terjadi kesepakatan, para
pihak wajib menandatangani kontrak tersebut. Selanjutnya kontrak tersebut akan menjadi
acuan atau pedoman bagi para pihak untuk melaksanakan pekerjaan.

7
2.6 Berakhirnya Kontrak Konstruksi
Suatu kontrak konstruksi akan berkahir apabila terjadi hal-hal sebagai berikut:
Penghentian kontrak terjadi apabila pekerjaan sudah selesai dan setelah masa pemeliharaan
selesai atau dengan kata lain pada penyerahan kedua dan harga telah dibayar oleh pihak
pengguna jasa.
Dengan berakhirnya kontrak dalam hal ini, maka pengguna jasa wajib membayar kepada
Penyedia sesuai dengan prestasi pekerjaan yang telah dicapai.
Dalam hal pemutusan kontrak yang dilakukan karena kesalahanPenyedia Jasa, maka dapat
disertai sanksi berupa: Dalam hal pemutusan Kontrak yang dilakukan karena Pengguna Jasa
terlibat penyimpangan prosedur, melakukan KKN dan/ataupelanggararan persaingan sehat
dalam pelaksanaan Pengadaan, maka Pengguna Jasa dikenakansanksi berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Bertitik dari prinsip proporsionalitas seharusnya sanksi tersebut bersifat
fakultatif bukan komulatif. Prinsip proporsionalitas dalam hal ini digunakan untuk menilai
apakah kesalahan penyedia jasa secara proporsional layak digunakan sebagai alasan dalam
memutus kontrak.
1) Jaminan Pelaksanaan dicairkan;
2) Sisa Uang Muka harus dilunasi oleh Penyedia atau JaminanUang Muka dicairkan
(apabila diberikan);
3) Penyedia Barang/Jasa membayar denda keterlambatanterhadap bagian kontrak yang
terlambat diselesaikansebagaimana ketentuan dalam kontrak, apabila
pemutusankontrak tidak dilakukan terhadap seluruh bagian kontrak;
4) Penyedia dimasukkan dalam Daftar Hitam.

8
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Prinsip Hukum dalam Kontrak Konstruksi


Dalam KUH Perdata Indonesia tidak banyak mengatur tentang kontrak
konstruksi. Kebanyakan ketentuan tenatang hukum konstruksi tersebut bersifat
hukum mengatur, jadi umumnya dapat dikesampingkan oleh para Pihak. Adapun
prinsip-prinsip yuridis mengenai kontrak konstruksi yang terdapat dalam KUH
Perdata adalah sebagai berikut :
3.1.1 Prinsip Korelasi antara tanggung jawab para pihak dengan kesalahan dan
penyediaan bahan bangunan.
3.1.2. Prinsip ketegasan Tanggung jawab Pemborong jika bangunan musnah
karena cacat dalam penyusunan atau faktor tidak ditopang
oleh kesanggupan tanah.
3.1.3. Prinsip Larangan Merubah harga kontrak.
3.1.4. Prinsip kebebasan pemutusan kontrak secara sepihak oleh Pihak Bowheer.
3.1.5. Prinsip kontrak yang melekat dengan Pihak Pemborong.
3.1.6. Prinsip Vicarious Liability (Tanggung Jawab Pengganti)
3.1.7. Prinsip Hak retensi

Sedangkan prinsip hukum pemborongan dalam undang-undang jasa konstruksi No. 8


Tahun 1999 berdasarkan pada azas-azas kejujuran dan keadilan, Azas manfaat, azas
keserasian,keseimbangan, kemkitraan serta azas keamanan dan keselamatan dan kepentingan
masyarakat dan Negara.

3.2 Aspek Hukum Kontrak Konstruksi

Sesuai dengan pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwasanya seluruh


perjanjian yang dibuat secara syah merupakan undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Sehingga suatu dokumen kontrak sesungguhnya adalah hukum.
Adapun beberapa aspek hukum yang sering menimbulkan dampak hukum yang
cukup luas yaitu :
a. Penghentian Sementara Pekerjaan
b. Pengakhiran perjanjian/Pemutusan kontrak.

9
c. Ganti rugi keterlambatan
d. Penyelesaian perselisihan
e. Keadaaan memaksa/Force majeure
f. Hukum yang berlaku
g. bahasa Kontrak
h. Domisili

3.3 Faktor Penyebab Sengketa Konstruksi


Berbagai faktor potensial penyebab perselisihan dalam pelaksanaan suatu
proyek konstruksi, dikelompokkan dalam 3 aspek yang saling terkait satu dengan
yang lainnya, sbb :
3.3.1 Aspek teknis/mutu
• faktor perubahan lingkup pekerjaan
• faktor perbedaan kondisi lapangan
• faktor kekurangan material yang sesuai dengan spesifikasi teknis
• faktor keterbatasan peralatan
• faktor kurang jelas atau kurang lengkapnya gambar rencana dan/atau
spesifikasi teknis.

3.3.2 Aspek waktu


• faktor penundaan waktu pelaksanaan pekerjaan
• faktor percepatan waktu penyelesaian pekerjaan
• faktor keterlambatan waktu penyelesaian pekerjaan
3.3.3 Aspek biaya
• faktor penambahan biaya pengadaan sumber daya proyek
• faktor penambahan biaya atas hilangnya produktivitas
• faktor penambahan biaya atas biaya overhead dan keuntungan.

Ketidakpastian sudah merupakan risiko dalam suatu proyek konstruksi,


tidak semua hal secara detil dapat ditentukan dengan baik selama proses
perencanaan sehingga para pihak yang terlibat harus menyelesaikannya setelah
masa pelaksanaan dimulai. Penyusunan dokumen kontrak yang adil bagi semua
pihak untuk mengatur hubungan seperti dalam proyek konstruksi yang memiliki
sedikit banyak tingkat ketidakpastian menjadi sesuatu yang tidak mudah.

10
Penggunaan kontrak konstruksi yang standar belum umum dilakukan di Indonesia,
apalagi untuk keperluan pengaturan hubungan yang bersifat subkontraktual.
Aturan- aturan dalam kontrak yang sulit menghilangkan seluruh “celah” (gaps)
seringkali diperparah dengan sifat oportunisnik dari para pelaku yaitu pihak yang
memiliki posisi tawar yang lebih tinggi. Pihak dengan posisi tawar yang lebih
tinggi ini bisa di lakoni oleh pemilik, perencana, pengawas, kontraktor, subkontraktor, atau
pemasok tergantung pada situasi yang di hadapi.

3.4 Jenis Sengketa konstruksi


Seingnya terjadi sengketa dalam pelaksanaan suatu kontrak konstruksi
terjadi karena adanya perubahan lingkup pekerjaan pada waktu
pelaksanaan konstruksi, yang bagi penyedia jasa dapat mengakibatkan adanya
berakibat pada waktu penyelesaian pekerjaan serta perubahan biaya
pelaksanaan pekerjaan. Adapun jenis sengketa dalam suatu proyek
konstruksi dikelompokkan seperti
tabel berikut ;
Penyebab Sengketa
No. Jenis Sengketa
A B C D E F G H I J
1 Biaya V V V V V
2 Waktu Pelaksanaan V V V V
3 Lingkup Pekerjaan V V
4 Gabungan Biaya, Waktu & Lingkup
V V V V V V V
Pekerjaan
Dimana :
A = Perizinan
B = Surat Perjanjian Kerjasama ( Kontrak )
C = Persyaratan Kontrak
D = Gambar Rencana
E = Spesifikasi teknis
F = Rencana Anggaran Biaya / BofQ
G = Administrasi Kontrak
H = Kondisi Lapangan
I = Kondisi Ekternal
J = Etika Profesi

11
Dari tabel diatas terlihat, bahwasanya jenis sengketa yang paling sering terjadi
adalah gabungan biaya, waktu dan lingkup pekerjaan. Jenis sengketa ini sering
terjadi saat pelaksanaan konstruksi karena sering terjadinya perubahan
perubahan lingkup pekerjaan pada waktu pelaksanaan konstruksi, yang bagi
penyedia jasa (kontraktor) dapat mengakibatkan adanya perubahan biaya pada
pelaksanaan pekerjaan dan juga dapat berakibat adanya perubahan waktu
pelaksanaan konstruksi. Dalam hal ini, batasan dana (anggaran) yang dimiliki oleh
pemilik pada saat pelaksanaan konstruksi juga sangat berpengaruh terhadap
terjadinya sengketa.
Menurut survey yang dilakukan Soekirno, dkk ( 2006 ) yang ditulis dalam Makalah
yang ditulis oleh Poernomo Soekirno, dkk ( FTSL, ITB Bandung ), terhadap
beberapa kontraktor nasional di Jawa Timur, penyebab sengketa yang sering
terjadi berdasarkan hasil survei tersebut adalah kondisi eksternal (26,79%),
gambar rencana (21,43%), kondisi lapangan (19,64%) dan spesifikasi teknis
(16,07%). Temuan ini sejalan dengan kenyataan bahwa pada tahap pelaksanaan
konstruksi bangunan gedung, kinerja kontraktor dipengaruhi oleh perubahan
kondisi eksternal, seperti kebijakan pemerintah dalam ekonomi dan fiskal, serta
kondisi sosial. Sebagai contoh bila terjadi lonjakan perubahan harga atau biaya
baik tenaga kerja, bahan/material, peralatan dll,dapatmenyebabkan
tersendatnya pelaksanaan pekerjaan di lapangan karena harga kontrak awal yang
diajukan oleh penyedia jasa (kontraktor) sangat jauh berbeda dengan harga pada
saat pelaksanaan pekerjaan. Agar pekerjaan dapat tetap diselesaikan maka
penyedia jasa (kontraktor) akan mengajukan permintaan perubahan kepada pihak
pemilik baik perubahan biaya, perubahan waktu maupun gabungan antara
perubahan biaya, waktu dan lingkup pekerjaan (jasa). Pada tahun 2005, kondisi
ekonomi dalam negeri masih belum stabil, termasuk adanya kenaikan harga dasar
bahan bakar minyak (BBM) yang signifikan, mempengaruhi harga-harga bahan
dasar material untuk pekerjaan konstruksi dan
menyebabkan terjadinya pembengkakan biaya untuk menyelesaikan
pekerjaan konstruksi.
Perubahan gambar rencana sering terjadi di lapangan. Gambar rencana berbeda
dengan hasil akhir pembangunan sesuai yang diinginkan oleh pihak pemilik.

12
3.5 Kekuatan hukum dokumen dalam kontrak konstruksi
Dalam pelaksanaan proyek konstruksi, kadang kita menemui kesulitan untuk
melaksanakan perintah karena perintahnya berbeda dengan isi dokumen kontrak.
Kesulitan lainnya yang sering terjadi adalah perbedaan isi dokumen yang satu
dengan yang lainnya. Untuk itu prinsip dari kekuatan atau prioritas untuk diikuti
dan dilaksanakan adalah : ” Dokumen yang terbit lebih akhir adalah yang lebih
kuat/mengikat untuk dilaksanakan.”.
Apabila tidak ditentukan lain, sesuai dengan prinsip tersebut diatas, maka urutan
prioritas pelaksanaan pekerjaan adalah berdasarkan :
1. Instruksi tertulis dari Konsultan MK (jika ada)
2. Addendum Kontrak (jika ada)
3. Surat Perjanjian Pemborongan dan Syarat-syarat perjanjian
4. Surat Perintah Kerja, Surat Penunjukan
5. Berita Acara Negosiasi
6. Berita Acara Klarifikasi
7. Berita Acara Aanwijzing
8. Syarat-syarat Administrasi
9. Spesifikasi teknis
10. Gambar Rencana dan Rincian Nilai Kontrak

13
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Adapun yang menjadi kesimpulan dalam makalah ini adalah :

1. Bahwasanya dokumen kontrak sangat penting dicermati, dipahami dan


dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh para pihak yang
terlibat didalamnya, karena mengandung aspek hukum yang berdampak
hukum bila Para Pihak lalai dalam melaksanakan kewajibannya.
2. Dalam pelaksanaan suatu proyek konstruksi dengan tingkat kompleksitas
sumber daya, metode, serta permasalahan lainnya, sangat memungkinkan
timbulnya suatu perselisihan/sengketa. Untuk itu Para Pihak harus dapat
menyelesaiakannya dengan sebaik-baiknya dengan keputusan yang tidak
merugikan salah satu pihak yang bersengketa.
3. Jenis sengketa yang banyak terjadi dalam pelaksanaan suatu kontrak
konstruksi lebih banyak disebabkan oleh faktor ekternal yang sejalan
dengan kenyataan bahwasanya kinerja kontraktor selaku penyedia jasa
dipengaruhi oleh perubahan eksternal tersebut.

4.2 Saran

Adapun yang menjadi Saran dalam makalah ini adalah :

Untuk meminimalkan potensi terjadinya sengketa dalam suatu pelaksanaan


kontrak suatu proyek konstruksi, para pihak disarankan untuk :
1. Memahami administrasi kontrak dan pengadministrasian kontrak tersebut.
2. Memahami kontrak secara keselurahan, termasuk aspek hukum yang
terkandung di dalam kontrak tersebut.
3. Memenuhi kewajibannya sesuai kontrak
4. Mengelola kontrak dengan fair.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. PT. PP (PERSERO), ”Buku Referensi untuk Kontraktor Bangunan Gedung dan


Sipil”.Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta (2003).
2. Ir. H. Nazarkhan Yasin, ”Mengenal Kontrak Konstruksi di Indonesia”. Penerbit
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta (2006).
3. Munir Fuady, SH.,M.H.,LL.M, “Kontrak Pemborongan Mega Proyek”, Penerbit
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung (2002).
4. Iman Soeharto, ”Manajemen Proyek ; dari konseptual sampai operasional”.
Penerbit Erlangga, Jakarta (1995).
5. Purnomo Soekirno, dkk, paper “Sengketa dalam Penyelenggaraan Konstruksi
di Indonesia ; Penyebab dan Penyelesaiannya”. FTSL ITB.
6. Kristiawan, paper ‘Perubahan Lingkup Pekerjaan”. Migas Indonesia (2006)
7. UU No. 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi
8. Kepres No. 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa.

15

Vous aimerez peut-être aussi