•Bersiaplah menjadi alat peraga kehidupan, termasuk lewat pengalaman yang buruk dan menyedihkan. Nabi Ayub ‘cerai hidup’, Abraham menjual istrinya karena rasa takut; Anak Rick Warren mati bunuh diri, Raja Daud mengambil istri Uria dengan paksa…”
•Selalu tersisa pertanyaan ini: “Mengapa orang baik harus mengalami kejadian buruk?”•
Setelah sekian lama masyarakat dan wartawan penasaran, akhirnya Fifi, pengacara Ahok, 31 Januari 2018 lalu membukakan kepada publik lewat media massa alasan utama Ahok menceraikan Istrinya Vero. Yakni hadirnya “orang ketiga” dalam hidup Vero, serta proses konflik Ahok dan Vero yang sudah berlangsung 7 tahun. Alasan sesungguhnya diungkap ke publik. Seperti sebagian isi catatan harian Ahok yang kita baca di media.
Ahok akhirnya memutuskan menghentikan sandiwara yang selama ini ia tutup rapat-rapat. Jadi perceraian Ahok bukan polesan politik apalagi hoax. Ini adalah kisah tentang anak manusia yang banyak terjadi di sekitar kita.
Proses Panjang Bagi Ahok, keputusan menceraikan Vero sudah melewati proses pergumulan yang panjang. Sama seperti umumnya keluarga, dengan banyak perbedaan dan harapan, tentu ada konflik, kekecewaan, dan rasa marah yang silih berganti. Kalau mereka bisa bertahan lebih 20 tahun, itu juga suatu anugerah. Mereka juga manusia sama seperti kita yang tidak kebal dengan luka dan kemarahan.
Ahok adalah figur publik, yang memesona banyak pengagumnya, termasuk penulis. Dia dikenal sebagai orang Kristen yang taat dengan doktrin yang ketat. Ketika dia akan menuntut Vero ke pengadilan tentu Ahok sadar keputusannya akan berisiko mencemarkan nama baiknya, istri, dan anak-anaknya.
Di sisi lain Ahok dikenal sebagai orang yang punya prinsip, sangat tegas untuk menyatakan kebenaran. Tapi ketika harus menyatakan kebenaran kepada istrinya sendiri, Ahok perlu waktu berpikir panjang, 7 tahun.
Proses saling memahami dan mengampuni di antara Ahok dan Vero terjadi tiap hari seperti umumnya pasangan suami dan Istri. Sayangnya sistem pernikahan mereka tidak berjalan dengan baik.
Keputusan Berani Kelebihan Ahok adalah dia secara sadar melakukan dan memutuskan, dan tidak sembunyi-sembunyi. Meski keluarga dan pengacara sempat bungkam pada awalnya setelah surat diajukan ke pengadilan.
Ahok bisa saja terus menerus membiarkan konflik mereka, seolah tidak terjadi apa-apa. Kompromi demi nama baik keluarga. Tapi Ahok tidak melakukan itu. Harap pembaca mengerti. Ini sama saja jika Anda melihat anak umur 4 tahun bermain api, apakah anda akan terus membiarkannya?
Saat ini Ahok di dalam penjara, jauh dari kekuasaan seperti saat dirinya masih menjadi gubernur. Meski Ahok berusaha tegar beriman di Mako Brimob, tetap saja dia marah, sedih dan sensitif mendengar berita tentang istrinya yang keras kepala dan tidak mau mendengarkan nasihatnya sebagai suami. Terutama melihat hubungan Vero dengan sahabatnya JT.
Kesepian Di sisi lain, dari sharing dengan orang dekat Vero, masa kecilnya dibesarkan dalam sistem keluarga yang tidak ideal. Vero terbatas mendapat teladan dan perhatian Orangtua. Tentu sedikit banyak mempengaruhi Vero dalam hubungannya dengan Suaminya. Meski wajahnya lembut, Vero punya prinsip dan kemauan yang kokoh, cenderung keras kepala.
Ia mengharapkan suami sesudah pulang kerja memberi waktu yang cukup untuk keluarga. Tapi kenyataannya berbeda. Karier sebagai politikus telah merampas sebagian besar waktu suaminya, dan ini membuat Vero kesal. Vero kesepian, karena merasa kebutuhan emosinya diabaikan. Vero juga berulang kali meminta agar suaminya tidak lagi terjun di dunia politik.
Kepribadian Vero bukanlah orang yang suka hal protokoler, atau ritual acara di pemerintahan. Dia jauh lebih suka menjadi wanita biasa yang bebas. Tak heran diam-diam ia menderita karena merasa terkekang. Selama suaminya di dunia politik Vero tidak bisa menjadi dirinya sendiri. Ia menyimpan banyak kekecewaan.
Sebaliknya, Ahok merasa dunia politik dan birokrasi adalah panggilan hidupnya. Sejak menjadi wagub dan kemudian gubernur Jakarta kegilaan kerja Ahok menjadi sangat sulit dihentikan, termasuk ketika dia mencalonkan diri lagi menghadapi Anies-Sandi dengan banyak fitnah dan kampanye hitam. Ini benar-benar menguras emosi, enerji dan waktunya. Ahok makin tidak sempat memperhatikan jeritan emosi istrinya, kecuali menyoroti kesalahan Vero yang punya “teman dekat”.
Pertanyaannya, apakah Ahok bekerja sungguh-sungguh sepenuhnya hanya demi visi dan kepentingan rakyat? Ataukah visi itu telah bercampur dengan ambisi pribadi? Tentu hanya Ahok yang bisa menjawab. Tetapi yang jelas di mata Vero, sang suami telah gagal memenuhi kebutuhan pribadinya. Itu sebabnya Vero membutuhkan “best friend” untuk mengisi kekosongan emosinya.
Vero sendiri marah karena menganggap suaminya sendiri telah “selingkuh” dengan kariernya, dan dia hanya menjadi orang kedua bagi Ahok. Dia merasa Ahok sangat egois, tidak peduli akan kebutuhan pribadinya. Sementara itu dia sejak berusia masih 20an sudah harus menjadi Ibu bagi anak-anak dan membela karier suaminya. Sampai akhirnya pertahanan pribadi Vero jebol.
Kesabaran Habis Dalam situasi ini, seorang pria bernama JT memasuki hati Vero dan menjadi “sahabat baik” dan mereka saling cocok.
Hal ini memicu kemarahan Ahok, tapi Ahok tidak berdaya. Meski sudah berulang kali menegur Vero, istrinya ini tetap keras kepala dan mengabaikan suaminya. Vero berpikir, mana mungkin suaminya yang taat beragama itu akan menceraikan dirinya. Tapi Vero salah perhitungan. Kesabaran Ahok akhirnya habis.
Setelah bertahun-tahun permintaannya agar Vero meninggalkan ”teman dekatnya” itu, diabaikan, Ahok akhirnya memutuskan menceraikan istrinya. Inilah latar belakang Ahok menceraikan Vero, dan sekaligus menjadi alasan Vero tidak mau berjuang di pengadilan untuk mempertahankan perkawinannya. Perjuangan bahtera rumah tangga mereka akhirnya kandas. Meski kita tidak setuju, tapi perlu kita mengerti. Prinsip Ahok sangat kuat dalam hidup pernikahannya: tidak boleh bercerai kecuali karena ZINAH.
Sumber Masalah Keluarga Kasus Ahok-Vero memberikan banyak pelajaran berharga untuk kita renungkan. Ini menjadi semacam cermin dan alat peraga, agar kita sendiri bisa mengevaluasi kualitas dan kepuasan pernikahan kita.
Hal paling mendasar ialah, masalah perkawinan tidaklah terjadi di dalam pernikahan, tapi jauh sebelum kita menikah.
Ada empat sumber utama masalah keluarga: 1. Miskinnya pengenalan akan pasangan, terutama keluarga asal masing-masing. Sebagian besar kebiasaan, emosi, nilai, tradisi keluarga dan kecenderungan kepribadian diadopsi dari keluarga asal.
2. Dibesarkan dalam sistem keluarga yang tidak sehat dan tidak berfungsi. Tidak mendapatkan teladan keayahan dan kesuamian, atau keibuan dan keistrian, dari orang tua.
3. Membawa luka dan kemarahan tersembunyi dari masa lalu terutama dari orang tua. Masa lalu yang buruk yang di bawa ke dalam pernikahan menjadi “bom waktu” yang sewaktu- waktu bisa meledak jika ada pencetusnya.
4. Minimnya skill dan pengetahuan menjadi Suami dan Ayah, menjadi Istri dan Ibu. Bimbingan Pranikah relatif tidak memadai, ditambah lagi, sangat kurang membaca buku. Akhirnya pasangan itu hanya mengulangi kebiasaan lama orang tua, termasuk dalam mengasuh anak.
Tidak heran, di ruang konseling kami menjumpai banyak kasus perkawinan berakhir bukan karena masalah- masalah yang besar melainkan disebabkan hal-hal yang sepele.
Alasan-alasan Mempertahankan Pernikahan
Jika relasi pernikahan kita semakin hari makin buruk, lalu apa alasan kita bertahan? Apakah cinta bisa membuat kita bertahan?
Cinta adalah alasan buruk untuk menikahi orang lain. Ya jika hanya cinta. Sebab cinta datang dan pergi.
Pernikahan harus memiliki dasar komitmen antara pasangan, dan iman dan rasa takut dan hormat kepada Tuhan Yesus. Komitmen itulah yang akan memberikan suami-istri kemauan dan kekuatan untuk mencintai pasangan dengan tulus.
Prof. Brent Thomason, berkata, “Aku tidak bangun pada pagi hari, mengganti pampers bayiku, menyiapkan makan pagi, bekerja keras sepanjang hari, dan menyisihkan uang yang kudapat tiap bulan untuk tabungan keluargaku karena aku mencintai istriku. Tidak! Aku bisa mencintainya satu hari, dan tidak merasa cinta padanya di hari selanjutnya. Bukan itu alasannya. ALASAN aku berjuang untuk keluargaku adalah komitmen janjiku kepada istriku, bahwa dia adalah pasangan hidupku yang akan kucintai sampai aku mati, dan janjiku kepada Tuhanku yang aku hormati, takuti, dan kasihi."
Selain pernikahan itu perjanjian yang harus dipegang, perkawinan adalah sebuah panggilan. Kita dipanggil untuk merawatnya dengan serius. Kalau sistem pernikahan menjadi sakit dan bermasalah, jika ada salah satu yang jatuh ke dalam dosa, maka semua ikut bertanggung jawab mengatasinya. Tidak etis kalau kita saling menyalahkan.
Terakhir, perkawinan adalah warisan. Nilai, tradisi dan teladan perkawinan diwariskan kepada anak, cucu dan generasi kemudian. Pernikahan sehat atau sakit akan mempengaruhi generasi kemudian. Contoh, seorang anak yang dibesarkan ibu yang berselingkuh mempunyai alasan ketika dia melakukan yang sama. Apa yang kita tabor, kelak dituai.
Alat Peraga Negatif Pengalaman Pendeta Rick Warren pernah mengagetkan banyak orang. Anak bungsunya mati bunuh diri.
Rick Warren adalah figur publik yang memesona dunia lewat bukunya, "The Purpose Driven Life", namun perjalanan hidupnya penuh onak duri. Bagaimana tidak, Rick Warren adalah seorang yang baik tapi diizinkan Tuhan mengalami hal yang buruk. Ia menjadi alat peraga di tangan Tuhan.
Nasibnya mirip dengan Ayub. Semua anak Ayub mati karena bencana. Hartanya ludes dan ia jatuh sakit, penuh borok. Puncak cobaan ini adalah saat istrinya pergi meninggalkan Ayub dengan caci-maki yang memedihkan hati. Cerai hidup. Selalu ada pertanyaan sepanjang zaman, "Mengapa orang baik harus mengalami kejadian buruk?”
Saat mengajar anak kecil umumnya guru dan orang tua memakai alat peraga. Tujuannya agar anak mudah menangkap pelajaran. Dengan demikian anak memahami apa yang sedang kita ajarkan. Alat peraga menjadi sesuatu yang dapat dilihat, diraba, dirasa dengan indera kita, sehingga pengertian kita bertambah dan bertahan lama.
Demikianlah halnya pengalaman hidup Rick Warren, Ayub dan mungkin Ahok bisa menjadi alat peraga di tangan Tuhan. Ini menjadi pembelajaran bagi kita, meski sebagai alat peraga negatif. Meski Ayub, Abraham atau Daud gagal di mata manusia, Allah tidak berpaling dari mereka, janjiNya tetap digenapi karena Dia setia.
Ketika Tuhan ingin berbicara kepada kita. Dia tidak hanya berbicara lewat Firman yang tertulis. Ada kalanya Tuhan menggunakan pengalaman seseorang menjadi “alat peraga” untuk berbicara kepada kita.
Suatu hari yang menjadi alat peraga itu bisa juga Anda atau saya. Masalahnya tidak selalu sebagai alat peraga positif. Tapi bisa juga menjadi alat peraga negatif. Ayub adalah salah satu contoh alat peraga negatif yang super istimewa. Dia kehilangan anak, harta benda, kesehatannya hingga kehilangan sahabat dan istrinya. Tetapi justru kisah hidupnya yang buruk itu menjadi penghiburan bagi kita. Menjadi alat peraga ditangan Tuhan.
Bersiaplah menjadi alat peraga dalam tangan Tuhan. Tidak saja lewat pengalaman yang menyenangkan, tetapi juga melalui peristiwa buruk dan menyedihkan.
Bagaimana Bersikap Kalau kita mendengar orang yang kita sayangi akan bercerai tentu respons kita beragam. Tapi setiap kita perlu untuk memahami secara mendalam keputusan orang yang melakukannya. Meski kita tidak setuju janganlah menghakimi tanpa pernah mengerti. Terutama kita dipanggil mendoakan mereka
Sebagai konselor keluarga yang menangani banyak kasus konflik, rumah tangga saya sadar betapa pentingnya pimpinan gereja memperkuat sendi pernikahan umat sejak awal, lewat Konseling Pranikah. Dengan demikian, setiap yang mau menikah punya ilmu dan skill untuk menyelamatkan pernikahan, sejak sebelum dimulai.
PENUTUP
Nasi telah menjadi bubur, semoga Ahok dan Vero bisa mengubahnya menjadi bubur ayam yang enak.
Kasus Ahok dan Vero mengguncangkan banyak orang. Tapi kita terap berharap masih bisa dimediasi sehingga perceraian tidak jadi. Ataupun jika nanti hakim memutuskan, berharap mereka bisa rujuk kembali. Kalaupun tidak, semoga pembaca berjaga-jaga menjadikan kisah mereka menjadi alat peraga, agar kita waspada. Pengalaman Ahok dan Vero menjadi alat peraga negatif berharga bagi kita.
Maaf catatan harian ini terbatas, semoga tetap menjadi berkat.
Julianto Simanjuntak Catatan Harian, 5 Feb 2018
Visi LK3: Melihat Satu pusat Konseling di setiap Kota, tersedianya Konselor, Psikolog dan Psikiater secara merata di Indonesia. (Julianto-Roswitha)