Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
hidung dan rinorea. Rinitis alergika sering ditemukan pada pasien dengan usia <
20 tahun, sedangkan pada rinitis vasomotor lebih banyak dijumpai pada dekade ke
dan hipersekresi.
penyebabnya adalah alergi. Akibatnya type rinitis yang lain (non allergic rinitis /
rinitis vasomotor dan mixed rinitis) sering kali tidak terdiagnosa. Hal ini perlu
tidak memuaskan.
menyebabkan dokter umum sebagai primary care sering tidak tepat dalam
menegakkan diagnosa pada rinitis vasomotor biasanya ditemukan adanya skin tes
yang (-) dan tes allergen yang (-). Sedangkan rhinitis alergika murni mempunyai
1
Menejemen pengelolaan pada rinitis vasomotor bervariasi antara lain dengan
2
BAB II
embrional bagian kepala berkembang membentuk dua bagian rongga hidung yang
berbeda, kedua adalah bagian dinding lateral hidung yang kemudian berinvaginasi
3
menjadi kompleks padat, yang dikenal dengan konka (turbinate), dan membentuk
sebagai bagian yang terpisah yaitu daerah frontonasal dan bagian pertautan
otak bagian depan, mendukung pembentukan olfaktori. Bagian medial dan lateral
akhirnya akan menjadi nares (lubang hidung). Septum nasal berasal dari
terbentuk, yang tampak sebagai dinding lateral hidung dengan struktur yang masih
sederhana. Usia kehamilan tujuh minggu, tiga garis axial berbentuk lekukan
invaginasi meatus media. Dan pada saat yang bersamaan terbentuknya prosesus
unsinatus dan bula ethmoidalis yang membentuk suatu daerah yang lebar disebut
hiatus emilunaris.
sel etmoidalis anterior yang berasal dari invaginasi bagian atap meatus media dan
sel ethmoidalis posterior yang berasal dari bagian dasar meatus superior. Dan
akhirnya pada usia kehamilan tiga puluh enam minggu, dinding lateral hidung
terbentuk dengan baik dan sudah tampak jelas proporsi konka. Seluruh daerah
4
sinus paranasal muncul dengan tingkatan yang berbeda sejak anak baru lahir,
adalah sinus etmoid, diikuti oleh sinus maksilaris, sfenoid , dan sinus frontal.
5
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah yaitu pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak
hidung (tip), ala nasi, Columela dan lubang hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os
kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang
kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor
belakang di pisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di
belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit
vibrise.
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk
6
oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os
etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian
periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih
kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema.
dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan
yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus
inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior
dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior
konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat
muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus
superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media,
7
Batas rongga hidung terdiri dari dinding inferior yang merupakan dasar
rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior
atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologis dan fungsional
(olfaktorius).
columnar ephitelium) , yang mempunyai sillia dan diantaranya terdapat sel goblet.
Pada bagian yang terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-
kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel squamosal. Dalam keadaan normal
mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi palut lendir
(mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar
penting. Dengan gerakan sillia teratur palut lendir di dalam kavum nasi akan
membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang
8
Ganguan pada fungsi sillia akan menyebankan banyak secret terkumpul
disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang secret kental dan
obat-obaran.
Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersususn
anyaman kapiler periglanduler dan sub epitel. pembuluh eferen dari anyaman
kapiler ini membuka rongga sinusoid vena yang besar dindingnya dilapisi oleh
jaringan elastis dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid ini mempunyai
yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa hidung
oleh saraf otonom dan pada bagian bawah mukosa melekat erat pada periosteum
atau perikordium.
9
Vaskularisasi untuk hidung bagian dalam berasal dari 3 sumber utama
yaitu, a. etmoidalis anterior, yang mendarahi septum bagian superior anterior dan
rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung
disebut pleksus Kiesselbach ( Little’s area ) yang letaknya superfisial dan mudah
10
Sistem Persarafan hidung terbagi atas tiga sistem saraf yaitu, sistem saraf
a. Saraf motorik
Sistem motorik nasal dipersarafi oleh cabang n. fasialis yang mensarafi otot-otot
b. Saraf sensoris
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.
c. Saraf otonom.
vidianus yang mengandung serabut saraf simpatis dan serabut saraf parasimpatis.
Nervus vidianus terbentuk dari 2 saraf yaitu n. petrosus superfisialis mayor dan n.
petrosus profunda. Nervus petrosus superficialis mayor yang terdapat pada dasar
fossa cranialis media yang bersifat parasimpatis dari Vertebra Cervicalis VII
11
Gambar 6 Nervus Vidianus
dasar kepala dan memasuki canalis vidianus (pterygoid) pada dinding anterior
semua lokasi yang berhubungan dengan ganlion tersebut (canalis nasalis, cavum
oris, sinus paranasalis dan glandula lakrimalis melalui cabang N.V1 dan N. V2).
sebelah lateral cavum nasi, anterior inferior dari fossa cranialis media, inferior di
N.V2 (cabang kedua dari N. V), dan pterygopalatina dan arteri maxillaris.
12
a) Saraf simpatis (Adrenergik).
atas dan mengadakan sinapsis pada ganglion servikalis superior. Serabut post
dan kemudian diteruskan oleh cabang palatina mayor ke pembuluh darah pada
hidung. Peranan saraf parasimpatis ini terutama terhadap jaringan kelenjar yang
13
2.3. Fisiologi sistem Nasal
a. Fungsi respirasi
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior lalu naik ke atas
setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah kearah nasofaring, sehingga
Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan
yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi, dibagian depan aliran udara
memecah, sebagian akan melalui nares anterior dan sebagian lain kembali ke
udara yang akan masuk ke dalam alveolus paru, yang berarti menyiapkan udara
yang dihirup agar sesuai dengan keadaan fisiologis paru-paru. Hal ini penting
karena udara yang dihirup berbeda-beda, ada udara dingin, udara panas, berasap,
lembab. Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembaan udara dan
mengatur suhu.
agar sesuai dengan keadaan paru-paru. Hal ini dilaksanakan dengan cara
14
kavernosus, yang berfungsi untuk mengecilkan atau membesarkan rongga hidung
sehingga rongga hidung dapat melebar ataupun menyempit. Dimana terdapat tiga
proses agar udara yang masuk kedalam hidung sesuai dengan suhu didalam paru-
1. Menyaring
2. Membasahi
Dimana udara dari luar masih terlalu kering untuk mukosa saluran napas,
oleh karena itu sebelum masuk harus dibasahi (dilembabkan) olehagar tidak
merusak mukosa saluran napas, dimana hal ini dilakukan oleh lendir Yang
dikeluarkan sel goblet dan selaput lendir untuk menguapkan air dari secret yang
dihasilkan, jika masih sangat kering mukosa faring ikut bekerja untuk membasahi
dengan resiko faring menjadi kering sehingga timbul rasa haus, sebaliknya jika
3. Memanasi
atau sesuai dengan keadaan diparu-paru, perlu juga dilakukan pemanasan udara,
hal ini terjadi akibat gesekan udara dengan konka nasal yang mengandung banyak
15
c. Pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan
bakteri dan dilakukan oleh, rambut (vibrise) pada vestibulum nasi, silia,dan palut
lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan
partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin, Palut lendir
ini akan dialirkan ke nasofaring oleh karena gerakan sillia. Enzim yang dapat
d. Indra penghidu
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior, dan sepertiga bagian atas
septum. Partikel bau dapat mencapai derah ini dengan cara difusi dengan palut
e. Resonansi suara
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara atau
f. Proses bicara
lidah, bibir, dan pallatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m,n,ng)
rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum turun naik untuk aliran udara.
g. Reflek nasal
16
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubugan dengan
17
BAB III
RHINITIS VASOMOTOR
3.1 Definisi
(anamnesis, tes kulit, dan kadar antibodi IgE spesifik serum). Kelainan ini disebut
3.2. Epidemiologi
rinitis vasomotor dan lebih banyak dijumpai pada usia dewasa terutama pada
7 – 21%.
hidung non – alergi dan hanya 5% dengan keluhan hidung yang berhubungan
dengan alergi. Prevalensi tertinggi dari kelompok non – alergi dijumpai pada
dekade ke 3.
18
Sibbald dan Rink di London menjumpai sebanyak 13% dari pasien,
vasomotor. Sunaryo, dkk pada penelitiannya terhadap 2383 kasus rinitis selama 1
3.3. Etiologi
akibat gangguan keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat
tertentu.
2. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara
3. Faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti hamil
dan hipotiroidisme.
19
3.4. Patofisiologi
otonom mengontrol suplai darah ke dalam mukosa nasal dan sekresi mukus.
Diameter dari arteri hidung diatur oleh saraf simpatis sedangkan saraf
serta menekan efek dari pembuluh darah kapasitan (kapiler).3. Efek dari
dikeluarkan sel – sel seperti sel mast. Peptida ini termasuk histamin, leukotrien,
prostaglandin dan kinin. Peningkatan peptida vasoaktif ini tidak hanya mengontrol
meningkatkan efek dari asetilkolin pada sistem saraf parasimpatis pada sekresi
nasal, yang meningkatkan terjadinya rinorea. Pelepasan dari peptida ini bukan
diperantarai oleh IgE seperti pada rinitis alergika. Pada beberapa kasus rinitis
vasomotor, eosinofil atau sel mast kemungkinan didapati meningkat pada mukosa
hidung. Terlalu hiperaktifnya reseptor iritans yang berperan pada terjadinya rinitis
vasomotor. Banyak kasus rinitis vasomotor berkaitan dengan agen spesifik atau
kondisi tertentu. Contoh beberapa agen atau kondisi yag mempengaruhi kondisi
20
tersebut adalah ; perubahan temperatur, kelembaban udara, parfum, aroma
masakan yang terlalu kuat, asap rokok, debu, polusi udara dan stress (fisik dan
psikis) .
secara langsung melibatkan kerja dari hipotalamus. Aroma yang kuat akan
berjalan melalui traktus olfaktorius dan berakhir secara primer maupun sesudah
merelay neuron pada dua daerah utama otak, yaitu daerah olfaktoris medial dan
yang kuat serta emosi, maka akan menimbulkan reaksi parasimpatetik di perifer
dipersarafi sistem adrenergik maupun oleh kolinergik. Sistem saraf otonom ini
yang mengontrol vaskularisasi pada umumnya dan sinusoid vena pada khususnya,
vasokonstriksi hidung.
atas mekanisme hidung, dapat menimbulkan gejala yang mirip rinitis alergika.
Rinopati vasomotor disebabkan oleh gangguan sistem saraf autonom dan dikenal
21
sebagai disfungsi vasomotor. Reaksi reaksi vasomotor ini terutama akibat
kelenjar.
vasomotor, maka reaksi alergi merupakan akibat interaksi antigen antibodi dengan
hidung serta gejala bersin dan rasa gatal. Pelepasan mediator juga meningkatan
rinorea. Pada reaksi vasomotor yang khas, terdapat disfungsi sistem saraf autonom
ini menimbulkan gejala obstruksi saluran pernafasan hidung serta gejala bersin
Gejala penderita rinitis alergi atau rinitis vasomotor kadang – kadang sulit
dibedakan karena gejala – gejalanya mirip, yaitu obstruksi hidung, rinorea dan
bersin. Biasanya penderita rinitis alergika lebih merasakan gatal dan bersin
berulang, dan biasanya tidak ditemukan atau tidak jelas pada Rinitis vasomotor.
22
Reaksi Rinitis vasomotor bisa disebabkan oleh disfungsi sistem saraf autonom,
tetapi disamping itu, obstruksi hidung, rinorea dan bersin dapat disebabkan oleh
faktor iritasi, fisik, endokrin dan faktor lain. Hidung mungkin sensitif terhadap
berhubungan dengan kehamilan atau kontrasepsi per oral, tapi rhinitis vasomotor
tidak biasa terhadap kelembaban udara. Biasanya rinitis non alergika ini disertai
dengan gejala – gejala obstruksi saluran pernafasan hidung dan rinorea yang
hebat. Biasanya tidak terdapat variasi musim, tetapi gejalanya dapat menyerupai
rinitis alergika sepanjang tahun, akan tetapi mungkin terdapat remisi dan
eksaserbasi, maka ia dapat pula menyerupai rinitis alergika musiman. Hal ini
terjadi bila pasien sensitif pada perubahan suhu yang menyertai perubahan musim.
atau sekitar dekade 3-4, Serta jarang terjadi keluhan bersin dan rasa gatal.
tergantung pada posisi pasien. Terdapat rinorea yang bersifat mukus atau serosa.
Gejala memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur karena perubahan suhu yang
23
3.6 Gambaran Laboratorium
24
Pada Gambaran histologis yang diambil dari mukosa turbinate nasal dapat
nasal, dilatasi pembuluh darah, penipisan lapisan epitel, dan adanya aktifitas
kelenjar sel mucous acinic yang meningkat, serta degenerasi kistik pada kelenjar.
alergi adalah penebalan membran basalis, peningkatan sel goblet, jumlah sel
eosinofil, peningkatan jumlah pembuluh darah dengan kongesti dan dilatasi, serta
edema jaringan stroma. Dapat juga dijumpai degenerasi kistik dengan panjang
epitel normal.
25
Pada Gambaran Endoskopi membran mukosa Nasal tampak adanya
kongesti nasal yang ditandai dengan adanya pembesaran dari turbinate inferior
Rhinitis Alergika
Rhinitis Medikamentosa
26
Tabel 1. Perbedaan Rhinitis Vasomotor dan Rhinitis Alergi
27
- Faktor psikis
Gejala Klinis Hidung tersumbat bergantian kiri Hidung tersumbat terus
dan kanan (tergantung posisi) menerus dan berair
Rinore (mukus/serosa) edema konka, sekret
Bersin jarang, tidak ada gatal hidung berlebihan
Gejala memburuk pada pagi waktu Pengujian dengan
bangun tidur adrenalin: edema konka
tidak berkurang
Histopatologis penebalan membran basalis, edema konka, sekret
peningkatan sel goblet, jumlah sel hidung berlebihan
eosinofil, peningkatan jumlah Pengujian dengan
pembuluh darah dengan kongesti adrenalin: edema konka
dan dilatasi, serta edema jaringan tidak berkurang
stroma.
28
BAB IV
DIAGNOSIS
4.1 Anamnesis
Diagnosis Rhinitis Vasomotor dapat ditegakkan dengan Anamnesis :
- Apakah Gejala memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur ataukah
setiap saat?
tertentu?
b. Palpasi : tidak didapatkan adanya nyeri tekan pada sekitar wajah maupun nasal,
jika ada kemungkinan adanya inflamasi sampai ke daerah sinus paranasalis, serta
konka nasalis hipertrofi, permukaan konka dapat berupa licin maupun tidak rata,
29
dan mukosa berwarna merah gelap atau merah tua, dapat juga ditemukan sekret
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium yang biasanya dilakukan pada rhinitis
vasomotor adalah pemeriksaan sel darah untuk melihat kadar eosinofil dalam
darah dan bisa juga dilakukan pemeriksaan eosinofil dari specimen sekret pada
sekitar konka, serta dapat juga dilakukan pemeriksaan skin tes untuk
b. Pemeriksaan Histopatologi
Pada pemeriksaan histopatologis jaringan yang diambil yaitu jaringan
yang berasal dari mukosa turbinate nasal pada konka hipertrofi dan diambil
c. Pemeriksaan Endoskopi
Pada pemeriksaan endoskopi dilakukan untuk membantu memvisualisasikan
gambaran didalam rongga hidung dan saluran sinus, laring, faring, dan struktur
berfungsi sebagai visualisasi untuk terapi pembedahan organ dalam nasal dan
sekitar.
30
d. Pemeriksaan Radiologi
Pada pemerikisaan radiologis dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan
foto proyeksi PA (Cadwell), proyeksi lateral dan proyeksi water untuk menilai
4.4 Penatalaksanaan
Pengobatan rhinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor penyebab dan
1. Non Medikamentosa
Jika agen iritan diketahui, terapi terbaik adalah dengan pencegahan dan
2. Medikamentosa :
a) Steroid topikal membantu pada pasien dengan gejala utama kongesti, rinorea
dan bersin. Obat ini menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh
eosinofil. Efek dari kortikostreroid tidak bisa segera, tapi dengan penggunaan
jangka panjang, paling tidak 1-2 minggu penggunaan obat ini baru akan terlihat
dan Fluticasone. Dapat diberikan 2 kali sehari dengan dosis 100-200 mcg/hari.
31
Efek samping dengan steroid dapat menyebabkan udem mukosa, dan eritema
ringan.
mukosa tersebut. Pada penggunaan topikal yang terlalu lama (> 5 hari) dapat
penggunaan obat topikal > 5 hari. Mekanismenya belum jelas, tetapi mungkin
32
Kontraindikasi pemakaian dekongestan adalah penderita dengan hipertensi
pada pasien dengan gejala utama rinorea. Obat ini bekerja menekan pelepasan
pembentukan sekret.
33
Gambar 13 Anti Histamin Nasal
d) Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan
pemakaian antikolinergik juga efektif pada pasien dengan gejala utama rinorea.
mempunyai efek sistemik lebih sedikit. Penggunaan obat ini harus dihindari
cautery ).
34
Gambar 15. Kauterisasi Inferior Turbinate/konka
dan sampai diujung konka, dengan durasi 6-8 detik. Dan efek Efeknya dapat
permanen.
35
c. Reseksi konka parsial (partial turbinate resection) dilakukan dengan cara
dengan cara mengikat membrane mukosa dan tulang nasal pada sepertiga
depan konka. Teknik ini merupakan teknik yang biasanya tidak menimbulkan
perdarahan pasca operasi apabila bagian lunak dari konka tetap dipertahankan
frekuensi tinggi pada jaringan konka, namun tidak melebihi suhu 75 derajat
jarum aplikator dengan elemen termal pada daerah kepala dari konka yang
dipertahankan. Literatur terakhir, metode ini cukup baik untuk terapi konka
hipertrofik.
36
e. Neurektomi n. vidianus (vidian neurectomy), yaitu dengan melakukan
pemotongan pada n. vidianus, bila dengan cara diatas tidak memberikan hasil.
Operasi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan keluhan rinore yang hebat.
Terapi ini sulit dilakukan, dengan angka kekambuhan yang cukup tinggi dan
4.5. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi mungkin hanyalah infeksi pada nasal yang
dapat menyebabkan secret mukopurulent dan dapat terbentuk polip nasal, serta
37
BAB V
RINGKASAN
obstruksi hidung dan rinorea Penyebab pastinya tidak diketahui. Diduga akibat
vasomotor sering tidak terdiagnosis karena gejala klinisnya yang mirip dengan
rinitis alergi. Diagnosa rinitis vasomotor ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan
rhinitis alergika, mengingat kemiripan gejala yang juga dimiliki oleh rinitis
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Ballenger JJ. The Clinical Anatomy and Phisiology of The Nose and
2. Hilger PA. Disease of Nose. In Adom GL. Boies. LR. JR. Hilger. P.
Htm
4. V.J Lund. Anatomy of the nose and Parasanal Sinuses. Scoot Brown
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor :
39
7. Hilger PA. Hidung : Anatomi dan Fisiologi Terapan. Dalam : Boies Buku
Ajar Penyakit THT. Editor : Adams GL. Boies LR. Higler PA. Edisi keenam.
8. Hilger PA. Hidung : Penyakit Hidung. Dalam : Boies Buku Ajar Penyakit
THT. Editor : Adams GL. Boies LR. Higler PA. Edisi keenam. Jakarta EGC.
2009. H: 218-19
http://emedicine.medscape.com/article/874171-overview Tanggal 10
September 2018.
10. Kopke RD, Jackson RL. Rhinitis. Dalam : Byron J, Bailey JB,Ed.
Pocket Reference. 2nd ed. New York : Thieme Medical Publishers Inc, 1994.
p. 210-3.
40