Vous êtes sur la page 1sur 40

BAB I

PENDAHULUAN

Rhinitis vasomotor adalah suatu inflamasi mukosa hidung yang bukan

merupakan proses alergi, bukan proses infeksi, menyebabkan terjadinya obstruksi

hidung dan rinorea. Rinitis alergika sering ditemukan pada pasien dengan usia <

20 tahun, sedangkan pada rinitis vasomotor lebih banyak dijumpai pada dekade ke

3 – 4. Etiologi dari Rinitis Vasomotor belum diketahui secara pasti, namun

beberapa ahli mengatakan sebagai akibat dari terganggunya keseimbangan dari

saraf autonom pada mukosa hidung yang menyebabkan terjadinya vasodilatasi

dan hipersekresi.

Dalam praktek sehari – hari, rinitis seringkali salah anggapan bahwa

penyebabnya adalah alergi. Akibatnya type rinitis yang lain (non allergic rinitis /

rinitis vasomotor dan mixed rinitis) sering kali tidak terdiagnosa. Hal ini perlu

menjadi perhatian karena diagnosis yang tidak tepat menyebabkan pengobatan

tidak memuaskan.

Adanya kemiripan gejala antara rinitis vasomotor dan rinitis alergika

menyebabkan dokter umum sebagai primary care sering tidak tepat dalam

menegakkan diagnosa pada rinitis vasomotor biasanya ditemukan adanya skin tes

yang (-) dan tes allergen yang (-). Sedangkan rhinitis alergika murni mempunyai

skin tes yang (+) dan allergen yang jelas.

1
Menejemen pengelolaan pada rinitis vasomotor bervariasi antara lain dengan

menghindari penyebab, penggunaan medikamentosa, serta terapi bedah, tetapi

sampai saat ini belum memberikan hasil yang optimal.

2
BAB II

ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM NASAL

2.1 Embriologi Nasal

Gambar 1 Embriologi Nasal

Perkembangan rongga hidung secara embriologi yang mendasari

pembentukan anatomi sinonasal dapat dibagi menjadi dua proses. Pertama,

embrional bagian kepala berkembang membentuk dua bagian rongga hidung yang

berbeda, kedua adalah bagian dinding lateral hidung yang kemudian berinvaginasi

3
menjadi kompleks padat, yang dikenal dengan konka (turbinate), dan membentuk

ronga-rongga yang disebut sebagai sinus.

Sejak kehamilan berusia empat hingga delapan minggu, perkembangan

embrional anatomi hidung mulai terbentuk dengan terbentuknya rongga hidung

sebagai bagian yang terpisah yaitu daerah frontonasal dan bagian pertautan

prosesus maksilaris. Daerah frontonasal nantinya akan berkembang hingga ke

otak bagian depan, mendukung pembentukan olfaktori. Bagian medial dan lateral

akhirnya akan menjadi nares (lubang hidung). Septum nasal berasal dari

pertumbuhan garis tengah posterior frontonasal dan perluasan garis tengah

mesoderm yang berasal dari daerah maksilaris.

Ketika kehamilan memasuki usia enam minggu, jaringan mesenkim mulai

terbentuk, yang tampak sebagai dinding lateral hidung dengan struktur yang masih

sederhana. Usia kehamilan tujuh minggu, tiga garis axial berbentuk lekukan

bersatu membentuk tiga buah konka (turbinate). Ketika kehamilan berusia

sembilan minggu, mulailah terbentuk sinus maksilaris yang diawali oleh

invaginasi meatus media. Dan pada saat yang bersamaan terbentuknya prosesus

unsinatus dan bula ethmoidalis yang membentuk suatu daerah yang lebar disebut

hiatus emilunaris.

Pada usia kehamilan empat belas minggu ditandai dengan pembentukan

sel etmoidalis anterior yang berasal dari invaginasi bagian atap meatus media dan

sel ethmoidalis posterior yang berasal dari bagian dasar meatus superior. Dan

akhirnya pada usia kehamilan tiga puluh enam minggu, dinding lateral hidung

terbentuk dengan baik dan sudah tampak jelas proporsi konka. Seluruh daerah

4
sinus paranasal muncul dengan tingkatan yang berbeda sejak anak baru lahir,

perkembangannya melalui tahapan yang spesifik. Yang pertama berkembang

adalah sinus etmoid, diikuti oleh sinus maksilaris, sfenoid , dan sinus frontal.

2.2. Anatomi Nasal

Gambar 2 Tulang dan tulang rawan Nasal

Gambar 3 Bagian dalam Nasal

5
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke

bawah yaitu pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak

hidung (tip), ala nasi, Columela dan lubang hidung (nares anterior).

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi

oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan

atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os

nasal), prosesus frontalis os maksila, dan prosesus nasalis os frontal. Sedangkan

kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di

bagian bawah hidung yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang

kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor

dan tepi anterior kartilago septum.

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke

belakang di pisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi

kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares

anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang

menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di

belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit

yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang disebut

vibrise.

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,

inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk

6
oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os

etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian

tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan

periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling

bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih

kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema.

Konka suprema ini biasanya disebut rudimenter.

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila

dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan

bagian dari labirin etmoid.

Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit

yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus

inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior

dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior

terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara

konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat

muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus

superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media,

terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.

7
Batas rongga hidung terdiri dari dinding inferior yang merupakan dasar

rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior

atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang

memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis

merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang

(kribrosa = saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Dibagian

posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologis dan fungsional

dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu

(olfaktorius).

Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan

permukaannya dilapisi oleh epitel toraks berlapis semu (pseudo stratified

columnar ephitelium) , yang mempunyai sillia dan diantaranya terdapat sel goblet.

Pada bagian yang terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-

kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel squamosal. Dalam keadaan normal

mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi palut lendir

(mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar

mukosa dan sel-sel goblet.

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang

penting. Dengan gerakan sillia teratur palut lendir di dalam kavum nasi akan

didorong kearah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk

membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang

masuk ke dalam rongga hidung.

8
Ganguan pada fungsi sillia akan menyebankan banyak secret terkumpul

dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan sillia dapat

disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang secret kental dan

obat-obaran.

Dibawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung

pembuluh darah, kelenjar mukosa, dan jaringan limfoid.

Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas.

Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersususn

secara parallel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan perdarahan pada

anyaman kapiler periglanduler dan sub epitel. pembuluh eferen dari anyaman

kapiler ini membuka rongga sinusoid vena yang besar dindingnya dilapisi oleh

jaringan elastis dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid ini mempunyai

sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena

yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa hidung

menyerupai suatu jaringan kavernosus yang erektil, yang mudah mengembang

dan mengerut. vasodilatasi dan vasokonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi

oleh saraf otonom dan pada bagian bawah mukosa melekat erat pada periosteum

atau perikordium.

Gambar 4 Vaskularisasi Nasal

9
Vaskularisasi untuk hidung bagian dalam berasal dari 3 sumber utama

yaitu, a. etmoidalis anterior, yang mendarahi septum bagian superior anterior dan

dinding lateral hidung, a. etmoidalis posterior ( cabang dari a. oftalmika ),

mendarahi septum bagian superior posterior, dan a. sfenopalatina, terbagi menjadi

a. nasales posterolateral yang menuju ke dinding lateral hidung dan a. septi

posterior yang menyebar pada septum nasi.

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.

maksilaris interna, diantaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina

yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki

rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung

mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.

sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatina mayor, yang

disebut pleksus Kiesselbach ( Little’s area ) yang letaknya superfisial dan mudah

cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan

berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung

bermuara ke vena oftalmika superior yang berhubungan dengan sinus kavernosus.

Gambar 5 Persarafan Nasal

10
Sistem Persarafan hidung terbagi atas tiga sistem saraf yaitu, sistem saraf

motorik, sistem saraf sensorik dan sistem saraf otonom.

a. Saraf motorik

Sistem motorik nasal dipersarafi oleh cabang n. fasialis yang mensarafi otot-otot

hidung bagian luar.

b. Saraf sensoris

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.

etmoidalis anterior, merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari n.

oftalmika ( N.V-1 ). Rongga hidung lainnya , sebagian besar mendapat persarafan

sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina.

c. Saraf otonom.

Saraf otonom yang mempersarafi mukosa hidung berasal dari nervus

vidianus yang mengandung serabut saraf simpatis dan serabut saraf parasimpatis.

Nervus vidianus terbentuk dari 2 saraf yaitu n. petrosus superfisialis mayor dan n.

petrosus profunda. Nervus petrosus superficialis mayor yang terdapat pada dasar

fossa cranialis media yang bersifat parasimpatis dari Vertebra Cervicalis VII

menuju ganglion pterigopalatina. Nervus petrosus profunda merupakan nervus

yang bersifat simpatis yang meninggalkan pleksus carotis internus.

11
Gambar 6 Nervus Vidianus

Nervus vidianus terbentuk pada pertemuan kedua nervus tersebut pada

dasar kepala dan memasuki canalis vidianus (pterygoid) pada dinding anterior

foramen laserum. Nervus tersebut memasuki ganglion pterygopalatina dari arah

permukaan posterior dan inervasi simpatis dan parasimpatis didistribusikan pada

semua lokasi yang berhubungan dengan ganlion tersebut (canalis nasalis, cavum

oris, sinus paranasalis dan glandula lakrimalis melalui cabang N.V1 dan N. V2).

Fossa pterygopalatina mempunyai bentuk kerucut yang terbalik, terletak di

sebelah lateral cavum nasi, anterior inferior dari fossa cranialis media, inferior di

apex orbita dan medial dari fossa infratemporalis. Fossa pterygopalatina

berhubungan dengan orbita, fossa cranialis medialis, cavum nasi, nasofaring,

cavum oris dan fossa infratemporalis . Fossa pterygopalatina terdapat n. maxilaris,

N.V2 (cabang kedua dari N. V), dan pterygopalatina dan arteri maxillaris.

Terdapat 2 macam saraf otonom yaitu :

12
a) Saraf simpatis (Adrenergik).

Saraf simpatis meninggalkan korda spinalis setinggi T1 – 3, berjalan ke

atas dan mengadakan sinapsis pada ganglion servikalis superior. Serabut post

sinapsis berjalan sepanjang pleksus karotikus dan kemudian sebagai n. petrosus

profundus bergabung dengan serabut saraf parasimpatis yaitu n. petrosus

superfisialis mayor membentuk n. vidianus yang berjalan didalam kanalis

pterigoideus. Saraf ini tidak mengadakan sinapsis didalam ganglion sfenopalatina,

dan kemudian diteruskan oleh cabang palatina mayor ke pembuluh darah pada

mukosa hidung. Saraf simpatis secara dominan mempunyai peranan penting

terhadap sistem vaskuler hidung dan sangat sedikit mempengaruhi kelenjar.

b) Saraf parasimpatis (Kolinergik).

Berasal dari ganglion genikulatum dan pusatnya adalah di nukleus

salivatorius superior di medula oblongata. Sebagai n. pterosus superfisialis mayor

berjalan menuju ganglion sfenopalatina dan mengadakan sinapsis didalam

ganglion tersebut. Serabut serabut post ganglion menyebar menuju mukosa

hidung. Peranan saraf parasimpatis ini terutama terhadap jaringan kelenjar yang

menyebabkan sekresi hidung yang encer dan vasodilatasi jaringan erektil.

Pemotongan n. vidianus akan menghilangkan impuls sekretomotorik /

parasimpatis pada mukosa hidung, sehingga rinore akan berkurang sedangkan

sensasi hidung tidak akan terganggu.

13
2.3. Fisiologi sistem Nasal

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi

fisiologi hidung dan sinus paranasal adalah :

a. Fungsi respirasi

Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior lalu naik ke atas

setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah kearah nasofaring, sehingga

aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus.

Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan

yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi, dibagian depan aliran udara

memecah, sebagian akan melalui nares anterior dan sebagian lain kembali ke

belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.

b. Pengatur kondisi udara (air conditioning)

Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan

udara yang akan masuk ke dalam alveolus paru, yang berarti menyiapkan udara

yang dihirup agar sesuai dengan keadaan fisiologis paru-paru. Hal ini penting

karena udara yang dihirup berbeda-beda, ada udara dingin, udara panas, berasap,

lembab. Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembaan udara dan

mengatur suhu.

Udara yang akan masuk ke paru-paru harus dipersiapkan terlebih dahulu

agar sesuai dengan keadaan paru-paru. Hal ini dilaksanakan dengan cara

menyaring, membasahi, dan memanasi udara pernapasan dengan adanya bulu

hidung (Vibrissae) dan konka nasal. Konka nasal mengandung jaringan

14
kavernosus, yang berfungsi untuk mengecilkan atau membesarkan rongga hidung

sehingga rongga hidung dapat melebar ataupun menyempit. Dimana terdapat tiga

proses agar udara yang masuk kedalam hidung sesuai dengan suhu didalam paru-

paru yaitu sekitar 36-37 derajat selsius yaitu :

1. Menyaring

Proses penyaringan dilakukan dilakukan oleh bulu hidung, dimana adanya

partikel-partikel, besar maupun halus akan ditangkap oleh lapisan lender,

kemudian didorong oleh gerakan silia kebelakang kearah nasofaring.

2. Membasahi

Dimana udara dari luar masih terlalu kering untuk mukosa saluran napas,

oleh karena itu sebelum masuk harus dibasahi (dilembabkan) olehagar tidak

merusak mukosa saluran napas, dimana hal ini dilakukan oleh lendir Yang

dikeluarkan sel goblet dan selaput lendir untuk menguapkan air dari secret yang

dihasilkan, jika masih sangat kering mukosa faring ikut bekerja untuk membasahi

dengan resiko faring menjadi kering sehingga timbul rasa haus, sebaliknya jika

udara dingin dan basah, dari hidung kadang-kadang menetes air.

3. Memanasi

Untuk menyeimbangkan udara agar berada diambang 36-37 derajat selsius

atau sesuai dengan keadaan diparu-paru, perlu juga dilakukan pemanasan udara,

hal ini terjadi akibat gesekan udara dengan konka nasal yang mengandung banyak

pembuluh darah, akibat persentuhan dari banyaknya pembuluh darah dihidung

sehingga menyebabkan suhu udara tetap stabil pada keadaan normal.

15
c. Pelindung

Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan

bakteri dan dilakukan oleh, rambut (vibrise) pada vestibulum nasi, silia,dan palut

lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan

partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin, Palut lendir

ini akan dialirkan ke nasofaring oleh karena gerakan sillia. Enzim yang dapat

mengancurkan beberapa jenis bakteri yang disebut lysosim.

d. Indra penghidu

Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa

olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior, dan sepertiga bagian atas

septum. Partikel bau dapat mencapai derah ini dengan cara difusi dengan palut

lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.

e. Resonansi suara

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara atau

menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang/hilang

sehingga terdengar suara sangau (rhinolalia).

f. Proses bicara

Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata-kata dibentuk oleh

lidah, bibir, dan pallatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m,n,ng)

rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum turun naik untuk aliran udara.

g. Reflek nasal

16
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubugan dengan

saluran cerna, kardiovaskuler, dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa hidung

menyebabkan reflek bersin dan nafas terhenti. Rangsangan bau tertentu

menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pancreas.

17
BAB III

RHINITIS VASOMOTOR

3.1 Definisi

Rhinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa

adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid),

dan pajanan obat (kontrapsepsi oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin,

klorpromazin dan obat topikal hidung dekongestan)

Rhinitis ini digolongkan menjadi non-alergi bila adanya alergi/alergen

spesifik tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang sesuai

(anamnesis, tes kulit, dan kadar antibodi IgE spesifik serum). Kelainan ini disebut

juga vasomotor catarrh, vasomotor rinorhea, nasal vasomotor instability, atau

juga non-allergic perennial rhinitis.

3.2. Epidemiologi

Sebanyak 30 – 60 % dari kasus rinitis sepanjang tahun merupakan kasus

rinitis vasomotor dan lebih banyak dijumpai pada usia dewasa terutama pada

wanita. Walaupun demikian insidens pastinya tidak diketahui. Biasanya timbul

pada dekade ke 3 – 4. Secara umum prevalensi rinitis vasomotor bervariasi antara

7 – 21%.

Dalam beberapa penelitian dijumpai sebanyak 21% menderita keluhan

hidung non – alergi dan hanya 5% dengan keluhan hidung yang berhubungan

dengan alergi. Prevalensi tertinggi dari kelompok non – alergi dijumpai pada

dekade ke 3.

18
Sibbald dan Rink di London menjumpai sebanyak 13% dari pasien,

menderita rinitis non alergi dimana setengah diantaranya menderita rinitis

vasomotor. Sunaryo, dkk pada penelitiannya terhadap 2383 kasus rinitis selama 1

tahun di RS Sardjito Yogyakarta menjumpai kasus rinitis vasomotor sebanyak 33

kasus ( 1,38 % ) sedangkan pasien dengan diagnosis banding rinitis vasomotor

sebanyak 240 kasus ( 10,07 % ).

3.3. Etiologi

Etilogi pasti rinitis vasomotor belum diketahui (Idiopatik) dan diduga

akibat gangguan keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat

tertentu.

Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor :

1. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti

ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal.

2. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara

yang tinggi dan bau yang merangsang.

3. Faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti hamil

dan hipotiroidisme.

4. Faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue

19
3.4. Patofisiologi

Ada beberapa mekanisme yang berinteraksi dengan hidung yang menyebabkan

terjadinya rinitis vasomotor pada berbagai kondisi lingkungan. Sistem saraf

otonom mengontrol suplai darah ke dalam mukosa nasal dan sekresi mukus.

Diameter dari arteri hidung diatur oleh saraf simpatis sedangkan saraf

parasimpatis mengontrol sekresi glandula dan mengurangi tingkat kekentalannya,

serta menekan efek dari pembuluh darah kapasitan (kapiler).3. Efek dari

hipoaktivitas saraf simpatis atau hiperaktivitas saraf parasimpatis bisa

berpengaruh pada pembuluh darah tersebut yaitu menyebabkan terjadinya

peningkatan edema interstisial dan akhirnya terjadi kongesti yang bermanifestasi

klinis sebagai hidung tersumbat. Aktivasi dari saraf parasimpatis juga

meningkatkan sekresi mukus yang menyebabkan terjadinya rinorea yang eksesif.

Teori lain meyebutkan adanya peningkatan peptida vasoaktif yang

dikeluarkan sel – sel seperti sel mast. Peptida ini termasuk histamin, leukotrien,

prostaglandin dan kinin. Peningkatan peptida vasoaktif ini tidak hanya mengontrol

diameter pembuluh darah yang meyebabkan kongesti, hidung tersumbat, juga

meningkatkan efek dari asetilkolin pada sistem saraf parasimpatis pada sekresi

nasal, yang meningkatkan terjadinya rinorea. Pelepasan dari peptida ini bukan

diperantarai oleh IgE seperti pada rinitis alergika. Pada beberapa kasus rinitis

vasomotor, eosinofil atau sel mast kemungkinan didapati meningkat pada mukosa

hidung. Terlalu hiperaktifnya reseptor iritans yang berperan pada terjadinya rinitis

vasomotor. Banyak kasus rinitis vasomotor berkaitan dengan agen spesifik atau

kondisi tertentu. Contoh beberapa agen atau kondisi yag mempengaruhi kondisi

20
tersebut adalah ; perubahan temperatur, kelembaban udara, parfum, aroma

masakan yang terlalu kuat, asap rokok, debu, polusi udara dan stress (fisik dan

psikis) .

Mekanisme terjadinya rinitis vasomotor oleh karena aroma dan emosi

secara langsung melibatkan kerja dari hipotalamus. Aroma yang kuat akan

merangsang sel – sel olfaktorius terdapat pada mukosa olfaktorii. Kemudian

berjalan melalui traktus olfaktorius dan berakhir secara primer maupun sesudah

merelay neuron pada dua daerah utama otak, yaitu daerah olfaktoris medial dan

olfaktoris lateral. Daerah olfaktoris medial terletak pada bagian anterior

hipotalamus. Jika bagian anterior hipotalamus teraktivasi misalnya oleh aroma

yang kuat serta emosi, maka akan menimbulkan reaksi parasimpatetik di perifer

sehingga terjadi dominasi fungsi syaraf parasimpatis di perifer, termasuk di

hidung yang dapat menimbulkan manifestasi klinis berupa rhinitis vasomotor.

Dari penelitian binatang telah diketahui bahwa vaskularisasi hidung

dipersarafi sistem adrenergik maupun oleh kolinergik. Sistem saraf otonom ini

yang mengontrol vaskularisasi pada umumnya dan sinusoid vena pada khususnya,

memungkinan kita memahami mekanisme bendungan koana. Stimulasi kolinergik

menimbulkan vasodilatasi sehingga koana membengkak atau terbendung, hasilnya

terjadi obstruksi saluran hidung. Stimulasi simpatis servikalis menim bulkan

vasokonstriksi hidung.

Dianggap bahwa sistem saraf otonom, karena pengaruh dan kontrolnya

atas mekanisme hidung, dapat menimbulkan gejala yang mirip rinitis alergika.

Rinopati vasomotor disebabkan oleh gangguan sistem saraf autonom dan dikenal

21
sebagai disfungsi vasomotor. Reaksi reaksi vasomotor ini terutama akibat

stimulasi parasimpatis (atau inhibisi simpatis) yang menyebabkan vasodilatasi,

peningkatan permeabilitas vaskular disertai udema dan peningkatan sekresi

kelenjar.

Bila dibandingkan mekanisme kerja pada rinitis alergika dengan rinitis

vasomotor, maka reaksi alergi merupakan akibat interaksi antigen antibodi dengan

pelepasan mediator yang menyebabkan dilatasi arteriola dan kapiler disertai

peningkatan permeabilitas yang menimbulkan gejala obstruksi saluran pernafasan

hidung serta gejala bersin dan rasa gatal. Pelepasan mediator juga meningkatan

aktivitas kelenjar dan meningkatkan sekresi, sehingga mengakibatkan gejala

rinorea. Pada reaksi vasomotor yang khas, terdapat disfungsi sistem saraf autonom

yang menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis (penurunan kerja simpatis)

yang akhirnya menimbulkan peningkatan dilatasi arteriola dan kapiler disertai

peningkatan permeabilitas, yang menyebabkan transudasi cairan dan edema. Hal

ini menimbulkan gejala obstruksi saluran pernafasan hidung serta gejala bersin

dan gatal. Peningkatan aktivitas parasimpatis meningkatkan aktivitas kelenjar dan

menimbulkan peningkatan sekresi hidung yang menyebabkan gejala rinorea.

3.5 Gambaran Klinis

Gejala penderita rinitis alergi atau rinitis vasomotor kadang – kadang sulit

dibedakan karena gejala – gejalanya mirip, yaitu obstruksi hidung, rinorea dan

bersin. Biasanya penderita rinitis alergika lebih merasakan gatal dan bersin

berulang, dan biasanya tidak ditemukan atau tidak jelas pada Rinitis vasomotor.

22
Reaksi Rinitis vasomotor bisa disebabkan oleh disfungsi sistem saraf autonom,

tetapi disamping itu, obstruksi hidung, rinorea dan bersin dapat disebabkan oleh

faktor iritasi, fisik, endokrin dan faktor lain. Hidung mungkin sensitif terhadap

pengaruh hormone, oleh karena itu reaksi rhinitis vasomotor mungkin

berhubungan dengan kehamilan atau kontrasepsi per oral, tapi rhinitis vasomotor

pada kehamilan segera menyembuh setelah melahirkan dan mungkin berhubungan

dengan keseimbangan hormon.

Penderita dengan Rinitis vasomotor bisa menggambarkan sensitivitas yang

tidak biasa terhadap kelembaban udara. Biasanya rinitis non alergika ini disertai

dengan gejala – gejala obstruksi saluran pernafasan hidung dan rinorea yang

hebat. Biasanya tidak terdapat variasi musim, tetapi gejalanya dapat menyerupai

rinitis alergika sepanjang tahun, akan tetapi mungkin terdapat remisi dan

eksaserbasi, maka ia dapat pula menyerupai rinitis alergika musiman. Hal ini

terjadi bila pasien sensitif pada perubahan suhu yang menyertai perubahan musim.

Biasanya penderita rinitis vasomotor tidak mempunyai riwayat alergi pada

keluarganya. Mereka menjelaskan fenomena iritatifnya dimulai di usia dewasa

atau sekitar dekade 3-4, Serta jarang terjadi keluhan bersin dan rasa gatal.

Hidung tersumbat, biasanya bergantian antara hidung kiri dan kanan,

tergantung pada posisi pasien. Terdapat rinorea yang bersifat mukus atau serosa.

Gejala memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur karena perubahan suhu yang

ekstrim, udara lembab, juga karena asap rokok dan sebagainya.

23
3.6 Gambaran Laboratorium

Pada pemeriksaan darah rutin pada rhinitis vasomotor biasanya ditemukan

peningkattan sel radang seperti polimorfonukler dan tidak ditemukan adanya

peningkatan dari eosinofil, sedangkan pada pemeriksaan eosinofil secret mukosa

konka biasanya tidak ditemukan adanya eosinofil, jika diddapatkan biasanya

jumlahnya minimal, dan pada pemeriksaan skin tes biasanya negatif.

3.7 Gambaran Histopatologi

Gambar 7 Histopatologis Rhinitis Vasomotor

Gambar 8 Histopatologis Rhinitis Alergi

24
Pada Gambaran histologis yang diambil dari mukosa turbinate nasal dapat

ditemukan adanya kumpulan sel-sel inflamasi, hiperplasia sel mukosa, edema

nasal, dilatasi pembuluh darah, penipisan lapisan epitel, dan adanya aktifitas

kelenjar sel mucous acinic yang meningkat, serta degenerasi kistik pada kelenjar.

Sedangkan pada gambaran histopatologi konka hipertrofi yang disebabkan rinitis

alergi adalah penebalan membran basalis, peningkatan sel goblet, jumlah sel

eosinofil, peningkatan jumlah pembuluh darah dengan kongesti dan dilatasi, serta

edema jaringan stroma. Dapat juga dijumpai degenerasi kistik dengan panjang

epitel normal.

3.8 Gambaran Endoskopi

Gambar 9 Endoskopi Rhinitis Vasomotor

25
Pada Gambaran Endoskopi membran mukosa Nasal tampak adanya

kongesti nasal yang ditandai dengan adanya pembesaran dari turbinate inferior

dan tampak rinore yang berair.

3.9 Gambaran Radiologi

Gambar 10 Gambaran Radiologis dari Rhinitis Vasomotor

Pada gambaran radiologis rhinitis vasomotor dapat ditemukan adanya

tanda-tanda kongesti dari turbinate/konka yang diakibatkan oleh adanya

pembesaran dari turbinat atau hipertrofi dari konka.

3.10 Diagnosis Banding

 Rhinitis Alergika

 Rhinitis Medikamentosa

26
Tabel 1. Perbedaan Rhinitis Vasomotor dan Rhinitis Alergi

Rhinitis Alergi Rhinitis Vasomotor


Mulai serangan Usia belasan tahun Dekade ke 3-4
Faktor resiko : Terpapar (+) Terpapar (-)
Alergen
Etiologi Reaksi Ag – Ab Reaksi neurovaskular terhadap
terhadap beberapa rangsangan mekanis
rangsangan spesifik atau kimia, juga faktor psikis
Gejala : Menonjol (Sering Tidak menonjol (jarang
Gatal & bersin dijumpai) dijumpai)
Gatal di mata
Pemeriksaan Positif Negatif
Laboratorium :
Test kulit
Pemeriksaan Meningkat Tidak meningkat
Eosinofil pada
Sekret hidung
Pemeriksaan Meningkat Normal
Eosinofil darah
Kadar Ig E darah Meningkat Normal
Histopatologis penebalan membran kumpulan sel-sel inflamasi,
basalis, peningkatan sel hiperplasia sel mukosa, edema
goblet, jumlah sel nasal, dilatasi pembuluh
eosinofil, peningkatan darah, penipisan lapisan
jumlah pembuluh darah epitel, dan adanya aktifitas
kelenjar sel mucous acinic
dengan kongesti dan
yang meningkat,
dilatasi, serta edema
jaringan stroma.

Tabel 2. Perbedaan Rhinitis Vasomotor dan Rhinitis Medikamentosa


Rhinitis Vasomotor Rhinitis
Medikamentosa
Penyebab Ketidakseimbangan saraf simpatis Pemakaian
& parasimpatis (otonom) vasokonstriktor topikal
Faktor Resiko : (tetes hidung/semprot
- Obat-obatan yang menekan kerja
hidung) dalam waktu
simpatis
- Faktor fisik: asap rokok, udara lama dan
dingin, bau yang merangsang berlebihan : sumbatan
- Faktor endokrin menetap

27
- Faktor psikis
Gejala Klinis Hidung tersumbat bergantian kiri Hidung tersumbat terus
dan kanan (tergantung posisi) menerus dan berair
Rinore (mukus/serosa) edema konka, sekret
Bersin jarang, tidak ada gatal hidung berlebihan
Gejala memburuk pada pagi waktu Pengujian dengan
bangun tidur adrenalin: edema konka
tidak berkurang
Histopatologis penebalan membran basalis, edema konka, sekret
peningkatan sel goblet, jumlah sel hidung berlebihan
eosinofil, peningkatan jumlah Pengujian dengan
pembuluh darah dengan kongesti adrenalin: edema konka
dan dilatasi, serta edema jaringan tidak berkurang
stroma.

28
BAB IV

DIAGNOSIS

4.1 Anamnesis
Diagnosis Rhinitis Vasomotor dapat ditegakkan dengan Anamnesis :

- Apakah hidung tersebumbat bergantian antara kiri dan kanan bergantung

pada posisi pasien?

- Apakah Warna Cairan hidung encer atau kental ?

- Kapan gejala awal mulai timbul ?

- Apakah disertai dengan bersin-bersin? dan apakah terdapat rasa gantal

pada hidung dan mata?

- Apakah Gejala memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur ataukah

setiap saat?

- Apakah keluhan tersebut muncul berhubungan dengan musim musim

tertentu?

- Apakah terdapat Riwayat atopi dikeluarga ?

4.2. Pemeriksaan fisik


a. Inspeksi : pada rhinitis vasomotor tidak tampak luka, perubahan warna kulit,

dan kelainan bentuk pada bagian nasal dan sekitar.

b. Palpasi : tidak didapatkan adanya nyeri tekan pada sekitar wajah maupun nasal,

jika ada kemungkinan adanya inflamasi sampai ke daerah sinus paranasalis, serta

tidak ditemukan adanya deformitas maupun krepitasi,

c. Rinoskopi Anterior : Pada pemeriksaan dengan rinoskopi anterior didapatkan

konka nasalis hipertrofi, permukaan konka dapat berupa licin maupun tidak rata,

29
dan mukosa berwarna merah gelap atau merah tua, dapat juga ditemukan sekret

bersifat mukoid maupun serous.


/
4.3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium yang biasanya dilakukan pada rhinitis

vasomotor adalah pemeriksaan sel darah untuk melihat kadar eosinofil dalam

darah dan bisa juga dilakukan pemeriksaan eosinofil dari specimen sekret pada

sekitar konka, serta dapat juga dilakukan pemeriksaan skin tes untuk

menyingkirkan kemungkinan adanya rhinitis alergi.

b. Pemeriksaan Histopatologi
Pada pemeriksaan histopatologis jaringan yang diambil yaitu jaringan

yang berasal dari mukosa turbinate nasal pada konka hipertrofi dan diambil

melalui konkotomi parsial, diperiksa dengan mikroskop cahaya setelah

pengecatan menggunakan hematoksilin dan eosin.

c. Pemeriksaan Endoskopi
Pada pemeriksaan endoskopi dilakukan untuk membantu memvisualisasikan

gambaran didalam rongga hidung dan saluran sinus, laring, faring, dan struktur

sekelilingnya sehingga penegakan diagnosis lebih mudah dilakukan dan juga

berfungsi sebagai visualisasi untuk terapi pembedahan organ dalam nasal dan

sekitar.

30
d. Pemeriksaan Radiologi
Pada pemerikisaan radiologis dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan

foto proyeksi PA (Cadwell), proyeksi lateral dan proyeksi water untuk menilai

kelainan pada rongga cavum nasi maupun rongga sinus.

4.4 Penatalaksanaan
Pengobatan rhinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor penyebab dan

gejala yang menonjol. Secara garis besar, pengobatan dibagi dalam :

1. Non Medikamentosa

 Menghindari penyebab / pencetus ( Avoidance therapy )

Jika agen iritan diketahui, terapi terbaik adalah dengan pencegahan dan

menghindari. Jika tidak diketahui, pembersihan mukosa nasal secar periodik

mungkin bisa membantu. Bisa dilakukan dengan menggunakan semprotan larutan

saline atau alat irigator seperti Grossan irigator.

2. Medikamentosa :

a) Steroid topikal membantu pada pasien dengan gejala utama kongesti, rinorea

dan bersin. Obat ini menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh

vasoaktif mediator yang dapat menghambat Phospolipase A2, mengurangi

aktivitas reseptor asetilkolin, menurunkan aktifitas basofil, sel mast dan

eosinofil. Efek dari kortikostreroid tidak bisa segera, tapi dengan penggunaan

jangka panjang, paling tidak 1-2 minggu penggunaan obat ini baru akan terlihat

hasilnya. Steroid topikal yang dianjurkan seperti Beclomethason, Flunisolide

dan Fluticasone. Dapat diberikan 2 kali sehari dengan dosis 100-200 mcg/hari.

31
Efek samping dengan steroid dapat menyebabkan udem mukosa, dan eritema

ringan.

Gambar. 11 Kortikosteroid Nasal (Beclomethasone)

b) Dekongestan atau simpatomimetik agen digunakan pada gejala utama hidung

tersumbat. Untuk gejala yang multiple, penggunan dekongestan yang

diformulasikan dengan antihistamin dapat digunakan. Obat yang disarankan

seperti Pseudoefedrin, Phenilprophanolamin dan Phenilephrin serta

Oxymetazoline (semprot hidung). obat ini menyebabkan venokontriksi dalam

mukosa hidung melalui reseptor α1 sehingga mengurangi volume mukosa dan

dengan demikian mengurangi penyumbatan hidung. Reseptor α2 terdapat pada

arteriol yang membawa suplai makanan bagi mukosa hidung. Vasokontriksi

arteriol ini oleh α2 agonis dapat menyebabkan kerusakan struktural pada

mukosa tersebut. Pada penggunaan topikal yang terlalu lama (> 5 hari) dapat

terjadi rinitis medikamentosa yaitu rebound kongesti yang terjadi setelah

penggunaan obat topikal > 5 hari. Mekanismenya belum jelas, tetapi mungkin

melibatkan desensitisasi reseptor dan kerusakan mukosa. α1 agonis yang

selektif lebih kecil kemungkinannya untuk menimbulkan kerusakan mukosa.

32
Kontraindikasi pemakaian dekongestan adalah penderita dengan hipertensi

yang berat serta tekanan darah yang labil.

Gambar 12 Dekongestan Nasal (Oxymetazoline)

c) Anti histamin : Antihistamin mempunyai respon yang beragam. Membantu

pada pasien dengan gejala utama rinorea. Obat ini bekerja menekan pelepasan

mediator-mediator oleh sel mast, sehingga mengurangi kongesti dan

pembentukan sekret.

33
Gambar 13 Anti Histamin Nasal

d) Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan

utamanya. Contoh : Ipratropium bromide (nasal spray) . Selain antihistamin,

pemakaian antikolinergik juga efektif pada pasien dengan gejala utama rinorea.

Obat ini adalah antagonis muskarinik. Obat yang disarankan seperti

Ipratropium Bromida, juga terdapat formula topikal dan atrovent, yang

mempunyai efek sistemik lebih sedikit. Penggunaan obat ini harus dihindari

pada pasien dengan takikardi dan glaukoma sudut sempit.

Gambar 14 Spray Nasal (Anti kolinergik)

3. Operasi (dilakukan bila pengobatan konservatif gagal) :

a. Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO3 25% atau

triklorasetat pekat ( chemical cautery ) maupun secara elektrik ( electrical

cautery ).

34
Gambar 15. Kauterisasi Inferior Turbinate/konka

b. Diatermi submukosa konka inferior (submucosal diathermy of the inferior

turbinate) merupakan teknik pembedahan dengan elektrostatik koagulasi pada

turbinate/konka inferior dengan frekuensi suhu panas yang tinggi (gelombang

elektromagnetik pada rentang frekuensi 106-1010 Hz) dengan teknik prosedur

sederhana yaitu elektroda jarum dimasukan kedalam submukosa badan konka

dan sampai diujung konka, dengan durasi 6-8 detik. Dan efek Efeknya dapat

menyebabkan perdarahan area tusukan dan efek pengurangan turbinate tidak

permanen.

Gambar 16 Diaftermi submucosa Turbinate/konka

35
c. Reseksi konka parsial (partial turbinate resection) dilakukan dengan cara

melakukan insisi diagonal untuk menghilangkan jaringan area turbin anterior

dengan cara mengikat membrane mukosa dan tulang nasal pada sepertiga

depan konka. Teknik ini merupakan teknik yang biasanya tidak menimbulkan

perdarahan pasca operasi apabila bagian lunak dari konka tetap dipertahankan

Gambar 17 Reseksi Parsial Turbinate/konka

d. Reduksi Konka (Radiofrekuensi). Prinsip metode ini adalah penerapan arus

frekuensi tinggi pada jaringan konka, namun tidak melebihi suhu 75 derajat

selsius. Operasi yang dilakukan dengan anastesi local dengan menggunakan

jarum aplikator dengan elemen termal pada daerah kepala dari konka yang

mengukur suhu jaringan. namun perlu diperhatikan mukosa tetap

dipertahankan. Literatur terakhir, metode ini cukup baik untuk terapi konka

hipertrofik.

Gambar 18 Reduksi konka dengan radiofrekuensi

36
e. Neurektomi n. vidianus (vidian neurectomy), yaitu dengan melakukan

pemotongan pada n. vidianus, bila dengan cara diatas tidak memberikan hasil.

Operasi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan keluhan rinore yang hebat.

Terapi ini sulit dilakukan, dengan angka kekambuhan yang cukup tinggi dan

dapat menimbulkan berbagai komplikasi.

Gambar 19 intrsphenoidal neurektomi n.vidianus. panah a dan b menunjukan kanal n.vidianus


pada dasar sinus sphenoidalis, sedangkan gambar c dan d merupakan tekhnik nerektomi dengan c.
knife atau d. probe curved

4.5. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi mungkin hanyalah infeksi pada nasal yang

dapat menyebabkan secret mukopurulent dan dapat terbentuk polip nasal, serta

dapat meluas dan menyebabkan sinusitis Komplikasi dari pembedahan biasanya

menyebabkan perdarahan nasal, dan dapat terbentuk krusta

37
BAB V

RINGKASAN

Rhinitis vasomotor adalah suatu inflamasi pada mukosa hidung yang

bukan merupakan proses alergi, non infeksius dan menyebabkan terjadinya

obstruksi hidung dan rinorea Penyebab pastinya tidak diketahui. Diduga akibat

gangguan keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh faktor-faktor

tertentu. Rinitis vasomotor sering ditemukan pada usia decade ke 3 - 4. Rinitis

vasomotor sering tidak terdiagnosis karena gejala klinisnya yang mirip dengan

rinitis alergi. Diagnosa rinitis vasomotor ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan

hasil pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan

histopatologis. Pada pemerisaan skin test diperlukan untuk membedakan dengan

rhinitis alergika, mengingat kemiripan gejala yang juga dimiliki oleh rinitis

alergika. , oleh sebab itu sangat diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan yang teliti

untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis lainnya terutama rinitis alergi dan

mencari faktor pencetus yang memicu terjadinya gangguan vasomotor.

Penatalaksanaan dapat dilakukan secara konservatif dan apabila gagal dapat

dilakukan tindakan operatif.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenger JJ. The Clinical Anatomy and Phisiology of The Nose and

Accessory Sinuses. Ballenger JJ (Eds). Diseases of the nose, throat, ear,head

and neck. 13th ed. Philadelphia 2013, 1 – 25.

2. Hilger PA. Disease of Nose. In Adom GL. Boies. LR. JR. Hilger. P.

Fundamental of Otalaryngology 6th ed. Philadelphia Sounders Company

2010; 206 - 48.

3. Edward W Chang. Nose Anotomy . Nose Anotomy from Otolaryngology and

Facial Plastic Surgery?Anatomy; 1-7 http://www.emedicine.com/ent/topic 6 .

Htm

4. V.J Lund. Anatomy of the nose and Parasanal Sinuses. Scoot Brown

Otolaryngology. Sixth ed, Butterworth heinemen Ed, 2011, 1/5/1 1-29

5. Soetjipto D. Mangunkusumo E. Wardani RS. Hidung. Dalam : Buku Ajar

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor :

Seopardi EA. Iskandar N. Bashiruddin J. Restuti RD. Edisi keenam. Balai

Penerbit FKUI, Jakarta, 2007. H: 118-122

6. Irawati N. Poerbonegoro NL. Kasakeyan E. Rinitis Vasomotor. Dalam : Buku

Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor :

Seopardi EA. Iskandar N. Bashiruddin J. Restuti RD. Edisi keenam. Balai

Penerbit FKUI, Jakarta, 2007. H: 135-37

39
7. Hilger PA. Hidung : Anatomi dan Fisiologi Terapan. Dalam : Boies Buku

Ajar Penyakit THT. Editor : Adams GL. Boies LR. Higler PA. Edisi keenam.

Jakarta EGC. 1997. H: 173-188

8. Hilger PA. Hidung : Penyakit Hidung. Dalam : Boies Buku Ajar Penyakit

THT. Editor : Adams GL. Boies LR. Higler PA. Edisi keenam. Jakarta EGC.

2009. H: 218-19

9. Pharmacotherapy for Nonallergic Rhinitis. Diakses dari :

http://emedicine.medscape.com/article/874171-overview Tanggal 10

September 2018.

10. Kopke RD, Jackson RL. Rhinitis. Dalam : Byron J, Bailey JB,Ed.

Otolaryngology Head and Neck Surgery. Philadelphia: Lippincott Comp,

1993.p. 269 – 87. 9.

11. Wainwright M, Gombako LA. Vasomotor Rhinitis. Diunduh dari

http://www.medschool.lsuhsc.edu/otor/Vasorhi.html . 22 Agustus 2016 10.

12. Becker W, Naumann H H, Pfaltz C R. Ear, Nose, and Throat Diseases A

Pocket Reference. 2nd ed. New York : Thieme Medical Publishers Inc, 1994.

p. 210-3.

40

Vous aimerez peut-être aussi