Vous êtes sur la page 1sur 41

Laporan Kasus

SINDROMA NEFROTIK

Diajukan sebagai salah satu syarat kepaniteraan klinik


di Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

Disusun oleh:
R. A. Deta Hanifah, S.Ked. 04054821719138
Theofilus Aswadi, S.Ked. 04054821719139
Rona Hawa Kamilah, S.Ked. 04054821820066

Pembimbing
Dr. dr. Taufik Indrajaya, SpPD, KKV

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

SINDROMA NEFROTIK

Oleh:
R. A. Deta Hanifah, S.Ked. 04054821719138
Theofilus Aswadi, S.Ked. 04054821719139
Rona Hawa Kamilah, S.Ked. 04054821820066

Laporan kasus ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
periode 26 Maret s.d. 4 Juni 2018

Palembang, April 2018

Dr. dr. Taufik Indrajaya, SpPD, KKV


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan dapat
menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Sindroma Nefrotik”. Laporan kasus
ini disusun sebagai salah satu syarat Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen
Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr.
Taufik Indrajaya, SpPD, KKV selaku pembimbing yang telah memberikan
bimbingan selama penulisan dan penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini
disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Kritik dan saran yang membangun
dari berbagai pihak sangat diharapkan demi perbaikan di masa yang akan datang.
Mudah-mudahan laporan ini dapat memberi manfaat dan pelajaran bagi kita
semua.

Palembang, April 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai


oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per 24
jam), hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria dan
hiperkoagulabilitas.1,7
Sindroma nefrotik (SN) disertai beberapa penyakit glomerulus (idiopatik)
primer, atau mungkin beruhubungan dengan berbagai jenis gangguan sistemik
dengan ginjal yang terserang secara sekunder. Contoh penyakit ginjal primer yang
disebabkan oleh sindroma nefrotik adalah nefropati lesi minimal, nefropati
membranosa, glomerulo-sklerosis fokal - segmental, glomerulonefritis membrano-
proliferatif.1,7
Penyebab SN sekunder sangat banyak, di antaranya diabetes glomerulo-
sklerosis, SLE, amiloidosis, purpura Henoch-Schonlein, obat-obatan (misal, Au,
captopril, heroin), penyakit kompleks imun lain yang disebabkan infeksi
(misalnya hepatitis B, endokarditis, infeksi pirau), neoplasma, dan sindroma
imunodefisiensi didapat (AIDS). Di klinik (75%-80%) kasus SN merupakan SN
primer (idiopatik) yang merupakan penyebab paling umum dari sindrom nefrotik
pada anak dengan umur rata-rata 2,5 tahun.1,2,7
Dua dari 10.000 orang mengalami sindroma nefrotik. Sindom Nerfrotik sulit
tentukan pada usia dewasa, karena biasanya kondisinya menyerupai penyakit lain.
Pada anak-anak, biasanya lebih banyak dialami oleh anak laki dibandingkan
perempuan, usia antara 2 -3 tahun. Angka kejadian SN pada anak tidak diketaui
pasti, namun laporan dari luar negeri diperkirakan pada anak usia dibawah 16
tahun berkisar antara 2 sampai 7 kasus per tahun pada setiap 100.000 anak.
Menurut Raja Syeh angka kejadian kasus sindrom nefrotik di Asia tercatat 2
kasus setiap 10.000 penduduk. Sedangkan kejadian di Indonesia pada sindrom
nefrotik mencapai 6 kasus pertahun dari 100.000 anak berusia kurang dari 14
tahun.2,3
Sifat khusus dari penyakit sindrom nefrotik adalah sering kambuh, sering
gagalnya pengobatan dan timbulnya penyulit, baik akibat dari penyulitnya sendiri
maupun oleh karena pengobatannya. Penyulit yang sering terjadi pada sindrom
nefrotik adalah infeksi, trombosis, gagal ginjal akut, malnutrisi, gangguan
pertumbuhan, hiperlipidemia dan anemia.3
Infeksi merupakan penyulit yang mengakibatkan morbiditas dan mortalitas
yang bermakna. Bentuk infeksi yang sering dijumpai pada sindrom nefrotik
adalah peritonitis, infeksi saluran kemih, dan sepsis. Obat-obat yang digunakan
untuk terapi penyakit ini pada umumnya sangat toksik seperti kortikosteroid dan
immunosuppressant. Pemakaian kortikosteroid dosis tinggi dalam waktu yang
lama dapat menekan sistem imun (imunocompromised) dan menimbulkan
berbagai efek samping yang merugikan seperti munculnya infeksi sekunder.3
Infeksi yang tidak ditangani sebagaimana mestinya akan mengakibatkan
kekambuhan dan resisten terhadap steroid. Mortalitas dan prognosis anak dengan
sindrom nefrotik bervariasi berdasakan etiologi, berat, luas kerusakan ginjal, usia
anak, kondisi yang mendasari dan responnya terhadap pengobatan. Namun sejak
diperkenalkannya kortikosteroid, mortalitas keseluruhan sindrom nefrotik telah
menurun drastis dari lebih dari 50% menjadi sekitar 2-5%. Pada beberapa episode
SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respon yang baik terhadap terapi
kortikosteroid, tetapi sebagian lain dapat berkembang menjadi kronik (penyakit
ginjal kronik).3,4
Mengingat manifestasi klinis, perjalanan penyakit SN sangat beragam,
mortalitas dan prognosis yang juga beragam maka diperlukan upaya pengenalan
dini serta penatalaksanaan yang tepat untuk menekan angka mortalitas dan
morbiditas.
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identifikasi
Nama : Tn. Eva Maulana
Umur : 20 Tahun
Alamat : OKU Timur
Suku : Sumatera
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : pelajar
MRS : 2 April 2018 pukul 16.30 dari Poliklinik
Tanggal periksa : 3 April 2018 pukul 18.00 WIB
No. RM : 1052601
Dokter muda : R. A. Deta Hanifah, S.Ked
Rona Hawa Kamilah, S.Ked
Theofilus Aswadi, S.Ked

2.2 Anamnesis
Informasi diperoleh secara autoanamnesis pada tanggal 3 April 2018 pukul 18.00
WIB.

Keluhan Utama:
Sembab pada seluruh tubuh yang bertambah berat sejak sekitar 3 minggu sebelum
masuk rumah sakit (SMRS).

Riwayat Perjalanan Penyakit:


Sejak sekitar 4 bulan SMRS, pasien mengeluh sembab pada wajah dan
kelopak mata yang dialami setiap pagi hari dan perlahan perlahan menghilang
setelah pasien beraktivitas. Demam (-), batuk (-), mual (-), muntah (-), nyeri dada
(-), nyeri perut (-), nyeri pinggang (-), BAK dan BAB seperti biasa. Pasien belum
berobat.
Sejak sekitar 3 bulan SMRS, pasien mengeluh perut terasa penuh dan kaki
mulai sembab. Demam (-), batuk (-), mual (+), muntah (-), nyeri dada (-), nyeri
perut (-), nyeri pinggang (-), BAK sedikit (-), BAK gelap (-), BAK merah (-),
BAK berbusa (+), nyeri saat BAK (-), BAB seperti biasa, mata kuning (-), gatal-
gatal (-), sesak saat beraktivitas (-), sesak saat berbaring (-), berdebar-debar (-).
Pasien belum berobat.
Sejak sekitar 2 minggu SMRS, pasien mengeluh sembab terjadi di hampir
seluruh tubuh diikuti kenaikan berat badan. Sembab pada wajah dan mata
dirasakan berkurang perlahan lalu menghilang setelah pasien beraktivitas, namun
sembab pada tungkai menetap. Demam (-), batuk (-), mual (+), muntah (-), nyeri
dada (-), nyeri perut (-), nyeri pinggang (-), BAK sedikit (+) ±3-4 kali sehari
banyaknya ½ gelas belimbing per kali, BAK gelap (-), BAK merah (-), BAK
berbusa (+), nyeri saat BAK (-), mata kuning (-), sesak (-) tidak berkurang dengan
istirahat, sesak saat berbaring (-), berdebar-debar (-). Pasien berobat ke Rumah
Sakit At-Taqwa Gumawang dan dirawat selama 5 hari. Pasien dipulangkan tanpa
ada perbaikan.
±3 hari SMRS, pasien mengeluh sembab semakin berat. Demam (+), batuk
(+) berdahak, mual (+), muntah (-), nyeri dada (-), nyeri perut (-), nyeri pinggang
(-), BAK sedikit (+) ±3-4 kali sehari banyaknya ½ gelas belimbing per kali, BAK
gelap (-), BAK merah (-), BAK berbusa (+), nyeri saat BAK (-), mata kuning (-),
sesak (+) tidak berkurang dengan istirahat, sesak saat berbaring (-), berdebar-
debar (-), penurunan nafsu makan (-). Pasien datang kembali ke RS At-Taqwa
Gumawang dan dirujuk ke RSMH Palembang untuk penanganan lebih lanjut.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat digigit serangga sebelumnya disangkal.
- Riwayat infeksi saluran napas atas sebelumnya disangkal.
- Riwayat alergi obat disangkal.
- Riwayat sakit kuning sebelumnya disangkal.
- Riwayat penyakit keganasan disangkal.
- Riwayat sakit jantung disangkal.
- Riwayat keluhan sensitif terhadap sinar matahari, rambut rontok dan nyeri-
nyeri sendi disangkal.
- Riwayat nyeri sendi pada pagi hari disangkal.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


- Riwayat penyakit keganasan pada keluarga disangkal.
- Riwayat infeksi saluran napas atas pada keluarga dalam beberapa bulan
terakhir disangkal.
- Riwayat alergi obat dalam keluarga disangkal.
- Riwayat sakit kuning dalam keluarga disangkal.
- Riwayat sakit jantung dalam keluarga disangkal.
- Riwayat sakit ginjal dalam keluarga disangkal.
- Riwayat keluhan sensitif terhadap sinar matahari, rambut rontok dan nyeri-
nyeri sendi disangkal.
- Riwayat nyeri sendi pada pagi hari disangkal.

Riwayat pengobatan:
- Riwayat konsumsi obat penghilang nyeri dalam jangka panjang disangkal.
- Riwayat konsumsi obat yang menyebabkan frekuensi BAK meningkat ada,
diberikan selama rawat inap di RS Gumawang.

Status Sosial Ekonomi dan Gizi:


- Pasien berasal dari keluarga dengan social ekonomi yang baik.
- Pasien mengkonsumsi makanan yang bergizi seimbang dirumah berupa nasi,
sayur-sayuran serta ayam, daging atau ikan sebagai menu makanan sehari-hari.

2.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit reguler, isi/kualitas cukup
Respirasi : 22 x/menit, reguler
Suhu : 36,7oC
Berat Badan : 63 kg
Tinggi Badan : 167 cm
Lingkar Perut : 87,2 cm
BB Ideal : 60,3 kg

Pemeriksaan Khusus
Kepala : Normosefali, simetris, rambut berwarna hitam,
lurus,licin, tidak mudah dicabut, alopesia tidak ada.
Mata : Sklera ikterik (-/-), konjungtiva palpebra pucat (+/+),
injeksi konjungtiva (-/-), pupil bulat isokor, 3mm/3mm,
refleks cahaya (+/+), edema palpebra (+/+).
Hidung : Deformitas (-), deviasi septum nasal (-), sekret (-/-),
mukosa dan konka inferior hiperemis (-/-).
Mulut : Sianosis sirkumoral (-), cheilitis angularis (-), stomatitis (-),
mukosa mulut: hiperemis (-), ulkus (-), atropi papil (-), arkus faring
simetris, uvula di tengah, tonsil T1-T1, dinding faring posterior
hiperemis (-).
Leher : KGB tidak teraba, JVP (5-2 cmH2O), struma (-).

Pulmo
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris kanan dan kiri,
retraksi dinding dada (-/-), ginekomastia (-/-)
Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan kiri normal, nyeri tekan (-/-)
Perkusi : Sonor pada kedua hemitoraks, batas paru hepar di ICS VI,
peranjakan 1 jari
Auskultasi : Vesikuler (+) normal kedua hemitoraks, ronkhi (-), wheezing (-)

Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat.
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill tidak teraba.
Perkusi : Batas jantung atas ICS II.
Batas jantung kanan ICS V linea sternalis dextra.
Batas jantung kiri sulit dinilai.
Auskultasi : HR: 82x/menit, regular, bunyi jantung I-II normal,
murmur (-), gallop (-).

Abdomen
Inspeksi : cembung, skar (-), venektasi (-), caput medusae (-).
Palpasi : tegang, nyeri tekan (-), hepar dan lien sulit dinilai, massa sulit
dinilai.
Perkusi : timpani pada regio umbilical dan redup pada regio lainnya,
shifting dullness (+).
Auskultasi : bising usus (+) normal.

Genitalia : edema pada skrotum.

Ekstremitas : deformitas (-), akral pucat (-), palmar eritema (-), akral hangat (+),
edema pretibial (+), CRT < 2”, clubbing finger (-).

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Hasil laboratorium tanggal 03/04/2018
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 10,9g/dL 14-18 g/dL
Eritrosit 5,1 .106/mm3 4,5-5,5. 106/mm3
Leukosit 9100/mm3 5000-10.000/mm3
Hematokrit 44 % 40 - 50%
Trombosit 321.000/µL 150.000-400.000/µL
Diff.count 0/6/61/28/5 0-1/1-6/50-70/20-
40/2-8
SGOT 22 U/L 0-32 U/L
SGPT 10 U/L 0-31 U/L
Protein total 4,6 6,4-8,3 g/dL
Albumin 1,6 3,5-5,0 g/dL
Ureum 48 16,6-48,5 mg/dL
Kreatinin 0,80 0,50-0,90 mg/dL
Kolesterol 477 <200 mg/dL
total
HDL 38 >65 mg/dL
LDL 301 <150 mg/dL
Trigliserida 350 <150 mg/dL
Elektrolit
Ca 7,0 8,4-9,7mmol/L
Na 142 135-155 mEq/L
K 4,5 3,5-5,5 mEq/L

2.5 Resume
Pasien datang ke poliklinik RSMH atas rujukan RS At-Taqwa Gumawang
OKU. Sekitar 4 bulan SMRS, pasien mengeluh sembab pada wajah dan kelopak
mata yang dialami setiap pagi hari dan perlahan perlahan menghilang setelah
pasien beraktivitas. Pasien belum berobat.
Sekitar 3 bulan SMRS, pasien mengeluh perut terasa penuh dan kaki mulai
sembab. BAK berbusa (+) dan BAB seperti biasa. Pasien belum berobat. Sekitar 2
minggu SMRS, pasien mengeluh sembab terjadi di hampir seluruh tubuh diikuti
kenaikan berat badan. Sembab pada wajah dan mata dirasakan berkurang perlahan
lalu menghilang setelah pasien beraktivitas, namun sembab pada tungkai menetap.
Keluhan mual (+), BAK sedikit (+) ±3-4 kali sehari banyaknya ½ gelas belimbing
per kali, berbusa (+), sesak (-). Pasien berobat ke Rumah Sakit At-Taqwa
Gumawang dan dirawat selama 5 hari kemudian tanpa ada perbaikan.
Sekitar 3 hari SMRS, pasien mengeluh sembab semakin berat. Mual (+),
BAK sedikit (+) ± 3-4 kali sehari banyaknya ½ gelas belimbing per kali, berbusa
(+), sesak (+) tidak berkurang dengan istirahat, sesak saat berbaring (-). Pasien
datang kembali ke RS At-Taqwa Gumawang dan dirujuk ke RSMH Palembang.
2.6 Diagnosis Sementara
Sindroma nefrotik

2.7 Diagnosis Banding


Sindroma nefritik, gagal jantung kongestif

2.8 Terapi awal


Non Farmakologis
- Tirah baring
- Diet rendah garam, rendah kolesterol
- Restriksi cairan
- Edukasi
Farmakologis
- Inj. Furosemide 40 mg i.v. tiap 24 jam
- Prednison tab 5 mg 4-4-4 p.o.
- Captopril tab 12,5 mg tiap 12 jam
- Simvastatin tab 20 mg tiap 24 jam

2.9 Rencana Pemeriksaan


- Darah lengkap (Hb, Ht, eritrosit, leukosit, trombosit, hitung jenis, retikulosit)
- Urine rutin
- EKG
- Tes fungsi hati
- Tes fungsi ginjal
- Foto toraks
- Biopsi ginjal

2.10 Prognosis
Quo ad Vitam : bonam
Quo ad Functionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad bonam
2.11 Follow up
Tanggal: 4 April 2018 pukul 06.00 WIB
S : sembab seluruh tubuh (+) P:
O : Keadaan Umum :tampak sakit sedang Non farmakologis:
Kesadaran :Compos Mentis - Tirah baring
TD :110/70 mmHg - Diet rendah garam,
Nadi : 88x/ menit rendah kolesterol
RR : 20x/menit, - Restriksi cairan
Suhu : 36,7oC - Edukasi
BB : 63 kg
Lingkar perut : 94 cm Farmakologis:
- Inj. Furosemide 40 mg
Kepala : Sklera ikterik (-/-), konjungtiva i.v. tiap 24 jam
palpebra pucat (+/+), edema - Prednison tab 5 mg 4-4-4
palpebra (+/+). p.o.
Leher : KGB tidak teraba, JVP (5-2) - Captopril tab 12,5 mg
cmH2O, struma (-). tiap 12 jam
Pulmo : Statis dan dinamis simetris kanan - Simvastatin tab 20 mg
dan kiri, retraksi dinding dada (-/-), tiap 24 jam
stem fremitus kanan sama dengan
kiri normal, perkusi sonor di kedua
hemitoraks, suara napas vesikuler
(+) normal, ronki (-), wheezing (-)
Cor : Iktus kordis tidak terlihat, iktus
kordis tidak teraba, batas jantung
atas ICS II, batas jantung kanan
ICS V linea sternalis dextra, batas
jantung kiri sulit dinilai, HR:
82x/menit, regular, bunyi jantung I-
II normal, murmur (-), gallop (-).
Abdomen : cembung, venektasi (-), caput
medusae (-), tegang, nyeri tekan (-),
hepar dan lien sulit dinilai, timpani
pada regio umbilikal dan redup
pada regio lainnya, shifting dullness
(+), bising usus (+) normal.
Ekstremitas : akral pucat (-), hangat, palmar
eritema (-), edema pretibial (+),
CRT < 2”
Tanggal: 5 April 2018 pukul 06.00 WIB
S : sembab seluruh tubuh (+) P:
O : Keadaan Umum :tampak sakit sedang Non farmakologis:
Kesadaran :Compos Mentis - Tirah baring
TD :110/70 mmHg - Diet rendah garam,
Nadi : 88x/ menit rendah kolesterol
RR : 20x/menit, - Restriksi cairan
Suhu : 36,7oC - Edukasi
BB : 63 kg
Lingkar perut : 94 cm Farmakologis:
- Inj. Furosemide 40 mg
Kepala : Sklera ikterik (-/-), konjungtiva i.v. tiap 24 jam
palpebra pucat (+/+), edema - Prednison tab 5 mg 4-4-4
palpebra (+/+). p.o.
Leher : KGB tidak teraba, JVP (5-2) - Captopril tab 12,5 mg
cmH2O, struma (-). tiap 12 jam
Pulmo : Statis dan dinamis simetris kanan - Simvastatin tab 20 mg
dan kiri, retraksi dinding dada (-/-), tiap 24 jam
stem fremitus kanan sama dengan
kiri normal, perkusi sonor di kedua
hemitoraks, suara napas vesikuler
(+) normal, ronki (-), wheezing (-)
Cor : Iktus kordis tidak terlihat, iktus
kordis tidak teraba, batas jantung
atas ICS II, batas jantung kanan
ICS V linea sternalis dextra, batas
jantung kiri sulit dinilai, HR:
82x/menit, regular, bunyi jantung I-
II normal, murmur (-), gallop (-).
Abdomen : cembung, venektasi (-), caput
medusae (-), tegang, nyeri tekan (-),
hepar dan lien sulit dinilai, timpani
pada regio umbilikal dan redup
pada regio lainnya, shifting dullness
(+), bising usus (+) normal.
Ekstremitas : akral pucat (-), hangat, palmar
eritema (-), edema pretibial (+),
CRT < 2”

2.12 Rencana Monitoring dan Evaluasi


- Tanda-tanda vital, berat badan, lingkar perut
- Urine output
- Fungsi ginjal (ureum, kreatinin)
- Elektrolit (Na, K, Cl)
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi Ginjal


Ginjal merupakan organ pada tubuh manusia yang menjalankan
banyak fungsi untuk homeostasis, yang terutama adalah sebagai organ
ekskresi dan pengatur keseimbangan cairan dan asam basa dalam tubuh.
Terdapat sepasang ginjal pada manusia, masing - masing di sisi kiri dan
kanan (lateral) tulang vertebra dan terletak retroperitoneal (di belakang
peritoneum). Selain itu sepasang ginjal tersebut dilengkapi juga dengan
sepasang ureter, sebuah vesika urinaria (buli - buli/kandung kemih) dan
uretra yang membawa urin ke lingkungan luar tubuh.1

Tabel 2.1 Topografi Ginjal


Anterior Ginjal kiri Ginjal kanan
Dinding dorsal gaster Lobus kanan hati
Pankreas Duodenum pars
Limpa descendens
Vasa lienalis Fleksura hepatica
Usus halus Usus halus
Fleksura lienalis
Posterior Diafragma, m.psoas major, m. quadratus lumborum,
m.transversus abdominis (aponeurosis), n.subcostalis,
n.iliohypogastricus, a.subcostalis, aa.lumbales 1-2(3),
iga 12 (ginjal kanan) dan iga 11-12 (ginjal kiri)

Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terdapat


sepasang (masing - masing satu di sebelah kanan dan kiri vertebra) dan
posisinya retroperitoneal. Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah
(kurang lebih 1 cm) dibanding ginjal kiri oleh karena adanya hati yang
mendesak ginjal sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga 11
(vertebra T12), sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11
atau iga 12. Adapun kutub bawah ginjal kiri adalah processus transversus
vertebra L2 (kira-kira 5 cm dari krista iliaka), sedangkan kutub bawah ginjal
kanan adalah pertengahan vertebra L3. Dari batas-batas tersebut dapat
terlihat bahwa ginjal kanan posisinya lebih rendah dibandingkan ginjal kiri.1

Sumber: Sherwood, 2011


Gambar 2.2 Letak dan Anatomi Ginjal

Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian:


1. Korteks
Bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari korpus
renalis/Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus
proksimal, dan tubulus kontortus distalis.
2. Medulla
Terdiri dari 9-14 pyramid. Di dalamnya terdiri dari tubulus rektus,
lengkung Henle, dan tubulus pengumpul (ductus collectivus).
3. Columna renalis
Bagian korteks di antara pyramid ginjal.
4. Processus renalis
Bagian pyramid/medula yang menonjol ke arah korteks.
5. Hilus renalis
Suatu bagian di mana pembuluh darah, serabut saraf atau duktus
memasuki/meninggalkan ginjal.
6. Papilla renalis
Bagian yang menghubungkan antara duktus pengumpul dan calix
minor.
7. Calix minor
Percabangan dari calix major.
8. Calix major
Percabangan dari pelvis renalis.
9. Pelvis renalis
Disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan antara
calyx major dan ureter.
10. Ureter
Saluran yang membawa urine menuju vesica urinaria.

Unit fungsional ginjal disebut nefron. Nefron terdiri dari korpus


renalis/Malpighi (yaitu glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus
proksimal, lengkung Henle dan tubulus kontortus distal yang bermuara pada
tubulus kolektivus. Di sekeliling tubulus ginjal tersebut terdapat pembuluh
darah kapiler,yaitu arteriol yang membawa darah dari dan
menuju glomerulus serta kapiler peritubulus (yang memperdarahi jaringan
ginjal). Berdasarkan letakya, nefron dapat dibagi menjadi: (1) nefron
kortikal, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di korteks yang
relatif jauh dari medula serta hanya sedikit saja bagian lengkung Henle yang
terbenam pada medula, dan (2) nefron juxta medula, yaitu nefron di mana
korpus renalisnya terletak di tepi medula, memiliki lengkung Henle yang
terbenam jauh ke dalam medula dan pembuluh - pembuluh darah panjang
dan lurus yang disebut sebagai vasa rekta.1
Sumber: Sherwood, 2011
Gambar 2.3 Vaskularisasi Ginjal

Ginjal diperdarahi oleh arteri dan vena renalis. A. renalis merupakan


percabangan dari aorta abdominal, sedangkan v. renalis akan bermuara pada
vena cava inferior. Setelah memasuki ginjal melalui hilus, a. renalis akan
bercabang menjadi arteri sublobaris, a. arcuata, a. interlobaris yang akan
memperdarahi segmen - segmen tertentu pada ginjal, yaitu segmen superior,
anterior-superior, anterior - inferior, inferior serta posterior. Ginjal memiliki
persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk persarafan simpatis, ginjal
melalui segmen T10-L1 atau L2, melalui n. splanchnicus major, n.
splanchnicus imus dan n. lumbalis. Saraf ini berperan untuk vasomotorik
dan aferen viseral. Sedangkan persarafan simpatis melalui n. vagus.1

3.2. Fisiologi Ginjal


Ginjal ikut mengatur keseimbangan biokimia tubuh manusia dengan
cara mengatur keseimbangan air, mengatur konsentrasi garam dalam darah,
mengatur asam basa darah, pengaturan ekskresi bahan buangan dan
kelebihan garam serta memproduksi hormon yaitu :
 Prostaglandin : berfungsi untuk pengaturan garam dan air serta
mempengaruhi tekanan vaskuler
 Eritropoietin : berfungsi untuk merangsang produksi sel darah merah
 1,25 dihidroksikolekalsiferol : berfungsi memperkuat absorpsi kalsium
dari usus dan reabsorbsi fosfat oleh tubulus renalis
 Renin : berfungsi bekerja pada jalur angiotensin untuk meningkatkan
tekanan vaskuler dan produksi aldosteron

Tiga tahap pembentukan urin:


 Filtrasi glomerular
Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada
glomerulus, seperti kapiler tubuh lainnya, kapiler glomerulus secara
relatif bersifat impermeabel terhadap protein plasma yang besar dan
cukup permeabel terhadap air dan larutan yang lebih kecil seperti
elektrolit, asam amino, glukosa, dan sisa nitrogen.
Aliran darah ginjal (RBF = Renal Blood Flow) adalah sekitar 25%
dari curah jantung atau sekitar 1200 ml/menit. Sekitar seperlima dari
plasma atau sekitar 125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsul
Bowman. Ini dikenal dengan laju filtrasi glomerulus (GFR = Glomerular
Filtration Rate).2
Gerakan masuk ke kapsula bowman disebut filtrat. Tekanan filtrasi
berasal dari perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler glomerulus
dan kapsula bowman, tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus
mempermudah filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik
filtrat dalam kapsula bowman serta tekanan osmotik koloid darah. Filtrasi
glomerulus tidak hanya dipengaruhi oleh tekanan – tekanan koloid diatas
namun juga oleh permeabilitas dinding kapiler.2
 Reabsorpsi
Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non
elektrolit, elektrolit, dan, air. Setelah filtrasi, langkah kedua adalah
reabsorpsi selektif zat-zat tersebut kembali lagi zat - zat yang
sudah difiltrasi.2
 Sekresi
Sekresi tubular melibatkan transfor aktif molekul - molekul dari
aliran darah melalui tubulus ke dalam filtrat. Banyak substansi yang
disekresi tidak terjadi secara alamiah dalam tubuh (misalnya penisilin).
Substansi yang secara alamiah terjadi dalam tubuh termasuk asam urat
dan kalium serta ion - ion hidrogen.2
Pada tubulus distalis, transpor aktif natrium sistem carier yang juga
telibat dalam sekresi hidrogen dan ion - ion kalium tubular. Dalam
hubungan ini, tiap kali carier membawa natrium keluar dari cairan
tubular, carier nya bisa hidrogen atau ion kalium ke dalam cairan tubular,
“perjalanannya kembali” jadi, untuk setiap ion natrium yang diabsorpsi,
hidrogen atau kalium harus disekresi dan sebaliknya.2
Pilihan kation yang akan disekresi tergantung pada konsentrasi
cairan ekstratubular (CES) dari ion - ion ini (hidrogen dan kalium).
Pengetahuan tentang pertukaran kation dalam tubulus distalis ini
membantu kita memahami beberapa hubungan yang dimiliki elektrolit
dengan lainnya. Sebagai contoh, kita dapat mengerti mengapa
bloker aldosteron dapat menyebabkan hiperkalemia atau mengapa pada
awalnya dapat terjadi penurunan kalium plasma ketika asidosis berat
dikoreksi secara terapeutik.2

3.3. Sindroma Nefrotik


3.3.1. Definisi
Suatu kompleks klinis yang mencakup : proteinuria massif, dengan
pengeluaran protein didalam urine ≥3,5 gr/24 jam, hipoalbuminemia dengan
kadar albumin plasma kurang dari 3gr/dl, edema generalisata/ edema
anasarka yaitu gambaran klinis yang paling mencolok serta hiperlipidemia.6
3.3.2. Epidemiologi
Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi
minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat
diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada
orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-
rata 30 - 50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN
idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa
3/1000.000/tahun. Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak
disebabkan oleh diabetes mellitus.9

3.3.3. Etiologi
Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer (GN
primer) dan sekunder (GN sekunder) akibat infeksi, keganasan, penyakit
jaringan penghubung (connective tissue disease), obat atau toksin, dan
akibat penyakit sistemik seperti tercantum pada table berikut:

Tabel 2.2. Klasifikasi dan Penyebab Sindrom Nefrotik


Klaifikasi Penyebab
Glomerulonefritis primer o GN lesi minimal (GNLM)
(GN primer) o Glomerulosklerosis fokal (GSF)
o GN membranosa (GNMN)
o GN membranoproliferatif (GNMP)
o GN proliferatif lain
Glomerulonefritis o HIV, hepatitis virus B dan C
sekunder akibat infeksi o Sifilis, malaria, skistosoma
o Tuberculosis, lepra
Keganasan Adenokarsinoma:
o Paru
o Payudara
o Kolon
Limfoma non Hodgkin
Myeloma multipel
Karsinoma ginjal
Penyakit jaringan o SLE
terhubung o Arthritis rheumatoid
o MCTD (mixed connective tissue disease)
Efek obat dan toksin o Obat antiinflamasi non-steroid
o Preparat emas
o Penisilinamin
o Probenesid
o Air raksa
o Kaptopril
o Heroin
Lain – lain Diabetes mellitus, amiloidosis, preeklamsia, rejeksi
alograf kronik, refluks vesikoureter, atau sengatan lebah
Sumber: Wiguno Prodjosudjadi, 2007

3.3.4. Patofisiologi
Ada banyak bentuk penyakit glomerulus dengan patogenesis
bervariasi, terkait dengan adanya mutasi genetik, infeksi, paparan toksin,
autoimunitas, aterosklerosis, hipertensi, emboli, trombosis, atau diabetes
mellitus. Bahkan, setelah adanya studi penelitian, bagaimanapun penyebab
tersering tetap tidak diketahui, dan lesi ini disebut idiopatik.
Terdapat beberapa teori mengenai terjadinya sindrom nefrotik
idiopatik yaitu:
1. Soluble Antigen Antibody Complex (SAAC)2
Antigen yang masuk ke sirkulasi menimbulkan antibodi sehingga
terjadi reaksi antigen antibodi yang larut (“soluble”) dalam darah. SAAC
ini kemudian menyebabkan sistem komplemen dalam tubuh bereaksi
sehingga komplemen C3 akan bersatu dengan SAAC membentuk deposit
yang kemudian terperangkap di bawah epitel kapsula Bowman yang
secara imunofloresensi terlihat berupa benjolan yang disebut HUMPS
sepanjang membrana basalis glomerulus berbentuk granuler atau noduler.
Komplemen C3 yang ada dalam HUMPS inilah yang menyebabkan
permeabilitas membran basalis glomerulus terganggu sehingga eritrosit,
protein dan lain-lain dapat melewati membrana basalis glomerulus
sehingga dapat dijumpai dalam urin.7
2. Perubahan elektroemis
Selain perubahan struktur membrana basalis glomerulus, maka
perubahan elektrokemis dapat juga menimbulkan proteinuria. Dari
beberapa percobaan terbukti bahwa kelainan terpenting pada glomerulus
berupa gangguan fungsi elektrostatik (sebagai sawar glomerulus terhadap
filtrasi protein) yaitu hilangnya fixed negative ion yang terdapat pada
lapisan sialo-protein gomeruli. Akibat hilangnya muatan listrik ini
permeabilitas membrana basalis glomerulus terhadap protein berat
molekul rendah seperti albumin meningkat sehingga albumin dapat
keluar bersama urin.7
Beberapa penyakit glomerulus terjadi melalui mutasi genetik yang
diproduksi dari penyakit familial. Misalkan pada (1) sindrom nefrotik
kongenital berasal dari mutasi NPHS1 (nephrin) dan NPHS2 (podocin)
yang mempengaruhi membrane pori – pori setelah lahir, serta mutasi
saluran kation TRPC6 saat masa dewasa yang menghasilkan
glomerulosklerosis fokal segmental (FSGS). (2) Lipodistrofi sebagian
dari mutasi pada gen yang mengkode Lamin A/C atau PPAR sehingga
menyebabkan sindrom metabolic yang dapat berhubungan dengan
glomerulonefritis membranoproliferatif (MPGN), yang kadang – kadang
disertai dengan deposit padat dan faktor nefritik C3. (3) Sindrom Alport,
mutasi pada gen yang mengkode 3, 4, atau 5 rantai kolagen tipe IV,
menghasilkan split – basement membrane dengan glomerulosklerosis, (4)
penyakit penyimpanan lisosomal, seperti kekurangan enzim
galaktosidase yang menyebabkan penyakit Fabry, dan defisiensi N -
acetyl neuraminic asam hidrolase menyebabkan nephrosialidosis
menghasilkan FSGS.6
Hipertensi sistemik dan aterosklerosis dapat menghasilkan tekanan
stress, iskemia, atau bahan oksidan dari lemak sehingga menyebabkan
hipertensi kronis glomerulosklerosis. Hipertensi maligna dapat secara
cepat menjadi glomeruloskelrosis dengan fibrinoid dari arteriol dan
glomeruli, mikroangiopati trombotik, dan gagal ginjal akut. Nefropati
diabetik merupakan cedera sklerotik yang diperoleh dari penebalan GBM
sekunder dengan efek hiperglikemia yang lama, glikosilasi produk akhir,
dan oksigen reaktif.6
Peradangan pada glomerulus kapiler disebut glomerulonefritis.
Kebanyakan, glomerulus atau antigen mesangial yang terlibat dalam
reaksi immune – mediated glomerulonephritis tidak diketahui.6
Epitel glomerulus atau sel mesangial dapat mengungkapkan epitop
yang meniru protein imunogenik lain yang bersal dari bagian tubuh yang
lain. Bakteri, jamur, dan virus dapat langsung menginfeksi ginjal dengan
memproduksi antigen sendiri. Penyakit autoimun seperti
glomerulonefritis membransa ideopatik (MGN) atau MPGN terbatas
pada ginjal, sedangkan penyakit inflamasi sistemikseperti lupus nefritis
atau agranulomatosis Wegener menyebar ke ginjal menyebabkan cedera
glomerulus sekunder. Sindrom Antiglomerular basal membrane
menghasilkan sindrom Goodpasture yang melukai paru – paru dan ginjal
karena distribusi sempit dari domain 3 NC1 dari kolagen IV.6

Sumber: Silbernagl, F.Lang, 2000


Gambar 2.4 Patofisiologi Glomerulonefritis

Awal aktivasi sel T memainkan peran penting dalam mekanisme


glomerulonefritis. Antigen yang dikeluarkan oleh kompleks
histokompatibilitas kelas utama II (MCH) pada makrofag dan sel dendritik
dalam hubungannya dengan molekul asosiatif melibatkan CD4 / 8 repertoar
sel T.6
 Proteinuria
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap
protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal, membrane
basal glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang pertama
berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan
muatan listrik (charge barrier). Pada sindrom nefrotik, kedua mekanisme
penghalang tersebut ikut terganggu. Selain itu, konfigurasi molekul
protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui MBG.3
Proteinuria dibedakan menjadi selekif dan non – selektif
berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria
selektif apabila yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin,
sedangkan non – selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul
besar seperti immunoglobulin. Selektivitas proteinuria ditentukan oleh
keutuhan struktur MBG.3
Pada sindrom nefrotik yang disebabkan oleh GNLM ditemukan
proteinuria selektif. Pemeriksaan mikroskop elektron memperlihatkan
fusi foot processus sel epitel viseral glomerulus dan terlepasnya sel dari
struktur MBG. Berkurangnya kandungan heparin sulfat proteoglikan
pada GNLM menyebabkan muatan negatif MBG menurun dan albumin
dapat lolos ke dalam urin. Pada GSFS, peningkatan permeabilitas MBG
disebabkan oleh suatu faktor yang ikut dalam sirkulasi. Faktor tersebut
menyebabkan sel epitel viseral glomerulus terlepas dari MBG sehingga
permeabilitasnya meningkat. Pada GNMN kerusakan struktur MBG
terjadi akibat endapan kompleks imun di sub – epitel. Kompleks C5b – 9
yang terbentuk pada GNMN akan meningkatkan permeabilitas MBG,
walaupun mekanisme yang pasti belum diketahui.3
Oleh karena protinuria parallel dengan kerusakan membrane
basalis glomerulus, maka proteinuria dapat dijadikan sebagai petunjuk
sederhana untuk menentukan derajat keruskan glomerulus. Jadi, yang
diukur dalah index selectivity of proteinuria (ISP). ISP dapat ditentukan
dengan mengukur rasio antara clearance IgG dan clearance transferin.7
Bila ISP < 0,2 berarti ISP meninggi (High Seletive proteinuria)
yang secara klinik menunjukkan:
 Kerusakan glomerulus ringan
 Respon terhadap kortikosteroid baik
Bila ISP > 0,2 berarti ISP menurun (Poorly Selectivity Proteinuria) yang
secara klinik menunjukkan:
 Kerusakan glomerulus berat
 Tidak respon terhadap kortikosteroid

 Hipoalbuminemia
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis
albumin hati, dan kehilangan protein melalui urin. Pada sindrom nefrotik,
hipoalbumin disebabkan oleh proteinura massif dengan akibat penurunan
tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik
plasma, hati meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis
albumin, hati tidak berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia.
Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi dapat
mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin.
Hipoalbuminemia dapat pula terjadi akibat peningkatan reabsorpsi dan
katabolisme albumin oleh tubulus proksimal.3

 Edema
Edema pada sindrom nefrotik dapat diterangkan dengan teori
underfill dan overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa
hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema pada
sindrom nefrotik. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan
onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan
interstitsium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik
plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal
melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air.
Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intrvaskular tetapi
juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema
semakin berlanjut.3
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek
renal utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan
ekstraselular meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi
glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan
edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan secara bersama pada
pasien sindroma nefrotik. Faktor seperti asupan natrium, efek diuretik,
atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus,
dan keterkaitan dengan penyakit jantung atau hati akan menentukan
mekanisme mana yang lebih berperan.3

Sumber: Sylvia A.Price, Lorraine M. Wilson, 2005


Gambar 2.5 Patogenesis Edema Nefrotik

 Hiperlipidemia dan lipiduria


Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyerai SN.
Disebut hiperlipidemia/hiperkolesterolemia bila kadar kolesterol > 250
mg/100ml. Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan
peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya
katabolisme.3
Semula diduga hiperlipidemia merupakan hasil stimulasi non-
spesifik terhadap sintesis protein oleh hati. Karena sintesis protein tidak
berkorelasi dengan hiperlipidemia disimpulkan bahwa hiperlipidemia
tidak langsung diakibatkan oleh hipoalbuminemia. Hiperlipidemia dapat
ditemukan pada SN dengan kadar albumin mendekti normal dan
sebaliknya pada pasien dengan hipoalbuminemia kadar kolesterol dapat
normal.3
Peningkatan kadar kolesterol disebabkan oleh meningkatnya LDL
(low density lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar
trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL (very low
density lipoprotein). Selain itu, ditemukan pula peningkatan IDL
(intermediate density lipoprotein) dan lipoprotein (Lp)a, sedangkan HDL
(high density lipoprotein) cenderung normal atau rendah.3
Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan oleh peningatan sintesis
hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan
konversi VLDL dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi
pada SN. Menurunnya aktivitas enzim LPL (lipoprotein lipase) diduga
merupakan penyebab berkurangnya katabolisme VLDL pada SN.3
Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat peningkatan
tekanan onkotik plasma atau viskositas yang menurun. Penurunan kadar
HDL pada SN diduga akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT
(lecithin cholesterol acyltransferase) yang berfungsi katalisasi
pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari
sirkulasi menuju hati untuk katabolisme. Penurunan aktivitas enzim
tersebut diduga terkait dengan hipoalbuminemia yang terjadi pada SN.
Lipiduria sering ditemukan pada SN dan ditandai dengan akumulasi lipid
pada debris sel dan cast seperti badan lemak berbentuk oval (oval fat
bodies) dan fatty cast. Lipiduria lebih dikaitkan dengan proteinuria
daripada dengan hiperlipidemia.3
3.3.5. Gejala klinis
Gejala sindrom nefrotik adalah urin berbuih (proteinuria) kaki berat,
bengkak, dingin dan tidak berasa, penderita merasa lemah dan mudah lelah
(keseimbangan nitrogen negative) anoreksia, diare. Edema merupakan
gejala utama, bervariasi dari bentuk ringan sampai berat (anasarka) dan
merupakan gejala satu - satunya yang nampak. Edema mula-mula nampak
pada kelopak mata terutama waktu bangun tidur. Edema yang hebat atau
anasarka sering disertai edema pada genitalia eksterna. Selain itu edema
anasarka ini dapat menimbulkan diare dan hilangnya nafsu makan karena
edema mukosa usus. Hernia umbilikalis, dilatasi vena, prolaps rektum, dan
sesak napas dapat pula terjadi akibat edema anasarka.4
Tanda dari SN adalah edema yang dapat timbul di daerah periorbita,
konjungtiva, diding perut, sedi lutut, efusi pleura, ascites. Selain itu juga
hilangnya massa otot rangka, kuku memperlihatkan pita-pita putih
melintang (muerchke’s band) akibat hipoalbumin, hipertensi.4,5

3.3.6. Diagnosis
Diagnosis SN dibuat berdasarkan anamnesis, gambaran klinis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Edema merupakan gejala klinis yang menonjol, terjadi pada sekitar
95% dari penderita SN. Tahap awal edema terlihat pada area tubuh yang
resistensi jaringannya rendah, seperti kedua kelopak mata, skrotum, dan
labial. Edema dapat menetap atau bertambah, baik lambat ataupun cepat,
atau dapat hilang dan timbul kembali. Lambat laun edema menyeluruh,
yaitu ke pinggang, perut, dan tungkai bawah sehingga penyakit yang
sebenarnya menjadi tambah nyata. Pada keadaan lebih lanjut dapat
timbul asites, pembengkakan skrotum, atau labia dan bahkan efusi
pleura. Edema bersifat pitting edema dan lebih tampak jelas pada wajah
pada pagi hari, dan kemudian menjadi predominan pada ekstremitas
bawah pada siang hari.6
Gangguan gastrointestinal sering ditemukan pada perjalanan
penyakit SN. Diare sering dialami pasien dalam keadaan edema yang
massif dan keadaan ini rupanya tidak berkaitan dengan infeksi, namun
diduga penyebabnya adalah edema di mukosa usus.5
Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin
disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema, atau keduanya.
Pada beberapa pasien nyeri perut yang kadang – kadang berat, dapat
terjadi. Kemungkinan adanya abdomen akut atau peritonitis harus
disingkirkan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lainnya. Bila
komplikasi ini tidak ada, kemungkinan penyebab nyeri tidak diketahui
namun dapat disebabkan oleh edema dinding perut atau pembengkakan
hati (kongestif hepar). Kadang nyeri dirasakan terbatas pada kuadran
kanan atas abdomen. Nafsu makan berkurang berhubungan erat dengan
beratnya edema.7
Gangguan pernafasan oleh karena adanya distensi abdomen dengan
atau tanpa efusi pleura maka pernafasan sering terganggu. Riwayat ispa
sering terjadi pada onset awal SN. Pasien dengan sindroma nefrotik dapat
mengalami gross hematuria disertai dengan resiko thrombosis vena
renalis.7
2. Pemeriksaan penunjang
 Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan:
1. Proteinuria masif ≥3,5 g/24 jam, Proteinuria ++++ ( dengan
dipstick)
2. Hipoalbuminema (< 3g/dl)
3. Hiperlipidemia/dislipidemia
4. Lipiduria
5. Hiperkoagulabilitas 3,5
 Pemeriksaan serum elektrolit, diantaranya BUN, kreatinin, kalsium
(rendah oleh karena hipoalbumin), natrium (rendah oleh karena
hiperlipidemia) dan fosfor. Pasien dengan SN ideopatik dapat terjadi
gagal ginjal akut oleh karena deplesi volume intravaskuler dan/atau
thrombosis vena renalis bilateral.
 Pemeriksaan C3,C4, antinuclear antibodi (ANA)
 Biopsi ginjal
 Biopsi ginjal tidak diindikasikan bagi pasien SN primer dengan awitan
usia 1- 8 tahun, kecuali jika riwayat klinis, temuan pada pemeriksaan
fisik, maupun hasil laboratorium mengindikasikan kemungkinan SN
sekunder atau SN primer.
 Pemeriksaan ultrasonografi atau venografi ginjal bila curiga adanya
thrombosis vena ginjal.7

3.3.7. Penatalaksanaan
 Terapi non farmakologis
Pengobatan yang umum adalah diet yang mengandung protein dan
kalium dalam jumlah yang normal dengan lemak jenuh dan natrium yang
rendah. Diet untuk pasien SN adalah 35 kal/kgBB/hari sebagian besar
terdiri dari karbohidrat. Dianjurkan diet protein normal 0,8 – 1
g/kgBB/hari. Giardano dkk memberikan diet protein 0,6 g/kgBB/hari
ditambah dengn jumlah gram protein sesuai tekanan kapiler glomerulus,
area permukaan filtrasi dan mengurangi proteinuria sampai 75%. Namun,
utntuk mengurangi edema diberikan diet rendah garam 1 – 2 gram/hari).
Tirah baring bila terdapat edema anasarka.4,5

 Terapi farmakologis
Pada prinsipnya terapi SN terdiri dari terapi umum dan terapi spesifik.
1. Terapi umum
1.1 Pengobatan untuk edema
Dapat diberikan loop diuretic (furosemid) oral. Bila belum
ada respon, dosis ditingkatkan hingga terjadi diuresis, bila perlu
dikombinasi dengan hydrochlorothiazide oral (bekerja sinergistik
dengan Furosemid). Bila tetap tidak respon beri furosemid secara
IV, bila perlu disertai pemberian infuse albumin, dan bila tetap
belum ada respon perlu dipertimbangkan ultrafiltrasi mekanik
(terutama untuk kasus dengan insufisiensi ginjal).4,5
Pembatasan diet garam, 1-2 g/hari dan pembatasan cairan.
Bila perlu tirah baring, terutama untuk orang tua dengan edema
tungkai berat karena kemungkinan adanya insufisiensi venous.
Pengukuran berat badan setiap hari untuk mengevaluasi edema
dan keseimbangan cairan harus dicatat. BB diharapkan turun 0,5-
1 kg/hari.

1.2 Pengobatan untuk proteinuria


ACE inhibitor paling sering digunakan, cara kerjanya
menghambat vasokonstriksi pada arteriol eferen. Angiotensin II
Receptor Antagonis (ARB) mempunyai efektivitas yang sama
dengan ACEI, tetapi tidak didapatkan efek batuk seperti pada
ACEI.4,5

1.3 Koreksi hipoproteinemia


Untuk memelihara keseimbangan nitrogen yang positif
dibutuhkan peningkatan kadar protein serum, tetapi pemberian
diit tinggi protein selain sulit dipenuhi penderita (anoreksia) juga
terbukti meningkatkan ekskresi protein urin. Untuk penderita SN
diberikan diit tinggi kalori/karbohidrat (untuk memaksimalkan
penggunaan protein yang dimakan) dan protein cukup (0,8-1
mg/kgBB/hr).4,5

1.4 Terapi hiperlipidemia


Walaupun belum ada bukti yang jelas bahwa hiperlipidemia
pada SN meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular, tetapi apa
yang terjadi pada populasi umum perlu dipakai sebagai
pertimbangan untuk menurunkan kadar lipid pada penderita SN.
Dapat digunakan golongan HMG-CoA reductase inhibitor
(statin)4,5
1.5 Hypercoagulability
Masih terdapat silang pendapat mengenai perlunya
pemberian antokoagulasi jangka panjang pada semua penderita
SN guna mencegah terjadinya resiko thrombosis, tetapi bila telah
terjadi thrombosis atau emboli paru maka perlu dipertimbangkan
antikoagulasi jangka panjang, seperti Warfarin.4,5

1.6 Pengobatan infeksi


Antibiotik yang tepat, hanya diberikan bila ada tanda-tanda
infeksi sekunder.4,5

1.7 Pengobatan hipertensi


Bila terdapat hipertensi dapat diberikan ACEI, Non
Dihydropiridin, Calcium Channel Blocker (CCB). Pemberian
diuretik dan pembatasan diit garam juga ikut berperan dalam
pengelolaan hipertensi.4,5

2. Terapi spesifik
Patogenesis sebagian besar penyakit glomerular dikaitkan
dengan gangguan imun, dengan demikian terapi spesifiknya adalah
dengan pemberian imunosupresif.
Prednisone 1mg/kgBB/hari atau 60mg/hari dapat diberikan
antara 4-12 minggu selanjutnya diturunkan secara bertahap dalam 2-3
bulan. Steroid memberi respon yang baik untuk minimal change,
walaupun pada orang dewasa responnya lebih lambat dibandingkan
dengan anak-anak.9
Pengobatan kortikosteroid menurut International Cooperative
Study of Kidney Disease in Children (ISKDC): selama 28 hari
prednisone diberikan per oral dengan dois 60 mg/hari luas permukaan
badan (1bp) dengan maksimum 80 mg/hari. Kemudian dilanjutkan
dengan prednisone per oral selama 28 hari dengan dosis 40
mg/hari/1bp, setiap 3 hari dalam satu minggu dengan dosis maksimum
60 mg/hari. 9
Bila terdpat respon selama pengobatan, maka pengobatan ini
dilanjutkan secara intermitten selama 4 minggu. Pada pasien yang
sering relaps dengan kortikosteroid atau resisten terhadap
kortikosteroid dapat digunakan terapi lain dengan siklofosfamid atau
klorambusil. Siklofosfamid memberi remisi yang lebih lama daripada
kortikosteroid (75% selama 2 tahun) dengan dosis 2 – 3 mg/kgBB/hari
selama 8 minggu.9
Cyclophosphamide untuk penderita yang mengalami relaps
setelah steroid dihentikan (steroid-dependent) atau mengalami relaps
>3 kali dalam setahun (frequently relapsing) bisa diberikan
cyclophosphamide 2mg/kgBB/hr selama 8-12 minggu. Pada
penggunaan cyclophosphamide perlu diwaspadai terjadinya efek
samping berupa infertilitas, cystitis, alopecia, infeksi, malignansi.4,5
Klorambusil digunakan dengan alasan yang sama dengan
cyclophosphamide. Dosis 0,1-0,2/kgBB/hr selama 8-12 minggu.4,5
Pada penderita yang mengalami relaps setelah pemberian
cyclophosphamide, diberikan Cyclosporine A (CyA) dengan dosis
awal 4-5 mg/kgBB/hari, di mana dosis selanjutnya perlu disesuaikan
dengan kadar CyA dalam darah. Pemberian berlangsung selama 1
tahun kemudian diturunkan perlahan-lahan. Mengingat CyA
mempunyai efek nefrotoksik, perlu memonitor fungsi ginjal.4,5
Azathioprine dengan dosis 2-2,5 mg/kgBB/hari digunakan untuk
Nefritis Lupus.4,5

3.3.8. Komplikasi
1. Keseimbangan nitrogen
Proteinuria masif pada SN akan menyebabkan keseimbangan
nitrogen menjadi negatif. Penurunan massa otot sering ditemukan tetapi
gejala ini tertutup oleh gejala edema anasarka dan baru tampak setelah
edema menghilang. Kehilangan massa otot sebesar 10 – 20 % dari massa
tubuh (lean body masss) tidak jarang dijumpai pada SN.7
2. Hiperkoagulasi
Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada SN akibat
peningkatan koagulasi intravaskular. Pada GNMN kecenderungn terjadi
thrombosis vena renalis cukup tinggi sedangkan pada GNLM dan GNMP
frekuensinya kecil. Emboli paru dan thrombosis vena dalam (deep vein
thrombosis) sering dijumpai pada SN. Gangguan koagulasi yang terjadi
disebabkan peningkatan sintesis protein oleh hati dan kehilangan protein
melalui urin.3
3. Metabolisme kalsium dan tulang
Vitamin D merupakan unsur penting dalam metabolism kalsium
dan tulang pada manusia. Vitamin D yang terikat protein akan
diekskresikan melalui urin sehingga menyebabkan penurunan kadar
plasma. Kadar 25(OH)D dan 1,25 (OH)2D plasma juga menurun
sedangkan kadar vitamin D bebas tidak mengalami gangguan. 3
Pada SN juga terjadi kehilangan hormone tiroid yang terikat
protein (thyroid – stimulating hormone) melalui urin dan penurunan
kadar tiroksin plasma. Tiroksin yang bebas dan hormone yang
menstimulasi tiroksin (TSH) tetap normal sehingga secara klinis tidak
menimbulkan gangguan.3
4. Infeksi
Sebelum era antibiotik, infeksi sering merupakan penyebab
kematian pada SN terutama oleh organisme berkapsul (encapsulated
organisms). Infeksi pada SN akibat defek imunitas humoral, selular, dan
gangguan system komplemen. Penurunan IgG, IgA, dan gamma globulin
sering ditemukan pada pasien SN oleh karena sintesis yang menurun atau
katabolisme yang meningkat dn bertambah banyaknya yang terbuang
melalui urin. Jumlah sel T dalam sirkulasi berkurang yang
menggambarkan ganggun imunitas selular. Hal ini dikaitkan keluarnya
transferin dan zinc yang dibutuhkan oleh sel T agar dapat berfungsi
normal.3
5. Gangguan fungsi ginjal
Pasien SN mempunyai potensi untuk mengalami gagal ginjal akut
melalui berbagai mekanisme. Penurunan volume plasma dan atau sepsis
sering menyebabkan nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang
diperkirakan menjadi penyebab gagal ginjal akut adalah terjadinya edema
intrarenal yang menyebabkan kompresi pada tubulus ginjal.3
6. Malnutrisi
Malnutrisi kalori protein dapat terjadi pada SN dewasa terutama
apabila disertai proteinuria masif, asupan oral yang kurang, dn proses
katabolisme yang tinggi. Kemungkinan efk toksik obat yang terikat
protein akan meningkat karena hipoalbuminemia menyebabkan kadar
obat bebas dalam plasma lebih tinggi. Hipertensi tida jarnag ditemukan
sebagai komplikasi SN terutama dikaitkan dengan retensi natrium dan
air.3
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien laki-laki, 20 tahun, datang dengan keluhan sembab di kaki dan dan
perut yang semakin berat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan
sembab telah dialami pasien sejak sekitar 4 bulan dan dimulai pada wajah dan
kelopak mata terutama pada pagi hari dan perlahan menghilang. Sembab
merupakan gejala yang timbul akibat penumpukan cairan di kompartemen
interstisial. Cairan terutama berkumpul pada daerah dengan jaringan ikat longgar,
karena jaringan ikat longgar memiliki ruang potensial yang besar. Pada tubuh
manusia, daerah dengan jaringan ikat longgar yang banyak termasuk palpebra,
rongga abdomen, pretibia, serta skrotum pada laki-laki dan labia mayora pada
perempuan.
Penumpukan cairan di kompartemen interstisial dapat dijelaskan oleh teori
underfill dan overflow. Menurut teori underfill, penumpukan cairan disebabkan
oleh penurunan tekanan onkotik plasma yang menyebabkan cairan tidak dapat
tertahan di kompartemen intravaskular. Penurunan tekanan onkotik dapat
disebabkan oleh penurunan albumin. Menurut teori overflow, penumpukan cairan
disebabkan oleh retensi natrium di ginjal, sehingga reabsorpsi cairan di ginjal juga
meningkat. Selain itu penumpukan cairan juga dapat disebabkan oleh stasis aliran
balik vena, seperti terjadi pada pasien trombosis vena dalam dan gagal jantung
kongestif.
Sembab pada kelopak mata pasien timbul terutama pada malam hari dan
perlahan menghilang setelah pasien beraktivitas. Keluhan tersebut terjadi karena
pengaruh gaya gravitasi yang menyebabkan cairan turun ke bawah seiring pasien
beraktivitas.
Pada perjalanan penyakit ditemukan bahwa keluhan sembab kemudian
terjadi juga pada perut dan kaki. Perburukan kondisi ini menunjukkan bahwa
cairan yang menumpuk semakin banyak. Pasien juga mengeluh buang air kecil
berbusa. Air seni berbusa merupakan penanda bahwa terdapat protein dalam urin.
Mual pada pasien dapat terjadi karena terdapat penumpukan cairan yang banyak.
Keluhan sembab kemudian semakin memberat di hampir seluruh tubuh
disertai pertambahan berat badan sehingga pasien berobat ke sebuah rumah sakit
swasta. Pasien juga mengeluh buang air kecil menjadi sedikit yang mungkin
disebabkan karena aliran darah ke ginjal menurun. Hal ini dapat terjadi karena
meskipun terjadi penumpukan cairan tetapi cairan berada pada kompartemen
ekstravaskular bukan intravaskular. Pasien juga mengeluh sesak yang mungkin
disebabkan oleh penumpukan cairan di rongga pleura atau desakan organ-organ
intraabdominal seperti hepar akibat asites. Saat dirawat di rumah sakit pasien lupa
pengobatan yang diberikan dan mengatakan bahwa tidak ada perbaikan sehingga
pasien pulang. Sekitar 3 hari sebelum masuk rumah sakit pasien merasa sembab
semakin berat sehingga pasien kembali berobat ke rumah sakit swasta dan dirujuk
ke RSMH.
Keluhan sembab dapat disebabkan oleh kelainan pada beberapa organ
seperti jantung (gagal jantung kongestif), ginjal (gagal ginjal, sindrom nefrotik),
hati (sirosis hepatis), serta juga pada sistem imun (alergi obat, reaksi anafilaksis)
dan nutrisi (kwashiorkor).
Berdasarkan hasil anamnesis, gangguan pada jantung dapat disingkirkan
karena tidak ada keluhan sesak dan jantung berdebar serta sembab dimulai dari
kelopak mata dan wajah. Gangguan pada hati dapat disingkirkan karena tidak ada
keluhan kuning. Gangguan pada nutrisi disingkirkan karena pola makan pasien
teratur, cukup, dan seimbang. Gangguan sistem imun dapat disingkirkan karena
tidak ada riwayat makan obat sebelumnya, keluhan sembab tidak berlangsung
cepat, dan tidak ada keluhan sesak. Penyakit infeksi dapat disisngkirkan karena
tidak ada keluhan demam.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan konjungtiva palpebra anemis, edema
palpebra, shifting dullness, dan pitting edema. Kecurigaan efusi pleura dapat
disingkirkan karena tidak terdapat penurunan stem fremitus, perkusi masih sonor,
dan suara napas vesikuler normal pada kedua hemitoraks. Sesak kemungkinan
disebabkan oleh desakan hepar karena batas paru hepar meranjak ke ICS IV.
Meskipun demikian, masih dapat terjadi efusi pleura minimal yang tidak
terdeteksi oleh pemeriksaan fisik sehingga diperlukan pemeriksaan foto toraks.
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik ditegakkan diagnosis
sementara berupa anemia karena terdapat konjungtiva anemis; dan edema
anasarka suspek sindrom nefrotik karena sembab dimulai dari kelopak mata dan
wajah, terdapat pitting edema, dan kencing berbusa. Diagnosis banding pada
pasien adalah sindroma nefritik dan gagal jantung kongestif.
Untuk konfirmasi diagnosis anemia dilakukan pemeriksaan hematologi (Hb,
Ht, eritrosit, MCV, MCH, MCHC, dan retikulosit. Untuk konfirmasi diagnosis
sindroma nefrotik dilakukan pemeriksaan urinalisis (urine dipstick, urine Esbach),
kolesterol dan albumin serum. Pada urinalisis juga perlu dilakukan pemeriksaan
eritrosit untuk melihat adanya hematuria mikroskopis dan menyingkirkan
sindroma nefritik.
Hasil pemeriksaan laboratorium hematologi menunjukkan bahwa Hb 10,9
g/dL, menandakan secara klinis pasien dianggap belum anemis. Protein total
menurun dan albumin kurang dari 3,5 g/dL menandakan hipoalbumin. Kolesterol
total 477 mg/dL menandakan hiperkolesterolemia.
Pasien direncanakan ditatalaksana secara nonfarmakologis dengan tirah
baring, diet rendah garam dan rendah kolesterol, serta restriksi cairan. Untuk
tatalaksana farmakologis pasien diberikan injeksi Furosemide 40 mg i.v. tiap 24
jam, Prednison tablet 5 mg 4-4-4 p.o., Captopril tablet 12,5 mg tiap 12 jam p.o.,
dan Simvastatin tablet 20 mg tiap 24 jam. Furosemide termasuk dalam golongan
loop diuretics dan bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi natrium di ansa
Henle sehingga reabsorpsi cairan ikut menurun. Prednison termasuk dalam
golongan kortikosteroid dan berperan dalam menghambat proses inflamasi,
melalui penurunan permeabilitas kapiler dan supresi aktivitas neutrofil
polimorfonuklear, pada glomerulus yang diduga berperan dalam patogenesis
sindrom nefrotik. Captopril termasuk dalam golongan inhibitor angiostensin
converting enzyme (ACE inhibitor) dan berperan dalam penurunan proteinuria.
Simvastatin termasuk dalam golongan inhibitor HMG-CoA reduktase dan
berperan dalam produksi kolesterol endogen.
DAFTAR PUSTAKA

1. Purnomo BB. Dasar-dasar UROLOGI, Ed. 3. Jakarta: CV Agung Seto, 2011


2. Guyton C, Hall E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Ed. 12. Jakarta: EGC,
2012
3. Prodjosudjati W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1, Ed. IV. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2014
4. Tjokroprawiro A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga RS. Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya. Surabaya:
Airlangga University Press, 2007
5. Robbins, Kumar. Buku Ajar Patologi, Ed 7. Jakarta: EGC, 2007
6. Sylvia AP, Lorraine MW. Patofisiologi “Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit”, Ed 6. Jakarta: EGC, 2009
7. Anthony SF, et al. Harrison’s Manual Of Medicine. McGraw-Hill, 2009
8. Bettie J. Guidline for the management of nephrotic syndrome. Renal Unit
Royal Hospital For Sick Children Yorkhill Division. Glasgow: NHS, 2007
9. Sherwood L. Fisiologi Manusia. Jakarta: EGC, 2011
10. Silbernagl S, Lang F. Color Atlas of Pathophysiology. New York : Thieme,
2010

Vous aimerez peut-être aussi