Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
SINDROMA NEFROTIK
Disusun oleh:
R. A. Deta Hanifah, S.Ked. 04054821719138
Theofilus Aswadi, S.Ked. 04054821719139
Rona Hawa Kamilah, S.Ked. 04054821820066
Pembimbing
Dr. dr. Taufik Indrajaya, SpPD, KKV
Laporan Kasus
SINDROMA NEFROTIK
Oleh:
R. A. Deta Hanifah, S.Ked. 04054821719138
Theofilus Aswadi, S.Ked. 04054821719139
Rona Hawa Kamilah, S.Ked. 04054821820066
Laporan kasus ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
periode 26 Maret s.d. 4 Juni 2018
Puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan dapat
menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Sindroma Nefrotik”. Laporan kasus
ini disusun sebagai salah satu syarat Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen
Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr.
Taufik Indrajaya, SpPD, KKV selaku pembimbing yang telah memberikan
bimbingan selama penulisan dan penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini
disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Kritik dan saran yang membangun
dari berbagai pihak sangat diharapkan demi perbaikan di masa yang akan datang.
Mudah-mudahan laporan ini dapat memberi manfaat dan pelajaran bagi kita
semua.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
2.1 Identifikasi
Nama : Tn. Eva Maulana
Umur : 20 Tahun
Alamat : OKU Timur
Suku : Sumatera
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : pelajar
MRS : 2 April 2018 pukul 16.30 dari Poliklinik
Tanggal periksa : 3 April 2018 pukul 18.00 WIB
No. RM : 1052601
Dokter muda : R. A. Deta Hanifah, S.Ked
Rona Hawa Kamilah, S.Ked
Theofilus Aswadi, S.Ked
2.2 Anamnesis
Informasi diperoleh secara autoanamnesis pada tanggal 3 April 2018 pukul 18.00
WIB.
Keluhan Utama:
Sembab pada seluruh tubuh yang bertambah berat sejak sekitar 3 minggu sebelum
masuk rumah sakit (SMRS).
Riwayat pengobatan:
- Riwayat konsumsi obat penghilang nyeri dalam jangka panjang disangkal.
- Riwayat konsumsi obat yang menyebabkan frekuensi BAK meningkat ada,
diberikan selama rawat inap di RS Gumawang.
Pemeriksaan Khusus
Kepala : Normosefali, simetris, rambut berwarna hitam,
lurus,licin, tidak mudah dicabut, alopesia tidak ada.
Mata : Sklera ikterik (-/-), konjungtiva palpebra pucat (+/+),
injeksi konjungtiva (-/-), pupil bulat isokor, 3mm/3mm,
refleks cahaya (+/+), edema palpebra (+/+).
Hidung : Deformitas (-), deviasi septum nasal (-), sekret (-/-),
mukosa dan konka inferior hiperemis (-/-).
Mulut : Sianosis sirkumoral (-), cheilitis angularis (-), stomatitis (-),
mukosa mulut: hiperemis (-), ulkus (-), atropi papil (-), arkus faring
simetris, uvula di tengah, tonsil T1-T1, dinding faring posterior
hiperemis (-).
Leher : KGB tidak teraba, JVP (5-2 cmH2O), struma (-).
Pulmo
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris kanan dan kiri,
retraksi dinding dada (-/-), ginekomastia (-/-)
Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan kiri normal, nyeri tekan (-/-)
Perkusi : Sonor pada kedua hemitoraks, batas paru hepar di ICS VI,
peranjakan 1 jari
Auskultasi : Vesikuler (+) normal kedua hemitoraks, ronkhi (-), wheezing (-)
Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat.
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill tidak teraba.
Perkusi : Batas jantung atas ICS II.
Batas jantung kanan ICS V linea sternalis dextra.
Batas jantung kiri sulit dinilai.
Auskultasi : HR: 82x/menit, regular, bunyi jantung I-II normal,
murmur (-), gallop (-).
Abdomen
Inspeksi : cembung, skar (-), venektasi (-), caput medusae (-).
Palpasi : tegang, nyeri tekan (-), hepar dan lien sulit dinilai, massa sulit
dinilai.
Perkusi : timpani pada regio umbilical dan redup pada regio lainnya,
shifting dullness (+).
Auskultasi : bising usus (+) normal.
Ekstremitas : deformitas (-), akral pucat (-), palmar eritema (-), akral hangat (+),
edema pretibial (+), CRT < 2”, clubbing finger (-).
2.5 Resume
Pasien datang ke poliklinik RSMH atas rujukan RS At-Taqwa Gumawang
OKU. Sekitar 4 bulan SMRS, pasien mengeluh sembab pada wajah dan kelopak
mata yang dialami setiap pagi hari dan perlahan perlahan menghilang setelah
pasien beraktivitas. Pasien belum berobat.
Sekitar 3 bulan SMRS, pasien mengeluh perut terasa penuh dan kaki mulai
sembab. BAK berbusa (+) dan BAB seperti biasa. Pasien belum berobat. Sekitar 2
minggu SMRS, pasien mengeluh sembab terjadi di hampir seluruh tubuh diikuti
kenaikan berat badan. Sembab pada wajah dan mata dirasakan berkurang perlahan
lalu menghilang setelah pasien beraktivitas, namun sembab pada tungkai menetap.
Keluhan mual (+), BAK sedikit (+) ±3-4 kali sehari banyaknya ½ gelas belimbing
per kali, berbusa (+), sesak (-). Pasien berobat ke Rumah Sakit At-Taqwa
Gumawang dan dirawat selama 5 hari kemudian tanpa ada perbaikan.
Sekitar 3 hari SMRS, pasien mengeluh sembab semakin berat. Mual (+),
BAK sedikit (+) ± 3-4 kali sehari banyaknya ½ gelas belimbing per kali, berbusa
(+), sesak (+) tidak berkurang dengan istirahat, sesak saat berbaring (-). Pasien
datang kembali ke RS At-Taqwa Gumawang dan dirujuk ke RSMH Palembang.
2.6 Diagnosis Sementara
Sindroma nefrotik
2.10 Prognosis
Quo ad Vitam : bonam
Quo ad Functionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad bonam
2.11 Follow up
Tanggal: 4 April 2018 pukul 06.00 WIB
S : sembab seluruh tubuh (+) P:
O : Keadaan Umum :tampak sakit sedang Non farmakologis:
Kesadaran :Compos Mentis - Tirah baring
TD :110/70 mmHg - Diet rendah garam,
Nadi : 88x/ menit rendah kolesterol
RR : 20x/menit, - Restriksi cairan
Suhu : 36,7oC - Edukasi
BB : 63 kg
Lingkar perut : 94 cm Farmakologis:
- Inj. Furosemide 40 mg
Kepala : Sklera ikterik (-/-), konjungtiva i.v. tiap 24 jam
palpebra pucat (+/+), edema - Prednison tab 5 mg 4-4-4
palpebra (+/+). p.o.
Leher : KGB tidak teraba, JVP (5-2) - Captopril tab 12,5 mg
cmH2O, struma (-). tiap 12 jam
Pulmo : Statis dan dinamis simetris kanan - Simvastatin tab 20 mg
dan kiri, retraksi dinding dada (-/-), tiap 24 jam
stem fremitus kanan sama dengan
kiri normal, perkusi sonor di kedua
hemitoraks, suara napas vesikuler
(+) normal, ronki (-), wheezing (-)
Cor : Iktus kordis tidak terlihat, iktus
kordis tidak teraba, batas jantung
atas ICS II, batas jantung kanan
ICS V linea sternalis dextra, batas
jantung kiri sulit dinilai, HR:
82x/menit, regular, bunyi jantung I-
II normal, murmur (-), gallop (-).
Abdomen : cembung, venektasi (-), caput
medusae (-), tegang, nyeri tekan (-),
hepar dan lien sulit dinilai, timpani
pada regio umbilikal dan redup
pada regio lainnya, shifting dullness
(+), bising usus (+) normal.
Ekstremitas : akral pucat (-), hangat, palmar
eritema (-), edema pretibial (+),
CRT < 2”
Tanggal: 5 April 2018 pukul 06.00 WIB
S : sembab seluruh tubuh (+) P:
O : Keadaan Umum :tampak sakit sedang Non farmakologis:
Kesadaran :Compos Mentis - Tirah baring
TD :110/70 mmHg - Diet rendah garam,
Nadi : 88x/ menit rendah kolesterol
RR : 20x/menit, - Restriksi cairan
Suhu : 36,7oC - Edukasi
BB : 63 kg
Lingkar perut : 94 cm Farmakologis:
- Inj. Furosemide 40 mg
Kepala : Sklera ikterik (-/-), konjungtiva i.v. tiap 24 jam
palpebra pucat (+/+), edema - Prednison tab 5 mg 4-4-4
palpebra (+/+). p.o.
Leher : KGB tidak teraba, JVP (5-2) - Captopril tab 12,5 mg
cmH2O, struma (-). tiap 12 jam
Pulmo : Statis dan dinamis simetris kanan - Simvastatin tab 20 mg
dan kiri, retraksi dinding dada (-/-), tiap 24 jam
stem fremitus kanan sama dengan
kiri normal, perkusi sonor di kedua
hemitoraks, suara napas vesikuler
(+) normal, ronki (-), wheezing (-)
Cor : Iktus kordis tidak terlihat, iktus
kordis tidak teraba, batas jantung
atas ICS II, batas jantung kanan
ICS V linea sternalis dextra, batas
jantung kiri sulit dinilai, HR:
82x/menit, regular, bunyi jantung I-
II normal, murmur (-), gallop (-).
Abdomen : cembung, venektasi (-), caput
medusae (-), tegang, nyeri tekan (-),
hepar dan lien sulit dinilai, timpani
pada regio umbilikal dan redup
pada regio lainnya, shifting dullness
(+), bising usus (+) normal.
Ekstremitas : akral pucat (-), hangat, palmar
eritema (-), edema pretibial (+),
CRT < 2”
3.3.3. Etiologi
Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer (GN
primer) dan sekunder (GN sekunder) akibat infeksi, keganasan, penyakit
jaringan penghubung (connective tissue disease), obat atau toksin, dan
akibat penyakit sistemik seperti tercantum pada table berikut:
3.3.4. Patofisiologi
Ada banyak bentuk penyakit glomerulus dengan patogenesis
bervariasi, terkait dengan adanya mutasi genetik, infeksi, paparan toksin,
autoimunitas, aterosklerosis, hipertensi, emboli, trombosis, atau diabetes
mellitus. Bahkan, setelah adanya studi penelitian, bagaimanapun penyebab
tersering tetap tidak diketahui, dan lesi ini disebut idiopatik.
Terdapat beberapa teori mengenai terjadinya sindrom nefrotik
idiopatik yaitu:
1. Soluble Antigen Antibody Complex (SAAC)2
Antigen yang masuk ke sirkulasi menimbulkan antibodi sehingga
terjadi reaksi antigen antibodi yang larut (“soluble”) dalam darah. SAAC
ini kemudian menyebabkan sistem komplemen dalam tubuh bereaksi
sehingga komplemen C3 akan bersatu dengan SAAC membentuk deposit
yang kemudian terperangkap di bawah epitel kapsula Bowman yang
secara imunofloresensi terlihat berupa benjolan yang disebut HUMPS
sepanjang membrana basalis glomerulus berbentuk granuler atau noduler.
Komplemen C3 yang ada dalam HUMPS inilah yang menyebabkan
permeabilitas membran basalis glomerulus terganggu sehingga eritrosit,
protein dan lain-lain dapat melewati membrana basalis glomerulus
sehingga dapat dijumpai dalam urin.7
2. Perubahan elektroemis
Selain perubahan struktur membrana basalis glomerulus, maka
perubahan elektrokemis dapat juga menimbulkan proteinuria. Dari
beberapa percobaan terbukti bahwa kelainan terpenting pada glomerulus
berupa gangguan fungsi elektrostatik (sebagai sawar glomerulus terhadap
filtrasi protein) yaitu hilangnya fixed negative ion yang terdapat pada
lapisan sialo-protein gomeruli. Akibat hilangnya muatan listrik ini
permeabilitas membrana basalis glomerulus terhadap protein berat
molekul rendah seperti albumin meningkat sehingga albumin dapat
keluar bersama urin.7
Beberapa penyakit glomerulus terjadi melalui mutasi genetik yang
diproduksi dari penyakit familial. Misalkan pada (1) sindrom nefrotik
kongenital berasal dari mutasi NPHS1 (nephrin) dan NPHS2 (podocin)
yang mempengaruhi membrane pori – pori setelah lahir, serta mutasi
saluran kation TRPC6 saat masa dewasa yang menghasilkan
glomerulosklerosis fokal segmental (FSGS). (2) Lipodistrofi sebagian
dari mutasi pada gen yang mengkode Lamin A/C atau PPAR sehingga
menyebabkan sindrom metabolic yang dapat berhubungan dengan
glomerulonefritis membranoproliferatif (MPGN), yang kadang – kadang
disertai dengan deposit padat dan faktor nefritik C3. (3) Sindrom Alport,
mutasi pada gen yang mengkode 3, 4, atau 5 rantai kolagen tipe IV,
menghasilkan split – basement membrane dengan glomerulosklerosis, (4)
penyakit penyimpanan lisosomal, seperti kekurangan enzim
galaktosidase yang menyebabkan penyakit Fabry, dan defisiensi N -
acetyl neuraminic asam hidrolase menyebabkan nephrosialidosis
menghasilkan FSGS.6
Hipertensi sistemik dan aterosklerosis dapat menghasilkan tekanan
stress, iskemia, atau bahan oksidan dari lemak sehingga menyebabkan
hipertensi kronis glomerulosklerosis. Hipertensi maligna dapat secara
cepat menjadi glomeruloskelrosis dengan fibrinoid dari arteriol dan
glomeruli, mikroangiopati trombotik, dan gagal ginjal akut. Nefropati
diabetik merupakan cedera sklerotik yang diperoleh dari penebalan GBM
sekunder dengan efek hiperglikemia yang lama, glikosilasi produk akhir,
dan oksigen reaktif.6
Peradangan pada glomerulus kapiler disebut glomerulonefritis.
Kebanyakan, glomerulus atau antigen mesangial yang terlibat dalam
reaksi immune – mediated glomerulonephritis tidak diketahui.6
Epitel glomerulus atau sel mesangial dapat mengungkapkan epitop
yang meniru protein imunogenik lain yang bersal dari bagian tubuh yang
lain. Bakteri, jamur, dan virus dapat langsung menginfeksi ginjal dengan
memproduksi antigen sendiri. Penyakit autoimun seperti
glomerulonefritis membransa ideopatik (MGN) atau MPGN terbatas
pada ginjal, sedangkan penyakit inflamasi sistemikseperti lupus nefritis
atau agranulomatosis Wegener menyebar ke ginjal menyebabkan cedera
glomerulus sekunder. Sindrom Antiglomerular basal membrane
menghasilkan sindrom Goodpasture yang melukai paru – paru dan ginjal
karena distribusi sempit dari domain 3 NC1 dari kolagen IV.6
Hipoalbuminemia
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis
albumin hati, dan kehilangan protein melalui urin. Pada sindrom nefrotik,
hipoalbumin disebabkan oleh proteinura massif dengan akibat penurunan
tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik
plasma, hati meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis
albumin, hati tidak berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia.
Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi dapat
mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin.
Hipoalbuminemia dapat pula terjadi akibat peningkatan reabsorpsi dan
katabolisme albumin oleh tubulus proksimal.3
Edema
Edema pada sindrom nefrotik dapat diterangkan dengan teori
underfill dan overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa
hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema pada
sindrom nefrotik. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan
onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan
interstitsium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik
plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal
melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air.
Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intrvaskular tetapi
juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema
semakin berlanjut.3
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek
renal utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan
ekstraselular meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi
glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan
edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan secara bersama pada
pasien sindroma nefrotik. Faktor seperti asupan natrium, efek diuretik,
atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus,
dan keterkaitan dengan penyakit jantung atau hati akan menentukan
mekanisme mana yang lebih berperan.3
3.3.6. Diagnosis
Diagnosis SN dibuat berdasarkan anamnesis, gambaran klinis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Edema merupakan gejala klinis yang menonjol, terjadi pada sekitar
95% dari penderita SN. Tahap awal edema terlihat pada area tubuh yang
resistensi jaringannya rendah, seperti kedua kelopak mata, skrotum, dan
labial. Edema dapat menetap atau bertambah, baik lambat ataupun cepat,
atau dapat hilang dan timbul kembali. Lambat laun edema menyeluruh,
yaitu ke pinggang, perut, dan tungkai bawah sehingga penyakit yang
sebenarnya menjadi tambah nyata. Pada keadaan lebih lanjut dapat
timbul asites, pembengkakan skrotum, atau labia dan bahkan efusi
pleura. Edema bersifat pitting edema dan lebih tampak jelas pada wajah
pada pagi hari, dan kemudian menjadi predominan pada ekstremitas
bawah pada siang hari.6
Gangguan gastrointestinal sering ditemukan pada perjalanan
penyakit SN. Diare sering dialami pasien dalam keadaan edema yang
massif dan keadaan ini rupanya tidak berkaitan dengan infeksi, namun
diduga penyebabnya adalah edema di mukosa usus.5
Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin
disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema, atau keduanya.
Pada beberapa pasien nyeri perut yang kadang – kadang berat, dapat
terjadi. Kemungkinan adanya abdomen akut atau peritonitis harus
disingkirkan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lainnya. Bila
komplikasi ini tidak ada, kemungkinan penyebab nyeri tidak diketahui
namun dapat disebabkan oleh edema dinding perut atau pembengkakan
hati (kongestif hepar). Kadang nyeri dirasakan terbatas pada kuadran
kanan atas abdomen. Nafsu makan berkurang berhubungan erat dengan
beratnya edema.7
Gangguan pernafasan oleh karena adanya distensi abdomen dengan
atau tanpa efusi pleura maka pernafasan sering terganggu. Riwayat ispa
sering terjadi pada onset awal SN. Pasien dengan sindroma nefrotik dapat
mengalami gross hematuria disertai dengan resiko thrombosis vena
renalis.7
2. Pemeriksaan penunjang
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan:
1. Proteinuria masif ≥3,5 g/24 jam, Proteinuria ++++ ( dengan
dipstick)
2. Hipoalbuminema (< 3g/dl)
3. Hiperlipidemia/dislipidemia
4. Lipiduria
5. Hiperkoagulabilitas 3,5
Pemeriksaan serum elektrolit, diantaranya BUN, kreatinin, kalsium
(rendah oleh karena hipoalbumin), natrium (rendah oleh karena
hiperlipidemia) dan fosfor. Pasien dengan SN ideopatik dapat terjadi
gagal ginjal akut oleh karena deplesi volume intravaskuler dan/atau
thrombosis vena renalis bilateral.
Pemeriksaan C3,C4, antinuclear antibodi (ANA)
Biopsi ginjal
Biopsi ginjal tidak diindikasikan bagi pasien SN primer dengan awitan
usia 1- 8 tahun, kecuali jika riwayat klinis, temuan pada pemeriksaan
fisik, maupun hasil laboratorium mengindikasikan kemungkinan SN
sekunder atau SN primer.
Pemeriksaan ultrasonografi atau venografi ginjal bila curiga adanya
thrombosis vena ginjal.7
3.3.7. Penatalaksanaan
Terapi non farmakologis
Pengobatan yang umum adalah diet yang mengandung protein dan
kalium dalam jumlah yang normal dengan lemak jenuh dan natrium yang
rendah. Diet untuk pasien SN adalah 35 kal/kgBB/hari sebagian besar
terdiri dari karbohidrat. Dianjurkan diet protein normal 0,8 – 1
g/kgBB/hari. Giardano dkk memberikan diet protein 0,6 g/kgBB/hari
ditambah dengn jumlah gram protein sesuai tekanan kapiler glomerulus,
area permukaan filtrasi dan mengurangi proteinuria sampai 75%. Namun,
utntuk mengurangi edema diberikan diet rendah garam 1 – 2 gram/hari).
Tirah baring bila terdapat edema anasarka.4,5
Terapi farmakologis
Pada prinsipnya terapi SN terdiri dari terapi umum dan terapi spesifik.
1. Terapi umum
1.1 Pengobatan untuk edema
Dapat diberikan loop diuretic (furosemid) oral. Bila belum
ada respon, dosis ditingkatkan hingga terjadi diuresis, bila perlu
dikombinasi dengan hydrochlorothiazide oral (bekerja sinergistik
dengan Furosemid). Bila tetap tidak respon beri furosemid secara
IV, bila perlu disertai pemberian infuse albumin, dan bila tetap
belum ada respon perlu dipertimbangkan ultrafiltrasi mekanik
(terutama untuk kasus dengan insufisiensi ginjal).4,5
Pembatasan diet garam, 1-2 g/hari dan pembatasan cairan.
Bila perlu tirah baring, terutama untuk orang tua dengan edema
tungkai berat karena kemungkinan adanya insufisiensi venous.
Pengukuran berat badan setiap hari untuk mengevaluasi edema
dan keseimbangan cairan harus dicatat. BB diharapkan turun 0,5-
1 kg/hari.
2. Terapi spesifik
Patogenesis sebagian besar penyakit glomerular dikaitkan
dengan gangguan imun, dengan demikian terapi spesifiknya adalah
dengan pemberian imunosupresif.
Prednisone 1mg/kgBB/hari atau 60mg/hari dapat diberikan
antara 4-12 minggu selanjutnya diturunkan secara bertahap dalam 2-3
bulan. Steroid memberi respon yang baik untuk minimal change,
walaupun pada orang dewasa responnya lebih lambat dibandingkan
dengan anak-anak.9
Pengobatan kortikosteroid menurut International Cooperative
Study of Kidney Disease in Children (ISKDC): selama 28 hari
prednisone diberikan per oral dengan dois 60 mg/hari luas permukaan
badan (1bp) dengan maksimum 80 mg/hari. Kemudian dilanjutkan
dengan prednisone per oral selama 28 hari dengan dosis 40
mg/hari/1bp, setiap 3 hari dalam satu minggu dengan dosis maksimum
60 mg/hari. 9
Bila terdpat respon selama pengobatan, maka pengobatan ini
dilanjutkan secara intermitten selama 4 minggu. Pada pasien yang
sering relaps dengan kortikosteroid atau resisten terhadap
kortikosteroid dapat digunakan terapi lain dengan siklofosfamid atau
klorambusil. Siklofosfamid memberi remisi yang lebih lama daripada
kortikosteroid (75% selama 2 tahun) dengan dosis 2 – 3 mg/kgBB/hari
selama 8 minggu.9
Cyclophosphamide untuk penderita yang mengalami relaps
setelah steroid dihentikan (steroid-dependent) atau mengalami relaps
>3 kali dalam setahun (frequently relapsing) bisa diberikan
cyclophosphamide 2mg/kgBB/hr selama 8-12 minggu. Pada
penggunaan cyclophosphamide perlu diwaspadai terjadinya efek
samping berupa infertilitas, cystitis, alopecia, infeksi, malignansi.4,5
Klorambusil digunakan dengan alasan yang sama dengan
cyclophosphamide. Dosis 0,1-0,2/kgBB/hr selama 8-12 minggu.4,5
Pada penderita yang mengalami relaps setelah pemberian
cyclophosphamide, diberikan Cyclosporine A (CyA) dengan dosis
awal 4-5 mg/kgBB/hari, di mana dosis selanjutnya perlu disesuaikan
dengan kadar CyA dalam darah. Pemberian berlangsung selama 1
tahun kemudian diturunkan perlahan-lahan. Mengingat CyA
mempunyai efek nefrotoksik, perlu memonitor fungsi ginjal.4,5
Azathioprine dengan dosis 2-2,5 mg/kgBB/hari digunakan untuk
Nefritis Lupus.4,5
3.3.8. Komplikasi
1. Keseimbangan nitrogen
Proteinuria masif pada SN akan menyebabkan keseimbangan
nitrogen menjadi negatif. Penurunan massa otot sering ditemukan tetapi
gejala ini tertutup oleh gejala edema anasarka dan baru tampak setelah
edema menghilang. Kehilangan massa otot sebesar 10 – 20 % dari massa
tubuh (lean body masss) tidak jarang dijumpai pada SN.7
2. Hiperkoagulasi
Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada SN akibat
peningkatan koagulasi intravaskular. Pada GNMN kecenderungn terjadi
thrombosis vena renalis cukup tinggi sedangkan pada GNLM dan GNMP
frekuensinya kecil. Emboli paru dan thrombosis vena dalam (deep vein
thrombosis) sering dijumpai pada SN. Gangguan koagulasi yang terjadi
disebabkan peningkatan sintesis protein oleh hati dan kehilangan protein
melalui urin.3
3. Metabolisme kalsium dan tulang
Vitamin D merupakan unsur penting dalam metabolism kalsium
dan tulang pada manusia. Vitamin D yang terikat protein akan
diekskresikan melalui urin sehingga menyebabkan penurunan kadar
plasma. Kadar 25(OH)D dan 1,25 (OH)2D plasma juga menurun
sedangkan kadar vitamin D bebas tidak mengalami gangguan. 3
Pada SN juga terjadi kehilangan hormone tiroid yang terikat
protein (thyroid – stimulating hormone) melalui urin dan penurunan
kadar tiroksin plasma. Tiroksin yang bebas dan hormone yang
menstimulasi tiroksin (TSH) tetap normal sehingga secara klinis tidak
menimbulkan gangguan.3
4. Infeksi
Sebelum era antibiotik, infeksi sering merupakan penyebab
kematian pada SN terutama oleh organisme berkapsul (encapsulated
organisms). Infeksi pada SN akibat defek imunitas humoral, selular, dan
gangguan system komplemen. Penurunan IgG, IgA, dan gamma globulin
sering ditemukan pada pasien SN oleh karena sintesis yang menurun atau
katabolisme yang meningkat dn bertambah banyaknya yang terbuang
melalui urin. Jumlah sel T dalam sirkulasi berkurang yang
menggambarkan ganggun imunitas selular. Hal ini dikaitkan keluarnya
transferin dan zinc yang dibutuhkan oleh sel T agar dapat berfungsi
normal.3
5. Gangguan fungsi ginjal
Pasien SN mempunyai potensi untuk mengalami gagal ginjal akut
melalui berbagai mekanisme. Penurunan volume plasma dan atau sepsis
sering menyebabkan nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang
diperkirakan menjadi penyebab gagal ginjal akut adalah terjadinya edema
intrarenal yang menyebabkan kompresi pada tubulus ginjal.3
6. Malnutrisi
Malnutrisi kalori protein dapat terjadi pada SN dewasa terutama
apabila disertai proteinuria masif, asupan oral yang kurang, dn proses
katabolisme yang tinggi. Kemungkinan efk toksik obat yang terikat
protein akan meningkat karena hipoalbuminemia menyebabkan kadar
obat bebas dalam plasma lebih tinggi. Hipertensi tida jarnag ditemukan
sebagai komplikasi SN terutama dikaitkan dengan retensi natrium dan
air.3
BAB IV
ANALISIS KASUS
Pasien laki-laki, 20 tahun, datang dengan keluhan sembab di kaki dan dan
perut yang semakin berat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan
sembab telah dialami pasien sejak sekitar 4 bulan dan dimulai pada wajah dan
kelopak mata terutama pada pagi hari dan perlahan menghilang. Sembab
merupakan gejala yang timbul akibat penumpukan cairan di kompartemen
interstisial. Cairan terutama berkumpul pada daerah dengan jaringan ikat longgar,
karena jaringan ikat longgar memiliki ruang potensial yang besar. Pada tubuh
manusia, daerah dengan jaringan ikat longgar yang banyak termasuk palpebra,
rongga abdomen, pretibia, serta skrotum pada laki-laki dan labia mayora pada
perempuan.
Penumpukan cairan di kompartemen interstisial dapat dijelaskan oleh teori
underfill dan overflow. Menurut teori underfill, penumpukan cairan disebabkan
oleh penurunan tekanan onkotik plasma yang menyebabkan cairan tidak dapat
tertahan di kompartemen intravaskular. Penurunan tekanan onkotik dapat
disebabkan oleh penurunan albumin. Menurut teori overflow, penumpukan cairan
disebabkan oleh retensi natrium di ginjal, sehingga reabsorpsi cairan di ginjal juga
meningkat. Selain itu penumpukan cairan juga dapat disebabkan oleh stasis aliran
balik vena, seperti terjadi pada pasien trombosis vena dalam dan gagal jantung
kongestif.
Sembab pada kelopak mata pasien timbul terutama pada malam hari dan
perlahan menghilang setelah pasien beraktivitas. Keluhan tersebut terjadi karena
pengaruh gaya gravitasi yang menyebabkan cairan turun ke bawah seiring pasien
beraktivitas.
Pada perjalanan penyakit ditemukan bahwa keluhan sembab kemudian
terjadi juga pada perut dan kaki. Perburukan kondisi ini menunjukkan bahwa
cairan yang menumpuk semakin banyak. Pasien juga mengeluh buang air kecil
berbusa. Air seni berbusa merupakan penanda bahwa terdapat protein dalam urin.
Mual pada pasien dapat terjadi karena terdapat penumpukan cairan yang banyak.
Keluhan sembab kemudian semakin memberat di hampir seluruh tubuh
disertai pertambahan berat badan sehingga pasien berobat ke sebuah rumah sakit
swasta. Pasien juga mengeluh buang air kecil menjadi sedikit yang mungkin
disebabkan karena aliran darah ke ginjal menurun. Hal ini dapat terjadi karena
meskipun terjadi penumpukan cairan tetapi cairan berada pada kompartemen
ekstravaskular bukan intravaskular. Pasien juga mengeluh sesak yang mungkin
disebabkan oleh penumpukan cairan di rongga pleura atau desakan organ-organ
intraabdominal seperti hepar akibat asites. Saat dirawat di rumah sakit pasien lupa
pengobatan yang diberikan dan mengatakan bahwa tidak ada perbaikan sehingga
pasien pulang. Sekitar 3 hari sebelum masuk rumah sakit pasien merasa sembab
semakin berat sehingga pasien kembali berobat ke rumah sakit swasta dan dirujuk
ke RSMH.
Keluhan sembab dapat disebabkan oleh kelainan pada beberapa organ
seperti jantung (gagal jantung kongestif), ginjal (gagal ginjal, sindrom nefrotik),
hati (sirosis hepatis), serta juga pada sistem imun (alergi obat, reaksi anafilaksis)
dan nutrisi (kwashiorkor).
Berdasarkan hasil anamnesis, gangguan pada jantung dapat disingkirkan
karena tidak ada keluhan sesak dan jantung berdebar serta sembab dimulai dari
kelopak mata dan wajah. Gangguan pada hati dapat disingkirkan karena tidak ada
keluhan kuning. Gangguan pada nutrisi disingkirkan karena pola makan pasien
teratur, cukup, dan seimbang. Gangguan sistem imun dapat disingkirkan karena
tidak ada riwayat makan obat sebelumnya, keluhan sembab tidak berlangsung
cepat, dan tidak ada keluhan sesak. Penyakit infeksi dapat disisngkirkan karena
tidak ada keluhan demam.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan konjungtiva palpebra anemis, edema
palpebra, shifting dullness, dan pitting edema. Kecurigaan efusi pleura dapat
disingkirkan karena tidak terdapat penurunan stem fremitus, perkusi masih sonor,
dan suara napas vesikuler normal pada kedua hemitoraks. Sesak kemungkinan
disebabkan oleh desakan hepar karena batas paru hepar meranjak ke ICS IV.
Meskipun demikian, masih dapat terjadi efusi pleura minimal yang tidak
terdeteksi oleh pemeriksaan fisik sehingga diperlukan pemeriksaan foto toraks.
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik ditegakkan diagnosis
sementara berupa anemia karena terdapat konjungtiva anemis; dan edema
anasarka suspek sindrom nefrotik karena sembab dimulai dari kelopak mata dan
wajah, terdapat pitting edema, dan kencing berbusa. Diagnosis banding pada
pasien adalah sindroma nefritik dan gagal jantung kongestif.
Untuk konfirmasi diagnosis anemia dilakukan pemeriksaan hematologi (Hb,
Ht, eritrosit, MCV, MCH, MCHC, dan retikulosit. Untuk konfirmasi diagnosis
sindroma nefrotik dilakukan pemeriksaan urinalisis (urine dipstick, urine Esbach),
kolesterol dan albumin serum. Pada urinalisis juga perlu dilakukan pemeriksaan
eritrosit untuk melihat adanya hematuria mikroskopis dan menyingkirkan
sindroma nefritik.
Hasil pemeriksaan laboratorium hematologi menunjukkan bahwa Hb 10,9
g/dL, menandakan secara klinis pasien dianggap belum anemis. Protein total
menurun dan albumin kurang dari 3,5 g/dL menandakan hipoalbumin. Kolesterol
total 477 mg/dL menandakan hiperkolesterolemia.
Pasien direncanakan ditatalaksana secara nonfarmakologis dengan tirah
baring, diet rendah garam dan rendah kolesterol, serta restriksi cairan. Untuk
tatalaksana farmakologis pasien diberikan injeksi Furosemide 40 mg i.v. tiap 24
jam, Prednison tablet 5 mg 4-4-4 p.o., Captopril tablet 12,5 mg tiap 12 jam p.o.,
dan Simvastatin tablet 20 mg tiap 24 jam. Furosemide termasuk dalam golongan
loop diuretics dan bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi natrium di ansa
Henle sehingga reabsorpsi cairan ikut menurun. Prednison termasuk dalam
golongan kortikosteroid dan berperan dalam menghambat proses inflamasi,
melalui penurunan permeabilitas kapiler dan supresi aktivitas neutrofil
polimorfonuklear, pada glomerulus yang diduga berperan dalam patogenesis
sindrom nefrotik. Captopril termasuk dalam golongan inhibitor angiostensin
converting enzyme (ACE inhibitor) dan berperan dalam penurunan proteinuria.
Simvastatin termasuk dalam golongan inhibitor HMG-CoA reduktase dan
berperan dalam produksi kolesterol endogen.
DAFTAR PUSTAKA