Vous êtes sur la page 1sur 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia dan hewan sama-sama dikaruniai fungsi pancaindera oleh
Allah SWT, namun manusia mendapatkan fungsi yang jauh lebih baik dari
hewan, terbukti jika kita mampu melihat segala sesuatunya dengan jelas karena
efek cahaya yang mewarnai fungsi mata kita, tidak semua hewan dapat
menikmati hal tersebut. Terlebih jika kita bandingkan kemampuan akal, fungsi,
juga kinerja otak manusia dan hewan yang menjadi salah satu perbedaan
penting antara keduanya.
Oleh karena kemampuan, kinerja, serta fungsi otak dan akal yang
mampu dan memungkinkan untuk mengadakan tinjauan dan pembahasan
terhadap pelbagai masalah, peristiwa dan kejadian, menyimpulkan hal-hal yang
umum dari bagian-bagian dan memetik kesimpulan dari premis-premis,
manusia patut dan layak memikul kewajiban untuk melaksanakan ibadah, juga
memikul tanggung jawab pemilihan dan kehendak, dan menjadi khalifah di
bumi Allah SWT.
Kemampuan manusia untuk menyerap, mengingat, mereproduksi,
mengimajinasikan, memperbandingkan, dan menyusun informasi sejak usia
dini melalui panca indera, menyebabkan kemajuan teknologi dan pengetahuan
pun menjadi suatu hal yang tidak dapat ditahan dan dihindari, hal ini
diisyaratkan oleh Allah dalam banyak ayat al Qur’an.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, dalam makalah ini penulis hendak
merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Akal dan tanggung jawab
Q.s. Al-Isra’ : 36
Q.s. Al Hajj : 46

1
BAB II
PEMBAHSAN
AKAL DAN TANGGUNG JAWAB

A. QS. Al-Isra ayat 36


     
   
 
   
 
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu
akan diminta pertanggung jawabnya.1
Kata-kata ini merupakan undang-undang yang mencakup banyak
persoalan kehidupan.Dan oleh karenanya.mengenai kata-kata ini para penafsir
mengeluarkan beberapa pendapat :
1. Ibnu Abbas mengatakan : jangan kamu menjadi saksi kecuali atas sesuatu
yang di ketahui oleh kedua matamu, di dengar oleh kedua telingamu dan
di pahami oleh hatimu.
2. Qaladah, mengataan pula : janganlah kamu mengatakan” saya telah
mendengar”.padahal kamu belum pernah mendengar atau “saya telah
melihat,” padahal kamu tak pernah meliahat,atau “saya telah mengetahui”,
padahal kamu belum tau.
3. Dan ada pula yang mengatakan bahwa yang di maksud ialah melarang
berkata-kata tanpa ilmu,tapi hanya persangkaan dan waham belaka,
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya......."
Maksudnya, jangan mengikuti apa yang tidak kamu ketahui dan tidak
penting bagimu. Jika kita memiliki pengetahuan, maka manusia boleh
menetapkan suatu hukum berdasarkan pengetahuannya itu. (Tafsir Imam

1
M. Quraish Shihab, (selanjutnya ditulis Quraish), Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan
Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2001), volume 11, h. 56

2
Qurthubi)
".......Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan
diminta pertanggungan jawabnya"
Maksudnya masing-masing dari semua itu ditanya tentang apa yang
dilakukannya. Hati ditanya tentang apa yang dia pikirkan dan dia yakini.
Pendengaran dan penglihatan ditanya tentang apa yang dia lihat, dan
pendengaran ditanya tentang apa yang ia dengar. Semua anggota tubuh akan
diminta pertanggungjawaban di hari kiamat. (Tafsir Imam Qurthubi, Ibnu
Katsir.)
Allah SWT melarang mengatakan sesuatu tanpa pengetahuan, bahkan
melarang pula mengatakan sesuatu berdasarkan zan (dugaan) yang bersumber
dari sangkaan dan ilusi (Tafsir Ibnu Katsir)
"Dan janganlah kamu mengikuti (Al-qafwu, maknanya adalah al-ittiba'
yaitu mengikuti) apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang..."
Hikmah dari ayat ini adalah memberikan batasan-batasan hukuman, karena
banyak kerusakan yang disebabkan oleh perkataan yang tanpa dasar.
Janganlah kamu mengikuti perkataan dan perbuatan yang tidak kamu ketahui
ilmunya, dan janganlah kamu mengucapkan aku melihat ini padahal aku
mendengar ini padahal kamu tidak mendengarnya. Firmannya ,"Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung
jawabnya"
Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui ilmunya,
karena Allah Ta'ala akan menanyakan anggota badan ini pada hari Kiamat
tentang apa yang telah di ucapkan oleh pemiliknya atau yang dikerjakannya
maka dia akan bersaksi dengan apa yang dia ucapkan atau yang dikerjakan
dari perkataan dan perbuatan yang dilarang.2
Haram berkata atau berbuat tanpa didasari oleh ilmu, karena dapat
menyebabkan kerusakan. Dan Allah Ta'ala akan menanyakan seluruh anggota
badan dan meminta persaksiannya pada hari Kiamat. (Tafsir Al Aisar)

2
Abû Hasan ‘Aliy bin Ahmad al-Wâhidiy, Asbâb al-Nuzûl, (Beirut: ‘Âlam al-Kutub,
t.th.), h. 157.

3
B. Surat al-Hajj ayat 46
Firman Allah dalam surat al-Hajj ayat 46
  
   
  
   
   
  
   
Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai
hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang
dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata
itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (Q.S. al-Hajj/
22: 46)
Pada rangkaian ayat sebelumnya disebutkan tujuh kaum yang
dibinasakan oleh Allah karena kezaliman dan keengkaran mereka. Maka pada
ayat ini Allah menyatakan apakah manusia tidak berjalan di muka bumi lau
melihat bekas peninggalan orang yang pernah mendustakan Rasul Allah. Lalu,
dengan demikian mereka punya hati yakni akal sehat dan hati yang suci yang
dengannya mengantar mereka dapat memahami apa yang mereka lihat.3 Atau
kalaupun mata kepala mereka buta, maka mereka mempunyai telinga yang
dengannya mereka dapat mendengar ayat-ayat Allah dan keterangan para Rasul
serta pewarisnya yang menyampaikan kepada mereka tuntunan dan nasehat.
Dengan demikian, mereka dapat merenung dan mengambil pelajaran,
kendatipun mata kepala mereka buta. Karena sesungguhnya bukanlah keadaan
mata kepala yang buta yang menjadikan orang tidak dapat menerima
kebenaran. Tapi yang dapat menjadikan seorang tidak dapat menarik pelajaran
dan menemukan kebenaran adalah hati yang berada di dalam dada.4

3
Al-Râghib al-Ashfahâniy, Mufradât Alfâz al-Qur`ân, (naskah di-tahqîq oleh Shofwân
‘Adnân Dâwûdiy, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 2009), cet. ke-4, h. 640.
4
Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-Dur al-Mantsûr, (Beirut: Dâr al-FIkr, 1993), juz ke-6, h. 493.

4
Ayat di atas hanya menyebutkan hati—dalam hal ini adalah akal sehat
dan hati yang suci—serta telinga tanpa menyebut mata, karena yang
ditekankan di sini adalah kebebasan berfikir jernih untuk menemukan sendiri
kebenaran yang didambakan itu. Ini semua adalah kerja pikiran dan telinga.
Karena itulah hanya dua hal di atas yang disebut. Siapa yang tidak
mengguanakan akal sehatnya dan tidak pula menggunakan telinganya, maka ia
dinilai buta hati.5
Selanjutnya juga dijelaskan bahwa pertanggunjawaban itu ada yang
berupa tanggung jawab pribadi setiap individu dan ada tanggung jawab
bersama.
   
    
     
    
    
 
  
  
  
  
  
  
    
  
  
Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia
adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah seorang membuat dosa
melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang
yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada
Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang
kamu perselisihkan." Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa
di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain)
beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya

5
Lihat al-Qurthubiy, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, (naskah di-tahqîq oleh Hisyâm
Syamîr al-Bukhâriy), (Riyadh: Dâr ‘Âlim al-Kutub, 2003), Juz ke-7, h. 318.

5
kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan
sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. al-An’am/
6: 164-65)
Ayat 164 menekankan bahwa setiap pribadi bertanggung jawab
terhadap apa yang dilakukannya. Akibat negatif sebuah perbuatan tidak akan
ditimpakan kecuali kepada pelakunya. Bahkan seseorang tidak akan memikul
dosa orang lain. Kata dosa di sini dipahami dari kata wizr yang pada mulanya
berarti berat. Dari kata ini lahir makna-makna baru seperti dosa, karena dosa
adalah sesuatu yang berat dipikul manusia kelak di kemudian hari. Dari kata ini
juga kata wazir berasal, yang berarti menteri, karena beratnya tugas yang
dipukulnya.6
Pada ayat 165 disebutkan ada tugas dan tanggung jawab sosial manusia
yaitu sebagai khalifah. Pada ayat ini dalam bentuk jamak (khalâ’if). Kata ini
terambil dari kata khalf yang pada mulanya berarti di belakang. Dari sini kata
khalifah sering kali diartikan yang menggantikan atau yang datang sesudah
siapa yang datang sebelumnya. Al-Raghib menjelaskan bahwa menggantikan
yang lain berarti melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan. Dari sini
ada yang memahami kata khalifah berarti menggantikan Allah dalam
menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya dengan
maksud Allah menguji manusia dan memberinya penghormatan.
Ayat ini juga berisi tiga bukti yang sangat jelas tentang tauhid dan
keniscayaan hari kiamat. Bukti pertama melalui uraian tentang awal
penciptaan, yakni segala sesuatu diciptakan Allah. Jika segala sesuatu
diciptakan Allah, maka pastilah segala sesuatu wajib menyembah-Nya dan
pastilah Dia yang waib wujud-Nya lagi Maha Esa.
Bukti kedua adalah akhir kehidupan, yaitu kandungan ayat yang
menjelaskan bahwa semua akan kembali kepada Allah untuk menerima
ganjaran.7 Tidak ada yang dapat menanggung dosa orang lain. Jika demikian,

6
Lihat Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Surabaya: Yayasan Latimojong, 1979), cet. Ke-2, h.
156.
7
Abû al-Fadhl Jamâl al-Dîn Muhammad bin Mukarram bin Manzhûr al-Afrîqî al-Mishrî,
(selanjutnya ditulis Ibnu Manzhûr), Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dâr Shâdir, 1990), juz ke-37, h. 3433.

6
Dia adalah Pemilik dan Penguasa mutlak, dan karena itu hari kiamat pasti
datang dan pengabdian harus tertuju kepada-Nya semata.
Bukti ketiga adalah dilebihkan dan direndahkan sebagian hal pada
seseorang. Hal itu guna untuk menguji siapa yang taat dan siapa yang engkar.
Tentu saja tidak sama ganjaran bagi orang yang bertakwa dan orang yang
durhaka. Kehidupan dunia sering tidak memberikan ganjaran dan sanksi yang
tuntas dan seimbang. Untuk itu, pasti ada hari kemudian untuk menuntaskan
ganjaran itu.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari bahasan-bahasan di atas, sekilas kita dapat fahami bahwa Al-
Qur’an yang merupakan kitab induk undang-undang kehidupan pun telah
mengajarkan banyak hal tentang metode berfikir, hal ini dibuktikan dengan
ditemukan dan dikemukakannya ayat-ayat tentang berfikirnya manusia, sisi-sisi
yang dilarang, faktor-faktor penghambatnya, dan tidak lupa jalan keluarnya.
Kita sebagai manusia layaknya terus selalu berfikir dan mengumpulkan
data dan informasi tentang sebuah obyek pemikiran, menciptakan analogi,
hipotesa dan keputusan yang didasari untuk mencari, menemukan, dan
mendapatkan kebenaran, yang kita hasilkan dengan kejernihan akal
dan feeling juga insting sebagai manusia yang diberikan akal dan kemampuan
nalar yang luar biasa, sehingga kita akan mampu menghasilkan pemikiran-
pemikiran yang objektif dan tak memihak ataupun memaksakan kepentingan
pribadi.

B. Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi
pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahan didalamnya, kerena keterbatasan pengetahuan dan kurangnya
rujukan atau referensi yang diperoleh.

7
Penulis banyak berharap umumnya kepada para pembaca yang budiman
dan khususnya kepada bapIbuk Dosen Pembimbing untuk memberikan kritik
dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan
semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca .

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ashfahâniy, Al-Râghib, Mufradât Alfâz al-Qur`ân, (naskah di-tahqîq oleh


Shofwân ‘Adnân Dâwûdiy, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 2009), cet. ke-4

Al-Qurthubiy, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, (naskah di-tahqîq oleh Hisyâm


Syamîr al-Bukhâriy), (Riyadh: Dâr ‘Âlim al-Kutub, 2003)

Al-Suyûthî, Jalâl al-Dîn, al-Dur al-Mantsûr, (Beirut: Dâr al-FIkr, 1993)

Al-Wâhidiy, Abû Hasan ‘Aliy bin Ahmad, Asbâb al-Nuzûl, (Beirut: ‘Âlam al-
Kutub, t.th.)

Al-Zamakhsyariy, al-Kasysyâf ‘an Haqâiq al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh


al-Ta’wîl, (naskah di-tahqîq oleh ‘Abd al-Razzâq al-Mahdiy), (Beirut:
Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabiy, t.th.)

Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Surabaya: Yayasan Latimojong, 1979), cet. Ke-2

Ibn Manzhûr, Abû al-Fadhl Jamâl al-Dîn Muhammad bin Mukarram, Lisân al-
‘Arab, (Beirut: Dâr Shâdir, 1990)

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-


Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2001)

8
9

Vous aimerez peut-être aussi