Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
DOSEN PEMBIMBING:
AHMAD SUBEKI, S.E., M.M., AK.
DISUSUN OLEH:
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SRIWIJAYA KAMPUS PALEMBANG
2018/2019
BAB I
HARTA
Harta dalam bahasa Arab disebut al-maal, yang merupakan akar kata dari lafadz
maala – yamiilu – mailan yang berarti condong, cenderung, dan miring.[1] Dalam al-Muhith
dan Lisan Arab, menjelaskan bahwa harta merupakan segala sesuatu yang sangat diinginkan
oleh manusia untuk menyimpan dan memilikinya. Dengan demikian unta, kambing, sapi,
tanah, emas, perak, dan segala sesuatu yang disukai oleh manusia dan memiliki nilai (qimah),
ialah harta kekayaan. Ibnu Asyr mengatakan bahwa, “Kekayaan pada mulanya berarti emas
dan perak, tetapi kemudian berubah pengertiannya menjadi segala barang yang disimpan dan
dimiliki”. Sedangkan harta (al-maal), menurut Hanafiyah ialah sesuatu yang digandrungi oleh
tabiat manusia dan memungkinkan untuk disimpan hingga dibutuhkan.[2] Maksud pendapat
di atas, definisi harta pada dasarnya merupakan sesuatu yang bernilai dan dapat disimpan.
Sehingga bagi sesuatu yang tidak dapat disimpan, tidak dapat dikatagorikan sebagai harta.
Adapun manfaat termasuk dalam kategori sesuatu yang dapat dimiliki, ia tidak termasuk
harta. Sebaliknya tidaklah termasuk harta kekayaan sesuatu yang tidak mungkin dipunyai
tetapi dapat diambil manfaatnya, seperti cahaya dan panas matahari. Begitu juga tidaklah
termasuk harta kekayaan sesuatu yang tidak dapat diambil manfaatnya, tetapi dapat dipunyai
secara konkrit dimiliki, seperti segenggam tanah, setetes air, seekor lebah, sebutir beras dan
sebagainya.
Dengan demikian, konsep harta menurut Imam Hanafi yaitu segala sesuatu yang
memenuhi dua kriteria :
Kedua, sesuatu yang dipunyai dan bisa diambil manfaatnya secara konkrit (a’ayan)
seperti tanah, barang-barang perlengkapan, ternak dan uang.
Menurut jumhur ulama’ fiqh selain Hanafiyah mendefinisikan konsep harta sebagai
adalah seagala sesuatu yang bernilai dan mesti rusaknya dengan menguasainya. Dari
pengertian di atas, jumhur ulama’ memberikan pandangan bahwa manfaat termasuk harta,
sebab yang penting adalah manfaatnya dan bukan dzatnya. Intinya bahwa segala macam
manfaat-manfaat atas sesuatu benda tersebut dapat dikuasai dengan menguasai tempat dan
sumbernya, karena seseorang yang memiliki sebuah mobil misalnya, tentu akan melarang
orang lain mempergunakan mobil itu tanpa izinnya. Maksud manfaat menurut jumhur ulama’
dalam pembahasan ini adalah faedah atau kegunaan yang dihasilkan dari benda yang tampak
seperti mendiami rumah atau mengendarai kendaraan. Adapun hak, yang ditetapkan syara’
kepada seseorang secara khusus dari penguasaan sesuatu, terkadang dikaitkan dengan harta,
seperti hak milik, hak minum, dan lain lain. Akan tetapi terkadang tidak dikaitkan dengan
harta, seperti hak mengasuh dan lain-lain.
Menurut Imam as-Suyuthi harta ialah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan
mempunyai nilai jual yang akan terus ada, kecuali bila semua orang telah meninggalkannya.
Jika baru sebagian orang saja yang meninggalkannya, barang itu mungkin masih bermanfaat
bagi orang lain dan masih mempunyai nilai bagi mereka.
Menurut ahli hukum positif, dengan berpegang pada konsep harta yang disampaikan
Jumhur Ulama’ selain Hanafiyyah, mereka mendefinisikan bahwa benda dan manfaat-
manfaat itu adalah kesatuan dalam katagori harta kekayaan, begitu juga hak-hak, seperti hak
paten, hak mengarang, hak cipta dan sejenisnya.
Ibnu Najm mengatakan bahwa harta kekayaan, sesuai dengan apa yang ditegaskan
oleh ulama’-ulama’ Ushul Fiqh, adalah sesuatu yang dapat dimiliki dan disimpan untuk
keperluan tertentu dan hal itu terutama menyangkut yang kongkrit. Dengan demikian tidak
termasuk di dalamnya pemilikan semata-semata atas manfaat-manfaat saja. Dalam hal ini,
beliau menganalogikan konsep harta dalam persoalan waris dan wakaf, sebagaiman al-Kasyf
al-Kabir disebutkan bahwa zakat maupun waris hanya dapat terealisasi dengan menyerahkan
benda (harta atau tirkah dalam hal waris) yang konkrit, dan tidak berlaku jika hanya
kepemilikan atas manfaat semata, tanpa menguasai wujudnya.
Harta termasuk salah satu keperluan pokok manusia dalam menjalani kehidupan di
dunia ini, sehingga para ulama ushul fiqh memasukkan persoalan harta dalam salah satu adh-
dharuriyat al-khamsah (lima keperluan pokok). Yang terdiri atas agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta.
1. Harta sebagai amanah (titipan) dari allah SWT manusia hanyalah pemegang amanah
untuk mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya. Sedangkan
pemilik harta sebenarnya tetap pada Allah SWT. Sebagaimana firman Allah yang
artinya: “Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian
dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang
yang beriman diantara kamu dan menafkahkan (sebagian) hartanya mendapatkan
pahala yang besar”. (QS. Al-Hadid : 7)
Islam tidak membatasi cara seseorang dalam mencari dan memperoleh harta selama
yang demikian itu tetap diberlakukan dalam prinsip umum yang berlaku yaitu halal dan baik.
Hal ini berarti Islam tidak melarang seseorang untuk mencari kekayaan sebanyak mungkin,
karena bagaimanapun yang menentukan kekayaan yang dapat diperoleh seseorang adalah
Allah SWT sendiri sebagaimana yang disebutkan dalam ayat di atas. Di samping itu dalam
pandangan Islam harta itu bukanlah tujuan, tetapi alat untuk mencapai keridhaan Allah.
Adapun bentuk usaha dalam memperoleh harta yang menjadi karunia Allah untuk
dimiliki oleh manusia bagi menunjang kehidupannya secara garis besar ada dua bentuk:[3]
Pertama, memperoleh harta tersebut secara langsung sebelum dimiliki oleh siapapun.
Cara seperti ini sering disebut dengan penguasaan harta bebas (ihrazu al-mubahat). Di
samping itu juga harta bebas bisa diperoleh melalui berburu hewan, mengumpulkan
kayu dan rerumputan di hutan rimba, dan menggali barang tambang yang berada
diperut bumi selama belum ada pihak yang menguasinya, baik individu maupun
negara.
Kedua, memperoleh harta yang telah dimiliki oleh seseorang melalui suatu transaksi
atau akad. Bentuk ini dipisahkan pada dua cara. Pertama peralihan harta berlangsung
dengan sendirinya atau disebut juga ijbari yang siapapun tidak dapat merencanakan
atau menolaknya seperti melalui warisan. Kedua peralihan harta berlangsung tidak
dengan sendirinya,, dengan arti atas kehendak dan keinginan sendiri yang disebut
ikhtiyari, baik melalui kehendak sepihak seperti hibah atau pemberian maupun
melalui kehendak dan perjanjian timbal balik antara dua atau beberapa pihak seperti
jual beli.
Harta terdiri dari beberapa bagian dan tiap-tiap bagian memiliki ciri khusus dan
hukumnya tersendiri. Pembagian jenis harta ini sebagai berikut:
Harta mutaqawwin ialah sesuatu yang boleh diambil manfaatnya menurut syara’ yaitu
semua harta yang baik jenisnya maupun cara memperoleh dan penggunaanya. Sebagai
contoh: kerbau halal dimakan oleh umat muslim, tetapi kerbau tersebut disembelihnya
tidak sah menurut syara’, misalnya dipukul, ditembak, dll.
Harta ghair mutaqawwin ialah sesuatu yang tidak boleh diambil menurut syara’ yaitu
kebalikan dari harta mutaqawwin, yakni yang tidak boleh diambil manfaatnya, baik
jenisnya, cara memperolehnya, maupun cara penggunaannya. Contohnya: sepatu yang
diperoleh dengan cara mencuri termasuk ghair mutaqawwin karena memperolehya
dengan cara yang haram.
Faedah Pembagian
Harta mutaqawwim sah dijadikan akad dalam berbagai aktivitas muamalah, seperti
hibbah, pinjam meminjam, dll. Sedangkan harta ghair mutaqawwim tidak sah dijadikan akad
dalam bermuamalah. Pendapat ini disampaikan oleh ulama Hanafiyah.
Harta qimi ialah benda-benda yang kurang dalam kesatuan-kesatuannya, karena tidak
dapat berdiri sebagian di tempat sebagian yang lainnya tanpa ada perbedaan. Jadi, harta qimi
adalah harta yang tidak ada imbangannya secara tepat. Seperti harta yang jenisnya sulit di
dapatkan di pasar, bisa di peroleh tetapi jenisnya berbeda, kecuali dalam nilai harganya.
a. Harta istihlak ialah sesuatu yang tidak dapat diambil kegunaan dan manfaatnya secara
biasa, kecuali dengan menghabiskannya. Harta istihlak dibagi menjadi dua, ada yang
istihlak haqiqi dan istihlak huquqi.
b. Harta istihlak haqiqi ialah suatu benda yang menjadi harta yang secara jelas (nyata)
zatnya habis sekali digunakan. Misalnya, korek api bila dibakar, maka habislah harta
yang berupa kayu itu.
c. Harta huquqi ialah harta yang sudah habis nilainya bila telah digunakan, tetapi zatnya
masih tetap ada. Misanya uang yang digunakan untuk membayar hutang, dipandang
habis menurut hukum walaupun uang tersebut masih utuh, tetapi hanya pindah
kepemiliknya.
d. Harta isti’mal ialah sesuatu yang dapat digunakan berulang kali dan materinya tetap
terpelihara. Harta isti’mal tidaklah habis sekali digunakan, tetapi dapat digunakan
lama menurut apa adanya. Seperti kebun, tempat tidur, pakaian, sepatu, dll.
a. Harta manqul ialah segala harta yang dapat dipindahkan (bergerak) dari satu tempat
ke tempat lain. Seperti emas, perak, perunggu, pakaian, kendaraan, dll.
b. Harta ghair manqul ialah sesuatu yang tidak bisa dipindahkan dan dibawa dari satu
tempat ke tempat yang lain. Seperti kebun, rumah, pabrik, sawah, dll. Istilahnya benda
bergerak dan benda tetap.
6. Harta Mamluk, Mubah, dan Mahjur
a. Harta mamluk ialah sesuatu yang masuk ke bawah milik, milik perorangan maupun
milik badan hukum, seperti pemerintah dan yayasan. Harta mamluk (yang dimiliki)
terbagi manjadi dua macam yaitu:
Harta perorangan (mustaqil) yang berpautan dengan hak bukan pemilik, misalnya
rumah yang di kontrakkan. Harta perorangan yang tidak berpautan dengan hak
bukan pemilik, misalnya seseorang yang mempunyai sepasang sepatu dapat
digunakan kapan saja.
Harta perkongsian (masyarakat) antara dua pemilik yang berkaitan dengan hak
yang bukan pemiliknya, seperti dua orang yang berkongsi memiliki sebuah pabrik
dan lima buah mobil, salah satu mobilnya disewakan selama satu bulan kepada
orang lain. Harta yang dimiliki oleh dua orang yang tidak berkaitan dengan hak
bukan pemiliknya, seperti dua orang yang berkongsi memiliki sebuah pabrik dan
pabrik tersebut diurus bersama.
b. Harta mubah ialah sesuatu yang pada asalnya bukan milik seseorang, seperti air pada
mata air, binatang buruan darat, laut, pohon-pohon di hutan dan buah-buahannya.
Tiap-tiap manusia boleh memiliki harta mubah sesuai dengan kesanggupannya, orang
yang mengambilnya akan menjadi pemiliknya sesuai dengan kaidah. Sesuai dengan
sabda Nabi SAW:“Barang siapa yang menghidupkan tanah(gersang),hutan milik
seseorang, maka ia yang paling berhak memiliki”
c. Harta mahjur ialah sesuatu yang tidak dibolehkan dimiliki sendiri dan memberikan
kepada orang lain menurut syari’at, adakalanya benda itu benda wakaf ataupun benda
yang dikhususkan untuk masyarakat umum,seperti jalan raya, masjid-masjid, kuburan,
dll.
a. Harta yang dapat dibagi (mal qabil li al-qismah) ialah harta yang tidak menimbulkan
suatu kerugian atau kerusakan apabila harta itu dibagi-bagi, misalnya beras, tepung,
dll.
b. Harta yang tidak dapat dibagi (mal ghair qabil li al-qismah) ialah harta yang
menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta tersebut dibagi-bagi,
misalnya gelas, kursi, meja, dll.
BAB II
UTANG
A. Pengertian Al-Qardh
Qardh adalah bentuk masdar yang berarti memutus. Dikatakan qaradhtu asy-syai’a
bil-miqradh, aku memutus sesuatu dengan gunting. Al-Qardh adalah sesuatu yang diberikan
oleh pemilik untuk dibayar.
Adapun qardh secara terminologis adalah memberikan harta kepada orang yang akan
memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya dikemudian hari.[2] Menurut Firdaus at al.,
qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali.
Dalam literature fikih, qardh dikategorikan dalam aqad tathawwu’i atau akad saling
membantu dan bukan transaksi komersil.[3]
Menurut ulama Hanafiyah:
ص يقعرلد قعقلىَ قدطفةع قماَلل ةمطثلةييِ ةلقخقرلةيقعردد أقطو بةةعقباَقرلة أعطخقرىَ هعقوُ قعطقصد عمعخ ع، ضاَهع
صوُ ص ض هعقوُ قماَ تعطعةططيةه ةمطن قماَلل ةمةثلييِ لةتقتقققاَ ق
الققطر ع
ةمطثلقهع
Artinya:
“Qaradh adalah harta yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang memiliki
perumpamaan) untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau dengan ungkapan yang lain,
qaradh adalah suatu perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta (mal mitsil) kepada
orang lain untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang diterimanya.”[4]
Hanabilah sebagaimana dikutip oleh ali fikri memberikan definisi qardh sebagai berikut:
اقطلققطر ع
ض قدطفعع قماَلل لةقمطن يقطنتقفةعع بةةه قويقعرلد بققدقله
Artinya:
“Qardh adalah memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya dan kemudian
mengembalikan penggantinya.”[6]
Dasar disyari’atkannya qardh (hutang piutang) adalah al-qur’an, hadits, dan ijma’:
1. Dasar dari al-Qur’an adalah firman allah swt:
ضاَةعققهع لقهع أق ط
ضقعاَعفاَ قكثةطيقرةع ضاَقحقسعناَ فقيع ق قمطن قذا الدةذي يعطققر ع
ض اق ققطر ع
Artinya:
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada allah pinjaman yang baik (menafkahkan
harta di jalan allah), maka allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan
lipat ganda yang banyak.” (Q.S Al-Baqarah :245)
Sisi pendalilan dari ayat diatas adalah bahwa allah swt menyerupakan amal salih dan
memberi infaq fi sabilillah dengan harta yang dipinjamkan. Dan menyerupakan
pembalasannya yang berlipat ganda dengan pembayaran hutang. Amal kebaikan disebut
pinjaman (hutang) karena orang yang berbuat baik melakukannya untuk mendapatkan
gantinya sehingga menyerupai orang yang menghutangkan sesuatu agar mendapat gantinya.
[8]
3. Ijma’
Kaum muslimin sepakat bahwa qarad dibolehkan dalam islam. Hukum qarad adalah
dianjurkan (mandhub) bagi muqrid dan mubah bagi muqtarid, berdasarkan hadits diatas.
C. Hukum Al-Qardh
Hukum qardh (hutang piutang) mengikuti hukum taklifi: terkadang boleh, terkadang
makruh, terkadang wajib, dan terkadang haram. Semua itu sesuai dengan cara
mempraktekannya karena hukum wasilah itu mengikuti hukum tujuan.
Jika orang yang berhutang adalah orang yang mempunyai kebutuhan sangat
mendesak, sedangkan orang yang dihutangi orang kaya, maka orang yang kaya
itu wajib memberinya hutang.
Jika pemberi hutang mengetahui bahwa penghutang akan menggunakan uangnya
untuk berbuat maksiat atau perbuatan yang makruh, maka hukum memberi hutang
juga haram atau makruh sesuai dengan kondisinya.
Jika seorang yang berhutang bukan karena adanya kebutuhan yang mendesak, tetapi
untuk menambah modal perdagangannya karena berambisi mendapat keuntungan yang besar,
maka hukum memberi hutang kepadanya adalah mubah.
Seseorang boleh berhutang jika dirinya yakin dapat membayar, seperti jika ia
mempunyai harta yang dapat diharapkan dan mempunyai niat menggunakannya untuk
membayar hutangnya. Jika hal ini tidak ada pada diri penghutang. Maka ia tidak
boleh berhutang.
Seseorang wajib berhutang jika dalam kondisi terpaksa dalam rangka menghindarkan
diri dari bahaya, seperti untuk membeli makanan agar dirinya tertolong dari kelaparan.[10]
Rukun qardh (hutang piutang) ada tiga, yaitu (1) shighah, (2) ‘aqidain (dua pihak
yang melakukan transaksi), dan (3) harta yang dihutangkan. Penjelasan rukun-rukun tersebut
beserta syarat-syaratnya adalah sebagai berikut.
Shighah
Yang dimaksud shighah adalah ijab dan qabul. Tidak ada perbedaan dikalangan fuqaha’
bahwa ijab itu sah dengan lafal hutang dan dengan semua lafaz yang menunjukkan
maknanya, seperti kata,”aku memberimu hutang” atau “aku menghutangimu”.
Demikian pula qabul sah dengan semua lafal yang menunjukkan kerelaan , seperti “aku
berhutang” atau “aku menerima” atau “aku ridha” dan lain sebagainya.
‘Aqidain
Yang dimaksud dengan ‘aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi) adalah pemberi
hutang dan penghutang. Keduanya mempunyai beberapa syarat berikut.
صمملح إطيفقمماَعؤهع
قويق ة،ض ب اطلقطربققعةة قعقلىَ أقدن قوقفاَقء الققطر ة
ض يقعكطوُعن ةفيِ البقلقةد الدةذي تقدم فةطيممةه الطقممقرا ع ق ععلققماَعء القمقذاةه ة اةتدفق ق:قمقكاَعن القوُقفاَةء
.ض بةتقطسلةةمةهك قلم يقطلقزمَ العمطقةر ع ف طقةري ل
قفإَطن اطحقتاَقج إةقلىَ قذلة ق،ق ي قمقكاَلن آقخقر إةقذا لقطم يقطحتقطج نقققلقهع إةقلىَ قحطملل قوعمطؤنقلة أقطو قوقجقد قخطوُ ة ةفيِ أق ي
[12]
Para ulama empat mazhab telah sepakat bahwa pengembalian barang pinjaman
hendaknya di tempat dimana akad qardh itu dilaksanakan. Dan boleh juga di tempat mana
saja, apabila tidak membutuhkan biaya kendaraan, bekal dan terdapat jaminan keamanan.
Apabila semua itu diperlukan, maka bukan sebuah keharusan bagi pemberi pinjaman untuk
menerimanya.[13]
Adapun untuk waktu pengembalian adalah sebagai berikut:
ض؛ِ ةلقندممهع قعطقممصد قلض قممماَقل الققممطر ةض اطلعمطستقطقةر ةض بقطعقد ققطب ة ت قشاَقء اطلعمطقةر ع
ي قوطق ل
ض ةعطنقد قغطيقر القماَلةةكدية ةفيِ أ ي ت قريد بقطدةل الققطر ة قوقوطق ع
ض يقتقأ قدجعل ةعطنممقدهعطمض؛ِ ةلقدن الققطر ق ض ةعطنقد عحلعطوُةل أققجةل قوقفاَةء الققطر ة
ت قريد بقطدةل الققطر ةب اطلقماَلةةكيدةع إةقلىَ أدن قوطق ق
قوقذهق ق.ت فةطيةه الققجعل يقطثبع ع
[14]. قكقماَ تقققددقمَ بققياَنععه،ةباَلتدأطةجطيةل
Menurut ulama selain Malikiyah, waktu pengembalian harta pengganti adalah kapan
saja terserah kehendak si pemberi pinjaman, setelah peminjam menerima pinjamannya.
Karena qardh merupakan akad yang tidak mengenal batas waktu. Sedangkan menurut
Malikiyah, waktu pengembalian itu adalah ketika sampai pada batas waktu pembayaran yang
sudah ditentukan diawal. Karena mereka berpendapat bahwa qardh bisa dibatasi dengan
waktu.[15]
Atas dasar itu, ulama hanafiyah tetap mewajibkan mengembalikan harta qimiy sesuai
dengan apa yang sebelumnya dipinjam.
Hikmah disyariatkannya Al-Qardh dapat dilihat dari dua sisi, sisi pertama dari orang
yang berhutang (muqtaridh) yaitu membantu mereka yang membutuhkan, dan sisi kedua
adalah dari orang yang yang memberi hutang (muqridh) yaitu dapat menumbuhkan jiwa ingin
menolong orang lain, menghaluskan perasaan sehingga ia peka terhadap kesulitan yang
dialami oleh orang lain.[17]
Adapun hikmah disyariatkannya Al-Qardh (hutang piutang) menurut Syekh Sayyid
Tanthawi dalam kitabnya, Fiqh al-Muyassar adalah sebagai berikut:[18]
“Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim dari Sufyan dari Salamah dari Abu Salamah
dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Ada seorang laki-laki pernah dijanjikan
seekor anak unta oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu orang itu datang kepada Beliau
untuk menagihnya. Maka Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Berikanlah". Maka
orang-orang mencari anak unta namun mereka tidak mendapatkannya kecuali anak unta
yang lebih tua umurnya, maka Beliau bersabda: "Berikanlah kepadanya". Orang itu
berkata: "Anda telah memberikannya kepadaku semoga Allah membalas anda". Maka Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya yang terbaik diantara kalian adalah
siapa yang paling baik menunaikan janji".
ح قعطن قسلققمةق طبةن عكهقطيلل قعطن أقةبيِ قسلققمةق قعطن أقبةمميِ هعقرطيممقرةق ققمماَقل اطسممتقطققر ق
ض صاَلة لب قحددثققناَ قوةكيصع قعطن قعلةييِ طبةن ق قحددثققناَ أقعبوُ عكقرطي ل
[21]( )رواه الترمذي.ضاَعء طاَهع ةسعيناَ قخطيعرا ةمطن ةسنيةه قوققاَقل ةخقياَعرعكطم أققحاَةسنععكطم قق ق
اع قعلقطيةه قوقسلدقم ةسعيناَ فقأ قطع ق
صدلىَ د
اة ق قرعسوُعل د
“Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Waki' dari
Ali bin Shalih dari Salamah bin Kuhail dari Abu Salamah dari Abu Hurairah ia berkata;
“Rasulullah SAW meminjam (berhutang) kepada seseorang seekor unta yang sudah berumur
tertentu. Kemudian beliau mengembalikan pinjaman tersebut dengan unta yang telah
berumur yang lebih baik dari yang beliau pinjam. Dan beliau berkata, sebaik-baik kamu
adalah mereka yang mengembalikan pinjamannya dengan sesuatu yang lebih baik (dari yang
dipinjam).”
BAB III
MODAL
A. Pengertian Modal
Modal dalam Islam disebut juga dengan ( رأس الماَلras al-mal). Allah swt. berfirman dalam
QS al-Baqarah ayat 279:
ظلةعموُقن قوقل تع ط
ظلقعموُقن س أقطمقوُالةعكطم قل تق ط فقإَ ةطن لقطم تقطفقععلوُا فقأطقذعنوُا بةقحطر ل
ب ةمقن د
اةقوقرعسوُلةةه قوإةطن تعطبتعطم فقلقعكطم عرعءو ع
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah
dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka
bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya
Ras al-mal menurut bahasa adalah pokok harta tanpa laba maupun tambahan.
Dalam hadits diistilahkan juga dengan sulb al-mal. Sebagaimana dalam hadits riwayat Imam
Nasai[10]
َب قغطيقر بةطئةر عروقمةق فقققاَقل قمطن يقطشتقةري بةطئقر عروقمةق فقيقطجقععل ةفيهقاَ قدطلقوُهع قمقع ةدقلةء اطلعمطسلةةميقن بةقخطيلر لقهع ةمطنهقمما اعقعلقطيةه قوقسلدقم ققةدقمَ اطلقمةدينقةق قولقطي ق
س بةهقاَ قماَصء يعطستقطعقذ ع صدلىَ د أقدن قرعسوُقل د
اة ق
َب ماَلى صطل ة ةفيِ اطلقجندةة فقاَطشتققرطيتعهقاَ ةمطن ع
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke Madinah dan tidak ada padanya air segar
selain sumur Rumah, kemudian beliau bersabda: “Barangsiapa membeli sumur Rumah
kemudian meletakkan padanya embernya bersama dengan ember orang-orang muslim
dengan kebaikan darinya, maka ia akan berada dalam Surga.” Lalu aku membelinya dari
hartaku secara murni
مجموعةَ التكاَليف التيِ تقوم عليهاَ السلعةَ = مجموع الثمن والتكاَليف الخارى كاَلنقل والتخزين ونحو ذلك:رأَس الماَل
Modal adalah kumpulan biaya untuk adanya komoditas = kumpulan harga dan biaya lain
seperti transportasi dan gedung[12]
B. Urgensi Modal
C. Macam-Macam Modal
Secara fisik terdapat dua jenis modal yaitu fixed capital (modal tetap), dan circulacing
capital (modal yang bersirkulasi). Fixed capital contohnya gedung-gedung, mesin-mesin,
mobil dan lainnya yaitu, benda-benda yang ketika manfaatnya dinikmati, eksistensi
subtansinya tidak berkurang. Adapun circulat capital itu seperti bahan baku, uang dan lainnya
yaitu benda-benda yang ketika manfaatnya dinikmati, substansinya juga hilang[16].
Perbedaan keduanya dalam syaria’h dapat kita lihat sebagai berikut. Modal tetap pada
umumnya dapat disewakan tetapi tidak dapat dipinjamkan (Qarhd). Sedangkan modal
sirkulasi yang bersifat konsumtif bisa dipinjamkan (qardh), tetapi tidak dapat disewakan. Hal
itu disebabkan karena ijarah (sewa menyewa, pen) dilakukan kepada benda-benda yang
memiliki karakteristik substansinya dapat dinikmati secara terpisah atau secara sekaligus.
Ketika sebuah barang disewakan, ia dinikmati oleh penyewa namun status kepemilikannya
tetap pada siempunya. Uang tidak memiliki sipat seperti itu.
Modal yang masuk pada kategori tetap seperti kendaraan akan mendapatkan return on
capital dalam bentuk upah dari penyewaan jika transaksi yang digunakan ijarah. Juga
mendapatkan return on capital dalam bentuk bagian dari laba jika yang digunakan adalah
musyarakah.
Circulating capital (dalam hal ini uang) tidak akan return on capital dalam bentuk
ijarah. Uang dalam Islam bukan sebagai komoditas yang bisa disewakan atau diperjual
belikan. Ia dibutuhkan sebagai alat tukar saja. Ia memiliki return on capital bila
dikembangkan dalam bentuk akad mudharabah. Ia juga dapat dipinjamkan tetapi tidak
diperbolehkan pengembaliaannya melebihi pokok. Kelebihan dmikian termasuk riba[17].
Hal senada juga dikatakan oleh Hulwati dia mengatakan, perbedaan uang dengan
modal adalah modal akan tetap kalau disewakan, ketika modal dalam bentuk barang
disewakan, maka pemilik dapat keuntungan dari sewa. Ketika masa sewa berakhir barang
dikembalikan pada pemilik, tetapi tidak dapat dipinjamkan. Sementara modal dalam uang
dapat dipinjamkan tetapi ia tidak dapat disewakan. Ketika seseorang meminjam uang, maka
peminjam mesti mengembalikan dalam jumlah yang sama. Kelebihan dalam nilai pokok
adalah riba. Karena uang dalam Islam bukan komoditi yang dapat disewa beli dengan
kelebihan, maka uang hanya sebagai alat tukar saja, akan tetapi ia dapat memberikan
keuntungan kalau dikembangkan dalam bentuk mudharabah [18]. Uang bukanlah komoditi
yang mempunyai harga sehingga dapat diperjual belikan. Fungsi uang hanya sebagai medium
of change dan unit of account[19].
Dalam kaidah dikatakan
Setiap yang dimanfaatkan dan barangnya tetap ada bisa disewakan dan apa yang tidak
maka tidak bisa disewakan
Oleh karena itu dalam Islam uang, air, susu, buah-buahan, bahan bangunan, barang
yang ditimbang dan ditakar dan lain sebagainya tidak bisa disewakan karena ketika
digunakan dan dimanfaatkan ain/dzatnya akan hilang.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
HARTA
Buku
Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah. (Jakarta: Rajawali Pers). 2010.
Syafei, Rachmat. Fiqih Muamalat Cetakan 3. (Bandung: CV Pustaka Setia). 2006.
Internet
http://rudinihartomadjirung.blogspot.com/2013/09/harta-pengertian-kedudukan-
fungsinya.html. Diakses pada tanggal 5 Januari 2015
http://islamiceconomistwannabe.blogspot.com/2013/10/tugas-fiqih-muamalah-harta-dalam-
konsep.html. Diakses pada tanggal 5 Januari 2015.
http://rudinihartomadjirung.blogspot.com/2013/09/harta-pengertian-kedudukan-
fungsinya.html. Diakses pada tanggal 5 Januari 2015
http://rudinihartomadjirung.blogspot.com/2013/09/harta-pengertian-kedudukan-
fungsinya.html. Diakses tanggal 5 Januari 2015
http://islamiceconomistwannabe.blogspot.com/2013/10/tugas-fiqih-muamalah-harta-dalam-
konsep.html. Diakses tanggal 5 Januari 2015.
UTANG
Internet :
http://gladieblog.blogspot.com/2014/06/al-qardh-hutang-piutang.html
Buku :
bdullah bin Muhammad ath-Thayar, dkk. Ensiklopedi Fiqih Muamalah, terj. Miftahul Khair,
(Cet. 1; Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2009), hal. 153.
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012),
hal. 178.
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 273.
Sayid sabiq, fiqh as-sunnah, (Cet. 3; Beirut: Dar Al-Fikr, 1977), juz 3, hal 182.
Mushtafa Al-Babiy Al-Halabiy, Al-Muamalat al-maddiyah wa al-adabiyah, terj. Ali Fikri,
mesir 1356 H, hal 346.
Wahbah Az-zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu. Jilid 4 hal. 720.
Wahbah Az-zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Cet:
1; Jakarta: Gema Insani, 2011) Jilid 5 hal. 378
Sayyid Tanthawi, Fiqh Al-Muyassar, Juz 3, hal. 39.
Yazid Afandi, Fiqh Muamalah, (Cet. 1; Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), hal. 144.
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Cet.1; Dar Thuq An-
Najah, 1422 H) hal. 2393.
Muhammad bin Isa bin Surah bin Musa (Imam Tirmidzi), Sunan Tirmidzi, (Cet. 2; Mesir:
Syarikah Maktabah, 1395 H), hal. 1316.
Abdul Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Arba’ah Juz 2, (Libanon, Beirut: Dar-
AlKutub Al-Ilmiyah, 2003),
MODAL
Internet :
http://koneksi-indonesia.org/2014/modal-dan-investasi-dalam-islama-hendang/
Buku :
[10]Dr. Nazîh Hammad, Mu’jam al-Mustalahât al-Mâliyyyah wa al-Iqtishâdiyyah fî lughat
al-Fuqahâ’,(Damaskus: Dar al-Qalam, 2008), hlm, 218
[11] Majma’ al-Lughat al-‘Arabiyah bi al-Qâhirah, al-Mujam al-Wasît, (Turki: al-Maktabah
al-Islamiyyah, TT, Juz I), hlm. 19
[12] Muhammad Qal’azi dan Hamid Shadiq, Mujam Lughat al-Fuqaha, (Beirut: Dar Nafais,
1988), hlm. 217
[13] Afzalurrahman, Muhammad as A Trader. Terj. Dewi Nurjulianti, dkk. Muhammad
Sebagai Seorang Pedagang, ( Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy, 2010), hlm 263
[14] Ibid.,
[15] Ibid., hlm. 265-266
[16] Mustafa Edwin Nasution, et.all, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Prenada
Media Grup, 2007), hlm. 253. Dalam Fikih ekonomi Umar bin Khatab bahwa saham modal
barang dalam produksi dapat dilakukan sesuai salah satu dari dua cara sebagai berikut: 1.
Musyarakah 2. Ijarah. Adapun modal uang bisa menjadi saham dalam produksi sesuai salah
satu dari dua system ini: 1. Musyarakah 2. Qardhul Hasan. Dr. Jaribah bin Ahmad al-Haritsi,
al-Fiqh al-Iqtishadi li Amiril Mukminin Umar Ibn al-Khatab. Terj. Asmuni Solihin
Zamakhsyari, Fikih Ekonomi Umar bin al-Khathab, (Jakarta: Khalifa, 2003), hlm. 102
[17] Ibid., 253-254