Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
APPENDISITIS AKUT
Disusun oleh:
Novia Dwi Tirta Sari
1510221034
Pembimbing:
dr. Seno Budi Santoso, SpB(K)BD
REFERAT
APPENDISITIS AKUT
Diajukan Sebagai Tugas Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
Departemen Ilmu Bedah Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan
Disusun oleh :
Novia Dwi Tirta Sari
1510221034
Pembimbing
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan referat yang
berjudul “Appendisitis Akut”. Referat ini merupakan salah satu syarat untuk mengikuti ujian
kepaniteraan klinik Pendidikan Profesi Dokter di Bagian Ilmu Bedah Rumah Sakit Umum
Pusat Persahabatan Jakarta.
Dalam menyelesaikan tugas ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. Seno Budi Santoso, SpB(K)BD selaku pembimbing penulis, atas
segenap waktu, tenaga dan pikiran yang telah diberikan kepada penulis dalam proses
pembuatan referat ini.
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini banyak terdapat kekurangan dan
juga masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis mengharap kritik dan saran yang
bersifat membangun dari pembaca. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi teman-teman
dan semua pihak yang berkepentingan bagi ilmu kedokteran.
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi
Appendisitis didefinisikan sebagai peradangan pada bagian dalam appendiks
vermiformis yang menyebar ke bagian lain organ tersebut. Appendisitis merupakan keadaan
emergensi penyebab nyeri akut abdomen.2
II.2 Anatomi
Appendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran
3-15 cm), dan berpangkal di caecum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di
bagian distal. Pada bayi, appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit
kearah ujungnya.1
Appendiks muncul pada bulan kelima kehamilan, dan beberapa folikel limfoid
tersebar pada mukosanya. Jumlah folikel tersebut semakin bertambah saat individu memasuki
usia 8-20 tahun.2
Apppendiks tidak mempunyai posisi tetap. Appendiks berasal dari 1,7-2,5 cm
dibawah ileum terminal. Pada 65% kasus, appendiks terletak retrosekal. Kedudukan itu
memungkinkan appendiks bergerak, dan ruang geraknya bergantung pada panjang
mesoappendiks penggantunggnya. Pada 31% kasus, appendiks terletak pada rongga pelvis.
Appendiks dapat juga terletak di belakang ileum terminal, caecum, kolon ascendens atau
liver.2
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri
mesenterika superior dan arteri apendikularis. Sedangkan persarafan simpatis berasal dari
nervus torakalis X. oleh Karena itu, nyeri visceral pada appendisitis bermula disekitar
umbilicus. Vaskularisasi appendiks berasal dari arteri apendikularis yang merupakan cabang
terminal dari arteri ileocolic. Arteri appendikularis merupakan arteri tanpa kolataeral. Jika
arteri ini tersumbat, appendiks akan mengalami nekrosis. Drainase vena melalui vena
ileocolic dan vena colic dekstra menuju ke vena porta. Drainase lymphatic melalui nodus
ileocolic sepanjang arteri mesenterika superior menuju nodus celiac dan cisterna chili.2
Secara histologis appendiks dibagi menjadi 3 lapisan. Lapisan terluar merupakan
serosa, yang merupakan lanjutan dari peritoneum; kemudian lapisan yang lebih dalam adalah
lapisan muskularis; dan lapisan sub mukosa dan mukosa. Jaringan limfoid dapat terletak pada
2
lapisan submukosa dan muskularis mukosa. Lapisan mukosa pada appendiks memiliki terdiri
dari epitel kolumnar dengan sedikit elemen glandula. Kriptus dari appendiks memiliki bentuk
dan ukuran yang ireguler.2
Gambar 2. Posisi appendiks. (1) cabang a. mesentrika superior, (2) ileum terminale, (3) a. appendikularis yang
terletak retroperitoneal, (4) a. appendikularis di dalam mesoappendiks, (5) ujung appendiks agak ke kaudal, (6)
appendiks terletak intraperitoneal, (7) Sekum, (8) appendiks yang terletak retroperitoneal di belakang sekum, (9)
pertemuan 3 taenia menunjukkan pangkal appendiks 1
3
II.3 Fisiologi
Appendiks menghasilkan lendir sebanyak 1-2 ml/hari. Lendir itu normalnya
dikeluarkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lendir di
muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendisitis.
Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid
Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna, termasuk appendiks, adalah IgA.
Immunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian,
pengangkatan appendiks tidak akan mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah
jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di
seluruh tubuh.1
II.4 Epidemiologi
Terdapat sekitar 250.000 kasus appendisitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap
tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun. Appendisitis lebih banyak terjadi
pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3:2. Bangsa Kaukasia lebih
sering terkena dibandingkan dengan kelompok ras lainnya. Appendisitis akut lebih sering
terjadi selama musim panas. Insidensi appendisitis akut di negara maju lebih tinggi
dibandingkan di negara berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya
menurun secara bermakna. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan
berserat dalam menu sehari-hari. Appedisitis dapat ditemukan pada semua umur, namun pada
anak usia kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi terjadi pada kelompok
umur 20-30 tahun, setelah itu menurun.1
4
stimulasi saraf visceral, sehingga menimbulkan nyeri yang samar, tumpul, dan difus pada
perut bagian tengah atau dibawah epigastrium. Peristaltic juga akan terstimulasi oleh adanya
distensi lumen, sehingga nyeri yang dirasakan akan bertumpang tindih dengan kram perut.
Distensi terus berlanjut dari sekresi mukosa dan multiplikasi bakteri appendiks yang cepat.
Distensi yang semakin membesar biasanya menyebabkan refleks mual dan muntah, serta
nyeri visceral difus yang memberat. Peningkatan tekanan lumen akan diikuti dengan tekanan
pembuluh vena. Kapiler dan venula tersumbat, tetapi aliran darah arteriol masih terus
berlanjut, menyebabkan kongesti vascular. Saat proses inflamasi telah melibatkan lapisan
serosa appendiks dan peritoneum parietal serabut saraf somatic akan terstimulasi dan nyeri
perut berpindah pada kuadran kanan bawah atau pada titik Mc Burney’s. Proses distensi,
invasi bakteri, gangguan pembuluh darah, dan proses infark yang terus berlangsung dapat
menyebabkan terjadinya perforasi pada appendiks.5
Bakteri yang paling sering ditemukan menyebabkan appendisitis akut adalah
Escherichia coli dan Bacteroides fragilis.5
5
bawah dan menetap. Variasi dari letak anatomis appendiks dapat menyebabkan nyeri yang
lokasinya berbeda-beda.5
Appendiks yang terletak di retrosekal, tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu
jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal karena appendiks terlindungi oleh sekum.
Rasa nyeri lebih ke arah panggul belakang. Nyeri timbul pada saat berjalan karena kontraksi
otot psoas mayor yang menegang dari dorsal.1
Appendiks yang terletak di rongga pelvis dapat menimbulkan nyeri di suprapubik
serta menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristalsis
meningkat dan pengososngan rektum menjadi lebih cepat serta berulang. Jika appendiks tadi
menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi berkemih akibat
rangsangan appendilks terhadap dinding kandung kemih.1
Gejala appendisitis selalui disertai dengan anoreksia. 75% pasien juga mengalami
mual dan muntah. Muntah terjadi akibat adanya stimulasi neural dan ileus. Kebanyakan
pasien mengeluh obstipasi sebelum timbul nyeri perut. Beberapa pasien juga mengeluh diare
terutama pada anak-anak.1
Gejala appendisitis akut pada anak tidak bersifat spesifik. Pada awalnya anak sering
hanya menunjukkan gejala rewel dan tidak nafsu makan. Beberapa jam kemudian anak akan
muntah sehingga menjadi lemah dan letargi. Pada bayi 80-90% appendisitis baru diketahui
setelah terjadi perforasi. Pada kehamilan, keluhan utama appendisitis adalah nyeri perut,
mual dan muntah. Pada keluhan lanjut, sekum dan appendiks terdorong ke kraniolateral
sehingga keluhan dirasakan lebih pada regio lumbal kanan.1
6
perut kanan bawah yang di sebut sebagai Rovsing sign. Pada appendisitis retrosekal atau
retroileal, diperlukan palpasi yang lebih dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri.
Pada appendiks yang terletak di rongga pelvis, tanda perut sering meragukan. Kunci
diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Pemeriksaan psoas sign dan
obturator sign merupakan pemeriksaan untuk mengetahui letak appendiks. Pemeriksaan
psoas sign dilakukan dengan rangsangan otot psoas mayor lewat hiperekstensi sendi panggul
kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks
yang meradang terletak di retrosekal dan menempel pada otot psoas mayor, maka tindakan
tersebut akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan obturator sign dilakukan dengan cara pasien
pada posisi terlentang dilakukan gerakan fleksi sendi panggul kemudian diendorotasikan.
Bila timbul nyeri menunjukkan adanya peradangan pada otot obturatorius di rongga pelvis.1
7
berguna untuk menyingkirkan adanya kista ovarium, kehamilan ektopik, atau abses ovarium.
Appendisitis dapat ditegakkan jika ditemukan adanya gambaran sel target dengan panjang
diameter anteroposterior appendiks 6 mm, tampak adanya appendicolith, adanya penebalan
dinding appendiks, dan cairan periappendikuler. Sensitivitas pemeriksaan USG untuk
appendisitis adalah 55-96%, sedangkan spesifitasnya adalah 85-98%.5
8
periappednikuler, dan cairan bebas. Fekalit juga dapat terlihat. Pemeriksaan CT scan
memiliki sesitivitas 92-97% dan spesifisitas 85-94% dalam mendiagnosis appendisitis akut.5
Kerugian pemeriksaan CT-scan adalah biaya pemeriksaan yang mahal, pasien lebih
terekspos dengan radiasi, tidak dapat digunakan pada wanita hamil dan pada pasien yang
alergi terhadap iodine atau kontras.
Untuk mendapatkan hasil yang lebih objektif saat ini diagnosis dapat ditegakkan
dengan menggunakan sistem skoring. Skor Alvarado merupakan skoring yang paling sering
digunakan. Skoring tersebut diketahui dapat menentukan pemeriksaan yang dapat dilakukan
untuk menentukan diagnosis lebih lanjut. Selain itu skoring yang dapat digunakan adalah
skor peradangan pada appendisitis, penelitian menunjukan skor tersebut memiliki tingkat
akurasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan skor Alvarado. Namun skoring tersebut
membutuhkan variabel yang lebih banyak dan salah satumya adalah pemeriksaan CRP.5
9
II.9 Diagnosis Banding
Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit yang dapat dipertimbangkan untuk
diagnosis banding appendisitis akut adalah sebagai berikut1 :
Akut mesenteric adenitis merupakan penyakit yang sering menjadi diagnosis
banding pada anak. biasanya didahului dengan infeksi saluran pernapasan atas. Nyeri
terasa difus, dan tidak tajam.
Gasrtoenteritis. Pada gastroenteritis, mual, muntah, diare mendahului rasa nyeri.
Nyeri perut sifatnya lebih ringan dan berbatas tidak tegas. Sering dijumpai adanya
hiperperistaltik usus.
Kelainan ovulasi. Folikel ovarium yang pecah pada saat ovulasi dapat menimbulkan
nyeri pada perut kanan bawah, namun pada penyakit ini tidak ada tanda radang, dan
nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam.
Infeksi panggul. Salpingitis akut kanan sering menimbulkan gejala yang serupa
dengan appendisitis, namun suhu biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan
appendisitis dan nyeri perut bagian bawah yang lebih difus. Biasanya juga disertai
dengan keputihan dan infeksi saluran kemih.
Kehamilan Ektopik. Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang
tidak menentu. Pada pemeriksaan vagina, didapatkan nyeri dan penonjolan pada
cavum douglas.
Kista ovarium terpuntir. Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan
teraba massa dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vagina ataupun
colok rektal. Tidak terdapat demam, pemeriksaan USG dapat menentukan diagnosis.
Urolitiasis pielum/ ureter kanan. Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut yang
menjalar ke inguinal merupakan gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan.
Foto polos abdomen atau urografi dapat memastikan penyakit tersebut.
Penyakit saluran cerna lainnya. Penyakit lain yang perlu dipikirkan antara lain;
divertikulitis Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung, kolesistitis akut,
pankreatitis, perforasi kolon, demam tifoid abdominalis.
10
II.10 Penatalaksanaan
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan yang paling tepat dan satu-satunya pilihan
yang baik adalah appendektomi. Apendektomi bisa dilakukan secara terbuka atau dengan
laparoskopi. Bila apendektomi terbuka, insisi McBurney merupakan insisi yang paling sering
digunakan. Pada penderita yang diagnosisnya masih belum jelas, sebaiknya dilakukan
observasi terlebih dahulu. Pemeriksaan laboratorium dan USG dapat dilakukan bila dalam
observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik
pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak.1
Berdasarkan waktu pembedahan, penelitian yang dilakukan secara retrospektif
menunjukkan tidak ditemukannya perbedaan yang signifikan antara appendektomi segera (<
12 jam setelah timbul gejala) maupun yang lambat (12-24 jam). Setelah 36 jam pertama dari
timbulnya tanda dan gejala memiliki resiko terjadi perforasi sekitar 16 – 36 %, dan resiko ini
terus meningkat sebesar 5% setiap 12 jam berikutnya. Hal ini menunjukkan setelah diagnosis
appendisitis dapat dipastikan tindakan appendektomi seharusnya segera dikerjakan untuk
mengurangi resiko terjadinya komplikasi.1
Beberapa penelitian menunjukan laparoskopi appendektomi lebih sedikit
menimbulkan infeksi pada bekas luka operasi dibandingkan dengan appendektomi per
laparotomi. Namun, laparoskopi apendektomi diketahui memiliki risiko yang lebih tinggi
dalam menimbulkan abses intra abdominal dibandingkan dengan per laparotomi. Nyeri yang
lebih ringan, perawatan yang lebih sebentar, dan dapat kembali beraktivitas biasa dengan
cepat merupakan kelebihan dari laparoskopi apendektomi. Selain itu tindakan tersebut dapat
menguntungkan pada kasus yang diagnosisnya masih meragukan. Seperti, wanita usia
reproduktif, pasien tua dengan suspek keganasan dan pasien obesitas yang membutuhkan
insisi lebih luas pada appendektomi per laparotomi.1
II.11 Komplikasi
Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas
maupun perforasi pada appendiks yang telah mengalami pendinginan sehingga membentuk
massa.1
Massa periappendikuler. Massa appendiks terjadi bila appendisitis gangrenosa atau
mikro perforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus halus. Pada massa
periappendikuler dengan pembentukan dinding yang belum sempurna, dapat terjadi
penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti oleh peritonitis purulenta
generalisata. Pada pasien dengan massa periappendikuler yang terpancang dengan
11
pendinginan yang sempurna sebaiknya dirawat terlebih dahulu dan diberi antibiotik sambil
dilakukan pemantauan terhadap suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila
sudah tidak ada demam, massa periapendikuler hilang dan leukosit normal, penderita boleh
pulang dan appendektomi elektif dapat dilakukan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat
perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi peforasi, akan terbentuk abses
appendiks. Riwayat klasik appendisitis akut, yang diikuti dengan adanya massa yang nyeri di
regio iliaka kanan san disertai demam, dapat mengarahkan diagnosis ke massa
periappendikuler atau abses periappendikuler.1
Appendektomi dilakukan pada infiltrat periapendikuler tanpa pus yang telah
ditenangkan. Sebelumnya, pasien diberikan antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman
aerob dan anaerob, setelah 6-8 minggu berikutnya dilakukan apendektomi. Bila sudah terjadi
abses, dianjurkan drainase terlebih dahulu, kemudian apendektomi dilakukan 6-8 minggu
kemudian.1
Appendistis perforata. Adanya fekalit dalam lumen, usia, dan keterlambatan
diagnosis, merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya perforasi appendiks. Insidens
perforasi pada penderita diatas usia 60 tahun dilaporkan sekitar 60%. Perforasi appendiks
akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin
hebat yang meliputi seluruh perut, dan perut menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan
defans muskular terjadi di seluruh perut, mungkin disertai dengan pungtum maksimum di
regio iliaka kanan dan dapat terjadi penurunan peristaltik usus akibat adanya ileus paralitik.
Abses rongga peritoneum dapat terjadi bila pus menyebar terlokalisasi di suatu tempat, paling
sering di rongga pelvis dan subdiafragma. USG dapat membantu mendeteksi adanya kantung
nanah.1
Perbaikan keadaan umum dengan infus pemberian antibiotik dan pemasangan NGT
perlu dilakukan sebelum pembedahan, Perlu dilakukan laparotomi dengan insisi yang
panjang, supaya dapat dilakukan pencucian rongga peritoneum dari pus maupun pengeluaran
fibrin yang adekuat secara mudah serta pembersihan kantung nanah. Akhir-akhir ini, mulai
banyak dilaporkan pengelolaan appendisitis perforasi secara laparoskopi appendektomi. Pada
prosedur ini rongga abdomen dapat dibilas dengan mudah. Hasilnya dilaporkan tidak jauh
berbeda jauh dibanding dengan laparotomi terbuka, tetapi keuntungannya adalah lama rawat
yang lebih pendek dan secara kosmetik lebih baik.1
12
II.12 Prognosis
Appendisitis akut merupakan kasus emergensi yang membutuhkan tindakan
pembedahan segera. Appendektomi dapat mengurangi komplikasi sebesar 4-15%. Tujuan
dari pembedahan adalah untuk membuat diagnosis yang akurat sedini mungkin.
Keterlambatan diagnosis dan terapi dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas
pada penderita appendisitis. Pada pasien dengan usia lebih dari 70 tahun angka mortalitas nya
dapat meningkat lebih dari 20% apabila terdapat keterlambatan diagnostik maupun terapi.2
13
BAB III
KESIMPULAN
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat, Jong, de. 2012. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 3. EGC, Jakarta.
4. Tortora, GJ, Derrickson, B. 2012. Principles of anatomy & physiology. Edisi 13. John
5. Liang, MK, Andersson, RE, Jaffe, BM, Berger, DH. 2015. Schwartz’s principles of
15