Vous êtes sur la page 1sur 28

PRESENTASI KASUS

BRONKOPNEUMONIA

Diajukan kepada:
dr. Apriludin , Sp.P

Disusun oleh:
Nama : Sony Andik Pratama
NIM : 1413010045

BAGIAN INTERNA RSUD KOTA SALATIGA


PROGRAM PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan presentasi kasus dengan judul


Bronkopneumonia

Disusun oleh:

Nama : Sony Andik Pratama


NIM : 1413010045

Telah dipresentasikan

Hari/Tanggal:
Jumat 22 Maret 2019

Disahkan oleh:

Dosen Pembimbing,

dr. Apriludin, Sp.P

2
BAB I
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Tn. M
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 70 th
Alamat : Grogol Blotongan, kec. Candirejo
Status : Menikah
Masuk RS : 3 Maret 2019 pukul 18.58

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Demam sejak 3 hari yang lalu
2. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak nafas yang dirasakan sejak
tanggal 1 maret. Sesak nafas dirasakan makin memberat saat pasien beraktifitas.
keluhan lain seperti batuk berdahak berawarna putih sejak 2 hari yang lalu (+),
demam (+), sering terbangun malam hari karena sesak (-), nyeri dada (-), dada
berdebar (-), kaki bengkak (-), mual (-), muntah (-), nafsu makan biasa, keringat pada
malam hari (-), berat badan menurun (-), BAB dan BAK biasa.
3. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa, riwayat asma, diabetes
melitus, sakit jantung, hipertensi disangkal pasien.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga tidak ada yang mengalami keluhan serupa. Riwayat keturunan
riwayat asma, diabetes melitus, sakit jantung, hipertensi disangkal pasien.
5. Riwayat Personal Sosial
Pasien mengaku sudah berhenti merokok sejak 7 tahun yang lalu, namun
sebelumya merupakan perokok berat dan bukan alkoholik. Pasien dirawat
menggunakan BPJS.

C. Pemeriksaan fisik
1. Kesan Umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4V5M6
3. Vital Signs
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 100x/menit reguler
Frekuensi Napas : 24x/menit
Suhu : 39,6oC

3
4. SpO2 : 88 %
5. Head to toe
Kepala & Leher
Inspeksi Bentuk wajah simetris, Conjungtiva anemis (-/-),
Sklera Ikterik (-/-), ptosis (-/-), eksophtalmus (-/-),
pursed – lips breathing (-),
Palpasi Pembesaran Limfonodi (-), pembesaran tiroid (-)
Thorax (Cor)
Inspeksi Pulsasi terlihat
Palpasi Ictus cordis teraba pada SIC V linea mid clavicula
sinistra
Perkusi Cardiomegali (-), batas kanan jantung terdapat di
linea parasternlis dextra, batas kiri jantung terdapat di
line mid clavicula sinistra, batas atas jantung atas
terdapat di SIC II, batas bawah jantung terdapat di
SIC V
Auskultasi Suara S1 dan S2 terdengar regular, Murmur (-),
Gallop (-)
Thorax (Pulmo)
Inspeksi Pelebaran vena (-), retraksi dinding dada (-), barrel
chest (-), penggunaan otot bantu napas (-), hipertrofi
otot bantu napas (-), pelebaran sela iga (-)
Palpasi Vocal fremitus sama kuat pada kedua lapang paru,
sela iga melebar (-)
Perkusi Hipersonor pada pulmo dextra, batas jantung
mengecil (-), letak diafragma rendah (-) , hepar
terdorong ke bawah (-)
Auskultasi Ronki basah kasar (+), Wheezing (-)
Abdomen
Inspeksi Asites (-), pelebaran vena (-), spider nevi (-)
Auskultasi Peristaltik usus 6x/menit
Palpasi Nyeri tekan
Perkusi Timpani (+)
Ekstremitas (Superior, Inferior, Dextra, Sinistra)
Inspeksi Edema (-)
Palpasi Pitting non pitting edema (-), akral hangat (+) WRP <
2 detik
Tabel 1.1. Hasil pemeriksan fisik
D. Pemeriksaan penunjang
1. Rontgen thorax tanggal 3 Maret 2019
Gambar 1. 1. Rontgen thorax tanggal 3 Maret 2019

4
5
Foto thorax, PA view, posisi erect, relatif simetris, inspirasi cukup, kondisi foto cukup
pada
Hasil
a. Tampak opasitas inhomogen di kedua pulmo dengan batas tak tegas,
airbronchogram multiple
b. Tak tampak pembesaran limfonodi hilus bilateral
c. Sinus costophrenicus sinistra lancip
d. Tampak penebalan pleural space dextra
e. Diafragma bilateral licin dan tak mendatar
f. Cor, CTR = 0,45
g. Sistema tulang yang tervisualisasi baik

Kesan
a. Bronchopneumonia
b. Efusi pleura dextra
c. Besar cor normal
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan Metoda
Leukosit 7.15 4.50 – 11.00 10^3/uL Impedance
Eritrosit 5.72 L : 4.50-6.50 W : 11.5-16.5 10^6/uL Impedance
Hemoglobin 16.7 L : 13-18 W : 11.5-16.5 g/dL Colorimetric
Hematokrit 50.5 40-52 % Analizer Calculates
MCV 88.3 80-96 fL Analizer Calculates
MCH 29.2 28-33 Pg Analizer Calculates
MCHC 33.1 33-36 g/dL Analizer Calculates
Trombosit 222 10-450 10^3/uL Impedance
Hitung Jenis
Eosinofil 0.0 2-4 %
Basofil 0.3 0-1 %
Limfosit 15.7 25-60 % Impedance
Monosit 5.0 2-8 %
Neutrofil 79.0 50-70 %
Kimia
GDS 463 <140 mg/dL GOD-PA
Ureum 117 10-50 mg/dL Modif-Berh
Kreatinin 1,6 1.0-1.3 mg/dL
SGOT 15 L : <37; W : <31 U/L IFCC
SGPT 9 L: <42; W: <32 U/L IFCC

6
E. Asessment
Bronkopneumonia

Diabetes Melitus

F. Penatalaksanaan
1. IGD tanggal 3 maret 2019
 RL 20 TPM
 Parcetamol 1 gr
 Metilprednison 62,5 mg/12 jam
 Nebulizer (Bricasma dan pulmicort)
G. Perkembangan Rawat Inap
3 maret 2019
 Ceftriaxone 1 gr/ 24 jam
 Drip Aminopylin
 Rawat bersama penyakit dalam
4 maret 2019
 Asering
 02 4 liter
 Aminopylin 200 mg tab 3x1/2
 Nebulizer : (bricasma, pulmicort 0,2 ) 3x1
 Paracetamol 500 mg tab 3x1
 Ambroksol 30 mg tab 3x1
 Novorapid SC/4 jam, dosis awal 26 IU
 Prorenal 3x1 tab
5 maret 2019
 Asering
 O2 4 liter
 Drip Aminopylin 1 ampul 20 tp
 Nebulizer : (bricasma, pulmicort) 3x1
 Paracetamol 500 mg tab 3x1
 Ambroksol 30 mg tab 3x1
 Novorapid
 Prorenal 3x1 tab

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Bronkopneumonia
Disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan pada parenkim paru yang
terlokalisir yang biasanya mengenai bronkus dan bronkiolus dan juga mengenai alveolus
disekitarnya.
Bronkopneumonia lebih sering merupakan infeksi sekunder terhadap berbagai keadaan
yang melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga sebagai infeksi primer yang biasanya
kita jumpai pada anak-anak dan orang dewasa (Bradley et.al., 2011).

2. Epidemiologi
Insidens penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan kecacatan
yang tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek umum
berhubungan dengan infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat (PK) atau di dalam
rumah sakit/ pusat perawatan (pneumonia nosokomial/ PN).
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang
kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Laporan
WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di
dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan influenza. Insidensi
pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun dan
merupakan penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu.
Angka kematian akibat pneumonia di Amerika adalah 10%. Di Amerika dengan cara
invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%. Penyebab pneumonia sulit
ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya,
sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka pada
pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotika secara empiris.6
3. Etiologi
a. Faktor Infeksi :

8
Pada neonatus: Streptokokus group B, Respiratory Sincytial Virus (RSV). Pada bayi :
Virus: Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV, Cytomegalovirus.
Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis, Pneumocytis. Pada anak-anak yaitu virus:
Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSV. Organisme atipikal: Mycoplasma
pneumonia. Bakteri: Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosi.
Pada anak besar – dewasa muda, Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, C.
trachomatis. Bakteri: Pneumokokus, Bordetella pertusis, M. tuberculosis.
b. Faktor Non Infeksi
Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi: Bronkopneumonia
hidrokarbon yang terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung
(zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin). Bronkopneumonia lipoid biasa
terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal, termasuk jeli
petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan seperti palatoskizis,
pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti
minyak ikan pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis
minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak
4. Patogenesis
Saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim paru. Paru-paru
dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan anatomis dan mekanis, dan
faktor imun lokal dan sistemik. Mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung,
refleks batuk dan mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A
lokal dan respon inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin,
makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel (Bradley et.al., 2011):
Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau bila virulensi
organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas bagian bawah melalui inhalasi
atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas bagian atas, dan jarang melalui hematogen.
Virus dapat meningkatkan kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah
dengan mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun. Diperkirakan sekitar 25-
75 % anak dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus. Secara patologis,
terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al., 2011):
a. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)
Yaitu hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada
daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan
permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-
mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
b. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat
dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan.
Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit

9
dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada
stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah
sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
c. Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah
yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah
menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
d. Stadium IV (7-11 hari berikutnya)
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda,
sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan
kembali ke strukturnya semula.

e. Diagnosis
Penegakan diagnosis berdasarkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesi (2003), Yaitu :
a. Anamnesis
1) Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
2) Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
3) Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
4) Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
5) Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
6) Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
1) Inspeksi
 Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
 Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
 Penggunaan otot bantu napas
 Hipertropi otot bantu napas
 Pelebaran sela iga
 Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher
dan edema tungkai
 Penampilan pink puffer atau blue bloater
2) Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
3) Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah,
hepar terdorong ke bawah
4) Auskultasi
 suara napas vesikuler normal, atau melemah
 terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa

10
 ekspirasi memanjang
 bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasan pursed – lips breathing. Pursed - lips breathing Adalah sikap seseorang
yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini
terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi
sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal
napas kronik.
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema
tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan rutin
a) Faal paru
 Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
 Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau
VEP1/KVP ( % ). Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80%
VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
 VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
 Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE
meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan
memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
 Uji bronkodilator
 Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter.
 Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20
menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan
VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
 Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2) Darah rutin
3) Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain.
Pada emfisema terlihat gambaran :
 Hiperinflasi
 Hiperlusen
 Ruang retrosternal melebar
 Diafragma mendatar
 Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)

Pada bronkitis kronik :

11
 Normal
 Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
4) Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
a) Faal paru
 Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru
Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
 DLCO menurun pada emfisema
 Raw meningkat pada bronkitis kronik
 Sgaw (tahan jalan nafas spesifik) meningkat
 Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
b) Uji latih kardiopulmoner
 Sepeda statis (ergocycle)
 Jentera (treadmill)
 Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
c) Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK
terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan
d) Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison
atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2 minggu yaitu
peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada
PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian
kortikosteroid
e) Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
 Gagal napas kronik stabil
 Gagal napas akut pada gagal napas kronik
f) Radiologi
 CT-Scan resolusi tinggi
 Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau
bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
 Scan ventilasi perfusi Mengetahui fungsi respirasi paru
g) Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan
hipertrofi ventrikel kanan.
h) Ekokardiografi
Menilai fungsi jantung kanan
i) Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi
diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang
tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi
akut pada penderita PPOK di Indonesia.
j) Kadar alfa-1 antitripsin

12
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia
muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.
f. Diagnosis Banding
a. Asma
b. SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis)
Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita
pascatuberculosis dengan lesi paru yang minimal.
c. Pneumotoraks
d. Gagal jantung kronik
e. Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis, destroyed
lung.
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesi, 2003)

Asma PPOK SOPT

Timbul pada usia muda ++ - +

Sakit mendadak ++ - -

Riwayat merokok +/- +++ -

Riwayat atopi ++ + -

Sesak dan mengi berulang +++ + +

Batuk kronik berdahak + ++ +

Hipereaktiviti bronkus +++ + +/-

Reversibiliti obstruksi ++ - -

Variabiliti harian ++ + -

Eosinofil sputum + - ?

Neutrofil sputum - + ?

Makrofag sputum + - ?

g. Klasifikasi
Terdapat ketidak sesuaian antara nilai VEP1 dan gejala penderita, oleh sebab itu
perlu diperhatikan kondisi lain. Gejala sesak napas mungkin tidak bisa diprediksi dengan
VEP1 (Buist AS , McBurnie MA, Vollmer WM, 2007).

13
Berat VEP–1(%
Penyakit Gejala predileksi)
Ringan  tidak ada gejala saat istirahat atau saat berkerja >70 %
 tidak ada gejala saat istirahat,tapi ada gejala pada
aktivitas ringan (mis. Berpakaian)
Sedang  Tidak ada gejala saat istirhat tapi ada gejala pada 50-69%
aktivitas sedang (mis berjalan cepat, menaiki tangga)
 Gejala minimal saat istirahat (mis saat duduk,
menonton TV, membaca
Berat  Gejala sedang saat istirahat <50%
 Gejala berat saat istirahat
 Tanda-tanda cor pulmonale
Tabel 1. Klasifikasi PPOK

h. Penatalaksanaan Umum PPOK


Tatalaksana berdasarkan WHO (2012) dan DEPKES RI (2008), Yaitu :
a. Tujuan penatalaksanaan :
1) Mengurangi gejala
2) Mencegah eksaserbasi berulang
3) Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
4) Meningkatkan kualiti hidup penderita
b. Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :
1) Edukasi
2) Obat - obatan
3) Terapi oksigen
4) Ventilasi mekanik
5) Nutrisi
6) Rehabilitasi
PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel, sehingga
penatalaksanaanPPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan stabil dan (2)
penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.
1) Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil.
Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah
penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan
keterbatasan aktivitis dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda
dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki
derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.
a) Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
 Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
 Melaksanakan pengobatan yang maksimal
 Mencapai aktiviti optimal
 Meningkatkan kualitas hidup

14
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara
berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi
keluarganya. Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit
gawat darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara intensif edukasi diberikan di
klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan waktu yang khusus
dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi
kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan
keterbatasan aktivitis. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu
cara untuk meningkatkan kualitas hidup pasien PPOK. Bahan dan cara pemberian
edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit, tingkat pendidikan,
lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita.

Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah

 Pengetahuan dasar tentang PPOK


 Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
 Cara pencegahan perburukan penyakit
 Menghindari pencetus (berhenti merokok)
 Penyesuaian aktivitas
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan skala
prioritas bahan edukasi sebagai berikut :
1. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK
ditegakkan
2. Pengunaan obat - obatan
 Macam obat dan jenisnya
 Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )
 Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu atau kalau
perlu saja )
 Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
3. Penggunaan oksigen
 Kapan oksigen harus digunakan
 Berapa dosisnya
 Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
Tanda eksaserbasi :
 Batuk atau sesak bertambah
 Sputum bertambah
 Sputum berubah warna
6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas

15
Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima,
langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian
edukasi sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu
banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam
pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena PPOK merupakan penyakit
kronik progresif yang ireversibel
Pemberian edukasi berdasar derajat penyakit :

Ringan
- Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel
- Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus,
antara lain berhenti merokok
- Segera berobat bila timbul gejala
Sedang
- Menggunakan obat dengan tepat
- Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini
- Program latihan fisik dan pernapasan
Berat
- Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi
- Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan
- Penggunaan oksigen di rumah

2. Obat – obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat tabel 2 ). Pemilihan
bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan
jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat
( slow release ) atau obat berefek panjang ( long acting ).
Macam - macam bronkodilator :
1) Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator
juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).
2) Golongan agonis beta - 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak
dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau
drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
3) Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2

16
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,
karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu
penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
4) Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk
mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan
pemeriksaan kadar aminofilin darah.
b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang
diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1
pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
1) Lini I : amoksisilin, makrolid
2) Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon
3) Perawatan di Rumah Sakit :
Amoksilin dan klavulanat
Sefalosporin generasi II & III injeksi
Kuinolon per oral
4) ditambah dengan yang anti pseudomonas
Aminoglikose per injeksi
Kuinolon per injeksi
Sefalosporin generasi IV per injeksi
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N -
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang
viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin.
f. Antitusif
Diberikan dengan hati-hati

Gejala Golongan Obat Obat & Kemasan Dosis


Tanpa gejala Tanpa obat
Gejala intermiten Agonis β2 Inhalasi kerja cepat Bila perlu

17
(pada waktu
aktivitas)
Gejala terus Antikolinergik Ipratropium bromida 2-4 semprot
menerus 20 µgr 3-4 x/hari
Inhalasi Fenoterol 100 2-4 semprot
Agonis β2 kerja µgr/semprot 3-4 x/hari
cepat
Salbutamol 100 2-4 semprot
µgr/semprot 3-4 x/hari
Kombinasi Ipratropium bromid 2-4 semprot
terapi 20µgr+salbutamol 3-4 x/hari
100µgr
persemprot
Pasien memakai Inhalasi agonis Formoterol 6µgr, 12 1-2 semprot 
inhalasi agonis β2 β2 kerja lambat µgr/semprot 2x/hari tidak
kerja (tidak dipakai melebihi 2x/hari
untuk
eksaserbasi)
Atau
Timbul gejala pada Salmeterol 25 1-2 semprot 
waktu malam hari µgr/semprot 2x/hari tidak
atau pagi hari melebihi 2x/hari
Anti oksidan N asetil sistein 600 mg/hari
Pasien tetap Kortikosteroid Prednison 30-40mg/hari
mempunyai gejala oral (uji Meti prednisolon selama 2 mg
dan atau terbatas kortikosteroid)
dalam aktiviti
harian meskipun
mendapat
pengobatan
bronkodilator
maksimal
Uji kortikosteroid Inhalasi Beklometason 50µgr, 1-2 semprot
memberikan respns kortikosteroid 250µgr,400µgr/semprot 2-4 x/hari
positif

3. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat
penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik
di otot maupun organ - organ lainnya.
Manfaat oksigen
a. Mengurangi sesak
b. Memperbaiki aktiviti
c. Mengurangi hipertensi pulmonal
d. Mengurangi vasokonstriksi
e. Mengurangi hematokrit
f. Memperbaiki fungsi neuropsikiatri

18
g. Meningkatkan kualitas hidup
Indikasi
 Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
 Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal,
perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep
apnea, penyakit paru lain

Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi oksigen
di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan gagal napas
kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut di
unit gawat darurat, ruang rawat ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk penderita
PPOK yang dirawat di rumah dibedakan :

a. Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy = LTOT )


b. Pemberian oksigen pada waktu aktivitas
c. Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil
terutama bila tidur atau sedang aktivitas, lama pemberian 15 jam setiap hari,
pemberian oksigen dengan nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur
bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur. Terapi
oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak napas dan meningkatkan
kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau pulse
oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%. bantu
pemberian oksigen
4. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas
akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat
dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang
ICU atau di rumah. Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :
a. ventilasi mekanik dengan intubasi
b. ventilasi mekanik tanpa intubasi
5. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia
kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi
akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi
paru dan perubahan analisis gas darah
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :
a. Penurunan berat badan
b. Kadar albumin darah

19
c. Antropometri
d. Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)
e. Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan
mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan
CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara
kalori yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan
secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster. Komposisi nutrisi
yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat. Kebutuhan protein
seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan ventilasi semenit oxigen
comsumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada
PPOK dengan gagal napas kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan
kelelahan. Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena
berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan
ventilasi. Gangguan elektrolit yang terjadi adalah :
a. Hipofosfatemi
b. Hiperkalemi
c. Hipokalsemi
d. Hipomagnesemi
Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian nutrisi
dengan komposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan waktu pemberian yang lebih
sering.

6. Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan
memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK Penderita yang dimasukkan ke dalam
program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal
yang disertai :
a. Simptom pernapasan berat
b. Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
c. Kualitas hidup yang menurun
Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim
multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog.
Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan
latihan pernapasan (Wan C dan Tze P, 2011).

7. Penatalaksanaan PPOK stabil


Kriteria PPOK stabil adalah :
a. Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik

20
b. Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas darah
menunjukkan :
- PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg
- Dahak jernih tidak berwarna
- Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil
spirometri)
- Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
- Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan
Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil :
- Mempertahankan fungsi paru
- Meningkatkan kualiti hidup
- Mencegah eksaserbasi
Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi berkala atau
dirumah untuk mempertahankan PPOK yang stabil dan mencegah eksaserbasi
Penatalaksanaan di rumah
Penatalaksanaan di rumah ditujukan untuk mempertahankan PPOK yang stabil.
Beberapa hal yang harus diperhatikan selama di rumah, baik oleh pasien sendiri maupun
oleh keluarganya. Penatalaksanaan di rumah ditujukan juga bagi penderita PPOK berat
yang harus menggunakan oksigen atau ventilasi mekanik.
Tujuan penatalaksanaan di rumah :
a. Menjaga PPOK tetap stabil
b. Melaksanakan pengobatan pemeliharaan
c. Mengevaluasi dan mengatasi eksaserbasi dini
d. Mengevaluasi dan mengatasi efek samping pengobatan
e. Menjaga penggunaan ventilasi mekanik
f. Meningkatkan kualiti hidup
Penatalaksanaan di rumah meliputi :
1. Penggunakan obat-obatan dengan tepat.
Obat-obatan sesuai klasifikasi. Pemilihan obat dalam bentuk dishaler, nebuhaler atau
tubuhaler karena penderita PPOK biasanya berusia lanjut, koordinasi neurologis dan
kekuatan otot sudah berkurang. Penggunaan bentuk MDI menjadi kurang efektif.
Nebuliser sebaiknya tidak digunakan secara terus menerus. Penggunaan nebuliser di
rumah sebaiknya bila timbul eksaserbasi, penggunaan terus menerus, hanya jika timbul
ek saserbasi.
2. Terapi oksigen
Dibedakan untuk PPOK derajat sedang dan berat. Pada PPOK derajat sedang
oksigen hanya digunakan bila timbul sesak yang disebabkan pertambahan aktiviti. Pada
PPOK derajat berat yang terapi oksigen di rumah pada waktu aktiviti atau terus
menerus selama 15 jam terutama pada waktu tidur. Dosis oksigen tidak lebih dari 2 liter
3. Penggunaan mesin bantu napas dan pemeliharaannya.
Beberapa penderita PPOK dapat menggunakan mesin bantu napas di rumah
4. Rehabilitasi
- Penyesuaian aktiviti

21
- Latihan ekspektorasi atau batuk yang efektif (huff cough)
- "Pursed-lips breathing"
- Latihan ekstremiti atas dan otot bantu napas
5. Evaluasi / monitor terutama ditujukan pada :
- Tanda eksaserbasi
- Efek samping obat
- Kecukupan dan efek samping penggunaan oksigen

Algoritme penanganan PPOK stabil ringan

22
Algoritma penanganan PPOK sedang-berat

23
8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :

24
a. Gagal napas
1) Gagal napas kronik
Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH
normal, penatalaksanaan :
 Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2
 Bronkodilator adekuat
 Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
 Antioksidan
 Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
2) Gagal napas akut pada gagal napas kronik
Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :
 Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
 Sputum bertambah dan purulen
 Demam
 Kesadaran menurun
b. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik
ini imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit
darah.
c. Kor pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal
jantung kanan.

(Di Pede C, 2012).

9. Prognosis
Untuk pasien COPD bergantung pada keparahan obstruksi aliran udara. Pasien
dengan FEV1 < 0,8 L mempunyai mortalitas tahunan ~25%. Pasien dengan kor
pulmonal, hiperkapnia, kebiasaan merokok, dan penurunan berat baan memiliki
prognosis buruk. Kematian biasanya terjadi akibat infeksi, gagal napas akut, embolus
paru dan aritmia jantung (Alsaggaf, 2004).

25
BAB III

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

a. Pembahasan
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan,
sampai gejala yang berat. Namun diagnosa PPOK dapat ditegakkan berdasarkan
gambaran klinis, dan pemeriksaan penunjang. Pada gambaran klinis, bila ditemukan
sesak nafas yang kronik dan progresif, serta riwayat terpajan oleh faktor-faktor resiko.
Maka diagnosa dari PPOK harus dipertimbangkan, dan kemudian dikonfirmasi dengan
melakukan spirometri.
Pasien datang ke IGD dari RSUD kota salatiga dengan Pada kasus ini, seorang laki-
laki berusia 68 tahun dengan keluhan sesak hebat sejak 3 hari SMRS. Dari anamnesis,
ditemukan adanya sesak, bersifat kronik progresif (memburuk selama 3 bulan), disertai
batuk berulang yang berdahak hingga terdapat perubahan warna dahak dan ada riwayat
terpajan faktor resiko (merokok 2 bungkus perhari sejak umur 12 tahun) namun pasien
mengaku sudah berhaenti merokok sejak 6 buln yang lalu. Kemudian pada
pemeriksaan fisik ditemukan adanya pursed lips breathing, barrel shaped chest,
penggunaan otot bantu nafas, hepar teraba 2 jari bawah arcus costae, terdapat ronkhi,
serta ekspirasi yang memanjang. Dari data tersebut kecurigaan adanya PPOK dapat
ditegakkan, dan kemudian dipastikan dengan menggunakan rontgen thorax PA dan

26
spirometri. Dari hasil rontgen thorax PA menunjang diagnosis PPOK dan dicurigai
adanya Tb paru lesi luas, dimana ditemukannya batas paru hepar memanjang, sudut
costophrenikus tumpul (diafragma mendatar), parenkim paru terdapat infiltrat di apex
kedua paru, dan sela iga melebar (hiperinflasi).
Dari seluruh hasil pemeriksaan di atas kami menyimpulkan bahwa diagnosis pasien
ini adalah PPOK. Maka terapi farmakologis yang dilakukan adalah pemberian
bronkodilator, kortikosteroid, antibiotik spektrum luas, mukolitik. Selanjutnya juga
diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan yang menunjang. Oleh karena itu dilakukan
spirometri, dengan kesan obstruksi berat dan restriksi sedang. Pada kasus ini juga
dilakukan pemeriksaan sputum BTA untuk menegakkan diagnosis Tb paru dan
didapatkan hasil negatif. Oleh karena itu diagnosis pada pasien ini yaitu, PPOK.

b. Kesimpulan
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK
terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. penegakan
diagnosis PPOK dapat diperoleh dari Anamnesis, Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Dari anamnesis dapat ditemukan gejala seperti sesak napas yang kronik dan
progresif, serta riwayat terpajan oleh faktor-faktor risiko, pada pemeriksaan fisik
biasanya ditemukan pursed lips breathing, barrel shaped chest. pemeriksaan penunjang
digunakan untuk menegakan diagnosis pasti PPOK seperti foto rontgen thorax,
spirometri.

27
DAFTAR PUSTAKA

Alsaggaf. (2004). Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu Penyakit Paru Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya : Airlangga University

Buist AS, McBurnie MA, Vollmer WM.. (2007). International Variation in The Prevalence of
COPD (the BOLD Study) a population-based prevalence study. Lancet

Departemen Kesehatan Republik Indonesia .(2008). Pedoman Pengendalian Penyakit Paru


Obstruktif Kronik. Jakarta.

Dipede C. (2012). Chronic Obstructive Lung Disease and Occupational Exposure. Curt Op in
Allergy Clin Immuno. Hal 115-121

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. (2010). Global Strategy For The
Diagnosis Management And Prevention Of Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
USA.

Katleen H, Dong Feng Gu. (2014). Risk Factors for COPD mortality in Chinese Adult. AM
Journal of Epidemiology.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesi.(2003). Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan PPOK


di Indonesia. Jakarta : PDPI

Riyanto BS, Hisyam B. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4. Obstruksi Saluran
Pernafasan Akut. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI, p. 984-5

Wan C, Tze P. (2011). COPD in Asia. Where east meets west, Chest. hal 517-27

World Health Organization. (2012). Chronic obstructive pulmonary disease (COPD).


http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs315/en/index.html

28

Vous aimerez peut-être aussi