Vous êtes sur la page 1sur 25

ANALISIS RISIKO BENCANA PADA DAERAH PARIWISATA

A. Pengertian Analisis Risiko Bencana


Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yg mengancam dan menganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yg disebabkan baik oleh alam dan/atau non alam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis ( UU RI No.24 thn 2007 ttg
Penanggulangan Bencana)
Analisis resiko adalah proses penilaian terhadap resiko yang telah teridentifikasi, dalam
rangka mengestimasi kemungkinan munculnya dan besaran dampaknya, untuk menetapkan
level atau status resikonya. Status resiko biasanya disajikan dalam bentuk tabel.
Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu
wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam,
hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan
masyarakat.
Definisi analisis risiko bencana adalah proses penilaian terhadap risiko bencana atau
potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu
tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman,
mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat.

B. Tujuan Analisis Risiko Bencana

Pengurangan Risko Bencana dimaknai sebagai sebuah proses pemberdayaan komunitas


melalui pengalaman mengatasi dan menghadapi bencana yang berfokus pada kegiatan
partisipatif untuk melakukan kajian, perencanaan, pengorganisasian kelompok swadaya
masyarakat, serta pelibatan dan aksi dari berbagai pemangku kepentingan, dalam
menanggulangi bencana sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana. Tujuannya agar
komunitas mampu mengelola risiko, mengurangi, maupun memulihkan diri dari dampak
bencana tanpa ketergantungan dari pihak luar. Dalam tulisan siklus penanganan
bencana kegiatan ini ada dalam fase pra bencan
Fokus kegiatan Pengurangan Risiko Bencana secara Partisipatif dari komunitas dimulai
dengan koordinasi awal dalam rangka membangun pemahaman bersama tentang rencana
kegiatan kajian kebencanaan, yang didalamnya dibahas rencana pelaksanaan kajian dari sisi
peserta, waktu dan tempat serta keterlibatan tokoh masyarakat setempat akan sangat
mendukung kajian analisa kebencanaan ini. Selain itu juga di sampaikan akan Pentingnya
Pengurangan Risko Bencana mengingat wilayah kita yang rawan akan bencana.
Setelah ada kesepakatan dalam koordinasi awal maka masyarkat melakukan kegiatan
PDRA ( Participatory Disaster Risk Analysis / Kajian Partisipatif Analisa Bencana ).
Kegiatan ini selain melibatkan masyarakat, Tokoh masyarakat juga kader posyandu dan PKK
dusun, dengan kata lain semua unsur di masyarakat yang ada dilibatkan. Dalam kegiatan ini
dijelaskan maksud dan tujuan kegiatan kajian dan analisa kerentanan, ancaman dan resiko
kebencanaan.

C. Dampak Bencana Terhadap Kawasan Wisata


Dampak pada situs pariwisata akibat bencana yaitu :
1. Kerusakan atau musnahnya bangunan monumental yang sangat berharga sebagai
sumber dan bukti sejarah.
2. Orang-orang yang menjadi korban banyak kehilangan harta benda bahkan nyawa.
3. Trauma tersendiri bagi korban ataupun wisatawan. Mereka cenderung
mengesampingkan kebutuhan untuk pariwisata.
Upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk menaikkan kembali citra Indonesia
dimata dunia sebagai Negara yang aman dengan keindahan alam yang menakjubkan dapat
dilakukan dengan cara :
1. Meningkatkan promosi dan layanan objek wisata. Contohnya membuat iklan yang
ditayangkan di media elektronik dan media cetak.
2. Mengundang wartawan asing untuk meliput kawasan wisata.
3. Manambah perwakilan biro perjalanan diluar negeri dengan promo-promo yang
menarik.
Mempermudah akses ke daerah tujuan wisata, misalnya memperbaiki jalan dan
membuka penerbangan tersendiri khusus menuju daerah tujuan wisata.

D. Pengembangan Kawasan Wisata Dan Aspek Bencana


Pariwisata merupakan salah satu sector dan kegiatan yang mengalami pertumbuhan pesat.
Walaupun terdapat berbagai faktor eksternal yang kurang menguntungkan perkembangan
pariwisata, sampai saat ini pariwisata masih dianggap sebagai sector yang mempunyai
pertumbuhan yang pesat dan memberikan kontribusi ekonomi bagi banyak negara maupun
wilayah. Kegiatan wisata dinilai semakin penting peranannya dalam mewujudkan
keberlanjutan dan kedinamisan kehidupan sosial dan perekonomian sehari-hari. Banyak
penduduk yang terlibat dalam kegiatan pariwisata baik sebagai wisatawan maupun pekerja.
Hal ini dapat dilihat dari jumlah wisatawan, baik wisatawan nusantara maupun wisatawan
mancanegara, yang secara bertahap dan kontinu mengalami peningkatan dari waktu ke
waktu. Berdasarkan laporan tahunan Organisasi Pariwisata Dunia, pariwisata internasional
mencapai 563 juta kedatangan pada tahun 1995 dan diperkirakan akan mencapai 1,6 milyar
kedatangan pada tahun 2020. Jumlah tersebut belum termasuk wisatawan domestik yang
jumlahnya bisa mencapai sepuluh kali lipat dari jumlah wisatawan mancanegara
(WTO,1999). Beberapa kawasan mengalami pertumbuhan pesat baik jumlah pengunjungnya
maupun keragaman daya tarik yang ditawarkan.berbagai jenis bentang alam dan fenomena
sosial budaya dari berbagai negara atau daerah dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata untuk
dinikmati penduduk local maupun penduduk dari wilayah atau negara lain.
Pariwisata menjadi sumber pendapatan utama maupun penunjang bagi masyarakat di
beberapa kawasan wisata seperti di provinsi Bali, kawasan wisata Pangandaran, Pelabuhan
Ratu, Anyer (Serang),dll. Di beberapa negara lain, pariwisata juga menjadi salah satu andalan
pendapatan atau devisa negara tersebut. Di Thailand, Kepulauan Karibia, Maldives dan
beberapa pulau kecil lainnya, pariwisata merupakan industry terbesar dan memberikan devisa
yang cukup besar bagi negara tersebut.
Pariwisata menciptakan keterkaitan, baik langsung maupun tidak langsung, antar sector,
antar kawasan wisata maupun antar daerah. Dari tahun ke tahun makin bertambah sector
yang memperoleh manfaat atau keuntungan dari pariwisata, baik yang terdapat di kawasan
setempat maupun di daerah lain. Pariwisata Bali, misalnya memberikan manfaat kepada
pengusaha industri kecil dan kerajinan di beberapa daerah provinsi Jawa Timur maupun Jawa
Tengah serta beberapa daerah lain.
Kegiatan wisata, terutama yang berbasis sumberdaya alam, dapat dikembangkan di
kawasan pantai, pegunungan atau perbukitan tergantung pada karakteristik lingkungan di
wilayah tersebut. Negara-negara di sekitar Samudera Hindia, dimana mempunyai kawasan
pantai dan perairan yang cukup luas, banyak yang memanfaatkan kawasan pantai sebagai
resort pariwisata. Hal ini dapat dilihat di Thailand (Phuket, Krabi, Phiphi,dll), Malaysia
(Penang dan Langkawi), Maldives, Andaman, Sri Lanka (Galle) yang cukup lama
mengembangkan kawasan pantai sebagai kawasan wisata dan rekreasi. Setiap tahunnya tidak
kurang dari sejuta wisatawan mengunjungi kawasan tersebut. Pariwisata di kawasan ini telah
memberikan manfaat yang cukup besar, baik bagi wisatawan dari berbagai negara, penduduk
local maupun perekonomian di kawasan/negara tersebut. Sekitar sepertiga penduduk
Amerika Serikat mengunjungi pantai setiap tahunnya. Pembangunan hotel dan rumah kedua
lebih banyak dilakukan di kawasan pantai.
Begitu pula di Indonesia, tidak sedikit kegiatan wisata yang dikembangkan pada kawasan
pantai seperti di P.Bali (Kuta, Nusa Dua, Sanur, Karangasem,dll), pantai barat Sumatera
(Lampung, Bengkulu, Padang,dll) dan beberapa pulau kecil (Nias, Siemelue, Weh, Buru,
Kep.Seribu, Biak,dll), Anyer, Pelabuhanratu, Pangandaran, Bunaken, Makasar, Parangtritis,
Kawasan Pantura,dll. Beberapa kegiatan wisata juga dikembangkan di kawasan perbukitan
atau kawasan dengan kondisi topografi yang berat seperti di kawasan Puncak, Bandung
Utara, Bandung Selatan, Garut-Cipanas (Mojokerto), Lawang, Kaliurang, Baturaden,
Tawangmangu, dll. Kawasan dengan kondisi topografi yang terjal/curam dapat menjadi daya
tarik wisata karena pemandangan/view yang bagus maupun kesegaran udara serta daya tarik
lain.
Pengembangan komponen pariwisata (daya tarik, akomodasi, fasilitas penunjang, dll)
pada beberapa kawasan bahaya alam dapat memicu timbulnya bencana alam. Pembangunan
fasilitas pariwisata (hotel,vila, akomodasi lain serta restaurant, dll) pada lereng bukit karena
pertimbangan keindahan pemandangan dapat memicu timbulnya longsoran sehingga
membahayakan pengunjung, pekerja, penduduk sekitar maupun pelaku mobilitas di kawasan
tersebut. Terjadinya bencana pada beberapa kawasan wisata seperti di kawasan wisata
Puncak dan beberapa kawasan wisata lain memberikan gambaran tentang pesatnya
pembangunan tempat rekreasi yang kurang memperhatikan daya dukung dan dampaknya
terhadap lingkungan. Sejarah pengembangan pariwisata menunjukkan bahwa cukup banyak
kawasan wisata yang berkembang atau dikembangkan pada kawasan dengan resiko bencana.
Beberapa kawasan wisata di sepanjang pantai, perbukitan, perairan, pernah mengalami
bencana baik yang bersumber dari kawasan wisata tersebut maupun dari kawasan lain.
Pemanfaatan pantai untuk pariwisata atau rekreasi memberikan tekanan pada kondisi
lingkungan pantai. Hal ini dapat pula dilihat pada beberapa kawasan pantai dimana kegiatan
pariwisata di kawasan pesisir telah memicu pertumbuhan pemukiman khususnya rumah
peristirahatan. Pada waktu tertentu, jumlah pengunjung kadang-kadang melebihi jumlah
penduduk local. Pengunjung tidak hanya berasal dari wilayah setempat tetapi juga dari kota-
kota sekitar dan dari negara lain. Kegiatan wisata di pantai dapat merusak lingkungan yang
rapuh dan sensitive, menggusur vegetasi penutup (mangrove maupun vegetasi pantai lainnya,
dll) dan meningkatkan erosi ole angin. Akhir-akhir ini sering dijumpai adanya polusi suara
dan perairan oleh jetski di kawasan pantai.
Mengingat peran pariwisata yang cukup penting bagi peningkatan kualitas hidup manusia
serta pengembangan kawasan, wilayah maupun kota maka berbagai upaya perlu dilakukan
untuk mempertahankan atau meningkatkan kinerja dan peran pariwisata dalam berbagai
bidang kehidupan atau kegiatan tersebut. Berbagai upaya tersebut diharapkan dapat
memperkecil kerentanan kawasan wisata terhadap bencana sehingga memperkecil jumlah
kerugian dan korban jiwa serta kerusakan apabila terjadi bencana.

E. Analisis Risiko Bencana pada Daerah Pariwisata

Risiko bencana dinilai berdasarkan ada atau tidaknya ancaman pada suatu daerah,
besar kecilnya tingkat kerentanan faktor fisik/infrastruktur, penduduk, dan sosial-ekonomi
serta seberapa kuat atau lemah kapasitas masyarakat untuk melakukan pencegahan, adaptasi
maupun mitigasi dalam rangka meminimalkan korban dan kerugian akibat bencana.
Kerangka penilaian risiko tersebut didasarkan pada tiga buah elemen utama kegiatan
penilaian risiko bencana: ancaman, kerentanan dan kapasitas. Masing-masing komponen
memiliki peranan tersendiri dalam menentukan tingkat risiko, sehingga perlu dilakukan
analisis untuk memperoleh nilai risiko sebagai kombinasi dari semua elemen tersebut. Untuk
itu, akan digunakan metode AHP untuk memberikan proporsi bobot yang sesuai dengan
peran masing-masing komponen tersebut.

1. Ancaman/bahaya
Ancaman adalah peristiwa atau kejadian baik disebabkan oleh faktor alam (seperti
letusan puting beliung, banjir, gempabumi dan lainnya) maupun faktor non-alam (seperti
konflik sosial, tawuran, dan lain sebagainya) yang berpotensi menimbulkan kerugian apabila
terjadi bencana. Ancaman/bahaya dapat dikategorikan dalam kelas-kelas sesuai dengan
tingkat ancaman yang ditimbulkannya pada kelompok masyarakat. Semakin tinggi nilai
ancaman, semakin besar pula potensi terjadinya kerusakan dan jatuhnya korban jiwa. Untuk
memudahkan penilaian risiko, biasanya dibuat tiga buah kelas yang menyatakan tingkat
ancaman yang rendah (atau tidak ada ancaman), sedang dan tinggi. Masing-masing
ancaman memiliki ciri-ciri yang berbeda.
Sebagai contoh, Banjir dapat dikelaskan menjadi tiga kelas sesuai dengan tingkat
bahayanya: banjir yang melanda suatu desa, memiliki ketinggian air yang rendah dan lama
genangan yang singkat dapat dikategorikan bahwa tingkat ancaman banjir di desa tersebut
adalah rendah. Sebaliknya, apabila di desa lain terkena banjir dengan ketinggian air yang
cukup tinggi dan menggenang cukup lama, maka dapat dinyatakan bahwa ancaman banjir di
desa ini adalah tinggi. Contoh lainnya adalah Letusan Puting beliung yang dapat dikelaskan
menjadi tiga buah kelas berdasarkan Kawasan Rawan Bencana (KRB) nya.

No. Jenis Ancaman No. Jenis Ancaman


1 Banjir 8 Letusan Puting beliung
2 Gempa Bumi 9 Gelombang Ekstrim dan
Abrasi
3 Tsunami 10 Kebakaran Hutan dan Lahan
4 Kebakaran Pemukiman 11 Kegagalan Teknologi
5 Kekeringan 12 Konflik Sosial
6 Cuaca Ekstrim 13 Epidemi dan Wabah
Penyakit
7 Tanah Longsor
Tabel: Jenis Ancaman pada Peta Risiko Bencana (Perka BNPB No 2 th 2012)

Karena sifatnya yang kompleks, penilaian ancaman seringkali harus diserahkan


kepada para ahli yang bersangkutan. Sebagai contoh, pada bencana gempa, penentuan kelas
ancaman rendah, sedang dan tinggi sebaiknya dilakukan oleh ahli geologi dan kegempaan.
Data untuk ancaman biasanya diperoleh dari instansi-instansi terkait atau dari perguruan-
perguruan tinggi.
2. Kerentanan
Apabila terjadi bencana, maka pada suatu desa yang penduduknya padat akan mengalami
kerugian yang lebih banyak dibandingkan dengan desa lain yang penduduknya relatif tidak
padat. Kondisi ini menggambarkan apa yang dimaksud dengan kerentanan: Kerentanan
merupakan kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat yang mengarah atau menyebabkan
ketidakmampuan dalam menghadapi bencana. Semakin ‘rentan’ suatu kelompok masyarakat
terhadap bencana, semakin besar kerugian yang dialami apabila terjadi bencana.
Sebagaimana ancaman, kerentanan juga dapat dikategorikan dalam tingkat rendah,
sedang dan tinggi. Sebuah desa dikatakan memiliki tingkat kerentanan yang tinggi apabila
di desa tersebut banyak kondisi-kondisi yang rentan mengalami kerusakan saat terjadi
bencana, dan sebaliknya, sebuah desa dikatakan memiliki kerentanan yang rendah apabila
desa tersebut hanya memiliki sedikit kondisi-kondisi yang rentan. Kondisi-kondisi rentan ini
dapat diketahui melalui adanya indikator-indikator kerentanan pada desa tersebut.
Kerentanan dapat dibagi menjadi 4 macam komponen berdasarkan pada indikator
tersebut, yaitu kerentanan fisik, kerentanan ekonomi, kerentanan sosial-budaya dan
kerentanan lingkungan.

No Komponen Penjelasan Contoh Indikator


Kerentanan
1 Kerentanan Fisik Ukuran kerentanan sarana  Kepadatan rumah
dan prasarana pada suatu  Jumlah bangunan
daerah terhadap kejadian  Jumlah Fasilitas
bencana penting
2 Kerentanan Sosial- Ukuran kondisi rentan pada  Kepadatan penduduk
Budaya unsur sosial-  Rasio Jenis Kelamin
kemasyarakatan terhadap  Rasio penduduk difabel
kejadian bencana  Rasio kelompok umur
 Jumlah penduduk
berisiko (ibu hamil,
dsb)
3 Kerentanan Ukuran seberapa kuat suatu  Luas lahan produktif
Ekonomi komunitas bertahan secara  Keberadaan industri
ekonomi menghadapi kecil dan menengah
kejadian bencana  Adanya kelompok
pertokoan
4 Kerentanan Ukuran seberapa kuat  Luas Hutan Lindung
Lingkungan lingkungan hidup di suatu  Luas hutan alam
komunitas bertahan  Adanya Rawa-rawa
menghadapi kejadian
bencana
Tabel: Contoh Indikator Komponen Kerentanan

Dengan menggunakan indikator-indikator dari masing-masing komponen seperti pada


contoh di atas, dapat diketahui tingkat kerentanan pada suatu unit analisis (misalnya desa).
Apabila hasil dari semua indikator kerentanan yang ada pada suatu desa dijumlahkan, maka
dapat diperoleh ukuran seberapa rentan desa tersebut terhadap bencana.

Gambar: Diagram Komponen Kerentanan

Dalam prakteknya nanti, masing-masing komponen diberikan penilaian kerentanan yang


berbeda untuk tiap kejadian bencana yang berbeda. Sebagai contoh pada kejadian gempa
bumi, kerentanan lingkungan mungkin tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan
kerentanan fisik karena gempa hanya sedikit berpengaruh pada tegakan hutan dibandingkan
pada bangunan di daerah pemukiman.
3. Kapasitas
Kapasitas merupakan kebalikan dari kerentanan: apabila kerentanan menggambarkan
seberapa rapuh suatu komunitas masyarakat terhadap bencana, maka kapasitas
menggambarkan seberapa mampu komunitas masyarakat tersebut menghadapi bencana.
Sebuah desa yang dilengkapi dengan peralatan Early Warning System dan memiliki Tim
Siaga Bencana sendiri tentu lebih siap menghadapi bencana dibandingkan dengan desa yang
tidak memiliki keduanya. Demikianlah kapasitas digunakan untuk mengukur tingkat
kesiapan tersebut.
Sebagaimana kerentanan, kapasitas juga terdiri dari beberapa komponen yang terdiri dari
indikator-indikator kapasitas untuk mengukur tingkat kapasitas unit analisis yang
ditanyakan. Dari hasil penilaian terhadap indikator-indikator tersebut dapat disimpulkan
tingkat kapasitas dari unit analisis yang dimaksud: apakah rendah, sedang, atau tinggi.

No Komponen Penjelasan Contoh Indikator


Kapasitas
1 Aturan dan Ukuran seberapa siap unit  Adanya Tagana
kelembagaan analisis dalam hal  Anggaran khusus untuk
kebencanaan peraturan-peraturan dan penanggulangan
keberadaan dan fungsi dari bencana
lembaga-lembaga yang  Ada struktur organisasi
menanggulangi bencana yang berfungsi untuk
menangani kondisi
darurat saat bencana
2 Peringatan dini Mengukur seberapa siap  Ada sistem peringatan
dan kajian risiko unit analisis menghadapi dini yang berfungsi
bencana bencana dari keberadaan  Telah ada jalur evakuasi
mekanisme peringatan dini yang akan digunakan
dan penerapan kajian risiko pada saat kejadian
bencana di daerah tersebut bencana
 Keberadaan kajian-
kajian mengenai risiko
bencana di daerah
tersebut dan
penerapannya
3 Pendidikan Mengukur seberapa kuat  Pendidikan
Kebencanaan suatu komunitas apabila kebencanaan untuk
terjadi bencana melalui anak-anak sekolah
ada/tidaknya pendidikan  Ada simulasi kejadian
kebencanaan di daerah bencana
tersebut
4 Pengurangan Mengukur faktor-faktor  Adanya sarana-
faktor risiko dasar dasar yang diperlukan prasarana yang
untuk bertahan pada saat mendukung aktivitas
terjadinya bencana ekonomi di daerah
tersebut
 Ada/tidaknya fasilitas
kredit untuk membantu
ekonomi masyarakat
5 Pembangunan Ukuran tingkat komunikasi  Ada komunikasi antar
Kesiapsiagaan di dan kerjasama antar lembaga yang
semua lini komponen yang bertugas menangani bencana
mengawal kelompok  Media yang digunakan
masyarakat pada saat untuk komunikasi pada
terjadi bencana. saat terjadi bencana
Tabel: Contoh Indikator Komponen Kapasitas (Perka BNPB No. 2/2012)
Sebagaimana kerentanan, tingkat kapasitas unit analisis juga dapat diketahui setelah melalui
proses skoring indikator dari masing-masing komponen.
Gambar: Diagram Komponen Kapasitas

4. Risiko
Tingkat risiko merupakan nilai yang dicari pada pemetaan risiko, yaitu seberapa rendah,
sedang atau tinggi risiko tersebut. Dengan mengetahui tingkat risiko pada suatu daerah, akan
dapat diperoleh gambaran seberapa besar risiko yang diperkirakan akan dialami apabila
terjadi bencana. Risiko merupakan fungsi dari Ancaman, Kerentanan dan Kapasitas.
Berikut ilustrasinya:
Semakin besar ancaman, maka tingkat risiko yang ditimbulkan juga akan semakin besar.
Semakin luas daerah genangan banjir menunjukkan tingkat risiko yang semakin tinggi pula.
***
Semakin besar kerentanan, maka tingkat risiko yang ditimbulkan juga akan semakin besar,
karena semakin rentan suatu komunitas maka risiko timbulnya korban jiwa dan kerugian
materil juga akan semakin besar.
***
Semakin besar kapasitas, maka tingkat risiko akan semakin kecil, sebab semakin siap sebuah
komunitas dalam menghadapi bencana, maka kemungkinan timbulnya korban jiwa maupun
kerusakan materil akibat bencana juga akan semakin kecil.

Hubungan tersebut juga dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan matematis:

Risiko (R) = Ancaman (H) * Kerentanan (V)/Kapasitas(C)

dimana:
R : Disaster Risk : Risiko Bencana, potensi terjadinya kerugian
H : Hazard Threat : Ancaman bencana yang terjadi pada suatu lokasi.
V : Vulnerability : Kerentanan suatu daerah yang apabila terjadi bencana maka akan
menimbulkan kerugian
C : Coping Capacity : Kapasitas yang tersedia di daerah itu untuk melakukan
pencegahan atau pemulihan dari bencana.
Analisis risiko dilakukan dalam beberapa tahap sesuai dengan data yang dimiliki. Berikut
adalah beberapa tahapan yang perlu dilakukan untuk melakukan analisis risiko:

Gambar: Diagram analisis risiko bencana

Unit analisis risiko merupakan satuan terkecil dimana analisis risiko dilakukan (Aditya,
2010). Berdasarkan Peraturan Kepala (Perka) BNPB No. 2 Tahun 2012, unit analisis
memiliki ketentuan tingkat kedetailan analisis (kedalaman analisis) yaitu:
a. Peta risiko di tingkat nasional minimal hingga kabupaten/kota,
b. Kedalaman analisis peta risiko di tingkat provinsi minimal hingga kecamatan,
c. Kedalaman analisis peta risiko di tingkat kabupaten/kota minimal hingga tingkat
kelurahan/desa/kampung/nagari
Setelah berhasil mengidentifikasi daerah mana saja yang memiliki tingkat risiko tinggi,
selanjutnya dapat disusun rencana aksi yang dapat dilakukan pada daerah tersebut untuk
mengurangi risiko bencana. Rencana aksi ini dapat berupa:
1) Peningkatan kapasitas kelompok masyarakat di daerah yang dimaksud agar mampu
menghadapi bencana, seperti melalui kegiatan pelatihan dan simulasi kebencanaan,
pembangunan Sistem Peringatan Dini, pembuatan jalur evakuasi, pengadaan alat
komunikasi, dan seterusnya.
2) Pengurangan kerentanan, seperti membangun pusat kesehatan masyarakat, mendirikan
koperasi, usaha-usaha mitigasi seperti pembangunan sabo dam, dan seterusnya.

Pada sebuah kegiatan penanggulangan bencana yang terpadu, hasil hitungan dan identifikasi
risiko perlu diwujudkan dalam program nyata penanggulangan bencana. Program tersebut
selain berupa rencana aksi juga perlu dilengkapi dengan stakeholder yang bertanggungjawab
melakukan program-program tersebut, juga estimasi biaya dan target capaian program.

Tabel: Contoh dari rencana aksi (Aditya, 2010)

5. Multi-Risiko
Untuk mendapatkan hitungan yang lebih akurat mengenai potensi risiko di suatu daerah,
perlu dilakukan analisis multi-risiko. Analisis multi-risiko menggabungkan hasil hitungan
risiko dari berbagai kejadian bencana pada suatu daerah sehingga diperoleh akumulasi
hitungan risiko pada daerah tersebut. Pada Perka BNPB No. 2 tahun 2012, analisis multi
risiko dapat dilakukan menggunakan pembobotan pada beberapa jenis kejadian bencana yang
diidentifikasi.
Tabel: Hitungan multi-risiko bencana (Perka BNPB No.2 tahun 2012)

Dengan demikian, hitungan multi-risiko dapat dinyatakan sebagai fungsi penjumlahan


dan perkalian bobot dari masing-masing risiko bencana. Hal ini dilakukan dengan
menggunakan analisis AHP.

6. Analytic Hierarchy Process (AHP)


Dengan mengetahui berbagai komponen yang mempengaruhi nilai suatu risiko pada
daerah tertentu, maka dapat dilakukan analisis untuk mengetahui peranan keseluruhan
komponen tersebut terhadap nilai risiko yang dihasilkan. Analisis Proses Berjenjang (AHP)
merupakan proses analisis yang menggunakan pendekatan Multicriteria Decision Analysis
(MCDA), dilakukan dengan cara melakukan evaluasi berbobot terhadap berbagai komponen
yang mempengaruhi suatu variable secara berjenjang (hierarkhis). Dalam hal ini, bobot
masing-masing komponen ditentukan secara relatif, yaitu suatu komponen yang dianggap
memiliki pengaruh lebih besar akan diberikan bobot yang lebih besar secara berjenjang, dan
demikian sebaliknya, komponen dengan pengaruh yang tidak terlalu besar akan diberikan
nilai bobot yang tidak terlalu besar pula.
Gambar: Mekanisme AHP (sumber: www.emeraldinsight.com)

Pada kegiatan penilaian risiko, AHP digunakan untuk memberikan bobot pada masing-
masing elemen risiko (ancaman, kapasitas dan kerentanan) yang masing-masing dipengaruhi
oleh berbagai komponen turunan. Dengan menggunakan AHP, akan diperoleh nilai risiko
yang diwakili oleh semua komponen yang teridentifikasi, sesuai dengan bobot masing-
masing.

Gambar: AHP dalam penilaian Risiko (Sumber: http://miavita.brgm.fr/)


Dalam kerangka analisis spasial untuk penentuan nilai risiko, penilaian AHP dilakukan
dengan memberikan bobot yang berbeda untuk tiap atribut pada zona yang berbeda. Sebagai
contoh, sebuah daerah erupsi gunung berapi dapat dibagi menjadi tiga buah zona berdasarkan
tingkat bahayanya. Pada zona paling berbahaya diberikan bobot yang lebih tinggi, sedangkan
pada zona yang tidak terlalu berbahaya diberikan nilai bobot yang tidak terlalu tinggi pula.
Dengan melakukan analisis multikriteria secara berjenjang akan diperoleh nilai risiko yang
cukup representatif sesuai dengan bobot komponen yang diberikan.

F. Analisis SWOT dalam Penanggulangan Risiko Bencana Pariwisata

Analisis SWOT merupakan salah satu teknik analisis yang digunakan dalam
menginterpretasikan suatu bidang, khususnya pada kondisi yang sangat kompleks dimana
faktor eksternal dan faktor internal memegang peranan yang sama pentingnya. Analisis
SWOT yang digunakan ini bertujuan untuk menentukan arahan-arahan penanganan yang
akan dilakukan dalam penanggulangan bencana.

Tujuan analisis Strength, Weakness, Opportunity dan Threat (SWOT) adalah untuk
mensinergikan kecepatan, ketepatan, kesigapan dan keputusan yg efektif dan efisien dalam
pengelolaan bencana alam.

1. Faktor Strength (kekuatan) adalah ketersediaan SDM ahli di bidang bencana alam, antara
lain ahli-ahli geologi, geofisika, , kegunungapian, geografi, geodesi, teknik sipil,
manajemen, informasi, telekomunikasi, dsb. Demikian juga keberadaan berbagai instansi
yang terkait dengan bencana alam. Selain itu ketersediaan sarana dan prasarana yang
memadai, termasuk hasil-hasil riset di berbagai bidang yang terkait dengan bencana alam
akan sangat mendukung rencana ini.
2. Faktor Weakness (kelemahan) adalah belum adanya koordinasi dan sinkronisasi dari
berbagai pihak (institusi dan kepakaran) di dalam pengelolaan bencana alam. Selain itu
belum tersedianya suatu wadah yang resmi dan mampu untuk mengkoordinasi, dan
mengambil langkah-langkah strategis untuk mencapai tujuan tersebut,
3. Faktor Opportunity (peluang) adalah banyaknya kerjasama yang telah terbina sampai
dengan saat ini, baik dengan institusi Nasional maupun Internasional yang
memungkinkan adanya transfer teknologi dan kolaborasi. Pendanaan dapat berasal dari
PEMDA Tk I dan II, Menteri RISTEK, UNESCO, dan Kerja Sama penelitian dengan
negara-2 Perancis, Jerman, Jepang dll.
4. Faktor Threat (ancaman/tantangan), untuk kawasan objek wisata adalah peristiwa alam
yang menjadi ancaman bagi kawasan objek yaitu musim hujan yang membuat akses
jalan semakin buruk dan longsor. Peristiwa yang tidak kita ketahui yang bisa merugikan
bagi masyrakat, pemerintah dan pihak lainya hal ini yang berpengaruh besar yang
membuat kekwatiran pengunjung ataupun masyarakat setempat. Hal ini sesuai dengan
pendapat Jamaris dalam Anjela (2014) mengungkapkan bahwa objek wisata merupakan
segala sesuatu yang dapat dilihat, di nikmati dan menimbulkan kesan tersendiri,
seseorang apabila di dukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Apabila sarana
tidak memadai maka akan merusak dan membahayakan bagi pengunjung, objek dan
atraksi sering kali dikaitkan dengan pengertian “produk” industrui pariwisata dengan
objek dan atraksi wisata. Ancaman (Threats) merupakan kondisi yang mengancam dari
luar. Ancaman ini dapat dapat mengganggu organisasi, proyek atau konsep bisnis itu
sendiri (Freddy, 2014)

Upaya-upaya penanggulangan bencana berdasarkan hasil analisa SWOT

1. Meletakkan pengurangan resiko bencana sebagai prioritas daerah dan implementasinya


harus dilaksanakan oleh suatu institusi yang kuat,
2. Mengidentifikasi, mengkaji dan memantau resiko bencana serta menerapkan sistem
peringatan dini,
3. Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun budaya
keselamatan dan ketahanan pada seluruh tingkatan,
4. Mengurangi cakupan resiko bencana,
5. Meningkatkan kesiapan menghadapi bencana pada semua tingkatan masyarakat, agar
tanggapan yang dilakukan lebih efektif.

Strategi Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat

1. Mengurangi kerawanan masyarakat dengan meningkatkan kemampuan


masyarakat.
2. Masyarakat perlu dibekali dengan berbagai cara peningkatan kemampuan seperti;
memperkuat organisasi yang ada, mengadakan kegiatan-kegiatan pemberdayaan sosial
ekonomi, kesadaran lingkungan, pendidikan, kesehatan dan kemampuan lainnya.
3. Memadukan pengetahuan lokal dan asli untuk menanggapi bencana.
4. Cara-cara yang dimiliki masyarakat untuk memahami, meramalkan, pemberian
peringatan dan menghadapi bencana perlu diinventarisasi, dimanfaatkan dan ditingkatkan
atau dikembangkan.
5. Merumuskan sistem, prosedur dan kegiatan-kegiatan Penanggulangan Bencana
Berbasis Masyarakat.
6. Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat merupakan penyaluran aspek-
aspek fisik, mental dan emosional dari anggota-anggota masyarakat yang terlibat. Proses
merumuskan berarti menjamin pengelolaan sumber-sumber (dana, waktu, peralatan,
informasi dan teknologi) secara baik dan efisien. Untuk itu perlu ada program dan
pelayanan kepada pendamping sosial yang membantu masyarakat.

Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat

1. Pencegahan : Tindakan-tindakan untuk menghentikan terjadinya bencana


2. Mitigasi : Tindakan-tindakan untuk mengurangi dampak bencana
3. Kesiapsiagaan :Tindakan-tindakan yang dilakukan agar mampu menghadapi ancaman
apabila terjadi bencana.
4. Peringatan : Pemberian informasi kepada masyarakat apabila ancaman telah diketahui
dan dinilai akan mempengaruhi wilayah bencana tertentu.
5. Tanggap Darurat :
6. Rekonstruksi
7. Rehabilitasi
8. Pengembangan/Pembangunan.

G. Langkah-langkah Analisis Risiko Bencana

Disaster Risk Management (DRM) merupakam usaha menyeluruh dan pengukuran yang
diambil untuk mengurangi risiko kejadian bencana. Istilah sederhana DRM dikenal sebagai
pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction) atau DRR. Melingkupi pula tentang
komitmen terhadap bencana dan pengurangan kerentanan (V) dan peningkatan peringatan
dini (early warning). Karena kesulitan untuk mencegah kejadian bahaya dari alam (natural
hazards), aksi-aksi dan aktivitas seharusnya difokuskan pada pengurangan kerentanan saat
ini dan masa mendatang terhadap kerusakan (damage) dan kerugian (losses). Fase pra-
bencana dalam DRM meliputi 4 komponen :
1. Identifikasi risiko (risk identification),
2. Pengurangan risiko/mitigasi (risk reduction/mitigation),
3. Pengalihan risiko (risk transfer), dan
4. Kesiapsigaan (preparedness).

H. Penilaian Risiko Bencana pada Kawasan Wisata


Untuk menyusun prioritas risiko bencana yang mungkin terjadi dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu berdasarkan penjumlahan nilai bahaya, kerentanan dan manajemen serta
berdasarkan pertemuan faktor ancaman bencana dan kerentanan masyarakat.
1. Berdasarkan Penjumlahan Nilai Bahaya, Kerentanan dan Manajemen
Penjumlahan nilai karakteristik bahaya, kerentanan bencana dan manajemen
bencana akan menghasilkan nilai ancaman/bencana. Suatu bencana yang menghasilkan
nilai acaman/bencana tertinggi merupakan bencana yang harus diprioritaskan dalam
suatu penanganan bencana.
Langkah-langkah yang dapat kita lakukan untuk menentukan penilaian risiko
diantaranya adalah pembuatan peta rawan, menetapkan jenis bahaya, menetapkan
variabel, penetapan cara penilaian, membuat matriks penilaian, melakukan penilaian
dan menetapkan hasil penilaian.
a. Pembuatan Peta Rawan
1) Ancaman
a) Melengkapi peta topografi (kota, sungai, danau, gunung berapi,
penambangan, pabrik, industry, dll)
b) Inventarisasi ancaman (banjir, gunung meletus, longsor, kebocoran
pipa, kecelakaan, transportasi, dll).

2) Kerentanan
Melengkapi peta rawan ancaman dengan kerentanan masyarakat:
a) Data demografi (jumlah bayi, balita, dll)
b) Sarana dan prasarana kesehatan (dokter, perawat, bidan, dll)
c) Data cakupan YANKES (imunisasi, KIA, gizi, dll)
b. Penetapan Jenis Bahaya
Penetapan jenis bahaya merupakan pengelompokan jenis bahaya yang dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
1) Tsunami
2) Gempa bumi
3) Letusan gunung berapi
4) Angin Puyuh
5) Banjir
6) Tanah longsor
7) Kebakaran hutan
8) Kekeringan
9) KLB penyakit menular
10) Kecelakaan transportasi atau industry
11) Konflik dengan kekerasan
c. Penetapan Variabel
1) Karakteristik Bahaya
a) Frekuensi
Suatu bahaya/ancaman seberapa sering terjadi
b) Intensitas
Diukur dari kekuatan dan kecepatan secara kuantitatif/kualitatif
c) Dampak
Pengukuran seberapa besar akibat terhadap kehidupan rutin keluasan
d) Keluasan
Luasnya daerah yang terkena

e) Komponen uluran waktu


Rentang waktu peringatan gejala awal-hingga terjadinya dan lamanya
proses bencana berlangsung.
2) Kerentanan
a) Fisik
Kekuatan struktur bangunan fisik (lokasi, bentuk, material, kontruksi,
pemeliharaannya), dan system transportasi dan telekomunikasi (akses
jalan, sarana angkutan, jaringan komunikasi, dll)
b) Sosial
Meliputi unsure demografi (proporsi kelompok rentan, status
kesehatan, budaya, status sosek, dll)
c) Ekonomi
Meliputi dampak primer (kerugian langsung) dan sekunder (tidak
langsung)
3) Manajemen
a) Kebijakan
Telah ada/tidaknya kebijakkan, peraturan perundangan, Perda,
Protap,dll tentang penanggulangan bencana
b) Kesiapsiagaan
Telah ada/tidaknya system peringatan dini, rencana tindak lanjut
termasuk pembiayaan
c) Peran serta masyarakat
Meliputi kesadaran dan kepedulian masyarakat akan bencana
d. Penetapan Cara Penilaian
1) Jenis bahaya/ ancaman
2) Penilaian sesuai dengan kelompok variable
3) Berdasarkan data, pengalaman dan taksiran
4) Saling terkait satu sama lain
5) Nilai berkisar antara 1 sampai 3
1 = risiko terendah
2 = risiko sedang
3 = risiko tertinggi
2) Untuk penilaian manajemen dinilai dengan skala yang berbalik
1 = kemampuan tinggi
2 = kemampuan sedang
3 = kemampuan rendah

e. Membuat Matriks Penilaian


GEMPA BANJI KERUSUHA
No VARIABEL dst
BUMI R N
1 BAHAYA
b. Frekuensi
c. Intensitas
d. Dampak
e. Keluasan
f. Uluran Waktu
Total
2 KERENTANAN
g. Fisik
h. Sosial
i. Ekonomi
Total
3 MANAJEMEN
j. Kebijakan
k. Kesiapsiagaa
n
l. PSM
Total
NILAI

f. Melakukan Penilaian dan Menetapkan Hasil Penilaian


1) Masing-masing komponen yang ada di beri nilai untuk masing-masing jenis
bahaya
2) Kemudian nilai tersebut dijumlahkan
a) Karakteristik bahaya, nilai dijumlah
b) Kerentanan, nilai dijumlah
c) Manajemen, nilai dijumlah
3) Setelah didapat nilai masing-masing variable, kemudian nilai tersebut
dijumlahkan (nilai karakteristik bahaya+ kerentanan +manajemen)
4) Ancaman/bencana (event) dengan nilai tertinggi merupakan yang harus
diprioritaskan

2. Berdasarkan Pertemuan Faktor Ancaman Bencana dan Kerentanan Masyarakat


Pertemuan dari faktor-faktor ancaman bencana/bahaya dan kerentanan masyarakat,
akan dapat memposisikan masyarakat dan daerah yang bersangkutan pada tingkatan
risiko yang berbeda. Hubungan antara ancaman bahaya, kerentanan dan kemampuan
dapat dituliskan dengan persamaan berikut:

Risiko = f (Bahaya x Kerentanan/Kemampuan)


a. Risiko (risk) : Kemungkinan akan kehilangan yang bisa terjadi sebagai akibat
kejadian buruk, dengan akibat kedaruratan dan keterancaman.
b. Bahaya (hazard) : Potensi akan terjadinya kejadian alam atau ulah manusia dengan
akibat negatif.
c. Keterancaman/ Kerentanan (vulnerability) : Akibat yang timbul dimana struktur
masyarakat, pelayanan dan lingkungan sering rusak atau hancur akibat dampak
kedaruratan. Adalah kombinasi mudahnya terpengaruh (susceptibility) dan dapat
bertahan (resilience). Resilience adalah bagaimana masyarakat mampu bertahan
terhadap kehilangan, dan susceptibility adalah derajat mudahnya terpengaruh
terhadap risiko. Dengan kata lain, ketika menentukan keterancaman masyarakat atas
dampak kedaruratan, penting untuk memastikan kemampuan masyarakat beserta
lingkungannya untuk mengantisipasi, mengatasi dan pulih dari bencana. Jadi
dikatakan sangat terancam bila dalam menghadapi dampak keadaan bahaya hanya
mempunyai kemampuan terbatas dalam menghadapi kehilangan dan kerusakan, dan
sebaliknya bila kurang pengalaman menghadapi dampak keadaan bahaya namun
mampu menghadapi kehilangan dan kerusakan, dikatakan tidak terlalu terancam
terhadap bencana dan kegawatdaruratan.
Dapat dirumuskan sebagai berikut
1) High susceptibility + low resilience = high level of vulnerability.
2) High exposure to risk + limited ability to sustain loss = high vulnerability.
3) Low susceptibility + high resilience = low degree of vulnerability.
4) Ability to sustain loss + low degree of exposure = low vulnerability

Semakin tinggi ancaman bahaya di suatu daerah, maka semakin tinggi risiko daerah
tersebut terkena bencana. Demikian pula semakin tinggi tingkat kerentanan masayarakat
atau penduduk, maka semakin tinggi pula tingkat risikonya. Tetapi sebaliknya, semakin
tinggi tingkat kemampuan masyarakat, maka semakin kecil risiko yang dihadapinya.
Dengan menggunakan perhitungan analisis risiko dapat ditentukan tingkat besaran
risiko yang dihadapi oleh daerah yang bersangkutan.
Sebagai langkah sederhana untuk pengkajian risiko adalah pengenalan
bahaya/ancaman di daerah yang bersangkutan. Semua bahaya/ancaman tersebut
diinventarisasi, kemudian di perkirakan kemungkinan terjadinya (probabilitasnya)
dengan rincian :
a. 5 : Pasti (hampir dipastikan 80 - 99%).
b. 4 : Kemungkinan besar (60 – 80% terjadi tahun depan, atau sekali dalam 10 tahun
mendatang)
c. 3 : Kemungkinan terjadi (40-60% terjadi tahun depan, atau sekali dalam 100 tahun)
d. 2 : Kemungkinan Kecil (20 – 40% dalam 100 tahun)
e. 1 : Kemungkian sangat kecil (hingga 20%).

Jika probabilitas di atas dilengkapi dengan perkiraan dampaknya apabila bencana


itu memang terjadi dengan pertimbangan faktor dampak antara lain: jumlah korban;
kerugian harta benda;kerusakan prasarana dan sarana;cakupan luas wilayah yang
terkena bencana dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan, maka, jika dampak ini pun
diberi bobot sebagai berikut:
a. 5 : Sangat Parah (80% - 99% wilayah hancur dan lumpuh total)
b. 4 : Parah (60 – 80% wilayah hancur)
c. 3 : Sedang (40 - 60 % wilayah terkena berusak)
d. 2 : Ringan (20 – 40% wilayah yang rusak)
e. 1 : Sangat Ringan (kurang dari 20% wilayah rusak).
Maka akan di dapat tabel sebagaimana contoh di bawah ini :
NO JENIS ANCAMAN BAHAYA PROBABILITAS DAMPAK
1 Gempa Bumi Diikuti Tsunami 1 5
2 Tanah Longsor 5 2
3 Banjir 4 3
4 Kekeringan 3 1
5 Angin Puting Beliung 2 2

Gambaran potensi ancaman di atas dapat ditampilkan dengan model lain dengan
tiga warna berbeda yang sekaligus dapat menggambarkan prioritas seperti berikut:

`
Berdasarkan matriks diatas kita dapat memprioritaskan jenis ancaman bahaya
yang perlu ditangani. Ancaman dinilai tingkat bahayanya dengan skala (3-1) -
Bahaya/ancaman tinggi nilai 3 (merah) - Bahaya/ancaman sedang nilai 2 -
Bahaya/ancaman rendah nilai 1.

DAFTAR PUSTAKA

Aquium, Martin Hojo. 2012. Analisis SWOT Terapan.


https://www.scribd.com/doc/81186042/Analisis-SWOT-TERAPAN (tanggal 22 Mei 2017
pukul 19.10 Wita)
Aulia, Kamila. 2017. Analisa Risiko Bencana.
https://www.scribd.com/document/337835821/analisa-resiko-bencana (tanggal 22 Mei
2017 pukul 19.15 Wita)

Ayu, Dewa. 2017. Analisis Risiko Bencana. (online). Available :


https://www.scribd.com/document/338332660/BAB-I-II-III-doc (tanggal 22 Mei 2017
pukul 19.20 Wita)

Bakornas. 2004. Bencana alam di Indonesia. Jakarta : Pt Balindo

BNPB. .2011. Indeks Rawan Bencana Indonesia. Jakarta : Pt Global


Canon, Terrry. 1994. Vulnerability Analysis and The Explanation of Natural Disaster. Dalam.
Disaster. Development and Environment. Oleh Ana Varley.ed.1994. Chichester : John
Wilwy& Sons
Firmansyah.2005. Identifikasi Risiko Bencana dan Implikasinya Terhadap Penataan Ruang.
ITB : Wahyu Publisher
Naisbitt, John, 1994. Global Paradox. Jakarta : Binapura Aksara

Risk Management Planning. Hospital Preparedness for Emergencies & Disasters. Indonesian
Hospital Association. Participan Manual. Jakarta 2003.

Velasquea, German.T.et. ALL. 2003. Sebuah Pendekatan Baru Mitigasi Bencana alam dan
Perencanaan Kota. Dalam. Takashi Inoguchi.et all.eds.(2003). Jakarta : Pustaka LPSES

Wacana, Petra. 2011. Analisa Risiko Bencana dan Pengurangan Risiko Bencana. Dalam
https://petrasawacana.wordpress.com/2011/02/21/analisa-risiko-bencana-dan-pengurangan-
risiko-bencana/ Diakses 8 Mei 2016

World Tourism Organixation (WTO). 2003. Safety and Security in Tourism Parttnership and
Pratical Giudelines for Destinationas World Tourism Organization. Jakarta : Y Publisher

Vous aimerez peut-être aussi