Vous êtes sur la page 1sur 18

REFERAT LEUKEMIA PADA ANAK

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit kanker pada anak umumnya jarang dibandingkan angka kejadian kanker pada orang
dewasa. Pada anak angka kejadian kanker 2-4 %, sangat kecil dibandingkan angka kejadian
penyakit lainnya seperti infeksi dan allergi. Namun, dari data statistik menunjukkan kejadian
penyakit kanker pada anak saat ini memperlihatkan kecenderungan meningkat, dibandingkan
dua dasa warsa yang lalu.

Leukemia adalah kanker anak yang paling sering, mencapai lebih kurang 33% dari
kegasanasan pediatrik. Leukemia limfoblastik akut (LLA) berjumlah kira-kira 75% dari
semua kasus, dengan insidensi tertinggi pada umur 4 (empat) tahun. Leukemia mieloblastik
akut (LMA) berjumlah kira-kira 20% dari leukemia, dengan insidensi yang tetap dari lahir
sampai usia 10 tahun, meningkat sedikit pada masa remaja.

Leukemia sisanya ialah bentuk kronis; leukemia limfositik kronis (LLK) jarang ditemukan
pada anak. Insidensi tahunan dari keseluruhan leukemia adalah 42,1 tiap juta anak kulit putih
dan 24,3 tiap juta anak kulit hitam. Perbedaan itu terutama disebabkan oleh rendahnya
kejadian kejadian LLA pada orang kulit hitam. Gambaran klinis yang umum dari leukemia
adalah serupa karena semuanya melibatkan kerusakan hebat fungsi sum-sum tulang. Tetapi,
gambaran klinis dan laboratorium spesifik berbeda dan ada perbedaan dalam respon terhadap
terapi dan perbedaan dalam prognosis. 1,4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Leukemia atau kanker darah adalah sekelompok penyakit neoplastik yang beragam, ditandai
oleh perbanyakan secara tak normal atau transformasi maligna dari sel-sel pembentuk darah
di sumsum tulang dan jaringan limfoid. Sel-sel normal di dalam sumsum tulang digantikan
oleh sel tak normal atau abnormal. Sel abnormal ini keluar dari sumsum dan dapat ditemukan
di dalam darah perifer atau darah tepi. Sel leukemia mempengaruhi hematopoiesis atau
proses pembentukan sel darah normal dan imunitas tubuh penderita.

Kata leukemia berarti darah putih, karena pada penderita ditemukan banyak sel darah putih
sebelum diberi terapi. Sel darah putih berasal dari sel stem di sumsum tulang.

Leukemia terjadi jika proses pematangan dari stem sel menjadi sel darah putih mengalami
gangguan dan menghasilkan perubahan ke arah keganasan. Sel darah putih yang tampak
banyak merupakan sel yang muda, misalnya promielosit. Jumlah yang semakin meninggi ini
dapat mengganggu fungsi normal dari sel lainnya.
2.2 ETIOLOGI

Penyebab leukemia belum diketahui secara pasti, namun diketahui beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi frekuensi leukemia, seperti:

 Radiasi

Radiasi dapat meningkatkan frekuensi LMA dan LMA. Tidak ada laporan mengenai
hubungan antara radiasi dengan LLK. Beberapa laporan yang mendukung:

 Para pegawai radiologi lebih sering menderita leukemia


 Penderita dengan radioterapi lebih sering menderita leukemia

 Leukemia ditemukan pada korban hidup kejadian bom atom Hiroshima dan Nagasaki, Jepang
Faktor leukemogenik

Terdapat beberapa zat kimia yang telah diidentifikasi dapat mempengaruhi frekuensi
leukemia:

 Racun lingkungan seperti benzena, timah hitam (Pb), carbon tetrachloride(CCl4), asbes,

 Bahan kimia industri seperti insektisida

Pewarna tekstil (rhodamin) digunakan mewarnai jelly dan minuman agar menarik minat
anak-anak untuk dikonsumsi. Sayuran dan buah-buahan sudah tercemar bahan kimia,
akibat pemupukan dan insektisida, sebelum sampai ketangan konsumen. Hampir semua
makanan saat ini menggunakan MSG, monosodium glutamat, perasa yang berbahan kimia.

 Obat untuk kemoterapi


 Bahan bakar bensin7

 Faktor Genetik

Orang yang memiliki kelainan genetk tertentu (misalnya sindroma Down dan sindroma
Fanconi), juga lebih peka terhadap leukemia.

 Faktor Virus

Virus HTLV-I (human T-cell lymphotropic virus type I), yang menyerupai virus
penyebab AIDS, diduga merupakan penyebab jenis leukemia yang jarang terjadi pada
manusia, yaitu leukemia sel-T dewasa.
2.3 KLASIFIKASI

Leukemia dapat diklasifikasikan berdasarkan :

1. Perjalanan alamiah penyakit: akut dan kronis

Leukemia akut ditandai dengan suatu perjalanan penyakit yang sangat cepat, mematikan, dan
memburuk. Apabila tidak diobati segera, maka penderita dapat meninggal dalam hitungan
minggu hingga hari.

Leukemia kronis memiliki perjalanan penyakit yang tidak begitu cepat sehingga memiliki
harapan hidup yang lebih lama, hingga lebih dari 1 tahun bahkan ada yang mencapai 5 tahun.

2 .Tipe sel predominan yang terlibat: limfoid dan mieloid

Kemudian, penyakit diklasifikasikan dengan jenis sel yang ditemukan pada sediaan darah
tepi.

 Ketika leukemia mempengaruhi limfosit atau sel limfoid, maka disebut leukemia limfositik.
 Ketika leukemia mempengaruhi sel mieloid seperti neutrofil, basofil, dan eosinofil, maka
disebut leukemia mielositik.

1. Jumlah leukosit dalam darah


2. Prevalensi empat tipe utama

 Leukemia leukemik, bila jumlah leukosit di dalam darah lebih dari normal, terdapat sel-sel
abnormal
 Leukemia subleukemik, bila jumlah leukosit di dalam darah kurang dari normal, terdapat sel-
sel abnormal
 Leukemia aleukemik, bila jumlah leukosit di dalam darah kurang dari normal, tidak terdapat
sel-sel abnormal

Dengan mengkombinasikan dua klasifikasi pertama, maka leukemia dapat dibagi menjadi:

1. Leukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan tipe leukemia paling sering terjadi pada anak-
anak. Penyakit ini juga terdapat pada dewasa yang terutama telah berumur 65 tahun atau
lebih
2. Leukemia mieloblastik akut (LMA) lebih sering terjadi pada dewasa daripada anak-anak.Tipe
ini dahulunya disebut leukemia nonlimfositik akut.
3. Leukemia limfositik kronis (LLK) sering diderita oleh orang dewasa yang berumur lebih dari
55 tahun. Kadang-kadang juga diderita oleh dewasa muda, dan hampir tidak ada pada anak-
anak
4. Leukemia mielositik kronis (LMK) sering terjadi pada orang dewasa. Dapat juga terjadi pada
anak-anak, namun sangat sedikit

Tipe yang sering diderita orang dewasa adalah LMA dan LLK, sedangkan LLA sering terjadi
pada anak-anak.
2.4 Leukemia Limfoblastik Akut

2.4.1 Definisi

Leukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan suatu keganasan klonal dari sel-sel prekursor
limfoid,akibat kerusakan gen DNA yang terdapat pada tulang belakang. LLA adalah kanker
tersebar yang pertama kali terbukti dapat disembuhkan dengan kemoterapi dan radiasi. LLA
terjadi sedikit lebih sering pada anak lelaki dibandingkan anak perempuan. Laporan
mengenai kluster geografik leukemia anak memberi kesan peran faktor lingkungan. Namun,
telah balik secara hati-hati tidak mendukung kebanyakan dari hubungan yang diajukan.
Leukemia limfoid terjadi lebih sering dengan yang diharapkan pada penderita dengan
immunodefisiensi (hipogammaglobulinemia) kongenital, ataksia-telangiektasi) atau dengan
defek kromosom konstitusional (trisomi 21).

2.4.2 Insidensi

LLA merupakan leukemia yang paling sering terjadi pada anak-anak. Leukemia jenis ini
merupakan 25% dari semua jenis kanker yang mengenai anak-anak di bawah umur 15 tahun.
Paling sering terjadi pada anak usia antara 3-5 tahun, ada juga yang mengatakan sekitar 4
tahun, tetapi kadang terjadi pada usia remaja dan dewasa.

2.4.3 Patologi

Kasus LLA disubkalasifikasikan menurut gambaran morfologi dan imunologi, dan genetik
sel induk leukemia. Diagnosis pasti biasanya didasarkan pada pemeriksaan aspirasi sum-sum
tulang. Gambaran sitologi sel induk sangat bervariasi walaupun dalam satu cuplikan tunggal,
sehingga tidak ada satu klasifikasi yang memuaskan. Sistem Prancis-Amerika-Inggris
membedakan tiga subtipe morfologi L1, L2 dan L3. Pada limfoblas L1 umumnya kecil
dengan sedikit sitoplasma, pada sel L2 lebih besar dan pleomorfik dengan sitoplasma lebih
banyak, bentuk inti ireguler, dan nukleoli nyata, dan sel L3 meampunyai kromatin inti
homogen dan berbintik halus, nukleoli jelas, dan sitoplasma biru tua dengan vakuolisasi
nyata. Karena perbedaan yang subyektif antara blas L1 dan L2 dan korelasi dengan penanda
imunologik dan genetik yang sedikit, hanya subtipe L3 yang mempunyai arti klinis.

Klasifikasi LLA bergantung pada kombinasi gambaran sitologik, imunologik dan kariotip.
Dengan antibodi monoklonal yang mengenali antigen permukaan sel yang terkait dengan
galur sel dan antigen sitoplasma. Maka imunotipe dapat ditentukan pada kebanyakan kasus.
Umumnya berasal dari sel progenitor , lebih kurang 15% berasal dari sel progenitor T, dan
1% berasal dari sel B yang relatif matang. Imunotipe ini mempunyai implikasi prognostik
maupun terapeutik. Subtipe dari LLA, sifat klinis tertentu, dan angka insidensi relatifnya
ditunjukkan pada Tabel 1. Beberapa kasus belum dapat diklasifikasikan karena menunjukan
ekspresi antigen yang berkaitan dengan beberapa galur sel yang berbeda (LLA galur
campuran atau bifenotipik).

Tabel 1 Insidensi subtipe leukemia limfoblastik akut pada suatu penelitian tunggal, dengan
insidensi beberapa gambaran klinis pada waktu diagnosis. 1
Abnormalitas
Kromosom

Jumlah Umur Hitung Leukosit % dengan Massa


3
Subtipe Penderita % (Median) (x 10 )(Median) % pria Mediastinum Terkait

T(T+) 44 14 7,4 th 61,2 67,2 38,2 t(11;14)

B(slg +) 2 0,6 t(8;14)

PreB(clg+) 56 18 4,7 th 12,2 54,8 1,2 t(1;19)

PreB awal (T-,slg-


,clg-) 209 67 4,4 th 12,4 56,5 1.0 t(9;22)

PreB awal bayi 33 NA 1 th 50 55 Tidak ada t(4;11)

Kelainan kromosom dapat diidentifikasikan setidaknya 80-90% LLA anak. Kariotip dari sel
leukemia mempunyai arti penting, prognostik, dan terapeutik. Mereka menunjukan tepat sisi
bagi penelitian molekuler untuk mendeteksi gen yang mungkin terlibat pada transformasi
leukemia. LLA anak dapat juga diklasifikasikan atas dasar jumlah kromosom tiap sel
leukemia (ploidy) dan atas penyusunan kembali (rearrangement) kromosom struktural
misalnya translokasi. 1

Penanda biologik lain yang potensial bermanfaat adalah aktivitas terminal deoksinukleotidil
tranferase (TdT), yang umumnya dapat diperlihatkan pada LLA sel progenitor-B dan sel T.
Karena enzim ini tidak terdapat pada limfoid normal, ia dapat berguna untuk
mengidentifikasikan sel leukemia pada situasi diagnostik yang sulit. Misalnya, aktivitas TdT
dalam sel dari cairan serebrospinal mungkin menolontg untuk membedakan relaps susunan
saraf sentral awal dengan meningitis aseptik. 1

Kebanyakan penderita dengan leukemia mempunyai penyebaran pada waktu diagnosis,


dengan keterlibatan sumsum tulang yang luas dan adanya sel blas leukemia di sirkulasi darah.
Limpa, hati, kelenjar limfe biasanya ikut terlibat. Karena itu, tidak ada sistem pembagian
stadium (staging) untuk LLA. 1

2.4.4 Manifestasi Klinis

Kira-kira 66% anak dengan LLA mempunyai gejala dan tanda penyakitnya kurang dari 4
minggu pada waktu diagnosis. Gejala pertama biasanya nonspesifik dan meliputi anoreksia,
iritabel, dan letargi. Mungkin ada riwayat infeksi virus atau eksantem dan penderita seperti
tidak mengalami kesembuhan sempurna. Kegagalan sumsum tulang yang progresif sehingga
timbul anemia, perdarahan (trombositopenia), dan demam (neutropenia, keganasan)
gambaran ini biasanya mendorong pemeriksaan ke arah diagnosis. 1

Gejala pertama biasanya terjadi karena sumsum tulang gagal menghasilkan sel darah merah
dalam jumlah yang memadai, yaitu berupa: lemah dan sesak nafas, karena anemia (sel darah
merah terlalu sedikit) infeksi dan demam karena, berkurangnya jumlah sel darah putih
perdarahan, karena jumlah trombosit yang terlalu sedikit.9

Pada pemeriksaan inisial, umumnya penderita, dan lebih kurang 50% menunjukan petekiae
atau perdarahan mukosa. Sekitar 25% demam, yang mungkin disebabkan oleh sebab spesifik
seperti infeksi saluran napas atau otitis media. Limfadenopati biasanya nyata dan
splenomegali (biasanya kurang dari 6 cm di bawah arkus kosta), dijumpai pada lebih kurang
66%. Hepatomegali kurang lazim. Kira-kira 25% ada nyeri tulang yang nyata dan atralgia
yang disebabkan oleh infiltrasi leukemia pada tulang perikondrial atau sendi atau oleh
ekapansi rongga sumsum tulang akibat sel leukemia. Jarang ada gejala kenaikan tekanan
intrakranial seperti nyeri kepala dan muntah, yang menunjukan keterlibatan selaput otak.
Anak dengan LLA sel T umumnya dari kelompok umur lebih tua dan lelaki lebih banyak,
66% menunjukkan massa mediastionum anterior, suatu gambaran yang sangat berkaitan
dengan subtipe leukemia. 1

2.4.5 Diagnosis

Pada pemeriksaan awal umumnya terdapat anemia, meskipun hanya kira-kira 25%
mempunyai Hb 6%. Kebanyakan penderita juga trombositopeni, tetapi kira-kira 25%
mempunyai trombosit 100.000/mm3. Sekitar 50% penderita dengan hitung sel darah putih
kurang dari 10.000/mm3, sekitar 20% memiliki hitung sel darah putih yang lebih besar dari
50.000/mm3. Jumlah total sel darah putih bisa berkurang, normal ataupun bertambah, tetapi
jumlah sel darah merah dan trombosit hampir selalu berkurang. Diagnosis leukemia
dikesankan oleh adanya sel blas pada preparat apus darah tepi tetapi dipastikan dengan
pemeriksaan sumsum tulang, yang biasanya diganti sama sekali oleh limfoblas leukemia.
Pemeriksaan darah rutin (misalnya hitung jenis darah komplit) bisa memberikan bukti bahwa
seseorang menderita leukemia. Kadang-kadang, sumsum tulang pada awalnya hiposeluler.
Pemeriksaan sitogenetik pada kasus-kasus ini mungkin bermanfaat untuk mengidentifikasi
abnormalitas spesifik yang berkaitan dengan sindroma preleukemia. Jika sumsum tulang
tidak dapat diaspirasi atau cuplikannya hiposeluler, maka diperlukan sumsum tulang. 1 , 9

Radiografi dada diperlukan untuk menentukan apakah ada massa mediastinum. Radiografi
tulang mungkin menunjukkan perubahan trabekula medulla, defek korteks, atau resorpsi
tulang subepifiseal. Penemuan ini tidak mempunyai arti klinis ataupun prognostik, sehingga
survai skeletal biasanya tidak diperlukan. Cairan serebrospinal harus diperiksa untuk
menemukan sel leukemia karena keterlibatan awal Susunan Saraf Sentral (SSS) mempunyai
implikasi prognostik penting. Kadar asam urat dan fungsi ginjal harus ditentukan sebelum
terapi dimulai. 1

2.4.6 Diagnosis Banding

Diagnosis LLA biasanya langsung dapat ditegakkan segera setelah kemungkinannya


dipertimbangkan. Pencantuman LLA dalam diagnosis banding ditunda bila seorang anak
menderita sakit dan demam dengan adenopati selama beberapa minggu. Penyakit-penyakit
yang termasuk DM adalah penyakit dengan kegagalanb sumsum tulang, seperti anemia
aplastik dan myelofibrosis. Mononukleosis infeksiosa menimbulkan beberapa gambaran
klinis serupa, tetapi pemeriksaan teliti aspirat sumsum tulang memperlihatkan populasi sel
normal. Infiltrasi sumsum tulang oleh sel maligna lain kadang-kadang menyebabkan
pansitopeni. Tumor pediatrik yang dapat menginfiltrasi sumsum tulang-tulang meliputi
neuroblastoma, rabdomiosarkoma, sarkoma Ewing, dan jarang retinoblastoma. Sel-sel tumor
ini biasanya terdapat dalam kelompokan-kelompokan yang tersebar di seluruh jaringanb
sumsum tulang tetapi kadang-kadang dapat juga mendesak total sumsum. Biasanya pada
kasus-kasus ini ada bukti adanya tumor primer di suatu bagian tubuh. 1

2.4.7 Terapi

Tujuan pengobatan adalah mencapai kesembuhan total dengan menghancurkan sel-sel


leukemik sehingga sel normal bisa tumbuh kembali di dalam sumsum tulang.

Penderita yang menjalani kemoterapi perlu dirawat di rumah sakit selama beberapa hari atau
beberapa minggu, tergantung kepada respon yang ditunjukkan oleh sumsum tulang. 9

Terapi LLA masa kini didasarkan atas bukti resiko klinis, tidak ada bukti kelompok resiko
universal. Pada umumnya, penderita dengan resiko baku atau rata-rata untuk relaps adalah
antara umur 1 tahun dan 10 tahun, mempunyai jumlah leukosit 100.000/mm3, tidak ada bukti
adanya massa mediastinum atau leukemia SSS, dan mempunyai immunofenotipe sel
progenitor B. Adanya translokasi kromosom spesifik tertentu harus disingkirkan. Rencana
terapi untuk kelompok resiko baku meliputi pemberian kemoterapi induksi sampai sumsum
tulang tidak lagi memperlihatkan sel-sel leukemia yang dapat dikenali secara morfologis,
kemudian terapi ”profilaksis” pada SSS, dan terapi lanjutan. Contoh rencana terapi diringkas
pada Tabel 2. 1

Suatu kombinasi prednison, vinkristin (Oncovin), dan asparaginase akan menghasilkan remisi
pada kira-kira 98% dari anak dengan LLA resiko-standar, khas dalam 4 minggu. Kurang dari
5% penderita memerlukan 2 minggu terapi induksi lagi. Terapi lanjutan sistemik, biasanya
terdiri dari antimetabolit metotreksat (MTX) dan 6-merkaptopurin (Purinetol), harus
diberikan selama 2,5-3 tahun. 1

Tanpa terapi profilaksis, SSS merupakan tempat awal relaps pada lebih dari 50% penderita.
Sel leukemia biasanya ditemukan di selaput otak pada saat diagnosis, walaupun sel-sel iti
tidak dapat dilihat pada cairan serebrospinal. Sel-sel ini bertahan hidup dari kemoterapi
sistemik karena penetrasi sawar darah otak obat jelek. Iradiasi kranium mencegah leukemia
SSS tersembunyi pada kebanyakan penderita tetapi menyebabkan efek lambat
neuropsikologik, terutama pada anak kecil. Karena itu, penderita resiko standar khas hanya
diberi terapi intratekal saja untuk mencegah keterlibatan SSS klinis. 1

Kebanyakan penderita dengan LLA sel T mengalami relaps dalam 3-4 tahun jika diterapi
dengan regimen resiko standar. Dengan regimen obat ganda yang lebih intensif , 50% atau
lebih penderita mengalami remisi jangka panjang. Dikembangkan suatu terapi sasaran yang
dimaksudkan untuk mengeksploitasi sifat unik dari sel T leukemia. Suatu contoh dari
pendekatan ini adalah antibodi monoklonal terhadap antigen permukaan sel T yang
dikonjugasikan pada imunotoksin. Kompleks antibodi-imunotoksin akan menempel pada
limfoblas T, mengalami endositosis, dan membunuh sel. 1

Tabel 2 Regimen terapi yang efektif bagi leukemia limfoblastik akut resiko-rendah3

Induksi Remisi (4-6 minggu)

Vinkristin 1,5 mg/m2 (maks 2 mg) IV/minggu


Prednison 40 mg/m2 (maks. 60 mg) PO/hari

Asparaginase (E.coli) 10.000U/m2/hari 2 mingguan IM

Terapi Intratekal

Terapi tripel : MTX*, HC*, Ara-C*

Mingguan 6 x selama induksi dan kemudian tiap 8 minggu untuk 2 tahun

Terapi Lanjutan Sistemik

6-MP 50 mg/m2/hari PO

MTX 20 mg/m2/minggu PO,IV,IM

Atur MTX ±6-MP diberikan dengan dosis tinggi

Penambahan

Vinkristin 1,5 mg/m2/ (maks. 2 mg) IV tiap 4 minggu

Prednison 40 mg/m2/hari PO 7x hari tiap 4 minggu


MTX= metotreksat; HC=Hidrokortison; Ara-C=sitarabin; IV=intravena;

PO=peroral; IM=intramuscular; 6-MP=6-merkaptopurin.

 Dosis pengobatan intratekal disesuaikan dengan umur

Umur MTX HC Ara-C

≤ 1 tahun 10 mg 10 mg 20 mg

2-8 tahun 12,5mg 12,5 mg 25 mg

≥ 9 tahun 15 mg 16 mg 30 mg

Kasus sel B dengan morfologi L3 dan imunoglobulin permukaan dulu mempunyai prognosis
buruk. Pendekatan demikian paling baik diterapi dengan regimen pendek (3-6 bulan) tetapi
intensif yang dikembangkan untuk limfoma sel B. Dengan pendekatan ini, angka
kesembuhan membaik secara dramatis, dari 20% satu dekade yang lalu menjadi 70% atau
lebih. 1

2.4.8 Relaps

Sumsum tulang adalah tempat relaps paling umum, meskipun hampir semua bagian tubuh
dapat dipengaruhi. Di banyak pusat, sumsum tulang diperiksa secara berkala untuk
memastikan remisi yang berkelanjutan. Apabila terdeteksi relaps sumsum tulang, terapi ulang
intensif yang meliputi obat-obat yang tidak digunakan sebelumnya dapat mencapai
kesembuhan 15-20% dari penderita, terutama yang pernah mengalami remisi lama (18
bulan). Untuk penderita yang mengalami relaps sumsum tulang, kemoterapi intensif diikuti
Conventional Stem Cell Transplantation (CST) dari donor sekandung yang cocok memberi
kesempatan sembuh yang lebih besar. Transplan dari bukan keluarga yang cocok atau
keluarga yang tidak cocok atau autolog merupakan pilihan bagi penderita yang tidak
memiliki donor sekandung atau histokompatibel. 1

Sisi relaps ekstrameduler yang paling penting adalah SSS dan testis. Manifestasi awal yang
umum dari leukemia SSS disebabkan oleh kenaikan tekanan intrakranial dan meliputi
muntah-muntah, nyeri kepala, edema papil, dan letargi. Meningitis kimiawi sekunder akibat
terapi intratekal dapat menimbulkan gejala yang sama dan harus dipertimbangkan. Kejang
dan kelumpuhan saraf kranial sendiri dapat terjadi pada leukemia SSS ataiu efek samping
vinkristin. Keterlibatan hipotalamus jarang tetapi harus dicurigai bila ada perubahanh
kenaikan berat badan atau perubahan perilaku. Pada kebanyak kasus, tekanan cairan
serebrospinal meningkat, dan cairan menunjukkan pleiositosis karena sel leukemia. Jika
jumlah sel normal, sel leukemia mungkin dapat dijumpai pada preparat apus cairan
serebrospinal setelah sentrifugasi. 1

Penderita dengan relaps SSS harus diberi kemoterapi intratekal tiap 4-6 minggu sampai
limfoblas menghilang dari cairan serebrospinal. Dosis harus disesuaikan dengan umur karena
volume cairan serebrospinal tidak sebanding dengan luas permukaan badan. Iradiasi kranium
mereupakan satu-satunya cara yang dapat melenyapkan leukemia SSS jelas dan harus
diberikan setelah terapi intratekal. Terapi harus lebih intensif karena penderita ini mempunyai
resiko tinggi untuk kemudian relaps sumsum tulang. Akhirnya, terapi SSS profilaksis harus
diulangi pada setiap penderita yang mengalami relaps di sumsum tulang atau lokasi
ekstramedular manapun. 1

Relaps testikuler biasanya menyebabkan pembengkakan tidak nyeri pada satu atau kedua
testis. Penderita sering tidak menyadari kelainan tersebut, karena itu perlu sekali perhatian
pada ukuran testis pada waktu diagnosis dan pemantauan. Diagnosis dipastikan dengan
biopsi. Terapi harus meliputri iradiasi gonad. Karena relaps testis biasanya mengisyaratkan
adanya relaps sumsum tulang mengancam, maka terapi sistemik harus lebih diperkuat bagi
penderita yang masih didalam terapi. Seperti yang dikemukakan diatas, terapi yang terarah ke
SSS harus juga diulang. 1

2.4.9 Prognosis

Sebelum adanya pengobatan untuk leukemia, penderita akan meninggal dalam waktu 4 bulan
setelah penyakitnya terdiagnosis. Lebih dari 90% penderita penyakitnya bisa dikendalikan
setelah menjalani kemoterapi awal.9

Banyak gambaran klinis telah dipakai sebagai indikator prognosis, tetapi kehilangan arti
karena keberhasilan terapi. Misalnya, imunofenotip penting dalam mengarahkan terapi ke
arah resiko, tetapi arti prognostiknya telah lenyap berkatregimen terapi kontemporer. Karena
itu, terapi merupakan faktor prognositik penting. Hitung leukosit awal mempunyai hubungan
liner terbalik dengan kemungkinan sembuh. Umur pada waktu diagnosis juga merupakan
peramal yang dapat dipercaya (reliable). Penderita berumur lebih dari 10 tahun dan yang
kurang dari 12 bulan yang mempunyai penyususnan kembali (rearrangement) kromosom
yang menyangkut regio 11q23, jauh lebih buruk dibanding anak dari kelompok umur
pertengahan (intermediete). Beberapa kelainan kromosom mempengaruhi hasil terapi.
Hiperploidi lebih dari 50 kromosom berkaitan dengan hasil terapi baik dan memberi respon
terhadap terapi berbasis antimetabolit. Dua translokasi kromosom t(9;22), atau kromosom
Philadelpia, dan t(4;11) mempunyai prognosis buruk. Beberapa peneliti menganjurkan CST
selama remisi inisial pada penderita dengan translokasi tersebut. LLA progenitor sel B
dengan t(1;19) mempunyai prognosis kurang baik dibandingkan kasus lain dengan
imunofenotip ini, hanya 60% dari penderita akan remisi setelah 5 tahun jika tidak mendapat
terapi sangat intensif. 1

2.5 Leukemia MieloBLASTIK Akut

2.5.1 Definisi

Leukemia Mieloid Akut (LMA) merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan transformasi
neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari myeloid. LMA mempunyai
insidensi tahunan 5-6 kasus tiap juta anak kurang dari 15 tahun. Di Amerika, 350-500 kasus
baru tiap tahun. LMA merupakan 15-20 % dari leukemia anak tetapi terutama sebagai
leukemia neonatal atau kongenital. Tidak ada perbedaan dalam insidensi dalam hal jenis
kelamin atau ras dan, kecuali sedikit kenaikan selama remaja, distribusi kasus menurut umur
konsisten selama masa anak.1,11

Leukemia akut ini mengenai sel stem hematopoetik yang kelak berdiferensiasi ke suatu sel
mieloid;monosit, granulosit, eritrosit, dan trombosit. Semua kelompok usia dapat terkena ,
insidensi meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Merupakan leukemia nonlimfositik
yang paling sering terjadi. 8

Insidensi LMA melebihi angka perkiraan pada kelainan genetik, termasuk trisomi 21, anemia
Fanconi, anemia Diamond-Blackfan, sindrom Kostmann, dan sindrom Bloom. Anak yang
mendapat terapi keganasan sebelumnya juga mengalami risiko, insidensi LMA sekunder
mendekati 5% setelah terapi beberapa malignitas. Insidensi itu mencapai puncak dalam 10
tahun dari keganasan awal. Kejadiannya berkaitan dengan terapi spesifik (obat alkilasi seperti
siklofosfamid, obat yang menghambat reparasi DNA seperti etoposid). Terapi radiasi yang
diberikan bersama kemoterapi juga meningkatkan resiko leukemia sekunder. 1

2.5.2 Manifestasi Klinis

LMA khas menunjukkan tanda dan gejala yang berkaitan dengan kegagalan sumsum tulang.
LMA harus dipertimbangkan dalam evaluasi setiap penderita dengan pucat, demam, infeksi,
atau perdarahan. Nyeri tulang kurang sering dibanding dengan pada LLA.
Hepatosplenbomegali sering, limfadenopati mungkin ada. Hipertrofi gingiva atau
pembengkakan kelenjar parotis jarang tetapi merupakan temuan yang sugestif. Massa lokal
dari sel leukemia (kloroma), mungkin timbul di tempat manapun, tetapi daerah retroorbotal
dan epidural paling sering. Kloroma dapat mendahului infiltrasi sel leukemia sumsum tulang.
Hitung darah biasanya abnormal. Anemia dan trombositopenia sering mencolok. Hitung
leukosit mungkin tinggi, rendah, atau normal. Blas leukemia mungkin nyata pada preparat
apus darah. 1

LMA mungkin timbul pada anak yang mula-mula hanya menunjukkan anemia, leokopenia
atau trombositopenia saja. Keadaan ini, yang lebih sering terjadi pada dewasa, khas disebut
sindrom mielodisplasia. Gambaran khasnya meliputi kelainan morfologi sel darah dan
sumsum tulang. Perjalanan alamiah sindrom mielodisplasia pada anak tidak begitu jelas,
tetapi dapat timbul pada anak yang mendapat terapi keganasan sebelumnya. 1

2.5.3 Klasifikasi 11

LMA-M0 : Leukemia mielositik akut : Diferensiasi minimal

LMA-M1 : leukemia mieloblasti akut : tanpa maturasi

LMA-m2 : Leukemia mieloblastik akut : dengan maturasi

LMA-M3 : leukemia promielositik akut

LMA-M4 : leukemia mielomonositik akut

LMA-M5 : leukemia monositik akut

LMA-M6 : Eritroleukemia

LMA-M7 : Leukemia megakariositik akut

Gambar 2 Populasi uniformis dari mieloblas primitif pada 75% dengan kromatin imatur,
nukleolus pada beberapa sel, dan granul-granul sitoplasma primer2

Gambar 3 Leukemia mieloblastik berisi Auer rod2

Gambar 4 Sel leukemia promielositik dengan granul-granul primer sitoplasma yang


dominan2

Gambar 5 Pewarnaan peroksidase menunjukan warna biru gelap yang merupakan ciri dari
peroksidase pada granul di AML2

2.5.4 Diagnosis

Adanya paling sedikit 30% sel blas leukemia di sumsum tulang diperlukan untuk diagnosis
LMA. Analisis morfologi dan sitologi (pengecatan histokimiawi mieloperoksidase positif,
Sudan hitam, atau esterase nonspesifik) blas leukemia biasanya cukup untuk membedakan
LMA dan LLA. Namun, dalam kategori LMA, morfologi mungkin bervariasi. Untuk
klasifikasi dan terapi kontemporer AML, sel blas leukemia harus dikarakterisasi atas dasar
ekspresi antigen permukaan sel (imunofenotip) dan dengan analisis kromosom (kariotip).
Sistem FAB membagi LMA menjadi 8 subtipe, M0 sampai M7. Yang amat bersesuaian
dengan galur hematopoiesis. Di antara anak, jumlah kasus dengan subtipe M0, M1, dan M2
kira-kira sama dengan jumlah penderita dengan M4 dan M5, tipe FAB ini bertanggung jawab
atas 80% dari LMA masa kanak-kanak. Subtipe M3 dan M7 lebih jarang, dan M6 langka.
Sistem klasifikasi ini memudahkan penelitian mengenai perjalanan klinis dan memungkinkan
pembandingan berbagai terapi. Peristiwa molekuler spesifik mendasar beberapa tipe FAB. 1

Meskipun diatesis hemoragi (DIC pada waktu pertama diperiksa atau kemudian) dapat terjadi
pada semua kelompok FAB, penderita dengan leukemia promielositik akut (M3) yang
terutama beriksiko. Penemuan yang hampir selalu tetap pada subtipe ini adalah translokasi
materi genetik antara kromosom 15 dan 17, ini menghasilkan gena fusi yang meliputi gena
yang menyandi reseptor asam retinoat-α. Asam retinoat dapat secara efektif menginduksi
remisi pada penderita ini. Translokasi antara kromosom 8 dan 21, khas terdapat pada M2,
berkaitan erat dengan kloroma. Inversi material genetik di kromosom 16 dapat dijumpai pada
M4, di mana eosinofilia merupakan gambaran yang menonjol. 1

Sindrom mielodisplasia mempunyai beberapa kesamaan dengan LMA, tetapi sumsum tulang
mengandung persentase sel blas yang lebih rendah dan mempunyai gambaran displasia yang
khas, termasuk megaloblastosis. Penderita mungkin tidak tampak sakit pada waktu diperiksa
dan hanya anemia dan leukopenia yang mendorong mereka untuk memeriksakan diri ke
dokter. Perubahan kromosom, termasuk trisomi 8 dan delesi sempurna atau sebagian dari
kromosom 5 atau 7, mungkin ada, Delesi kromosom 5 atau 7 terutama sering pada sindrom
mielodisplasia sekunder dan LMA sekunder. 1

Leukemia mielogenik kronis juvenil (juvenile chronic myelogenous leukemia (JCML)) tidak
seperti leukemia myeloid kronis (chronic myeloid leukemia (CML)) tipe dewasa, tetapi
mempunyai gambaran yang serupa dengan gambaran LMA dan sindrom mielodsiplasia.
Kromosom Philadelphia tidak ada poada JCML. Gejala dan tanda nonspesifik meliputi
demam, lesu, pembesaran hati dan limpa, dan adenopati. Erupsi kulit makulopapular
desquamatif kronis sering mengaburkan diagnosis. Kenaikan Hb-F yang mencolok, yang
dapat mencapai 50%, dan leukositosis (terutama monositosis darah dan sumsum tulang)
merupakan temuan yang mencolok. JCML jarang ditemukan pada umur lebih dari 5 tahun
dan mungkin lebih sering pada anak dengan neurofibromatosis tipe 1, kasus-kasus familier
atau herediter pernah dilaporkan. 1

2.5.5 Terapi

Terapi LMA telah semakin baik tetapi tetap tidak memuaskan. Antara 70-80% penderita
mencapai remisi setelah diterapi dengan kemoterapi yang meliputi antrasiklin (daunomisin,
idarubisin) dan sitarabin. Perawatn suportif maksimal penting untuk membantu penderita
agar cukup waktu agar berespon terhadap terapi karena kebanyakan penderita yang tidak
responsif meninggal akibat infeksi atau toksisitas kemoterapi. Remisi mungkin terjadi dalam
2-3 minggu setelah terapi dimulai tetapi juga memerlukan 8-12 minggu atau lebih lama dan
memerlukan beberap rangkaian kemoterapi. Penderita yang tidak berespon terhadap terapi
induksi merupakan calon untuk transplantasi allogenik. 1

Transplantasi sumsum tulang ada dua jenis yaitu alogenik dan autologus. Bila sumsum tulang
diambil dari donor yang sekandung disebut alogenik, sedangkan bila menggunakan sumsum
tulang orang lain disebut autologus.

Perdarahan akibat aktivasi patologik faktor penjendalan dan/atau fibrinolisis merupakan


masalah tersendiri pada leukemia promielositik akut, tetapi pemeriksaan laboratorium untuk
mendeteksi DIC harus juga dikerjakan untuk variasi LMA yang lain. Transfusi trombosit dan
plasma baru segar merupakan keharusan untuk penderita DIC, kebutuhan heparin atau
antifibrinolitik lain kurang pasti. Asam retinoat sebagai terapi awal leukemia promielositik
dapat mengurangi perdarahan tetapi tidak kuratif. Namun, kemoterapi obat ganda untuk
induksi remisi dan konsolidasi mungkin kuratif untuk kebanyakan penderita. Sekali penderita
mencapai remisi, terapi lanjutan optimal belum ditentukan. Pilihan dapat meliputi CST
autolog atau allogenik atau kemoterapi intensif, tidak satupun dari pendekatan ini telah
menunjukkan keuntungan ketahan hidup mutlak. CST allogenik selama remisi pertama
terbatas pada penderita yang mempunyai donor sekandung. 1

Kemotrapi intratekal perlu untuk mencegah relaps SSS. Kemoterapi intratekal biasanya dapat
membersihkan sel leukemia dari cairan serebrospinal pada penderita yang menunjukkan
leukemia SSS pada waktu diagnosis (~10% kasus) atau yang mengalami relaps SSS, tetapi
radiasi SSS mungkin diperlukan untuk melenyapkan leukemia secara permanen. 1

Karena sindrom mielodisplasia cenderung berkembang menjadi leukemia, penderita biasanya


diterapi dengan protokol LMA. Jika penderita relatif tidak bergejala, terapi mungkin ditunda
sampai gejala berkembang. Induksi remisi kurang berhasil pada sindrommielodisplasia
dibandingkan dengan LMA. Oleh sebab resistensi terhadap terapi ini dan pertimbangan lain,
CST allogenik sering merupakan terapi pilihan. Atas alasan sama,CST allogenik dianjurkan
untuk penderita dengan JCML. Bila donor yang cocok-genotip antigen histokompatibilitas
(HLA) tidak ada, donor yang cocok sebagian atau donor yang tidak ada hubungan yang
cocok dapat dipertimbangkan. 1

2.5.6 Prognosis

Dengan terapi agresif, 40-50% penderita yang mencapai remisi akan hidup lama (30-40%
angka kesembuhan keseluruhan). Penderita yang mengalami relaps setelah mendapat
kemoterapi atau transplantasi autolog dapat diterapi dengan transplantasi dengan CST
allogenik sebagai terapi penyelamatan. Beberapa subtipe morfologi atau genetik LMA
mempunyai prognosis yang semakin baik. 1

2.6 Leukemia MieloSITIK Kronis

2.6.1 Definisi

Leukemia mielositik (mieloid, mielogenous, granulositik, LMK) adalah suatu penyakit


dimana sebuah sel di dalam sumsum tulang berubah menjadi ganas dan menghasilkan
sejumlah besar granulosit (salah satu jenis sel darah putih) yang abnormal. Leukemia
mielogenik kronis (LMK) merupakan keganasan klona dari sel induk (stem cell) sistem
hematopoietik yang ditandai oleh translokasi spesifik, t(9;22)(q34;q1), yang dikenal sebagai
kromosom Philadelphia. Translokasi ini mendekatkan gen bcr pada kromosom 22 dengan gen
abl pada kromosom 9, sehingga menghasilkan gena gabungan yang menyandi protein
gabungan bcr-abl. LMK lebih sering pada orang dewasa dan bertanggung jawab untuk hanya
3% dari kasus leukemia masa kanak-kanak. Pada kebanyakan kasus, tidak ada gambaranb
predisposisi. 1,8

LMK mempunyai perjalanan bifasik atau trifasik. Selama fase kronis, yang berlangsung 3-4
tahun, hitung leukosit mudah dikendalikan dengan kemoterapi dosis rendah. Penjelasan ke
arah krisis mieloid atau limfoid yang menyerupai leukemia atau dapat terjadi dengan cepat
atau mungkin menyertai fase akselerasi di mana hitung leukosit menjadi sulit dikendalikan
dan abnormalitas sitogenik tambahan mungkin timbul. 1

2.6.2 Patologi

LMK ditandai oleh hiperplasia mieloid dengan kenaikan jumlah sel mieloid yang
berdiferensiasi dalam darah dan sumsum tulang. Kromosom Philadelphia yang patognomonik
dapat dideteksi dengan mudah pada 90% kasus, pada kebanyakan penderita sisanya, analisis
bekuan Southern atau tekhnik reaksi rantai polimerase (RRP) menunjukkan penyusunan
kembali bcr-abl. 1

2.6.3 Gambaran Klinis

Awitan gejala biasanya tidak nyata, dan diagnosis sering ditegakkan bila pemeriksaan darah
dilakukan atas alasan lain. Penderita mungkin datang dengan splenomegali (yang dapat
masif) atau dengan gejala hipermetabolisme, termasuk kehilangan berat badan, anoreksia dan
keringat malam. Gejala leukositosis, seperti gangguan penglihatan atau priapismus, jarang
terjadi. 1

Gambar 6 Sel-sel pada Leukemia mielositik kronis 9

Gambar 7 Sel-sel pada saat blasten crisis pada leukemia mielositik kronis 9

Dalam perjalanan penyakitnya, LMK dibagi menjadi 3 fase, yakni: fase kronis, fase
akselerasi, dan fase blas krisis. Pada umumnya saat pertama diagnosis ditegakkan, pasien
berada dalam fase kronis bahkan tidak jarang ditemukan secara kebetulan, misalnya pada saat
mau operasi dimana leukositosis ditemukan tanpa adanya tanda-tanda infeksi.3

Pada fase kronis, pasien sering mengeluh pembesaran limpa, atau merasa cepat kenyang
akibat desakan limpa terhadap lambung. Kadang timbul nyeri seperti diremas di perut kanan
atas. Keluhan lain sering tidak spesifik, misalnya rasa cepat lelah, lemah badan, demam yang
tidak terlalu tinggi, keringat malam. Penurunan berat badan terjadi setelah penyakit
berlangsung lama. Semua keluhan tersebut merupakan gambaran hipermetabolisme akibat
proliferasi sel-sel leukemia. 3

Setelah 2-3 tahun, beberapa pasien penyakitnya menjadi progresif atau mengalami akselerasi.
Bila saat diagnosis ditegakkan, pasien berada pada fase kronis, maka kelangsungan hidup
berkisar antara 1-1,5 tahun. Ciri khas fase akselerasi adalah leukosit yang sulit dikontrol oleh
obat-obat mielosupresif, mieloblas di perifer mencapai 15-30%, promielosit >30%, dan
trombosit <100.000/mm3. Secara klinis, fase ini dapat diduga bila limpa yang tadinya sudah
mengecil dengan terapi kembali membesar, keluhan anemia bertambah berat, timbul ptekiae,
ekimosis. Bila disertai demam biasanya disertai infeksi.3

Keluhan Frekuensi (%)

Splenomegali 95

Lemah Badan 80

Penurunan Berat Badan 60

Hepatomegali 50

Keringat Malam 45

Cepat Kenyang 40
Perdarahan / purpura 35

Nyeri perut 30

Demam 10

Tabel 3 Urutan keluhan pasien berdasarkan frekuensi 3

2.6.4 Diagnosis

Kelainan laboratorium biasanya mula-mula terbatas pada kenaikan hitung leukosit, yang
dapat melebihi 100.000/mm3, dengan semua bentuk sel mieloid tampak di apus darah.
Hitung trombosit dapat juga tinggi secara abnormal. Kelainan laboratorium lain meliputi
kenaikan kadar vitamin B12 serum dan asam urat, dan penurunan atau tidak adanya aktivitas
fosfatase alkali leukosit. Sumsum tulang hiperseluler, dengan sel mieloid yang normal pada
semua tingkat diferensiasi, megakariosit dapat lebih bertambah. Pemeriksaan molekular atau
sitogenetik yang menunjukkan kromosom Philadelphia memastikan diagnosis. 1

2.6.5 Terapi

Pada fase kronis, leukositosis dan gejala dapat dikendalikan dengan kemoterapi busulfan atau
hidroksiurea, tetapi kromosom Philadelphia tidak ditekan. Disamping untuk mengendalikan
leukositosis, interferon-α juga menekan kromosom philadelphia secara sempurna, pada kira-
kira 20% kasus, dan tampaknya memperpanjang fase kronis. Namun, satu-satunya terapi
kuratif pada waktu ini adalah CST allogenik. Angka ketahanan hidup jangka panjang
penderita anak yang menerima alograf dari saudara kandung identik HLA pada fase kronis
awal sekitar 80%. Ini merupakan terapi pilihan jika terdapat donor yang cocok. Bila donor
adalah keluarga yang cocok sebagian atau donor yang tidak ada hubungan yang cocok,
mortalitas terkait cangkok lebih tinggi, dan angka ketahan hidup sekitar 50-60%. Krisis blas
limfoid biasanya dapat dibalikkan menjadi fase kronis dengan terapi baku LLA, sedangkan
krisis mieloid umumnya refrakter terhadap kemoterapi LMA baku, median ketahanan hidup
hanya 3-4 bulan. Jika CST ditunda sampai krisis blas terjadi, maka katahanan hidup hanya
16-20%.1

2.7 Leukemia Limfositik Kronik

2.7.1 Definisi

LLK adalah suatu keganasan hematologik yang ditandai oleh proliferasi klonal dan
penumpukan limfosit B dalam darah, sumsum tulang, limfonodi, limfa, hati dan organ-organ
lain. Sejumlah besar peningkatan limfosit matang bersifat ganas dan pembesaran kelenjar
getah bening. 1,3

Gambar 8 Leukemia limfositik kronis. Sel darah putih perifer dengan jumlah yang banyak
sesuai peningkatan jumlah yang kecil, diferensiasi yang baik,limfosit normal. Limfositnya
fragil, dan banyaknya sel yang rusak, sel yang smudged biasanya muncul pada sediaan apus
darah.2

2.7.2 Epidemiologi
75% penderita adalah orangtua berumur 60 tahun. Rasio wanita : pria = 1:2-3. Resiko
terjadinya LLK meningkat seiring dengan peningkatan usia.1 , 3

Perjalanan penyakit bervariasi. Kondisi penyakit sel B dapat diramalkan kelangsungan


hidupnya antara lebih dari 10 tahun sampai kurang dari 19 bulan, dan 9 tahun untuk seluruh
populasi pasien LLK.3

2.7.3. Etiologi

Penyebab LLK masih belum diketahui. Kemungkinan yang berperan ialah abnormalitas dari
kromosom, onkogen dan retrovirus. Sekitar 50% pasien LLK mempunyai abnormalitas
sitogenik, khususnya trisomi 12, kelainan kromoson 13, delesi kromosom 6 dan delesi
kromosom 11.3

2.7.4 Diagnosis

Manifestasi Klinis

Gejala pada orangtua bersifat asimptomatik dan berlangsung lama. Pada pasien dengan
gejala, paling sering ditemukan limfadenopati generalisata, penurunan berat badan dan
kelelahan. Gejala lain meliputi hilangnya nafsu makan dan penurunan kemampuan olahraga
atau latihan. Akibat penumpukan sel B neoplastik, pasien yang asimtomatik akan mengalami
limfadenopati, splenomegali, dan hepatomegali.1 , 3

Pemeriksaan Fisik

20-30% tidak menunjukan kelainan fisik. Kelainan fisik yang paling sering ditemukan ialah
limfadenopati dan/atau hepatosplenomegali.Infiltrasi pada kulit, kelopak mata, jantung,
pleura, paru dan saluran cerna umumnya jarang dan timbul pada akhir perjalanan penyakit.
Timbulnya efusi pleura dan asites berhubungan dengan prognosis yang buruk.3

2.7.5 Kriteria Diagnosis

Tanda patognomonik LLK ialah peningkatan umlah leukosit dengan peningkatan limfosit
kecil sekitar 95%. Untuk menegakkan diagnosis sebaiknya dilakukan pemeriksaan sediaan
apus darah tepi secara hati-hati dan cermat. Gambaran darah tepi tampak limfositosis dengan
gambaran limfosit kecil matur dan smudge cell yang dominan dan infiltrasi sel limfosit ke
sumsum tulang. Walaupun telah didapatkan limfositosis dan infiltrasi limfosit ke sumsum
tulang belum berarti pasti LLK.3

Gambar 9 Sel “Smudge” atau “basket cells” adalah leukosit yang rusak saat pembuatan apus
darah.

LLK dapat didiagnosis jika ditemukan peningkatan absolut limfosit di dalam darah
(>5000/µL) dan morfologi dan imunofenotipnya menunjukkan gambaran khas. Stadium LLK
menurut Binet ditemukan pada tabel di bawah ini.

Stadium Gejala Klinis dan Laboratorium Median Survival

(Bulan)
A Limfositosis darah tepi dan sumsum tulang + < 3 daerah > 7
limfoid yang membesar
B <5
Limfositosis darah tepi dan sumsum tulang + ≥ 3 daerah
C limfoid yang membesar <2

Stadium B + anemia (Hb<11 g/dl pada pria dan <10g/dl pada


wanita atau trombositopenia (<100.000/µL)

Catatan: 5 area limfoid : KGB servikal, aksila, inguinal, hati, limpa

Tabel 4 Stadium LLK menurut Binet 3

2.7.6 Penatalaksanaan

Diagnosis LLK tidak menandakan perlunya pengobatan . Saat ini tidak terdapat kuratif untuk
LLK. Tujuan terapi pada kebanyakan pasien LLK adalah meredakan gejala dan
memperpanjang kelangsungan hidup. Tetapi pada pasien lebih muda dengan faktor resiko
buruk, pendekatan eksperimental dengan tujuan penyembuhan yang dipilih. Indikasi terapi
adalah:3

1. Kegagalan sumsum tulang yang progresif yang ditandai dengan memburuknya anemia dan
trombositopenia.
2. Limfadenopati yang progresif (>10cm)
3. Splenomegali masif (>6 cm) atau nyeri pada limpa
4. Limfositosis progresif (dalam 2 bulan meningkat 50%)
5. Gejala sistemik yaitu penurunan berat badan dalam 6 bulan, suhu badan >38OC selama > 2
minggu , fatigue, keringat malam
6. Sitopenia menurun.

Kemungkinan terapi terkini menurut faktor prognostik dan variabel lainnya sebagai berikut:

LLK Stadium Dini Yang Stabil

Pada pasien ini tidak diperlukan terapi kecuali timbul gejala atau penyakitnya berlanjut.
Karena pasien LLK stadium dini (Binet stadium A) bertahan hidup sebagai mana subyek
normal dengan usia yang sama.3

LLK Stadium Lanjut Dengan Batas Tumor Luas dan Gagal Sumsum Tulang

Kemoterapi Tunggal

1. Klorambusil

Pengobatan menggunakan klorambusil diberikan sepanjang terdapat respon, biasanya tidak


lebih dari 8-12 bulan. Angka respons berkisar 40-70%, tetapi respon komplit jarang terjadi.
Pada penelitian-penelitian terakhir dikombinasikan dengan prednison namun tidak lebih baik
dibandingkan dengan klorambusil saja. 3

2. Siklofosfamid
Pasien yang tidak dapat mentoleransi klorambusil dapat diberikan siklofosfamid dengan
secara peroral atau intravena. Efek sampingnya berupa mual, muntah, rambut rontok, supresi
sumsum tulang dan sistitis. 3

Aturan terapi pemeliharaan LLK tidak pernah diteliti lebih lanjut. Biasanya, pengelolaan
terhenti sekali membrikan respon, dan dimulai lagi setelah berkembang ke arah progresifitas,
dan respon pengobatan kedua biasanya lebih buruk daripada pengobatan pertama. 3

Kemoterapi Kombinasi

Kemoterapi kombinasi diberikan pada pasien gagal dengan pengobatan siklofosfamid atau
klorambusil dengan atau tanpa prednison. Kemoterapi yang direkomendasikan ialah: 3

 Siklofosfamid, vinkristin dan Prednison (COP)


 COP dan doksorubisin

Radioterapi

Radioterapi pada pasien LLK hanya bersifat paliatif. Dapat berupa : 3

1. Radiasi limpa. 50-90% pasien menunjukan pengecilan ukuran limpa, berkurangnya nyeri
perut serta rasa tidak enak pada perut. Catovsky (1991) melaporkan 38% menunjukan remisi
hematologik yang komplit. Efek samping ialah fatigue, mual, trombositopenia transien, dan
netropenia.
2. Radioterapi terapi eksternal untuk lesi-lesi yang besar.

Splenektomi

Indikasinya pada splenomegali masif yang simtomatik, sitopenia yang refarakter yaitu
sitopenia autoimun dan hipersplenisme. 3

BAB IV

KESIMPULAN

Leukemia adalah kanker pada anak yang paling sering. Leukemia limfoblastik akut (LLA)
merupakan bentuk yang tersering dari leukemia, diikuti leukemia mieloblastik d akut (LMA),
leukemia mielositik kronik (LMK), sedangkan leukemia limfositik akut (LLK) merupakan
bentuk pada orang tua. Dalam membedakan dan mendiagnosis penyakit leukemia tersebut.

Vous aimerez peut-être aussi