Vous êtes sur la page 1sur 9

Pendekatan Konservatif versus Appendektomi Segera dalam

Manejemen Bedah Appendicitis Akut dengan Abses atau Flegmon

ABSTRAK
Latar Belakang: Manajemen bedah appendicitis akut dengan abses atau flegmon
appendiks masih controversial. Kami mempelajari hasil terapi konservatif inisial
(antibiotik dan drainase perkutan bila perlu, dengan atau tanpa appendektomi
interval) dibandingkan dengan operasi segera.
Metode: Kami melakukan studi kohort retrospektif, observasional pasien dengan
diagnosis klinis dan radiologis appendicitis akut dengan abses atau flegmon, yang
dirawat di rumah sakit kami antara Januari 1997 hingga Maret 2009. Pasien yang
berusia kurang dari 18 tahun, dengan sepsis berat atau dengan peritonitis difus
dieksklusi. Kelompok studi 15 pasien dengan appendicitis akut yang diperumit
dengan abses atau flegmon menjalani terapi konservatif. Kelompok kontrol terdiri
dari pasien lain, yang semuanya menjalani appendektomi segera, dengan tingkat usia
yang setara, lalu diacak 1:1. Stratifikasi resiko infeksi dibuat dengan indeks NNIS
(National Nosocomial Infections Surevillance System). Variabel dependennya berupa
lama rawat inap di RS dan infeksi tempat injeksi. Analisis dengan SPSS, dengan p <
0.05 dianggap signifikan.
Hasil: Appendektomi interval dilakukan pada 7 pasien kelompok studi. Episode
infeksi tempat injeksi lebih sering pada kelompok kontrol (6 vs. 0, p< 0.001).
Persentase yang lebih besar dari pasien beresiko tinggi (NNIS > 2) ditemukan pada
kelompok kontrol (80 vs. 28.7%, p < 0.03), sebagian besar berhubungan dengan
prosedur terkontaminasi atau kotor pada kelompok ini (p < 0.001). Tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antar kelompok yang ditemukan dalam lama rawat inap.
Kesimpulan: Terapi konservatif inisial harus dipertimbangkan sebagai pilihan terapi
terbaik untuk appendicitis akut dengan abses atau flegmon.
PENDAHULUAN
Appendicitis akut masih merupakan penyebab yang paling sering dari
abdomen akut pada pasien usia muda. Puncak insiden ini terjadi pada usia 20 dan 30
tahunan, dan sedikit dominan pada laki-laki dibandingkan perempuan. Meskipun
diagnosis klinisnya sederhana, dengan atau tanpa menggunakan skor, kemajuan
radiologis dan kemungkinan pendekatan laparoskopi, 20-30% kasus appendicitis
dilaporkan bergangren atau perforasi, akibat keterlambatan baik dalam meminta
pertolongan atau saat mendiagnosis, dengan menyebabkan peningkatan morbiditas
dan mortalitas. Selain itu, terkait dengan presentasi subklinis dan khususnya pada
pasien yang lebih tua, hingga 10% pasien terdiagnosis dengan massa appendiks.
Sejumlah studi telah mendukung pendekatan terapi konservatif inisial dengan
antibiotik untuk appendicitis akut dengan onset lambat dalam bentuk abses atau
flegmon, bersamaan dengan drainase perkutan bila perlu. Namun, juga terdapat bukti
untuk pendekatan bedah segera pada kondisi ini dalam hal keamanan dan efektivitas
biaya. Pada percobaan prospektif, terkontrol, acak, tidak terdapat indikasi jelas yang
tersedia mengenai keputusan terapi yang optimal untuk pasien tersebut. Kami
menyajikan studi yang dilakukan di rumah sakit universitas level tiga untuk
mengevaluasi 2 tipe terapi.

TUJUAN
Untuk mengevaluasi hasil terapi appendicitis akut dengan abses atau flegmon
appendiks: terapi konservatif inisial (antibiotik dan drainase perkutan bila perlu)
dengan atau tanpa appendektomi yang ditunda vs. terapi bedah segera.

BAHAN DAN METODE


Kami melakukan studi observasional analitik kohort retrospektif. Pasien, yang
memiliki diagnosis klinis dan radiologis (echografi dan/atau CT) appendicitis akut
dengan abses atau flegmon appendiks, ditangani dengan RS Universitas Daerah
“Carlos Haya”, Malaga, Spanyol (level tiga) antara Januari 1997 hingga Maret 2009.
Pasien yang dieksklusi: a) jika mereka pasien anak (dirawat di tempat lain); b)
mengalami sepsis berat, ditentukan menurut kriteria dokumen konsensus mengenai
infeksi intraabdominal (2 atau lebih kriteria SIRS (Systemic Inflammatory Response
Syndrome) dengan gagal organ. Sepsis pada kriteria keparahan (SIRS terkait dengan
fokus infeksi) tidak dianggap sebagai kriteria eksklusi; dan c) bukti klinis, radiologis
atau intraoperatif inisial adanya peritonitis difus. Kriteria tersebut dipenuhi oleh 15
pasien, yang membentuk kelompok studi dan yang diindikasikan untuk terapi
antibiotik konservatif, drainase perkutan abses periappendikuler (Gambar 1). Dokter
yang menentukan indikasinya. Kelompok kontrol dibentuk dari pasien lain yang
memenuhi kriteria inklusi dan yang menjalani appendektomi segera. Pasien tersebut
cocok secara usia dengan setiap pasien kelompok studi dan kemudian dipilih secara
acak 1:1. Pada kedua kelompok, bedah utama diputuskan pada tipe pendekatan untuk
appendektomi (terbuka atau laparoskopi). Variabel prediktif utama ialah tipe terapi
(konservatif inisial vs. appendektomi segera). Stratifikasi resiko infeksi ditentukan
menggunakan indeks NNIS (National Nosocomial Infections Surveillance System),
yang menunjukkan skor 0-3 dianggap resiko anestesi menurut ASA (American
Society of Anesthesiologists), waktu operasi (khususnya ditentukan untuk setiap
prosedur operasi oleh CDC (Centers of Disease Control and Prevention) dan
ditentukan 1 jam untuk appendektomi) dan klasifikasi waktu operasi menurut NRC
(National Research Council). Satu poin dikurangi dari nilai yang dihasilkan dalam
hal pendekatan laparoskopi. Analisis keseluruhan dan individu dilakukan dengan item
komponen skor untuk menentukan variabilitas antar kelompok. Variabel yang
dihasilkan ialah keseluruhan lama rawat inap (termasuk pendaftaran kedua untuk
pasien kelompok studi dalam hal appendektomi yang ditunda) dan morbiditas terkait,
berfokus terutama pada SSI/Surgical Site Infection (infeksi tempat operasi), yang
didefinisikan sesuai dengan standar CDC, dengan follow-up per pasien hari ke-30
untuk mendeteksi episode infeksi setelah keluar dari rumah sakit.
Analisis Statistik
Analisis statistik dilakukan dengan SPSS, menerapkan uji χ2 (dengan koreksi
Yates dan uji Fisher) dan uji t Student atau Mann Whitney U sesuai dengan
karakteristik variabel studi dan kondisi aplikabilitas. Signifikan statistik diatur pada p
< 0.05.

HASIL
Median usia kedua kelompok 35 tahun. Selain variabel ini (yang digunakan
untuk penyesuaian), kedua kelompok serupa dalam hal usia, waktu perkembangan,
indeks resiko anestesi ASA dan adanya sepsis (Tabel 1). Tidak ada pasien yang mati
terkait episode pada kedua pasien.
Tabel II menunjukkan hasil mengenai hal terkait pemilihan terapi, morbiditas,
dan lama rawat inap. Median lama rawat inap untuk pasien kelompok studi 10 hari
(berkisar, 4 – 18) untuk terapi antibiotik parenteral. Tujuh pasien (46.6%) mengalami
abses periapendikuler, dengan entitas klinis dan akses yang cukup untuk melakukan
drainase perkutan pada seluruh kasus. Terapi konservatif inisial berhasil pada seluruh
kasus, tidak ada yang memerlukan operasi segera selama pendaftaran pertama. Lalu,
7 pasien (46.6%) menjalani appendektomi yang ditunda. Pada 5 dari 7 pasien
tersebut, indikasi didasarkan pada kekambuhan simptomatik (33.3% dari keseluruhan
kelompok studi) dalam bentuk episode nyeri fossa iliaca kanan dan demam self-
limited yang dilaporkan selama kunjungan follow-up. Episode tersebut membuat
alasan kembali rawat inap pada 2 pasien, dengan diagnosis radiologis kekambuhan
proses inflamasi appendiks yang memerlukan appendektomi selama kembali rawat
inap, meskipun disertai pemberian antibiotik. Satu pasien didiagnosis
adenokarsinoma sekum dengan kolonoskopi selama kunjungan follow-up; pasien ini
menjalani hemikholektomi onkologis kanan elektif 1 bulan setelah pendaftaran
pertama. Sisa 2 dari 7 pasien tersebut memerlukan appendektomi elektif akibat
fekalith intraluminal berdasarkan temuan radiologis. Tidak ada hubungan yang
terlihat antara tipe presentasi inisial (abses atau flegmon) dan keperluan
appendektomi ditunda (p < 0.4). Median interval antara pendaftaran pertama dan
appendektomi elektif 12 minggu (kisaran, 4 – 36), dan dilakukan via laparoskopi
pada 3 pasien (42.9%). Tidak ada pasien kelompok studi yang mengalami SSI.
Pada kelompok kontrol, abses periapendikuler dideteksi secara intraoperatif
pada 9 pasien (60%). Pendekatan laparoskopik hanya dilengkapi pada 2 prosedur
(13.3%). Persentase SSI di kelompok kontrol setelah appendektomi segera di inisial
sebesar 40% (6 episode: 3 superficial, 2 dalam, 1 organ/rongga).
Stratifikasi resiko infeksi menurut indeks NNIS menunjukkan keunggulan
yang jelas pada persentase pasien dengan NNIS resiko tinggi (> 2) di kelompok
kontrol dibandingkan dengan kelompok studi (80 vs. 28.6%, p < 0.03). Analisis
individual item komponen tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antar
kelompok terkait dengan ASA (p < 0.5) atau waktu operasi (p < 0.91). Namun,
perbedaan yang jelas ditemukan mengenai tipe prosedur menurut klasifikasi NRC:
operasi dengan karakter terkontaminasi atau kotor ditemukan pada seluruh
appendektomi kelompok kontrol tetapi hanya pada 2 dari 7 prosedur operasi yang
dilakukan pada kelompok studi, dengan hubungan statistik yang jelas (p < 0.001).
Keseluruhan lama rawat inap (meliputi lama rawat inap terkait dengan
appendektomi ditunda pada kelompok studi) tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan antara kedua kelompok (p < 0.16).

PEMBAHASAN
Kurangnya bukti menjelaskan berlanjutnya debat mengenai pendekatan terapi
yang ideal untuk appendicitis komplikata. Argumen utama terhadap pendekatan
konservatif inisial didasarkan pada kekambuhan gejala yang potensial dan masuk
rawat inap kembali dengan peningkatan keseluruhan lama rawat inap di rumah sakit,
dalam kesempatan untuk menyingkirkan keganasan yang mendasari, serta aman dan
efektif.
Sejumlah studi telah menunjukkan bahwa kekambuhan yang rendah setelah
terapi konservatif pada pasien dengan massa appendiks dan kebutuhan appendektomi
ditunda yang tidak harus generalisata, hanya diindikasikan berdasarkan
perkembangan penyakit. Pada studi kami, namun, angka kekambuhan gejala setelah
terapi konservatif inisial lebih tinggi. Temuan ini, dari sampel pasien yang sedikit,
tidak dapat diinterpretasi sebagai indikatif untuk appendektomi sistematik yang
ditunda tetapi lebih kepada indikasi untuk follow-up dan pemantauan pasien dengan
terapi konservatif setelah keluar dari rumah sakit. Temuan dari studi yang kami
lakukan, namun, menunjukkan keperluan untuk memprioritaskan pemrograman
appendektomi ditunda pada pasien yang terindikasi (kekambuhan simptomatik)
sebagai ukuran untuk mencegah serangan inflamasi selanjutnya.
Adanya keganasan terkait tidak biasa terjadi, dengan tinjauan sistematis
menunjukkan angka sekitar 1.2% dan pasien berusia lebih dari 40 tahun berada pada
resiko tinggi. Presentasi inflamasi penyakit neoplastik appendiks juga digambarkan
dengan jelas pada studi kami. Memenuhi dasar pikiran diagnosis yang ketat pada
pasien beresiko, penyakit ini dapat dideteksi dan terapi yang tepat dapat dimulai
dalam periode yang ditentukan tanpa mempengaruhi keamanan pasien.
Perbedaan yang paling bermakna antara kedua tipe terapi terkait morbiditas
dalam bentuk SSI post-appendektomi. Pada studi kami, gambaran SSI post-
appendektomi berhubungan dengan appendektomi segera sebagai terapi inisial
(kelompok kontrol) lebih baik dibandingkan appendektomi elektif setelah terapi
antibiotik konservatif. Menurut bukti, persentase keberhasilan klinis dan radiologis
terapi konservatif cukup tinggi (angka kegagalan sekitar 7.2%) sedangkan morbiditas
yang terkait dengan pendekatan operasi inisial 3 kali lebih tinggi, terutama terkait
dengan SSI. Kapasitas prediktif resiko SSI indeks NNIS bahkan lebih jelas, dengan
mengkualifikasi presentase yang lebih tinggi dari pasien beresiko tinggi infeksi pada
kelompok kontrol, dan melakukannya dengan komponen skor terkait dengan tipe
operasi berdasarkan klasifikasi NRC. Temuan intraoperatif pada kasus-kasus operasi
segera tersebut untuk appendicitis akut komplikata sering menguatkan kualifikasi ini.
Pembacaan sederhana terdiri dari, menyatakan bahwa dengan terapi konservatif
inisial appendicitis komplikata akut, persentase SSI post-appendektomi lebih rendah,
karena mengkonversi appendektomi segera (yang operasinya lebih mungkin
terkontaminasi atau kotor) menjadi appendektomi ditunda yang lebih sering
berpotensi menjadi operasi yang terkontaminasi, tidak bergantung pada pilihan
pendekatan terbuka maupun laparoskopik.
Meskipun tidak benar-benar fokus studi, 2 pertanyaan muncul mengenai
aplikabilitas, keuntungan dan kerugian laparoskopi untuk appendicitis komplikata
akut, baik untuk appendektomi ditunda (setelah terapi konservatif inisial, bila
terindikasi) dan untuk appendektomi segera. Kekhawatiran apapun mengenai apakah
manajemen konservatif inisial menghasilkan aplikabilitas yang lebih baik dari
pendekatan laparoskopik untuk appendektomi. Sementara data kami menunjuk ini
sebagai kasus, hasilnya dapat dipertimbangkan dengan hati-hati mengingat
konfirmasi progresif potensi laparoskopi pada seluruh tipe appendektomi, bahkan
yang dilakukan pada kasus komplikata. Perbedaan yang ditemukan pada studi kami
terkait dengan besar sampel yang sedikit dan lama perekrutan yang lama, dengan
penggabungan yang progresif dari pendekatan laparoskopik terhadap terapi yang ada,
sehingga perbedaan antara kedua kelompok dalam hal pendekatan operasi tidak ada
lagi. Kami menerima bahwa terdapat keterbatasan yang mengganggu di samping
hasil yang dicapai.
Pertanyaan selanjutnya, lebih dekat dengan fokus studi, adalah apakah
generalisasi dan difusi pendekatan laparoskopik akan berkontribusi terhadap kontrol
gambaran SSI yang tinggi yang dilaporkan untuk appendektomi segera akibat
appendicitis komplikata akut. Jika hal ini terbukti benar , appendektomi segera via
laparoskopi akan menjadi standar emas untuk terapi penyakit ini, bahkan
kemungkinan akan menjatuhkan terapi konservatif inisial. Tinjauan sistematis, seperti
milik Sauerland atau Bennett, menunjukkan peningkatan infeksi organ/rongga dengan
laparoskopi untuk appendektomi, terutama pada tahap lanjut penyakit peradanga
appendiks. Seri terbaru telah mengkonfirmasi persistensi masalah ini terkait dengan
appendektomi laparoskopik. Sehingga, meskipun pendekatan laparoskopik
mengurangi angka infeksi parietal (superficial dan dalam), keseluruhan angka SSI
yang diperoleh dengan pendekatan terbuka dan laparoskopik (selalu dalam konteks
klinis appendicitis komplikata akut) akan serupa dalam hal jumlah yang lebih tinggi
dari infeksi organ/rongga (yang memiliki kesulitan terapeutik intrinsik dan reperkusi
yang lebih penting) yang akan menjadi hal yang mahal untuk dibayar. Apapun
kasusnya, studi lebih lanjut diperlukan untuk khususnya menjawab pertanyaan ini.
Pada akhirnya, terkait dengan lama rawat inap di rumah sakit, bahkan
mempertimbangkan lama rawat inap terkait dengan appendektomi ditunda pada
kelompok studi, kami tidak menemukan perbedaan yang signikan antara kedua
pendekatan terapi. Homogenitas lama rawat inap terkait dengan fakta bahwa,
meskipun terapi konservatif inisial dapat berarti kebutuhan untuk kembali masuk
rawat inap karena serangan inflamasi selanjutnya atau karena appendektomi elektif,
appendektomi segera terkait dengan angka SSI post-operatif yang tinggi, yang
memperpanjang lama rawat inap untuk alasan terapeutik. Sehingga tidak tampak
adanya perbedaan yang jelas pada keseluruhan rawat inap berkenaan dengan
pendekatan konservatif inisial untuk appendicitis komplikata akut.
Dengan tidak adanya studi prospektif dengan sejumlah besar pasien, dan
mengingat kesulitan randomisasi saat menerapkan terapi, satu-satunya bukti yang
tersedia berasal dari ulasan dan meta-analisis retrospektif studi dengan seri kecil.
Maka dari itu, tidak terdapat cukup bukti yang tersedia untuk menentukan terapi yang
optimal untuk appendicitis komplikata akut. Dari temuan studi ini dan data lain yang
tersedia, terapi konservatif dapat dianggap aman, dengan angka kekambuhan
simptomatik yang rendah, dengan insidensi terkait dengan gangguan neoplastik yang
minimal yang dengan mudah dapat dideteksi. Pemilihan pasien yang tepat (tidak
adanya peritonitis atau sepsis berat) merupakan kondisi sine qua non untuk
keberhasilan pendekatan terapi ini. Morbiditas (terutama dalam bentuk SSI) terkait
dengan appendektomi segera cukup penting dan lebih tinggi dari yang terkait dengan
terapi konservatif dan appendektomi ditunda. Data yang relevan menunjukkan bahwa
generalisasi pendekatan laparoskopik tidak akan berkontribusi untuk menyamakan
angka SSI antara kedua tipe terapi, meskipun studi konfirmasi diperlukan. Hal ini
kemudian akan terlihat untuk merekomendasikan terapi antibiotik konservatif,
dengan atau tanpa drainase perkutan, sebagai pilihan untuk appendicitis komplikata
akut dengan abses atau flegmon, dengan appendektomi ditunda yang tersedia untuk
kasus persistensi maupun kekambuhan simptomatik.

Vous aimerez peut-être aussi