Vous êtes sur la page 1sur 21

Diagnosis dan Penatalaksanaan Meningitis Tuberkulosis

Yakin Arung Padang


102016028
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta, Indonesia
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 1151
Email: yakin.2016fk028@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak

Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen) yang disebabkan
oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Secara histologik meningitis tuberkulosis merupakan
meningo-ensefalitis (tuberculosa) dimana terjadi invasi ke selaput dan jaringan susunan saraf
pusat. Penyakit ini merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit
tuberkulosis paru. Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara limfogen dan
hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti perikardium, usus, kulit, tulang, sendi,
dan selaput otak. Dibandingkan dengan jenis-jenis tuberkulosa lain, meningitis tuberkulosis paling
banyak menyebabkan kematian. Jumlah penderita meningitis tuberkulosis kurang lebih sebanding
dengan prevalensi infeksi oleh mycobacterium tuberculosis pada umumnya.

Kata kunci: Meningitis tuberculosis, meningen, mycobacterium tuberculosis

Abstract

Meningitis tuberculosa is inflammation of the membranes the brain (meningen) caused by the
bacterium mycobacterium tuberculosis. In histologik meningitis tuberculosa is meningo-
ensefalitis (tuberculosa) where happened his invasion of membranes and tissues the arrangement
of central nervous. This disease is one form of complication often occurs in disease pulmonary
tuberculosis. Infection primary appear in the lungs and can spread in limfogen and hematogen to
various areas of the body outside pulmonary, as the pericardium, the intestines, the skin, bone,
joints, and the membranes of the brain. Compared with the types of tuberculosa other, meningitis
tuberculosa the most causing death. There meningitis tuberculosa more or less in proportion to
prevalence of infection by mycobacterium tuberculosis in general.

Keywords: Meningitis tuberculosa, meningen, mycobacterium tuberculosis


Pendahuluan
Meningitis merupakan inflamasi pada selaput otak yang mengenai lapisan piamater dan
ruang subarakhnoid maupun arakhnoid, dan termasuk cairan serebrospinal (CSS). Peradangan
yang terjadi pada meningen, yaitu membran atau selaput yang melapisi otak dan medulla spinalis,
dapat disebabkan organisme seperti virus, bakteri, ataupun jamur yang menyebar masuk kedalam
darah dan berpindah kedalam cairan otak.1
Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan
otak, yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa adalah radang selaput
otak arakhnoid dan piamater yang disertai cairan otak yang jernih, penyebab tersering adalah
Mycobacterium tuberculosa, penyebab lainnya seperti virus, Toxoplasma gondhii, dan Ricketsia.1
Sedangkan meningitis purulenta adalah radang bernanah pada selaput otak, penyebabnya
antara lain, Diplococcus pneumonia (pneumokok), Neisseria meningitidis (meningokok),
Streptococcus haemolyticus group A, Staphylococcus aureus, Haemophillus influenzae,
Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, dan Pseudomonas aeruginosa.1
Meningitis tuberkulosa merupakan salah satu manifestasi klinis TB diluar paru, yaitu di
sususan saraf pusat (SSP). Dibandingan dengan jenis-jenis tuberkulosis yang lain, meningitis
tuberkulosa paling banyak menyebabkan kematian. Jumlah penderita meningitis tuberkulosa
kurang lebih sebanding dengan prevalensi infeksi oleh Mycobacterium tuberculosa pada
umumnya. Dibandingkan dengan meningitis bakterial akut, maka perjalanan penyakit lebih lama
dan perubahan atau kelainan dalam CSS tidak begitu hebat.1,2

Anamnesis
Dalam setiap pemeriksaan anamnesis harus selalu dilakukan dengan benar, karena hal ini
sangat membantu dalam membuat suatu diagnosis dan juga langkah terapi yang akan dilakukan.
Beberapa hal yang perlu ditanyakan dalam anamnesis adalah: (1) identitas pasien; (2) keluhan
utama, pada kelainan sistem saraf bisa menimbulkan berbagai macam gejala diantaranya nyeri
kepala, kejang, pingsan/ gerakan aneh, pening/ vertigo, masalah penglihatan, kelainan
penciuman/pengecapan, kesulitan berbicara, masalah menelan, kesulitan berjalan, ekstremitas
lemah, gangguan sensoris, nyeri, gerakan involunter/ tremor, masalah pengendalian sfingter
(buang air kecil/besar) dan gangguan fungsi mental luhur, seperti bingung atau perubahan
kepribadian; (3) keluhan penyerta, pertimbangkan gejala peningkatan tekanan intrakranial (nyeri
kepala yang diperberat saat mengejan, batuk, bangun di pagi hari, dan gangguan penglihatan).
Adakah gejala neurologis sebelumnya seperti gangguan penglihatan, kelemahan, atau mati rasa;
(4) riwayat penyakit dahulu, yang berkaitan dengan hal ini adalah riwayat gangguan neurologis,
riwayat penyakit sistemik khususnya kelainan kardiovaskular (stroke adalah penyebab defisit
neurologis yang paling umum), dan yang terpenting riwayat penyakit TBC; (5) riwayat
pengobatan, pertimbangan terapi gangguan neurologis dan pengobatan yang mungkin merupakan
penyebab timbulnya gejala; (6) riwayat keluarga, yang berkaitan adalah riwayat gangguan
neurologis dalam keluarga terdapat banyak kelainan neurologis penting yang diturunkan, misalnya
korea Huntington dan riwayat penyakit TBC pada keluarga dan kontak dalam keluarga; (7) dan
riwayat pribadi sosial, ketidakmampuan apa saja yang dimiliki pasien, mengapa pasien tidak dapat
melakukan apa yang ingin ia lakukan, apakah pasien menggunakan alat bantu untuk bergerak dan
bantuan apa saja yang didapat oleh pasien.3,4

Pemeriksaan Fisik
Tujuan utama pemeriksaan fisik saraf adalah mengungkapkan dan menjelaskan defisit
fungsi, dan untuk menjelaskan kemungkinan lokasi anatomis dari lesi. Apakah masalah
disebabkan oleh lesi pada otak, sumsum tulang belakang, saraf perifer, atau otot. Berikut beberapa
hal yang perlu di periksa, yaitu: (1) Keadaan umum, pemeriksaan keadaan umum meliputi kesan
umum dari inspeksi seluruh tubuh, misal menurunnya kesadaran, bentuk kepala yang terlalu besar
atau terlalu kecil, edema generalisata, nampak sakit dan gelisah, dan sebagainya. Pemeriksaan
umum terutama pemeriksaan tanda-tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, frekuensi pernapasan,
suhu), sistem kardiopulmoner, sistem gastrointestinal, urogenital, anggota gerak, leher, kepala, dan
muka; (2) Tingkat kesadaran, pemeriksaan tingkat kesadaran yang sekarang dipakai adalah skala
dari Glasgow (Glasgow coma scale) yang lebih praktis karena patokan/kriteria yang lebih jelas
dan sistematik, dibandingkan dengan cara lama seperti apatis, somnolen, stupor, sopor, dan koma.
Pada setiap pasien dengan gangguan kesadaran, maka ada 4 hal yang perlu diperiksa selain tingkat
kesadaran1,2, yaitu:
a. Tingkat kesadaran
b. Mata, yang meliputi pupil (refleks cahaya, anisokoria), gerakan bola mata (gerakan
konjugasi bola mata), berguna untuk menentukan kelainan neurologis atau metabolik.
c. Respirasi yang dikaitkan dengan lokalisasi lesi di otak dan berhubungan dengan beratnya
gangguan tingkat kesadaran.
d. Respons motorik terhadap ransangan nyeri. Adanya gerakan motorik terhadap ransangan
nyeri (menjauhi ransang tersebut) menunjukkan fungsi spino-thalamo-cortical (sensory
ascending pathway) dan tractus cortico-spinalis (tractus piramidalis) yang masih baik,
sedangkan tidak adanya gerakan motorik pada salah satu anggota gerak tetapi menunjukkan
“grimacing” (meringis) sewaktu diberikan rangsangan nyeri menunjukkan adanya disfungsi
tractus cortico-spinalis tanpa disfungsi daripada sensory ascending pathway.4,5
Cara pemeriksaan skala dari Glasgow (Glasgow coma scale, GCS), didasarkan pada respon
dari mata, pembicaraan, dan motorik. Dimana masing-masing mempunyai nilai/score tertentu,
mulai dari yang paling baik (normal) sampai dengan yang paling jelek. Jumlah/total scoring paling
jelek adalah 3, sedangkan yang paling baik (normal) adalah 15. Perhatikan tabel 1.
Tabel 1. Glasgow Coma Scale
Score

1. Eye open
 spontan membuka mata 4
 terhadap suara membuka mata 3
 terhadap nyeri membuka mata 2
 menutup mata terhadap segala jenis rangsang 1

2. Verbal response
 Berorientasi baik 5
 Bingung (bisa membentuk kalimat tapi arti keseluruhan kacau) 4
 Bisa membentuk kata tapi tidak mampu mengucapkan suatu 3
kalimat
 Bisa mengeluarkan suara yang tidak punya arti (groaning) 2

 Suara tidak ada 1

3. Motoric response
 Menurut perintah 6
 Dapat melokalisir ransangan sensorik di kulit (raba) 5
 Menolak ransangan nyeri pada anggota gerak (withdrawal) 4
 Menjauhi ransangan nyeri (fleksi) 3
 Ekstensi spontan 2
 Tidak ada gerakan 1

(3) Pemeriksaan tanda rangsangan meningeal, pada pemeriksaan ini terdiri atas 4 jenis
pemeriksaan yaitu:
a. Kaku kuduk
Pasien tidur telentang tanpa bantal. Tangan pemeriksa ditempatkan dibawah kepala pasien
yang sedang berbaring, kemudian kepala ditekukan (fleksi) dan diusahakan agar dagu
mencapai dada. Selama penekukan diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk
kita dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk dapat bersifat
ringan atau berat. Hasil pemeriksaan:
 Leher dapat bergerak dengan mudah, dagu dapat menyentuh sternum, atau fleksi leher 
normal/kaku kuduk negatif.
 Adanya rigiditas leher dan keterbatasan gerakan fleksi leher  kaku kuduk positif.3
b. Brudzinski
Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang ditempatkan dibawah kepala
pasien yang sedang berbaring, tangan pemeriksa yang satu lagi sebaiknya ditempatkan
didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien difleksikan
sehingga dagu menyentuh dada. Pada hasil Pemeriksaan, test ini positif bila gerakan fleksi
kepala disusul dengan gerakan fleksi di sendi lutut dan panggul kedua tungkai secara
reflektorik.3 Perhatikan gambar 1.

Gambar 1. Pemeriksaan Brudzinski’s Sign (sumber:


http://www.adamimages.com/Illustration/SearchResult/1/brudzinski's%20sign)
c. Kernig
Pada pemeriksaan ini , pasien yang sedang berbaring difleksikan pahanya pada persendian
panggul sampai membuat sudut 90 derajat. Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada
persendian lutut sampai membentuk sudut lebih dari 135 derajat terhadap paha. Bila
teradapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari sudut 135 derajat, maka dikatakan
kernig sign positif.3 Perhatikan gambar 2.

Gambar 2. Pemeriksaan Kernig’s Sign (sumber:


http://www.adamimages.com/Illustration/SearchResult/1/kernig's%20sign)

d. Laseque
Pasien berbaring terlentang. Angkat satu tungkai pasien dengan fleksi di sendi panggul
sampai membentuk sudut 70 derajat, sedangkan tungkai lain dalam keadaan lurus. Bila
teradapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari sudut 70 derajat, maka dikatakan
laseque sign positif.3

(4) Pemeriksaan nervi kranialis, pada pemeriksaan ini dilakukan pemeriksaan pada beberapa
nervus yang terkait yaitu:
a. Pemeriksaan nervus III, IV, dan VI
Fungsi N III (okulomotorius), IV (troklearis), VI (abdusen) saling berkaitan dan diperiksa
bersama-sama. Fungsinya ialah menggerakkan otot mata ekstraokuler dan mengangkat
kelopak mata. Serabut otonom N III mengatur otot pupil.
b. Pemeriksaan nervus VII
Pemeriksaan fungsi motorik N.Fasialis, dalam hal ini untuk mengetahui interpretasi fungsi
motorik
c. Pemeriksaan nervus XII
Pemeriksaan N. Hipoglosus dengan adanya gangguan pergerakan lidah, maka perkataan
perkataan tidak dapat diucapkan dengan baik (cadel/pelo) hal demikian disebut disarthri.
Dalam keadaan diam lidah tidak simetris, biasanya tergeser ke daerah lumpuh karena tonus
disini menurun.3,4

(5) Pemeriksaan refleks fisiologis, pada pemeriksaan ini dilakukan pada beberapa lokasi yaitu:
pemeriksaan Reflex Biseps dan triseps, pemeriksaan Refleks pada patella dan achiles.3,4

(6) Pemeriksaan refleks patologis, refleks patologis merupakan respon yang tidak umum dijumpai
pada individu normal. Refleks patologis pada ekstemitas bawah lebih konstan, lebih mudah
muncul, lebih reliabel dan lebih mempunyai korelasi secara klinis dibandingkan pada ekstremitas
atas. Adapun pemeriksaan refleks patologis yaitu:
a. Refleks Klonus kaki
Pemeriksa menyanggah lutut pasien pada posisi fleksi ringan. Lalu dengan tangan yang lain
lakukan dorsofleksi tiba-tiba dan pertahankan beberapa saat.
b. Babinsky sign
Pemeriksa menggores bagian lateral telapak kaki dengan ujung palu refleks. Hasil positif
bila dorsofleksi ibu jari kaki disertai plantarfleksi dan gerakan melebar jari-jari lainnya.
Intepretasi: normal (-).3,4

Pemeriksaan Penunjang

Pengambilan cairan serebrospinal


Pengambilan cairan serebrospinal dapat dilakukan dengan cara Lumbal Punksi, Sisternal
Punksi, atau Lateral Cervical Punksi. Lumbal Punksi merupakan prosedur neuro diagnostik yang
paling sering dilakukan, sedangkan sisternal punksi dan lateral cervical punksi hanya dilakukan
oleh orang yang benar-benar ahli. Indikasi Lumbal Punksi: (1) Untuk mengetahui tekanan dan
mengambil sampel untuk pemeriksaan sel, kimia, dan bakteriologi; (2) Untuk membantu
pengobatan melalui spinal, pemberian antibiotik, anti tumor, dan spinal anastesi; (3) Untuk
membantu diagnosis dengan penyuntikan udara pada pneumoencephalografi, dan zat kontras pada
myelografi.1,2
Dengan kontra indikasi Lumbal Pungsi: (1) Ada peninggian tekanan intrakranial dengan
tanda-tanda nyeri kepala, muntah dan papil edema; (2) Penyakit kardiopulmonal yang berat; (3)
Ada infeksi lokal pada tempat Lumbal Punksi.1,2
Keadaan normal dan beberapa kelainan cairan serebrospinal dapat diketahui dengan
memperhatikan:
a. Warna
Normal cairan serebrospinal warnanya jernih dan patologis bila berwarna kuning,
santokhrom, cucian daging, purulenta atau keruh. Warna kuning muncul dari protein.
Peningkatan protein yang penting dan bermakna dalam perubahan warna adalah bila lebih
dari 1 g/L. Cairan serebrospinal berwarna pink berasal dari darah dengan jumlah sel darah
merah lebih dari 500 sdm/cm3. Sel darah merah yang utuh akan memberikan warna merah
segar. Eritrosit akan lisis dalam satu jam dan akan memberikan warna cucian daging di
dalam cairan serebrospinal. Cairan serebrospinal tampak purulenta bila jumlah leukosit
lebih dari 1000 sel/ml.6
b. Tekanan
Tekanan CSS diatur oleh hasil kali dari kecepatan pembentukan cairan dan tahanan terhadap
absorpsi melalui villi arakhnoid. Bila salah satu dari keduanya naik, maka tekanan naik, bila
salah satu dari keduanya turun, maka tekanannya turun. Tekanan CSS tergantung pada
posisi, bila posisi berbaring maka tekanan normal cairan serebrospinal antara 8-20 cmH2O
pada daerah lumbal, siterna magna dan ventrikel, sedangkan jika penderita duduk tekanan
cairan serebrospinal akan meningkat 10-30 cmH2O. Kalau tidak ada sumbatan pada ruang
subarakhnoid, maka perubahan tekanan hidrostastik akan ditransmisikan melalui ruang
serebrospinalis. Pada pengukuran dengan manometer, normal tekanan akan sedikit naik
pada perubahan nadi dan respirasi, juga akan berubah pada penekanan abdomen dan waktu
batuk. Kegagalan sirkulasi normal CSS dapat menyebabkan pelebaran vena dan
hidrocephalus. Keadaan ini sering dibagi menjadi hidrosefalus komunikans dan hidrosefalus
obstruktif. Pada hidrosefalus komunikans terjadi gangguan reabsorpsi CSS, dimana
sirkulasi CSS dari ventrikel ke ruang subarachnoid tidak terganggu, kelainan ini bisa
disebabkan oleh adanya infeksi, perdarahan subarakhnoid, trombosis sinus sagitalis
superior, keadaan-keadaan dimana.6
c. Viskositas CSS meningkat dan produksi CSS yang meningkat.
Hidrosefalus obstruktif terjadi akibat adanya ganguan aliran CSS dalam sistim ventrikel
atau pada jalan keluar ke ruang subarakhnoid. Kelainan ini dapat disebabkan stenosis
aquaduktus serebri, atau penekanan suatu masa terhadap foramen Luschka for Magendi
ventrikel IV, aquaduktus Sylvi dan foramen Monroe. Kelainan tersebut bisa berupa kelainan
bawaan atau didapat.6
d. Jumlah sel
Jumlah sel leukosit normal tertinggi 4-5 sel/mm3, dan mungkin hanya terdapat 1 sel
polimorfonuklear saja. Sel leukosit jumlahnya akan meningkat pada proses inflamasi.
Perhitungan jumlah sel harus sesegera mungkin dilakukan, jangan lebih dari 30 menit
setelah dilakukan lumbal punksi. Bila tertunda maka sel akan mengalami lisis, pengendapan
dan terbentuk fibrin. Keadaaan ini akan merubah jumlah sel secara bermakna. Leukositosis
ringan antara 5-20 sel/mm3 adalah abnormal tetapi tidak spesifik. Pada meningitis bakterial
akut akan cenderung memberikan respon perubahan sel yang lebih besar terhadap
peradangan dibanding dengan yang meningitis aseptik. Pada meningitis bakterial biasanya
jumlah sel lebih dari 1000 sel/mm3, sedang pada meningitis aseptik jarang jumlah selnya
tinggi. Jika jumlah sel meningkat secara berlebihan (5000-10000 sel /mm3), kemungkinan
telah terjadi rupture dari abses serebri atau perimeningeal perlu dipertimbangkan. Perbedaan
jumlah sel memberikan petunjuk ke arah penyebab peradangan. Monositosis tampak pada
inflamasi kronik oleh L. monocytogenes. Eosinophil relatif jarang ditemukan dan akan
tampak pada infeksi cacing dan penyakit parasit lainnya termasuk Cysticercosis, juga
meningitis tuberkulosis, neurosiphilis, lympoma susunan saraf pusat, reaksi tubuh terhadap
benda asing.6
e. Glukosa
Normal kadar glukosa berkisar 45-80 mg%. Kadar glukosa cairan serebrospinal sangat
bervariasi di dalam susunan saraf pusat, kadarnya makin menurun dari mulai tempat
pembuatannya di ventrikel, sisterna dan ruang subarakhnoid lumbal. Rasio normal kadar
glukosa cairan serebrospinal lumbal dibandingkan kadar glukosa serum adalah >0,6.
Perpindahan glukosa dari darah ke cairan serebrospinal secara difusi difasilitasi transportasi
membran. Bila kadar glukosa cairan serebrospinalis rendah, pada keadaan hipoglikemia,
rasio kadar glukosa cairan serebrospinalis, glukosa serum tetap terpelihara.
Hypoglicorrhacia menunjukkan penurunan rasio kadar glukosa cairan serebrospinal,
glukosa serum, keadaan ini ditemukan pada derajat yang bervariasi, dan paling umum pada
proses inflamasi bakteri akut, tuberkulosis, jamur dan meningitis oleh carcinoma.
Penurunan kadar glukosa ringan sering juga ditemukan pada meningitis sarcoidosis, infeksi
parasit misalnya, cysticercosis dan trichinosis atau meningitis zat khemikal. Inflamasi
pembuluh darah semacam lupus serebral atau meningitis rhematoid mungkin juga
ditemukan kadar glukosa cairan serebrospinal yang rendah. Meningitis viral, mumps,
limphostic khoriomeningitis atau herpes simplek dapat menurunkan kadar glukosa ringan
sampai sedang.6
f. Protein
Kadar protein normal cairan serebrospinal pada ventrikel adalah 5-15 mg%. Pada sisterna
10-25 mg% dan pada daerah lumbal adalah 15-45 mg%. Kadar gamma globulin normal 5-
15 mg% dari total protein. Kadar protein lebih dari 150 mg% akan menyebabkan cairan
serebrospinal berwarna xantokrom, pada peningkatan kadar protein yang ekstrim lebih dari
1,5 gr% akan menyebabkan pada permukaan tampak sarang laba-laba (pellicle) atau bekuan
yang menunjukkan tingginya kadar fibrinogen. Kadar protein cairan serebrospinal akan
meningkat oleh karena hilangnya sawar darah otak (blood brain barrier), reabsorbsi yang
lambat atau peningkatan sintesis immunoglobulin lokal. Perubahan kadar protein di cairan
serebrospinal bersifat umum tapi bermakna sedikit, bila dinilai sendirian akan memberikan
sedikit nilai diagnostik pada infeksi susunan saraf pusat.6
g. Elektrolit
Kadar elektrolit normal CSS adalah Na 141-150 mEq/L, K 2,2-3,3 mRq, Cl 120-130 mEq/L,
Mg 2,7 mEq/L. Kadar elektrolit ini dalam cairan serebrospinal tidak menunjukkan
perubahan pada kelainan neurologis, hanya terdapat penurunan kadar Cl pada meningitis
tapi tidak spesifik.6
h. Osmolaritas
Terdapat osmolaritas yang sama antara CSS dan darah (299 mosmol/L). Bila terdapat
perubahan osmolaritas darah akan diikuti perubahan osmolaritas CSS.6
i. pH
Keseimbangan asam basa harus dipertimbangkan pada metabolik asidosis dan metabolik
alkalosis. pH cairan serebrospinal lebih rendah dari pH darah, sedangkan PCO2 lebih tinggi
pada cairan serebrospinal. Kadar HCO3 adalah sama (23 mEg/L). pH CSS relatif tidak
berubah bila metabolik asidosis terjadi secara subakut atau kronik, dan akan berubah bila
metabolik asidosis atau alkalosis terjadi secara cepat.6
Pemeriksaan lumbal punksi pada meningitis TB memperlihatkan CSS yang jernih, kadang-
kadang sedikit keruh atau ground glass appearance. Bila CSS didiamkan maka akan terjadi
pengendapan fibrin yang halus seperti sarang laba-laba. Jumlah sel antara 10-500/ml dan
kebanyakan limfosit. Kadang-kadang oleh reaksi tuberculin yang hebat terdapat peningkatan
jumlah sel, lebih dari 1000/ml. Kadar glukosa rendah, antara 20-40 mg%, kadar Cl dibawah 600
mg%. CSS dan endapan sarang laba-laba dapat diperiksa untuk pembiakan atau kultur menurut
pewarnaan Ziehl-Nielsen.7 Perhatikan tabel 2.
Tabel 2. Perbedaan Pemeriksaan Lumbal Punksi

Makroskopik White Blood Cell Protein Glukosa

Meningitis Purulen, kuning 25-10000, 50-1500 0-45


bakterial muda, bekuan
terutama PMN
lunak

Meningitis Jernih 10-1000, Meningkat Normal


virus
terutama MN

Meningitis TB Kuning muda, 10-1000, 45-500 10-45


bekuan lunak
terutama MN

Pemeriksaan radiologi
Pada pemeriksaan foto toraks dapat menunjukkan adanya gambaran tuberkulosis.
Gambaran radiologis paru yang biasanya dijumpai pada tuberkulosis paru ialah: Komplek primer
dengan atau tanpa perkapuran, bisa berupa penyebaran milier atau bronkogen, atelectasis dan
pleuritis dengan efusi.7
CT-scan kepala, dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di daerah basal, serta
adanya dan luasnya hidrosefalus. Hasil pemeriksaan CT-scan dan MRI pada pasien meningitis TB
adalah normal pada awal penyakit. Seiring berkembangnya penyakit, gambaran sering ditemukan
adanya enhancement di daerah basal, tampak hidrosefalus komunikans yang disertai tanda-tanda
edema otak atau iskemia fokal yang masih dini. Selain itu, dapat juga ditemukan tuberkuloma yang
silent, biasanya di daerah korteks serebri atau thalamus. 7

Pemeriksaan darah
Pemeriksaan ini dilakukan untuk meninjau kadar hemoglobin, jumlah dan hitung jenis
leukosit, laju endap darah (LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit, kultur. Pada meningitis
serosa didapatkan peningkatan leukosit saja. Disamping itu, pada meningitis TB didapatkan juga
peningkatan LED. Sedangkan pada meningitis purulenta/bakterialis didapatkan peningkatan
leukosit dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis.7

Diagnosis kerja
Diagnosis kerja dari kasus ini adalah meningitis tuberkulosis, untuk mengekkan diagnosis
ini maka anamnesis harus lebih diarahkan pada riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis,
keadaan sosial-ekonomi, imunisasi. Sementara itu gejala-gejala yang khas untuk meningitis
tuberkulosis ditandai dengan tekanan intrkranial yang meningkat, muntah proyektil, nyeri kepala
yang hebat dan progresif, penurunan kesadaran, dan pada bayi tampak fontanel yang menonjol.1,2

Diagnosis banding

Meningitis virus
Meningitis virus biasanya disebut meningitis aseptik. Sering terjadi akibat lanjutan dari
bermacam-macam penyakit akibat virus, meliputi measles, mumps, herpes simplek, dan herpes
zooster. Meningitis virus ini termasuk penyakit ringan, gejalanya mirip dengan sakit flu biasa, dan
umumnya dapat sembuh sendiri dan kembali seperti semula. Selain itu gejala yang sering timbul
adalah demam, nyeri kepala, lelah, mual, kaku kuduk, fotofobia juga dapat ditemukan. Pada bayi
gejala yang sering adalah demam, anoreksia, kesulitan untuk bangun. Sering terjadi pada anak-
anak, namun pada orang dewasa juga bisa terutama dengan sistem imun yang rendah.
Penatalaksanaan bersifat simtomatik dengan rehidrasi dan analgesia. 8
Virus penyebab meningitis dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu virus RNA dan virus
DNA. Contoh virus RNA adalah enterovirus (polio), arbovirus (rubella), mixovirus (influenza,
parotitis, dan morbili). Sedangkan contoh virus DNA antara lain virus herpes, dan retrovirus
(AIDS).9
Meningitis bakterial
Sering dihubungkan dengan sindrom sepsis (demam, takikardia, hipotensi, atau syok).
Meningitis biasanya terjadi karena bateremia yang disebabkan oleh Neisseria meningitidis,
walaupun Streptococcus pneumoniae dapat muncul pada orang-orang dengan pneumonia
pneumokokus (lebih sering pada manula dan penyalahguna alkohol) atau kerusakan dura (fraktur
tengkorak, sepsis telinga, atau penyakit sinus). Kuman-kuman tersebut masuk ke dalam susunan
saraf pusat secara hematogen atau langsung menyebar dari kelainan di nasofaring, paru-paru
(pneumonia, bronkopneumonia), dan jantung (endokarditis). Mula-mula pembuluh darah
meningeal yang kecil dan sedang mengalami hiperemi, dalam waktu yang sangat singkat terjadi
penyebaran sel-sel leukosit polomorfonuklear ke dalam ruang subarachnoid, kemudian terbentuk
eksudat. Dalam beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu kedua
sel-sel plasma. Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua lapisan, bagian luar mengandung leukosit
polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di lapisan dalam terdapat makrofag.9,10
Bila dicurigai meningitis bakterial, maka antibiotik spektrum luas (misalnya sefotaksim
dosis tinggi) harus segera diberikan. Diagnosis dipastikan dengan mengindentifikasi organisme
(kultur darah, pemeriksaan mikroskopik CSS), kultur dan polymerase chain reaction (PCR, atau
serologi darah). Pada neonatus gejala meningitis bakterial umumnya terjadi secara akut dengan
panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernapasan, kejang, nafsu makan berkurang, minum sangat
berkurang, konstipasi, diare. Biasanya disertai septikemia dan pneumonitis. Kejang terjadi pada
kurang lebih 44% anak dengan penyebab Haemophillus influenzae, 25% oleh Streptococcus
pneumoniae, 78% oleh streptokok dan 10% oleh infeksi meningokok. Gangguan kesadaran berupa
apati, letargi, renjatan, koma. Pada anak yang lebih besar atau orang dewasa, permulaan penyakit
juga terjadi akut dengan panas, nyeri kepala yang bisa hebat sekali, malaise umum, kelemahan,
nyeri otot dan nyeri punggung. Biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernapasan bagian atas.
Selanjutnya terjadi kaku kuduk, opistotonus, dapat terjadi renjatan, hipotensi, dan takikardi karena
septikemia. Gangguan kesadaran berupa letargi sampai koma yang dalam dapat dijumpai pada
penderita. Nyeri kepala bisa hebat sekali, rasanya seperti mau pecah dan bertambah hebat bila
kepala digerakkan. Nyeri kepala dapat disebabkan oleh proses radang pembuluh darah meningeal,
tetapi juga dapat disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial yang disertai fotofobia dan
hiperestesi. Suhu badan makin meningkat, tetapi jarang disertai gemetar.9,10
Etiologi
Meningitis tuberkulosa disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, umumnya adalah
jenis hominis, jarang oleh jenis bovinum atau aves. Mycobacterium tuberculosis merupakan
bakteri berbentuk batang pleomorfik gram positif, berukuran 0,4-3 µm, mempunyai sifat tahan
asam, dapat hidup selama berminggu-minggu dalam keadaan kering, serta lambat bermultiplikasi
(setiap 15 sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan salah satu jenis bakteri yang bersifat intracellular
pathogen pada hewan dan manusia. Meningitis TB merupakan salah satu bentuk komplikasi yang
sering muncul pada penyakit TB paru. Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar
secara limfogen dan hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti perikardium, usus,
kulit, tulang, sendi, dan selaput otak.11,12

Epidemiologi
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi M.tuberculosis, sekitar 95%
kasus TB dengan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi di negara berkembang. Jumlah
penderita TB di Indonesia merupakan ketiga terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan
jumlah sekitar 10% dari jumlah keseluruhan penderita TB di dunia. Angka kejadian penderita
meningitis TB di Inggris adalah 1,5% dari jumlah keseluruhan penderita TB di luar paru. Kematian
biasanya dikarenakan oleh keterlambatan diagnosis dan penanganannya. Penyakit ini merupakan
TB ekstrapulmoner kelima yang sering dijumpai dan diperkirakan sekitar 5,2% dari semua kasus
TB ekstrapulmoner serta 0,7% dari semua kasus TB. Meningitis TB dapat terjadi pada setiap usia
terutama pada anak antara 6 bulan sampai 5 tahun, jarang terdapat di bawah usia 6 bulan, kecuali
apabila angka kejadian TB sangat tinggi. Paling sering terjadi di bawah usia 2 tahun, yaitu antara
9-15 bulan.1,2

Klasifikasi
Meningitis TB dibagi dalam empat jenis menurut klasifikasi patologik. Umumnya terdapat
lebih dari satu jenis dalam setiap penderita meningitis TB.

Tuberkulosis miliaris yang menyebar


Jenis ini merupakan komplikasi TB miliaris, biasanya dari paru-paru yang menyebar
langsung ke selaput otak secara hematogen. Keadaan ini terutama terjadi pada anak, jarang pada
dewasa. Pada selaput otak terdapat tuberkel-tuberkel yang kemudian pecah sehingga terjadi
peradangan difus dalam ruang subarakhnoid. Tuberkel-tuberkel juga terdapat pada dinding
pembuluh darah kecil di hemisfer otak bagian cekung dan dasar otak.

Bercak-bercak pengijuan fokal


Disini terdapat bercak-bercak pada sulkus-sulkus dan terdiri dari pengijuan yang dikelilingi
oleh sel-sel raksasa dan epitel. Dari sini terjadi penyebaran ke dalam selaput otak. Kadang-kadang
terdapat juga bercak-bercak pengijuan yang besar pada selaput otak sehingga dapat menyebabkan
peradangan yang luas.

Peradangan akut meningitis pengijuan


Jenis ini merupakan jenis yang paling sering dijumpai kurang lebih 78%. Pada jenis ini
terjadi invasi langsung pada selaput otak dari fokus-fokus tuberkulosis primer bagian lain dari
tubuh, sehingga terbentuk tuberkel-tuberkel baru pada selaput otak dan jaringan otak. Meningitis
timbul karena tuberkel-tuberkel tersebut pecah, sehingga terjadi penyebaran kuman-kuman ke
dalam ruang subarakhnoid dan ventrikulus

Meningitis proliferatif
Perubahan-perubahan proliferatif dapat terjadi pada pembuluh-pembuluh darah selaput
otak yang mengalami peradangan berupa endarteritis dan panarteritis. Akibat penyempitan lumen
arteri-arteri tersebut dapat terjadi infark otak. Perubahan-perubahan ini khas pada meningitis
proliferatif yang sebelum penemuan kemoterapi jarang dilihat.

Patofisiologi
Meningitis TB selalu terjadi sekunder dari proses tuberkulosis primer di luar otak. Fokus
primer biasanya di paru-paru, tetapi bisa juga pada kelenjar getah bening, tulang, sinus nasals,
traktus gastro-intestinalis, ginjal, dan sebagainya. Dengan demikian meningitis tuberkulosa terjadi
sebagai komplikasi penyebaran tuberculosis paru-paru.1,2
Terjadinya meningitis bukan karena peradangan langsung pada selaput otak oleh
penyebaran hematogen, tetapi melalui pembentukan tuberkel-tuberkel kecil (beberapa millimeter
sampai 1 sentimeter), berwarna putih. Terdapat pada permukaan otak, selaput otak, sumsum tulang
belakang, tulang. Tuberkel tadi kemudian melunak, pecah dan masuk ke dalam ruang
subarakhnoid dan ventrikulus sehingga terjadi peradangan yang difus. Secara mikroskopik
tuberkel-tuberkel ini tidak dapat dibedakan dengan tuberkel-tuberkel di bagian lain dari kulit di
mana terdapat pengijuan sentral dan dikelilingi oleh sel-sel raksasa, limfosit, sel-sel plasma, dan
dibungkus oleh jaringan ikat sebagai penutup atau kapsul.13
Penyebaran juga dapat pula terjadi secara per kontinuitatum dari peradangan organ atau
jaringan di dekat selaput otak seperti proses di nasofaring, pneumonia, bronkopneumonia,
endokarditis, otitis media, mastoiditis, trombosis, sinus kavernosus, atau spondilitis. Penyebaran
kuman dalam ruang subarakhnoid menyebabkan reaksi radang pada pia dan arakhnoid, CSS, ruang
subarakhnoid, dan ventrikulus.13
Akibat reaksi radang ini adalah terbentuknya eksudat kental, serofibrinosa dan gelatinosa
oleh kuman-kuman dan toksin yang mengandung sel-sel mononuclear, limfosit, sel plasma,
makrofag, sel raksasa, dan fibroblas. Eksudat ini tidak terbatas di dalam ruang subarakhnoid saja,
tetapi terutama terkumpul di dasar tengkorak. Eksudat juga menyebar melalui pembuluh-
pembuluh darah pia dan menyerang jaringan otak di bawahnya, sehingga proses sebenarnya adalah
meningo-ensefalitis. Eksudat juga dapat menyumbat akuaduktus Sylvii, foramen magendi,
foramen Luschka dengan akibat terjadinya hidrosefalus, edema papil dan peningkatan tekanan
intrakranial. Kelainan juga terjadi pada pembuluh-pembuluh darah yang berjalan dalam ruang
subarachnoid berupa kongesti, peradangan dan penymbatan, sehingga selain ateritis dan flebitis
juga mengakibatkan infark otak terutama pada bagian korteks, medula oblongata, dan ganglia
basalis yang kemudian mengakibatkan perlunakan otak dengan segala akibatnya.13

Gejala Klinis
1. Stadium I
Stadium prodromal berlangsung kurang lebih 2 minggu sampai 3 bulan. Permulaan penyakit
bersifat subakut, sering tanpa panas atau hanyak kenaikan suhu yang ringan atau hanya dengan
tanda-tanda infeksi umum, muntah-muntah, anoreksia, murung, berat badan turun, tidak ada
gairah, mudah tersinggung, cengeng, tidur terganggu dan gangguan kesadaran berupa apatis.
Gejala-gajala ini lebih sering terlihat pada anak kecil. Untuk anak yang lebih besar mengeluh
nyeri kepala, anoreksia, obstipasi, muntah-muntah, pola tidur terganggu. Pada orang dewasa
terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi, anoreksia, fotofobia, nyeri
punggung, halusinasi, delusi, sangat gelisah.13,14
2. Stadium II
Gejala-gejala terlihat lebih berat, terdapat kejang umum atau fokal terutama pada anak kecil
dan bayi. Tanda-tanda ransangan meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapa menjadi kaku dan
timbul opistotonus, terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, ubun-ubun
menonjol dan muntah lebih hebat. Nyeri kepala yang bertambah berat dan progresif
menyebabkan anak berteriak dan menangis dengan nada yang khas yaitu meningeal cry.
Kesadaran semakin menurun. Terdapat gangguan nervi kraniales, antara lain N. II, III, IV, VI,
VII, dan VIII. Dalam stadium ini dapat terjadi defisit neurologik fokal seperti hemiparesis,
hemiplegia karena infark otak dan rigiditas deserebrasi. Pada fundoskopi dapat ditemukan atrofi
N. II dan khoroid tuberkel yaitu kelainan pada retina yang tampak seperti busa berwarna kuning
dan ukurannya sekitar setengah diameter papil.13,14
3. Stadium III
Dalam stadium ini suhu tidak teratur dan semakin tinggi yang disebabkan oleh terganggunya
regulasi pada disensefalon. Pernapasan dan nadi juga tidak teratur dan terdapat gangguan
pernapasan dalam bentuk Cheyne-Stokes atau Kussmaul. Gangguan miksi berupa retensi atau
inkontinensia urin. Didapatkan pula adanya gangguan kesadaran makin menurun sampai koma
yang dalam. Pada stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu 3 minggu bila tidak
memperoleh pengobatan yang tepat.13,14

Penatalaksanan

Perawatan umum
Pasien harus dirawat di rumah sakit, di bagian perawatan intensif. Dengan menentukan
diagnosis secepat dan setepat mungkin, pengobatan dapat segera dimulai. Perawatan meliputi
berbagai aspek yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh, antara lain kebutuhan cairan
dan elektrolit, kebutuhan gizi pada umumnya, posisi pasien, perawatan kandung kemih dan
defekasi, serta perawatan umum lainnya sesuai dengan kondisi pasien. Kebutuhan cairan,
elektrolit, serta gizi dapat diberikan melalui infus maupun saluran pipa hidung. Sementara itu
perhatikan adanya hiperpireksia, gelisah atau kejang, nyeri, dan lainnya.14

Pengobatan
a. Isoniazid atau INH, diberikan dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari (pada anak), dan pada
dewasa dengan dosis 400 mg/hari.
b. Streptomisin, diberikan intra muscular selama kurang lebih 3 bulan, tidak boleh terlalu lama.
Dosisnya 30-50 mg/kgBB/hari. Hati-hati karena bersifat autotoksik. Bila perlu pemberian
streptomisin dapat diteruskan 2 kali seminggu selama 2-3 bulan sampai CSS menjadi
normal. Sementara itu obat jenis lain dapat diteruskan sampai kurang lebih 2 tahun.
c. Rifampisin, diberikan dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari. Pada orang dewasa dapat
diberikan dengan dosis 600 mg/hari, dengan dosis tunggal. Pada anak-anak dibawah 5 tahun
harus hati-hati karena dapat menyebabkan neuritis optika.
d. PAS atau para-amino-salicylic-acid, diberikan dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, dibagi
dalam 3 dosis. Dapat diberikan sampai 12 gram/hari. PAS sering menyebabkan gangguan
nafsu makan.
e. Etambutol, diberikan dengan dosis 25 mg/kgBB/hari sampai 1500 mg/hari, selama kurang
lebih 2 bulan. Obat ini dapat menyebabkan neuritis optika.
f. Kortikosteroid, biasanya dipergunakan prednison dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari (dosis
normal 20 mg/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 2-4 minggu kemudian diteruskan dengan
dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1-2 minggu. Pemberian kortikosteroid seluruhnya adalah
kurang lebih 3 bulan. Namun kortikosteroid dapat membahayakan pasien melalui munculnya
superinfeksi, kemampuan menutupi penyakitnya (masking effect).
g. Pemberian tuberculin intratekal, ditujukan untuk mengaktivasi enzim lisosomal yang
menghancurkan eksudat di bagian dasar otak.
h. Pemberian enzim proteolitik seperti streptokinase secara intratekal mempunyai tujuan untuk
menghalangi adesi. Bila pengobatan diberikan cepat dan tepat, biasanya berhasil setelah 7-
10 hari. Secara klinis biasanya ditandai dengan hilangnya nyeri kepala dan gangguan mental.

Pada umumnya tuberkulostatika diberikan dalam bentuk kombinasi dikenal dengan triple drug,
ialah kombinasi antara INH dengan dua jenis tuberkulostatika lainnya.14

Prognosis
Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien didiagnosis dan
diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk prognosisnya. Bila meningitis TB tidak
diobati, prognosisnya buruk sekali. Pasien dapat meninggal dalam waktu 6-8 minggu. Selain itu
usia pasien juga mempengaruhi prognosis, anak di bawah 3 tahun dan dewasa di atas 40 tahun
mempunyai prognosis yang buruk.2
Komplikasi
Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah gejala sisa
neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang, paraplegia, dan gangguan
sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan saraf otak, nistagmus, ataksia, gangguan
ringan pada koordinasi, dan spastisitas.13,14
Komplikasi pada mata dapat berupa atrofi optik dan kebutaan. Gangguan pendengaran dan
keseimbangan disebabkan oleh obat streptomisin atau oleh penyakitnya sendiri.
Gangguan intelektual terjadi pada kira-kira 2/3 pasien yang hidup. Pada pasien ini biasanya
mempunyai kelainan EEG yang berhubungan dengan kelainan neurologis menetap seperti kejang
dan mental subnormal.13,14
Kalsifikasi intrakranial terjadi pada kira-kira 1/3 pasien yang sembuh. Seperlima pasien
yang sembuh mempunyai kelainan kelenjar pituitari dan hipotalamus, dan akan terjadi prekoks
seksual, hiperprolaktinemia, dan defisiensi ADH, hormon pertumbuhan, kortikotropin dan
gonadotropin.14,15

Pencegahan
Perlindungan terhadap sumber penularan. Prioritas pengobatan sekarang ditujukan
terhadap orang dewasa. Akan tetapi TB anak yang tidak mendapat pengobatan akhirnya menjadi
TB dewasa dan akan menjadi sumber penularan.15
1. Vaksinasi BCG
Pemberian BCG meninggikan daya ahan tubuh terhadap infeksi oleh basil tuberkulosis yang
virulen. Imunitas timbul 6-8 minggu setelah pemberian BCG. Imunitas yang terjadi tidaklah
lengkap sehingga masih mungkin terjadi superinfeksi meskipun biasanya tidak progresif dan
menimbulkan komplikasi yang berat. Pemberian vaksin BCG dapat mengurangi morbiditas
sampai 74%. BCG biasanya diberikan pada anak dengan uji tuberkulin negatif dan biasanya uji
tuberkulin diulangi 6 minggu setelah BCG dan kalau masih negatif dianjurkan untuk
mengulangi BCG. Tetapi sekarang dianjurkan pemberian BCG secara langsung tanpa didahului
uji tuberkulin karena cara ini lebih menghemat ongkos dan mencakup lebih banyak anak.
Vaksin BCG diberikan intradermal 0,1 ml untuk anak-anak dan orang dewasa, dan 0,05 ml
untuk bayi.
2. Kemoprofilaksis
Sebagai kemoprofilaksis biasanya dipakai INH dengan dosis 10mg/kgBB/hari selama 1 tahun.
Anak-anak di bawah usia 4 tahun dari keluarga penderita TBC dan orang-orang dengan risiko
besar mendapat infeksi dapat diberikan secara kontinu. Bila terdapat intoleransi dapat diganti
dengan rifampisin, maksimal 6 bulan. Disamping itu, dilakukan pula imunisasi BCG.
3. Tutup mulut menggunakan masker. Gunakan masker untuk menutup mulut kapan saja ketika
di diagnosis TB, merupakan langkah pencegahan TBC secara efektif. Jangan lupa untuk
membuangnya secara tepat.
4. Mengusahakan sinar matahari dan udara segar masuk secukupnya ke dalam tempat tidur.
5. Menjemur kasur, bantal,dan tempat tidur terutama pagi hari.
6. Semua barang yang digunakan penderita harus terpisah begitu juga mencucinya dan tidak boleh
digunakan oleh orang lain.
7. Pengobatan terhadap infeksi dan penemuan sumber penularan. Apabila sudah terdiagnosis TB
maka harus menjalani pengobatan secara intensif agar tidak terjadi komplikasi seperti
meningitis TB.
8. Pencegahan terhadap menghebatnya penyakit dengan diagnosis dini.

Kesimpulan
Meningitis adalah suatu peradangan pada selaput otak. Meningitis tuberkulosa merupakan
peradangan selaput otak oleh Mycobacterium tuberculosis. Meningitis TB dapat terjadi melalui 2
tahapan, tahap pertama adalah ketika basil M.tuberculosis masuk melalui inhalasi droplet
menyebabkan infeksi terlokalisasi di paru dengan penyebaran ke limfonodi regional. Basil tersebut
dapat masuk ke jaringan meningen atau parenkim otak membentuk tuberkel. Tahap kedua adalah
bertambahnya ukuran tuberkel sampai kemudian ruptur ke dalam ruang subarakhnoid dan
mengakibatkan meningitis.
Meningitis TB merupakan bentuk TB paling fatal dan menimbulkan gejala sisa permanen,
oleh karena itu dibutuhkan diagnosis dan terapi yang segera. Penyakit ini merupakan TB
ekstrapulmoner kelima yang sering dijumpai dan diperkirakan sekitar 5,2% dari semua kasus TB
ekstrapulmoner serta 0,7% dari semua kasus TB.2
Daftar Pustaka

1. Rachmayati S, Parwati I, Rizal A, Oktavia D. Meningitis tuberculosis. Indonesian Journal of


Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 17, No.3, Juli 2011: 159-162.
2. Harsono. Buku ajar neurologi klinis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2008.h.161-3, 183-8.
3. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga, 2007.h.37-9.
4. Juwono T. Pemeriksaan klinik neurologik dalam praktek. Jakata: EGC, 2000.h.1-9, 17-20.
5. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Neuropsikiatri. Edisi 2011. Diunduh dari
http://repository.unand.ac.id/15476/4/Penuntun_Skill_Lab_3.pdf, 30 Desember 2012.
6. Muliawan, S., 2008. Haemophilus Influenzae As a Cause of Bacterial Meningitis
in Children. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol58, No.11, Hal 438-443, Jakarta.
7. Seriawati L, Makmuri MS, Asih RS. Tuberkulosis. Edisi 2006. Diunduh dari
http://www.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&
pdf=&html=07110-xgdt286.htm
8. Emad, 2012. Neurologic Complications of Bacterial Meningitis. Journal. In tech. Available
at http://cdn.intechopen.com/pdfs/34319/InTech-
Neurologic_complications_of_bacterial_meningitis.pdf
9. Centers for Disease Control and Prevention. Viral meningitis. Edition July 2007.
Downloaded from http://www.state.nj.us/health/cd/documents/faq/viralmeningitis_faq.pdf
10. Dhamija RM, Bansal J. Bacterial meningitis (meningoencephalitis): a review. JIACM 2006;
7(3): 255-35.
11. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga, 2006.h. 362-3.
12. Rahajoe NN, Setiawati L. Tatalaksana TB. Dalam: Rahajoe NN, Supriyanto B, Setyanto DB.
Buku ajar respirologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2008.h.214-26.
13. Thwaites G, Chau TTH, Mai NTH, Drobniewski F, McAdam K, Farrar J. Tuberculous
meningitis. Neurol Neurosurg Psychiatry 2000;68:289-99.
14. Ginsberg L. Lecture notes neurologi. Edisi ke-8. Jakarta: Erlangga, 2008.h.125-6.
15. Pedoman Nasional, 2006. Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.

Vous aimerez peut-être aussi