Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
1.2 Tujuan
Mengetahui etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis dan
penatalaksaan tumor intrakranial.
1.3 Manfaat
a. Menambah wawasan mengenai penyakit bedah khususnya mengenai
tumor intrakranial.
b. Sebagai bahan pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti
kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit bedah saraf.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
II.2 Anamnesis
Autoanamnesis dan alloanamnesis
A. Keluhan utama: Kejang di lengan kiri
B. Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke IGD RST DR. Soedjono, Magelang rujukan dari RSUD
Tidar dengan keluhan kejang di lengan kiri, saat kejang pasien dalam keadaan
sadar. Kejang dirasakan selama 30 menit pasien mengatakan bahwa ini
merupakan kejang yang terlama. Pasien mengaku sudah mengalami kejang seperti
ini sejak 6 bulan yang lalu, kejang sudah dialami sebanyak 7 kali, saat pertama
kali kejang, kejang berlangsung selama 10 menit. Selain itu, pasien juga mengeluh
sering lupa sejak beberapa bulan sebelumnya. Keluhan disertai nyeri perut bagian
bawah, mual (+), muntah (-), sakit kepala berat (-), pusing (+), penurunan nafsu
makan (+), BAB dan BAK lancar. Pasien mengaku sudah di beritakan mengenai
penyakit tumornya di RSUD Tidar, pasien belum pernah menjalani kemoterapi
dan radioterapi.
Pasien mengatakan bahwa 15 tahun yang lalu pasien pernah terjatuh
dengan benturan di kepala dan terdapat benjolan di kepala, namun pasien tidak
mengobati penyakitnya ke dokter dan dibiarkan sembuh sendiri.
3
C. Riwayat penyakit dahulu:
- Riwayat Asma : Disangkal
- Riwayat Diabetes Mellitus : Disangkal
- Riwayat Hipertensi : Diakui
- Riwayat Alergi Obat dan Makanan : Disangkal
- Riwayat Operasi : Disangkal
- Riwayat Trauma serupa sebelumnya : Disangkal
4
Hidung : Tidak ada pernafasan cuping hidung, mukosa tidak
hiperemis, sekret tidak ada, tidak ada deviasi
septum
Telinga : Simetris, tidak ada kelainan, otore (-/-)
Mulut : Bibir tidak sianosis, gusi tidak ada perdarahan,
lidah tidak kotor, faring tidak hiperemis
Leher : Tidak ada deviasi trakhea, tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid dan getah bening, JVP tidak
meningkat
Thorax
Paru-paru :
Inspeksi :Bentuk dan pergerakan pernafasan kanan-kiri
simetris
Palpasi : Fremitus taktil simetris kanan-kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler pada seluruh lapangan paru,
wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba.
Perkusi : Batas atas sela iga III garis mid klavikula kiri
Batas kanan sela iga V garis sternal kanan
Batas kiri sela iga V garis midklavikula kiri
Auskultasi : Bunyi jantung I – II murni, murmur (-)
Abdomen :
Inspeksi : Perut cembung, supel, distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Hepar dan lien tidak membesar, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
5
Ekstremitas :
Superior : Edema -/-, sianosis -/-, akral hangat, CRT <2 detik
Inferior : Edema -/-, sianosis -/-, akral hangat, CRT <2 detik
6
N. VI Abdusens
Pergerakan bola mata ke Normal Normal
lateral
N. VII Fasialis
Mengerutkan dahi Normal Normal
Menutup mata Normal Normal
Memperlihatkan gigi Normal Normal
N. VIII Kokhlearis
Suara berbisik Normal Normal
Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Swabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N. IX Glossofaringeus
Refleks muntah Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N. X Vagus
Arcus faring Normal Normal
Uvula Normal Normal
Menelan Normal Normal
N. XI Accesorius
Mengangkat bahu Normal Normal
Memalingkan kepala Normal Normal
N. XII Hipoglosus
Menjulurkan lidah Normal Normal
Tremor lidah Normal Normal
Kekuatan lidah Normal Normal
7
E. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (10 Februari 2018)
Hb : 12,3 g/dl
Ht : 36,3 %
Eritrosit : 4.000.000 /l
Leukosit : 14.600 /ul (H)
Trombosit : 392.000 /ul
MCV : 91.2 fl
MCH : 30.9 pg
MCHC : 33.9 g/dL
RDW : 13 %
GDS : 142 mg/dL (H)
Natrium : 134 mEq/L (L)
Kalium : 3.69 mEq/L
Klorida : 110 mEq/L (H)
Ureum : 30.3 mg/dL
Kreatinin : 0.79 mg/dL
Asam Urat : 8.1 mg/dL (H)
Kolestrol : 205 mg/dL (H)
Trigliserida : 92 mg/dL
HDL kolestrol : 47 mg/dL
LDL kolestrol : 115 mg/dL
SGOT : 12 U/L
SGPT : 15 U/L
8
MCH : 31.2 pg
MCHC : 35.7 g/dL
RDW : 11.9 %
CT/BT : 15’/4’
Rontgen Thoraks AP
Kesan:
- Pulmo tak tampak kelainan
- Kardiomegali (RVH)
9
Pemeriksaan CT-Scan Tanpa Kontras
Kesan:
Massa (SOL Cerebri) dengan kalsifikasi dan perifokal oedema di parietal
dekstra
10
Pemeriksaan CT-Scan Dengan Kontras
Kesan:
Massa tumor cerebri lobus parietal dekstra
11
Pemeriksaan Elektrokardiografi
II.4 Resume
Pasien Ny. I usia 68 tahun dengan keluhan kejang di lengan kiri,
saat kejang pasien dalam keadaan sadar. Kejang dirasakan selama 30 menit pasien
mengatakan bahwa ini merupakan kejang yang terlama. Pasien mengaku sudah
mengalami kejang seperti ini sejak 6 bulan yang lalu, kejang sudah dialami
sebanyak 7 kali, saat pertama kali kejang, kejang berlangsung selama 10 menit.
Selain itu, pasien juga mengeluh sering lupa sejak beberapa bulan sebelumnya.
Keluhan disertai nyeri perut bagian bawah, mual (+), muntah (-), sakit kepala
berat (-), pusing (+), penurunan nafsu makan (+), BAB dan BAK lancar. Pasien
mengatakan bahwa 15 tahun yang lalu pasien pernah terjatuh dengan benturan di
kepala dan terdapat benjolan di kepala.
II.5 Assesment
Tumor Cerebri Lobus Parietal Dekstra
II.6 Planning
Operatif
- Pro Craniotomy
- Konsul anestesi
- Cukur gundul
- Siapkan PRC, Post Op rawat ICU, Premed: Inj. Ceftriaxone 2 g
12
Farmakologi
- IVFD RL 20 tpm
- Injeksi phenytoin 3x1
- Injeksi dexamethasone 3x1
- Injeksi ranitidin 2x1
II.8 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad malam
Quo ad functionam : Dubia ad malam
Quo ad sanactionam : Dubia ad malam
Laporan operasi:
- Pasien terlentang dalam general anestesi
- Kepala hadap kiri, asepsis dan antisepsis daerah operasi
- Insisi kulit bentuk tapal kuda diatas telinga
- Insisi periosteum medial insisi kulit
- Dilakukan kraniotomi, diperluas ke kranial
- Insisi dura bentuk amplop
- Tampak tumor melekat pada dura, lunak, batas sebagian tegas, dapat
diangkat nearly total
- Perdarahan dirawat
- Dilakukan duraplasty
- Tulang dikembalikan
- Jahit lapis demi lapis
13
Instruksi pasca bedah:
1. Observasi kesadaran dan tanda vital
2. Puasa hingga bising usus (+)
3. Cek Hb post-op
4. Terapi
- Injeksi ceftriaxone 2x1 g
- Injkesi dexamethasone 2x1 Amp
- Injeksi ranitidin 2x1 Amp
- Injeksi fantoin 3x1 Amp
- Injeksi plasminex 3x1 Amp
14
II.10 Follow Up
16 Februari 2018
S O A P
Kejang Tampak sakit sedang Tumor - IVFD RL 20 tpm,
dilengan GCS : E4V5M6 cerebri NaCl 100 cc
kiri, pusing Tanda Vital : lobus - Inj. Fenitoin 3x1
(+), mual TD : 120/70 mmHg parietal - Inj. Dexa 3x1
(-), muntah N : 85 x/ menit dekstra - Inj. Ranitidin 2x1
(-) RR : 18 x/ menit
S : 36,6 oC
Sat O2 : 98%
17 Februari 2018
S O A P
Kejang Tampak sakit sedang Tumor - IVFD RL 20 tpm,
dilengan GCS : E4V5M6 cerebri NaCl 100 cc
kiri, pusing Tanda Vital : lobus - Inj. Fenitoin 3x1
(+), mual TD : 120/90 parietal - Inj. Dexa 3x1
(-), muntah N : 78 x/ menit dekstra - Inj. Ranitidin 2x1
(-) RR : 20 x/ menit
S : 36 oC
Sat O2 : 98%
15
18 Februari 2018
S O A P
Kejang Tampak sakit sedang Tumor - IVFD RL 20 tpm,
dilengan GCS : E4V5M6 cerebri NaCl 100 cc
kiri, pusing Tanda Vital : lobus - Inj. Fenitoin 3x1
(+), mual TD : 130/90 parietal - Inj. Dexa 3x1
(-), muntah N : 80 x/ menit dekstra - Inj. Ranitidin 2x1
(-) RR : 20 x/ menit
S : 36.2 oC
Sat O2 : 99%
19 Februari 2018
S O A P
Kejang Tampak sakit sedang Tumor - IVFD NaCl 20
dilengan GCS : E4V5M6 cerebri tpm
kiri, pusing Tanda Vital : lobus - Inj. Ceftriaxone 1
(+), mual TD : 160/100 parietal g
(-), muntah N : 84 x/ menit dekstra - Inj. Fenitoin 3x1
(-) RR : 20 x/ menit - Inj. Dexa 3x1
Sat O2 : 99%
16
20 Februari 2018
S O A P
Kejang Tampak sakit sedang Tumor - IVFD NaCl 20
dilengan GCS : E4V5M6 cerebri tpm
kiri, pusing Tanda Vital : lobus - Inj. Fenitoin 3x1
(+), mual TD : 160/100 parietal - Inj. Dexa 3x1
(-), muntah N : 84 x/ menit dekstra - Inj. Ranitidin 2x1
(-) RR : 20 x/ menit
S : 36 oC
Sat O2 : 99%
21 Februari 2018
S O A P
Pasien Tampak sakit sedang Post op - Oksigen 2-4 lpm
mengeluh GCS : E4V5M6 craniotomy - IVFD Asering 20
lemas, nyeri Tanda Vital : H+1 tpm
luka bekas TD : 136/68 - Inj. Ceftriaxone
operasi (+), N : 75 x/ menit 2x1 g
pusing (+), RR : 14 x/ menit - Inj. Fenitoin 3x1
mual (-), S : 36.5 oC - Inj. Dexa 3x1
muntah (-) Sat O2 : 99% - Inj. Ranitidin 2x1
- Inj. Plasminex 3x1
Status neurologis:
Sensoris : normal
Motorik : 0/5/0/5
17
22 Februari 2018
S O A P
Pasien Tampak sakit sedang Post op - IVFD RL 20 tpm
mengeluh GCS : E4V5M6 craniotomy - Inj. Ceftriaxone
lemas, nyeri Tanda Vital : H+2 2x1 g
luka bekas TD : 146/65 - Inj. Fenitoin 3x1
operasi (+), N : 65 x/ menit - Inj. Dexa 3x1
pusing (+), RR : 18 x/ menit - Inj. Ranitidin 2x1
batuk kering S : 37 oC - Inj. Plasminex 3x1
(+), nyeri Sat O2 : 99% - Inj. Ketorolac 3x1
perut saat
batuk, mual Status neurologis:
(-), muntah Sensoris : normal
(-) Motorik : 0/5/0/5
23 Februari 2018
S O A P
Pasien Tampak sakit sedang Post op - IVFD RL 20 tpm
mengeluh GCS : E4V5M6 craniotomy - Inj. Ceftriaxone
nyeri luka Tanda Vital : H+3 2x1 g
bekas TD : 130/70 - Inj. Fenitoin 3x1
operasi (+), N : 79 x/ menit - Inj. Dexa 3x1
pusing (+), RR : 20 x/ menit - Inj. Plasminex 3x1
batuk kering S : 36 oC - Inj. Ketorolac 3x1
(+), nyeri Sat O2 : 99% - Inj. Pantoprazole
perut saat 2x1
batuk, mual Status neurologis: - Kodein tab 3x1
(-), muntah Sensoris : normal - OBH syr 3x1
(-) Motorik : 0/5/0/5
18
24 Februari 2018
S O A P
Pasien Tampak sakit sedang Post op - IVFD RL 20 tpm
mengeluh GCS : E4V5M6 craniotomy - Inj. Ceftriaxone
nyeri luka Tanda Vital : H+4 2x1 g
bekas TD : 140/80 - Inj. Fenitoin 3x1
operasi (+), N : 88 x/ menit - Inj. Dexa 3x1
pusing (+), RR : 20 x/ menit - Inj. Plasminex 3x1
batuk kering S : 36.3 oC - Inj. Ketorolac 3x1
(+), nyeri Sat O2 : 99% - Inj. Pantoprazole
perut saat 2x1
batuk, mual Status neurologis: - Kodein tab 3x1
(-), muntah Sensoris : normal - OBH syr 3x1
(-) Motorik : 0/5/0/5
25 Februari 2018
S O A P
Pasien Tampak sakit sedang Post op - IVFD RL 20 tpm
mengeluh GCS : E4V5M6 craniotomy - Inj. Ceftriaxone
nyeri luka Tanda Vital : H+5 2x1 g
bekas TD : 140/80 - Inj. Fenitoin 3x1
operasi (+), N : 75 x/ menit - Inj. Dexa 3x1
pusing (+), RR : 20 x/ menit - Inj. Plasminex 3x1
batuk kering S : 36.6 oC - Inj. Ketorolac 3x1
(+), nyeri Sat O2 : 99% - Inj. Pantoprazole
perut saat 2x1
batuk, mual Status neurologis: - Kodein tab 3x1
(-), muntah Sensoris : normal - OBH syr 3x1
(-) Motorik : 0/5/0/5
19
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak yang dibentuk oleh
mesensefalon, pons, dan medulla oblongata. Jaringan otak dillindungi oleh
beberapa pelindung, mulai dari permukaan luar adalah kulit kepala, tulang
tengkorak, meningens (selaput otak), dan likuor serebrospinal. Meningens terdiri
dari tiga lapisan, yaitu: Duramater (meningens cranial terluar), arakhnoid
(lapisan tengah antara duramater dan piamater), dan piamater (lapisan selaput
otak yang paling dalam). Di tempat-tempat tertentu duramater membentuk sekat-
20
sekat rongga cranium dan membaginya menjadi tiga kompartemen. Tentorium
merupakan sekat yang membagi rongga cranium menjadi supratentorial dan
infratentorial, memisahkan bagian posterior-inferior hemisfer serebri dari
serebelum.
Bila kalvaria dan dura mater disingkirkan, di bawah lapisan arachnoid
mater kranialis dan piamater kranialis terlihat gyrus, sulkus, dan fisura korteks
serebri. Sulkus dan fisura korteks serebri membagi hemisfer serebri menjadi
daerah lebih kecil yang disebut lobus.
21
impuls dari serabut saraf sensorik thalamus yang berkaitan dengan segala
bentuk sensasi dan mengenali segala jenis rangsangan somatik (Ellis,
2006).
b. Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada di bagian paling depan
dari serebrum. Lobus ini mencakup semua korteks anterior sulkus sentral
dari Rolando. Pada daerah ini terdapat area motorik untuk mengontrol
gerakan otot-otot, gerakan bola mata; area broca sebagai pusat bicara; dan
area prefrontal (area asosiasi) yang mengontrol aktivitas intelektual (Ellis,
2006).
c. Lobus temporal berada di bagian bawah dan dipisahkan dari lobus oksipital
oleh garis yang ditarik secara vertikal ke bawah dari ujung atas sulkus
lateral. Lobus temporal berperan penting dalam kemampuan pendengaran,
pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara (Ellis, 2006).
d. Lobus oksipital berada di belakang lobus parietal dan lobus temporal. Lobus
ini berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan manusia
mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina
mata (Ellis, 2006).
3. Batang Otak
Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian dasar
dan memanjang sampai medulla spinalis. Batang otak bertugas untuk
22
mengontrol tekanan darah, denyut jantung, pernafasan, kesadaran, serta pola
makan dan tidur. Bila terdapat massa pada batang otak maka gejala yang sering
timbul berupa muntah, kelemahan otat wajah baik satu maupun dua sisi,
kesulitan menelan, diplopia, dan sakit kepala ketika bangun (CDC, 2004).
23
III. 2 Neoplasma
III.2.1 Definisi
Neoplasma secara harfiah berarti pertumbuhan baru. Suatu neoplasma
sesuai definisi Willis adalah ‘massa abnormal jaringan yang pertumbuhannya
berlebihan dan tidak terkoordinasi dengan pertumbuhan jaringan yang normal
serta terus demikian walaupun rangsangan yang memicu pertumbuhan tersebut
telah berhenti. Hal mendasar tentang asal neoplasma adalah hilangnya
responsivitas terhadap faktor pengendali pertumbuhan yang normal.
Sel neoplastik disebut mengalami transformasi karena terus membelah
diri, tidak peduli terhadap pengaruh regulatorik yang mengendalikan pertumbuhan
sel normal. Selain itu, neoplasma berperilaku seperti parasit dan bersaing dengan
sel jaringan normal untuk memenuhi kebutuhan metaboliknya.
III.2.2 Tatanama
Semua tumor jinak dan ganas memiliki dua komponen dasar (1) parenkim
yang telah mengalami transformasi atau neoplastik dan (2) stroma penunjang
non-neoplastik yang berasal dari pejamu dan terdiri atas jaringan ikat dan
pembuluh darah.
Tumor jinak secara umum diberi nama dengan akhiran –oma ke jenis sel
asal tumor tersebut. Suatu tumor jinak yang berasal dari jaringan fibrosa adalah
fibroma, tumor tulang rawan yang jinak disebut kondroma. Tatanama untuk tumor
epitel jinak lebih rumit. Tumor ini kadang kadang diklasifikasikan berdasarkan
pola mikroskopis dan kadang kadang pola makroskopis. Kata adenoma diterapkan
untuk neoplasma yang berasal dari kelnejar tetapi tidak harus memperlihatkan
pola kelenjar. Papiloma adalah suatu neoplasma epitel jinak yang tumbuh disuatu
permukaan dan menghasilkan tonjolan mirip jari baik secara mikroskopis maupun
makroskopis.
Tumor ganas pada dasarnya mengikuti tatanama tumor jinak dengan
penambahan dan pengecualian tertentu. Neoplasma yang berasal dari jaringan
mesenkim atau turunannya disebut sarkoma. Kanker yang berasal dari jaringan
fibrosa disebut fibrosarkoma. Neoplasma ganas yang berasal dari sel epitel disebut
24
karsinoma. Karsinoma dibagi lebih lanjut yaitu karsinoma sel skuamosa
mendandakan suatu kanker yang sel tumornya mirip dengan sel epitel skuamous
berlapis dan adenokarsinoma yang berarti lesi yang sel epitel neoplastiknya
tumbuh dalam pola kelenjar.
III.2.3 Epidemiologi
25
pada tahun 2002 dan 555.000 orang akan meninggal akibat kanker di Amerika
Serikat.
III.2.4 Karsinogenesis
Kerusakan genetik non-letal merupakan hal sentral dalam karsinogenesis.
Kerusakan atau mutasi genetik semacam ini mungkin didapat akibat pengaruh
lingkungan, seperti zat kimia, radasi atau virus atau diwarisakan dalam sel
germinativum.
Tiga kelas gen regulatorik normal yaitu protoonkogen yang mendorong
pertumbuhan, gen penekan tumor yang menghambat pertumbuhan dan gen yang
megatur kematian sel terencana adalah sasaran utama pada kerusakan genetik.
Selain ketiga kelas gen diatas, kategori gen keempat yaitu gen yang mengatur
26
perbaikan DNA yang rusak berkaitan dengan karsinogenesis. Gen yang
memperbaiki DNA mengatur proliferasi atau kelangsungan hidup sel. Kerusakan
pada gen yang memperbaiki DNA dapat memudahkan terjadinya mutasi luas
digenom dan transformasi neoplastik.
27
progression. Pada tingkat molekular, progresi ini terjadi akibat akumulasi
kelainan genetik yang pada sebagian kasus dipermudah oleh adanya gangguan
pada perbaikan DNA.
Setiap gen kanker memiliki fungsi spesifik yang disregulasinya ikut
berperan dalam awal mula perkembangan keganasan. Terdapat 6 tanda utama
kanker yaitu:
1. Self Sufficiency (menghasilkan sendiri) sinyal pertumbuhan
2. Insensitivitas terhadap sinyal penghambat pertumbuhan
3. Menghindar apoptosis
4. Potensi replikasi tanpa batas
5. Angiogenesis berkelanjutan
6. Kemampuan menginvasi dan metastasis
28
2. Aktivasi reseptor faktor pertumbuhan secara transien dan terbatas, yang
kemudian mengaktifkan beberapa protein transduksi sinyal di lembar
membran plasma
3. Transmisi sinyal ditransduksi melintasi sitosol menuju inti sel melalui
perantara kedua
4. Induksi dan aktivasi regulatorik inti sel yang memicu transkripsi DNA
5. Sel masuk kedalam dan mengikuti siklus sel yang akhirnya
menyebabkan sel membelah
29
sinyal pendorong pertumbuhan ke nukleus. Protein RAS mutan mengalami
aktivasi terus menerus karena tidak mampu menghidrolisis GTP sehingga sel terus
menerus terangsang tanpa adanya pemicu eksternal. Melekatnya RAS ke
membran sel oleh gugus famesil merupakan hal esensial untuk kerjanya dan obat
yang merangsang farnesilasi dapat menghambat kerja RAS.
Walaupun onkogen memproduksi berbagai protein yang mendorong
pertumbuhan sel, terdapat produk penekan tumor yang menjadi rem bagi
proliferasi sel. Walaupun telah banyak diketahui tentang sirkuit yang berperan
sebagai rem bagi siklus sel, molekul yang menyalurkan sinyal antiproliferasi ke
sel masih belum diketahui pasti. Gen yang paling dikenal adalah TGF-β, pada
sebagian besar sel epitel, endotel dan hemopoietik normal, TGF-β adalah inhibitor
kuat bagi proliferasi. Molekul ini mengendalikan proses sel melalui ikatan dengan
3 reseptor yaitu tipe I, II, dan III. Efek antiproliferasi TGF-β diperantarai
teruatama oleh jalur RB. TGF-β menghentikan proliferasi sel di fase G-1 dengan
merangsang produksi CDKI p15 dan dengan menghambat transkripsi CDK-2,
CDK-4 serta siklin A dan E. Pada banyak bentuk kanker, efek jalur TGF-β yang
mengenai reseptor TGF-β tipe II atau molekul SMAD yang berfungsi
menyalurkan sinyal antiproliferasi dari reseptor ke inti sel.
30
DNA melalui mekanisme yang tidak diketahui dan membantu perbaikan DNA
dengan menyebabkan penghentian G-1 dan memicu gen yang memperbaiki DNA.
Sel yang mengalami kerusakan DNA dan tidak dapat diperbaiki diarahkan oleh
TP-53 untuk mengalami apoptosis. Apabila terjadi kehilangan TP-53 secara
homozigot, kerusakan DNA tidak dapat diperbaiki dan mutasi akan terfiksasi di
sel ayng membelah sehingga sel akan masuk jalan satu arah menuju keganasan.
31
Penyebaran sel tumor adalah suatu proses rumit yang melibatkan
serangkaian tahapan, diantaranya yaitu:
1. Terlepasnya sel tumor satu sama lain
2. Melekatnya sel tumor ke komponen matriks
3. Penguraian matriks ekstraseluler
4. Migrasi tumor
32
III.2.5 Diagnosis Kanker secara Laboratories
III.2.5.1 Metode Morfologik
a. Frozen plasma
Diagnosis frozen plasma memungkinkan kita menentukan apakah lesi
ganas dan mungkin memerlukan eksisi luas atau pengambilan sampel
kelenjar getah bening ketiak untuk mengetahui penyebaran.
b. Aspirasi jarum halus
Asprasi jarum halus terhadap tumor adalah pendekatan yang populer.
Tindakan ini berupa aspirasi dari suatu massa diikuti pemeriksaan apusan
sitologi. Prosedur ini paling sering diterapkan pada lesi yang teraba di
payudara, KGB, kelenjar liur dan struktur yang lebih dalam seperti hati,
pankreas dan KGB panggul
c. Apusan sitologi (Papanicalaou)
Merupakan metode deteksi kanker, pemeriksaan ini digunakan secara luas
untuk menemukan karsinoma serviks, sering pada stadium in situ, serta
banyak pada keganasan lain seperti karsinoma bronkogenik, tumor
kandung kemih dan prostat, karsinoma lambung.
d. Imunohistokimia
Merupakan pemeriksaan melaului deteksi sitokeratin oleh antibodi
monoklonal spesifik yang dilabel oleh peroksidase
e. Flow Cytometri
Metode ini menggunakan antibodi fluoresen terhadap molekul permukaan
sel dan antigen diferensiasi untuk memperoleh fenotipe sel ganas.
33
III. 3 Tumor Cerebri
III.3.1 Definisi
Tumor otak merupakan suatu lesi ekspansif yang bersifat jinak (benigna)
ataupun ganas (maligna), membentuk massa dalam ruang tengkorak kepala (intra
cranial). Neoplasma SSP primer sedikit berbeda dengan neoplasma yang timbul
di tempat lain, dalam artian bahwa bahkan lesi yang secara hitologis jinak, dapat
menyebabkan kematian karena penekanan terhadap struktur vital. Selain itu,
berbeda dengan neoplasma yang timbul di luar SSP, bahkan tumor otak primer
yang secara histologis ganas jarang menyebar kebagian tubuh lain (Kumar et al.,
2007).
Tumor otak intrakranial dapat diklasifikasikan menjadi tumor otak benigna
dan maligna. Tumor otak benigna umumnya ekstra-aksial, yaitu tumbuh dari
meningen, saraf kranialis, atau struktur lain dan menyebabkan kompresi ekstrinsik
pada substansi otak. Meskipun dinyatakan benigna secara histologis, tumor ini
dapat mengancam nyawa karena efek yang ditimbulkan. Tumor maligna sendiri
umumnya terjadi intra-aksial yaitu berasal dari parenkim otak. Tumor maligna
dibagi menjadi tumor maligna primer yang umumnya berasal dari sel glia dan
tumor otak maligna sekunder yang merupakan metastasis dari tumor maligna di
bagian tubuh lain.
Pada pasien tumor otak yang berusia tua dengan atrofi otak, kejadian
edema otak jarang menimbulkan peningkatan tekanan intra kranial, mungkin
dikarenakan ruang intrakranial yang berlebihan. Hal ini dapat menjelaskan tidak
adanya papiledema pada pasien berusia tua. Muntah lebih sering terjadi pada
anak-anak dibandingkan dengan dewasa dan biasanya berhubungan dengan lesi di
daerah infratentorial.
III.3.2 Etiologi
Penyebab tumor hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti,
walaupun telah banyak penyelidikan yang dilakukan. Adapun faktor-faktor yang
perlu ditinjau, yaitu:
34
1. Herediter
Riwayat tumor otak dalam satu anggota keluarga jarang ditemukan kecuali
pada meningioma, astrositoma dan neurofibroma dapat dijumpai pada anggota-
anggota sekeluarga. Sklerosis tuberose atau penyakit Sturge-Weber yang dapat
dianggap sebagai manifestasi pertumbuhan baru, memperlihatkan faktor
familial yang jelas. Selain jenis-jenis neoplasma tersebut tidak ada bukti-bukti
yang kuat untuk memikirkan adanya faktor-faktor hereditas yang kuat pada
neoplasma.
2. Sisa-sisa Sel Embrional (Embryonic Cell Rest)
Bangunan-bangunan embrional berkembang menjadi bangunan-bangunan yang
mempunyai morfologi dan fungsi yang terintegrasi dalam tubuh. Tetapi ada
kalanya sebagian dari bangunan embrional tertinggal dalam tubuh, menjadi
ganas dan merusak bangunan di sekitarnya. Perkembangan abnormal itu dapat
terjadi pada kraniofaringioma, teratoma intrakranial dan kordoma.
3. Radiasi
Jaringan dalam sistem saraf pusat peka terhadap radiasi dan dapat mengalami
perubahan degenerasi, namun belum ada bukti radiasi dapat memicu terjadinya
suatu glioma. Pernah dilaporkan bahwa meningioma terjadi setelah timbulnya
suatu radiasi.
4. Virus
Banyak penelitian tentang inokulasi virus pada binatang kecil dan besar yang
dilakukan dengan maksud untuk mengetahui peran infeksi virus dalam proses
terjadinya neoplasma, tetapi hingga saat ini belum ditemukan hubungan antara
infeksi virus dengan perkembangan tumor pada sistem saraf pusat.
Penyelidikan tentang substansi karsinogen sudah lama dan luas dilakukan. Kini
telah diakui bahwa ada substansi yang karsinogenik seperti
methylcholanthrone, nitroso-ethyl-urea. Ini berdasarkan percobaan yang
dilakukan pada hewan.
35
III.3.3 Klasifikasi
Klasifikasi tumor otak menurut lokasi, yaitu :
1. Supratentorial, yaitu Tumor yang terletak di atas tentorium serebelli
2. Infratentorial atau subtentorial, yaitu : Tumor yang terletak di bawah tentorium
serebelli dalam fossa Kranni Posterior
2. Tumor Non-glia
Pineal parenkim tumor
Pineostioma
Pineoblastoma
Astrositoma
Germ tumor
Germinoma
36
Embrional karsinoma
Teratoma
Craniopharingioma
Meningioma
Meningioma
Maligna meningioma
Choroid plexus tumor
Choroid plexus papiloma
Anaplastik choroids plexus papilloma
37
Gambaran Penumpukan zat
Kontras pada Tumor di
Ventrikel Lateral –
Ependimoma
Gambaran MRI
Meduloblastoma di
Cerebellum
38
Gambaran CT-Scan
venogram – potongan
koronal Meningioma di
Sinus Sagitalis Superior
6) Germ Cell Tumor, berasal dari sel primitif sel kelamin atau dari germ sel,
sering disebut Germinoma
7) Tumor Pineal, terjadi disekitar kelenjar pineal, yaitu suatu organ yang
kecil di dekat pusat otak. Tumbuh lambat (Pineositoma), dapat tumbuh
39
cepat (Pineoblastoma). Daerah pineal sulit dicapai dan sering tidak dapat
diangkat.
40
Tekanan Tinggi Intrakranial
Trias gejala klasik dari sindroma tekanan tinggi intrakranial adalah: nyeri
kepala, muntah proyektil, dan papiledema. Keluhan nyeri kepala disini
cenderung bersifat intermittent, tumpul, berdenyut dan tidak begitu hebat terutama
di pagi hari karena selama tidur malam PCO2 serebral meningkat sehingga
mengakibatkan peningkatan CBF (Cerebral Blood Flow) dan dengan demikian
mempertinggi tekanan intrakranial. Juga lonjakan sejenak seperti karena batuk,
mengejan atau berbangkis memperberat nyeri kepala. Nyeri dirasa berlokasi di
sekitar daerah frontal atau oksipital. Penderita sering kali disertai muntah yang
“menyemprot” (proyektil) dan tidak didahului oleh mual. Hal ini terjadi oleh
karena tekanan intrakranial yang menjadi lebih tinggi selama tidur malam, akibat
PCO2 serebral meningkat. Tumor otak pada bayi yang menyumbat aliran likuor
serebrospinal sering kali ditampilkan dengan pembesaran lingkar kepala yang
progresif dan ubun-ubun besar yang menonjol; sedangkan pada anak-anak yang
lebih besar di mana suturanya relative sudah merapat, biasanya gejala papiledema
terjadi lebih menonjol. Papiledema dapat timbul pada tekanan intrakranial yang
meninggi atau akibat penekanan pada nervus optikus oleh tumor secara langsung.
Papiledema memperlihatkan kongesti venosa yang jelas, dengan papil yang
berwarna merah tua dan perdarahan-perdarahan di sekitarnya.
41
Kejang
Gejala kejang pada tumor otak khususnya di daerah supratentorial dapat
berupa kejang umum, psikomotor ataupun kejang fokal. Kejang dapat merupakan
gejala awal yang tunggal dari neoplasma hemisfer otak dan menetap untuk
beberapa lama sampai gejala lainnya timbul.
Perdarahan Intrakranial
Bukanlah suatu hal yang jarang bahwa tumor otak diawali dengan
perdarahan intrakranial-subarakhnoid, intraventrikuler atau intraserebral.
42
di hemisfer kiri (dominan). Tumor-tumor daerah supraselar, nervus optikus dan
hipotalamus dapat mengganggu akuitas visus. Kelumpuhan saraf okulomotorius
merupakan tampilan khas dari tumor-tumor paraselar, dan dengan adanya tekanan
intracranial yang meninggi kerap disertai dengan kelumpuhan saraf abdusens.
Nistagmus biasanya timbul pada tumor-tumor fosa posterior; sedangkan tumor-
tumor supraselar atau paraselar kadang (jarang sekali) menyebabkan gejala
patognomonik berupa nistagmus ‘gergaji’ (seesaw nystagmus); gerakan mata
diskonjugat, ventrikal dan rotasional di mana masing-masing mata geraknya
saling berlawanan. Kelemahan wajah dan hemiparesis yang berkaitan dengan
gangguan sensorik serta kadang ada efek visual merupakan refleksi kerusakan
yang melibatkan kapsula interna atau korteks yang terkait. Ataksia trukal adalah
pertanda suatu tumor fosa posterior yang terletak di garis tengah. Gangguan
endokrin menunjukkan adanya kelainan pada hipotalamus-hipofise.
Secara umum pasien tumor otak bisa memiliki gejala seperti perubahan
perilaku contohnya, pasien mungkin mudah lelah atau kurang konsentrasi. Selain
itu, gejala hipertensi intrakranial seperti sakit kepala, mual, vertigo. Serangan
epilepsi juga sering dijumpai pada pasien tumor otak. (Rohkamm, 2004)
1. Lobus frontal
- Menimbulkan gejala perubahan kepribadian seperti depresi.
- Menimbulkan masalah psychiatric.
- Bila jaras motorik ditekan oleh tumor hemiparese kontra lateral, kejang
fokal dapat timbul. Gejala kejang biasanya ditemukan pada stadium lanjut
- Bila menekan permukaan media dapat menyebabkan inkontinentia.
- Pada lobus dominan menimbulkan gejala afasia.
2. Lobus temporal
- Dapat menimbulkan gejala hemianopsia.
- Gejala neuropsychiatric seperti amnesia, hypergraphia dan Déjà vu juga
dapat timbul.
- Lesi pada lobus yang dominan bisa menyebabkan aphasia.
43
3. Lobus parietalis
- Akan menimbulkan gangguan sensori dan motor yang kontralateral.
- Gejala homonymous hemianopsia juga bisa timbul.
- Bila ada lesi pada lobus yang dominant gejala disfasia. •
- Lesi yang tidak dominan bisa menimbulkan geographic agnosia dan
dressing apraxia.
4. Lobus oksipital
- Menimbulkan homonymous hemianopia yang kontralateral
- Gangguan penglihatan yang berkembang menjadi object agnosia.
7. Tumor di cerebelum
- Didapati gangguan berjalan dan gejala tekanan intrakranial yang tinggi
seperti mual, muntah dan nyeri kepala. Hal ini juga disebabkan oleh
oedem yang terbentuk.
- Nyeri kepala khas didaerah oksipital yang menjalar ke leher dan spasme
dari otot-otot servikal.
III.3.5 Diagnosis
III.3.5.1 Anamnesis & Pemeriksaan Fisik
Keluhan yang timbul dapat berupa sakit kepala, mual, penurunan nafsu
makan, muntah proyektil, kejang, defisit neurologik (penglihatan ganda,
strabismus, gangguan keseimbangan, kelumpuhan ekstremitas gerak, dsb),
perubahan kepribadian, mood, mental, atau penurunan fungsi kognitif.
44
Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan mencakup pemeriksaan status
generalis dan lokalis, serta pemeriksaan neurooftalmologi. Kanker otak
melibatkan struktur yang dapat mendestruksi jaras penglihatan dan gerakan
bola mata, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga beberapa
kanker otak dapat memiliki manifestasi neurooftalmologi yang khas seperti tumor
regio sella, tumor regio pineal, tumor fossa posterior, dan tumor basis kranii.
Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan neurooftalmologi terutama
untuk menjelaskan kesesuaian gangguan klinis dengan fungsional kanker otak.
Pemeriksaan ini juga berguna untuk mengevaluasi pre- dan post tindakan (operasi,
radioterapi dan kemoterapi) pada tumor-tumor tersebut.
45
berguna untuk melihat adanya tumor pada langkah awal penegakkan diagnosis
dan sangat baik untuk melihat kalsifikasi, lesi erosi/destruksi pada tulang
tengkorak. MRI dapat melihat gambaran jaringan lunak dengan lebih jelas dan
sangat baik untuk tumor infratentorial, namun mempunyai keterbatasan dalam
hal menilai kalsifikasi.
Pemeriksaan fungsional MRI seperti MRS sangat baik untuk menentukan
daerah nekrosis dengan tumor yang masih viabel sehingga baik digunakan
sebagai penuntun biopsi serta untuk menyingkirkan diagnosis banding, demikian
juga pemeriksaan DWI. Pemeriksaan positron emission tomography (PET) dapat
berguna pascaterapi untuk membedakan antara tumor yang rekuren dan jaringan
nekrosis akibat radiasi. Pemeriksaan sitologi dan flowcytometry cairan
serebrospinal dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis limfoma pada
susunan saraf pusat, kecurigaan metastasis leptomeningeal, atau penyebaran
kraniospinal seperti ependimoma.
III.3.6 Penatalaksanaan
III.3.6.1 Tatalaksana Penurunan Tekanan Intrakranial
Pasien dengan kanker otak sering datang dalam keadaan neuroemergency
akibat peningkatan tekanan intrakranial. Hal ini terutama diakibatkan oleh efek
desak ruang dari edema peritumoral atau edema difus, selain oleh ukuran massa
yang besar atau ventrikulomegali karena obstruksi oleh massa tersebut.
Edema serebri dapat disebabkan oleh efek tumor maupun terkait terapi,
seperti pasca operasi atau radioterapi. Gejala yang muncul dapat berupa nyeri
kepala, mual dan muntah, perburukan gejala neurologis, dan penurunan
kesadaran. Pemberian kortikosteroid sangat efektif untuk mengurangi edema
serebri dan memperbaiki gejala yang disebabkan oleh edema serebri, yang
efeknya sudah dapat terlihat dalam 24-36 jam. Agen yang direkomendasikan
adalah deksametason dengan dosis bolus intravena 10 mg dilanjutkan dosis
rumatan 16-20 mg/hari intravena lalu tappering off 2-16 mg (dalam dosis
terbagi) bergantung pada klinis. Mannitol tidak dianjurkan diberikan karena dapat
memperburuk edema, kecuali bersamaan dengan deksamethason pada situasi yang
berat, seperti pascaoperasi.
46
Efek samping pemberian steroid yakni gangguan toleransi glukosa, stress-
ulcer, miopati, perubahan mood, peningkatan nafsu makan, Cushingoid dan
sebagainya. Sebagian besar dari efek samping tersebut bersifat reversibel
apabila steroid dihentikan. Selain efek samping, hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam pemberian steroid yakni interaksi obat. Kadar antikonvulsan serum dapat
dipengaruhi oleh deksametason seperti fenitoin dan karbamazepin, sehingga
membutuhkan monitoring.
Pemberian deksametason dapat diturunkan secara bertahap, sebesar 25-
50% dari dosis awal tiap 3-5 hari, tergantung dari klinis pasien. Pada pasien
kanker otak metastasis yang sedang menjalani radioterapi, pemberian
deksametason bisa diperpanjang hingga 7 hari.
III.3.6.2 Pembedahan
Operasi pada kanker otak dapat bertujuan untuk menegakkan diagnosis
yang tepat, menurunkan tekanan intrakranial, mengurangi kecacatan, dan
meningkatkan efektifitas terapi lain.
Reseksi tumor pada umumnya direkomendasikan untuk hampir seluruh
jenis kanker otak yang operabel. Kanker otak yang terletak jauh di dalam
dapat diterapi dengan tindakan bedah kecuali apabila tindakan bedah tidak
memungkinkan (keadaan umum buruk, toleransi operasi rendah).
Teknik operasi meliputi membuka sebagian tulang tengkorak dan selaput
otak pada lokasi tumor. Tumor diangkat sebanyak mungkin kemudian sampel
jaringan dikirim ke ahli patologi anatomi untuk diperiksa jenis tumor.
Biopsi stereotaktik dapat dikerjakan pada lesi yang letak dalam. Pada
operasi biopsi stereotaktik dilakukan penentuan lokasi target dengan komputer
dan secara tiga dimensi (3D scanning). Pasien akan dipasang frame stereotaktik di
kepala kemudian dilakukan CT-scan. Hasil CT-scan diolah dengan software
planning untuk ditentukan koordinat target. Berdasarkan data ini, pada saat
operasi akan dibuat sayatan kecil pada kulit kepala dan dibuat satu lubang
(burrhole) pada tulang tengkorak. Kemudian jarum biopsi akan dimasukkan ke
arah tumor sesuai koordinat. Sampel jaringan kemudian dikirim ke ahli patologi
anatomi.
47
Pada glioma derajat tinggi maka operasi dilanjutkan dengan radioterapi
dan kemoterapi. Pilihan teknik anestesi untuk operasi intrakranial adalah anestesi
umum untuk sebagian besar kasus, atau sedasi dalam dikombinasikan dengan
blok kulit kepala untuk kraniotomi awake (sesuai indikasi).
III.3.6.3 Radioterapi
Radioterapi memiliki banyak peranan pada berbagai jenis kanker otak.
Radioterapi diberikan pada pasien dengan keadaan inoperabel, sebagai adjuvan
pasca operasi, atau pada kasus rekuren yang sebelumnya telah dilakukan tindakan
operasi. Pada dasarnya teknik radioterapi yang dipakai adalah 3D conformal
radiotherapy, namun teknik lain dapat juga digunakan untuk pasien tertentu
seperti stereotactic radiosurgery/radiotherapy, dan IMRT.
III.3.6.4 Kemoterapi
Kemoterapi pada kasus kanker otak saat ini sudah banyak digunakan
karena diketahui dapat memperpanjang angka kesintasan dari pasien terutama
pada kasus astrositoma derajat ganas. Glioblastoma merupakan tipe yang bersifat
kemoresisten, namun 2 tahun terakhir ini sedang berkembang penelitian
mengenai kegunaan temozolomid dan nimotuzumab pada glioblastoma.
Sebelum menggunakan agen-agen diatas, harus dilakukan pemeriksaan
EGFR (epidermal growth factor receptor) dan MGMT (methyl guanine methyl
transferase). Kemoterapi bertujuan untuk menghambat pertumbuhan tumor dan
meningkatkan kualitas hidup (quality of life) pasien semaksimal mungkin.
Kemoterapi biasa digunakan sebagai kombinasi dengan operasi dan/atau
radioterapi.
48
kasus ini pilihan obat nyeri adalah analgesik yang tidak menimbulkan efek sedasi
atau muntah karena dapat mirip dengan gejala kanker otak pada umumnya.
Oleh karena itu dapat diberikan parasetamol dengan dosis 20mg/berat badan
per kali dengan dosis maksimal 4000 mg/hari, baik secara oral maupun intravena
sesuai dengan beratnya nyeri. Jika komponen nyeri neuropatik yang lebih
dominan, maka golongan antikonvulsan menjadi pilihan utama, seperti
gabapentin 100-1200 mg/hari, maksimal 3600 mg/hari. Nyeri kepala tersering
adalah akibat peningkatan tekanan intrakranial, yang jika bersifat akut terutama
akibat edema peritumoral. Oleh karena itu tatalaksana utama bukanlah obat
golongan analgesik, namun golongan glukokortikoid seperti deksamethason
atau metilprednisolon intravena atau oral sesuai dengan derajat nyerinya.
III.3.6.7 Psikiatri
Pasien dengan kanker otak dapat mengalami gangguan psikiatri hingga
78%, baik bersifat organik akibat tumornya atau fungsional yang berupa gangguan
penyesuaian, depresi, dan ansietas. Hal ini dapat menghambat proses tatalaksana
49
terhadap pasien. Oleh karena itu, diperlukan pendampingan mulai dari
menyampaikan informasi tentang diagnosis dan keadaan pasien (breaking the bad
news) melalui pertemuan keluarga (family meeting) dan pada tahap-tahap
pengobatan selanjutnya. Pasien juga dapat diberikan psikoterapi suportif dan
relaksasi yang akan membantu pasien dan keluarga, terutama pada perawatan
paliatif.
III.3.7 Prognosis
Prognosis tergantung jenis tumor spesifik. Berdasarkan data di Negara-
negara maju, dengan diagnosis dini dan juga penanganan yang tepat melalui
pembedahan dilanjutkan dengan radioterapi, angka ketahanan hidup 5 tahun (5
years survival) berkisar 50-60% dan angka ketahanan hidup 10 tahaun (10 years
survival) berkisar 30-40%.
50
DAFTAR PUSTAKA
Black PB. Brain tumor, review article. The NEJM. 1991 (324):1471-2
Kumar V, Cotran RS & Robbin SL. (2007). Robbins Bassic Pathology 7 th Ed.
Jakarta: EGC
Tumor Otak dalam Buku Ajar Neurologi Klinis edisi I. Yogyakarta; Gajah Mada
University Press; 1999. hal: 201 – 7.
51