Vous êtes sur la page 1sur 104

LAPORAN PENDAHULUAN COMBUSTIO/ LUKA BAKAR

A. DEFINISI COMBUSTIO/ LUKA BAKAR

 Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh pengalihan energi dari suatu sumber panas
pada tubuh, panas dapat dipindahkan oleh hantaran/radiasi electromagnet (Brunner &
Suddarth, 2002).
 Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontrak dengan
sumber panas seperti api, air, panas, bahan kimia, listrik dan radiasi (Moenajar, 2002).
 Luka bakar adalah kerusakan pada kulit diakibatkan oleh panas, kimia atau radio aktif
(Wong, 2003).
 Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan
adanya kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan
radiasi. Kerusakan jaringan yang disebabkan api dan koloid (misalnya bubur panas) lebih
berat dibandingkan air panas. Ledakan dapat menimbulkan luka bakar dan menyebabkan
kerusakan organ. Bahan kimia terutama asam menyebabkan kerusakan yang hebat akibat
reaksi jaringan sehingga terjadi diskonfigurasi jaringan yang menyebabkan gangguan
proses penyembuhan. Lama kontak jaringan dengan sumber panas menentukan luas dan
kedalaman kerusakan jaringan. Semakin lama waktu kontak, semakin luas dan dalam
kerusakan jaringan yang terjadi (Moenadjat, 2003).

 Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan
kontak dengan sumber panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Kulit dengan luka bakar
akan mengalami kerusakan pada epidermis, dermis, maupun jaringan subkutan
tergantung faktor penyebab dan lamanya kontak dengan sumber panas/penyebabnya.
Kedalaman luka bakar akan mempengaruhi kerusakan/ gangguan integritas kulit dan
kematian sel-sel (Yepta, 2003).
 Luka bakar adalah luka yang terjadi karena terbakar api langsung maupun tidak langsung,
juga pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik, maupun bahan kimia. Luka bakar karena
api atau akibat tidak langsung dari api, misalnya tersiram air panas banyak terjadi pada
kecelakaan rumah tangga (Sjamsuidajat, 2004)
 Luka bakar yaitu luka yang disebabkan oleh suhu tinggi, dan disebabkan banyak faktor,
yaitu fisik seperti api, air panas, listrik seperti kabel listrik yang mengelupas, petir, atau
bahan kimia seperti asam atau basa kuat (Triana, 2007).
 Luka bakar adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas, arus listrik bahan kimia dan
petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam (Kusumaningrum,
2008)
 Luka bakar bisa berasal dari berbagai sumber, dari api, matahari, uap, listrik, bahan
kimia, dan cairan atau benda panas. Luka bakar bisa saja hanya berupa luka ringan yang
bisa diobati sendiri atau kondisi berat yang mengancam nyawa yang membutuhkan
perawatan medis yang intensif (PRECISE, 2011)

B. KLASIFIKASI COMBUSTIO/ LUKA BAKAR


1. Berdasarkan penyebab:
a. Luka bakar karena api
b. Luka bakar karena air panas
c. Luka bakar karena bahan kimia
d. Luka bakar karena listrik
e. Luka bakar karena radiasi
f. Luka bakar karena suhu rendah (frost bite)
2. Berdasarkan kedalaman luka bakar:
a. Luka bakar derajat I
Luka bakar derajat pertama adalah setiap luka bakar yang di dalam proses penyembuhannya
tidak meninggalkan jaringan parut. Luka bakar derajat pertama tampak sebagai suatu daerah
yang berwarna kemerahan, terdapat gelembung gelembung yang ditutupi oleh daerah putih,
epidermis yang tidak mengandung pembuluh darah dan dibatasi oleh kulit yang berwarna merah
serta hiperemis.
Luka bakar derajat pertama ini hanya mengenai epidermis dan biasanya sembuh dalam 5-7 hari,
misalnya tersengat matahari. Luka tampak sebagai eritema dengan keluhan rasa nyeri atau
hipersensitifitas setempat. Luka derajat pertama akan sembuh tanpa bekas.
Gambar 1. Luka bakar derajat I
b. Luka bakar derajat II
Kerusakan yang terjadi pada epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi inflamasi akut
disertai proses eksudasi, melepuh, dasar luka berwarna merah atau pucat, terletak lebih tinggi di
atas permukaan kulit normal, nyeri karena ujungujung saraf teriritasi. Luka bakar derajat II ada
dua:
1) Derajat II dangkal (superficial)
Kerusakan yang mengenai bagian superficial dari dermis, apendises kulit seperti folikel rambut,
kelenjar keringat, kelenjar sebasea masih utuh. Luka sembuh dalam waktu 10-14 hari.
2) Derajat II dalam (deep)
Kerusakan hampir seluruh bagian dermis. Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar
keringat, kelenjar sebasea sebagian masih utuh. Penyembuhan terjadi lebih lama, tergantung
apendises kulit yang tersisa. Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari satu bulan.

Gambar 2. Luka bakar derajat II


c. Luka bakar derajat III
Kerusakan meliputi seluruh ketebalan dermis dan lapisan yang lebih dalam, apendises kulit
seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea rusak, tidak ada pelepuhan, kulit
berwarna abu-abu atau coklat, kering, letaknya lebih rendah dibandingkan kulit sekitar karena
koagulasi protein pada lapisan epidermis dan dermis, tidak timbul rasa nyeri. Penyembuhan lama
karena tidak ada proses epitelisasi spontan.
Gambar 3. Luka bakar derajat III
3. Berdasarkan tingkat keseriusan luka
a. Luka bakar ringan/ minor
1) Luka bakar dengan luas < 15 % pada dewasa
2) Luka bakar dengan luas < 10 % pada anak dan usia lanjut
3) Luka bakar dengan luas < 2 % pada segala usia (tidak mengenai muka, tangan, kaki, dan
perineum.
b. Luka bakar sedang (moderate burn)
1) Luka bakar dengan luas 15 – 25 % pada dewasa, dengan luka bakar derajat III kurang dari 10 %
2) Luka bakar dengan luas 10 – 20 % pada anak usia < 10 tahun atau dewasa > 40 tahun, dengan
luka bakar derajat III kurang dari 10 %
3) Luka bakar dengan derajat III < 10 % pada anak maupun dewasa yang tidak mengenai muka,
tangan, kaki, dan perineum.
c. Luka bakar berat (major burn)
1) Derajat II-III > 20 % pada pasien berusia di bawah 10 tahun atau di atas usia 50 tahun
2) Derajat II-III > 25 % pada kelompok usia selain disebutkan pada butir pertama
3) Luka bakar pada muka, telinga, tangan, kaki, dan perineum
4) Adanya cedera pada jalan nafas (cedera inhalasi) tanpa memperhitungkan luas luka bakar
5) Luka bakar listrik tegangan tinggi
6) Disertai trauma lainnya
7) Pasien-pasien dengan resiko tinggi.

C. ETIOLOGI COMBUSTIO/ LUKA BAKAR


Luka bakar (Combustio) dapat disebabkan oleh paparan api, baik secara langsung
maupun tidak langsung, misal akibat tersiram air panas yang banyak terjadi pada kecelakaan
rumah tangga. Selain itu, pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik maupun bahan kimia juga
dapat menyebabkan luka bakar. Secara garis besar, penyebab terjadinya luka bakar dapat dibagi
menjadi:
1. Paparan api
 Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka, dan menyebabkan cedera
langsung ke jaringan tersebut. Api dapat membakar pakaian terlebih dahulu baru mengenai
tubuh. Serat alami memiliki kecenderungan untuk terbakar, sedangkan serat sintetik cenderung
meleleh atau menyala dan menimbulkan cedera tambahan berupa cedera kontak.
 Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan benda panas. Luka bakar yang
dihasilkan terbatas pada area tubuh yang mengalami kontak. Contohnya antara lain adalah luka
bakar akibat rokok dan alat-alat seperti solder besi atau peralatan masak.
2. Scalds (air panas)
Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan dan semakin lama waktu
kontaknya, semakin besar kerusakan yang akan ditimbulkan. Luka yang disengaja atau akibat
kecelakaan dapat dibedakan berdasarkan pola luka bakarnya. Pada kasus kecelakaan, luka
umumnya menunjukkan pola percikan, yang satu sama lain dipisahkan oleh kulit sehat.
Sedangkan pada kasus yang disengaja, luka umumnya melibatkan keseluruhan ekstremitas dalam
pola sirkumferensial dengan garis yang menandai permukaan cairan.
3. Uap panas
Terutama ditemukan di daerah industri atau akibat kecelakaan radiator mobil. Uap panas
menimbulkan cedera luas akibat kapasitas panas yang tinggi dari uap serta dispersi oleh uap
bertekanan tinggi. Apabila terjadi inhalasi, uap panas dapat menyebabkan cedera hingga ke
saluran napas distal di paru.
4. Gas panas
Inhalasi menyebabkan cedera thermal pada saluran nafas bagian atas dan oklusi jalan nafas
akibat edema.
5. Aliran listrik
Cedera timbul akibat aliran listrik yang lewat menembus jaringan tubuh. Umumnya luka bakar
mencapai kulit bagian dalam. Listrik yang menyebabkan percikan api dan membakar pakaian
dapat menyebabkan luka bakar tambahan.
6. Zat kimia (asam atau basa)
7. Radiasi
8. Sunburn sinar matahari, terapi radiasi.

D. ANATOMI FISIOLOGI COMBUSTIO/ LUKA BAKAR


Kulit adalah organ tubuh terluas yang menutupi otot dan mempunyai fungsi sebagai
pelindung tubuh dan berbagai trauma ataupun masuknya bakteri, kulit juga mempunyai fungsi
utama reseptor yaitu untuk mengindera suhu, perasaan nyeri, sentuhan ringan dan tekanan, pada
bagian stratum korneum mempunyai kemampuan menyerap air sehingga dengan demikian
mencegah kehilangan air serta elektrolit yang berlebihan dan mempertahankan kelembaban
dalam jaringan subkutan.
Tubuh secara terus menerus akan menghasilkan panas sebagai hasil metabolisme
makanan yang memproduksi energi, panas ini akan hilang melalui kulit, selain itu kulit yang
terpapar sinar ultraviolet dapat mengubah substansi yang diperlukan untuk mensintesis vitamin
D. kulit tersusun atas 3 lapisan utama yaitu epidermis, dermis dan jaringan subkutan.
1. Lapisan epidermis, terdiri atas:
a. Stratum korneum, selnya sudah mati, tidak mempunyai inti sel, inti selnya sudah mati dan
mengandung keratin, suatu protein fibrosa tidak larut yang membentuk barier terluar kulit dan
mempunyai kapasitas untuk mengusir patogen dan mencegah kehilangan cairan berlebihan dari
tubuh.
b. Stratum lusidum. Selnya pipih, lapisan ini hanya terdapat pada telapak tangan dan telapak kaki.
c. Stratum granulosum, stratum ini terdiri dari sel-sel pipi seperti kumparan, sel-sel tersebut
terdapat hanya 2-3 lapis yang sejajar dengan permukaan kulit.
d. Stratum spinosum/stratum akantosum. Lapisan ini merupakan lapisan yang paling tebal dan
terdiri dari 5-8 lapisan. Sel-selnya terdiri dari sel yang bentuknya poligonal (banyak sudut dan
mempunyai tanduk).
e. Stratum basal/germinatum. Disebut stratum basal karena sel-selnya terletak di bagian
basal/basis, stratum basal menggantikan sel-sel yang di atasnya dan merupakan sel-sel induk.
2. Lapisan dermis terbagi menjadi dua yaitu:
a. Bagian atas, pars papilaris (stratum papilaris)
Lapisan ini berada langsung di bawah epidermis dan tersusun dari sel-sel fibroblas yang
menghasilkan salah satu bentuk kolagen.
b. Bagian bawah, pars retikularis (stratum retikularis).
Lapisan ini terletak di bawah lapisan papilaris dan juga memproduksi kolagen.
Dermis juga tersusun dari pembuluh darah serta limfe, serabut saraf, kelenjar keringat
serta sebasea dan akar rambut.
3. Jaringan subkutan atau hipodermis
Merupakan lapisan kulit yang terdalam. Lapisan ini terutamanya adalah jaringan
adipose yang memberikan bantalan antara lapisan kulit dan struktur internal seperti otot dan tu
lang. Jaringan subkutan dan jumlah deposit lemak merupakan faktor penting dalam pengaturan
suhu tubuh.
Kelenjar Pada Kulit

Kelenjar keringat ditemukan pada kulit pada sebagian besar permukaan tubuh. Kelenjar
ini terutama terdapat pada telapak tangan dan kaki. Kelenjar keringat diklasifikasikan menjadi 2,
yaitu kelenjar ekrin dan apokrin. Kelenjar ekrin ditemukan pada semua daerah kulit. Kelenjar
apokrin berukuran lebih besar dan kelenjar ini terdapat aksila, anus, skrotum dan labia mayora.

Gambar 4. Anatomi Kulit

E. PATOFISIOLOGI COMBUSTIO/ LUKA BAKAR


Luka bakar (Combustio) disebabkan oleh pengalihan energi dari suatu sumber panas
kepada tubuh. Panas dapat dipindahkan lewat hantaran atau radiasi elektromagnetik. Destruksi
jaringan terjadi akibat koagulasi, denaturasi protein atau ionisasi isi sel. Kulit dan mukosa
saluran nafas atas merupakan lokasi destruksi jaringan. Jaringan yang dalam termasuk organ
visceral dapat mengalami kerusakan karena luka bakar elektrik atau kontak yang lama dengan
burning agent. Nekrosis dan keganasan organ dapat terjadi.
Kedalam luka bakar bergantung pada suhu agen penyebab luka bakar dan lamanya
kontak dengan gen tersebut. Pajanan selama 15 menit dengan air panas dengan suhu sebesar
56.10 C mengakibatkan cidera full thickness yang serupa. Perubahan patofisiologik yang
disebabkan oleh luka bakar yang berat selama awal periode syok luka bakar mencakup
hipoperfusi jaringan dan hipofungsi organ yang terjadi sekunder akibat penurunan curah jantung
dengan diikuti oleh fase hiperdinamik serta hipermetabolik. Kejadian sistemik awal sesudah luka
bakar yang berat adalah ketidakstabilan hemodinamika akibat hilangnya integritas kapiler dan
kemudian terjadi perpindahan cairan, natrium serta protein dari ruang intravaskuler ke dalam
ruanga interstisial.
Curah jantung akan menurun sebelum perubahan yang signifikan pada volume darah
terlihat dengan jelas. Karena berkelanjutnya kehilangan cairan dan berkurangnya volume
vaskuler, maka curah jantung akan terus turun dan terjadi penurunan tekanan darah. Sebagai
respon, system saraf simpatik akan melepaskan ketokelamin yang meningkatkan vasokontriksi
dan frekuensi denyut nadi. Selanjutnya vasokontriksi pembuluh darah perifer menurunkan curah
jantung.
Umumnya jumlah kebocoran cairan yang tersebar terjadi dalam 24 hingga 36 jam
pertama sesudah luka bakar dan mencapai puncaknya dalam tempo 6-8 jam. Dengan terjadinya
pemulihan integritas kapiler, syok luka bakar akan menghilang dan cairan mengalir kembali ke
dalam kompartemen vaskuler, volume darah akan meningkat. Karena edema akan bertambah
berat pada luka bakar yang melingkar. Tekanan terhadap pembuluh darah kecil dan saraf pada
ekstremitas distal menyebabkan obstruksi aliran darah sehingga terjadi iskemia. Komplikasi ini
dinamakan sindrom kompartemen.
Volume darah yang beredar akan menurun secara dramatis pada saat terjadi syok luka
bakar. Kehilangan cairan dapat mencapai 3-5 liter per 24 jam sebelum luka bakar ditutup.
Selama syok luka bakar, respon luka bakar respon kadar natrium serum terhadap resusitasi cairan
bervariasi. Biasanya hipnatremia terjadi segera setelah terjadinya luka bakar, hiperkalemia akan
dijumpai sebagai akibat destruksi sel massif. Hipokalemia dapat terhadi kemudian dengan
berpeindahnya cairan dan tidak memadainya asupan cairan. Selain itu juga terjadi anemia akibat
kerusakan sel darah merah mengakibatkan nilai hematokrit meninggi karena kehilangan plasma.
Abnormalitas koagulasi yang mencakup trombositopenia dan masa pembekuan serta waktu
protrombin memanjang juga ditemui pada kasus luka bakar.
Kasus luka bakar dapat dijumpai hipoksia. Pada luka bakar berat, konsumsi oksigen
oleh jaringan meningkat 2 kali lipat sebagai akibat hipermetabolisme dan respon lokal. Fungsi
renal dapat berubah sebagai akibat dari berkurangnya volume darah. Destruksi sel-sel darah
merah pada lokasi cidera akan menghasilkan hemoglobin bebas dalam urin. Bila aliran darah
lewat tubulus renal tidak memadai, hemoglobin dan mioglobin menyumbat tubulus renal
sehingga timbul nekrosis akut tubuler dan gagal ginjal.
Kehilangan integritas kulit diperparah lagi dengan pelepasan faktor-faktor inflamasi
yang abnormal, perubahan immunoglobulin serta komplemen serum, gangguan fungsi neutrofil,
limfositopenia. Imunosupresi membuat pasien luka bakar bereisiko tinggi untuk mengalmai
sepsis. Hilangnya kulit menyebabkan ketidakmampuan pengaturan suhunya. Beberapa jam
pertama pasca luka bakar menyebabkan suhu tubuh rendah, tetapi pada jam-jam berikutnya
menyebabkan hipertermi yang diakibatkan hipermetabolisme
Pathway
Pathway Combusio (Luka Bakar)
F. MANIFESTASI KLINIS COMBUSTIO/ LUKA BAKAR
Kedalaman Dan Bagian Kulit
Penampilan Perjalanan
Penyebab Luka Yang Gejala
Luka Kesembuhan
Bakar Terkena
Derajat Satu Epidermis Kesemutan, Memerah, Kesembuhan
(Superfisial): hiperestesia menjadi putih lengkap dalam
tersengat matahari, (supersensivitas), ketika ditekan waktu satu minggu,
terkena api dengan rasa nyeri mereda minimal atau terjadi
intensitas rendah jika didinginkan tanpa edema pengelupasan kulit

Derajat Dua Epidermis Nyeri, hiperestesia, Melepuh, dasar Kesembuhan dalam


(Partial- dan bagian sensitif terhadap luka berbintik- waktu 2-3 minggu,
Thickness): dermis udara yang dingin bintik merah, pembentukan parut
tersiram air epidermis retak, dan depigmentasi,
mendidih, terbakar permukaan luka infeksi dapat
oleh nyala api basah, terdapat mengubahnya
edema menjadi derajat-
tiga
Derajat Tiga (Full- Epidermis, Tidak terasa nyeri, Kering, luka Pembentukan
Thickness): keseluruhan syok, hematuria bakar berwarna eskar, diperlukan
terbakar nyala api, dermis dan (adanya darah dalam putih seperti pencangkokan,
terkena cairan kadang- urin) dan bahan kulit atau pembentukan parut
mendidih dalam kadang kemungkinan pula gosong, kulit dan hilangnya
waktu yang lama, jaringan hemolisis (destruksi retak dengan kontur serta fungsi
tersengat arus listrik subkutan sel darah merah), bagian lemak kulit, hilangnya jari
kemungkinan yang tampak, tangan atau
terdapat luka masuk terdapat edema ekstrenitas dapat
dan keluar (pada luka terjadi
bakar listrik)
.
G. PENYEMBUHAN LUKA COMBUSTIO/ LUKA BAKAR
Proses yang kemudian pada jaringan rusak ini adalah penyembuhan luka yang dapat dibagi
dalam 3 fase:
1. Fase inflamasi
Fase yang berentang dari terjadinya luka bakar sampai 3-4 hari pasca luka bakar. Dalam fase ini
terjadi perubahan vaskuler dan proliferasi seluler. Daerah luka mengalami agregasi trombosit dan
mengeluarkan serotonin, mulai timbul epitelisasi.
2. Fase proliferasi
Fase proliferasi disebut fase fibroplasia karena yang terjadi proses proliferasi fibroblast. Fase ini
berlangsung sampai minggu ketiga. Pada fase proliferasi luka dipenuhi sel radang, fibroplasia
dan kolagen, membentuk jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan berbenjol halus yang
disebut granulasi. Epitel tepi luka yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasar dan mengisi
permukaan luka, tempatnya diisi sel baru dari proses mitosis, proses migrasi terjadi ke arah yang
lebih rendah atau datar. Proses fibroplasia akan berhenti dan mulailah proses pematangan.
3. Fase maturasi
Terjadi proses pematangan kolagen. Pada fase ini terjadi pula penurunan aktivitas seluler dan
vaskuler, berlangsung hingga 8 bulan sampai lebih dari 1 tahun dan berakhir jika sudah tidak ada
tanda-tanda radang. Bentuk akhir dari fase ini berupa jaringan parut yang berwarna pucat, tipis,
lemas tanpa rasa nyeri atau gatal.

H. LUAS LUKA BAKAR


Berat luka bakar (Combustio) bergantung pada dalam, luas, dan letak luka. Usia dan
kesehatan pasien sebelumnya akan sangat mempengaruhi prognosis. Adanya trauma inhalasi
juga akan mempengaruhi berat luka bakar.
Jaringan lunak tubuh akan terbakar bila terpapar pada suhu di atas 46oC. Luasnya
kerusakan akan ditentukan oleh suhu permukaan dan lamanya kontak. Luka bakar menyebabkan
koagulasi jaringan lunak. Seiring dengan peningkatan suhu jaringan lunak, permeabilitas kapiler
juga meningkat, terjadi kehilangan cairan, dan viskositas plasma meningkat dengan resultan
pembentukan mikrotrombus. Hilangnya cairan dapat menyebabkan hipovolemi dan syok,
tergantung banyaknya cairan yang hilang dan respon terhadap resusitasi. Luka bakar juga
menyebabkan peningkatan laju metabolik dan energi metabolisme.
Semakin luas permukaan tubuh yang terlibat, morbiditas dan mortalitasnya meningkat,
dan penanganannya juga akan semakin kompleks. Luas luka bakar dinyatakan dalam persen
terhadap luas seluruh tubuh. Ada beberapa metode cepat untuk menentukan luas luka bakar,
yaitu:
1. Estimasi luas luka bakar menggunakan luas permukaan palmar pasien. Luas telapak tangan
individu mewakili 1% luas permukaan tubuh. Luas luka bakar hanya dihitung pada pasien
dengan derajat luka II atau III.
2. Rumus 9 atau rule of nine untuk orang dewasa
Pada dewasa digunakan ‘rumus 9’, yaitu luas kepala dan leher, dada, punggung, pinggang dan
bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai dan kaki
kanan, serta tungkai dan kaki kiri masing-masing 9%. Sisanya 1% adalah daerah genitalia.
Rumus ini membantu menaksir luasnya permukaan tubuh yang terbakar pada orang dewasa.
Wallace membagi tubuh atas bagian 9% atau kelipatan 9 yang terkenal dengan nama rule of nine
atua rule of wallace yaitu:
a. Kepala dan leher : 9%
b. Lengan masing-masing 9% : 18%
c. Badan depan 18%, badan belakang 18% : 36%
d. Tungkai maisng-masing 18% : 36%
e. Genetalia/perineum : 1%
Total : 100%
Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan kepala anak
jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil. Karena perbandingan luas
permukaan bagian tubuh anak kecil berbeda, dikenal rumus 10 untuk bayi, dan rumus 10-15-20
untuk anak.
Gambar 5. Luas luka bakar
3. Metode Lund dan Browder
Metode yang diperkenalkan untuk kompensasi besarnya porsi massa tubuh di kepala pada anak.
Metode ini digunakan untuk estimasi besarnya luas permukaan pada anak. Apabila tidak tersedia
tabel tersebut, perkiraan luas permukaan tubuh pada anak dapat menggunakan ‘Rumus 9’ dan
disesuaikan dengan usia:
o Pada anak di bawah usia 1 tahun: kepala 18% dan tiap tungkai 14%. Torso dan lengan
persentasenya sama dengan dewasa.
o Untuk tiap pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0.5% untuk tiap tungkai dan turunkan persentasi
kepala sebesar 1% hingga tercapai nilai dewasa.
Luas luka bakar

I. KOMPLIKASI COMBUSTIO/ LUKA BAKAR


1. Gagal jantung kongestif dan edema pulmonal
2. Sindrom kompartemen
Sindrom kompartemen merupakan proses terjadinya pemulihan integritas kapiler, syok luka
bakar akan menghilang dan cairan mengalir kembali ke dalam kompartemen vaskuler, volume
darah akan meningkat. Karena edema akan bertambah berat pada luka bakar yang melingkar.
Tekanan terhadap pembuluh darah kecil dan saraf pada ekstremitas distal menyebabkan
obstruksi aliran darah sehingga terjadi iskemia.
3. Adult Respiratory Distress Syndrome
Akibat kegagalan respirasi terjadi jika derajat gangguan ventilasi dan pertukaran gas sudah
mengancam jiwa pasien.
4. Ileus Paralitik dan Ulkus Curling
Berkurangnya peristaltic usus dan bising usus merupakan tanda-tanda ileus paralitik akibat luka
bakar. Distensi lambung dan nausea dapat mengakibatnause. Perdarahan lambung yang terjadi
sekunder akibat stress fisiologik yang massif (hipersekresi asam lambung) dapat ditandai oleh
darah okulta dalam feces, regurgitasi muntahan atau vomitus yang berdarha, ini merupakan
tanda-tanda ulkus curling.
5. Syok sirkulasi terjadi akibat kelebihan muatan cairan atau bahkan hipovolemik yang terjadi
sekunder akibat resusitasi cairan yang adekuat. Tandanya biasanya pasien menunjukkan mental
berubah, perubahan status respirasi, penurunan haluaran urine, perubahan pada tekanan darah,
curah janutng, tekanan cena sentral dan peningkatan frekuensi denyut nadi.
6. Gagal ginjal akut
Haluran urine yang tidak memadai dapat menunjukkan resusiratsi cairan yang tidak adekuat
khususnya hemoglobin atau mioglobin terdektis dalam urine.

J. PEMERIKSAAN PENUNJANG COMBUSTIO/ LUKA BAKAR


1. Hitung darah lengkap : Hb (Hemoglobin) turun menunjukkan adanya pengeluaran darah yang
banyak sedangkan peningkatan lebih dari 15% mengindikasikan adanya cedera, pada Ht
(Hematokrit) yang meningkat menunjukkan adanya kehilangan cairan sedangkan Ht turun dapat
terjadi sehubungan dengan kerusakan yang diakibatkan oleh panas terhadap pembuluh darah.
2. Leukosit : Leukositosis dapat terjadi sehubungan dengan adanya infeksi atau inflamasi.
3. GDA (Gas Darah Arteri) : Untuk mengetahui adanya kecurigaaan cedera inhalasi. Penurunan
tekanan oksigen (PaO2) atau peningkatan tekanan karbon dioksida (PaCO2) mungkin terlihat
pada retensi karbon monoksida.
4. Elektrolit Serum : Kalium dapat meningkat pada awal sehubungan dengan cedera jaringan dan
penurunan fungsi ginjal, natrium pada awal mungkin menurun karena kehilangan cairan,
hipertermi dapat terjadi saat konservasi ginjal dan hipokalemi dapat terjadi bila mulai diuresis.
5. Natrium Urin : Lebih besar dari 20 mEq/L mengindikasikan kelebihan cairan , kurang dari 10
mEqAL menduga ketidakadekuatan cairan.
6. Alkali Fosfat : Peningkatan Alkali Fosfat sehubungan dengan perpindahan cairan interstisial atau
gangguan pompa, natrium.
7. Glukosa Serum : Peninggian Glukosa Serum menunjukkan respon stress.
8. Albumin Serum : Untuk mengetahui adanya kehilangan protein pada edema cairan.
9. BUN atau Kreatinin : Peninggian menunjukkan penurunan perfusi atau fungsi ginjal, tetapi
kreatinin dapat meningkat karena cedera jaringan.
10. Loop aliran volume : Memberikan pengkajian non-invasif terhadap efek atau luasnya cedera.
11. EKG : Untuk mengetahui adanya tanda iskemia miokardial atau distritmia.
12. Fotografi luka bakar : Memberikan catatan untuk penyembuhan luka bakar.

K. PENATALAKSANAAN COMBUSTIO/ LUKA BAKAR


Pasien luka bakar (Combustio) harus dievaluasi secara sistematik. Prioritas utama
adalah mempertahankan jalan nafas tetap paten, ventilasi yang efektif dan mendukung sirkulasi
sistemik. Intubasi endotrakea dilakukan pada pasien yang menderita luka bakar berat atau
kecurigaan adanya jejas inhalasi atau luka bakar di jalan nafas atas. Intubasi dapat tidak
dilakukan bila telah terjadi edema luka bakar atau pemberian cairan resusitasi yang terlampau
banyak. Pada pasien luka bakar, intubasi orotrakea dan nasotrakea lebih dipilih daripada
trakeostomi.
Pasien dengan luka bakar saja biasanya hipertensi. Adanya hipotensi awal yang tidak
dapat dijelaskan atau adanya tanda-tanda hipovolemia sistemik pada pasien luka bakar
menimbulkan kecurigaan adanya jejas „tersembunyi‟. Oleh karena itu, setelah mempertahankan
ABC, prioritas berikutnya adalah mendiagnosis dan menata laksana jejas lain (trauma tumpul
atau tajam) yang mengancam nyawa. Riwayat terjadinya luka bermanfaat untuk mencari trauma
terkait dan kemungkinan adanya jejas inhalasi. Informasi riwayat penyakit dahulu, penggunaan
obat, dan alergi juga penting dalam evaluasi awal.
Pakaian pasien dibuka semua, semua permukaan tubuh dinilai. Pemeriksaan radiologik
pada tulang belakang servikal, pelvis, dan torak dapat membantu mengevaluasi adanya
kemungkinan trauma tumpul.
Setelah mengeksklusi jejas signifikan lainnya, luka bakar dievaluasi. Terlepas dari
luasnya area jejas, dua hal yang harus dilakukan sebelum dilakukan transfer pasien adalah
mempertahankan ventilasi adekuat, dan jika diindikasikan, melepas dari eskar yang
mengkonstriksi.

Tatalaksana resusitasi luka bakar


1. Tatalaksana resusitasi jalan nafas:
a. Intubasi
Tindakan intubasi dikerjakan sebelum edema mukosa menimbulkan manifestasi obstruksi.
Tujuan intubasi mempertahankan jalan nafas dan sebagai fasilitas pemelliharaan jalan nafas.
b. Krikotiroidotomi
Bertujuan sama dengan intubasi hanya saja dianggap terlalu agresif dan menimbulkan morbiditas
lebih besar dibanding intubasi. Krikotiroidotomi memperkecil dead space, memperbesar tidal
volume, lebih mudah mengerjakan bilasan bronkoalveolar dan pasien dapat berbicara jika
dibanding dengan intubasi.
c. Pemberian oksigen 100%
Bertujuan untuk menyediakan kebutuhan oksigen jika terdapat patologi jalan nafas yang
menghalangi suplai oksigen. Hati-hati dalam pemberian oksigen dosis besar karena dapat
menimbulkan stress oksidatif, sehingga akan terbentuk radikal bebas yang bersifat vasodilator
dan modulator sepsis.
d. Perawatan jalan nafas
e. Penghisapan sekret (secara berkala)
f. Pemberian terapi inhalasi
Bertujuan mengupayakan suasana udara yang lebih baik didalam lumen jalan nafas dan
mencairkan sekret kental sehingga mudah dikeluarkan. Terapi inhalasi umumnya menggunakan
cairan dasar natrium klorida 0,9% ditambah dengan bronkodilator bila perlu. Selain itu bias
ditambahkan zat-zat dengan khasiat tertentu seperti atropin sulfat (menurunkan produksi sekret),
natrium bikarbonat (mengatasi asidosis seluler) dan steroid (masih kontroversial)
g. Bilasan bronkoalveolar
h. Perawatan rehabilitatif untuk respirasi
i. Eskarotomi pada dinding torak yang bertujuan untuk memperbaiki kompliansi paru
2. Tatalaksana resusitasi cairan
Resusitasi cairan diberikan dengan tujuan preservasi perfusi yang adekuat dan
seimbang di seluruh pembuluh darah vaskular regional, sehingga iskemia jaringan tidak terjadi
pada setiap organ sistemik. Selain itu cairan diberikan agar dapat meminimalisasi dan eliminasi
cairan bebas yang tidak diperlukan, optimalisasi status volume dan komposisi intravaskular
untuk menjamin survival/maksimal dari seluruh sel, serta meminimalisasi respons inflamasi dan
hipermetabolik dengan menggunakan kelebihan dan keuntungan dari berbagai macam cairan
seperti kristaloid, hipertonik, koloid, dan sebagainya pada waktu yang tepat. Dengan adanya
resusitasi cairan yang tepat, kita dapat mengupayakan stabilisasi pasien secepat mungkin kembali
ke kondisi fisiologik dalam persiapan menghadapi intervensi bedah seawal mungkin.
Resusitasi cairan dilakukan dengan memberikan cairan pengganti. Ada beberapa cara
untuk menghitung kebutuhan cairan ini:
a. Cara Evans
1) Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL NaCl per 24 jam
2) Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL plasma per 24 jam
3) 2.000 cc glukosa 5% per 24 jam
Separuh dari jumlah 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya diberikan dalam
16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan hari pertama. Pada hari
ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.
b. Cara Baxter
Luas luka bakar (%) x BB (kg) x 4 mL
Separuh dari jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya diberikan dalam 16 jam
berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan hari pertama. Pada hari ketiga
diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.
3. Resusitasi nutrisi
Pada pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral sebaiknya dilakukan sejak dini
dan pasien tidak perlu dipuasakan. Bila pasien tidak sadar, maka pemberian nutrisi dapat melalui
naso-gastric tube (NGT). Nutrisi yang diberikan sebaiknya mengandung 10-15% protein, 50-
60% karbohidrat dan 25-30% lemak. Pemberian nutrisi sejak awal ini dapat meningkatkan fungsi
kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya atrofi vili usus.

Perawatan luka bakar


Umumnya untuk menghilangkan rasa nyeri dari luka bakar (Combustio) digunakan
morfin dalam dosis kecil secara intravena (dosis dewasa awal : 0,1-0,2 mg/kg dan „maintenance‟
5-20 mg/70 kg setiap 4 jam, sedangkan dosis anak-anak 0,05-0,2 mg/kg setiap 4 jam). Tetapi ada
juga yang menyatakan pemberian methadone (5-10 mg dosis dewasa) setiap 8 jam merupakan
terapi penghilang nyeri kronik yang bagus untuk semua pasien luka bakar dewasa. Jika pasien
masih merasakan nyeri walau dengan pemberian morfin atau methadone, dapat juga diberikan
benzodiazepine sebagai tambahan.
Terapi pembedahan pada luka bakar
1. Eksisi dini
Eksisi dini adalah tindakan pembuangan jaringan nekrosis dan debris (debridement)
yang dilakukan dalam waktu kurang dari 7 hari (biasanya hari ke 5-7) pasca cedera termis. Dasar
dari tindakan ini adalah:
a. Mengupayakan proses penyembuhan berlangsung lebih cepat. Dengan dibuangnya jaringan
nekrosis, debris dan eskar, proses inflamasi tidak akan berlangsung lebih lama dan segera
dilanjutkan proses fibroplasia. Pada daerah sekitar luka bakar umumnya terjadi edema, hal ini
akan menghambat aliran darah dari arteri yang dapat mengakibatkan terjadinya iskemi pada
jaringan tersebut ataupun menghambat proses penyembuhan dari luka tersebut. Dengan semakin
lama waktu terlepasnya eskar, semakin lama juga waktu yang diperlukan untuk penyembuhan.
b. Memutus rantai proses inflamasi yang dapat berlanjut menjadi komplikasi – komplikasi luka
bakar (seperti SIRS). Hal ini didasarkan atas jaringan nekrosis yang melepaskan “burn toxic”
(lipid protein complex) yang menginduksi dilepasnya mediator-mediator inflamasi.
c. Semakin lama penundaan tindakan eksisi, semakin banyaknya proses angiogenesis yang terjadi
dan vasodilatasi di sekitar luka. Hal ini mengakibatkan banyaknya darah keluar saat dilakukan
tindakan operasi. Selain itu, penundaan eksisi akan meningkatkan resiko kolonisasi mikro –
organisme patogen yang akan menghambat pemulihan graft dan juga eskar yang melembut
membuat tindakan eksisi semakin sulit.
Tindakan ini disertai anestesi baik lokal maupun general dan pemberian cairan melalui
infus. Tindakan ini digunakan untuk mengatasi kasus luka bakar derajat II dalam dan derajat III.
Tindakan ini diikuti tindakan hemostasis dan juga “skin grafting” (dianjurkan “split thickness
skin grafting”). Tindakan ini juga tidak akan mengurangi mortalitas pada pasien luka bakar yang
luas. Kriteria penatalaksanaan eksisi dini ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:
 Kasus luka bakar dalam yang diperkirakan mengalami penyembuhan lebih dari 3 minggu.
 Kondisi fisik yang memungkinkan untuk menjalani operasi besar.
 Tidak ada masalah dengan proses pembekuan darah.
 Tersedia donor yang cukup untuk menutupi permukaan terbuka yang timbul.
Eksisi dini diutamakan dilakukan pada daerah luka sekitar batang tubuh posterior.
Eksisi dini terdiri dari eksisi tangensial dan eksisi fasial.
Eksisi tangensial adalah suatu teknik yang mengeksisi jaringan yang terluka lapis demi
lapis sampai dijumpai permukaan yang mengeluarkan darah (endpoint). Adapun alat-alat yang
digunakan dapat bermacam-macam, yaitu pisau Goulian atau Humbly yang digunakan pada luka
bakar dengan luas permukaan luka yang kecil, sedangkan pisau Watson maupun mesin yang
dapat memotong jaringan kulit perlapis (dermatom) digunakan untuk luka bakar yang luas.
Permukaan kulit yang dilakukan tindakan ini tidak boleh melebihi 25% dari seluruh luas
permukaan tubuh. Untuk memperkecil perdarahan dapat dilakukan hemostasis, yaitu dengan
tourniquet sebelum dilakukan eksisi atau pemberian larutan epinephrine 1:100.000 pada daerah
yang dieksisi. Setelah dilakukan hal-hal tersebut, baru dilakukan “skin graft”. Keuntungan dari
teknik ini adalah didapatnya fungsi optimal dari kulit dan keuntungan dari segi kosmetik.
Kerugian dari teknik adalah perdarahan dengan jumlah yang banyak dan endpoint bedah yang
sulit ditentukan.
Eksisi fasial adalah teknik yang mengeksisi jaringan yang terluka sampai lapisan fascia.
Teknik ini digunakan pada kasus luka bakar dengan ketebalan penuh (full thickness) yang sangat
luas atau luka bakar yang sangat dalam. Alat yang digunakan pada teknik ini adalah pisau
scalpel, mesin pemotong “electrocautery”. Adapun keuntungan dan kerugian dari teknik ini
adalah:
 Keuntungan : lebih mudah dikerjakan, cepat, perdarahan tidak banyak, endpoint yang lebih mudah
ditentukan
 Kerugian : kerugian bidang kosmetik, peningkatan resiko cedera pada saraf-saraf superfisial dan
tendon sekitar, edema pada bagian distal dari eksisi
2. Skin grafting
Skin grafting adalah metode penutupan luka sederhana. Tujuan dari metode ini adalah:
a. Menghentikan evaporate heat loss
b. Mengupayakan agar proses penyembuhan terjadi sesuai dengan waktu
c. Melindungi jaringan yang terbuka
Skin grafting harus dilakukan secepatnya setelah dilakukan eksisi pada luka bakar
pasien. Kulit yang digunakan dapat berupa kulit produk sintesis, kulit manusia yang berasal dari
tubuh manusia lain yang telah diproses maupun berasal dari permukaan tubuh lain dari pasien
(autograft). Daerah tubuh yang biasa digunakan sebagai daerah donor autograft adalah paha,
bokong dan perut. Teknik mendapatkan kulit pasien secara autograft dapat dilakukan secara split
thickness skin graft atau full thickness skin graft. Bedanya dari teknik – teknik tersebut adalah
lapisan-lapisan kulit yang diambil sebagai donor. Untuk memaksimalkan penggunaan kulit donor
tersebut, kulit donor tersebut dapat direnggangkan dan dibuat lubang – lubang pada kulit donor
(seperti jaring-jaring dengan perbandingan tertentu, sekitar 1 : 1 sampai 1 : 6) dengan mesin.
Metode ini disebut mess grafting. Ketebalan dari kulit donor tergantung dari lokasi luka yang
akan dilakukan grafting, usia pasien, keparahan luka dan telah dilakukannya pengambilan kulit
donor sebelumnya. Pengambilan kulit donor ini dapat dilakukan dengan mesin „dermatome‟
ataupun dengan manual dengan pisau Humbly atau Goulian. Sebelum dilakukan pengambilan
donor diberikan juga vasokonstriktor (larutan epinefrin) dan juga anestesi.
Prosedur operasi skin grafting sering menjumpai masalah yang dihasilkan dari eksisi
luka bakar pasien, dimana terdapat perdarahan dan hematom setelah dilakukan eksisi, sehingga
pelekatan kulit donor juga terhambat. Oleh karenanya, pengendalian perdarahan sangat
diperlukan. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan penyatuan kulit donor
dengan jaringan yang mau dilakukan grafting adalah:
 Kulit donor setipis mungkin
 Pastikan kontak antara kulit donor dengan bed (jaringan yang dilakukan grafting), hal ini dapat
dilakukan dengan cara :
o Cegah gerakan geser, baik dengan pembalut elastik (balut tekan)
o Drainase yang baik
o Gunakan kasa adsorben

L. PENGKAJIAN KEPERAWATAN COMBUSTIO/ LUKA BAKAR

1. Biodata
Terdiri atas nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, alamt, tnggal MRS, dan informan
apabila dalam melakukan pengkajian klita perlu informasi selain dari klien. Umur seseorang
tidak hanya mempengaruhi hebatnya luka bakar akan tetapi anak dibawah umur 2 tahun dan
dewasa diatsa 80 tahun memiliki penilaian tinggi terhadap jumlah kematian (Lukman F dan
Sorensen K.C). data pekerjaan perlu karena jenis pekerjaan memiliki resiko tinggi terhadap luka
bakar agama dan pendidikan menentukan intervensi ynag tepat dalam pendekatan

2. Keluhan utama
Keluhan utama yang dirasakan oleh klien luka bakar (Combustio) adalah nyeri, sesak nafas.
Nyeri dapat disebabakna kerena iritasi terhadap saraf. Dalam melakukan pengkajian nyeri harus
diperhatikan paliatif, severe, time, quality (p,q,r,s,t). sesak nafas yang timbul beberapa jam / hari
setelah klien mengalami luka bakardan disebabkan karena pelebaran pembuluh darah sehingga
timbul penyumbatan saluran nafas bagian atas, bila edema paru berakibat sampai pada
penurunan ekspansi paru.

3. Riwayat penyakit sekarang


Gambaran keadaan klien mulai tarjadinya luka bakar, penyabeb lamanya kontak, pertolongan
pertama yang dilakuakn serta keluhan klien selama menjalan perawatanketika dilakukan
pengkajian. Apabila dirawat meliputi beberapa fase : fase emergency (±48 jam pertama terjadi
perubahan pola bak), fase akut (48 jam pertama beberapa hari / bulan ), fase rehabilitatif
(menjelang klien pulang)

4. Riwayat penyakit masa lalu


Merupakan riwayat penyakit yang mungkin pernah diderita oleh klien sebelum mengalami luka
bakar. Resiko kematian akan meningkat jika klien mempunyai riwaya penyakit kardiovaskuler,
paru, DM, neurologis, atau penyalagunaan obat dan alkohol

5. Riwayat penyakit keluarga


Merupakan gambaran keadaan kesehatan keluarga dan penyakit yang berhubungan dengan
kesehatan klien, meliputi : jumlah anggota keluarga, kebiasaan keluarga mencari pertolongan,
tanggapan keluarga mengenai masalah kesehatan, serta kemungkinan penyakit turunan

6. Pola ADL
Meliputi kebiasaan klien sehari-hari dirumah dan di RS dan apabila terjadi perubahan pola
menimbulkan masalah bagi klien. Pada pemenuhan kebutuhan nutrisi kemungkinan didapatkan
anoreksia, mual, dan muntah. Pada pemeliharaan kebersihan badan mengalami penurunan karena
klien tidak dapat melakukan sendiri. Pola pemenuhan istirahat tidur juga mengalami gangguan.
Hal ini disebabkan karena adanya rasa nyeri .

7. Riwayat psiko sosial


Pada klien dengan luka bakar sering muncul masalah konsep diri body image yang disebabkan
karena fungsi kulit sebagai kosmetik mengalami gangguan perubahan. Selain itu juga luka bakar
juga membutuhkan perawatan yang laam sehingga mengganggu klien dalam melakukan aktifitas.
Hal ini menumbuhkan stress, rasa cemas, dan takut.
8. Aktifitas/istirahat:
Tanda: Penurunan kekuatan, tahanan; keterbatasan rentang gerak pada area yang sakit; gangguan
massa otot, perubahan tonus.
9. Sirkulasi:
Tanda (dengan cedera luka bakar lebih dari 20% APTT): hipotensi (syok); penurunan nadi
perifer distal pada ekstremitas yang cedera; vasokontriksi perifer umum dengan kehilangan nadi,
kulit putih dan dingin (syok listrik); takikardia (syok/ansietas/nyeri); disritmia (syok listrik);
pembentukan oedema jaringan (semua luka bakar).

10. Integritas ego:


Gejala: masalah tentang keluarga, pekerjaan, keuangan, kecacatan.
Tanda: ansietas, menangis, ketergantungan, menyangkal, menarik diri, marah.

11. Eliminasi:
Tanda: haluaran urine menurun/tak ada selama fase darurat; warna mungkin hitam kemerahan
bila terjadi mioglobin, mengindikasikan kerusakan otot dalam; diuresis (setelah kebocoran
kapiler dan mobilisasi cairan ke dalam sirkulasi); penurunan bising usus/tak ada; khususnya pada
luka bakar kutaneus lebih besar dari 20% sebagai stres penurunan motilitas/peristaltik gastrik.

12. Makanan/cairan:
Tanda: oedema jaringan umum; anoreksia; mual/muntah.

13. Neurosensori:
Gejala: area batas; kesemutan.
Tanda: perubahan orientasi; afek, perilaku; penurunan refleks tendon dalam (RTD) pada cedera
ekstremitas; aktifitas kejang (syok listrik); laserasi korneal; kerusakan retinal; penurunan
ketajaman penglihatan (syok listrik); ruptur membran timpanik (syok listrik); paralisis (cedera
listrik pada aliran saraf).
14. Nyeri/kenyamanan:
Gejala: Berbagai nyeri; contoh luka bakar derajat pertama secara eksteren sensitif untuk
disentuh; ditekan; gerakan udara dan perubahan suhu; luka bakar ketebalan sedang derajat kedua
sangat nyeri; smentara respon pada luka bakar ketebalan derajat kedua tergantung pada keutuhan
ujung saraf; luka bakar derajat tiga tidak nyeri.

15. Pernafasan:
Gejala: terkurung dalam ruang tertutup; terpajan lama (kemungkinan cedera inhalasi).
Tanda: serak; batuk mengii; partikel karbon dalam sputum; ketidakmampuan menelan sekresi
oral dan sianosis; indikasi cedera inhalasi.
Pengembangan torak mungkin terbatas pada adanya luka bakar lingkar dada; jalan nafas atau
stridor/mengii (obstruksi sehubungan dengan laringospasme, oedema laringeal); bunyi nafas:
gemericik (oedema paru); stridor (oedema laringeal); sekret jalan nafas dalam (ronkhi).

16. Keamanan:
Tanda:
Kulit umum: destruksi jaringan dalam mungkin tidak terbukti selama 3-5 hari sehubungan
dengan proses trobus mikrovaskuler pada beberapa luka. Area kulit tak terbakar mungkin
dingin/lembab, pucat, dengan pengisian kapiler lambat pada adanya penurunan curah jantung
sehubungan dengan kehilangan cairan/status syok.
Cedera api: terdapat area cedera campuran dalam sehubunagn dengan variase intensitas
panas yang dihasilkan bekuan terbakar. Bulu hidung gosong; mukosa hidung dan mulut kering;
merah; lepuh pada faring posterior;oedema lingkar mulut dan atau lingkar nasal.
Cedera kimia: tampak luka bervariasi sesuai agen penyebab. Kulit mungkin coklat
kekuningan dengan tekstur seprti kulit samak halus; lepuh; ulkus; nekrosis; atau jarinagn parut
tebal. Cedera secara mum ebih dalam dari tampaknya secara perkutan dan kerusakan jaringan
dapat berlanjut sampai 72 jam setelah cedera.
Cedera listrik: cedera kutaneus eksternal biasanya lebih sedikit di bawah nekrosis.
Penampilan luka bervariasi dapat meliputi luka aliran masuk/keluar (eksplosif), luka bakar dari
gerakan aliran pada proksimal tubuh tertutup dan luka bakar termal sehubungan dengan pakaian
terbakar. Adanya fraktur/dislokasi (jatuh, kecelakaan sepeda motor, kontraksi otot tetanik
sehubungan dengan syok listrik).
17. Pemeriksaan fisik
a. keadaan umum
Umumnya penderita datang dengan keadaan kotor mengeluh panas sakit dan gelisah sampai
menimbulkan penurunan tingkat kesadaran bila luka bakar mencapai derajat cukup berat
b. TTV
Tekanan darah menurun nadi cepat, suhu dingin, pernafasan lemah sehingga tanda tidak
adekuatnya pengembalian darah pada 48 jam pertama
c. Pemeriksaan kepala dan leher
 Kepala dan rambut
Catat bentuk kepala, penyebaran rambut, perubahan warna rambut setalah terkena luka bakar,
adanya lesi akibat luka bakar, grade dan luas luka bakar
 Mata
Catat kesimetrisan dan kelengkapan, edema, kelopak mata, lesi adanya benda asing yang
menyebabkan gangguan penglihatan serta bulu mata yang rontok kena air panas, bahan kimia
akibat luka bakar
 Hidung
Catat adanya perdarahan, mukosa kering, sekret, sumbatan dan bulu hidung yang rontok.
 Mulut
Sianosis karena kurangnya supplay darah ke otak, bibir kering karena intake cairan kurang
 Telinga
Catat bentuk, gangguan pendengaran karena benda asing, perdarahan dan serumen
 Leher
Catat posisi trakea, denyut nadi karotis mengalami peningkatan sebagai kompensasi untuk
mengataasi kekurangan cairan
d. Pemeriksaan thorak / dada
Inspeksi bentuk thorak, irama parnafasan, ireguler, ekspansi dada tidak maksimal, vokal fremitus
kurang bergetar karena cairan yang masuk ke paru, auskultasi suara ucapan egoponi, suara nafas
tambahan ronchi
e. Abdomen
Inspeksi bentuk perut membuncit karena kembung, palpasi adanya nyeri pada area epigastrium
yang mengidentifikasi adanya gastritis.
f. Urogenital
Kaji kebersihan karena jika ada darah kotor / terdapat lesi merupakantempat pertumbuhan kuman
yang paling nyaman, sehingga potensi sebagai sumber infeksi dan indikasi untuk pemasangan
kateter.
g. Muskuloskletal
Catat adanya atropi, amati kesimetrisan otot, bila terdapat luka baru pada muskuloskleletal,
kekuatan oto menurun karen nyeri
h. Pemeriksaan neurologi
Tingkat kesadaran secara kuantifikasi dinilai dengan GCS. Nilai bisa menurun bila supplay darah
ke otak kurang (syok hipovolemik) dan nyeri yang hebat (syok neurogenik)
i. Pemeriksaan kulit
Merupakan pemeriksaan pada darah yang mengalami luka bakar (luas dan kedalaman luka).
Prinsip pengukuran prosentase luas uka bakar menurut kaidah 9 (rule of nine lund and Browder)
sebagai berikut :
DEWA
BAG TUBUH 1 TH 2 TH
SA
Kepala leher 18% 14% 9%
Ekstrimitas atas (kanan
18% 18% 18 %
dan kiri)
Badan depan 18% 18% 18%
Badan belakang 18% 18% 18%
Ektrimitas bawah
27% 31% 30%
(kanan dan kiri)
Genetalia 1% 1% 1%

Pengkajian kedalaman luka bakar dibagi menjadi 3 derajat (grade). Grade tersebut
ditentukan berdasarkan pada keadaan luka, rasa nyeri yang dirasanya dan lamanya kesembuhan
luka
.
M. DIAGNOSA KEPERAWATAN COMBUSTIO/ LUKA BAKAR
1. Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan kulit atau jaringan .
Kriteria hasil :
1) Menyatakan nyeri berkurang atau terkontrol
2) Menunjukkan ekspresi wajah atau postur tubuh rileks
3) Berpartisipasi dalam aktivitas dari tidur atau istirahat dengan tepat
Intervensi :
1) Tutup luka sesegera mungkin, kecuali perawatan luka bakar metode pemejanan pada udara
terbuka
Rasional :
Suhu berubah dan tekanan udara dapat menyebabkan nyeri hebat pada pemajanan ujung saraf.

2) Ubah pasien yang sering dan rentang gerak aktif dan pasif sesuai indikasi
Rasional :
Gerakan dan latihan menurunkan kekuatan sendi dan kekuatan otot tetapi tipe latihan tergantung
indikasi dan luas cedera.
3) Pertahankan suhu lingkungan nyaman, berikan lampu penghangat dan penutup tubuh
Rasional :
Pengaturan suhu dapat hilang karena luka bakar mayor, sumber panas eksternal perlu untuk
mencegah menggigil.
4) Kaji keluhan nyeri pertahankan lokasi, karakteristik dan intensitas (skala 0-10)
Rasional :
Nyeri hampir selalu ada pada derajat beratnya, keterlibatan jaringan atau kerusakan tetapi
biasanya paling berat selama penggantian balutan dan debridement.
5) Dorong ekspresi perasaan tentang nyeri
Rasional :
Pernyataan memungkinkan pengungkapan emosi dan dapat meningkatkan mekanisme koping.
6) Dorong penggunaan tehnik manajemen stress, contoh relaksasi, nafas dalam, bimbingan
imajinatif dan visualisasi.
Rasional :
Memfokuskan kembali perhatian, memperhatikan relaksasi dan meningkatkan rasa control yang
dapat menurunkan ketergantungan farmakologi.
7) Kolaborasi pemberian analgetik
Rasional :
Dapat menghilangkan nyeri

2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma


Kerusakan permukaan kulit karena destruksi lapisan kulit
Kriteria Hasil :
1) Menunjukkan regenerasi jaringan
2) Mencapai penyembuhan tepat waktu pada area luka bakar
Intervensi :
1) Kaji atau catat ukuran warna kedalaman luka, perhatikan jaringan metabolik dan kondisi sekitar
luka
Rasional :
Memberikan informasi dasar tentang kebutuhan penanaman kulit dan kemungkinan petunjuk
tentang sirkulasi pada area grafik.
2) Berikan perawatan luka bakar yang tepat dan tindakan control infeksi
Rasional :
Menyiapkan jaringan tubuh untuk penanaman dan menurunkan resiko infeksi.

3. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan melalui rute
abnormal luka.
Kriteria Hasil :
Menunjukkan perbaikan keseimbangan cairan dibuktikan oleh haluaran urine individu, tanda-
tanda vital stabil, membran mukosa lembab.
Intervensi :
1) Awasi tanda-tanda vital, perhatikan pengisian kapiler dan kekuatan nadi perifer.
Rasional :
Memberikan pedoman untuk penggantian cairan dan mengkaji respon kardiovaskuler .
1) Awasi haluaran urine dan berat jenis, observasi warna dan hemates sesuai indikasi
Rasional :
Secara umum penggantian cairan harus difiltrasi untuk meyakinkan rata-rata haluaran urine 30-
50 ml / jam (pada orang dewasa). Urine bisa tampak merah sampai hitam pada kerusakan otot
massif sehubungan dengan adanya darah dan keluarnya mioglobin.
2) Perkirakan deranase luka dan kehilangan yang tak tampak
Rasional :
Peningkatan permeabilitas kapiler, perpindahan protein, proses inflamasi dan kehilangan
melalui evaporasi besar mempengaruhi volume sirkulasi dan haluaran urine, khususnya selama
24-72 jam pertama setelah terbakar.
3) Timbang berat badan tiap hari
Rasional :
Pergantian cairan tergantung pada berat badan pertama dan perubahan selanjutnya. Peningkatan
berat badan 15-20% pada 72 jam pertama selama pergantian cairan dapat diantisipasi untuk
mengembalikan keberat sebelum terbakar kira-kira 10 hari setelah terbakar.
4) Selidiki perubahan mental
Rasional :
Penyimpangan pada tingkat kesadaran dapat mengindikasikan ketidakadekuatan volume sirkulasi
atau penurunan perfusi serebral.
5) Observasi distensi abdomen, hematemesess, feses hitam, hemates drainase NG dan feses secara
periodik.
Rasional :
Stress (curling) ulkus terjadi pada setengah dan semua pasien pada luka bakar berat (dapat terjadi
pada awal minggu pertama).
6) Kolaborasi kateter urine
Rasional :
Memungkinkan observasi ketat fungsi ginjal dan menengah stasis atau reflek urine, potensi urine
dengan produk sel jaringan yang rusak dapat menimbulkan disfungsi dan infeksi ginjal.

4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat ; kerusakan
perlindungan kulit
Kriteria Hasil :
Tidak ada tanda-tanda infeksi :
Intervensi :
1) Implementasikan tehnik isolasi yang tepat sesuai indikasi
Rasional :
Tergantung tipe atau luasnya luka untuk menurunkan resiko kontaminasi silang atau terpajan
pada flora bakteri multiple.
2) Tekankan pentingnya tehnik cuci tangan yang baik untuk semua individu yang datang kontak ke
pasien
Rasional : Mencegah kontaminasi silang
3) Cukur rambut disekitar area yang terbakar meliputi 1 inci dari batas yang terbakar
Rasional : Rambut media baik untuk pertumbuhan bakteri
4) Periksa area yang tidak terbakar (lipatan paha, lipatan leher, membran mukosa )
Rasional :
Infeksi oportunistik (misal : Jamur) seringkali terjadi sehubungan dengan depresi sistem imun
atau proliferasi flora normal tubuh selama terapi antibiotik sistematik.
5) Bersihkan jaringan nekrotik yang lepas (termasuk pecahnya lepuh) dengan gunting dan forcep.
Rasional : Meningkatkan penyembuhan
6) Kolaborasi pemberian antibiotik
Rasional : Mencegah terjadinya infeksi

5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan dan ketahanan


Kriteria Hasil :
Menyatakan dan menunjukkan keinginan berpartisipasi dalam aktivitas, mempertahankan posisi,
fungsi dibuktikan oleh tidak adanya kontraktor, mempertahankan atau meningkatkan kekuatan
dan fungsi yang sakit dan atau menunjukkan tehnik atau perilaku yang memampukan aktivitas.
Intervensi :
1) Pertahankan posisi tubuh tepat dengan dukungan atau khususnya untuk luka bakar diatas sendi.
Rasional :
Meningkatkan posisi fungsional pada ekstermitas dan mencegah kontraktor yang lebih mungkin
diatas sendi.
2) Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali pasif kemudian aktif
Rasional :
Mencegah secara progresif, mengencangkan jaringan parut dan kontraktor, meningkatkan
pemeliharaan fungsi otot atau sendi dan menurunkan kehilangan kalsium dan tulang.
3) Instruksikan dan Bantu dalam mobilitas, contoh tingkat walker secara tepat.
Rasional : Meningkatkan keamanan ambulasi

6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan status hipermetabolik
Kriteria Hasil :
Menunjukkan pemasukan nutrisi adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolik dibuktikan oleh
berat badan stabil atau massa otot terukur, keseimbangan nitrogen positif dan regenerasi
jaringan.
Intervensi :
1) Auskultasi bising usus, perhatikan hipoaktif atau tidak ada bunyi
Rasional :
Ileus sering berhubungan dengan periode pasca luka bakar tetapi biasanya dalam 36-48 jam
dimana makanan oral dapat dimulai.
2) Pertahankan jumlah kalori berat, timbang BB / hari, kaji ulang persen area permukaan tubuh
terbuka atau luka tiap minggu.
Rasional :
Pedoman tepat untuk pemasukan kalori tepat, sesuai penyembuhan luka, persentase area luka
bakar dievaluasi untuk menghitung bentuk diet yang diberikan dan penilaian yang tepat dibuat.
3) Awasi massa otot atau lemak subkutan sesuai indikasi
Rasional :
Mungkin berguna dalam memperkirakan perbaikan tubuh atau kehilangan dan keefektifan terapi.
4) Berikan makan dan makanan sedikit dan sering
Rasional :
Membantu mencegah distensi gaster atau ketidaknyamanan dan meningkatkan pemasukan.

7. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan interupsi aliran darah.
Intervensi :
1) Tinggikan ekstermitas yang sakit dengan tepat
Rasional :
Meningkatkan sirkulasi sistematik atau aliran baik vena dan dapat menurunkan odema atau
pengaruh gangguan lain yang mempengaruhi konstriksi jaringan oedema.
2) Pertahankan penggantian cairan
Rasional : Memaksimalkan volume sirkulasi dan perfusi jaringan

8. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi : kecacatan .


Kriteria Hasil :
1) Menyatakan kesadaran, perasaan dan menerimanya dengan cara sehat
2) Mengatakan ansietas atau ketakutan menurun sampai tingkat yang dapat ditangani.
3) Menunjukkan ketrampilan pemecahan masalah, penggunaan sumber yang efektif.
Intervensi :
1) Berikan penjelasan dengan sering dan informasi tentang prosedur perawatan
Rasional :
Pengetahuan apa yang diharapkan menurunkan ketakutan dan ansietas, memperjelas kesahalan
konsep dan meningkatkan kerjasama.
2) Libatkan pasien atau orang terdekat dalam proses pengambilan keputusan kapanpun mungkin
Rasional :
Meningkatkan rasa kontrol dan kerjasama menurunkan perasaan tak berdaya atau putus asa
3) Dorong pasien untuk bicara tentang luka bakar bila siap
Rasional :
Pasien perlu membicarakan apa yang terjadi terus-menerus untuk membuat beberapa rasa
terhadap situasi apa yang menakutkan.
4) Jelaskan pada pasien apa yang terjadi. Berikan kesempatan untuk bertanya dan berikan jawaban
terbuka atau jujur.
Rasional :
Pertanyaan kompensasi menunjukkan realitas situasi yang dapat membantu pasien atau orang
terdekat menerima realita dan mulai menerima apa yang terjadi.

9. Gangguan citra tubuh berhubungan krisis situasi kecacatan.


Kriteria Hasil :
1) Menyatakan penerimaan situasi diri
2) Bicara dengan keluarga atau orang terdekat tentang situasi perubahan yang terjadi.
3) Membuat tujuan realitas atau rencana untuk masa depan
4) Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif
Intervensi :
1) Kaji makna kehilangan atau perubahan pada pasien atau orang terdekat
Rasional :
Episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba, tak diantisipasi membuat perasaan
kehilangan aktual yang dirasakan.
2) Bersikap realistik dan positif selama pengobatan pada penyuluhan kesehatan dan menyusun
tujuan dalam keterbatasan.
Rasional :
Meningkatkan kepercayaan dan mengadakan hubungan baik antara pasien dan perawat.
3) Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan keyakinan yang salah.
Rasional :
Meningkatkan pandangan positif dan memberikan kesempatan untuk menyusun tujuan dan
rencana untuk masa depan berdasarkan realitas.

DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, M.E., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.


Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New Jersey: Upper
Saddle River
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition. New Jersey:
Upper Saddle River
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima Medika
Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Vol 3. Jakarta: EGC
Ahmadsyah I, Prasetyono TOH. 2005. Luka. Dalam: Sjamsuhidajat R, de Jong W, editor. Buku ajar ilmu
bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Crowin,E.J.2003. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Moenadjat Y. 2003. Luka bakar. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003.
Sjamsudiningrat, R & Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II. Jakarta: EGC
Heimbach DM, Holmes JH. Burns. In: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG,
Pollock RE, editors. 2007. Schwartz‟s principal surgery. 8th ed. USA: The McGraw-Hill
Companies
Masoenjer,dkk. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. FKUI. Jakarta : Media Aeuscullapius
Huddak & Gallo. 2006. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Jakarta: EGC.
http://lpkeperawatan.blogspot.co.id/2014/01/laporan-pendahuluan-combustio-luka-
bakar.html#.WtM79JouDDc

PEMERIKSAAN FISIK SISTEM INTEGUMEN

Anatomi dan Fisiologi Integumen


Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh, merupakan organ terberat
dan terbesar dari tubuh. Kulit memiliki fungsi melindungi bagian tubuh dari berbagai macam
gangguan dan rangsangan luar. Fungsi perlindungan ini terjadi melalui sejumlah mekanisme
biologis, seperti pembentukan lapisan tanduk secara terus menerus keratinisasi dan pelepasan
sel-sel kulit ari yang sudah mati), respirasi dan pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan
keringat serta pembentukan pigmen melanin untuk melindungi kulit dari bahaya sinar ultra violet
matahari.

Gambar I. Anatomi Integumen

Kulit tersusun dari tida apisan, yaitu: epidermis, dermis, dan jaringan subkutan.
• Epidermis
Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler. Terdiri dari epitel berlapis gepeng
bertanduk, mengandung sel melanosit, Langerhans dan merkel. Fungsi epidermis adalah proteksi
barier, organisasi sel, sintesis vitamin D dan sitokin, pembelahan dan mobilisasi sel, pigmentasi
(melanosit) dan pengenalan alergen (sel Langerhans). Epidermis terdiri atas lima lapisan (dari
lapisan yang paling atas sampai yang terdalam) :
1. Stratum Korneum. Terdiri dari sel keratinosit yang bisa mengelupas dan berganti.
2. Stratum Lusidum. Berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit tebal telapak kaki dan
telapak tangan.
3. Stratum Granulosum. Mengandung protein kaya akan histidin.
4. Stratum Spinosum. Terdapat berkas-berkas filament yang dinamakan tonofibril, dianggap
filamen-filamen tersebut memegang peranan penting untuk mempertahankan kohesi sel dan
melindungi terhadap efek abrasi.
5. Stratum Basale (Stratum Germinativum). Terdapat aktifitas mitosis yang hebat dan
bertanggung jawab dalam pembaharuan sel epidermis secara konstan. pidermis diperbaharui
setiap 28 hari. Merupakan satu lapis sel yang mengandung melanosit.

• Dermis
Merupakan bagian yang paling penting di kulit yang sering dianggap sebagai “True Skin”.
Terdiri atas jaringan ikat yang menyokong epidermis dan menghubungkannya dengan jaringan
subkutis. Dermis terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan papiler; tipis mengandung jaringan ikat
jarang, dan lapisan retikuler; tebal terdiri dari jaringan ikat padat. Fungsi dermis adalah struktur
penunjang, suplai nutrisi dan respon inflamasi.
• Jaringan Subkutan
Merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri dari lapisan lemak. Lapisan ini
terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan di bawahnya.
Berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi. Fungsi Subkutis /hipodermis
adalah melekat ke struktur dasar, isolasi panas dan cadangan kalori.

Fungsi Kulit
Brunner dan Suddarth (2002) membagi fungsi kulit ke dalam enam fungsi, yaitu fungsi
perlindungan, fungsi sensibilitas, fungsi keseimbangan air, fungsi pengatur suhu, dan fungsi
prodeksi vitamin.
• Perlindungan
Kulit memberikan perlindungan invasi bakteri dan benda asing lainnya. Bagian sternum korneum
epidermis meripakan barrier yang paling efektif terhadap berbagai faktor lingkungan, seperti zat-
zat kimia, sinar matahari, virus, fungus, gigitan serangga, luka karena gesekan angin, dan trauma.
Lapisan dermis kulit memberikan kekuatan mekanis dan keuletan lewat jaringan ikat fibrosa dan
serabut kolagennya. Serabut elastic dan kolagen yang saling berjalin dengan epidermis
memungkinkan kulit untuk berperilaku sebagai satu unit.
• Sensibilitas
Fungsi utama reseptor pada kulit adalah untuk mengindera suhu, rasa nyeri, sentuhan yang
ringan dan tekanan. Berbagai ujung saraf bertanggung jawab untuk bereaksi terhadap stimuli
yang berbeda.
• Keseimbangan Air
Stratum korneum memiliki kemampuan untuk menyerap air sehingga lapisan tersebut dapat
mencegah kehilangan air dan elektrolit yang berlebihan dari bagian internal tubuh dan
mempertahankan kelembaban dalam jaringan subkutan. Selain itu, kulit juga akan mengalami
evaporasi secara terus-menerus dari permukaan kulit. Evaporasi ini yang dinamakan perspirasi
tidak kasat mata (insensible perspiration) berjumlah kurang-lebih 600 ml per hari untuk orang
dewasa yang normal. Pada penderita demam, kehilangan ini dapat meningkat. Ketika terendam
dalam air, kulit dapat menimbun air tiga sampai empat kali berat normalnya.
• Pengatur Suhu
Tubuh secara terus menerus akan menghasilkan panas sebagai proses metabolisme makanan
yang memproduksi energi. Tiga proses fisik yang penting terlibat dalam kehilangan panas dari
tubuh ke lingkungan, yaitu radiasi (perpindahan panas ke banda lain yang suhunya lebih panas),
konduksi (pemindahan panas dari tubh ke benda lain yang lebih dingin), dan konveksi
(pergerakkan massa molekul udara hangat yang meninggalkan tubuh). Dalam kondisi normal,
produk panas dari metabolism akan diimbangi oleh kehilangan panas, dan suhu internal tubuh
akan dipertahankan agar tetap konstan pada suhu kurang-lebih 37oC. Pengeluaran keringat
merupakan proses lainnya yang digunakan tubuh untuk mengatur laju kehiangan panas. Pada
hawa lingkungan yang sangat panas, laju produksi keringat dapat setinggi 1 L/jam. Dalam
keadaan tertentu, misalnya pada stress emosional, perspirasi dapat terjadi secara refleks dan tidak
ada hubungannya dengan keharusan untuk menghilangkan panas dari tubuh.
• Produksi Vitamin
Kulit yang terpajan sinar ultraviolet dapat mengubah substansi yang diperlukan untuk
mensintesis vitamin D. Vitamin D merupakan unsur esensial untuk mencegah penyakit riketsia,
suatu keadaan yang terjadi akibat defisiensi vitamin D, kalsium serta fosfor dan yang
menyebabkan deformitas tulang (Morton, 1993 dalam Brunner and Suddarth, 2002).
• Fungsi Respons Imun
Hasil-hasil penelitian terakhir (Nicholoff, 1993 dalam Brunner dan Suddarth, 2002)
menunjukkan bahwa beberapa sel dermal (sel-sel Langerhans, IL-1 yang memproduksi
keratinosit, dan sub kelompok limfosit-T) merupakan komponen penting dalam sistem imun.

Pemeriksaan Fisik
Teknik pengkajian penting untuk mengevaluasi integumen yang mencakup teknik inspeksi dan
palpasi.
Inspeksi
1. Warna / adanya perubahan pigmentasi
Warna kulit di setiap bagian seharusnya sama, kecuali jika ada peningkatan vaskularisasi. Variasi
normal warna kulit antara lain:
Variasi normal Deskripsi
1. Tahi lalat Kecoklatan – coklat tua, bisa datar atau sedikit menonjol
2. Stretch mark (striae) Keputihan atau pink, dapat disebabkan karena berat yang berlebih atau
kehamilan.
3. Freckles (bintik-bintik di tubuh) Datar dimanapun bagian tubuh.
4. Vitiligo Area kulit tak terpigmentasi, prevalensi lebih pada orang kulit gelap.
5. Tanda lahir Umumnya datar, warnanya bisa kecoklatan, merah, atau coklat.

Warna kulit yang abnormal yaitu kekuningan atau jaudis. Hal ini dapat mengindikasikan
terjadinya kelainan fungsi hati atau hemolisis sel darah merah. Pada orang berkulit gelap, jaundis
terlihat sebagai warna kuning-hijau pada sklera, telapak tangan, dna kaki. Pada orang berkulit
cerah, jaundis terlihat berwarna kuning pada kulit, sklera, bibir, palatum, dan dibawah lidah.
Warna kulit abnormal lainnya yaitu eritema. Eritema dimanifestasikan sebagai kemerahan pada
orang berkulit cerah dan coklat atau ungu pada orang berkulit gelap. Hal ini mengindikasikan
peningkatan temperatur kulit karena inflamasi (proses vaskularisasi jaringan).

2. Adanya lesi
Lesi pada kulit dideskripsikan dengan warnanya, bentuk, ukuran, dan penampilan umum. Selain
itu batas luka apakah luka datar, menonjol juga harus dicatat.
Tipe Lesi Kulit Deskripsi
Blister Adanya cairan – vesikel terisi atau bullae
Bulla Blister lebih dari 1 cm.
komedo Karena dilatasi pori-pori
Crust (kerak) Eksudat kering yang merusak epitel kulit,
Cyst (kista) Semisolid atau masa berisi cairan, enkapsulasi pada lapisan kulit yang lebih dalam.
Deskuamasi Peluruhan atau hilangnya debris pada permukaan kulit.
Erosi Kehilangan epidermis, dapat dikaitakan dengan vesikel, bulae, atau pustula.
Eksoriasi Erosi epidermal n=biasanya karena peregangan kulit.
Fissura Retak pada epidermis biasanya sampai ke dermis
Makula Area datar pada kulit dengan diskolorisasi, diameter kurang dari 5 mm.
Nodul Solid, peningkatan lesi atau masa, diameter 5 mm- 5 cm
Papula Solid, peningkatan lesi dengan diameter kurang dari 5 mm
Plaque Timbul, lesi datar diameter lebih besar dari 5 mm
Pustula Papula berisi eksudat purulen
Scale Debris kulit pada permukaan epidermis
Tumor Masa padat, diameter lebih besar dari 5 cm, biasanya berlanjut ke dermis.
Ulserasi Kehilangan epidermis, berlanjut sampai dermis atau lebih dalam.
Urticaria berhubungan dengan reaksi makanan dan obat.Timbul wheal– seperti lesi
Vesikel Lesi terisi sedikit cairan, diameter kurang dari 1 cm
Wheal Transient, timbul, pink, tidak rata dengan edema disekitarnya.
Tabel Jenis-Jenis Lesi

Lesi vaskular mencakup petekie, purpura dan ekimosis (berdasarkan ukurannya).


Petekie
Purpura
Ekimosis

3. Adanya ruam
Munculnya ruam kulit mengindikasikan adanya infeksi atau reaksi obat. Beberapa jenis ruam
dapat dilihat pada tabel diatas. Keberadaan ruam berhubungan dengan perubahan farmako terapi
yang penting untuk membantu identifikasi adanya reaksi hipersensitivitas alergi. Perkembangan
urtikaria terjadi karena adanya reaksi obat atau makanan. Infeksi kulit dapat disebabkan oleh
jamur atau ragi. Misalnya infeksi oleh Candida Albicans yang meninvasi jaringan yang lebih
dalam.

4. Kondisi rambut
Kuantitas, kualitas, distribusi rambut perlu di catat. Kulit kepala seharusnya elastis dan
terdistribusi rambut merata. Alopesia berhubungan dengan adanya kehilangan rambut dan
menyebar, merata, dan lengkap, biasanya dikarenakan terapi obat seperti kemoterapi. Hirsutism
atau meningkatnya pertumbuhan rambut pada wajah, tubuh, atau pubis merupakan salah satu
penemuan abnormal. Hal ini dapat ditemukan pada wanita menopause, gangguan endokrin, dan
terapi obat tertentu (kortikosteroid, androgenik).

5. Kondisi kuku
Kuku seharusnya berwarna pink dengan vaskularisasi yang baik dan dapat dilakukan tes kapilari
refil. Kuku yang membiru dan keunguan dapat mengindikasikan terjadinya sianosis. Jika
warnanya pucat, bisa saja terjadi penurunan aliran darah ke perifer. Ketika ditemukan adanya
clubbing, sudut kuku ≥180°, mengindikasikan adanya hipoksia kronik.
pada sirosis, gagal jantung, dan DM tipe II.Terry’s nail
Kuku berwarna keputihan dengan bagian distal berwarna coklat kemerahan gelap. Koilonychias
defisiensi zat besi.anemia

defisiensi protein.adanya garis –garis tipis pada kuku defisiensi zinc.adanya spot putih pada
kuku

6. catat bau badan dan adanya bau pada pernapasan, berhubungan erat dengan kualitas
perawatan diri klien.Bau

Palpasi
1. palpasi kelembutan permukaan kulit. Kulit kasar terjadi pada pasien hipitiroidisme.Tekstur
2. Kelembaban
Dideskripsikan dengan kering, berminyak, berkeringat, atau lembab. Kulit berminyak dengan
jerawat dan dengan peningkatan aktivitas kelenjar minyak dna pada penyakit parkinson.
Diaforesis sebagai respon meningkatnya suhu atau melabolisme tubuh. Hiperhidrosis istilah
terhadap perspirasi berlebihan.
3. Temperatur
4. Mobilitas dan turgor
Ketika mengkaji secara terpusat, diatas klavikula, kulit seharusnya mudah untuk dicubit, dan
cepat kembali ke posisi awal. Mobilitas kulit menurun pada scleroderma atau pada pasien dengan
peningkatan edema. Turgor kulit menurun pada pasien dehidrasi.
5. nonpitting atau pitting edemaEdema
Nonpitting edema, tidak terdepresi dengan palpasi, terlihat pada pasien dengan respon inflamasi
lokal dan disebabkan oleh kerusakan endotel kapiler. Kulit terlihat merah, keras, dan hangat.
Pitting edema biasanya pada kulit ekstremitas dan dapat menimbulakan depresi ketika dilakukan
palpasi.
Skala (1+ to 4+) Pengukuran Deskripsi Waktu kembali
/41 2 mm Nyaris dapat terdeteksi Segera
/42 4 mm Pitting Lebih dalam Beberapa detik
/43 6 mm Pitting dalam 10-20 detik
4+/4 10 mm Sangat dalam >20 detik
Tabel Skala Pitting Edema

Pengkajian kulit pada lansia


• Terjadi kehilangan jaringan lemak bawah kulit dan penurunan vaskularisasi lapisan dermis
memicu penipisan kulit, keriput, kehilangan turgor kulit dan actinic purpura.
• Terpapar matahari dalam waktu lama memicu kulit menguning dan menebal dan
perkembangan solar lentigo.
• Menurunnya aktivitas kelenjar sebase dan kelenjar keringat memicu pengelupasan kulit dan
kekeringan.
• Menurunnya melanin menyebabkan rambut menjadi abu-abu – putih.
• Menurunnya kadar hormon menyebabkan penipisan rambut kepala.
• Penurunan sirkulasi perifer menyebabkan pertumbuhan yang lambat pada kuku dan kuku
menjadi rapuh

Referensi:
Davenport, Joan. Patient Assessment:Integumentary System Chapter 51.
http://connectiondev.lww.com/Products/morton/documents/pdfs/morton_ch51.pdf (diunduh pada
28 November 2010)
__________. Physical Assessment - Chapter 2 Integumentary System.
http://nursinglink.monster.com/training/articles/297-physical-assessment---chapter-2-
integumentary-system
http://smartanddelicious.blogspot.co.id/2010/11/pemeriksaan-fisik-sistem-integumen.html
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK SISTEM IMUN DAN HEMATOLOGI

BAB II
PEMBAHASAN
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
A.PENGERTIAN
Pemeriksaan diagnostic adalah penilaian klinis tentang respon individu,keluarga,dan komunikan
terhadap suatu masalah kesehatan dan proses kehidupan actual maupun potensial.

A. PERSIAPAN PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


Hasil suatu pemeriksaan laboratorium sangat penting dalam membantu diagnosa, memantau perjalanan
penyakit serta menentukan prognosa. Karena itu perlu diketahui faktor yang mempengaruhi hasil
pemeriksaan laboratorium.

Terdapat 3 faktor utama yang dapat mengakibatkan kesalahan hasil laboratorium yaitu :
1. Pra instrumentasi

Pada tahap ini sangat penting diperlukan kerjasama antara petugas, pasien dan dokter. Hal ini karena
tanpa kerja sama yang baik akan mengganggu/mempengaruhi hasil pemeriksaan laboratorium. Yang
termasuk dalam tahapan pra instrumentasi meliputi :

a. Pemahaman instruksi dan pengisian formulir

Pada tahap ini perlu diperhatikan benar apa yang diperintahkan oleh dokter dan dipindahkan ke dalam
formulir. Hal ini penting untuk menghindari pengulangan pemeriksaan yang tidak penting, membantu
persiapan pasien sehingga tidak merugikan pasien dan menyakiti pasien. Pengisian formulir dilakukan
secara lengkap meliputi identitas pasien : nama, alamat/ruangan, umur, jenis kelamin, data
klinis/diagnosa, dokter pengirim, tanggal dan kalau diperlukan pengobatan yang sedang diberikan. Hal
ini penting untuk menghindari tertukarnya hasil ataupun dapat membantu intepretasi hasil terutama
pada pasien yang mendapat pengobatan khusus dan jangka panjang.
b. Persiapan penderita
1) Puasa
Dua jam setelah makan sebanyak kira2 800 kalori akan mengakibatkan peningkatan volume plasma,
sebaliknya setelah berolahraga volume plasma akan berkurang. Perubahan volume plasma akan
mengakibatkan perubahan susunan kandungan bahan dalam plasma dan jumlah sel darah.

2) Obat

Penggunaan obat dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan hematologi misalnya : asam folat, Fe, vitamin
B12 dll. Pada pemberian kortikosteroid akan menurunkan jumlah eosinofil, sedang adrenalin akan
meningkatkan jumlah leukosit dan trombosit. Pemberian transfusi darah akan mempengaruhi komposisi
darah sehingga menyulitkan pembacaan morfologi sediaan apus darah tepi maupun penilaian
hemostasis. Antikoagulan oral atau heparin mempengaruhi hasil pemeriksaan hemostasis.

3) Waktu pengambilan

Umumnya bahan pemeriksaan laboratorium diambil pada pagi hari tertutama pada pasien rawat inap.
Kadar beberapa zat terlarut dalam urin akan menjadi lebih pekat pada pagi hari sehingga lebih mudah
diperiksa bila kadarnya rendah. Kecuali ada instruksi dan indikasi khusus atas perintah dokter. Selain itu
juga ada pemeriksaan yang tidak melihat waktu berhubung dengan tingkat kegawatan pasien dan
memerlukan penanganan segera disebut pemeriksaan sito. Beberapa parameter hematologi seperti
jumlah eosinofil dan kadar besi serum menunjukkan variasi diurnal, hasil yang dapat dipengaruhi oleh
waktu pengambilan. Kadar besi serum lebih tinggi pada pagi hari dan lebih rendah pada sore hari
dengan selisih 40-100 ug/dl. Jumlah eosinofil akan lebih tinggi antara jam 10 pagi sampai malam hari
dan lebih rendah dari tengah malam sampai pagi.

4) Posisi pengambilan

Posisi berbaring kemudian berdiri mengurangi volume plasma 10% demikian pula sebaliknya. Hal lain
yang penting pada persiapan penderita adalah menenangkan dan memberitahu apa yang akan
dikerjakan sebagai sopan santun atau etika sehingga membuat penderita atau keluarganya tidak merasa
asing atau menjadi obyek.

a) Persiapan alat

Dalam mempersiapkan alat yang akan digunakan selalu diperhatikan instruksi dokter sehingga tidak
salah persiapan dan berkesan profesional dalam bekerja.

b) Pengambilan darah

Yang harus dipersiapkan antara lain : - kapas alkohol 70 %, karet pembendung (torniket) semprit sekali
pakai umumnya 2.5 ml atau 5 ml, penampung kering bertutup dan berlabel. Penampung dapat tanpa
anti koagulan atau mengandung anti koagulan tergantung pemeriksaan yang diminta oleh dokter.
Kadang-kadang diperlukan pula tabung kapiler polos atau mengandung antikoagulan.

c) Penampungan urin

Digunakan botol penampung urin yang bermulut lebar, berlabel, kering, bersih, bertutup rapat dapat
steril (untuk biakan) atau tidak steril. Untuk urin kumpulan dipakai botol besar kira-kira 2 liter dengan
memakai pengawet urin.

d) Penampung khusus

Biasanya diperlukan pada pemeriksaan mikrobiologi atau pemeriksaan khusus yang lain. Yang penting
diingat adalah label harus ditulis lengkap identitas penderita seperti pada formulir termasuk jenis
pemeriksaan sehingga tidak tertukar.

c. Cara pengambilan sampel

Pada tahap ini perhatikan ulang apa yang harus dikerjakan, lakukan pendekatan dengan pasien atau
keluarganya sebagai etika dan sopan santun, beritahukan apa yang akan dikerjakan. Selalu tanyakan
identitas pasien sebelum bekerja sehingga tidak tertukar pasien yang akan diambil bahan dengan pasien
lain. Karena kepanikan pasien akan mempersulit pengambilan darah karena vena akan konstriksi.

Darah dapat diambil dari vena, arteri atau kapiler. Syarat mutlak lokasi pengambilan darah adalah tidak
ada kelainan kulit di daerah tersebut, tidak pucat dan tidak sianosis. Lokasi pengambilan darah vena :
umumnya di daerah fossa cubiti yaitu vena cubiti atau di daerah dekat pergelangan tangan. Selain itu
salah satu yang harus diperhatikan adalah vena yang dipilih tidak di daerah infus yang terpasang/sepihak
harus kontra lateral. Darah arteri dilakukan di daerah lipat paha (arteri femoralis) atau daerah
pergelangan tangan (arteri radialis). Untuk kapiler umumnya diambil pada ujung jari tangan yaitu
telunjuk, jari tengah atau jari manis dan anak daun telinga. Khusus pada bayi dapat diambil pada ibu jari
kaki atau sisi lateral tumit kaki.

d. Penanganan awal sampel dan transportasi

Pada tahap ini sangat penting diperhatikan karena sering terjadi sumber kesalahan ada disini. Yang
harus dilakukan :

1) Catat dalam buku expedisi dan cocokan sampel dengan label dan formulir. Kalau sistemnya
memungkinkan dapat dilihat apakah sudah terhitung biayanya (lunas)

2) Jangan lupa melakukan homogenisasi pada bahan yang mengandung antikoagulan

3) Segera tutup penampung yang ada sehingga tidak tumpah

4) Segera dikirim ke laboratorium karena tidak baik melakukan penundaan

5) Perhatikan persyaratan khusus untuk bahan tertentu seperti darah arteri untuk analisa gas darah,
harus menggunakan suhu 4-8° C dalam air es bukan es batu sehingga tidak terjadi hemolisis. Harus
segera sampai ke laboratorium dalam waktu sekitar 15-30 menit.

Perubahan akibat tertundanya pengiriman sampel sangat mempengaruhi hasil laboratorium. Sebagai
contoh penundaan pengiriman darah akan mengakibatkan penurunan kadar glukosa, peningkatan kadar
kalium. Hal ini dapat mengakibatkan salah pengobatan pasien. Pada urin yang ditunda akan terjadi
pembusukan akibat bakteri yang berkembang biak serta penguapan bahan terlarut misalnya keton.
Selain itu nilai pemeriksaan hematologi juga berubah sesuai dengan waktu
B. PERSIAPAN DAN PENGAMBILAN SPESIMEN
1) Pemeriksaan Darah
a. Tempat pengambilan darah untuk berbagai macam pemeriksaan laboratorium.
1) Perifer (pembuluh darah tepi)
2) Vena
3) Arteri
4) Pada orang dewasa diambil pada ujung jari atau daun telinga bagian bawah
5) Pada bayi dan anak kecil dapat diambil pada ibu jari kaki atau tumit

b. Bentuk pemeriksaan
1) Jenis/golongan darah
2) HB
3) Gula darah
4) Malaria
5) Filaria dll

c. Persiapan alat
1) Lanset darah atau jarum khusus
2) Kapas alkohol
3) Kapas kering
4) Alat pengukur Hb/kaca objek/botol pemeriksaan, tergantung macam pemeriksaan
5) Bengkok
6) Hand scoon
7) Perlak dan pengalas

d. Prosedur kerja
1) Mendekatkan alat
2) Memberitahu klien dan menyampaikan tujuan serta langkah prosedur
3) Memasang perlak dan pengalas
4) Memakai hand scoon
5) Mempersiapkan bagian yang akan ditusuk, tergantung jenis pemeriksaan
6) Kulit dihapushamakan dengan kapas alkohol
7) Bekas tusukan ditekan dengan kapas alkohol
8) Merapikan alat
9) Melepaskan hand scoon

2) Pemeriksaan Urine
a. Kegunaan
1) Menafsirkan proses-proses metabolisme
2) Mengetahui kadar gula pada tiap-tiap waktu makan (pada pasien DM)

b. Jenis pemeriksaan
1) Urine sewaktu
Urine yang dikeluarkan sewaktu-waktu bilamana diperlukan pemeriksaan.
2) Urine pagi
Urine yang pertama dikeluarkan sewaktu pasien bangun tidur.
3) Urine pasca prandial
Urine yang pertama kali dikeluarkan setelah pasien makan (1,5-3 jam sesudah makan)
4) Urine 24 jam
Urine yang dikumpulkan dalam waktu 24 jam.

c. Persiapan alat
1) Formulir khusus untuk pemeriksaan urine
2) Wadah urine dengan tutupnya
3) Hand scoon
4) Kertas etiket
5) Bengkok
6) Buku ekspedisi untuk pemeriksaan laboratorium

d. Prosedur tindakan
1) Mencuci tangan
2) Mengisi formulir
3) Memberi etiket pada wadah
4) Memakai hand scoon
5) Menuangkan 100 cc urine dari bengkok ke dalam wadah kemudian ditutup rapat.
6) Menyesuaikan data formulir dengan data pada etiket
7) Menuliskan data dari formulir ke dalam buku ekspedisi
8) Meletakkan wadah ke dalam bengkok atau tempat khusus bertutup.
9) Membereskan dan merapikan alat
10) Melepas hand scoon
11) Mencuci tangan

3) Pemeriksaan Faeces

a. Pengertian

Menyiapkan feses untuk pemeriksaan laboratorium dengan cara pengambilan yang tertentu.

b. Tujuan
Untuk menegakkan diagnosa

c. Pemeriksaan tinja untuk pasien dewasa


Untuk pemeriksaan lengkap meliputi warna, bau, konsistensi, lendir, darah, dan telur cacing. Tinja
yang diambil adalah tinja segar.

d. Persiapan alat
1) Hand scoon bersih
2) Vasseline
3) Botol bersih dengan penutup
4) Lidi dengan kapas lembab dalam tempatnya
5) Bengkok
6) Perlak pengalas
7) Tissue
8) Tempat bahan pemeriksaan
9) Sampiran

e. Prosedur tindakan
1) Mendekatkan alat
2) Memberitahu pasien
3) Mencuci tangan
4) Memasang perlak pengalas dan sampiran
5) Melepas pakaian bawah pasien
6) Mengatur posisi dorsal recumbent
7) Memakan hand scoon
8) Telunjuk diberi vaselin lalu dimasukkan ke dalam anus dengan arah keatas kemudian diputar
kekiri dan kekanan sampai teraba tinja
9) Setelah dapat , dikeluarkan perlahan – lahan lalu dimasukkan ke dalam tempatnya.
10) Anus dibersihkan dengan kapas lembab dan keringkan dengan tissue.
11) Melepas hand scoon
12) Merapikan pasien
13) Mencuci tangan

Untuk pemeriksaan kultur (pembiakan) pengambilan tinja dengan cara steril. Caranya sama
dengan cara thoucer, tetapi alat-alat yang digunakan dalam keadaan steril.

4) Pengambilan sputum
a. Pengertian
Sputum atau dahak adalah bahan yang keluar dari bronchi atau trakhea, bukan ludah atau lendir
yang keluar dari mulut, hidung atau tenggorokan.
b. Tujuan
Untuk mengetahui basil tahan asam dan mikroorganisme yang ada dalam tubuh pasien sehingga
diagnosa dapat ditegakkan.
c. Indikasi
Pasien yang mengalami infeksi/peradangan saluran pernafasan (apabila diperlukan).
d. Persiapan alat
1) Sputum pot (tempat ludah) yang bertutup
2) Botol bersih dengan penutup
3) Hand scoon
4) Formulir dan etiket
5) Perlak pengalas
6) Bengkok
7) Tissue
e. Prosedur tindakan
1) Menyiapkan alat
2) Memberitahu pasien
3) Mencuci tangan
4) Mengatur posisi duduk
5) Memasang perlak pengalas dibawah dagu dan menyiapkan bengkok.
6) Memakai hand scoon
7) Meminta pasien membatukkan dahaknya ke dalam tempat yang sudah disiapkan
(sputum pot)
8) Mengambil 5cc bahan, lalu masukkan ke dalam botol
9) Membersihkan mulut pasien
10) Merapikan pasien dan alat
11) Melepas hand scoon
12) Mencuci tangan

5) Pengambilan spesimen cairan vagina/hapusan genetalia


a. Persiapan alat
1) Kapas lidi steril
2) Objek gelas
3) Bengkok
4) Sarung tangan
5) Spekulum
6) Kain kassa, kapas sublimat
7) BengkoK
8) Perlak

a. Prosedur
1) Memberitahu dan memberi penjelasan pada klien tentang tindakan yang akan
dilakukan
2) Mendekatkan alat
3) Memasang sampiran
4) Membuka dan menganjurkan klien untuk menanggalkan pakaian bagian bawah
(jaga privacy pasien)
5) Memasang pengalas dibawah bokong pasien
6) Mengatur posisi pasien dengan kaki ditekuk (dorsal recumbent)
7) Mencuci tangan
8) Memakai sarung tangan
9) Membuka labia mayora dengan ibu jari dan jari telunjuk tangan yang tidak
dominan
10) Mengambil sekret vagina dengan kapas lidi dengan tangan yang dominan sesuai
kebutuhan
11) Menghapus sekret vagina pada objek gelas yang disediakan
12) Membuang kapas lidi pada bengkok
13) Memasukkan objek gelas ke dalam piring petri atau ke dalam tabung kimia dan
ditutup
14) Memberi label dan mengisi formulir pengiriman spesimen untuk dikirim ke
laboratorium
15) Membereskan alat
16) Melepas sarung tangan
17) Mencuci tangan
18) Melakukan dokumentasi tindakan

C. PERSIAPAN UNTUK PEMERIKSAAN


1. Pemeriksaan USG
Perkembangan Ultrasonografi (USG) sudah dimulai sejak kira-kira tahun 1960, dirintis oleh Profesor Ian
Donald. Sejak itu, sejalan dengan kemajuan teknologi bidang komputer, maka perkembangan
ultrasonografi juga maju dengan sangat pesat, sehingga saat ini sudah dihasilkan USG 3 Dimensi dan Live
3D (ada yang menyebut sebagai USG 4D).

a.Indikasi

1). Dalam bidang obstetri, indikasi yang dianut adalah melakukan pemeriksaan USG dilakukan begitu
diketahui hamil, penapisan USG pada trimester pertama (kehamilan 10 – 14 minggu), penapisan USG
pada kehamilan trimester kedua (18 – 20 minggu), dan pemeriksaan tambahan yang diperlukan untuk
memantau tumbuh kembang janin.

2). Dalam bidang ginekologi onkologi pemeriksaannya diindikasikan bila ditemukan kelainan secara fisik
atau dicurigai ada kelainan tetapi pada pemeriksaan fisik tidak jelas adanya kelainan tersebut.

3). Dalam bidang endokrinologi reproduksi pemeriksaan USG diperlukan untuk mencari kausa gangguan
hormon, pemantauan folikel dan terapi infertilitas, dan pemeriksaan pada pasien dengan gangguan
haid.

4). Sedangkan indikasi non obstetrik bila kelainan yang dicurigai berasal dari disiplin ilmu lain, misalnya
dari bagian pediatri, rujukan pasien dengan kecurigaan metastasis dari organ ginekologi dll.

b. Cara Pemeriksaan
Pemeriksaan USG dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:
1) Pervaginam
a) Memasukkan probe USG transvaginal/seperti melakukan pemeriksaan dalam.
b) Dilakukan pada kehamilan di bawah 8 minggu.
c) Lebih mudah dan ibu tidak perlu menahan kencing.
d) Lebih jelas karena bisa lebih dekat pada rahim.
e) Daya tembusnya 8-10 cm dengan resolusi tinggi.
f) Tidak menyebabkan keguguran.
2) Perabdominan
a) Probe USG di atas perut.
b) Biasa dilakukan pada kehamilan lebih dari 12 minggu.
c) Karena dari atas perut maka daya tembusnya akan melewati otot perut, lemak baru menembus
rahim.

c. Jenis Pemeriksaan USG


1) USG 2 Dimensi

Menampilkan gambar dua bidang (memanjang dan melintang). Kualitas gambar yang baik sebagian
besar keadaan janin dapat ditampilkan.

2). USG 3 Dimensi

Dengan alat USG ini maka ada tambahan 1 bidang gambar lagi yang disebut koronal. Gambar yang
tampil mirip seperti aslinya. Permukaan suatu benda (dalam hal ini tubuh janin) dapat dilihat dengan
jelas. Begitupun keadaan janin dari posisi yang berbeda. Ini dimungkinkan karena gambarnya dapat
diputar (bukan janinnya yang diputar).

3). USG 4 Dimensi

Sebetulnya USG 4 Dimensi ini hanya istilah untuk USG 3 dimensi yang dapat bergerak (live 3D). Kalau
gambar yang diambil dari USG 3 Dimensi statis, sementara pada USG 4 Dimensi, gambar janinnya dapat
“bergerak”. Jadi pasien dapat melihat lebih jelas dan membayangkan keadaan janin di dalam rahim.

4).USG Doppler

Pemeriksaan USG yang mengutamakan pengukuran aliran darah terutama aliran tali pusat. Alat ini
digunakan untuk menilai keadaan/kesejahteraan janin. Penilaian kesejahteraan janin ini meliputi: Gerak
napas janin (minimal 2x/10 menit), Tonus (gerak janin), Indeks cairan ketuban (normalnya 10-20 cm),
Doppler arteri umbilikalis, Reaktivitas denyut jantung janin.
2. Pemeriksaan Rontgen

Teknologi rontgen sudah digunakan lebih dari satu abad yang lalu. Tepatnya sejak 8 November 1890
ketika fisikawan terkemuka berkebangsaan Jerman, Conrad Roentgen, menemukan sinar yang tidak
dikenalinya, yang kemudian diberi label sinar X. Sinar ini mampu menembus bagian tubuh manusia,
sehingga dapat dimanfaatkan untuk memotret bagian-bagian dalam tubuh. Berkat jasanya bagi dunia
kedokteran, banyak nyawa bisa diselamatkan, hingga ia mendapat penghargaan Nobel di tahun 1901.
Pada prinsipnya sinar yang menembus tubuh ini perlu dipindahkan ke format film agar bisa dilihat
hasilnya. Seiring dengan kemajuan teknologi, kini foto rontgen juga sudah bisa diproses secara digital
tanpa film. Sementara hasilnya bisa disimpan dalam bentuk CD atau bahkan dikirim ke berbagai belahan
dunia menggunakan teknologi e-mail.

a.Persiapan pemeriksaan

1)Radiografi konvensional tanpa persiapan.


Maksudnya, saat anak datang bisa langsung difoto. Biasanya ini untuk pemeriksaan
tulang atau toraks.

2) Radiografi konvensional dengan persiapan.


Pemeriksaan radiografi konvensional yang memerlukan persiapan di antaranya untuk foto rontgen
perut. Sebelum pelaksanaan, anak diminta untuk puasa beberapa jam atau hanya makan bubur kecap.
Dengan begitu ususnya bersih dan hasil fotonya pun dapat dengan jelas memperlihatkan kelainan yang
dideritanya.

3) Pemeriksaan dengan kontras


Sebelum dirontgen, kontras dimasukkan ke dalam tubuh dengan cara diminum, atau dimasukkan
lewat anus, atau disuntikkan ke pembuluh vena.

b. Indikasi pemeriksaan
1) Sesak napas pada bayi.
Untuk memastikan ada tidaknya kelainan di toraksnya (rongga dada), dokter membutuhkan foto
rontgen agar penanganannya tepat.

2) Bayi muntah hijau terus-menerus.


Bila dokter mencurigai muntahnya disebabkan sumbatan di saluran cerna, maka pengambilan foto
rontgen pun akan dilakukan. Pertimbangan dokter untuk melakukan tindakan ini tidak semata-mata
berdasarkan usia, melainkan lebih pada risk and benefit alias risiko dan manfaatnya.

3) Deteksi masalah pada tulang, paru-paru, usus, dan organ dalam lainnya.
Bagi balita sampai kalangan dewasa, foto rontgen lazimnya dimanfaatkan untuk mendeteksi masalah
pada tulang, paru-paru, usus, dan organ dalam lainnya.

3. Kardiotokografi (CTG).
a. Pengertian
1) Secara khusus
CTG adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur DJJ pada saat kontraksi maupun tidak.

2) Secara umum

CTG merupakan suatu alat untuk mengetahui kesejahteraan janin di dalam rahim, dengan merekam
pola denyut jantung janin dan hubungannya dengan gerakan janin atau kontraksi rahim.

Jadi bila doppler hanya menghasilkan DJJ maka pada CTG kontraksi ibu juga terekam dan kemudian
dilihat perubahan DJJ pada saat kontraksi dan diluar kontraksi. Bila terdapat perlambatan maka itu
menandakan adanya gawat janin akibat fungsi plasenta yang sudah tidak baik
.
Cara pengukuran CTG hampir sama dengan doppler hanya pada CTG yang ditempelkan 2 alat yang satu
untuk mendeteksi DJJ yang satu untuk mendeteksi kontraksi, alat ini ditempelkan selama kurang lebih
10-15 menit

b. Indikasi Pemeriksaan CTG


1) Kehamilan dengan komplikasi (darah tinggi, kencing manis, tiroid, penyakit infeksi kronis, dll)
2) Kehamilan dengan berat badan janin rendah (Intra Uterine Growth Retriction)
3) Oligohidramnion (air ketuban sedikit sekali)
4) Polihidramnion (air ketuban berlebih)

c. Pemeriksaan CTG

1) Sebaiknya dilakukan 2 jam setelah makan.


2) Waktu pemeriksaan selama 20 menit,
3) Selama pemeriksaan posisi ibu berbaring nyaman dan tak menyakitkan ibu maupun bayi.
4) Bila ditemukan kelainan maka pemantauan dilanjutkan dan dapat segera diberikan pertolongan yang
sesuai.
5) Konsultasi langsung dengan dokter kandungan

Jenis-Jenis Pemeriksaan Diagnostik Yang Berhubungan Dengan SIH


a. Pemriksaan Fisik
 Inspeksi
Adalah metode observasi yang digunakan saat pemeriksaan fisik. Teknik ini mengguanakan
penglihatan, penciuman dan pendengaran untuk mengetahui kondisi normal atau adanya deviasi dari
bagian tubuh yang diperiksa. Metode ini adalah langkah pertama dalam pemeriksaan fisik.
Dalam pengkajian fisik, lakukan pemeriksaan dengan melihat penampilan umum. Perhatikan
penampilan umum, setelah penampiilan ini lanjutkan pemeriksaan dengan pengkajian yang sistematis
selanjutnya. Ketika melakukan pemeriksaan ini, pastikan bahwa penerangan dan sinar cahaya cukup
untuk melakukan pemeriksaan.
 Palpasi
Merupakan metode untuk ‘merasakan’ dengan tangan saat pemeriksaan fisik. Dengan pemeriksaan
ini anda dapat menentukan:
 Tekstur (kasar/halus)
 Suhu (hangat / panas / dingin)
 Kelembaban (kering, basah atau lembab)
 Gerakan (diam atau tremor otot)
 Konsistensi jaringan (padat atau berair)
A. Pemeriksaan fisik pada system imun
1. Pengkajian pada system imun
Penilaian fungsi imun dimulai dari hasil anamnesis riwayat kesehatan pasien dan pemeriksaan fisik.
Riwayat kesehatan pasien harus mengandung informasi yang rinci mengenai factor – factor dimasa lalu
serta sekarang dan berbagai kejadian yang menunjukan status system imun disamping factor – factor dan
kejadian yang dapat mengetahui fungsi sistem imun. Faktor – faktor dan kejadian ini mencakup infeksi,
kelainan alergi, kelainan autonium, penyakit neoplasma, keadaan sakit yang kronis, riwayat pembedahan,
imunisasi, dan penggunaan obat – obatan, transfuse darah, faktor – faktor lain yang mempengaruhi fungsi
imun dan hasil pemeriksaan laboratorium serta tes diagnostic lainnya. Pengkajian fisik pasien palpasi
nodus limfatikus dan pemeriksaan kulit, membrane mukosa dan sistem respiratorius, gastrointestinal,
urogenital, kardiovaskuler serta neurosensorik.
Pada pemeriksaan jasmani,kondisi kulit dan membrane mukosa pasien harus di nilai untuk menemukan
lesi,dermatitis,purpura(pendarahan sub kutan),urtikaria,inflamasi,ataupun pengeluaran secret. Selain itu,
tanda-tanda infeksi perlu di perhatikan. Suhu tubuh pasien di catat dan observasi di lakukan untuk
mengamati gejala mengigil serta perspirasi.kelenjar limpe servikal anterior serta posterior,aksilaris dan
ingminalis harus di palpasi untuk menemukan pembesaran;jika kelenjar limpe atau nodus limpatikus
teraba, maka lokasi,ukuran,konsistensi,dan keluhan nyeri tekan saat palpasi harus di catat. Pemeriksaan
sendi-sendi di lakukan untuk menilai nyeri tekan serta pembengkakan dan keterbatasan kisaran gerak.
Status respiratorius pasien di evaluasi dengan memantau frekuensi pernapasan dan menilai adanya gejala
batuk(kering/produktif) serta setiap suara paru yang abnormal(mengi,krepitasi,ronchi). Pasien juga di kaji
untuk menemukan rhinitis,hiperventilasi dan bronkospasme.

Status kardiovaskuler

Sensitivitas Bagian Tangan

Bagian tangan yang dipakai Hal Yang Dapat Dirasakan


Jari-jari (ujung jari) Adanya gerakan halus jaringan atau pulsasi
Permukaan tangan Getaran yang mungkin terjadi (i.e., thrills, fremitus)
Punggung tangan Suhu kulit
Palpasi

Jenis Tujuan Teknik


Palpasi Ringan Digunakan untuk ada tidaknya Tekan kulit ½ hingga ¾ inci dengan
abnomalitas permukaan (contoh, ujung jari
tekstur, suhu, kelembaban, elastisitas,
pulsasi, organ-oran superfisial, dll)
Palpasi Dalam Digunakan untuk meraba organ dalam Tekan kulit sedalam 1½ hingga 2 inci
dan masa untuk melihat ukuran, dengan tekanan yang mantap.
bentuk, simetris atau mobiltasnya Mungkin diperlukan juga tangan
lainnya untuk membantu penekanan
Palpasi Bimanual Digunakan untuk mengkaji organ Gunakan dua tangan, satu tangan pada
(gunakan teknik ini dalam di rongga abdomen. sisi masing-masing bagian tubuh atau
dengan hati-hati organ yang diperiksa
karena mungkin akan Tangan yang di bagian atas digunakan
merangsang nyeri untuk memberikan tekanan ketika
atau mengganggu tangan yang di bawah digunakan untuk
organ internal tubuh) memeriksa jaringan yang dalam
Gunakan satu tangan untuk menekan
secara dalam dinding perut abdominal
untuk menggerakkan jaringan dalam
arah tangan yang lainnya, dan gunakan
tangan tersebut untuk merasakan
jaringan yang diperiksa
B. Pemeriksaan Labolatorium
Untuk memastikan diagnosis harus ditunjang dengan pemeriksaan labolatorium dan pemeriksaan
spesifik. Pemeriksan yang dapat dilakukan ialah :
1. Pemeriksaan darah rutin feses dan kemih, serta kimia dara
2. Pemeriksaan sediaan apus basah seperti pemeriksaan terhadap hiva ( dengan KOH 10% ) trikomonas (
NaCI 0,9% )
3. Periksaan sekret/ bahan-bahan dari kulit dengan pewarnaan kusus, seperti gram ( untuk bakteri ), Ziehl
Nielsen untuk hasil tahan asam, gentian violet untuk virus, microscop lapangan gelap untuk spiroketa,
pemeriksaan cairan gelembung( untuk menghitung eosinofil ) dan pemriksaan sel tzanck.
4. Pemeriksaan serologik untuk sefilis, frambusia.
5. Pemeriksaan dengan sinar wood terhadap infeksi jamur kulit.
6. Pemeriksaan terhadap alergi: uji gores, tetes, tempel, tusuk, dan uji suntik
7. Pemeriksaan Lab yang berhubungan dengan hematologi adalah sebagai berikut :
Pemeriksaan Hemaglobin, Jumlah Leokosit, Eritrosit, Trombosit, Hemaorit, Retikulosit, Fibrinogen, Gol.
Darah dan Rh-faktor.
8. Pemeriksaan Lab yang berhubungan dengan imunolgi adalah sebagai berikut :
Widal, ASTO, Rheumatoid, C-Reactive Protein, Seramoeba, V.D.R.L, T.P.H.A, R.P.R, Anti-HIV, HbsAG, Anti-
HbeAG, Anti-HBc totall, IgM Anti-HBc dan IgM Anti-HAV.

C. Diagnostik pada penyakit AIDS.


Kriteria diagnostiknya mencakup penurunan berat yang tidak dikehendakiyang melampaui 10% dari berat
badan dasar, diare yang kronis selama lebih 30 hari atau kelemahan yang kronis, dan demam yang
kambuhan atau menetap tanpa adanya penyakit lain yang menjelaskan gejala ini. Malnutrisi protein –
energy yang terjadi bersifat multifactor pada sebagian keadaan sakit yang berkaitan dengan AIDS,
pesiennya akan mengalami keadaan hipermetabolik dimana terjadi pembakaran kalori yang berlebihan
dan kehilangan leanbodymass keadaan ini serupa dengan keadaan stress seperti sepsis serta trauma dan
dapat menimbulkan kegagalan organ. Pembedaan anatra keadaan kakeksia ( pelisutan) adan malnutrisi
atau antara kakeksia dan penurunan berat badan yang biasa terjadi sangat penting mengingat ganaguan
metabolik pada sindrom pelisutan tidak dapat diubah dengan dukungan nutrisi saja.
D. Evaluasi diagnostic
1. Tes laboratorium.
Sejak ditemukannya HIV pada tahun 1983, para ilmuan telah belajar banyak tentang karakteristik dan
patogenisita virus tersebut. Berdasarkan pengetahuan ini telah dikembangakan sejumlah tes diagnostik
yang sebagian masih bersifat penelitian tes atau pemeriksaan laboratorium kini digunakan untuk
mengdiagnostik HIV dan memantau perkembangan penyakit serta responnya terhadap terapi pada
orang terinfeksi HIV.
2. Tes antibody HIV.
Kalau seseorang terinfeksi virus HIV, system imunnya akan beraksi dengan memproduksi antibody
terhadap virus. Antibody umumnya terbentuk dalam waktu 3-12 minggu setelah terkena infeksi,kendati
pembentukan antibody ini dapat memerlukan waktu sampai 6-14 bulan; kenyataan ini menjelaskan
mengapa seseorang dapat terinfeksi tetapi pada mulanya tidak memperlihatkan hasil test yang positif.
Sayangnya, antibody untuk hiv tidak efektif dan tidak dapat menghentikan perkembangan infeksi hiv.
Kemampuan untuk mendeteksi antibody hiv dalam darah telah memungkinkan pemeriksaan skring
produk darah dan memudahkan evaluasi diagnostic pada pasien-pasien terinfeksi hiv. Pada 1985, food
and drug administration(fda) mengeluarkan lisensi untuk uji kadar antibody hiv bagi semua pendonoran
darah dan plasma. Ada 3 buah test untuk memastikan danya antibody terhadap hiv dan membantu
mendiagnostik infeksi hiv.
1. Test enzyme linket immunosorbent assay(elisa) mengidentifikasi antibody secara spesifik yang di tujukan
pada virus hiv.
Pemeriksaan westernblot assay : merupakan test yg dapat mengenali antibody hiv dan digunakan untuk
memastikan seropositifitas seperti yang teridentifikasi lewat prosedur elisa.
2. Indirect immonofluorescene assay (IFA) yang saat ini sering digunakan dokter sebagai pengganti
pemeriksaan western blot untuk seropositifitas.
3. Radioimmunoprecipitation assay (RIFA) tes ini lebih mendeteksi protein HIV ketimbang antibbodi.

B. Pemeriksaan diagnostic pada system hematologi


1. Pemeriksaan Fungsi Hemostasis
Kelainan hemostasis dengan perdarahan abnormal dapat merupakan kelainan pembuluh darah,
trombositopenia atau gangguan fungsi trombosit, dan kelainan koagulasi. Sejumlah pemeriksaan
sederhana dapat dikerjakan untuk menilai fungsi trombosit, pembuluh darah, serta komponen koagulasi
dalam hemostasis.
Pemeriksaan penyaring ini meliputi pemeriksaan darah lengkap (Complete Blood Count/CBC), evaluasi
darah apus, waktu perdarahan (Bleeding Time/ BT), waktu protrombin (Prothrombin Time/PT), activated
partial thromboplastin time (aPTT), dan agregasi trombosit.
CBC dan evaluasi darah apus. Pasien dengan kelainan perdarahan pertama kali harus menjalani
pemeriksaan CBC dan pemeriksaan apusan darah perifer. Selain memastikan adanya trombositopenia,
dari darah apus dapat menunjukkan kemungkinan penyebab yang jelas seperti misalnya leukemia.
Pemeriksaan penyaring sistem koagulasi. Meliputi penilaian jalur intrinsik dan ekstrinsik dari sistem
koagulasi dan perubahan dari fibrinogen menjadi fibrin. PT (Prothrombin Time) mengukur faktor VII, X,
V, protrombin, dan fibrinogen. aPTT (activated Partial Prothrombin Time) mengukur faktor VIII, IX, XI,
dan XII. TT (Thrombin Time) cukup sensitif untuk menilai defisiensi fibrinogen atau hambatan terhadap
trombin.
Pemeriksaan faktor koagulasi khusus. Pemeriksaan fibrinogen, faktor vW, dan faktor VIII.
Waktu perdarahan (Bleeding Time/BT). Memeriksa fungsi trombosit abrnormal misalnya pada
defisiensi faktor Von Willebrand (VWf). Pada trombositopenia, waktu perdarahan juga akan memanjang,
namun pada perdarahan abnormal akibat kelainan pembuluh darah, waktu perdarahan biasanya
normal.
Pemeriksaan fungsi trombosit. Tes agregasi trombosit mengukur penurunan penyerapan sinar pada
plasma kaya trombosit sebagai agregat trombosit.
Pemeriksaan fibrinolisis. Peningkatan aktivator plasminogen dalam sirkulasi dapat dideteksi dengan
memendeknya euglobulin clot lysis time. (Suharti, 2007).

2. Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP)


ITP adalah kelainan akibat trombositopenia yang tidak diketahui penyebabnya (idiopatik), tetapi
ternyata diketahui bahwa sebagian besar kelainan ini disebabkan oleh proses imun, karena itu disebut
juga autoimmune thrombocytopenic purpura.
Pada ITP jumlah trombosit menurun disebabkan oleh trombosit diikat oleh antibodi, terutama IgG.
Antibodi terutama ditujukan untuk reseptor GP IIb/IIIa pada trombosit. Trombosit yang diselimuti
antibodi kemudian difagositir oleh makrofag dalam RES terutama lien, akibatnya terjadi
trombositopenia.
Gambaran klinik ITP, yaitu
1) onset pelan dengan perdarahan melalui kulit atau mukosa berupa peteki, ekimosis, easy bruising,
menorrhagia, epistaksis atau perdarahan gusi;
2) perdarahan SSP jarang, tetapi fatal; dan
3) splenomegali, terjadi pada 10% kasus.
Pada ITP kelainan laboratorium yang terjadi:
1) darah tepi: trombosit paling sering antara 10.000-50.000/mm3;
2) sumsum tulang: megakariosit meningkat, multinuklear, disertai lobulasi; dan
3) imunologi: adanya antiplatelet IgG pada permukaan trombosit atau dalam serum. Yang lebih spesifik
adalah antibodi terhadap gp IIb/IIIa atau gp Ib.
Diagnosis ITP ditegakkan bila dijumpai:
1) gambaran klinik berupa perdarahan kulit atau mukosa;
2) trombositopenia;
3) sumsum tulang: megakariosit normal atau meningkat;
4) antibodi antiplatelet (IgG) positif, tetapi tidak harus demikian; dan
5) tidak ada penyebab trombositopenia sekunder (Bakta, 2006).
a. Penatalaksanaan ITP
1. Terapi untuk mengurangi proses imun sehingga mengurangi perusakan trombosit.

a) Terapi kortikosteroid à menekan aktivitas makrofag, mengurangi pengikatan IgG oleh trombosit, dan
untuk menekan sintesis antibodi.
b) Jika dalam 3 bulan tidak memberi respon pada kortikosteroid (trombosit <30×10 9/l) atau perlu dosis
pemeliharaan yang tinggi maka diperlukan splenektomi, atau obat-obatan immunosupresif lain seperi
vincristine, cyclophospamide, atau azathiprim.
2. Terapi suportif , terapi untuk mengurangi pengaruh trombositopenia.
a) Pemberian androgen (danazol).
b) Pemberian high dose immunoglobulin untuk menekan fungsi makrofag.

b.Pemeriksaan laboratorium lanjutan.


Untuk memastikan diagnosis ITP, maka perlu pemeriksaan apusan darah tepi, pemeriksaan sumsum
tulang, dan pemeriksaan imunologi.
Sebaiknya pasien diberi terapi kortikosteroid untuk mengurangi proses imun sehingga mengurangi
perusakan trombosit. Apabila kortikosteroid tidak menghasilkan respon, maka dilakukan splenektomi
atau pemberian obat-obat immunosupresif lain. Selain itu, juga dapat dilakukan terapi suportif untuk
mengurangi pengaruh trombositopenia, seperti pemberian androgen, pemberian high dose
immunoglobulin, dan transfusi konsentrat trombosit.
3. Pemeriksaan dan Diagnosis Leukemia

 Hematologi rutin dan Hitung darah lengkap digunakan untuk mengetahui kadar Hb-eritrosit,
leukosit, dan trombosit.
 Apus darah tepi digunakan untuk mengetahui morfologi sel darah, berupa bentuk, ukuran,
maupun warna sel-sel darah, yang dapat menunjukkan kelainan hematologi.
 Aspirasi dan biopsi sumsum tulang digunakan untuk mengetahui kondisi sumsum tulang, apakah
terdapat kelainan atau tidak.
 Karyotipik digunakan untuk mengetahui keadaan kromosom dengan metode FISH (Flurosescent
In Situ Hybridization).
 Immunophenotyping mengidentifikasi jenis sel dan tingkat maturitasnya dengan antibodi yang
spesifik terhadap antigen yang terdapat pada permukaan membran sel.
 Sitokimia merupakan metode pewarnaan tertentu sehingga hasilnya lebih spesifik daripada
hanya menggunakan morfologi sel blas pada apus darah tepi atau sumsum tulang.
 Analisis sitogenetik digunakan untuk mengetahui kelainan sitogenetik tertentu, yang pada
leukemia dibagi menjadi 2: kelainan yang menyebabkan hilang atau bertambahnya materi
kromosom dan kelainan yang menyebabkan perubahan yang seimbang tanpa menyebabkan
hilang atau bertambahnya materi kromosom.

1. Penatalaksanaan Leukemia
Pengobatan utama untuk keganasan hematologi selama beberapa dekade adalah pembedahan,
kemoterapi, dan terapi radiasi (Baldy, 2006). Saat ini, pengobatan yang lain tersedia terbatas tetapi
penggunaannya meningkat, dengan kemajuan dalam uji klinis, yang dikenal sebagai Biological. Kelompok
obat ini adalah zat alami yang diambil dari sumber alami atau disintesis dalam laboratorium untuk
menyerang target biologi tertentu (Finley, 2000). Biological dianggap menjaga sel induk hematopoietik
dan oleh karena itu kurang toksik dan bersifat kuratif (Baldy, 2006).
Kemoterapi atau Terapi Obat Sitotoksik. Obat sitotoksik merusak kapasitas sel untuk reproduksi. Tujuan
terapi sitotoksik mula-mula menginduksi remisi dan selanjutnya mengurangi populasi sel leukemik yang
tersembunyi, dan memulihkan sumsum tulang dengan kombinasi siklik dua, tiga atau empat obat.
Pemulihan ini tergantung pada pola pertumbuhan kembali (differential regrowth pattern) sel
hemopoietik normal dan sel leukemik.
Transplantasi Sumsum Tulang. Transplantasi sumsum tulang dilakukan untuk memulihkan sistem
hemopoietik pasien setelah penyinaran seluruh tubuh dan kemoterapi intensif diberikan dalam usaha
membunuh semua leukemmik yang tinggal (Hoffbrand and Petit, 1996).
Terapi ALL dibagi menjadi:
 Induksi remisi
Terapi ini biasanya terdiri dari prednisone, vinkristin, antrasiklin dan L-asparaginase.
 Intensifikasi atau konsolidasi
Berbagai dosis mielosupresi dari obat yang berbeda diberikan tergantung protocol yang dipakai.
 Profilaksis SSP
Terdiri dari kombinasi kemoterapi intratekal, radiasi cranial, dan pemberian sistemik obat yang
mempunyai bioavailabilitas yang tinggi seperti metotreksat dosis tinggi dan sitarabin dosis tinggi.
 Pemeliharaan jangka panjang
Terapi ini terdiri dari 6-merkaptopurin tiap hari dan metotreksat seminggu sekali selama 2 tahun (Fianza,
2007).
Daftar Pustaka

Bobak, K. Jensen, 2005, Perawatan Maternitas. Jakarta. EGC

Elly, Nurrachmah, 2001, Nutrisi dalam keperawatan, CV Sagung Seto, Jakarta.

Depkes RI. 2000. Keperawatan Dasar Ruangan Jakarta.

Engenderhealt. 2000. Infection Prevention, New York.

JHPIEGO, 2003. Panduan Pengajaran Asuhan Kebidanan, Buku 5 Asuhan Bayi Baru Lahir Jakarta.
Pusdiknakes.

JNPK_KR.2004. Panduan Pencegahan Infeksi Untuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dengan Sumber Daya
Terbatas. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.

Johnson, Ruth, Taylor. 2005. Buku Ajar Praktek Kebidanan. Jakarta. EGC.

Kozier, Barbara, 2000, Fundamental of Nursing : Concepts, Prosess and Practice : Sixth edition, Menlo
Park, Calofornia.

Potter, 2000, Perry Guide to Basic Skill and Prosedur Dasar, Edisi III, Alih bahasa Ester Monica, Penerbit
buku kedokteran EGC.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
SISTEM IMUN DAN HEMATOLOGI
OLEH:
1. SUPARMANTO
2. NOVARIANI YUSAN
3. ZULHAIRU
4. YULIANA
5. SUMBAWATI PUTRI MELATI
6. RESTY MAYLIA DWI
7. SUHAINI
8. YETI SUHANA
9. RANDY MULYA PUTRA
10. BUDI SURAHMI
11. LUSIANA

STIK MUHAMMADIYAH PONTIANAK


S1 REGULER KEPERAWATAN
TAHUN AKADEMIK 2010/2011

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Dalam melakukan asuhan keperawatan dibutuhkan konsep pengkajian diagnostic. Pengkajian


diagnostik dimulai dari hasil anamnesis riwayat kesehatan pasien dan pemeriksaan fisik. Riwayat
kesehatan pasien harus mengandung informasi yang rinci mengenai factor-faktor dimasalalu serta
sekarang dan berbagai kejadian yang menunjukkan status system imun dan hermatologi disamping
factor-faktor dan kejadian yang dapat mempengaruhi fungsi system imun dan hermatologi.

B. Masalah

Masalah yang kami angkat dalam makalah ini adalah membahas tentang pemeriksaan diagnostic
system imun dan hermatologi.

C. Tujuan

Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah agar pembaca dapat menjelaskan tentang
pemeriksaan diagnostic system imun dan hermatologi.
http://suparmantoskepners.blogspot.co.id/2011/04/pemeriksaan-diagnostik-sistem-imun-dan.html

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN GANGGUAN SISTEM INTEGUMEN

STRUKTUR DAN FUNGSI INTEGUMEN


Kulit merupakan jaringan pembuluh darah, saraf, dan kelenjar yang tidak terujung,
semuanya memiliki potensi untuk terserang penyakit. Luas kulit orang dewasa 1,5 m2 dengan
berat kira-kira 15% dari berat badan. Secara mikroskopis struktur kulit terdiri dari tiga lapisan
yaitu:
1. Lapisan epidermis
Lapisan paling atas dari kulit, tidak mengandung pembuluh darah dan syaraf. Sel mendapat
makanan melalui proses difusi dari jaringan dibawahnya. Bagian terluar terdiri dari stratum
korneum, stratum lusidum, stratum granolusum, stratum spinosum, dan stratum basale.
2. Lapisan dermis
a. Pars papilare, bagian yang menonjol ke epidermis. Berisi ujung serabut saraf dan pembuluh
darah yang menyokong dan memberi nutrisi pada epidermis.
b. Pars retikulare, bagian bawah yang menonjol ke arah subkutis. Terdiri atas serabut-serabut
kolagen, elastin, dan retikulin.
3. Lapisan subkutis
Bantalan untuk kulit, isolasi untuk mempertahankan suhu tubuh, dan tempat penyimpanan
energi.

Fungsi Kulit
a. Fungsi proteksi
Melindungi tubuh dari trauma, benteng pertahanan terhadap gangguan kimiawi bakteri, virus,
dan jamur.
b. Fungsi absorpsi
Sifat permiabel-selektif, kulit menyerap bahan-bahan tertentu seperti gas dan zat yang larut
dalam lemak, sedangkan air dan elektrolit sukar masuk melalui kulit.
c. Fungsi ekskresi
Kelenjar kulit mengeluarkan sisa metabolisme dalam bentuk sebum dan keringat. Sebum dan
keringat dapat merangsang pertumbuhan bakteri pada permukaan kulit.
d. Fungsi persepsi
Kulit mengandung ujung ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis yang peka terhadap
rangsangan panas , dingin, rabaan,dan tekanan.
e. Fungsi pengaturan suhu tubuh
Kemampuan vasokonstriksi pada suhu dingin sehingga meningkatkan suhu tubuh, kemampuan
vasodilatasi pada suhu panas sehingga menurunkan suhu, serta kemampuan termorigulasi
melalui evaporasi atau berkeringat.
f. Fungsi pembentukan pigmen
Sel pembentuk pigmen di sebut melanosit. Dengan bantuan sinar matahari dan beberapa enzim
dalam tubuh, melanosit akan di ubah menjadi melonosom, selanjutnya di ubah lagi menjadi
melanin. Jumlah melanin inilah yang akan menentukan warna kulit seseorang.
g. Fungsi pembentukan vitamin D
Dihidroksi kolestrol dapat terjadi dengan pertolongan sinar matahari sehingga terbentuk vitamin
D.

GANGGUAN SISTEM INTEGUMENT


Efek Psikologis Masalah Kulit
Apabila kulit mengalami kelainan atau timbul penyakit pada kulit, akan terjadi perubahan
penampilan. Perubahan penampilan tersebut dapat menimbulkan reaksi psikologis. Sebagian
besar klien dengan masalah kulit memiliki perasaan yang lebih sensitive sehingga timbul
perasaan kurang dihargai, rendah diri, dianggap jijik dan perasaan dikucilkan. Ketika hal itu
terjadi, perawat tidak boleh memperlihatkan gerakan nonverbal maupun verbal yang negative.
Masalah Utama Kulit
Banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit ini. Di antaranya adalah faktor
kebersihan, daya tahan tubuh (imunitas), kebiasaan, atau perilaku sehari-hari (makanan,
pergaulan, atau pola hubungan) seksual, faktor fisik, bahan kimia, mikrobiologi, serta faktor
lingkungan. Banyak klien dengan masalah penyakit kulit lebih senang berobat jalan dan dirawat
dirumah, karena merasa tdak bermasalah secara klinis, dan baru mau menjalani perawatan
dirumah sakit jika kondisi penyakitnya sudah parah. Ini perlu diperhatikan oleh perawat maupun
klien menjalani peawatan dirumah. Klien perlu dibekali dengan pengetahuan tentang proses
penyakit., cara perawatan lesi, prosedur pengobatan, maupun pola hidupnya. Hal ini perlu
dilakukan agar penyakit klien tidak menjadi kronis dan klien dapat berobat secara tuntas
sehingga tidak menulari angota keluarga atau orang lain.

PENCEGAHAN GANGGUAN KULIT


Untuk mencegah gangguan kulit tindakan yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Mempertahankan kulit sehat.
a. Hindari penggunaan sabun, deterjen, atau bahan allergen yang dapat menimbulkan iritasi.
b. Pertahankan kulit cukup hidrasi, gunakan krim pada daerah yang kering, dan jangan terus-
menerus menggunakan tatarias yang tebal.
c. Cegah menggaruk kulit yang keras dan kasar.
d. Keringkan daerah yang selalu lembab.
e. Pakai pakaian yang longgar dan dapat menyerap keringat pada hari-hari yang panas.
2. Menghindari bahan penyebab penyakit kulit:
a. Menghindari bahan-bahan yang merusak kulit pada kebanyakan orang. Contohnya sinar
matahari yang terik, sebaiknya gunakan payung untuk melindungi kulit.
b. Mencegah bahan spesifik yang diketahui merusak kulit atau menimbulkan alergi untuk orang
tertentu (mis, bahan-bahan kosmetik).
c. Gunakan krim tabir surya.
3. Observasi perubahan kulit:
a. Amati kulit secara keseluruhan dan sering. Gunakan cermin untuk melihat seluruh tubuh.
b. Catat dan konsultasikan perubahan warna, ukuran, dan keadaan cedera kulit yang sudah ada.
4. Hindari terapi sendiri:
a. Jangan gunakan resep lama pada cedera kulit baru atau lesi yang lain, serta jangan gunakan obat
yang tidak diketahui secara pasti kegunaannya.
b. Segera dapatkan nasihat medis atau kunjungi tempat pelayanan kesehatan bila terjadi gangguan
kulit (Long, 1996).

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Biopsi kulit. Mengambil contoh jaringan dari kulit yang terdapat lesi. Apabila jaringan yang
diambil cukup dalam, kita perlu menggunakan anestesi local. Digunakan untuk menentukan ada
keganasan atau infeksi yang disebabkan oleh bakteri dan jamur.
Uji kultur dan sensitivitas. Untuk mengetahui adanya virus, bakteri, atau jamur pada kulit yang
diduga mengalami kelainan. Uji ini juga digunakan untuk mengetahui mikroorganisme tersebut
resisten terhadap obat-obatan tertentu. Cara pengambilan bahan untuk uji kultur adalah dengan
mengambil eksudat yang terdapat pada permukaan lesi. Alat yang digunakan untuk mengambil
eksudat harus steril.
Pemeriksaan dengan menggunakan pencahayaan khusus. Mempersiapkan lingkungan
pemeriksaan dengan pencahayaan khusus sesuai dengan kasus yang dihadapi. Hindari ruangan
pemeriksaan yang menggunakan lampu berwarna-warni karena hal ini akan mempengaruhi hasil
pemeriksaan. Pada kasus tertentu, pencahayaan dengan menggunakan sinar matahari (sinar
untraviolet) justru sangat membantu dalam menentukan jenis lesi kulit.
Uji temple. Dilakukan pada klien yang diduga menderita alergi untuk mengetahui apakah lesi
tersebut ada kaitannya dengan faktor imunologis, juga untuk mengidentifikasi respon alerginya.
Misalnya, untuk membedakan apakah klien menderita dermatitis kontak alergi atau dermatitis
kontak iritan. Uji ini menggunakan bahan kimia yang ditempelkan pada kulit. Selanjutnya, kita
lihat bagaimana reaksi local yang ditibulkan. Apabila ditemukan kelainan atau ada perubahan
pada kulit, hasil uji ini positif.

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM INTEGUMEN

A. Pengkajian
Anamnesis
- Tanggal dan waktu pengkajian
- Biodata: nama, umur (penting mengetahui angka prevelensi), jenis kelamin, pekerjaan (pada
beberapa kasus penyakit kulit, banyak terkait dengan factor pekerjaan, [misalnya, dermatitis
kontak alergi]).
- Riwayat kesehatan: meliputi masalah kesehatan sekarang, riwayat penyakit dahulu, status
kesehatan keluarga, dan status perkembangan.
Menurut Bursaids (1998), disamping menggali keluhan-keluhan diatas, anamnesis harus
menyelidiki 7 ciri lesi kulit yang membantu anda membuat diagnosis, yaitu :
1. Lokasi anatomis, tempat lesi pertama kali timbul, jika perlu digambar.
2. Gejala dan riwayat penyakit yang berhubungan.
3. Urutan waktu perkembangan perubahan kulit atau gejala sistemik yang berkaitan.
4. Perkembangan lesi atau perubahan lesi sejak timbul pertama kali.
5. Waktu terjadinya lesi, atau kondisi seperti apa yang menyebabkan lesi.
6. Riwayat pemaparan bahan kimia dan pemakaian obat-obatan.
7. Efek terpapar sinar matahari.
- Riwayat pengobatan atau terpapar zat: obat apa saja yang pernah dikonsumsi atau pernahkah
klien terpapar faktor-faktor yang tidak lazim. Terkena zat-zat kimia atau bahan iritan lain,
memakai sabun mandi baru, minyak wangi atau kosmetik yang baru, terpapar sinar matahari.
- Riwayat pekerjaan atau aktifitas sehari-hari: bagaimana pola tidur klien, lingkungan kerja klien
untuk mengetahui apakah klien berkontak dengan bahan-bahan iritan, gaya hidup klien (suka
begadang, minum-minuman keras, olah raga atau rekreasi, pola kebersihan diri klien).
- Riwayat psikososial: Stress yang berkepanjangan

Pemeriksaan Kulit
- Peubahan menyeluruh
Kaji ciri kulit secara keseluruhan. Informasi tentang kesehatan umum klien dapat diperoleh
dengan memeriksa turgor, tekstur, dan warna kulit.
Turgor kulit umumnya mencerminkan status dehidrasi. Pada klien yang dehidrasi dan lansia,
kulit terlihat kering. Pada klien lansia, turgor kulit mencerminkan hilangnya elastisitas kulit dan
keadaan kekurangan air ekstrasel.
Tekstur kulit pada perubahan menyeluruh perlu dikaji, karena tekstur kulit dapat berubah-ubah di
bawah pengaruh banyak variabel. Jenis tekstur kulit dapat meliputi kasar, kering atau halus.
Perubahan warna kulit juga dipengaruhi oleh banyak variabel. Gangguan pada melanin dapat
bersifat menyeluruh atau setempat yang dapat menyebabkan kulit menjadi gelap atau lebih
terang dari pada kulit yang lainnya. Kondisi tanpa pigmentasi terjadi pada kasus albino. Ikterus
adalah warna kulit yang kekuningan yang disebabkan oleh endapan pigmen empedu didalam
kulit, sekunder akibat penyakit hati atau hemolisis sel darah merah. Sianosis adalah perubahan
warna kulit menjadi kebiruan; paling jelas terlihat pada ujung jari dan bibir. Sianosis ini
disebabkan oleh desiturasi hemoglobin.
Pada teknik palpasi, gunakan ujung jari untuk merasakan permukaan kulit dan kelembapannya.
Tekan ringan kulit dengan ujung jari untuk menentukan keadaan teksturnya. Secara normal,
tekstur kulit halus, lembut dan lentur pada anak dan orang dewasa. Kulit telapak tangan dan kaki
lebih tebal, sedangkan kulit pada penis paling tipis. Kaji turgor dengan mencubit kulit pada
punggung tangan atau lengan bawah lalu lepaskan. Perhatikan seberapa mudah kulit kembali
seperti semula. Normalnya, kulit segera kembali ke posisi awal . pada area pitting tekan kuat area
tersebut selama 5 detik dan lepaskan. Catat kedalaman pitting dalam millimeter, edema +1
sebanding dengan kedalaman 2 mm, edema +2 sebanding dengan kealaman 4 mm.
- Perubahan setempat
Mula-mula, lakukan pemeriksaan secara sepintas ke seluruh tubuh. Selanjutnya, anjurkan klien
untuk membuka pakaiannya dan amati seluruh tubuh klien dari atas kebawah, kemudian lakukan
pemeriksaan yang lebih teliti dan evaluasi distribusi, susunan, dan jenis lesi kulit. Distribusi lesi
dan komposisi kulit sangat bervariasi dari satu bagian tubuh kebagian tubuh lainnya. Lesi yang
timbul hanya pada daerah tertentu menandakan bahwa penyakit tersebut berkaitan dengan
keistimewaan susunan kulit daerah tersebut. Pada daerah kulit yang lembab permukaan kulit
bergesekan dan mengalami maserasi dan mudah terinfeksi jamur superficial. Kondisi ini banyak
kita jumpai pada daerah aksila, lipat paha, lipat bokong, dan lipatan di bawah kelenjar mamae.
Pada daerah kulit yang kaya keratin, seperti siku, lutut, dan kulit kepala, sering tejadi gangguan
keratinisasi. Misalnya psoriasis, yaitu kelainan kulit pada bagian epidermis yang berbentuk plak
bersisik.
Mengenai susunan lesi, tanyakan bagaiman pola lesinya. Lesi kulit dengan distribusi sepanjang
dermatom menunjukan adanya penyakit herpes zoster. Disini, lesi vesikuler timbul tepat pada
daerah distribusi saraf yang terinfeksi. Linearitas merupakan lesi yang terbentuk garis sepanjang
sumbu panjang suatu anggota tubuh yang mungkin mempunyai arti tertentu. Garukan pasien
merupakan penyebab tersering lesi linear. Erupsi karena poison iny, seperti dermatitis kontak,
berbentuk linear karena iritannya disebabkan oleh garukan yang bergerak naik-turun. Peradangan
pembuluh darah atau pembuluh limfe dapat menyebabkan lesi linear berwarna merah. Sedangkan
parasit scabies dapat membuat liang-liang pendek pada lapisan epidermis, terutama pada kulit di
antara jari-jari tangan, kaki, atau daerah lain yang memiliki lapisan epidermis tipis dan lembap
sehingga akan membentuk lesi linear yang khas berupa garis kebiru-biruan.
Lesi satelit adalah suatu lesi sentral yang sangat besar yang dikelilingi oleh dua atau lebih lesi
serupa tetapi lebih kecil yang menunjukan asal lesi dan penyebarannya, seperti yang dijumpai
pada melanoma malignum atau infeksi jamur. Tapi lesi merupakan cirri penting yang berguna
dalam menegakkan diagnosis. Lesi berbatas tegas adalah lesi yang mempunyai batas yang jelas,
sedangkan lesi terbatas tidak tegas adalah lesi kulit yang menyatu tanpa batas tegas dengan kulit
yang normal.
- Ruam kulit
Untuk mempelajari ilmu penyakit kulit, mutlak diperlukan pengetahuan tentang ruam kulit atau
ilmu yang mempelajari lesi kulit. Ruam kulit dapat berubah pada waktu berlangsungnya
penyakit. Kadang-kadang perubahan ini dapat dipengaruhi oleh keadaan dari luar, misalnya
trauma garkan dan pengobatan yang diberikan., sehingga perubahan tersebut tidak biasa lagi.
Perawat perlu menguasai pengetahuan tentang ruam primer atau ruam sekunder untuk digunakan
sebagai dasar dalam melaksanakan pengkajian serta membuat diagnosis penyakit kulit secara
klinis.
Ruam primer adalah kelainan yang pertama timbul, berbentuk macula, papula, plak, nodula,
vesikula, bula, pustule, irtika, dan tumor.
Ruam sekunder adalah kelainan berbentuk skuama, krusta, fisura, erosion, ekskoriasio, ulkus,
dan parut.
Tabel 1.1 bentuk-bentuk ruam primer
Gambaran Keterangan
Makula Macula adalah kelainan kulit yang sama tinggi
dengan permukaan kulit, warna berubah dan
berbatas jelas, contoh : meladonema, petekie.

Papula Papula adalah kelainan kulit yang lebih tinggi


dari permukaan kulit, padat, berbatas jelas,
ukuran kurang dari 1 cm. contoh : dermatitis,
kutil.
Plak Plak adalah kelainan kulit yang melingkar,
menonjol, lesi menonjol lebih dari 1 cm.
contoh : Fugoides mikosis terlokalisasi,
neurodermatitis.
Nodula Nodula adalah kelainan kulit yang lebih tinggi
dari permukaan kulit, padat berbatas jelas,
ukurannya lebih dari 1 cm. contoh ; epitelioma.
Vesikula Vesikula adalah gelembung berisi cairan,
berukuran kurang ari 1 cm. contoh ; cacar air,
dermatitis kontak.
Bula Bula adalah sama dengan vesikula, tapi
ukurannya lebih dari 1 cm, contoh ; luka bakar.
Pustule Postula adalah sama dengan vesikula tapi
berisi nanah, contoh ; scabies.
Urtika Urtika adalah kelainan kulit yang lebih tinggi
dari permukaan kulit, edema, warna merah
jambu, bentuknya bermacam-macam. Contoh ;
gigitan serangga.
Tumor Tumor adalah kelainan kulit yang menonjol,
ukurannya lebih besar dari 0,5 cm.

Tabel 1.2 Bentuk-bentuk ruam sekunder


Gambaran keterangan
Skuama Skuama adlah jaringan mati dari lapisan
tanduk yang terlepas, sebagian kulit
menyerupai sisik. Contoh : ketombe,
psoriasis.
Krusta Krusta adalah kumpulan eksudat atau sekret
diatas kulit. Contoh : impetigo, dermatitis
terinfeksi.
Fisura Fisura adlah epidermis yang retak, hingga
dermis yerlihat, biasanya nyeri. Contoh :
sifilis konginetal, kaki atlet.
Erosio Erosion adalah kulit yang bagian
epidermisnya bagian atas terkelupas, contoh :
abrasi.
Eksrosio Eksrosio adalah kulit yang epidermisnya
terkelupas, lebih dalam dari pada erosion.
Ulkus Ulkus adalah kulit (epidermis dan dermis)
terlepas karena destruksi penyakit. Pelepasan
ini dapat sampai kejaringan subkutan atau
lebih dalam.
Parut Parut adalah jaringan ikat yang kemudian
terbentuk menggantikan jaringan lebih dalam
yang telah hilang. Contoh : keloid

Pemeriksaan kulit yang harus dilakukan


1. Lakukan pemeriksaan kulit secara menyeluruh, periksa tekstur, elastisitas, warna dan turgor
kulit.
2. Jika terdapat lesi, amati jenis lesi, lokasi, distribusi, ukuran, dan bagaimana permukaan serta
tepi lesi.
3. Periksa bagaimana permukaan kulit yang ada disekitar lesi. Apakah ada kemerahan? Jika ada
apakah local atau menyeluruh?
4. Amati apakah timbul lesi akibat garukan klien.
5. Apakah ada perubahan temperature pada daerah lesi baik panas maupun dingin?
6. Jika terdapat sekret pada daerah lesi, perhatikan karekteristik, warna, viskositas, maupun
jumlahnya.
7. Apabila diperlukan data penunjang, konsultasikan untuk melakukan pemeriksaan kulit lain
sesuai dengan ketentuan dan catat hasilnya

Data objektif yang mungkin ditemukan


1. Terjadi perubahan warna kulit, turgor, elastisitas, kelembapan, kebersihan, dan bau.
2. Terdapat lesi primer misalnya macula, papula, vesikula, pustule, bula, nodula, atau urtikaria.
3. Terdapat lesi sekunder, misalnya krusta, skuama/sisik, fisura, erosi, atau lkus.
4. Ditemukannya tanda-tanda radang (rubor/kemerahan, dolor/nyeri, kalor/panas, tumor/benjolan
dan fungsieolesa/perubahan bentuk).
5. Dari pemeriksaan penunjang (kultur kulit, biopsy, uji alergi atau pemeriksaan darah)
didapatkan kelainan.
Keluhan :
1. Mengeluh kulit gatal, nyeri, kemerahan, berminyak, kering, kasar, tidak rata, terkelupas,
lepuh, panas, dingin, perubahan warna kulit dan timbul borok.
2. Adanya riwayat alergi, kontak dengan bahan-bahan tertentu (kosmetik, sabun, obat, tanaman,
bahan kimia)
3. Riwayat keluarga atau tetangga dengan penyakit kulit.
4. Adanya perubahan pola kebiasaan sehari-hari.
5. Ditemukan data psikologis yang berkaitan dengan masalah kulit (rasa malu, dikucilkan orang
lain, harga diri rendah, takut tidak sembuh, dan cemas).

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan masalh integument adalah :
1. Gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan kerusakan jaringan, gangguan kekebalan
tubuh, atau infeksi.
2. Gangguan rasa nyaman yang berhubungan dengan proses peradangan, terbukanya ujung-ujung
saraf kulit, atau tidak adekuatnya pengetahuan tentang pelaksanaan nyeri.
3. Gangguan citra tubuh yang berhubungan dengan perubahan anatomi kulit atau bentuk tubuh.
4. Gangguan harga diri yang berhubungan dengan penyakit yang tidak teratasi dengan mudah.
5. Kecemasan yang berhubungan dengan penyakit kronis, perubahan kulit, atau potensial
keganasan.
6. Resiko infeksi yang berhubungan dengan tidak adanya perlindungan kulit.
7. Defesiensi pengetahuan tentang factor penyebab timbulnya lesi, cara pengobatan, dan
perawatan diri.
8. Gangguan istirahat tidur yang berhubungan dengan rasa gatal atau nyeri pada kulit.
9. Isolasi sosial yang berhubungan dengan penolakan dari oranglain karena perubahan bentuk
kulit.
10. Potensial kecacatan sekunder yang berhubungan dengan hilangnya sensasi rasa/anastesi,
kurangnya pengetahuan tentang perawatn diri.
C. Rencana Keperawatan
Tujuan yang harus dicapai pada klien dengan masalah kulit dapat ditentukan berdasarkan tujuan
jangka pendek atau jangka panjang. Tujuan keperawatan secara umum adalah sebagai berikut.
1. Kulit menjadi normal kembali.
2. Berkurangnya rasa nyeri atau gatal
3. Terlindungnya kulit dari trauma.
4. Tidak terjadi infeksi
5. Konsep diri positif
6. Tidak terjadi penularan
7. Kebutuhan istirahat tidur dapat terpenuhi.
Pendidikan kesehatan untuk pengkajian kulit secara mandiri
1. Periksa kulit anda minimal setiap bulan.
2. Pada area yang tidak dapat dijangkau, minta bantuan keluarga atau teman dekat.
3. Hal yang harus diamati dari kulit adalah adanya perubahan warna, peningkatan diameter
lesi, perubahan bentuk lesi, pembengkakan/kemerahan pada daerah sekitar lesi, rasa gatal
atau perubahan sensasi, pengelupasan, bau tidak sedap, luka atau perubahan lain pada kulit
4. Ingat, apakah anda pernah kontak dengan bahan/zat alergen.
5. Jika ada perubahan, segera konsultasikan ke dokter atau ke tempat pelayanan kesehatan.

Dalam pengobatan penyakit kulit cukup banyak digunakan obat-obat topical. Macam dan jenis-
jenis obat topical ini banyak sekali, diantaranya saleb dan bedak, minyak, gel, krem, solusi, atau
astringen. Perawat perlu mempelajari sifat dan jenis, obat-obat topical ini karena dalam proses
perawatan kulit, perawat banyak memegang peranan, baik pada tahap promotif, preventif,
kuratif, maupun pada tahap rehabilitative. Pada penggunaan obat-obatan topical, jagan oleskan
obat terlalu tebal karena dapat menyebabkan iritasi bahan kimia dan akan menghambat proses
penyembuhan. Di samping itu, obat jadi banyak terbuang.
Sediaan topical umumnya terdiri dari dua bahan pokok, yaitu:
1. Bahan aktif, bahan ini umumnya berasal berbagai golongan obat, antara lain golongan antibiotic,
kortikostiroid, analgesi, dan lain-lain.
2. Bahan dasar, adalah suatu bahan yang berfungsi sebagai :
a. Pemberi bentuk, menentukan bentuk dari sediaan yang akan dibuat.
b. Distributor, membawa bahan aktif baik untuk diratakan atau dipenetralisasikan ke dalam kulit.
c. Pengawet, mempertahankan khasiat bahan aktof yang lebih lama.
Dibawah ini akan dijelaskan karekteristik dari beberapa bahan topical.
1. Salep ialah bahan aktif yang dicampur dengan bahan dasar vaselin atau lanonin. Fungsi vaselin
adalah sebagai bahan dasar pembentuk salepdan mendistribusikan bahan aktif dipermkaan kulit
dan memasukkannya kedalam kulit. Contohnya, salep kemisitin, bahan aktifnya berasal dari dari
golongan antibiotic, yaitu kloramfenikol yang dicampur dengan bahan dasar vaselin.
2. Krim ialah bahan aktif yang dicampur dengan bahan dasar emulsi. Contohnya, krim
hidrokortison 2%, bahan aktifnya dari steroid yang dicampur dengan bahan dasar emulsi
(emulgade cream)
3. Bedak ialah bahan aktif yang dicampur dengan bahan dasar talcum atau talek. Misalnya, talcum
asidum borikum yang biasa dikenal dengan boortalek, bahan aktifnya asidum borikum yang
dicampur dengan bahan dasar dasar talcum. Talcum asidum salisikum adalah bahan aktif asidum
salisikum (asam salisilat) yang dicampur dengan talk sehingga menjadi sediaan bedak yang lebih
dikenal dengan nama salisil. Talcum atau talk itu sendiri merupakan bedak dengan sifat kimia
netral/tidak aktif. Pada saat memberi bedak, keringkan dahulu lesi untuk menghindari terjadinya
kerak, dan jangan memberi bedak pada lesi yang basah dan kotor.
4. Gel ialah bahan dasar yang banyak dipakai untuk dicampur dengan bebagai bahan aktif atau
hanya untuk pelicin. Gel ini mudah diabsorbsi dan cepat kering serta tidak lengket. Harus
digunakan secara hati-hati, karena ada beberapa gel yang menggunakan bahan dasar alcohol
sehingga jika diberikan pada area yang sensitive / abrasi dapat menyebabkan rasa terbakar.
5. Solusio ialah satu sediaan topical dengan bahan dasar “air”. Jenis obat ini banyak digunakan
untuk kompres basah pada kulit atau mandi, tergantung pada luas dan lokasi kelainan kulit.
Dalam melakukan perawatn kulit, prinsip umum yang perlu diperhatikan meliputi kondisi kulit,
obat topical, dan cara pemberiannya. Disamping itu, pengobatan topical harus dengan
mempertimbangkan stadium, luas, kedalaman, dan lokalisasi penyakit.
Stadium, pada stadium akut jenis lesi eritema, edema, papul, vesikel, erosi, atau ekskoriaio, dapat
digunakan obat cair (solusio) untuk kompres atau mandi, bergantung pada luas dan lokasinya.
Pemberian bahan aktif perlu dperhatikan, makin akut penyakitnya makin ringan konsentrasi obat
yang digunakan.
Pada stadium subakut ketika eritema dan edema sudah berkurang, erosi dan ekskoriasi sudah
menjadi krusta, dapat digunakan bahan dasar/vesikulum berbentuk krim atau pasta. Pada stadium
kronis biasanya kulit menebal (hyperkeratosis) sehingga perlu dibentuk salep atau gel.
Luas atau distribusi. Luas permukaan tubuh yang terkena perlu pertimbangan dalam pemilihan
obat topical yang akan digunakan. Bila sangat luas, dapat digunakan bedak, bedak kocok, mandi
rendam, atau krim sesuai dengan stadiumnya. Sedangkan pada lokasi yang terbatas penggunaan
jenis obat lebih leluasa kecuali pada daerah tertentu.
Kedalaman lesi. Kedalaman lesi perlu menjadi bahan pertimbangan untuk pemilihan bahan dasar
obat topical. Untuk lesi yang dalam atau tebal, misalnya dermatitis kronis atau psoriasis, bahan
dasar yang sesuai adalah salep karena penetrasinya dalam. Pada lesi yang inflamasinya dangkal,
bahan dasar yang sesuai adalah bedak atau bedak kocok.
Lokasi lesi. Lokasi lesi perlu diperhatikan, terutama di daerah wajah, skrotum, atau bagian kulit
yang tipis, bagian kulit yang tebal (palmo-plantar), atau daerah berambut. Pada daerah yang kaya
vaskularisasi, selain memperhatikan konsentrasi, bahan aktif yang digunakan juga harus
berbahan dasar krim. Sedangkan salep dapat digunakan dengan peryimbangan tertentu.
Demikian pula pada daerah berambut, solusio atau krim lebih mudah diberikan dan dibersihkan.
Untuk daerah yang memeiliki kulit yang tebal sebaliknya digunakan salep agar obat dapat
berpenetrasi lebih baik.
I. GANGGUAN INTEGUMEN AKIBAT INFEKSI VIRUS

A. HARPES ZOSTER
Radang kulit akut dengan sifat khas yaitu terdapat vesikel yang tersusun berkelompok sepanjang
persarafan sensorik sesuai dengan dermatomnya dan biasanya unilateral.
Diperkirakan kurang lebih terdapat 1,3-5 penderita per 1000 orang/tahun. Lebih dari 2/3
penderita berusia >50 tahun dan <10% usia dibawah 20 tahun. Penyebab herpes zoster adalah
virus varisela zoster,virus ini masuk kedalam tubuh melalui lesi pada kulit, mukosa saluran napas
atas, dan orofaring. Virus ini berkembang biak serta menyebar keberbagai organ, terutama
kekulit dan lapisan mukosa, selanjutnya masuk keujung saraf sensoris, dan menuju ganglion
saraf tepi dan kornu posterior. Saat virus masuk pertama kali kedalam tubuh disebut infeksi
primer yang kemudian menimbulkan vesikel. Pertahanan tubuh dan kekebalan tubuh yang
menurun dapat menjadi faktor utama penyebab virus aktif.
Faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya herpes zoster adalah (hal33)
1. Penurunan imunitas tubuh
2. Pemakaian kortikosteroid
3. Radio terapi
4. Obat-obat imunosupresif
5. Stres emosi
ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
- Biodata
Cantumkan semua identitas klien: umur,jenis kelamin
1. Keluhan utama
Alasan yang sering membawa klien penderita herpes datang berobat ke rumah sakit atau berobat
ke rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan lain adalah nyeri pada daerah terdapatnya
vesikel berkelompok
2. Riwayat penyakit sekarang
Biasanya klien mengeluh sudah beberapa hari demam dan timbul rasa gatal/nyeri pada dermatom
yang terserang,klien juga mengeluh nyeri kepala dan badan terasa lelah.Pada daerah yang
terserang mula-mula timbul papula atau plakat berbentuk urtika,setelah 1-2 hari timbul
gerombolan vesikula.
3. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya keluarga atau teman dekat ada yang menderita penyakit herpes zoster,atau klien klien
pernah kontak dengan penderita varisela atau herpes zoster.
4. Riwayat psikososial
Perlu dikaji bagaimana konsep diri klien terutama tentang gambaran/citra diri dan harga diri
5. Kebutuhan sehari-hari
Dengan adanya rasa nyeri,klien akan mengalami gangguan tidur/istirahat dan juga aktivitas.Perlu
juga dikaji tentang kebersihan diri klien dan cara perawatan diri,apakah alat-alat mandi/pakaian
bercampur dengan orang lain
6. Pemeriksaan fisik
Pada klien dengan herpes zoster jarang ditemukan gangguan kesadaran keculi jika sudah terjadi
komplikasi infeksi lain.Tingkatan nyeri yang dirasakan oleh klien bersifat individual sehingga
perlu dilakukan pemeriksaan tingkat nyeri dengan skala nyeri.Apabila nyeri terasa hebat tanda-
tanda vital cenderung akan meningkat.pada inspeksi kulit ditemukan adanya vesikel
berkelompok sesuai dengan alur dermatom.vesikel ini berisi cairan jernih yang kemudian
menjadi keruh (berwarna abu-abu),dapat menjadi pustula dan krusta.Kadang ditemukan vesikel
berisi nanah dan darah yang disebut herpes zoster hemoragik.Apabila yang terserang adalah
ganglion kranialis,dapat ditemukan adanya kelainan motorik.Hiperestesi pada daerah yang
terkena memberi gejala yang khas,misalnya kelainan pada wajah karena gangguan pada nerous
trigeminus,nerous fasialis,dan oligus.
7. Pemeriksaan laboratorium
Sitologi (64% zanck smear positif ) adanya sel raksasa yang multilokuler dan sel-sel okantolitik.
8. Penatalaksanaan
Terapi pada kasus herpes zoster bergantung pada tingkat keparahannya.Terapi sistemik
umumnya bersifat sistomatik,untuk nyerinya diberikan analgesik.Jika disertai infeksi sekunder
diberikan antibiotik asiklovir.Herpes zoster sangat cocok dengan obat asiklovir yang
diminum.Dengan cepat obat akan menghentikan munculnya lepuhan kecil,memperkecil
ukurannya,mengurangi rasa gatal,dan membunuh virus yang ada pada cairan lepuhan.Sebaiknya
diberikan dalam 24-27 jam setelah terbentuknya lepuhan.
Akupuntur dan obat oles juga bisa membantu pengobatan
DIAGNOSIS DAN INTERVENSI KEPERAWATAN
Dx 1: Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan respon peradangan
Hasil yang diharapkan:
1. Lesi mulai pulih,integritas jaringan kembali normal.dan area bebas dari infeksi lanjut
2. Kulit bersih dan area sekitar bebas dari edema
Rencana tindakan:
1. Kaji kembali tentang lesi,bentuk,ukuran,jenis,dan distribusi lesi.
2. Anjurkan klien untuk banyak istirahat
3. Pertahankan integritas jaringankulit dengan jalan mempertahankan kebersihan dan kekeringan
kulit.
4. Laksanakan perawatan kulit setiap hari.Untuk mencegah pecahnya vesikel sehingga tidak terjadi
infeksi sekunder,diberikan bedak salisil 2% bila erosis dapat diberikan kompres terbuka.
5. Pertahankan kebersihan dan kenyamanan tempat tidur
6. Jika terjadi ulserasi,kolaborasikan dengan tim medis untuk pemberian salep antibiotik

Dx 2: Perubahan kenyamanan yang berhubungan dengan erupsi dermal dan pruritus


Hasil yang diharapkan:
1. Klien mengatakan nyeri dan ketidaknyamanan berkurang dalam batas yang dapat ditoleransi
2. Menampakkan ketenangan,ekspresi muka relaks
3. Kebutuhan istirahat tidur/istirahat terpenuhi
Rencana tindakan:
1. Kaji lebih lanjut intensitas nyeri dengan menggunakan skala/peringkat nyeri
2. Jelaskan penyebab nyeri dan pruritus
3. Bantu dan ajarkan penanganan terhadap nyeri,penggunaan teknik imajinasi,teknik relaksasi,dan
lainnya.
4. Tingkatkan aktivitas distraksi
5. Jaga kebersihan dan kenyamanan lingkungan sekitar klien
6. Kolaborasikan dengan dokter untuk pemberian terapi:
a. Analgesik untuk pereda/penawar rasa sakit
b. Larutan kalamin untuk mengurangi rasa gatal
c. Steroid untuk mengurangi serangan neuralgia

B. HERPES SIMPLEKS
Herpes simpleks adalah penyakit yang mengenai kulit dan mukosa, bersifat kronis dan residif,
disebabkan oleh virus herpes simpleks/herpes virus hominis (FK Unair,1993). Herpes simpleks
disebabkan oleh virus DNA.
Herpes simpleks ada 2 tipe:
1. Herpes simpleks I, mengenai bibir, mulut, hidung,dan pipi. Diperoleh dari kontak dekat dengan
anggota keluarga atau teman yang terinfeksi, melalui ciuman, sentuhan, atau memakai
pakaian/handuk bersama,dan tidak ditularkan melalui hubungan seksual.
2. Herpes simpleks tipe II, menginfeksi daerah genital dan didahului oleh hubungan seksual. Akan
tetapi,sesuai dengan perkembangan pola hubungan seksual, kasus ini dapat timbul tanpa harus
melalui hubungan seksual.
ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
1. Biodata
Dapat terjadi pada remaja dan dewasa muda.jenis kelamin dapat terjadi pada pria dan
wanita.Pekerjaan berisiko tinggi pada penjaja seks komersil.
2. Keluhan utama
Gejala yang sering menyebabkan penderita datang ketempat pelayanan kesehatan adalah nyeri
pada lesi yang timbul.
3. Riwayat penyakit sekarang
Kembangkan pola PQRST pada setiap keluhan klien.Pada beberapa kasus,timbul lesi/vesikel
berkelompok pada penderita yang mengalami demam atau penyakit yang disertai peningkatan
suhu tubuh atau pada penderita yang mengalami trauma fisik maupun psikis.Penderita merasakan
nyeri hebat,terutama pada area kulit yang mengalami peradangan berat dan vesikulasi yang luas.
4. Riwayat penyakit dahulu
Sering diderita kembali oleh klien yang pernah mengalami penyakit herpes simpleks atau
memiliki riwayat penyakit seperti ini.
5. Riwayat penyakit keluarga
Ada anggota keluarga atau teman dekat yang terinfeksi virus ini.
6. Kebutuhan psikososial
Klien dengan penyakit kulit,terutama yang lesinya berada pada bagian muka atau yang dapat
dilihat oleh orang,biasanya mengalami gangguan konsep diri.Hal itu meliputi perubahan citra
tubuh,ideal diri,harga diri,penampilan peran,atau identitas diri.Reaksi yang mungkin timbul
adalah:
a. Menolak untuk menyentuh atau melihat salah satu bagian tubuh
b. Menarik diri dari kontak sosial
c. Kemampuan untuk mengurus diri berkurang

7. Kebiasaan sehari-hari
Dengan adanya nyeri,kebiasaan sehari-hari klien juga dapat mengalami gangguan,terutama untuk
istirahat/tidur dan aktivitas.Terjadi gangguan buang air besar dan buang air kecil pada penderita
herpes genitalia
8. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum klien bergantung pada luas lokasi timbulnya lesi,dan daya tahan tubuh
klien.Pada kondisi awal/saat proses peradangan dapat terjadi peningkatan suhu tubuh atau
demam dan perubahan tanda-tanda vital.Pada pengkajian kulit ditemukan adanya vesikel-vesikel
berkelompok yang nyeri,edema disekitar lesi,dan dapat pula timbul ulkus pada infeksi
sekunder.Perhatikan mukosa mulut,hidung,dan penglihatan klien.Pada pemeriksaan genitalia
pria,daerah yang perlu diperhatikan adalah bagian glans penis,batang penis,uretra,dan anus.pada
wanita daerah yang perlu diperhatikan adalah labia minora dan mayora,klitoris,intratus
vaginal,dan serviks.Jika timbul lesi catat jenis,bentuk,ukuran/luas,warna,dan keadaan lesi.Palpasi
kelenjar limfe regional,periksa adanya pembesaran.Pada beberapa kasus dapat terjadi
pembesaran kelenjar limfe regional.
9. Pemeriksaan laboratorium
Ditemukan hasil uji tzank positif
DIAGNOSIS DAN INTERVENSI
Dx 1:nyeri akut yang berhubungan dengan inflamasi jaringan
Hasil yang diharapkan:
1. Klien mengungkapkan nyeri berkurang/hilang
2. Menunjukkan mekanisme koping spesifik untuk nyeri dan metode untuk mengontrol nyeri
secara benar.
3. Klien menyampaikan bahwa orang lain memvalidasi adanya nyeri
Rencana keperawatan
1. Kaji kembali faktor yang menurunkan toleransi nyeri
2. Kurangi atau hilangkan faktor yang meningkatkan pengalaman nyeri
3. Sampaikan pada klien penerimaan perawat tentang responnya terhadap nyeri,akui adanya
nyeri,dengarkan dan perhatikan klien saat mengungkapkan nyeri,sampaikan bahwa mengkaji
nyerinya bertujuan untuk lebih memahaminya.
4. Kaji adanya kesalahan konsep pada keluarga tentang nyeri atau tindakannya
5. Beri informasi atau penjelasan pada klien dan keluarga tentang penyebab rasa nyeri
6. Diskusikan dengan klien tentang penggunaan terapi distraksi,relaksasi dan imajinasi,dan ajarkan
teknik/metode yang dipilih.
7. Jaga kebersihan dan kenyamanan lingkungan sekitar klien
8. Kolaborasikan dengan tim medis untuk pemberian analgesik
9. Pantau tanda-tanda vital
10. Kaji kembali respon klien terhadap tindakan penurunan rasa sakit/nyeri
Dx 2: Gangguan citra tubuh/gambaran diri berhubungan dengan perubahan penampilan,sekunder
akibat penyakit herpes simpleks.
Hasil yang diharapkan:
1. Klien mengatakan dan menunjukkan penerimaan atas penampilannya
2. Menunjukkan keinginan kemampuan untuk melakukan perawatan diri
3. Melakukan pola-pola penanggulangan baru
Rencana keperawatan:
1. Ciptakan hubungan saling percaya antara klien dan perawat
2. Dorong klien untuk menyatakan perasaannya,terutama tentang ia merasakan,berpikir,atau
memandang dirinya
3. Jernihkan kesalahan konsepsi individu tentang dirinya,penatalaksanaan,atau perawatan dirinya
4. Hindari mengkritik
5. Jaga privasi dan lingkungan individu
6. Berikan informasi yang dapat dipercaya dan diperjelas informasi yang telah diberikan
7. Tingkatkan interaksi sosial
a. Dorong klien untuk melakukan aktivitas
b. Hindari sikap untuk selalu melindungi,tetapi terbatas pada permintaan individu
8. dorong klien dan keluarga untuk menerima keadaan
9. beri kesempatan klien untuk berbagi pengalaman dengan orang lain
10. lakukan diskusi tentang pentingnya mengkomunikasikan penilaian klien dan pentingnya sistem
daya dukungan bagi mereka.
11. dorong klien untuk berbagi rasa masalah,kekhawatiran,dan persepsinya.
Dx 3: Resiko penularan infeksi yang berhubungan dengan pemajanan melalui kontak
(langsung,tidak langsung,droplet)
Hasil yang diharapkan :
1. Klien menyebutkan perlunya isolasi sampai ia tidak lagi menularkan infeksi
2. Klien dapat menjelaskan penularan penyakit
Rencana keperawatan
1. Jelaskan tentang penyakit herpes simpleks,penyebab,cara penularan,dan akibat yang ditimbulkan
2. Anjurkan klien untuk menghentikan kegiatan hubungan seksual selama sakit dan jika perlu
menggunakan kondom
3. Beri penjelasan tentang pentingnya melakukan kegiatan seksual dengan satu orang (satu sama
lain saling setia) dan pasangan yang tidak terinfeksi (hubungan seks yang sehat)
4. Lakukan tindakan pencegahan yang sesuai:
a. Cuci tangan sebelum dan sesudah ke semua klien atau kontak dengan spesimen
b. Gunakan sarung tangan setiap kali melakukan kontak langsung dengan klien
c. Anjurkan klien dan keluarga untuk memisahkan alat-alat mandi klien,dan tidak
menggunakannya bersama (handuk,pakaian,baju dalam,dll)
d. Kurangi transfer patogen dengan cara mengisolasi klien selama sakit (karena penyakit ini
disebabkan oleh virus yang dapat menular melalui udara)

II. GANGGUAN INTEGUMEN AKIBAT INFEKSI BAKTERI (KUSTA)


Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat
kompleks,tidak hanya dari segi medis (mis.penyakit atau kecacatan fisik ), tetapi juga meluas
sampai masalah sosial dan ekonomi. Di samping itu, ada stigma negatife dari masyarakat yang
mengatakan penyakit kusta adalah penyakit yang menakutkan, bahkan ada beberapa masyarakat
yang mengaggap penyakit ini adalah penyakit kutukan. Ini karena dampak yang di timbulkan
dari penyakit tersebut cukup parah, yaitu adanya deformitas/kecacatan yang menyebabkan
perubahan bentuk tubuh.
Kusta adalah penyakit infeksi kronis. Penyebabnya adalah mycobacterium leprae ,yang
intraseluler obligat (Djuanda,1999). Kusta adalah penyakit kronis mycobacterium leprae,yang
primer menyerang saraf tepi, dan sekunder menyerang kulit, otot saluran pernapasan bagian
atas, mata, dan testis. (RSUD Dr.Soetomo 1994).
Timbulnya penyakit kusta adalah pada seorang tidak mudah sehingga tidak perlu di takuti.hal ini
bergantung pada beberapa factor,antara lain.
a. Patogenitas kuman penyebab,
b. Cara penularan
c. Higiene dan sanitasi
d. Varian genetic yang berhubungan dengan kerentanan
e. Sumber penularan
f. Daya tahan tubuh
Tanda pasti kusta :
1. Kulit dengan bercak putih atau kemerahan dengan mati rasa
2. Penebalan pada saraf tepidi sertai kelainan fungsinya berupa mati rasa dan kelemahan pada otot
tangan ,kaki,dan mata.
3. Adanya kuman tahan asampada pemeriksaan kerokan kulit TBA positif.

Ridley dan jopling (1960), dalam buku ilmu penyakit kulit dan kelamin ,fakultas keddoteran UI
memperkenalkan istilah determina spectrum pada penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe
atau bentuk,yaitu;
TT: tuberkoloid polar ,merupakan bentuk yang stabil tidak mungkin berubah
Ti :tuberkoloid indefinite
BT: Mid borderline lepromatus
BL: Borderline leproumatus
Li:Lepromatosa indifinit
LL: lepramatosa polar, bentu yang stabil

Menurut WHO ,kusta dibagi menjadi multibasiler dan pausibasiler:


1. Multibasiler (MB) berarti mengandung banyak basil. Tipenya adanya BB,BL,dan LL.
2. Pausibasiler (PB) berarti mengandung sedikit basil.tipenya adalah TT,BT,dan I.
Tuberkoloid polar (TT) terjadi pada penderita dengan resistensi tubuh cuckup tinggi.tipe TT
adalah bentuk yang stabil. Gambaran histopologisnya menunjukan granuloma epitetoloid dengan
banyak sel limfosit dan sel raksasa ,zona epidermal yang bebas ,erosi epidermis karena
gangguan pada saraf kulit yang sering disertai penebalan serabut saraf . karena resistensi tubuh
cukup tinggi ,maka infiltrasi kuman akan terbatas dan lesi yang muncul terlokalisasi di bawah
kulit dengan gejala:
1. Hipopigmentasi karena sratum basal yang mengandung pigmen rusak
2. Hipo atau anastesi karena ujung ujung saraf rusak
3. Batastegas karena kerusakan terbatas (marwali Harahap,1990)
Jenis pengobatan yang di berikan pada penerita kusta adalah :
a. Tipe pausbasiler (PB).
b. Tipe mulitibasiler (MB)

ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
1. Biodata
2. Keluhan Utama
3. Riwayat Penyakit sekarang
4. Riwayat penyakit dahulu
5. Riwayat penyakit keluarga
6. Riwayat psikososial
7. Kebiasaan sehari hari
8. Pemeriksaan fisik
a. Uji kulit
b. Uji keringat
c. Uji lepromin
9. Pemeriksaan penunjang

DIAGNOSIS DAN INTERVENSI


Dx 1: Kemungkinan cedera yang berhubungan dengan anestesia atau hilang rasa akibat neuritis.
Hasil yang diharapkan:
1. Klien dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko cedera pada dirinya.
2. Klien dapat menjelaskan tujuan tindakan keamanan untuk mencegah cedera.
Rencana keperawatan:
1. Beri penjelasan pada klien dan keluarga tentang penyebab ansietas atau hilang rasa serta akibat
yang ditimbulkannya.
2. Kaji faktor-faktor penyebab atau pendukung terjadinya cedera.
3. Kurangi atau hilangkan faktor-faktor penyebab jika mungkin.
4. Ajari cara-cara pencegahan.
a. Gunakan selalu alas kaki
b. Jika merokok, gunakan pipa rokok dan jangan merokok sambil tiduran.
c. Kaji suhu air mandi, jika mandi menggunakan air panas, dengan termometer air mandi.
d. Gunakan pelindung tangan saat mengangkat barang dari kompor.
e. Jangan gunakan baju panjang ketika sedang memasak.
f. Hati-hati dan waspada selalu jika beraktivas di dapur.
5. Diskusikan dengan keluarga tentang cara pencegahan di rumah.

Dx 2: Penatalaksanaan aturan terapeutik: ketidakefektifan, yang berhubungan dengan rumitnya


program pengobatan.

Hasil yang diharapkan:


1. Klien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang perilaku sehat yang diperlukan untuk
mempercepat proses penyembuhannya, serta mencegah kekambuhan atau komplikasi yang
ditimbulkan.
2. Klien/keluarga dapat menjelaskan proses terjadinya penyakit, penyebab dan faktor yang
mendukung gejala, dan perturan untuk mengontrol penyakit.
Rencana Keperawatan:
1. Identifikasi faktor penyebab ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik .
a. Kurang percaya.
b. Kurang pengetahuan.
c. Kurangnya sumber-sumber pendukung.
2. Bina hubungan saling percaya dengan klien/keluarga.
3. Jelaskan tentang penyebab penyakit, proses penyakit, dan risiko yang terjadi jika tidak diobati.
4. Beri penyuluhan tentang perawatan penderita kusta sebelum pengobatan, selama pengobatan,
dan setelah pengobatan.
a. Perlunya pengobatan yang teratur
b. Cara makan obat
c. Lama pengobatan
d. Hal-hal yang dapat timbul selama pengobatan, antara lain efek samping obat dan reaksi yang
ditimbulkan.
e. Perawatan luka di rumah.
f. Pentingnya gizi/nutrisi.
g. Perubahan gaya hidup/aktivitas.

III. GANGGUAN INTEGUMEN AKIBAT PARASIT

A. SCABIES
Skabies banyak diderita masyarakat dengan hiegenenyang buruk dan juga lingkungan yang padat
karena disebabkan oleh parasit sejenis kutu. Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh
Sarcoptes scbiei yang menyebabkan iritasi kulit. Parasit ini menggali parit-parit di dalam
epidermis sehingga menimbulkan gatal-gatal dan merusak kulit penderita (Soedarto 1992).
Skabies adalah penyakit kulit yang mudah menular dan ditimbulkan oleh investasi kutu
Sarcoptes scabiei var homini yang membuat terowongan pada startum korneum kulit, terutama
pada tempat predileksi (Wahidayat, 1998). Skabies adalah penyakit kulit menular dengan
keluhan gatal-gatal terutama pada malam hari.
Cara penularan (transmisi) penyakit ini ada 2 macam, yaitu:
1. Kontak langsung (kontak kulit dengan kulit), misalnya berjabat tangan, tidur bersama, dan
hubungan seksual.
2. Kontak tak langsung (melalui benda), misalnya pakaian, handuk, sprei, bantal, dsb.

ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
1. Biodata
2. Keluhan utama, biasanya klien datang dengan keluhan gatal dan ada lesi dikulit.
3. Riwayat penyakit sekarang. Biasanya klien mengeluh gatal terutama pada malam hari dan
timbul lesi berbentuk pustule pada sela-sela jari tangan, telapak tangan, ketiak, aerola mammae,
bokong, atau peru bagian bawah.
4. Riwayat penyakit terdahulu. Tidak ada penyakit lain yang dapat menimbulkan skabies kecuali
kontak langsung atau tidak langsung dengan penderita.
5. Riwayat penyakit keluarga. Pada penyakit skabies, biasanya ditemukan anggota keluarga lain,
tetangga atau juga teman yang menderita, atau mempunyai keluhan dan gejala yang sama.
6. Psikososial. Penderita skabies biasanya merasa malu, jijik, dan cemas dengan adanya lesi yang
berbentuk pastula.
7. Pola kehidupan sehari-hari. Pada saat anamnesis, perlu ditanyakan secara jelas tentang pola
kebersihan diri klien maupun keluarga.
8. Pemeriksaan fisik. pada saaat inspeksi ditemukan lesi yang khas berbentuk, papula, pustule,
vesikel, urtikaria, dll.
9. Pemeriksaan laboratarium. Sarcoptes scabiei ditemukan dengan membuka terowongan
postula atau vesikula dengan pisau insisi atauujung jarum sambil mengorek dasarnya. Hasil
kerokan diletakkan di kaca sediaan, kemudian diberi beberapa tetes gliserin dan ditutup dengan
gelas pentup, selanjutnya dilihat di bawah mikroskop. Hasil dianggap positif bila dianggap
positif bila didapatkan sarcoptes scabiei atau telurnya.
10. Terapi. Kolaborasikan dengan tim medis, biasanya jenis obat topical
a. Sulfur presipitatum
b. Emulsi benzyl-benzous
c. Gama benzene heksa klorida
d. Krotamiton 10%
e. Permetrin 5%
f. Antibiotil jika ditemukan adanya infeksi sekunder

Dx 1: gangguan pola tidur b/d pruritus/ gatal


Intervensi :
a. Identifikasi faktor-faktor penyebab tidak bisa tidur dan penunjang keberhasilan tidur
b. Beri penjelasan pada kx dan keluarga penyebab gangguan pola tidur.
c. Kurangi atau hilangkan distraksi lingkungan
d. Atur prosedur tindakan medis atau keperawatan untuk member sedikit mungkin gangguan
selama periode tidur.
e. Hindari prosedur yang tidak penting selama waktu tidur.
f. Anjurkan kx mandi air hangat sebelum tidur dan mengoleskan obat salep pada daerah lesi.
Dx 2: resiko gangguan konsep diri (harga diri rendah) b/d penampilan dan respons orang lain.
a. Jalin komunikasi teraupetik antara perawat, px dan keluarga
b. Bantu individu mengidentifikasi dan mengekspresikan perasaannya.
c. Bantu kx mengidentifikasi evaluasi diri yang positif maupun perasaan negative
d. Bantu kx dalam mempelajari koping baru.

IV. GANGGUAN SITEM INTEGUMEN KARENA KEGAGALAN KERATINASI


(PSORIASIS)
Psioriasis adalah penyakit kulit kronis dengan bentuk lesi-lesi yang khas berupa penebalan
epidermis dengan pergantian epidermis yang cepat. (Harahap, M, 1990). Suatu dermatosis kronis
residif dengan gambaran klinis yang khas, yaitu adanya makula eritematosa yang berbentuk bulat
dan bulat lonjong, diatasnya ada skuama yang tebal, berlapis-lapis dan berwarna putih transparan
seperti mika (Sastrawijaya, 1993).
Etiologi penyakit ini secara pasti belum diketahui, tetapi ada beberapa faktor yang diduga dapat
mempengaruhinya, yaitu:
1. Genetic/herediter
Penyakit ini diturunkan melalui suatu gn dominan.
2. Infeksi
Merupakan faktor pencetus dan faktor yang memperberat timbulnya psoriasis. Misalnya, infeksi
kronis tonsillitis, faringitis, dermatokosis, dan TB paru.
3. Faktor cuaca
Biasanya penyakit ini sering kambuh terutama pada musim dingin. Hal ini terjadi karena pada
suhu dingin, proses eksresi atau pengeluaran zat-zat yang tidak berguna bagi tubuh melalui kulit
tidak berlangsung lancar.
4. Trauma
Adanya gesekan atau tekanan serta trauma pada kulit dapat menyebabkan timbulnya lesi
psoriasis.

5. Faktor psikologis
Sebagian besar (68%) stress dan gangguan emosi yang berlebih dapat memicu kekambuhan dan
eksaserbasi.
ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
a. Biodata
Cantumkan biodata klien secara lengkap yang mencakup umur, penyakit psioriasis dapat
menyerang semua kelompok umur tetapi umumnya pada orang dewasa, jenis kelamin insidens
pada pria lebih banyak daripada wanita, suku bangsa, lebih banyak diderita orang kulit putih
daripada kulit berwarna.
b. Keluhan utama
Biasanya klien dating ketempat pelayanan kesehatan dengan keluhan timbul lesi bersisik pada
kulit, terasa agak gatal, dan panas.
c. Riwayat penyakit sekarang
Faktor pencetus dapat disebabkan oleh adanya infeksi sehingga tanda-tanda infeksi dapat
ditemukan, apat juga karena faktor psikologis. Biaanya klien sedang mengalami psikologis yang
tidak menyenangkan (stress, sedih, marah, dll). Lesi yang timbul semakin menghebat pada cuaca
dingin, dan rasa gatal semakin terasa tterutama pada daerah predileksi.
d. Riwayat penyakit dahulu
Prosis adalah penyakit kronis residif/hilang timbul, sehingga pada riwayat penyakit dahulu
sebagian besar lklien pernha menderita penyakit yang sama dengan kondisi yang dirasa
sekarang. Riwayat penyakit infeksi juga perlu dikaji (mis, tosilitis, faringitis, atau TB paru). Pada
klien yang menderita infeksi, terutama infeksi kronis, dapat terjadi penurunan daya tahan
tubuh/imunitas.
e. Riwayat penyakit keluarga
Etiologi penyakit psoriasis belum dpat diketahu pasti. Namun diduga faktor genetic/herediter
juga mempengaruhi sehingga perlu dikaji riwayat keluarga yang menderita psoriasis.
f. Riwayat psikososial
Meskipun psoriasis tidak menyebabkan kematian, namun penyakit ini menyebabkan gangguan
kosmetik karena psoriasis dapat mengenai seluruh tubuh sehingga tidak enak dipandang mata.
Oleh karena itu, perlu dikaji respons klien tentang penyakitnya, pandangan diri klien, identitas
diri, tanggung jawab terhadap peran/tugas yang dipikul, masalah somatic yang timbul selama
sakit, dan suasana batin klien, karena salah satu faktor penyebab timbulnya penyakit ini adalah
stress atau emosi yang labil. Disamping itu, perlu juga dikaji tentang hubungan sosial klien
karena penyakit ini dapat menggangg interaksi sosial.
g. Kebiasaan sehari-hari
Perlu dikaji kebiasaan memberihkan diri klien, cara mandi (lesi psoriasis tidak boleh digosok
secara kasar karena dapat menimbulkan trauma (fenomena koebner)) dan dapat merangsang
pertumbuhan kulit lebih cepat. Jika lesi psoriasis mengenai telapak tangan/tumit kaki dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari. Kebersihan lingkungan klien, terutama tempat tidur, perlu
dikaji karena skuama lesi sering di jumpai di tempat tidur terutama saat klien bangun tidur pagi.
h. Pemeriksaan fisik
Saat inspeksi pada beberapa tempat lesi di temukan adanya perubahan struktur kulit. Tampak
adanya makula dan papil eritematosa yang jika terkumpul akan membentuk lesi yang lebar pada
daerah predileksi, dapat ditemukan ruam dan keropeng/skuama yang berlapis-lapis sperti lilin
atau mika berwarna putih perak berbentuk bulat dan lonjong. Pada palpasi teraba skuama yang
kasar, tebal, dan berlapis-lapis.
i. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan histopatologi untuk menentukan kepatian diagnosis dari psoriasis dapat
ditemukan:
 Pemanjangan dan pembesaran pada papilla dermis.
 Penipisan ampai hilangnya stratum granulosum.
 Peningkatan mitosis pada stratum basalis.
 Edema dermis disertai infiltrasi limfosit dan monosit.
Diagnosis
Dx 1: Gangguan konsep diri yang berhubungan dengan perubahan penampilan diri sekunder
akibat penyakit kronis.
Hasil yang diharapkan :
 Klien menilai keadaan dirinya terhadap hal-hal yang realistic tanpa menyimpang.
 Dapat menyatakan dan menunjukan peningkatan konsep diri.
 Dapat menunjukan adaptasi yang baik dan menguasai kemampuan diri.
Rencana keperawatan:
 Bina hubungan saling percaya antara perawat dank lien.
 Dorong klien untuk menyatakan perasaannya, terutama cara ia merasakan sesuatu, berpikir, atau
memandang dirinya sendiri.
 Dorong klien untuk mengajukan pertanyaan mengenai masalah kesehatan, pengobatan, dan
kemajuan pengobatan dan kemungkinan hasilnya.
 Beri informasi yang dapat dipercaya dan meguatkan informasi yang telah diberikan.
 Jernihkan kesalahan persepsi individu tentang dirinya, mengenai perawatan dirinya.
 Hindari kata-kata yang mengecam dan memojokan klien.
 Lindungi privasi (hak-hak pribadi) dan jamin lingkungan yang kondusif.
 Kaji kembali tanda dan gejala gangguan harga diri, gangguan citra tubuh, dan perubahan
penampilan peran.
 Beri penjelasan dan penyuluhan tentang konsep diri yang positif.

Dx 2: Kerusakan interaksi sosial yang berhubungan dengan keadaan yang memalukan pada
psoriasis.
Hasil yang diharapkan:
 Klien dapat megidentifikasi perilaku yang bermaalah yang menghalangi hubungan sosial.
 Klien dapat menunjukan perilaku yang konstruktif dalam hubungan sosial.
 Klien dan keluarga dapat menjelaskan strategi untuk meningkatkan sosialisasi yang efektif.

Rencana keperawatan :
 Beri dukungan untuk mempertahankan dasar keterampilan sosial dan mengurangi isolasi sosial.
 Ciptakan hubungan yang baik dengan klien:
1. Kaji kemampuan klien dalam mengelola stress kehidupannya.
2. Ajak klien untuk berpikir realitas, berfokus pada kondisi saat ini.
3. Bantu klien mengidentifikasi massalah pencetus stress.
4. Bantu klien untuk mengidentifikasi alternative tindakan.
 Beri dukungan untuk melakukan aktivitas kelompok:
 Dorong pperilaku sosial baru.
 Beri model peran yang pasti dalam perilaku sosial (mis, menjawab salam, teman melawan tidak
ditanggapi).
 Bantu perkembangan hubungan di antara anggota melalui pengungkapan diri dan kesungguhan.
 Gunakan pertanyaan dan observasi untuk mendorong klien dengan keterbatasan interaksi.
 Dorong anggota untuk memvalidasi persepsi mereka dengan yang lain.
 Pantau perkembangan keterampilan sosial klien.
 Libatkan keluarga dan anggota masyarakat dalam memahami dan memberikan dukungan pada
klien.
 Beri informasi yang nyata tentang penyakit, pengobatan, dan kemajuan pada anggota keluarga.

V. ASUHAN KEPERAWATAN LUKA BAKAR


Patofisiologi Luka Bakar
Luka bakar disebabkan oleh pengalihan energy dari suatu sumber panas kepada tubuh. Panas
dapat dipindahkan lewat hantaran atau radiasi elektromagnetik. Luka bakar dapat dikelompokkan
menjadi luka bakar termal, radiasi atau kimia. Destruksi jaringan terjadi akibat koagulasi
denaturasi protein atau ionisasi isi sel. Kulit dan mukosa saluran napas atas merupakan lokasi
destruksi jaringan. Jaringan yang dalam, termasuk organ visera, dapat mengalami kerusakan
karena luka bakar elektrik atau kontak yang lama dengan agens penyebab (Burning agent).
Nekrosis dan kegagalan organ dapat terjadi.

Respon Sistemik
Perubahan patofisiologik yang disebabkan oleh luka bakar yang berat selama awal periode syok
luka-bakar mencakup hipoperfusi jaringan dan hipofungsi organ yang terjadi sekunder akibat
penurunan curah jantung dengan diikuti oleh fase hiperdinamik serta hipermetabolik. Pasien
yang luka bakarnya tidak melampaui 20% dari luas total permukaan tubuh akan memperlihatkan
respons yang terutama bersifat local. Insidensi, intensitas dan durasi perubahan patofisiologik
pada luka bakar sebanding dengan luasnya luka bakar dengan respon maksimal terlihat pada luka
bakar yang mengenai 60% atau lebih dari luas permukaan tubuh. Kejadian luka bakar yang berat
adalah ketidakstabilan hemodinamika akibat hilangnya integritas kapiler dan kemudian
terjadinya perpindahan cairan, natrium serta protein dari ruang intravaskuler ke dalam ruang
interstisial. Ketidak stabilan hemodinamika bukan hanya melibatkan mekanisme kardiovaskuler
tetapi juga keseimbangan cairan serta elektrolit, volume darah, mekanisme pulmoner dan
berbagai mekanisme lainnya.

Respon Kardiovaskuler
Curah jantung akan menurun sebelum perubahan yang signifikan pada volume darah terlihat
dengan jelas. Karena berlanjutnya kehilangan cairan dan berkurangnya volume vaskuler, maka
curah jantung akan terus turun dan terjadi penurunan tekanan darah. Keadaan ini merupakan
awitan syok luka bakar. Sebagai respons, system saraf simpatik akan melepaskan katekolamin
yang meningkatkan resistensi perifer (Vasokonstriksi) dan frekuensi denyut nadi. Selanjutnya
vasokonstriksi pembuluh darah perifer menurunkan curah jantung.
Resusitasi cairan yang segera dilakukan memungkinkan dipertahankannya tekanan darah dalam
kisaran normal yang rendah sehingga curah jantung membaik. Meskipun sudah dilakukan
resusitasi cairan yang adekuat, tekanan pengisian jantung-tekanan vena sentral, tekanan arteri
pulmonalis dan tekanan baji arteri pulmonalis-tetap rendah selama periode syok luka bakar. Jika
resusitasi cairan tidak adekuat, akan terjadi syok distributif.
Efek pada Cairan, Elektrolit, dan Volume Darah
Volume darah yang beredar akan menurun secara dramatis pada saat terjadi syok luka-bakar. Di
samping itu, kehilangan cairan akibat evaporasi lewat luka bakar dapat mencapai 3 hingga 5L
atau lebih selama periode 24 jam sebelum permukaan kulit yang terbakar ditutup.
Selama syok luka-bakar, respons kadar natrium serum terhadap resusitasi cairan bervariasi.
Biasanya hiponatremia (deplesi natrium) terjadi. Hiponatremia juga sering dijumpai dalam
minggu pertama fase akut karena air akan pindah dari ruang interstisial ke dalam ruang vakuler.
Segera setelah terjadi luka bakar, hiperkalemia (kadar kalium yang tinggi) akan dijumpai
sebagai akibat dari destruksi sel yang massif. Hipokalemia (deplesi kalium) dapat terjadi
kemudian dengan berpindahnya cairan dan tidak memadainya asupan cairan.
Pada saat luka bakar, sebagian sel darah merah dihancurkan dan sebagian lainnya mengalami
kerusakan sehingga terjadi anemia. Kendati terjadi keadaan ini, nilai hematokrit pasien dapat
meninggi akibat kehilangan plasma. Kehilangan darah selama prosedur pembedahan, perawatan
luka dan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis serta tindakan hemodialisis lebih lanjut turut
menyebabkan anemia. Transfusi darah diperlukan secara periodik untuk mempertahankan kadar
hemoglobin yang memadai yang diperlukan guna membawa oksigen. Abnormalitas koagulasi,
yang mencakup penurunan jumlah trombosit (trombositopenia) dan masa pembekuan serta
waktu protrombin yang memanjang juga ditemukan pada luka

Respon Pulmoner
Sepertiga dari pasien-pasien luka bakar akan mengalami masalah pulmoner yang berhubungan
dengan luka bakar. Meskipun tidak terjadi cedera pulmoner, hipoksia (starvasi oksigen) dapat
dijumpai. Pada luka bakar yang berat, konsumsi oksigen oleh jaringan tubuh pasien akan
meningkatkan dua kali lipat sebagai akibat dari keadaan hipermetabolisme dan respon local
(White, 1993).
Cidera Inhalasi merupakan penyebab utama kematian pada korban-korban kebakaran.
Diperkirakan separuh dari kematian ini seharusnya bisa dicegah dengan alat pendeteksi asap.
Cedera pulmoner diklasifikasikan menjadi beberapa kategori:
1. Cedera saluran napas atas;
2. Cedera inhalasi di bawah glottis;
3. Keracunan karbon monoksida;
4. Defek restriktif.
Lebih dari sepuluh korban luka bakar yang menderita gangguan paru pada mulanya tidak
memperlihatkan gejala dan tanda-tanda pulmoner. Penurunan kelenturan paru, penurunan kadar
oksigen serum dan asidosis respiratorik dapat terjadi secara berangsur-angsur dalam 5 hari
pertama setelah luka bakar.
Indikator kemungkinan terjadinya kerusakan paru mencakup hal-hal berikut ini:
 Riwayat yang menunjukkan bahwa luka bakar terjadi dalam suatu daerah yang tertutup,
 Luka bakar pada wajah atau leher,
 Rambut hidung yang gosong,
 Suara yang menjadi parau, perubahan suara, batuk yang kering, stridor, sputum yang penuh
jelaga,
 Sputum yang berdarah,
 Pernapasan yang berat atau takipnea (pernapasan yang cepat) dan tanda-tanda penurunan kadar
oksigen (hipoksemia) yang lain,
 Eritema dan pembentukan lepuh pada mukosa oral atau faring.
Respons Sistemik Lainnya
Fungsi renal dapat berubah sebagai akibat ari berkurangnya volume darah. Destruksi sel-sel
darah merah pada lokasi cedera akan menghasilkan hemoglobin bebas dalam urin. Jika terjadi
kerusakan otot (misalnya, akibat luka bakar listrik), mioglobin akan dilepaskan dari sel-sel otot
dan diekskresikan oleh ginjal.
Pertahanan imunologik tubuh sangat berubah akibat luka bakar. Semua tingkat respon imun akan
dipengaruhi secara merugikan. Kehilangan integritas kulit diperparah lagi dengan pelepasan
faktor-faktor inflamasi yang abnormal, perubahan kadar immunoglobulin serta komplemen
serum, gangguan fungsi neutrofil, dan penurunan jumlah limfosit (limfositopenia). Imunosupresi
membuat pasien luka bakar beresiko tinggi untuk mengalami sepsis.
Hilangnya kulit juga menyebabkan ketidakmampuan tubuh untuk mengatur suhunya. Karena itu
pasien-pasien luka bakar dapat memperlihatkan suhu tubuh yang rendah dalam beberapa jam
pertama pasca-luka bakar, tetapi kemudian setelah keadaan hipermetabolisme menyetel kembali
suhu inti tubuh, pasien luka bakar akan mengalami hipertermia selama sebagian besar periode
pasca-luka bakar kendati tidak terdapat infeksi.
Ada dua komplikasi gastrointestinal yang potensial, yaitu: ileus paralitik (tidak adanya
peristalsis usus) dan ulkus Curling. Berkurangnya peristalsis dan bising usus merupakan
manifestasi ileus paralitik yang terjadi akibat luka bakar. Distensi lambung dan mausea dapat
mengakibatkan vomitus kecuali jika segera dilakukan tindakan dekompresi lambung (dengan
pemasangan sonde lambung).

Respon local dan luas luka bakar


Kedalaman luka bakar
 Luka bakar derajat satu (super ficial partial-thickness)
Epidermis mengalami kerusakan atau cedera dan sebagian dermis turut cedera. Luka tersebut
bisa terasa nyeri, tampak merah dan kering seperti luka bakar matahari, atau mengalami
lepuh/bullae.
 Luka bakar derajat dua (deep partial-thickness)
Meliputi destruksi epidermis serta lapisan atas dermis dan cedera pada bagian dermis yang lebih
dalam. Luka tersebut terasa nyeri, tampak merah dan mengalami eksudasi cairan. Pemutihan
jaringan yang terbakar diikuti oleh pengisian kembali kapiler; folikel rambut masih utuh.
 Luka bakar derajat tiga (full-thickness)
Meliputi destruksi total epidermis serta dermis, dan pada sebagian kasus, jaringan yang berada di
bawahnya. Warna luka bakar sangat bervariasi mulai dari warna putih hingga merah, cokelat
atau hitam. Daerah yang terbakar tidak terasa nyeri karena serabut-serabut sarafnya hancur. Luka
bakar tersebut tampak seperti bahan kulit. Folikel rambut dan kelenjar keringat turut hancur.
DIAGNOSA KEPERAWATAN. Hipotermia yang berhubungan dengan gangguan
mikrosirkulasi kulit dan luka yang terbuka
SARAN. Pemeliharaan suhu tubuh yang adekuat
1. Berikan lingkungan yang
1. Lingkungan yabf 
stabil Suhu tubuh tetap pada
hangat dengan penggunaan mengurangi kehilangan rentang 36,10 sampai 38,30
perisai pemanas, selimut panas lewat evaporasi  Tidak ada mengigil atau
berongga, lampu atau selimut gemetar
pemanas.
2. Bekerja dengan cepat kalau
lukanya terpajan udara dingin
2. Pajanan yang minimal
3. Kaji suhu inti tubuh dengan mengurangi kehilangan
sering panas dari luka.
3. Kaji suhu tubuh yang
frekuen membantu
mendeteksi terjadinya
hipotermoa
DIAGNOSA KEPERAWATAN. Nyeri yang berhubungan dengan dan saraf serta dampak
emosional cedera
SARAN. Pengendalian rasa nyeri
1. Gunakan skala nyeri untuk
1. 
Tingkat nyeri memberikan Menyatakan tingkat nyeri
menilai tingkat nyeri (yaitu data dasar untuk menurun
1-10) bedakan dengan mengevaluasi 
efektivitas Tidak ada petunjuk
keadaan hipoksia tindakan mengurangi nyeri. nonverbal tentang nyeri
Hipoksia dapat menimbulkan
tanda-tanda serupa dan harus
disingkirkan terlebih dahulu
sebelum pengobatan nyeri
dilaksanakan.
2. Penyuntikan preparat
analgetik intravena
2. Berikan preparat analgetik diperlukan karena terjadinya
opioid menurut program perubahan perfusi jaringan
medik. Amati kemungkinan akibat luka bakar.
supresi pernapasan pada
pasien yang tidak memakai
ventilasi mekanis. Lakukan
penilaian respon pasien
terhadap pemberian analgetik3. Dukungan emosional sangat
3. Berikan dukungan emosional penting untuk mengurangi
dan menentramkan ketakutan dan ansietas akibat
kekhawatiran pasien. luka bakar. Ketakutan dan
ansietas akan meningkatkan
presepsi nyeri.
DIAGNOSA KEPERAWATAN. Ansietas yang berhubungan dengan rasa takut dan dampak
emosional luka bakar
SASARAN. Pengurangan ansietas pasien dan keluarga
1. Kaji pemahaman pasien dan
1. 
Strategi koping sebelumnya Pasien dan keluarga
keluarganya terhadap luka yang berhasil dapat mengungkapkan pemahaman
bakar, keterampilan koping dikuatkan untuk digunakan tentang perawatan luka bakar
dann dinamika keluarga. pada krisis sekarang. darurat.
Pengkajian 
memungkinkan Mampu menjawab
perncanaan intervensi yang pertanyaan sederhana.
sesuai.
2. Beri respons individual
2. Reaksi terhadap cedera luka
terhadap tingkat koping bakar sangat bervariasi.
pasien dan keluarga. Intervensi harus sesuai
dengan tingkat koping pasien
dan keluarganya yang ada
sekarang
3. Perningkatan pemahaman
3. Jelaskan semua prosedur akan menghilangkan rasa
kepada pasiean dan keluarga takut terhdap sesuatu yang
dengan istilah sederhana dan tidak di ketahui. Tingkat
jelas. ansietas yang tinggi dapat
menggangu pemahaman
tentang penjelasan yang
kompleks.
4. Nyeri akan meningkatkan
4. Mempertahankan peredaan ansietas
nyeri 5. Tingkat ansietas selama fase
5. Pertimbangkan pemberian darurat dapat melampawi
preparat antiansietas yang kemampuan koping pasien.
diprogramkan jika pasien Pengobatan dapat
tampak sangat cemas kendati menurunkan respon
sudah dilakukan intervensi fisiologik dan psikologik dan
non-farmakologi psokilogik ansietas.
PROGRAM KLOBORASI. Gagal napas akut, syok sirkulasi, gagal ginjal akut, sindrom
kompartemen, ileus paralitik, tukak curling.
SASARAN. Tidak ada komplikasi
Gagal napas akut
1. Kaji gejala dispnea, stridor,
1. 
Tanda-tanda semacam itu Hasil pemeriksaan gas darah
perubahan pada pola mencerminkan status arteri berada dalam batas-
respirasi. respirasi yang memburuk. batas yang dapat diterima
2. Pantau hasil pemeriksaan
2. Tanda-tanda semacam itu pO2 >80 mm Hg.
oksimetri denyut nadi, hasil mencerminkan 
oksigenisasi Bernapas spontasn dengan
analisa gas darah, arteri yang memburuk. tidal volume yang memadai
untuk mendeteksi penurunan  Foto ronsen toraks
pO2, saturasi oksigen dan
peningkatan pCO2 menunjukan hasil yang
3. Memonitor hasil foto toraks3. Pemeriksaan sinar x dapat normal
4. Kaji kegelisahan, mengungkapkan cedera baru Tidak adanya tanda-tanda
kebingungan, kesulitan untuk
4. Menifestasi semacam itu hipoksia pada otak.
memahami pertanyaan atau dapat menunjukan hipoksia
penurunan tingkat kesadaran sendiri
5. Laporkan dengan segera
status respirasi yang
memburuk kepada dokter. 5. Gagal napas akut merupakan
6. Siap membantu pelaksanaan keadaan yang dapat
intubasi atau eskaratomi jika menimbulkan kematian dan
diperlukan diperlukan intervensi segera
6. Intubasi memungkinkan
pelaksanaan ventilasi
mekani. Eskarotomi
memungkinkan perbaikan
eksursi dada saat respirasi.
Syok sirkulasi/distribusi
1. Kaji penurunan haluaran
1. Tanda-tanda itu 
dapat Haluaran urin berkisar
urin, tekanan arteri pulmunal, menunjukan syok sirkulasi antara 0,5 ml/kg/jam dan 1,0
tekanan baji kapiler dan volume intravaskular ml/kg/jam
polmunalis, curah jantung yang tidak stabil  Tekanan dalam darah
atau peningkatan frekuensi normal pasien (biasanya
denyut nadi. >90/60mmhg
2. Kaji edema yang progresif
2. Ketika cairan berpindah ke Frekuensi jantung berada
ketikak terjadi perpindahan ruang intersisial pada syok pada kisaran normal pasien
cairan. luka baka, edema akan terjadi (>110/menit)
dan dapat
 PAP, PCWP, CO tetap
menggangguperfusi jaringan. dalam keadaan normal.
3. Resusitasi cairan yang
3. Atur resusitasi cairan melalui optimal akan mencegah syok
kaloborasi dengan dokter sirkulasi dan memperbaiki
sebagai respon terhadap prognosa pasien.
gambaran fsikologik.
Gagal ginjal akut
1. Pantau haluaran urin, kadar 
1. Nilai-nilai ini mencerminkan Haluaran urin yang memadai
BUN dan kreatin. fungsi ginjal  Kadar BUN dan kreatin
2. Lapor penurunan haluaran
2. Nilai laboratorium ini tetap dalam batas-batas
urin atau peningkatan kadar menunjukan kemungkinan normal
BUN dan kreatinin pada gagal ginjal
dokter 3. Hemoglobin ataumioglobin
3. Kaji urin untuk mengkaji dalam urin meningkatkan
hemoglobin atau mioglobin resiko terjadinya gagal ginjal
4. Cairan membantu membilas
4. Biarkan infus cairan dengan keluar hemo dan mio dari
jumlah yang di tingkatkkan dalam tubulus renal dan
mengurangi kemungkinan
terjadinya gagal ginjal
Sindrom kompartemen
1. Kaji nadi perifer setiap satu
1. 
Pengkajian dengan dopler Tidak adanya parestesia atau
jam sekali dengan alat menggantikan auskultasi dan gejala iskemia pada saraf dan
ultrasound dofler menunjukan karakteristik otot
2. Kaji kehangatan pengisian aliran darah arteri  Denyut nadi prifer dapat
kembali kapiler, sensibilitasi
2. Pengkajian ini menunjukan terdeteksi dengan dopler
dan gerakan ekstremitas karakteristik perfusi perifer
setiap jam sekali.
Bandingkan ekstermitas yang
terbakar dengan ekstermitas
yang normal
3. Lepaskan menset transmeter
3. Menset tensimeter dapat
setiap kali selesai mengukur bekerja seperti torniket ketika
tekanan darah terjadi pembengkakan
4. Tinggikan ekstermitas yang akstermitas
terbakar 4. Akan mengurangi
5. Laporkan dengan segera pembentukan edema
kepada dokter jika denyut
5. Tanda-tanda dan gejala ini
nadi pasien tidak teraba atau dapat menunujukan perfusi
bila terjadi gangguan jaringan yang tidak memadai
sensibilitas atau terdapat rasa
nyeri
6. Siap membantu dalam
6. Eskaratomi akan mengurangi
pelaksanaan eskaratomi konstriksi yang disebabkan
oleh pembengkakan di bawah
luka bakar yang melingkar
dan akan memperbaiki
perfusi jaringan
Usus paralitik
1. Pertahankan selang 
1. Tindakn ini akan mengurangi Tidak ada distensi abdomen
nasogastrik dengan distensi lambung 
dan Bising usu kembali normal
pengisapan intermiten rendah abdomen selain mencegah dalam waktu 48 jam
sampai bising usus terdengar terjadinya vomitus
kembali 2. Ketika bising usus terdengar
2. Lakukan auskultasi untuk kembali pemberian nutrisi
mendengar bising usus dan oral dapat dimulai secara
mendeteksi detensi abdomen bertahap. Distensi
abdomenmencerminkan
tindakan dekompresi yang
tidak memadai
Tukak curling
1. Kaji hasil anspirasi lambunr
1. Ph yang 
menunjukan Tidak ada distensi abdomen

untuk menentukan ph dan perlunya pemberian preparat Bising usus yang norma
adanya darah antasid ataupenyakit dalam waktu 48 jam
histamin. Keberadaan darah
menunjukan 
kemungkinan Hasil aspirasi lambung dan
danya perdarahan lambung feses tidak mengandung
2. Darah pada feses akan darah
menunjukan tukak pada
2. Kaji feses untuk mendeteksi lambung atau duodenum
darah okulta 3. Pengobatan semacam itu
akan mengurangi keasaman
3. Berikan preparat penyakit lambung dan resiko
histamin dan antasid sesuai terjadinya ulserasi
program medik

http://meidalestarie.blogspot.co.id/2014/03/askep-klien-dengan-sistem-integumen.html

Vous aimerez peut-être aussi