Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
faktor lain juga dapat menimbulkan syok distributif, seperti pacuan panas
(heat stroke), anafilaksis, syok neurogenik, dan systemic inflamatory
response syndrome (SIRS). Syok septik merupakan komplikasi umum yang
dijumpai pada praktik medis dan dilaporkan sebagai penyebab kematian
paling sering pada unit perawatan intensif nonkoroner di Amerika Serikat.
Sehubungan dengan fakta ini, seorang klinisi diharapkan memiliki
pengetahuan yang memadai terkait fenomena syok distributif baik dari segi
etiologi, patofisiologi, tatalaksana maupun aspek-aspek terkait lainnya
sehingga dalam praktiknya, dapat diberikan terapi yang tepat mengingat
kematian adalah konsekuensi yang paling ditakutkan terjadi (Fuentes,
2007).
I.2.3. Manfaat
BAB II
Tinjauan Pustaka
Syok adalah salah satu kondisi klinis yang paling sering didiagnosis,
tetap saja kompleksitasnya masih sulit dipahami hingga saat ini. Bahkan
definisi yang paling memadai untuk menjelaskannya masih kontroversial
terutama karena presentasi variabel dan etiologinya yang memang sangat
multifaktorial (Cheatham, 2003).
Syok distributif diartikan sebagai maldistribusi aliran darah oleh karena
adanya vasodilatasi perifer sehingga volume darah yang bersirkulasi secara
efektif tidak memadai untuk perfusi jaringan (Kamus Dorland, 2006).
Seperti halnya tipe kolaps kardiovaskular lainnya, syok distributif juga
dikarakterisasi oleh perfusi jaringan yang inadekuat, dengan manifestasi
klinis berupa perubahan kondisi mental, takikardi, hipotensi, maupun
oliguria (Weil, 2007).
Dalam definisi yang lebih kompleks, syok distributif dikaitkan dengan
perubahan resistensi pembuluh darah ataupun akibat perubahan
permeabilitasnya, dimana faktor inilah yang mencetuskan terjadinya
hipoperfusi sistemik. Perubahan-perubahan tersebut langsung
mempengaruhi distribusi volume darah yang beredar secara efektif untuk
kebutuhan jaringan tubuh, sehingga sebagai dampaknya akan muncul
hipotensi, diikuti dengan gangguan perfusi jaringan serta hipoksia sel.
Meskipun efek hipoksik dan metabolik akibat hipoperfusi pada mulanya
hanya menyebabkan jejas sel secara reversibel, syok yang terus terjadi pada
akhirnya akan mengakibatkan jejas jaringan secara ireversibel dan dapat
berpuncak pada kematian pasien (Robbins dkk, 2007).
Ada berbagai penyebab dari syok distributif. Beberapa di antaranya
adalah sepsis, SIRS, kegagalan tonus vasomotor dan reaksi anafilaksis.
Syok septik adalah bentuk paling umum dari syok distributif dengan angka
kematian yang cukup besar. Sama halnya dengan sepsis, systemic
4
Selain syok distributif, dikenal pula 3 kategori lain dalam syok sirkulasi,
di antaranya syok hipovolemik, kardiogenik, dan syok obstruktif. Kategori
ini dibagi berdasarkan penyebab munculnya syok, yang lebih jauh
melibatkan mekanisme berbeda (Kanaparthi, 2012). Mekanisme yang
paling banyak berperan dalam munculnya syok meliputi penurunan volume
sirkulasi, peningkatan curah jantung (cardiac output), dan vasodilatasi yang
kadang disertai berbagai reaksi lainnya di dalam tubuh (Weil, 2007).
Syok hipovolemik berarti syok yang disebabkan oleh berkurangnya
volume darah di dalam tubuh (hipovolemia). Pendarahan dan luka bakar
adalah penyebab paling sering dari syok tipe ini. Dalam syok hipovolemik,
pendarahan akan menurunkan tekanan pengisian sirkulasi dan sebagai
akibatnya, menurunkan aliran balik vena, diikuti penurunan curah jantung
di bawah normal hingga timbul syok.
Selain pendarahan, kehilangan plasma dari cairan tubuh seperti pada luka
bakar juga dapat menyebabkan syok hipovolemik. Kehilangan plasma
disini, bahkan tanpa kehilangan sel darah merah, terkadang dapat cukup
berat untuk mengurangi volume darah total secara nyata, sehingga
memungkinkan munculnya syok hipovolemik khas yang seluruhnya hampir
serupa dengan syok yang disebabkan oleh pendarahan (Guyton & Hall,
2008).
5
Insufisiensi adrenal
Renjatan Anafilaktik
Heat Stroke
Syok Neurogenik
Karena syok biasanya disebabkan oleh curah jantung yang tidak adekuat,
maka setiap keadaan yang menurunkan curah jantung jauh di bawah normal
akan sangat mungkin menyebabkan syok (Guyton & Hall, 2008). Namun
demikian, faktor tersebut tidak selamanya berlaku mengingat dalam
mekanismenya, syok distributif mencakup dinamika yang lebih kompleks.
Syok distributif dapat disebabkan baik oleh kehilangan tonus simpatis
atau oleh pelepasan mediator kimia ke dari sel-sel, karena itu, kondisi-
kondisi yang menempatkan pasien pada resiko-resiko di atas tergolong
sebagai etiologi dari syok distributif itu sendiri (Robbins dkk, 2007).
Protein Heterolog :
Seperti racun serangga, makanan,
serbuk sari, dan produk serum darah
(Kanaparthi, 2012).
II.5. Patofisiologi
Tahapan di atas paling jelas dikenali pada syok hipovolemik, tetapi lazim
pula untuk bentuk syok lainnya. Namun demikian, meskipun tahapan dari
berbagai macam syok pada teorinya sama, di sisi lain mekanisme yang
terlibat dapat bervariasi tergantung pada penyebabnya.
Dalam syok distributif, perfusi jaringan yang inadekuat disebabkan oleh
meningkatnya tahanan vaskular sistemik dengan peningkatan curah jantung
sebagai hasilnya (mekanisme kompensasi). Mula-mula perubahan-
perubahan ini dikarakterisasi oleh dinamika kontraktilitas, dilatasi dari
pembuluh darah perifer, serta dampak dari upaya resususitasi yang
dilakukan tubuh.
Sebagai contoh, di stadium awal syok septik terjadi penurunan darah
diastol, melebarnya tekanan pulsasi, akral hangat, dan berbagai efek lain
seperti terisinya kapiler dengan cepat karena vasodilatasi perifer. Tubuh
akan berusaha mengkompensasi kondisi ini dengan meningkatkan curah
jantung (cardiac output) sehingga pada stadium akhir syok septik,
kombinasi dari kurangnya kontraktilitas myokard yang bergabung dengan
hilangnya tonus (paralisis) pembuluh darah perifer akan menginduksi
12
(Janotha, 2002)
3. Insufisiensi adrenal
natrium. Hasil akhir dari kejadian ini adalah volume cairan ekstrasel yang
sangat menurun, yang kemudian diikuti oleh hiponatremia, hiperkalemia,
dan asidosis ringan akibat gagalnya sekresi ion kalium dan ion hidrogen
guna menggantikan ion natrium. Sewaktu cairan ekstrasel berkurang,
volume plasma akan menurun secara drastis, hematokrit meningkat
dengan nyata, curah jantung ikut menurun, dan pasien beresiko
meninggal akibat renjatan/syok (Guyton & Hall, 2006).
4. Reaksi anafilaksis
5. Heat Stroke
udara dilembabkan 100% atau bila tubuh berada dalam air, suhu tubuh
akan mulai meningkat saat lingkungan mengalami peningkatan suhu di
atas 94oF. Jika seseorang sedang melakukan aktivitas berat, suhu
lingkungan kritis di atas tempat kecenderungan terjadinya heat stroke
dapat serendah 85o sampai 90oF.
Heat stroke, akan dialami seseorang apabila suhu tubuh meningkat
melebihi suhu kritis, dalam rentang 105o sampai 108oF. Gejalanya
meliputi pusing, rasa tidak enak pada perut yang kadang disertai muntah,
delirium, bahkan hilang kesadaran andaikata suhu tubuh tidak segera
turun (Guyton & Hall, 2006). Jadi, heat stroke dapat diartikan sebagai
keadaan gawat darurat yang dikarakterisasi oleh elevasi suhu tubuh yang
meningkat di atas 40oC dan disfungsi saraf otonom yang menimbulkan
kejang, delirium, hingga koma (Bouchama dan Knochel, 2002).
Gejala heat stroke diakibatkan oleh gangguan metabolik dan kematian
sel. Kreatin kinase, aspartan aminotransferase (AST) dan enzim serum
dehidrogenase laktat meningkat dan dapat terus meningkat selama 7-10
hari pada keadaan ini. Rabdomiolisis yang diakibatkan oleh
mioglobinuria, dapat menimbulkan gagal ginjal akut bahkan di sisi lain,
waktu pembekuan kadang-kadang memanjang meskipun DIC jarang
terjadi.
Satu poin yang sangat penting untuk dicatat, yakni kondisi-kondisi di
atas sering sekali dieksaserbasi oleh syok sirkulasi, yang dapat memiliki
komponen baik syok hipovolemik (kehilangan plasma melalui evaporasi)
maupun syok distributif (maldistribusi cairan dalam tubuh). Meskipun
terdapat peningkatan curah jantung, hipotensi dapat timbul karena
vasodilatasi perifer berat dan penurunan volume. Tahanan vaskular
sistemik akan segera jatuh drastis akibat vasodilatasi sekunder. Pada
temperatur 40oC kontraksi jantung ikut menurun seiring memburuknya
kondisi pasien, sehingga tanpa terapi cairan, hipotensi yang otomatis
terjadi dapat membunuh pasien dalam waktu singkat (Sudoyo et al,
2009).
22
6. Syok Neurogenik
Sepsis berat
Sepsis disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi
termasuk asidosis laktat, oliguria dan penurunan kesadaran.
27
Tabel 2.3 merangkum berbagai pembakuan definisi dari SIRS dan juga
sepsis. Definisi inilah yang menjadi pegangan berbagai kalangan dalam
menegakkan diagnosa terkait sindroma di atas. Namun demikian,
manifestasi klinisnya tidaklah sesederhana itu. Baik sepsis maupun SIRS
merupakan reaksi yang sifatnya sistemik. Ini berarti bahwa perjalanan kedua
sindrom tersebut secara langsung melibatkan berbagai sistem organ lainnya
dengan gambaran klinis berupa konsekuensi yang tidak dapat diabaikan.
1) Gangguan kardiovaskular
2) Disfungsi respirasi
(Lumb, 1991)
3) Disfungsi ginjal
4) Disfungsi gastrointestinal
5) Disfungsi neurologis
Disfungsi pada SSP menjadi salah satu dari konsekuensi SIRS jika
selama respon inflamasi berlangsung ditemukan skor glasgow coma
scale dengan nilai ≤ 6 tanpa pemberian bahan yang bersifat sedatif
(McKinlay, 2003)
Nyeri (44-85%)
Muntah (25-26%)
Mual (20 %)
Diare
Gejala-mirip-influenza
Nyeri kepala
Dyspnea (Sharma, 2006)
C. Insufisiensi Adrenal
Umum
Pernapasan
Lidah Edema
a. Tatalaksana suportif
- Oksigenasi
Terapi ini terutama diberikan apabila ditemukan tanda-tanda pasien
mengalami hipoksemia dan hipoksia berat. Dalam tatalaksana
hipoksemia dan hipoksia semua faktor yang mempengaruhi baik
ventilasi, perfusi, delivery dan penggunaan oksigen perlu mendapat
perhatian dan dikoreksi. Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal
nafas bila disertai penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang
berat, ventilasi mekanik perlu segera dilakukan.
- Terapi cairan
Hipovolemia pada syok distributif perlu segera diatasi dengan
pemberian cairan baik kristaloid (NaCL 0,9 % maupun ringer
laktat) maupun koloid. Kristaloid merupakan pilihan terapi awal
karena mudah didapatkan, tetapi perlu diberikan dalam jumlah
banyak. Volume cairan yang diberikan perlu dimonitor
kecukupannya agar tidak kurang ataupun berlebih. Pada keadaan
albumin < 2 gr/dl koreksi albumin perlu diberikan. Transfusi
eritrosit diperlukan pada keadaan pendarahan aktif atau bilamana
kadar hemoglobin rendah pada keadaan iskemia miokardial dan
renjatan septik. Kadar HB yang dicapai pada SIRS dipertahankan
di atas 8 hingga 10 g/dl. Namun pertimbangan kadar HB bukan
36
- Kortikosteroid
Beberapa penelitian akhir-akhir ini membuktikan bahwa dengan
pemberian kortikosteroid dengan dosis fisiologis didapatkan
perbaikan syok dan disfungsi organ (Bone, 1992).
b. Kontrol Kausa
- Antibiotik
Usaha mencari pathogen penyebab infeksi harus dilakukan
maksimal, termasuk kultur darah dan cairan badan, pemeriksaan
serologi dan aspirasi perkutan. Pemberian antimikroba yang tepat
pada awal perjalanan penyakit infeksi akan memperbaiki prognosis
dan bersama-sama dengan pencegahan infeksi sekunder
serta penyakit nosokomial akan menurunkan insiden MODS.
- Pembedahan
Umumnya dilakukan pada tatalaksana SIRS yang disebabkan oleh
trauma. Sumber dari respon inflamasi tidak selalu jelas, kadang-
kadang diperlukan pembedahan eksplorasi terutama bila dicurigai
sumber inflamasi berasal dari intra-abdomen.
- Kontrol kausa lainnya
Faktor-faktor lain seperti burns (luka bakar) dan trauma disertai
fraktur dapat memicu respon inflamasi sistemik. Untuk itu, fiksasi
patah tulang yang lebih dini, debridemen luka bakar, reseksi usus
yang iskemik atau jaringan mati serta pengasatan pus perlu
dilakukan untuk mengontrol penyebab SIRS (Bone, 1992).
38
c. Terapi inovatif
- Modulasi imun
Penelitian berskala besar dengan pemberian antibodi monoklonal
serta obat-obatan lain yang bertujuan untuk memanipulasi sistem
imun menunjukkan tidak adanya penurunan presentasi mortalitas
pasien-pasien Sepsis.
- Inhibitor NO
Dari penelitian terbukti pemberian inhibitor NOS bahkan
meningkatkan mortalitas. Di masa mendatang mungkin inhibitor
yang selektif terhadap iNOS mempunyai peranan dalam
tatalaksana MODS
- Filtrasi darah
Hemofiltrasi volume tinggi (2-6 filtrasi/jam) mungkin dapat
menyaring sitokin-sitokin dan mediator inflamasi lainnya dan
mengeluarkannya dari jaringan.
- Manipulasi kaskade pembekuan darah
Pemberian terapi ini menghasilkan penurunan mortalitas pada
pasien sebesar 6% (Bone, 1992).
39
BAB III
PENUTUP
III.1. Kesimpulan
III.2. Saran
Walaupun dalam dua dekade terakhir ini banyak banyak dilakukan penelitian
mengenai terapi yang tepat pada pasien yang mengalami syok distributif, hasilnya
masih jauh dari memuaskan. Adanya tumpang tindih dari berbagai terapi membuat
penatalaksanaan dari fenomena medis ini kadang tetap saja gagal dalam
menyelamatkan pasien. Karena itu, sangat disarankan untuk terus menggali
informasi yang lebih rinci lagi mengenai materi ini.
40
SHOCK SEPTIK
Kita ketahui syok adalah kegagalan sirkulasi organ untuk memenuhi kebutuhan jaringan. Ada 4 mayor
kategori syok yaitu syok kardiogenik,hipovolemik,distributif dan obstruktif.
Syok kardiogenik karena kegagalan memompakan darah dengan gambaran hemodinamik turunnya
kardiak output,tekanan pengisian ventrikel kiri yang tinggi dan tahanan pembuluh sistemik tinggi.
Syok hipovolemik karena volume intravaskular yang tidak cukup dengan gambaran hemodinamik
menurunnya kardiak output dan tekanan pengisian ventrikel kiri dan meningginya tahanan pembuluh darah
sistemik(Sistemic vascular resistance)(SVR).
Syok obstruktif disebabkan adanya hambatan mekanik (cardiac tamponade, pneumothotak, massive
pulmonary emboli) yang menghalangi pengisian jantung dengan gambaran hemodinamik menurunnya
kardiak output, meningkatnya SVR dan tekanan pengisian ventrikel kiri tergantung etiologi.
Menurut definisi standard dari SCCM/ACCP(Society Critical Care Medicine/ American College of
Chest Phycians) menetapkan beberapa definisi:
Sepsis adalah SIRS (Systemic Inflamatory Response Syndrome) yaitu respons inflamasi sistemik akibat
adanya infeksi dengan gambaran klinis minimal dua dari semua kondisi dibawah ini:
SIRS bisa oleh karena infeksi atau non infeksi seperti multiple trauma,luka bakar dan lain-lain. SEPSIS
berarti SIRS yang disebabkan infeksi Severe sepsis adalah sepsis yang disertai disfungsi organ,hipoperfusi
atau hipotensi. Gejala awal disfungsi organ kardiovaskular(perubahan hemodinamik) dan disfungsi
pulmonal(acute lung injury atau ALI atau ARDS(Acute Respiratory Distress Syndrome) kemudian disusul
oleh disfungsi hepar,gastrointestinal,renal dan otak. Sepsis dengan hipotensi menetap walau telah cukup
diresusitasi cairan disebut Syok septik akibat vasodiltasi,hipovolemia dan disfungsi myokardial.
Disebut syok distributif karena penurunan tahanan perifer yang menyebabkan distribusi darah di
perifer/sistem vena yang diduga oleh pengaruh endotoksin atau mediator lain.
Etiologi :
Penyebab yang paling sering adalah kuman gram negatif (Escheria Coli,Enterobcter,Kelbsiela,
Pseudomonas) tetapi kuman gram positip terutama streptococcus,staphylococcus,dan jamur terutama
candida serta virus juga bisa menyebabkan syok septik.
41
Diagnosa sepsis :
A.Faktor predispoisi :
2.Prosedur invasif:
B.Manifestasi klinis:
Pengamatan signs dan simptoms baik sistemik maupun lokal berkaitan dengan infeksi haruslah lebih dini
untuk mempersiapkan pengelolaan yang cepat dan tepat sebelum berkembangnya sepsis.
- Demam : paling sering tetapi bisa normo atau hipotermi terutama pada orang tua, penderita uremia dan
cirrhosis hepatis.
Takikardi hampir selalu ada tetapi bisa absen pada gangguan konduki jantung
Perubahan status mental,bervariasi dari lethargi,irritable,delirium sampai koma. Ptechien dan echymosis
terutama didistal extrimitas.
Infeksi CNS
(kejang,meningismus),respirasi(batuk,dispnoe,hemaptoe),abdomen(ileus,distensi,mual,muntah),urinary(d
isurie,hematuri) dan infeksi kulit(eritema,edema,abcess,gangren).
C.Laboratorium:
Lekosit biasanya meningkat dimana lebih bergeser ke bentuk immatur tetapi orang tua biasanya normal,
malah pada AIDS lekosit rendah. Netropenia biasanya pada demam tifoid, brucellosis. Koagulasi abnormal
paling sering pada sepsis adalah trombositopenia. Disseminated intra vascular Coagulation(DIC) jarang
biasanya ditandai dengan protrombin time,partial tromboplatin time dan fibrin split yang meningkat.
Hiperglikemia karena relative insuline resistant pengaruh sepsis kecuali infant dengan hipoglikemia karena
low hepatic glycogen stores.
Hipoksemia mungkin karena ARDS atau fokal pneumonia. Metabolik asidosis meningkatnya anion gap
karena meningkatnya kadar laktat. Analisa gas darah dengan pH rendah karena metabolik asidosis dan
PaCO2 rendah karena respiratory alkalosis. Naiknya blood urea nitrogen dan creatinine karena adanya
disfungsi renal. Disfungsi hepar yang berat jarang,adanya peningkatan bilirubin dan transaminase.
D.Pemeriksaan mikrobiologi:
42
Kultur positip menunjang bukti adanya sepsis tetapi hampir 50% pasien yang terinfeksi menunjukan kultur
negatif. Paling tidak dua sampel kultur diambil dari dua tempat berbeda yang dicurigai. Untuk pasien
immuno kompromised diperiksakan kultur khusus jamur. Bila sumber infeksi tidak jelas maka
periksa mikrobiologi darah,urine dan sputum
Jika mungkin jangan diberi antibiotika sebelum hasil kultur diketahui. Untuk sputum,atau abses dan cairan
tubuh diperiksakan gram stain. Jika sarana tersedia lakukan pemeriksaan bacterial antigen test
umpama(counter immunoelectrophoresis atau latexagglutination) dari urine dan liquor, bisa membantu
dalam situasi antibiotika sudah diberikan sebelum hasil kultur diketahui.
E. Pemeriksaan tambahan:
Semua pasien sepsis sebaiknya diperiksa thorak radiograph. Pasien dengan meningismus atau perubahan
status mental tak jelas kausanya sebaiknya dipunksi lumbal untuk pemeriksaan liquor tetapi untuk
neonatus wajib. Bila ada keluhan abdomen lakukan abdominal radiograph, baik telentang dan tegak untuk
menentukan adanya udara bebas(free air), kalau sulit posisi tegak maka lateral dekubitus sebagai
alternatif.
Bagaimana mekanisme terjadinya syok yang menyertai sepsis masih tanda tanya. Beberapa para ahli
berpendapat masuknya kuman menyerbu darah atau kuman tetap ditempat tetapi melepaskan endotoksin,
tubuh merespons dengan membentuk pro inflamatory cytokines berupa tumor nekrosis faktor@ dan zat
vasodilator seperti Nitric Oxid(NO),prostacycline dan pada saat yang sama tubuh juga membentuk anti
inflamatory cytokines(Interleukin 10.11,13 etc).
Bila pro inflamatory dominan maka akan terjadi SIRS(Sepsis).Tetapi bila anti inflamatory yang lebih
dominan maka akan terjadi penekanan terhadap immunitas sehingga peka terhadap infeksi. Respons
inflamasi sistemik berupa pelepasan mediator akan menimbulkan disfungsi organ
kardiovascular(mendepressi otot jantung,vasodilatasi arteri dan vena,peningkatan permeabilitas
kapiler,meningkatnya agregasi sel darah (mikro emboli) dan disfungsi paru berupa ARDS atau akut lung
injury dan akhirnya terjadi MODS (Multiple Organ Dysfunction Syndrome)(50%). Bersama penurunan
resistensi vaskular yang luar biasa (40%) dan depressi myokard yang berat (10%) terjadi hipotensi yang
tidak responsif dengan terapi akhirnya berujung dengan kematian.
Gambaran klinis :
Stadium lanjut karena tidak respons terhadap terapi atau stadium awal pada pasien sepsis dengan
kelainan jantung atau hipovolemik sebelumnya.Ektrimitas dingin,pucat,basah dan cyanosis,oliguri
hipotensi, takikardi,vasokonstriksi,SVR meningkat,CVP rendah. Kebocoran kapiler menyebabkan
hipovolemia.
PEMANTAUAN :
Tekanan darah tidak bisa digunakan untuk menilai derajat syok terutama syok septik apalagi tekanan darah
tidak memberi gambaran perfusi jaringan dimana pelepasan katekol amin pada syok sehingga tekanan
darah dipertahan kan normal walaupun hipovolemia, namun turunnya tekannan darah adalah tanda yang
jelek apalagi disertai dengan takikardi >120x/menit biasanya karena hipovolemik.
Pemantauan tekanan darah pada syok septik sebaiknya pengukuran langsung lewat kateter intra arterial
dimana lebih akurat dibandingkan dengan cara tak langung dimana terjadi vasokonstriksi selama syok
mempengaruhi hasil teraan dan sekalian untuk sample darah arteri guna pemeriksaan analisa gas
43
darah.Namun nilai tekanan darah arteri yang cukup tidak menggambarkan curah jantung yang cukup
karena bisa saja karena vasokonstriksi yang hebat.
Pemantauan hemodinamik sentral langkah yang paling tepat apakah CVP atau PAWP. CVP berguna tapi
terbatas, hanya menggambarkan tekanan rata-rata atrium kanan, yang merefleksikan tekanan akhir
diastolik ventrikel kanan atau preload venrikel kanan, bila tidak ada hipertensi pulmonal maka preload
ventrikel kiri dan kanan sama walaupun nilai absolut berbeda. Namun adanya hipertensi pulmonal,tension
pneumothorak kardiak tamponade,kelainan klep jantung,intracardiac shunt, maka CVP tidak digunakan
untuk menilai volume intravaskular(preload ventrikel kiri).
Dengan demikian kalau CVP rendah berarti volume intravaskular rendah namun kalau CVP normal atau
tinggi interpretasi volume intravaskular sulit. Infus yang cepat lewat kateter CVP dapat mendistorsi tekanan
diujung kateter sehingga nilai CVP jadi tinggi.
Untuk syok sepsis lebih akurat menggunakan kateter arteri pulmonalsi, sekaligus dapat menilai tekanan
atrium dan ventrikel kanan ketika melewati kamar ini dan menilai tekanan arteri pulonal(PAP) serta tekanan
arteri pulmonal waktu ditutup (PAOP)(Pulmonal artery occlusion pressure) yang menggambarkan tekanan
atrium kiri dan sekalian tekanan pengisian ventrikel kiri akhir diastolik) yang merupakan preload ventrikel
kiri.Kateter PA bisa digunakan untuk menilai kardiak output dengan tehnik thermodilusi dan
penilaian mixed venous oxyhaemoglobine saturation (SVO2).
Penurunan delivery oksigen (DO2) apakah oleh karena menurunnya kardiak output atau saturasi O2
menyebabkan penurunan SVO2.DO2 ditentukan oleh oksigen content dalam darah arteri (CaO2) dan CO.
CaO2 ditentukan oleh saturasi oksigen dalam darah arteri(SaO2) dan Hb.
Biarpun Hb turun 1/3 kalau volume plasma normal dan kontraksi jantung baik maka dikompensasi
dengan naiknya CO 3x lipat sehingga DO2 tetap.
VO2 adalah oksigen konsumsi dipakai sebagai petunjuk cukupnya oksigenasi jaringan.
VO2 = CO x (CaO2-CvO2)x10 normal = 180-280 ml/menit.
CvO2= (Hb x 1,34x SvO2)+ (0,0031xPvO2)—-> SvO2 normal=65-75%
O2 extracton ratio(O2ER)= VO2/DO2x100 —-> O2ER normal = 25-30%
MAP langsung dari arteri lines atau tekanan diastolik + 1/3 (Sistolik-Diastolik). Kontaktilitas myokardial
dinilai paling baik dengan melihat gerakan dinding myokard dan memperkirakan fraksi ejeksi dengan
ekokardiografi dua dimensi(baik transtorakik maupun transoesofageal)
TERAPI:
Langkah pertama adalah supportif diperioritaskan life saving dan selanjutnya terapi kausal. Bila kondisi
memburuk respirasi maupun sirkulasi langsung resusitasi jantung paru. Bila masalah sirkulasi, langsung
bikin posisi syok kaki ditinggikan 30 derajat,tindakan ini sama dengan auto transfusi satu liter darah.
Restorasi volume intra vaskular dengan ekpansi volume, infus cepat mulai dengan kristaloid
isotonik.Penilaian preload ventrikel kiri dengan kateter PA lebih akurat. Aturan 7 dan 3 seperti yang
dianjurkan Dr.Max Harry Weil dari University of Southern California. Bila pemberian cairan tantangan
(chalange test) mengubah PAWP <3mmHg bisa diberikan lagi cairan tantangan tetapi bila peningkatan
PAWP > 7mmHg maka jangan diberikan lagi cairan tantangan, bila peningkatan antara 2-7 mmHg maka
tunggu 10 menit, untuk melihat apakah tekanan pengisisan menurun.
Bila penambahan cairan menaikkan PAWP tetapi tanpa peningkatan curah jantung, sebaiknya jangan
teruskan memberi cairan lagi. Dianjurkan untuk mempertahankan PAWP <= 15 mmHg, MAP > 60 mmHg
dan produksi urine 0,5 cc/kgBB/jam. Bila resusitasi cairan sudah cukup namun tetap hipotensi mungkin
diperlukan vasopressor maupun inotropik. Kalau MAP diatas 60 mmHg maka inotropik adalah pilihan. Bisa
diberikan dobutamin (5-20 mikrogram/kg/menit atau Dopamin (5-10 mikrog/kg permenit) untuk menaikkan
kardiak output dan tekanan darah dan dititrasi untuk perfusi organ yang adekuat.
Bila MAP dibawah 60 mmHg diperlukan vasopressor terapi, indikasinya kalau CO dan tekanan darah
sangat turun serta SVR rendah. Bisa diberikan nor epinefrin 0,01-0,10 mikrog/kg/menit mulai 0,05
mikrog/menit. Nor epinefrin menaikkan tekanan darah dengan menstimulasi reseptor alfa 1 menaikkan
SVR dan reseptor beta 1 meningkatkan CO dan efek pada pembuluh renal tergantung pada tekanan darah
sistemik. Pada pasien sepsis bisa menaikkan GFR dan diuresis.
Untuk kombinasi inotropik dan vasopressor, dopamin biasanya dimulai 5 mikro/kg/mnt dan jika perlu
ditingkatkan sampai 15-20 mikro/kg/mnt namun jika pasien tetap hipotensi nor epinefrin bisa ditambahkan
dan dopamin diturunkan sampai dosis rendah(2-3 mikro/kg/menit) untuk mempertahankan perfusi renal
dan splancnik.Bila tekanan darah cukup tetapi tanda kurang perfusi masih ada(oliguri, perubahan status
mental atau laktat asidosis) tambahan resusitasi cairan biasanya diperlukan.
Apabila preload tidak cukup dan dukungan inotropik (dobutamin) diberikan hanya kalau preload
cukup.Pada keadaan hipodinamik (cold shock) terjadi vasokonstriksi yang hebat, bila tak respons dengan
pemberian volume dianjurkan pemakaian vasodilator (nitrogliserin) atau nitropruside maupun hidralazine.
Pertanyaannya apakah koloid atau kristaloid yang dipilih dalam kondisi sepsis ?
Dalam kondisi kebocoran kapiler dimana cairan intravaskular bergeser ke ruang interstitial maka yang pro
koloid mengatakan koloid dapat mempertahankan tekanan osmotik koloid plasma sehingga penumpukan
cairan dalam ruangan interstitial bisa dikurangi. Sedangkan cairan kristaloid malah sebaliknya sehingga
resiko edema paru besar. Yang pro kristaloid beralasan bahwa dalam kondisi kapiler yang sudah bocor
biarpun albumin atau koloid tetap keluar terperangkap dalam ruangan interstitial sehingga resiko edema
paru tak bisa dicegah disamping harganya mahal dan reaksi anapilaktoid. Hauser cs menemukan
kelompok pasien kritis yang mendapat koloid tidak terjadi odem paru atau terperangkapnya albumin dan
perbaikan hemodinamik yang lebih baik dibandingkan yang mendapat cairan kristaloid ditemukan fungsi
paru yang memburuk dan perbaikan hemodinamik yang cukupan. Apel dan Shoemaker juga menemukan
adanya perbaikan yang lebih baik hemodinamik dan DO2(delivery oksigen) pada kelompok koloid
dibandingkan kelompok kristaloid.
Apakah albumin atau koloid sintetik yang lebih baik pada pasien kritis?
Yang pro albumin memilih albumin karena kemampuannya mengekspansi volume intra vaskular dan
mempertahankan tekanan onkotik karena albumin dalam keadaan normal adalah protein utama penentu
tekanan onkotik plasma.Kelompok lain meneliti tidak berbeda dengan koloid sintetik dalam
mempertahankan hemodinamik, mengekspansi intravaskular dan meningkatkan tekanan onkotik plasma.
Tetapi pada hipoalbuminemia, biarpun lebih mahal tetap lebih terpilih apalagi obat-obat yang terikat
albumin akan meningkat kadarnya dalam bentuk bebas sehingga resiko toksis yang lebih besar.
45
Kecukupan oksigenasi jaringan sulit dinilai tanpa menghubungkan DO2 dan VO2 terutama pada syok
septik dapat terjadi hipoksia jaringan walaupun aliran darah, tekanan dan oksigenasi sistemik normal.
Dilaporkan bahwa peluang untuk hidup pasien syok septik lebih besar kalau curah jantung dan VO2 diatas
normal. Dalam kondisi hipoksemia penghantaran oksigen hendaknya dimaksimalkan dengan
mempertahankan kadar Hb normal(12-14)g% dengan transfusi dan tekanan pengisian ventrikel kiri yang
cukup agar kardiak output normal atau tinggi.Perlu diingat rembesan cairan kedalam interstium paru dan
alveolus yang mengganggu difusi dengan akibat hipoksemia haruslah dikurangi cairannya dengan
memindahkan cairan interstitial kedalam intravaskular dengan hukum Starling yaitu menurunkan tekanan
hirostatika atau menaikkan tekanan osmotik koloid plasma. Prinsipnya ruangan intravaskular terisi adekuat
dan pasien tidak dehidrasi. Dengan pemberian diuretika sambil mengevaluasi gas darah arteri sebelum
dan sesudah pemberian, bila ada perbaikan oksigenasi arteri maka pemberian diuretika bisa diulangi
sampai tidak ada respons.
Menurut Schumer steroid dosis tinggi (metilprednisolon 30mg/kg atau dexametason (6 mg/kg) dapat
meningkat survival rate pasien syok septik. Sprung Cs meneliti, steroid dosis tinggi dapat memperbaiki
syok septik dini. Diduga stroid mempunyai efek inotropik terhadap jantung dan mild alpha adrenergic
blocker dengan demikian memperbaiki perfusi jaringan, stabilisasi membran mitokonria dan mengurangi
pelepasan enzim lisozom. Peneliti lain menganjurkan pemberian steroid kalau ada insufisiensi adrenal
itupun dengan dosis rendah. Ini semua masih kontroversil termasuk pemberian prostaglandin,
indometasin, nalokson dan fibronectin.
Yang tidak kurang pentingnya adalah penanganan penyulit seperti koagulopati, perdarahan
gastrointestinal dan gagal organ serta pembedahan membuang sumber infeksi dan lakukan continous
renal replacement therapy(CRRT) sedini mungkin. Yang terakhir namun paling penting adalah pemilihan
antibiotika yang tepat dan diberikan sedini mungkin. Pemilihan antibiotika yang tepat tergantung tempat
infeksi yang diduga dan adanya penyakit yang bersamaan seperti diabetes, gagal ginjal, kehamilan dan
alergi obat-obatan. Tempat infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis urutannya adalah traktus
urinaria,digestivus dan respiratorius diikuti kulit dan jaringan lunak.
Bila sumber infeksi pada pemeriksaan permulaan tidak jelas, maka kemungkinan paru atau abdomen
sedangkan kuman yang paling sering menyebabkan sepsis urutannya esscheria coli, klebsiela,
enterobacter dan pseudomonas aeruginosa. Hasil kultur dan sensitivity test dianjurkan untuk pemilhan
antibiotika namun kultur tidak tersedia maka bisa berdasarkan suspek tempat infeksi dimana bisa diduga
kuman yang paling sering sebagai kausanya umpama infeksi traktus urinaria adalah escheria coli yang
paling sering dan 20-30% escheria coli resisten terhadap ampicillin maka option antibiotika adalah
cephalosporin generasi ke-3,quinolone,trimethoprim(sulfamethoxazole) atau aztreonam.
Infeksi intra abdominal biasanya polymicrobial melibatkan aerob maupun anaerob kombinasi antibiotika
lebih dianjurkan seperti clyndamicin atau metronidazol + aztreonam atau amphicillin+ metronidazole +
aztreonam atau cephalosporin generasi kedua(cefoxitin,cefotetan) + aminoglikoside tetapi tak
direkomendasikan pada koagulopati yang berat. Infeksi traktus respiratorius yang paling sering pneumonia
oleh streptococcus pneumonia dan haemophilus influenzae, eritromicin adalah antibiotic of choice.
Bila curiga gabungan keduanya berikan eritromisin dan cephalosporin generasi 2 at 3. Infeksi kulit (cellulitis
) paling sering oleh sebab staphylococcus aereus atau streptococcus beta hemolitikus. Pada luka terinfeksi
biasanya clostridium perfringens, pada cellulitis facial atau orbital adalah hemofilus influenza, maka
antibiotika terpilih adalah cefazolin, nafcilin, vancomisin atau penicillin G (untuk clostridium perfringens atau
beta hemolitycus streptococcus).
Infeksi CNS seperti meningitis biasanya disebabkan streptococcus pneumonia atau Nisseria meningitidis
tampaknya cefotaxime atau ceftriaxone bisa digunakan. Encefalitis biasanya kebanyakan disebabkan virus
berikan acyclovir atau valcyclovir. Abscess otak bisa disebabkan oleh polimikrobial areobic dan anaerobic
streptococcus, stapilokokus dan bakteri gram negatif, terpilih penicillin, metronidazole dan cephalosporin
generasi ke-3.
46
Infeksi jamur selalu dicurigai adanya faktor predisosisi luka bakar berat, malignancy, terapi antibiotika,
transplantasi, neutropenia, endopthalmitis, CVP, biasanya disebabkan candida albicans obat terpilih
adalah metronidazole atau vancomycin.
Bila syok telah terkendali ,hemodinamik baik dan stabil pertimbangkan pemberian nutrisi dimana
kebutuhan kalori 30-35 kcal/hari setiap kenaikan suhu 1 derajat ditambah 12% untuk mengimbangi proses
katabolisme tinggi pada sepsis. Kebutuhan nitrogen minimal 0,095 g/kg/hari, untuk mencapai balans
nigrogen positif maka kalori harus tinggi dan rasio nitrogen kalori minimal 1:200.
Sumber karbohidrat (KH) karena penderita sepsis resisten insulin untuk mencegah hiperglikemia
sebaiknya pemberian glukose maksimal 200 g/hari. Mungkin fruktose lebih baik karena insulin independen,
lebih cepat dimetabolisir dihati mempunyai nitrogen sparing effek lebih baik dari pada glukosa. Namun
tidak sepenuhnya insulin independen karena untuk merubah fruktosa jadi glukosa masih butuh insulin,
kalau diberikan secara cepat dan konsentrasi >5% bisa menimbulkan asidosis laktat.
Pilihan lain adalah gula alkohol (sorbitol, xylitol) dengan pemberian yang tidak terlalu cepat dan tak>5%
bisa dicegah terjadinya asidosis laktat juga insulin independen. Perlu pemberian insulin untuk mengontrol
kadar gula dengan ketat (80-110)mg%. Lemak sebagai sumber kalori terbesar untuk keutuhan dinding sel,
tanpa sparing efek dengan protein memerlukan kombinasi dengan KH yang optimal, 30-40% dari total
kalori. Diberikan 1,5-2g/kg/hari diberikan cukup 2x seminggu, kalau terlalu banyak menimbulkan emulsi
dalam plasma.
Sumber nitrogen, yang baik asam amino bentuk L, asam amino bercabang diberikan dalam komposisi
yang lebih banyak, diberikan bersamaan KH minimal ratio 1:200. Pada sepsis perlu balans nitrogen positip
untuk sintese protein jaringan dan enzim. Tetapi kondisi katabolisme yang tinggi protein dibatasi 40
gram/hari. Pada pasien gagal ginjal diberikan protein rendah dan kalori tinggi. Pemberian vitamin perlu
untuk katalisator dalam metabolisme. Pada sepsis yang berat berikan recombinant activated protein C.
Turunkan demam dengan selimut hipotermi sebesar 5-10 derajat C dikombinasi dengan chloorpromazin
atau salisilat dengan central anti piretik, juga menghambat pelepasan plasma kinin dan menimbulkan
keringat.
RINGKASAN:
Syok septik, prognosenya jelek pencegahannya lebih diutamakan. Sumber infeksi yang paling sering
menimbulkan sepsis adalah traktus urinaria, digestivus, respiratorius, diikuti kulit dan soft tissue. Kuman
yang paling sering menimbulkan sepsis adalah escheria coli, klebsiella, dan pseudomonas aeruginosa.
Demam paling sering merupakan gejala sistemik yang ditimbulkan oleh infeksi, walaupun kadang kala
normal bahkan hipotermi terutama pada orang tua, uremia, alkoholisme dan gagal hepar. Gangguan
kogulasi yang paling sering pada sepsis adalah thrombositopenia.
Oksigenasi jaringan yang adekuat adalah tujuan utama terapi syok dengan meningkatkan DO2 dan VO2
dengan meningkatkan CO dan CaO2. Peningkatan CO dengan meningkatkan kontraktilitas jantung
dengan obat inotropik bila MAP diatas 60 mmHg dan preload ventrikel kiri dengan volume cairan yang
cukup. Peningkatan CaO2 dengan meningkatkan Hb dan SaO2 serta PaO2. Penilaian preload ventrikel
kiri dipantau dengan kateter PA dimana bisa dinilai juga CO dan SvO2 (mixed venous oxygen saturation)
untuk menilai oksigenasi jaringan.
Cairan HES tampaknya cukup baik pada kebocoran kapiler karena punya seal effect. Antibiotika sebaiknya
diberikan setelah diketahui hasil kultur dan sensitivity test. Dalam kondisi tidak ada fasilitas bisa diberikan
antibiotika berdasarkan lokalisasi infeksi dengan kuman paling sering penyebabnya.
Terapi membuang sumber infeksi seperti pembedahan, drainage, mengganti kateter vena, arteri, sonde
lambung dan lain-lain sangat menunjang keberhasilan terapi. Yang paling utama adalah life saving dengan
mengendalikan hemodinamik dan respirasi.
Rujukan:Faked
1. Zimmermann L.J,Taylor R Cs: Life threatening infections;in Fundamental Critical Syllabus, USA, 1996
2. Basic Hemodynamic monitoring. Fundamental Care Critical Syllabus,USA 1996.
3. Diagnosis and Management of Shock, FCCS, USA 1996.
4. Brown, BE, Cs; Shock A physiologic Basis Treatment, Year Book Medical Publishers Inc,
Chicago.1972.
5. Sunatrio S; Resusitasi Cairan, Media Aesculapius, Faked UI, 2000.
47
SHOCK ANAFILAKTIK
salah satu bentuk kegawatan medik yang sering ditemukan adalah syok dengan pelbagai penyebab, dan
yang menjadi momok bagi dokter diruang praktek adalah syok anapilaktis.Pengetahuan dan pengalaman
bagaimana mengenal syok, dan menanganinya secara efektif dan efisien adalah suatu keharusan yang
harus dikuasai oleh setiap pelaksana pelayanan medis.
Dalam tulisan ini kami mengemukakan perihal syok anapilaktis yang bukan hanya dapat merenggut jantung
penderita tetapi juga merobek jantung petugas medik yang tangannya sangat gatal untuk menyuntik.
Syok adalah sindroma klinis akibat kegagalan sirkulasi yang menyebabkan kegagalan perfusi jaringan.
Kegagalan perfusi berarti ketidak mampuan sistem sirkulasi untuk membawa oksigen dan bahan nutrisi
kejaringan dan membawa bahan bahan metabolik toksik dari jaringan tubuh.(Dietzman dan Lillihei).
a. Turunnya volume darah bisa oleh karena perdarahan, dehidrasi atau squesterisasi disebut syok
hipovolemik.
b. Gangguan kontraktilitas myocrdium oleh sebab infark myocard atau aritmia maligna disebut syok
kardiogenik.
c. Hambatan aliran darah kembali kejantung (venous return) oleh sebab tamponade jantung, pneumotorak
disebut syok obstruktif.
d. Gangguan vasomotor menyebabkan gangguan distribusi darah disebut syok distributif bisa disebabkan
:
- Insuffisiensi adrenal akut bisa karena kegagalan adrenal (penyakit autoimmune, HIV) atau kegagalan
hipotalamus dampak terapi glukokortikoid.
Salah satu bentuk allergi atau hipersensitivitas yang bereaksi cepat. Hipersensitivitas adalah keadaan yang
disebabkan reaksi immunologik spesifik yang ditimbulkan oleh allergen atau antigen sehingga terjadi reaksi
patologik. Jadi reaksi anapilaktis itu adalah interaksi antigen dengan sel jaringan yang telah disensitasi
oleh reagenik antibodi yang menyebabkan pembentukan zat-zat aktif amine yang dapat merusak jaringan
lebih lanjut. Reaksi anapilaktis itu bisa berupa gejala lokal (urtikaria, rhinitis, angioneurotik odem) atau
sistemik (syok anapilaktis).
Reaksi antigen dan antibodi spesifik yang diperankan oleh immunoglobulin E(IgE) membentuk sensitized
complex akan melekat pada basopil atau mast cell. Yang menyebabkan degranulasi sel akan melepaskan
zat perantara(mediator) yang punya unsur farmakologik aktif seperti serotonin, asetilkolin, kateolamin,
bradikinin, prostaglandin Slow Reactin Substance A (SRS-A), histamin dan lain lain. Mediator inilah bila
dilepaskan ke sirkulasi akan bertemu dengan reseptor dijaringan dan menimbulkan reaksi terutama pada
arteriole, venule dan otot-otot polos lainnya.
Vasodilatasi arteriole dan venule menyebabkan pengumpulan darah didaerah splanchnicus oleh pengaruh
histamin. Sedangkan serotonin menyebabkan vasokonstriksi spinkter arteriole. Bradikinin menyebabkan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga cairan plasma keluar menyebabkan hipovolemi. Baik oleh
karena pengumpulan darah di splancnikus maupun rembesan keluar kapiler bersama-sama menimbulkan
semua gejala syok.
Keadaan ini haruslah dideteksi secara dini agar tidak masuk kestadium irreversible, dimana semua
tindakan akan sia sia. Kita ketahui stadium syok mulai stadium kompensasi masuk stadium dekompensasi
akhirnya terjerumus masuk stadium irreversible. Dalam stadium kompensasi dimana tubuh masih mampu
mengatasi sendiri tanpa bantuan dari luar dengan meningkatkan refleks simpatis berupa :
Resistensi sistemik meningkat untuk redistribusi darah dari organ kelas dua ke organ kelas satu(otak,
jantung, paru) dan resitensi arteriole meningkat sehingga tekanan diastolik meningkat sehingga perfusi
koroner adekuat, Denyut jantung meningkat sehingga volume semenit meningkat. Sekresi vasopressin,
renin angiotensin aldosteron meningkat sehingga ginjal menahan air natrium untuk mempertahankan
volume sirkulasi.
Ini semua menyebabkan gejala klinis takikardi, kulit pucat, akral dingin, pengisian kapiler (Capillary Refill
Test) < 2 detik dengan cara menekan kuku sampai pucat kemudian dilepas sampai timbul merah lagi.
Perfusi jaringan sudah memburuk dimana terjadi hipoksia sehingga timbul metabolisme an aerob dimana
laktat meningkat terjadi laktat asidosis ini menyebabkan kontraktilitas myokard terhambat terjadi bradikardi.
Gangguan metabolisme energi ditingkat selular fungsi lisozom dan mitokonria jelek menyebabkan
kerusakan sel. Pelepasan mediator membentuk oksigen radikal dan platelet agregating factor
menyebabkan thrombus disertai tendensi perdarahan.
Terjadi vasodilatasi arteriol dan peningkatan permeabilitas kapiler sehingga venous return, menurun dan
volume semenit menurun. Gejala klinis terlihat tekanan darah sangat turun, oliguri, kesadaran menurun.
Bila masuk ke stadium irreversible dimana cadangan fosfat berenergi tinggi(ATP) terkuras habis terutama
dijantung dan hepar tubuh kehabisan energi akhirnya terjadi MOF (Multiple Organ Failure). Perlu diketahui
hipotensi tidak identik dengan syok, pasien yang semula hipertensi mungkin saja dengan tensi normal
tetapi sudah dalam keadaan syok sementara pasien menderita hipotensi yang sudah lama dengan tensi
rendah malah tidak syok. Sehingga dalam pengelolaan pasien syok bukan masaalah tensinya tetapi ada
gangguan perfusi atau belum. Dengan demikian kita bukan memperbaiki tensimeter walaupun penderita
syok tensinya cenderung menurun. Kalau saja kita tahu tensi sebelumnya bisa saja kita menduga terjadi
pre syok bila tensi systolik turun >20%. Tetapi yang paling penting adalah gejala gangguan perfusi. Yang
dapat dikenal secara kasar dengan gejala perifer seperti akral dingin, kulit pucat, berkeringat dingin, nadi
cepat lemah ,mengantuk dan gelisah.
b. Penyebab suntikan : antibiotika(penicillin), serum, obat lokal anestesi(prokain) oral : Asam salisilat,
Yodium, Gigitan serangga.
c. Manifestasi :
Bagaimana pengelolaannya?
Dasar pengelolaan syok napilaktis adalah :
ad.2. Beri suntikan adrenalin (larutan 1:1000) 0.3-05 mg subcutan (dewasa) 0,01mg/kg untuk anak,
penyuntikan 1 mg sekaligus tidak boleh dilakukan karena adrenalin yang berlebihan ditakuti akan
menimbulkan takikardi dan vasodilatasi diotot rangka sehingga memburuknya tekanan darah. Pasang infus
untuk mengkoreksi hipovolemi relatif. Berikan hidrokortison 100 mg atau dexametason 4mg iv . Adrenalin
bisa diulangi 0,3-0,4 mg sc tiap 5-10 menit sampai tekanan sistolik mencapai 90-100mmHg dan frekuensi
jantung tidak melebihi 120x /menit.
ad.3 Bila ada bronkospasmo berikan aminophylin 5-6 mg/kg iv , Pasang tornikuet diproksimal bekas
suntikan atau gigitan penyebab reaksi hipersensitivitas diharapkan mencegah penyebaran antigen. Pasien
yang sembuh jangan terburu dipulangkan tapi perlu diobservasi dulu dengan seksama. Dxametason per
oral diberikan pada saat pasien dipulangkan untuk mengatasi efek jangka panjang.
- Mempunyai efek vasokonstriktor perifer melawan efek dilatasi arteriole dan venule tetapi meningkatkan
tekanan diastolik yang lebih tinggi sehingga perfusi koroner lebih baik.
Meningkatkan kontraksi jantung dengan efek beta adrenergiknya. Sedangkan nor adrenalin hanya punya
efek alpha adrenergic.
Anti histamin hanya mampu menhambat aktivitas farmakalogik histamin saja sedangkan untuk mediator
amine lainnya tak berefek. Antihistamin hanya dapat melawan efek vasodilatasi histamin sedangkan
50
adrenalin bisa merubah vasodilatasi menjadi vasokonstriksi. Antihistamin hanya melawan efek
bronkokonstriksi karena histamin tetapi tidak bersifat bronkodilatasi seperti adrenalin.
Antihistamin dan kortikosteroid hanya bersifat supportif saja tidak bisa diberikan tunggal saja
Ringkasan :
Mencegah atau mengantisipasi terjadi reaksi anapilaktis sebab dengan pemberian obat-obat tertentu
penting untuk persiapan yang lebih baik; Mengenal gejala syok lebih awal sangat penting agar tidak
terjerumus ke stadium lanjut. Pengelolaan diprioritaskan pada perbaikan keadaan umum pasien.
Sementara ini adrenalin sebagai obat terpilih pada kasus syok anpilaktis dan nor adrenalin tak bisa
menggantikannya. Antihistamin dan kortikosteroid hanya sebagai obat supportif saja.
Kepustakaan :
1. Grunert A ; New Concept of Shock Oneday Course On Critcal Medicine Update, Agustus, Jakarta.
2.Haymagi : Shock and intensive course of perenteral nutrition. RS.Sarjito Yogya 1986.