Vous êtes sur la page 1sur 8

A.

Akhlak

Akhlak adalah tabiat atau sifat seorang, yaitu keadaan jiwa yang lebih terlatih sehingga
dalam jiwa tersebut benar-benar telah melekat sifat-sifat yang melahirkan perbuatan-perbuatan
dengan mudah dan spontan tanpa dipikirkan dan diangan-angankan terlebih dahulu. Hal itu
berarti bahwa perbuatan tersebut dilakukan dengan tidak sengaja atau sudah menjadi
kebiasaan, maka perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa dipikir dan dipertimbangkan lagi.
Sebenarnya akhlak itu sendiri bukanlah perbuatan, melainkan gambaran batin (jiwa) yang
tersembunyi dalam diri manusia. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa akhlak adalah nafsiyah
(sesuatu yang bersifat kejiwaan/abstrak). Sedangkan bentuknya yang kelihatan berupa tindakan
(mu’amalah) atau tingkah laku merupakan cerminan dari akhlak tadi.

B. Akhlak Dalam Berpolitik

Tujuan utama kekuasaan kepemimpinan suatu dalam pemerintahan dan Negara adalah
menjaga sesuatu system ketertiban agar masyarakat menjalankan kehidupannya dengan wajar.
Pemerintah tidak diadakan untuk melayani dirinya sendiri tetapi untuk melayani masyarakat,
mengembangkan kemampuan dan kreativitas demi tercapainya tujuan bersama. Oleh karena
itu, secara umum tugas pokok pemerintah atau penguasa suatu Negara adalah menjamin
diterpakannya perlakuan adil kepada setiap warga masyarakat tanpa membedakan status
apapun yang melatarbelakangi mereka. Melakukan pekerjaan umum, melakukan upaya
meningkatkan kesejahteraan social, menerapkan kebijakan yang menuguntungkan masyarakat
luas, serta kebijakan lain. Untuk mengemban amanah tersebut perlu diperlukan konstitusi
hokum etika dan lembaga-lembaga yang tepat dengan para aparatur yang selalu semangat
melayani kepentingan umum sebagai dasar dari motivasi mereka memilih karir dibidang
pemerintahan.

Pemerintah yang baik dalam menyelenggarakan kekuasaan Negara harus berdasarkan


pada :

1. Ketertiban dan kepastian hokum dalam pemerintah


2. Perencanaan dalam pembangunan
3. Pertanggungjawaban, baik oleh pejabat dalam arti luas maupun oleh pemerintah
4. Pengabdian pada kepentingan masyarakat
5. Pengendalian yang meliputi kegiatan pengawsan, pemeriksaan, penelitian, dan
penganalisisan
6. Keadilan tata usaha/administrasi Negara sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat
Akhlak yang disyari’atkan oleh Islam dalam politik dan kenegaraan adalah
sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa ayat 59
Artinya :” Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rosul-Nya
dan ulil amri diantara kamu, kemudian jika kamu berhak berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikannlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rosul
(Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Rakyat harus berakhlak kepada pemimpinnya yaitu taat sebagaimana taatnya
umat Islam Kepada Allah SWT dan Rosulullah SAW. Diterangkan dalam surat An-
Nisa ayat 58 :
Artinya :” Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hokum
diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah
Maha mendengar lagi Maha melihat.”
Akhlak berikutnya adalah memutuskan perkara atas dasar musyawarah dalam
Al-Qur’an surat Asy-Syura ayat 38 Allah SWT berfirman :
Artinya :” Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya
dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah
antara mereka dan mereka menafkahkan sebagian dari yang Kami berikan kepada
mereka.”
Akhlak dalam berpolitik sebgaimana disya’riatkan dalam ajaran islam adalah
akhlak yang dibangun oleh dasar-dasar Qur’an sehingga para polisi, penguasa,
negarawan, dan masyarakat wajib menerapkan etika politik Islam. Diantaranya
selalu saling menghargai pendapat masing-masing, menegakan demokrasi,
menepati janji-janji pihak kepada masyarakat, jujur, dan amanah dalam memegang
dan menjalankan tugas-tugas Negara demi kesejahteraan dan keadilan social.
Dengan pandangan tersebut, polisi yang kemudian dipilih menjadi wakil rakyat
baik di lembaga legislative maupun pemegang tampuk kepemimpinan, harus
melakukan fungsinya sesuai dengan konstitusi yang berlaku. Salah satunya adalah
melaksanakan fungsi pengawasan kepada seluruh bawahannya dan masyarakatnya
guna mengetahui dan mengusahakan agar semua tugas Negara dapat terlaksana
sesuai dengan rencana yang ditetapkan dan mencapai hasil yang dikehendaki.
Lnagkah-langkah pengawasannya adalah sebagai berikut:
1. Memeriksa, meneliti dengan cermat keadaan rakyat secara langsung pada
objek yang diperiksa , bukan hanya laporan berdaarkan bawahannya.
2. Mengecek, setiap laporan dari bawahan harus dilihat dengan empiric
3. Mencocokan, apapun bentuk apresiasi masyarakat perlu di dicrosscheck
agar kebenarannya diketahui objektif
4. Meneliti dan menilai, melakukan pengamatan secara seksama tterhadap
tugas penyelenggara, keadaan masyarakat, dan berbagai aspirasi social yang
berkembang, kemudian semua yang telah diteliti untuk diukur tingkat
keberhasilan dan kegagalannya.
5. Menginspirasi, melakukan kunjungan keberbagai daerah untuk mengetahui
keadaan masyarakat yang sesungguhnya serta kinerja seluruh
penyelenggara pemerintahan suatu Negara
6. Mengendalikan, artinya memiliki kemampuan menjalankan roda
pemerintahan dan mencegah berbagai keadaan politik dan ekonomi yang
dapat meruntuh stabilitas Negara
7. Mengatur, mengelola perjalanan kepemimpinan dengan cara professional
8. Mencegah sebelum terjadi kegagalan, artinya melakukan tindakan-tindakan
preventif terhadap semua keadaan yang dapat mengakibatkan krisis
masyarakat, baik krisis ekonomi, politik, budaya maupun krisis kepercayaan
terhadap para penyelenggara Negara dan politisi.
Delapan hal ditas merupakan akhlak para politisi para pemimpin para
penyelenggara pemerintah mulai dari presiden, para menteri, gubernur,
walikota, bupati, camat, lurah, sampai ketingkatan RT. Apakah akhlak para
pemimpin ini buru, masyarakat akan menjadi korban. Sebagai contoh ketika
kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) kurang prefosional sebgaimana yang
terjadi pada pemilihan legislative pada tahun 2009 karena berbagai kasus
dan masalah Daftar pemilih tetap (DPT), demokrasi di Indonesia tercoreng-
coreng. Kemudian hak pilih sebagaian masyarakat hilang tanpa ada
pertanggung jawaban yang jelas. Oleh karena itu akhlak dalam berpolitik
perlu ditegakkan, di antaranya dengan mengamalkan seluruh peralatan
perundangan yang berlaku.
C. Akhlak Dalam Perdagangan
Menurut Sayyid Sabiq, jual beli adalah memberikan sesuatu karena ada penggantian
yang memiliki nilai yang sama dengan harga tertentu. Oleh karena itu, dalam jual beli terjadi
pemberian harta karena menerima harta yang lain dengan ikrar penyerahan dan penerimaan
atau disebut dengan ijab dan Kabul. Demikian pula, di jelaskan oleh Moh. Anwar, secara
linguistic, jual beli adalah tukar menukar sesuatu dengan lainnya. Sedangkan menurut istilaf
fiqh, jual beli merupakan perikatan atau akad yang mnegandung pengertian pertukaran harta
benda tau jasa atau harta benda lagi untuk selama-lamanya (menjadi milik masing-masing)
menurut peraturan yang telah ditentukan.
Jual beli secara substansial adalah aktivitas tukar menukar barang dengan menggunakan
hokum yang telah berlaku dan telah di sepakati. Dalam hokum perdagangan. Menurut
Suryodiningrat, terdapat suatu perjanjian, persetujuan, dan kontrak antara pihak penjual
dengan pihak pembeli dengan saling mengikatkan diri antara barang dengan harga ada sikap
saling merelakan. Sayyid Sabiq, mengatakan bahwa pada dasarnya, sikap tersebut merupakan
hakikat dalam perjanjian jual beli antara dua pihak.
Sikap yang harus ada diantara kedua belah pihak tersebut, yaitu adanya akad, yaitu ijab
kadan Kabul. Pertukarannya dapat berupa barang dengan barang atau barang dengan uang. Hal
itu bergantung pada kondisi social dan kesepakatannya. Namun , karena sekarang jual beli lebih
umum menukar barang dengan uang tentu saja keberlakuannya lebih diakui oleh seluruh
aktivitas jual beli di dunia.
Rahmat Syafe’I mendefinisikan jual beli sebagai aktivitas manusian yang berkaitan
dengan pertukaran harta benda. Sehingga terjadi perpindahan hak milik atas benda atau harta
masing-masing. Demikian pula, dengan Hasybi Ash-Shidiqie, yang berpendapat bahwa jual beli
merupakan suatu pertukaran harta dengan harta yang bernilai sama berdasarkan cara khusus
yang diperbolehkan, sehingga saling memiliki hak dalam benda yang berbeda serta manfaat
yang berlainan sesuai kebutuhan hidup masing masing pihak baik penjual maupun pembeli.
Dengan pengertian di atas, arti jual beli adalah pemberian harta karena menerima harta
lain dengan ikrar penyerahan dan penerimaan atau ijab dan Kabul sesuai dengan hokum dan
syarat yang berlaku dalam hokum Islam atau hokum perdagangan di dunia. Jual beli adalah
perikatan dalam pertukaran hak milik atas suatu benda atau jasa melalui ijab dan Kabul.
Dengan seluruh pengertian diatas, dapat diambil pemahaman bahwa jaul beli
merupakan kegiatan manusia yang berkaitan dengan hal-hal berikut :
1.pertukaran harta, benda dan jasa
2. pertukaran nilai benda yang sama dalam jenis yang berbeda atau jasa yang
dihargakan dengan kebendaan dalam harga yang sepadan.
3. pengambilam manfaat atas benda atau jasa yang berbeda oleh pihak penjual dan
pembeli.
4. perpindahan hak milik dari hartab dan jasa seorang kepada orang lain.
5. peraturan yang berkaitan dengan legalitas jual beli
6. sikap saling merelakan diantara penjual dan pembeli.
Akhlak Islami yang wajib dilaksanakan perdagangan berdasarkan dalil-dalil
berikut :
1. Dasar hokum yang dijadikan dalil bolehnya dilakukan jual beli dan akhlak yang wajib
dilaksanakan adalah firman Allah yang terdapat dalam surat An-Nisa ayat 29 :
Artinya “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesame dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku engan
suka sama suka diantara kamu, dan janganlah kamu membunuh darimu :
Sesungguhnya Allah adalah Maha peyanyang kepadamu.”
2. Dasar hokum lainnya adalah hadits-hadits Rosulullah SAW. Yang berkaitan langsung
dengan jual beli . diantaranya adalah hadits riwayat ibnu majah dan Baihaqi
Rosulullah SAW bersabda :
Artinya “Jual beli itu akan sah bila saling merelakan.” (H.R. Ibnu Majah dan Baihaqi)
Jual beli boleh dilakukan dengan dengan syarat tidak menyimpang dari rukun
dan berbagai pensyariatannya, sehingga hakikat penukaran barang atau jasa
memberikan manfaat yang dibenarkan oleh tuntutan Allah SWT dan Rosul-Nya.
Dengan penjelasan tersebut diatas, pelaksanaan jual beli harus berlandaskan pada
sikap ‘antaradhin. Dalam memlihara dan menjaga sikap ‘antaradhin, ada beberapa
hal yang berkaitan dengan proses ijab Kabul dalam jual beli yaitu sebagi berikut:
1. Lafaz dalam jual beli sebagai bentuk ijab Kabul harus dapat dipahami oleh
kedua belah pihak
2. Barang yang diperjualbelikan harus dikenal dengan baik dari manfaat dan
harganya. Bila barang tersebut merupakan barang pokok, harga pasarannya
harus jelas.
3. Barang yang dijual adalah milik penjual sendiri atau mendapat kuasa dari
pemilik barang.
4. Cara penjualannya tidak mengandung unsur penipuan, spekulasi dan riba.
5. Tidak membeli barang yang sedang ditawar oleh oranglain dan tidak menjual
barang dengan dua harga.
6. Membayar harga barang setelah ada ijab Kabul ditempat berlangsungnya
transaksi.
7. Tidak membeli barang dengan cara mengahadang dijalanan atau dengan cara
tengkulak.
8. Tidak memperjualkan belikan barang barang yang diharamkan oleh Allah SWT
dan barang barang najis.
Sebagaimana telah diuraikan diatas untuk memelihara sikap ‘antaradhin, kedua pihak
harus memenuhi rukun dan syarat yang benar sebagaimana diuraikan secara praktik oleh fiqh
muamalah adalah pihak penjual dan pembeli barang yang diperjualbelikan, dan akad
diperjualbelikan dalam bentuk perjanjian.
Syarat bagi penjual dan pembeli adalah :
1. Sudah baligh, sehat lahiriah, dan batiniah
2. Atas kehendak sendiri, tidak ada unsur paksaan.
Syarat-syarat akad adalah :
1. Adanya kesepakatan yang tidak terpisahkan terjadi secara bersamaan.
2. Tidak diselingi oleh kata-kata lain.
3. Tidak mengkaitkan barang dengan syarat tertentu ‘aku menjual baramng jika ayahku
meninggal’
4. Tidak dibatasi dengan waktu misalnya menjual barang hanya untuk satu bulan.
Dalam masalah akad, yaitu yang berbentuk ijab dan Kabul, Hamzah Ya’kub. Menegaskan
bahwa ijab Kabul harus diucapkan dengan shigat yang jelas oleh kedua pihak, ijab Kabul
tersebut sah.
Ijab Kabul dalam bentuk shigat yang diucapkan bukan hanya yang terucap dan berbunyi,
melainkan harus dipahami oleh kedua belah phak. Oleh karena itu, meskipun tidak berbunyi
karena dalam bentuk tulisan, apabila dipahami dengan jelas oleh kedua belah pihak, ijab
Kabul tersebut sah.
Ada pula penyampaian akad dengan bentuk atau disebut dengan al’aqaad bi
almu’athah. Akad dengan mu’athah adalah memberikan dan mengambil tanpa perkataan
(ijab dan Kabul). Sebagaimana seorang membeli sesuatu yang telah diketahui harganya,
kemudian ia mengambilnya dari penjual dan memberikan uang sebagai pembayaran.
Bentuk jual beli dengan akad tersebut dikenal dengan istilah ijab Kabul mubadalah
karena yang diutamakannya adalah pertukarannya. Karena adanya jual beli secara
mu’athah, lahirlah perbedaan pendapat mengenai hal yang berkitan dengan ijab Kabul.
Terutama dalam masalah melafalkan ijab Kabul. Yaitu disatu sisi prinsip ‘antaradhin adalah
perbuatan hati, disisi lain wajib diucapkan.
Tujuh prinsip jual beli adalah sebagai berikiut:
1. ‘Adam al-gharar, tidak boleh ada salah satu pihak yang tertipu.
2. ‘Adam ar-riba, tidak boleh ada beban yang mengandung riba.
3. ‘Adam al-maisir, tidak boleh mengandung unsur judi
4. ‘Adam al-iktiqar wa at-tas’ir, tidak boleh ada penimbunan barang.
5. Musyarakah, kerjasama saling menguntungkan.
6. Al-birr wa at-taqwa, asa yang menean bentuk muamalah dalam rangka tolong menolong
atas kebaikan dan takwa
7. Takafful al-ijtima, proses lalu lintah pemindahan hak milik harta atas dasar kesadaran
solidaritas social untuk saling memenuhi kebutuhan satu pihak lainnya serta atas dasar
tanggung jawab bersama demi kemaslahatan umum yang lebih bermakna bagi kehidupan
yang lebih luas.
Tujuh prinsip diatas mengungkapkan bahwa jual beli bukan hanya kegiatan
tukarmenukar barang karena kedua pihak saling membutuhkan tetapi jual beli merupakan
manifestasi antar manusia untuk saling menolong. Dengan demikian, tidak dibenarkan bila
dalam jual beli terdapat sikap saling merugikan.
Menurut Hamzah Ya’kub hikmah jual beli yang diatur oleh syari’at islam dengan merujuk
pada ketentuan al-qur’an dan al-hadits adalah sebagai berikut:
1. Membina ketentraman dan kebahagiaan karena adanya jual beli.
2. Memenuhi nafkah keluarga. Firman Allah SWT dalam QS. Al-baqarah ayat 233
3. Memenuhi kebutuhan masyarakat.
4. Sebagai sara ibadah kepada Allah SWT dan berupaya mengikuti contoh Rosulullah SAW.
5. Menjaga keturunan dari jasad yang lemah.
6. Menolak pihak kemungkaran dari berbagai usaha yang mengandung unsur riba dan
penipuan.
7. Meningkatkan taraf hidup dan derajat pendidikan masyarakat.
Akhlak dalam perdagangan diatur sedemikian rupa oleh syariat islam yang disasarkan
pada al-qur’an dan al-sunnah, sehingga perdagangan hanya merupakan sarana atau alat
silaturahmi antarmanusia. Oleh karena itu akhlak dalam perdagangan memerlukan
pengembangan yang fleksibel dan dapat menjawab tantangan zaman.
D. Akhlak Dalam Berumah Tangga
Pada hakikatnya akad nikah adalah perjanjian yang tegih dan kuat dalam kehidupan
manusia, bukan hanya suami, isteri dan keturunannya, melainkan antara dua keluarga. Dari sisi
baiknya, pergaulan antara suami dan isteri yang saling mengasihi akan mendatangkan kebaikan
kepada keluarga kedua belah pihak. Sehingga mereka menjadi integral dalam segala urusan
terutama dalam menjalankan kebaikan dan mencegah segala kejahatan. Selain itu dengan
pernikahan seseorang antara terpelihara dari kebinasaan oleh hawa nafsu.
Syariat islam yang berkaitan dengan pernikahan bukan hanya berbicara menumbuhkan
keturunan, melainkan juga menjaga keturunan yang merupakan amanah dari sang pencipta.
Pernikahan adalah bagian dari syariat islam. Yaitu memelihara keturunan dengan cara
memelihara agama, akal, dan harta kekayaan. Oleh karena itu, meskipun persetubuhan illegal
membuahkan keturunan , hal itu dinyatakansebagai dosa bsar karena bentuk perzinaan.
Keturunan yang dimaksud adalah keturunan yang sah melalui pernikahan.
1. Hukum pernikahan
a. Hukum asal nikah adalah mubah
Artinya boleh dikerjakan boleh ditinggalkan. Dikerjakan tidak ada pahalanya dan
ditinggalkan tidak berdosa. Meskipun demikian, ditinjaun dari segi kondisi orang yang
melakukan pernikahan. Hukum nikah dapat berubah menjadi sunah, wajib, makruh dan
haram.
b. Nikah yang hukumnya Sunnah
Adapun nikah yang Sunnah bagi orang yang sudah mampu memberi nafkah dan
berkehendak untuk nikah.
c. Nikah yang hukumnya wajib
Berdasarkan hasits Rosulullah SAW “ barang siapa siapa yang tidak mau melakukan
sunahku maka tidaklah termasuk golonganku” selanjutnya nikah itu wajib sesuai dengan
factor dan situasi. Contoh : jika kondisi seseorang sudah mampu meberi nafkah dan
takut jatuh pada perbuatan zina, dalam kondisi dan situasi tersebut itu wajib nikah.
d. Nikah yang hukumnya makruh
Nikah menjadi makruh apabila orang yang akan melakukan perkawinan telah
mempunyai keinginan atau hasrat yang kuat, tetapi ia tidak mempunyai bekal untuk
memberi nafkah tanggungannya.
e. Nikah yang hukumnya haram
Nikah menjadi haram apabila seseorang mempunyai niat menyakiti perempuan yang
dinikahinya.
Firman Allah SWT dalam surat An-nisa ayat 3 dan surat An-nur ayat 32.
2. Rukun pernikahan
Pernikahan dianggap sah apabila memenuhi syarat dan rukunnya. Rukun nikah menurut
Mahmud yunus merupakan bagian dari segala hal yang terdapat dalam pernihakan yang
wajib penuhi. Kalau tidak terpenuhi dianggap batal. Rukun nikah sendiri ada 5 macam yaitu :
a. Calon suami
b. Calon istri
c. Wali nikah
d. Dua orang saksi
e. Ijab dan Kabul
3. Syarat sah pernikahan
a. Syarat-syarat calon suami
1). Beragama islam
2). Bukan mahram dari calon isteri dan jelas halal kawin dengan calon isteri.
3). Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki.
4). Orangnya diketahui dan tertentu.
5). Calon mempelai laki-laki tahu atau kenal kepada calon isteri serta tahu betul calon
isterinya halal baginya.
6). Calon suami rela (tidak dipaksa atau terpaksa) untuk melakukan perkawinan itu dan
atas kemauannya sendiri.
7). Tidak sedang melakukan Ihram.
8). Tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan calon isteri.
b. Syarat-syarat calon isteri
1). Beragama islam atau ahli kitab.
2). Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram tidak sedang idah.
3). Terang bahwa ia wanita, bukan khuntsa (banci).
4). Wanita itu tentu orangnya (jelas orangnya).
5). Tidak dipaksa (merdeka, atas kemuan sendiri atau ikhtiyar).
6). Tidak sedang dalam ihram, haji atau umrah.

4. Hak istri terhadap suami dan sebaliknya

Menurut Sayyid sabiq, hak dan kewajiban suami isteri ada 3 macam.

a. Hak isteri atas suami


b. Hak suami atas isteri
c. Hak bersama
Kewajiban suami berakhlak mulia mulia terhadap isterinya dengan memberikan nafkah
yang cukup, biaya keluarga, biaya pendidikan, memberikan tempat tinggal dan pakaian.
Isteri harus mengabdi kepada suami dengan menghormati dan menjaga seluruh
amanahnya. Isteri yang sholehah harus selalu meminta izin kepada suaminya apabila
bermaksud keluar rumah, dan bila perlu, hanya keluar bersama muhrimnya agar tidak
menimbulkan fitnah bagi kehidupan rumahtangganya, sehingga akan menganggu
ketentraannya.
Hidup berumah tangga harus di perkuat dengan lima pesan penting yaitu :
1. Menempatkan kaum wanita sebagai isteri yang shalehah dan mampu meningkatkan
harkat dan martabatnya sendiri.
2. Meningkatkan kepemimpinan isteri di dalam mengurus rumah tangga
3. Menjadikan isteri sebagai pendidik ank-anaknya
4. Menggauli isteri dengan baik dan benar menurut syari’at Islam
5. Menjadikan isteri sebagai teladan anak-anaknya.
Suami berkewajiban memberi nafkah kiswah, artinya nafkah berupa pakaian
atau sandang kiswah merupakan kewajiban suami terhadap isteri. Oleh karena itu kiswah
merupakan hak isteri sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Disamping berupa pakaian nafkah kiswah berupa :
1. Biaya pemeliharaan jasmaniah isteri
2. Biaya pemeliharaan kesehatan
3. Biaya kebutuhan perhiasan
4. Biaya kebutuhan rekreasi
5. Biaya untuk pendidikan anak
6. Biaya untuk hal-hal yang tidak terduga
Setelah pernikahan biasanya ada beberapa hari suami istri tinggal bersorangtua
dirumah mertua. Ada beberapa hal

Vous aimerez peut-être aussi