Vous êtes sur la page 1sur 32

Tugas Keperawatan Medikal Bedah II

“Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Sirosis Hepatis”

Oleh Kelompok IV:

Muhammad Rosyidi
Nopa Somaliana
Yunisa Abriyantari
Zurnaomi
Adhar Bulqia
Fitria
Mira Yuliandari
Wahyu Ramadhan

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) MATARAM

MATARAM

2018
A. Konsep Dasar Sirosis Hepatis

1. Pengertian Sirosis Hepatis

Sirosis hepatis adalah penyakit yang ditandai dengan adanya

peradangan difus dan membran pada hati, diikuti dengan proliferasi

jaringan ikat, degenerasi dan regresi sel-sel hati, sehingga timbul

kekacauan dalam susunan parenkim hati (Mansjoer, 2001).

Sirosis hepatis adalah penyakit kronis progresif yang

dikarakteristikan oleh penyebaran inflamasi dan fibrosis pada hepar.

(Engram, 2000).

2. Etiologi

Meskipun ada beberapa faktor yang terlibat dalam etiologi dari

sirosis hepatis, konsumsi alkohol dianggap sebagai penyebab yang

utama. Sirosis sering terjadi dengan frekwensi paling tinggi adalah pada

peminum minuman keras, meskipun defisisensi gizi dengan penurunan

asupan protein turut menimbulkan kerusakan hati pada sirosis, namun

asupan alkohol yang berlebihan merupakan faktor penyebab yang utama

pada perlemakan hati dan konsekwensi yang ditimbulkanya. Sirosis juga

pernah terjadi pada individu yang tidak memiliki kebiasaan minum

minuman keras dan pada individu yang dietnya normal tetapi dengan

konsumsi alkohol yang tinggi.

Sebagian individu, tampaknya lebih rentan terhadap penyakit ini

dibanding individu yang lain tanpa ditentukan apakah individu tersebut

mempunyai kebiasaan minum minuman keras ataukah menderita

malnutrisi. Faktor lain yang dapat memainkan peranan adalah pajanan

dengan zat kimia tertentu (karbon tetraklorida, naftul terklorinasi, arsen


atau fosfor) atau infeksi skistosomia yang menular. Jumlah penderita laki-

laki lebih banyak dari pada wanita dan mayoritas klien sirosis berusia 40

hingga 60 tahun.

3. Tipe Sirosis Hepatis

a. Menurut Brunner, (2000) Sirosis hepatis ada tiga tipe yaitu :

1) Sirosis portal laennec

Alkoholik nutrisional dimana jaringan parut secara khas mengelilingi

jaringan portal. Sirosis ini paling sering disebabkan oleh alkoholisme

kronis dan merupakan dan merupakan tipe Sirosis yang paling sering

terjadi di negara-negara barat.

2) Sirosis pascanekrotik

Dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai akibat lanjut

dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.

3) Sirosis bilier

Pembentukan jaringan parut terjadi di sekitar saluran empedu. Tipe ini

biasanya terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi

(kolangitis) ; insidennya lebih rendah dari sirosis Laennec dan

poscanekrotik.
Secara morfologi, sirosis hepatis dibagi atas jenis mikronoduler

(portal), makronoduler (pascanekrotik) dan jenis campuran, sedang dalam

klinik dikenal tiga jenis portal, pascanekrotik dan bilier. Penyakit-penyakit

yang diduga sebagai penyebab dari sirosis hepatis adalah malnutrisi,

alkoholisme, virus hepatitis, kegagalan jantung yang menyebabkan

bendungan vena hepatika, penyakit wilson, hemokromatosis, zat toksik

dan lain-lain (Mansjoer, 2001).

4. Patofisiologis

Hati pada awal perjalanan penyakitnya cenderung membesar dan

sel-selnya dipenuhi oleh lemak-lemak. Hati tersebut menjadi keras dan

dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi akibat

pembesaran hati yang cepat sehingga menyebabkan regangan pada

selubung fibrosa hati (kapsule glissoni). Pada perjalanan penyakit yang

lebih lanjut ukuran hati akan mengecil setelah jaringan parut

menyebabkan pengerutan jaringan. Apabila dapat dipalpasi maka

permukaan hati akan teraba benjol-benjol (Brunner, 2001).

Sirosis Laennec merupakan penyakit yang ditandai oleh episode

nekrosis yang melibatkan sel-sel hati dan kadang-kadang berulang di

sepanjang perjalanan penyakit tersebut. Sel-sel hati tersebut secara

berangsur-angsur digantikan oleh jaringan parut. Akhirnya jumlah jaringan

parut melebihi jumlah jaringan hati yang masih berfungsi. Pulau-pulau

jaringan normal yang masih tersisa dan jaringan hati hasil regeneasi

dapat menonjol dari bagian-bagian yang berkonstruksi sehingga hati yang

sirotik memperlihatkan gambaran mirip paku sol sepatu berkepala besar

(hobnail appearance) yang khas. Sirosis hepatis biasanya memiliki awitan


yang insidius dan perjalanan penyakit yang sangat panjang sehingga

kadang-kadang melewati rentang waktu 30 tahun atau lebih (Brunner,

2002).

Varises esofagus merupakan pembuluh darah yang berdilatasi,

berkelok-kelok dan biasanya dijumpai pada sub mukosa bagian bawah,

namun varises ini dapat terjadi pada bagian lebih tinggi atau meluas

sampai ke lambung. Keadaaan semacam ini hampir selalu disebabkan

oleh hipertensi portal yang terjadi obstruksi pada saluran vena porta, pada

hati yang mengalami serosis.

Peningkatan obstrukisi pada vena porta menyebabkan darah vena

dari traktus intestinal dan limpa akan mencari jalan keluar melalui kolateral

(lintasan baru untuk kembali ke atrium kanan). Akibat yang ditimbulkan

adalah peningkatan tekanan, khusunya adalah pembuluh darah pada

lapisan submukosa esofagus bagian bawah dan lambung bagian atas.

Pembuluh-pembuluh kolateral ini tidak bersifat elastis tapi bersifat rapuh,

berkelok-kelok dan mudah mengalami perdarahan. Penyebab varises

lainya yang lebih jarang ditemukan adalah kelainan sirkulasi dalam vena

linealis atau vena kava superior dan trombosis vena hepatika.

Varises esofagus yang mengalami perdarahan dapat

menyebabkan kematian dan menyebabkan syok haemorargik yang

menyebabkan penurunan perfusi serebral, hepatik serta ginjal.

Selanjutnya akan terjadi peningkatan beban nitrogen akibat perdarahan

kedalam traktus gastrointestinal dan kenaikan kadar amonia serum yang

meningkatkan resiko encefalopati. Kemungkinan terjadinya perdarahan

pada varises esofagus harus dicurigai jika ada hematemisis dan melena,
khususnya pada klien yang biasa mengkonsumsi minuman keras. Vena

yang mengalami dilatasi biasanya tidak mengalami gejala kecuali jika ada

peningkatan tekanan porta yang tajam dan mukosa atau struktur yang

menyangga menjadi tipis, sehingga kemungkinan akan timbul

haemorargik masif.

Faktor-faktor yang menimbulkan perdarahan bisa jadi dari

mengangkat barang berat, mengejan pada saat defekasi, bersin, batuk

atau muntah, esofagitis, atau iritasi pembuluh darah akibat makan

makanan yang tidak dikunyah dengan baik atau minum cairan yang

merangsang. Salisilat dan setiap obat yang dapat menimbulkan erosi

mukosa, serta mengganggu replikasi sel dapat pula menyebabkan

perdarahan.(Brunner, 2000)

Asites dan edema pada sirosis hepatis terjadi mekanisme yang

kompleks dan tidak semuanya diketahui. Dua macam hipotesis yang

diajukan untuk menjelaskan terjadinya asites yaitu, konsep tradisional dan

teori luber.

a. Konsep tradisional yang dimotori hipotesis starling (1896) serta

didukung oleh faktor lokal intra abdominal yang menyebabkan

reditribusi cairan dan faktor sistemik yang mengakibatkan ginjal

menahan natrium dan air.

1) Faktor lokal intra abdominal. Akumulasi cairan ekstrasel (edema dan

asites) menunjukkan adanya gangguan keseimbangan lokal antara

pembentukan dan penyerapan. Perubahan keseimbangan ini

dipengaruhi oleh starling (hipoalbuminemia dan hipertensi portal),


gangguan aliran limfe dan kapasitas reabsorpsi cairan asites yang

terbatas.

2) Faktor sistemik akibat faktor-faktor di atas yang saling berkaitan

menyebabkan terkumpulnya cairan intraperitoneal dan mengakibatkan

volume plasma efektif serta ekstra sel berkurang, selanjutnya perfusi

ginjal berkurang dan terjadilah retensi natrium sekunder akibat

rangsangan renini angiostensin aldoseron serta mekanisme abnormal

lainnya yang belum diketahui seluruhnya dengan jelas. Mekanisme

yang belum jelas tesebut diantaranya, berkurangnya aliran darah dan

terjadinya laju filtrasi glumerulus. Meningkatnya rearbsobsi natrium

sepanjang tubulus terutama bagian proximal tubulus distal, mungkin

karena berkurangnya hormon natriuretik dan meningkatnya aldosteron

sebagai akibat meningkatnya produksi dan berkurangnya inaktivitas

aldosteron oleh hati dalam keadaaan sirosis.

Menurut www.iqhealth.com (2005), diketahui bahwa asites

yang mempengaruhi pernapasan sehingga klien sulit bernafas adalah

asites dengan large volume. Sementera menurut

www.wikipedia.org.com (2005), diketahui bahwa terdapat 3 klasifikasi

dari asites yaitu small volume (grade 1) adalah asites ringan yang

hanya dapat dilihat dengan USG, (grade 2) masih tergolong ringan,

dapat diketahui dari perut yang kembung dan terdapat shiffting dullness

atau suara dullness pada pemeriksaan fisik, (grade 3) adalah large

volume, dapat terlihat dengan jelas dan terdapat suara seperti air

mengalir saat dimiringkan.


b. Edema adalah gejala lanjut lainnya dikarenakan protein plasma yang

turun.

Teori luber yang diajukan oleh Lieberman dkk, mengatakan

bahwa semakin lanjutnya sirosis, rearbsorpsi garam dan air di tubulus

semakin meningkat yang selanjutnya menimbulkan pembesaran

volume plasma. Asites kemudian terjadi akibat fenomena luber yang

dapat dianggap sebagai usaha tubuh untuk mempertahankan

keseimbangan antara ekspansi volume plasma dengan kapasitas

tampung vaskuler, sinusoid hati dan sistem portal dimana pada tempat-

tempat tersebut sehingga starling terganggu hingga memudahkan

transudasi cairan ke rongga peritoneal. (Wapandji, 1987).

Obstruki portal dan asites. Manifestasi lanjut sebagian

disebabkan oleh kegagalan fungsi hati yang kronis dan sebagian lagi

disebabkan oleh obstruksi sirkulais portal. Semua darah dari organ-

organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena porta dan akan

dialirkan ke hati. Karena hati yang serotik tidak memungkinkan

perlintasan darah yang bebas, maka aliran darah tersebut akan

kembali ke limpa dan traktus gastro intestinal dengan konsekuensi,

organ-organ ini dapat menjadi tempat yang kongestif pasif yang bebas.

Dengan kata lain organ tersebut akan dipecah oleh darah dan dengan

demikian klien dengan keadaan semacam ini cenderung menderita dis

pepsi kronis dan konsistensi atau diare berat. badan klien secara

berangsur-angsur akan menurun.

Varises gastrointestinal obstruksi aliran darah lewat saluran

yang terjadi akibat perubahan fibrotik juga menyebabkan pembentukan


pembekuan darah kolateral dalam rongga gastrointestinal dan

pemintasan darah pembuluh darah kedalam pembuluh darah dengan

aliran yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, penderita sering

memperlihatkan distensi pembuluh darah yang mencolok serta terlihat

pada saat infeksi abdomen (kaput medusa) dan distensi pembuluh di

traktus intesinal. Esofagus lambung dan bagian bawah merupakan

bagian yang tersering mengalami pembentukan .

5. Komplikasi

Komplikasi menurut Brunner (2000) ada dua yaitu :

a. Perdarahan dan hemorargia

b. Ensefalopati hepatik

Komplikasi menurut Mansjoer (2001) ada dua yaitu :

a. Hematemisis melena

b. Koma hepatikum

Komplikasi menurut Engram (2000) ada empat yaitu :

a. Encefalo hepatik yang disebabkan oleh peningkatan kadar amonia

darah.

b. Asites ruang disebabkan oleh ekstravasase cairan serosa ke dalam

rongga peritoneal yang disebabkan oleh peningkatan hipertensi

portal, peningkatan reabsorpsi ginjal terhadap natrium dan

penurunan albumin serum.

c. Sindrom hepatorenal yang disebabkan oleh dehidrasi atau infeksi.

d. Gangguan endokrin yang disebabkan oleh depresi sekresi

gonadotropin
6. Manifestasi klinis

Gejala terjadi akibat perubahan morfologi dan lebih menggambarkan

beratnya kerusakan yang tejadi. Didapatkan gejala dan tanda sebagai

berikut :

a. Gejala-gejala gastrointestinal yang tidak khas seperti anoreksia,

mual, muntah dan diare.

b. Demam , berat badan turun dan lekas lelah

c. Asites, hidrothoraks dan edema.

d. Ikterus, kadang-kadang urine menjadi lebih tua warnanya atau

kecoklatan.

e. Hepatomegali, bila telah lanjut hati dapat mengecil karena fibrosis.

Bila secara klinis didapati adanya demam, ikterus dan asites, dimana

demam bukan karena sebab-sebab lain, dikatakan Sirois dalam

keadaan aktif. Hati-hati akan timbulnya prekoma dan koma

hepatikum.

f. Kelainan pembuluh darah seperti kolateral-kolateral di dinding

abdomen dan thoraks, kaput medusa, wasir dan varises esofagus.

g. Kelainan endokrin yang merupakan tanda dari hiperestrogenisme

yaitu :

1) Impotensi, atrofi testis, ginekomastia, hilangnya rambut aksila

dan pubis.

2) Amenore, hiperpigmentasi aerola mame.

3) Spider nevi dan eritema.

4) Hiperpigmentasi

h. Jari tabuh
7. Pemeriksaan penunjang dan pemeriksan diagnostik

Derajat penyakit hati dan bentuk pengobatanya ditentukan

setelah mengkaji hasil-hasil pemerikasaan laboratoirum. Fungsi hati sangat

kompleks, ada banyak pemerikasaan diagnostik untuk mengetahui fungsi

hati. Klien harus mengetahui mengapa semua pemeriksaaan ini harus

dilakukan, mengapa dipandang penting dan bagaimana cara bekerja sama

dalam menjalaninya.

Pada disfungsi parenkim hati yang berat, kadar albumin serum

cenderung menurun sementara kadar globulin meningkat. Pemeriksaan

enzim menunjukkkan kerusakan sel hati, yaitu kadar alkali fosfatase, AST

(SGOT) serta ALT (SGPT) meningkat dan kadar kolinesterase serum dapat

menurun. Pemeriksaan bilirubin digunakan untuk mengukur ekskresi

empedu atau retensi empedu. Laparaskopi yang dikerjakan bersama biopsi

memungkinkan penderita untuk melihat hati secara langsung.

Pemeriksaan USG akan mengukur perbedaaan densitas antara

sel-sel parenkim hati dan jaringan parut. Pemeriksaan CT (computed

tomography), MRI dan radio isotop hati memberikan informasi tentang

besar hati dan aliran darah hepatik serta obstruksi aliran tersebut. Analisa

gas darah arterial dapat mengungkapkan gangguan keseimbangan

ventilasi-perfusi dan hipoksia pada sirosis hepatis. (Brunner, 2001).

Adanya anemia gangguan faal hati ( penurunan kadar albumin

serum, peninggian kadar bilirubin direk indirek, penurunan enzim,

kolenetrase, serta peninggian SGOT & SGPT (Mansjoer, 2001).

Menurut www.wikipedia.org.com pemeriksaan cairan asites

dilakukan untuk mengetahui adanya bakteri infeksi, untuk menentukan


terapi yang tepat dan untuk mengetahui kandungan dari cairan asites

tersebut.

8. Penatalaksanaan

a. Bed rest sampai ada perbaikan ikterik dan demam.

b. Diet rendah protein diet hati III : Protein 1g/kg bb, 55g protein, 200

kalori), bila ada asites diberikan diet rendah garam II (600-800 mg) atau

III (1000-2000 mg). Bila proses tidak aktif, diperlukan diet tinggi kalori

(2000-3000) dan tinggi protein (80-125g/hari).

c. Bila ada tanda-tanda prekoma atau koma hepatikum, jumlah protein

dalam makanan dihentikan (diet hati I )untuk kemudian diberikan sedikit

demi sedikit sesuai toleransi dan kebutuhan tubuh. Pemberian protein

yang melebihi kemampuan klien atau meningginya hasil metabolisme

protein dalam darah viseral dapat mengakibatkan timbulnya koma

hepatikum. Diet yang baik dengan protein yang cukup perlu diperhatikan.

d. Mengatasi infeksi dengan antibiotik, dengan pengunaan obat-obatan

yang jelas tidak hepatotoksik.

e. Memperbaiki keadaan gizi, bila perlu dengan memberikan asam

aminoesensial berantai cabang dan glukosa.

f. Pemberian robboransia. Vitamin B kompleks.

Menurut Waspandji (1987), penatalaksanaan asites dan edema adalah :

a. Istirahat dan diet rendah garam, dengan istirahat dan rendah garam

(200-500 mg per hari), kadang-kadang asites dan edema telah teratasi.

Ada kalanya harus disertai dengan pembatasan cairan selama 24 jam,

hanya sampai 1 liter atau kurang.

b. Bila dengan diet dan istirahat tidak teratasi, diberikan pengobatan

deuretik berupa Spironolakton 50-100 mg/hari (awal) dan dapat


ditingkatkan sampai 300 mg per hari bila setelah 3-4 hari tidak ada

perubahan.

c. Bila terjadi asites refrakter (asites yang tidak dapat diatasi dengan terapi

medikamentosa yang intensif), dilakukan terapi parasentesis.

Parasentesis merupakan cara pengobatan asites yang tergolong kuno

dan sempat ditinggalkan dengan berbagai komplikasinya, namun

sekarang banyak dicoba untuk digunakan kembali. Pada umumnya

parasentesis aman digunakan bila disertai dengan infus albumin,

sebanyak 6-8 gr untuk setiap liter cairan asites, atau dapat digunakan

cairan dextran 70%.

Pengendalian cairan asites, diusahakan dengan penurunan 1 kg berat

badan per 2 hari, atau keseimbangan cairan negatif 600-800 ml/hari.

Hati-hati dalam pengeluaran cairan asites, bila cairan terlalu banyak

dikeluarkan dalam satu waktu, dapat mencetuskan encefalopati hepatik.

(Mansjoer 2001).

d. Terapi konservatif

Terapi untuk asites ringan , dicoba dulu dengan diet rendah garam.

Apabila gagal maka penderita harus dirawat dan dicoba lagi pemberian

diet rendah garam (20-5 mEq Na/hari). Asupan air dibatasi hanya

apabila ada hiponatremi (Na plasma x 130 mEq/1).

e. Deuretik

Lebih kurang 20% asites dapat diatasi dengan diet rendah garam saja

selama 3 hari. Sisanya 80% diberikan deuretik untuk memblokir semua

pertahanan natrium ginjal.

f. Spironolakton

Spironolakton adalah suatu inhibitor kompetitif terhadap

mineralokortikoid, maka tidak akan bekerja efektif bila kadar aldosteron


tidak ada. Efek natriuretik dan retensi natrium dapat dititrasi terhadap

kadar mineralokortikoid dalam sirkulasi.

Sekitar 60% penderita yang memerlukan spironolakton saja, sisanya

sekitar 20% memerlukan deuretik yang lebih kuat. Diperkirakan 15%

berhasil.

g. Terapi lain

Sebagian kecil saja penderita Sirosis hepatis yang tidak berhasil dengan

terapi konsrvasif. Terdapat penderita yang mengalami ganguan fungsi

ginjal sesudah pemberian deuretik. Penderita ini umumnya telah ada

dalam keadaan terminal, walaupun asites mungkin dapat dikurangi, tapi

tidak akan mempengaruhi perjalanan penyakit yang terus memburuk..

Metode atau obat-obatan yang biasa digunakan pada sirosis hepatis adalah :

a. Albumin

b. Parasentesis

c. Infus cairan asites

Cairan infus Dextrose 10% dan digabung bersama pemberian

furosemid.

d. Le Ve Shunt

Dengan alat ini cairan asites dialirkan langsung dari kompartement

peritoneal masuk ke vena jugularis. Selain manfaat, terdapar berbagai

macam komplikasi sehingga shunt terpaksa dicabut. Mortalitas operasi ±

20%.

e. Portocaval shunt

Pernah dilaporkan dapat mengurangi asites, namun karena tingginya

mortalitas, encepalopati dan gagal jantung maka sekarang jangan

dilakukan.

f. Penghambat beta
Bagi penderita yang mengalami gagal ginjal setelah pemberian

spironolakton atau deuretik, apabila setelah 5 hari sesudah deuretik

diberikan tetap dalam keadaan gagal ginjal, dapat dicoba dengan

pemberian beta bloker untuk mencegah pelepasan renin ginjal. Aktivitas

beta bloker nyata apabila terdapat penurunan nadi 15-20%. Propanolol

dapat diberikan 160 mg perhari dengan memperhatikan kemungkinan

intoksikasi, karena metabolisme obat dalam hati.

Umumnya beta bloker jarang sekali diperlukan, dengan

menghentikan deuretik untuk sementara waktu dan kemudian diberikan

lagi dalam takaran yang lebih rendah, hasilnya cukup memuaskan.

(Waspandji, 1987).

Menurut Engram (1999), bila terdapat varises esofagus dan

perdarahan, dilakukan skleroterapi endoskopik, transfusi darah, infus IV

dari vasopresin atau propanolol.


B. Konsep Asuhan Keperawatan Klien Dengan Sirosis Hepatis

1. Pengkajian menurut (Doenges, dkk 2000)

a. Identitas meliputi nama, umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku

bangsa, alamat dan tanggal masuk Rumah Sakit

b. Data dasar pengkajian klien secara biopsikososiospiritual.

1) Aktivitas atau istirahat, adanya kelemahan, kelelahan, letargi,

penurunan masa otot atau tonus

2) Sirkulasi

Riwayat perikarditis, penyakit jantung rematik, kanker (tidak

berfungsinya hati menyebebkan gagal hati), disritmia, distensi

pembuluh darah perut

3) Eliminasi

Flatus, distensi abdomen, hepatomegali, splenomegali, asites,

penurunan atau tidak adanya peristaltik usus, feses warna tanah

liat, melena, urine gelap dan pekat

4) Makanan atau cairan

Anoreksia, tidak toleran terhadap makanan, mual, muntah,

penurunan BB, edema umum pada jaringan, nafas berbau,

perdarahan gusi.

5) Neurosensori

Perubahan kepribadian, penurunan mental, bingung, bicara

lambat, tidak jelas atau koma

6) Nyeri atau kenyamanan

Nyeri tekan abdomen atau nyeri dikuadran kanan atas, pruritis,

neuronefritis perifer
7) Pernapasan

Dispneaa, takipnea, pernapasan dangkal, bunyi nafas tambahan,

ekspansi paru terbatas, hipoksia

8) Keamanan

Pruritus, demam, ikterik, eritema palmaris, ptechie

9) Seksualitas

Gangguan menstruasi, impotens, atrofi testis, ginekomastia,

kehilangan rambut pada dada, bawah lengan dan pubis.

c. Aspek psikologis

Konsep diri, keadaaan emosional, pola interaksi, mekanisme

kopping.

d. Aspek sosial

Hubungan yang berarti, budaya keluarga, lingkungan keluarga

e. Aspek spiritual

Agama, keyakinan tentang sehat dan sakit, nilai kegiatan agama

f. Tingkat pengetahuan klien tentang penyakit

g. Pemeriksaan fisik

Pada klien dengan sirosis hepatis dapat dilakukan dengan

pemeriksaaan, observasi adanya asites, ikterus pada kulit dan

sklera, terdapat spider nevi terutama pada kulit dan punggung, bahu,

leher, dada, dan ekstrimitas bawah serta adanya eritema palmaris.

Selain itu dilakukan pada pengukuran berat badan, tinggi badan dan

lingkar perut
h. Pemeriksaan penunjang

Hasil pemeriksaan yang dilakukan pada klien dengan sirosis hepatis

diantaranya adalah urine akan ditemukan urobilirubinogen dan

bilirubin. Sedangkan pada feses ditemukan adanya peningkatan

sterkobilinogen. Pada pemeriksaan darah ditemukan adanya

leukopenia, trombositopenia, dan waktu protrombim yang

memanjang. Pemeriksaan lain melalui ultrasonografi, endoskopi,

esofaguskopi, dan dilakukan biopsi hati.

2. Diagnosa keperawatan

1) Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan diet

tidak adekuat, ketidakmampuan untuk memproses atau mencerna

makanan , anoreksia, mual atau muntah.

2) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan

mekanisme regulasi, kelebihan natrium atau masukan cairan

3) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan sirkulasi,

adanya edema, asites.

4) Resiko terhadap pola nafas tidak efektif berhubungan terhadap

cairan intrabdominal, penurunan ekspansi paru.

5) Resiko perdarahan berhubungan dengan hipertensi portal dan

gangguan faktor pembekuan darah

6) Resiko perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan

psikologis, peningkatan kadar amonium serum.

7) Gangguan body immage berhubungan dengan gangguan

penampilan fisik.
8) Kekurangan pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan

pengolahan berhubngan dengan ketidakbiasaan terhadap sumber-

sumber informasi atau kekurangan informasi

3. Perencanaan

1) Perubahan nutrisi tidak adekuat berhubungan dengan diet tidak

adekuat, kemampuan untuk memproses dan mencerna makanan,

anoreksia

Tujuan : Kebutuhan klien terpenuhi dengan kriteria klien

menunjukkan kenaikan berat badan dan tidak ada tanda malnutrisi

Intervensi :

a) Hitung diet makanan dengan jumlah kalori

Rasional : Menyediakan informasi tentang kebutuhan dan

kekurangan intake

b) Bandingkan perubahan status cairan, riwayat berat sebelumnya

dengan pengukuran kulit trisep

Rasional : Sulit untuk menggunakan indikator berat langsung

maka, indikator status nutrisi dapat dilihat adanya edema

dan asites, lipatan kulit trisep diukur untuk membantu

perubahan tonus otot dan cadangan lemak subkutan

c) Jelaskan klien tentang alasan tipe diet yang diberikan

Rasional : Makanan penting untuk mendukung kesembuhan dan

mungkin berbeda dengan selera

d) Berikan makanan porsi kecil dan sering

Rasional : Toleransi kurang untuk makanan yang banyak, mungkin

tiba-tiba dapat meningkatkan tekanan abdominal atau asites


e) Batasi intake kopi, produksi gas, berbumbu, trerlalu panas dan

terlalu dingin

Rasional : Mengurangi iritasi lambung atau atau diare dan

ketidaknyamanan perut yang mungin kelemahan pencernaan.

f) Sediakan subtansi garam jika diizinkan, menghindari

amonium,.

Rasional : Subtansi garam menambah rasa makanan dan

meningkatkan nafsu makan. Amoniak memeberi resiko

encefalopati

g) Sediakan makanan lembut atau terlalu kasar jika diindikasikan

Rasional : Hemorargi dari varises esofagus dapat terjadi dalam

kemajuan sirosis

h) Sediakan perawatan mulut sebelum makan

Rasional : Klien cenderung cemas, gusi berdarah dan gigi busuk

yang menambah anoreksia

i) Monitor laboratorium seperti serum glukose, albumin, protein

dan amoniak

Rasional : Mengetahui gangguan metabolisme

j) Konsul dengan ahli gizi untuk menyediakan diet tinggi kalori,

karbohidrat sederhana, rendah lemak, sedang sampai tinggi

protein, pembatasan garam dan cairan

Rasional : Tinggi kalori karena klien kekurangan intake dan selalu

terbatas. Lemak sedikit diabsorbsi karena disfungsi hati

menyebabakan rasa tidak nyaman di perut. Protein untuk

memperbaiki serum protein untuk mengurangi edema dan

regenerasi sel hati


k) Laksanakan pengobatan sesuai indikasi seperti suplemen dan

vitamin, tiamin, Fe, Zn dan anti emetik

Rasional : Klien selalu kekurangan vitamin karena diet sedikit dan

kerusakan hati sehingga menyebabkan anemia. Zn dapat

meningkatkan stimulasi sklera. Anti emetik digunakan dengan hati-

hati untuk mengurangi dan meningkatkan intake oral

l) Anjurkan menghentikan merokok

Rasional : Menurunkan rangsangan gaster berlebihan dan resiko

iritasi dan perdarahan.

2) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan

mekanisme regulasi, kelebihan natrium dan berkurangnya protein

plasma

Tujuan : Keseimbangan volume cairan terpenuhi dengan kriteria

turgor kulit baik, elektrolit dalam batas normal

Intervensi :

a) Ukur input dan output, menimbang setiap hari dan mencatat

peningkatan lebih dari 0,5 kg /hari

Rasional : Mengetahui keadaan volume cairan

b) Monitor tekanan darah

Rasional : Tekanan darah yang meninggi selalu berhubungan

dengan berlebihnya volume.

c) Menilai suhu perifer atau edema

Rasional : Perubahan cairan jaringan, hasil dari sodium dan

retensi, penurunan albumin dan peningkatan ADH.

d) Ukur lingkar perut


Rasional : Menggambarkan akumulasi cairan atau karena

kehilangan protein plasma

e) Monitor serum albumin dan elektrolit (potasium partikel dan

sodium)

Rasional : Penurunan serum albumin, mempengaruhi tekanan

plasma koloid osmotik menyebabkan edema

f) Batasi cairan dan sodium sesuai indikasi

Rasional : Sodium dibatasi untuk mengurangi retensi cairan

dalam ekstra vaskuler. Pembatasan penting untuk koreksi cairan

natremi

g) Atur garam albumin bebas atau perluasan sesuai indikasi

Rasional : Albumin digunakan untuk meningkatkan tekanan

osmotik koloid dalam vaskuler (pengambilan cairan dari ruang

vaskuler), menurunkan bentuk asites

h) Atur pengobatan seperti spirolakton, potasium, obat inotropik

Rasional : Penggunaan spironolakton yang hati-hati untuk

mengontrol edema dan asites, berefek menghalangi aldosteron

dan meningkatkan ekskersi air. Potasium biasa habis karena

penyakit hati hilang bersama urin. Obat inotropik meningkatkan

kardiak output memperbaiki fungsi dan aliran darah ginjal, teerapi

mengurangi kelebihan cairan.

3) Resiko tinggi terhadap perdarahan berhubungan dengan gangguan

faktor pembekuan, hipertensii portal

Tujuan : Menurunkan resiko perdarahan dan mempertahankan

homeostasis dengan tanpa perdarahan

Intervensi
a Observasi warna, konsistensi dan banyaknya tinja

Rasional : Mendeteksi adanya perdarahan saluran

perdarahan

b) Observasi gejala cemas, lambung penuh dan kelemahan

Rasional : Mungkin mengindikasikan tanda yang lambat dari

perdarahan dan syok

c) Observasi perdarahan seperti ekimosis, epitaksis, ptekie dan

perdarahan gigi

Rasional : Untuk mengindikasikan mekanisme pembekuan darah

d) Laporakan tanda-tanda vital dengan dengan interval tertentu

Rasional : Sebagai dasar menjelaskan hipovolemi dan syok

e) Jaga ketenangan dan batasi aktivitas

Rasional : Meminimalkan resiko perdarahan dan ketegangan

f) Beri Vitamin K sesuai order

Rasional : Meningkatkan pembekuan yang berasal dari Vitamin

dalam lemak yang penting untuk mekanisme pembekuan

g) Beri intake makanan tinggi Vitamin C

Rasional : Meningkatkan proses penyembuhan

h) Gunakan sikat gigi lunak atau lembut

Rasional : Mencegah trauma mukosa mulut sampai terjadi

pererbaikan oral higiene

i) Gunakan ukuran jarum suntik kecil untuk injeksi

Rasional : Meminimalkan kehilangan darah dari pengulangan

injeksi
4) Gangguan body image gambaran diri berhubungan dengan

gangguan fisik, perubahan fungsi peran

Tujuan : Body image klien meningkat dengan kriteria secara verbal

mengerti perubahan diri dan menerimanya

Intervensi :

a) Diskusikan keadaanya dan jelaskan penyakit serta gejalanya

Rasional : Klien sensitif terhadap perubahan tubuhnya dan

merasa bersalah jika penyebabnya berhubungan dengan

alkohol, dengan penjelasan itu ia akan paham dan mengerti

b) Beri support dan perawatan dengan sikap bersahabat

Rasional : Membantu klien merasa bernilai seperti orang dan

lebih bersahabat

c) Libatkan keluarga dalam perawatan

Rasional : Membantu merasa berguna dan meningkatkan

kepercayaan

d) Libatkan konselor atau psikistri

Rasional : Membantu memecahkan klien

5) Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan

dengan turgor kulit buruk, penonjolan tulang, adanya edema dan

asites, akumulasi garam empedu pada kulit, gangguan sirkulasi atau

status metabolik

Tujuan : Klien dapat mempertahankan integritas kulit,

mengidentifikasi faktor resiko dan menunjukkan faktor perilaku atau

teknik untuk mencegah kerusakan kulit

Intervensi :

a) Lihat permukaan kulit atau tekanan secara rutin.


Rasional : Edema jaringan lebih cenderung untuk mengalami

dekubitus asites dapat juga meregangkan kulit sampai pada titik

robekan pada Sirosis hepatis

b) Tinggikan ekstrimitas bawah

Rasional : Menurunkan aliran darah balik vena dan menurunkan

edema pada ekstrimitas

c) Pertahankan sprei kering dan bebas lipatan

Rasional : Kelembaban meningkatkan pruritus dan meningkatkan

resiko kerusakan kulit

d) Gunting kuku jari pendek, berikan sarung tangan bila

diinsikasikan

Rasional : Mencegah klien dari cedera tambahan pada kulit

khususnya pada saat tidur

e) Gunakan kasur bertekanan tertentu, kasur karton telur, kasur

air, kulit domba sesuai indikasi

Rasional : Menurunkan tekanan kulit, memperlancar sirkulasi dan

menurunkan resiko iskemi atau kerusakan jaringan

f) Berikan lotion kelamin, berikan mandi soda kue

Rasional : Mungkin menghentikan gatal sehubungan dengan

ikterik, garam empedu pada kulit

6) Resiko tinggi terhadap pola pernapasan tidak efektif berhubungan

dengan asites, penurunan akumulasi paru, akumulasi sekret serta

penurunan energi dan kelemahan

Tujuan : Mempertahankan pola pernapasan efektif, bebas dispnea

dan sianosis, dengan nilai GDA dan kapasitas dalam rentang

normal.
Intervensi :

a) Awasi kedalaman, frekuensi dan upaya pernapasan

Rasional : Pernapasan dangkal, dispnea, mungkin ada hubungan

dengan hipoksia dan akumulasi cairan dalam abdomen

b) Selidiki perubahan tingkat kesadaran

Rasional : Perubahan kesadaran merupakan indikasi hipoksemia

dan gagal nafas, yang sering disertai koma hepatik

c) Pertahankan kepala tempat tidur tinggi

Rasional : Memudahkan pernapasan dengan meminimalkan

tekanan pada diagfragma dan meminimalkan ukuran aspirasi

sekret

d) Awasi suhu, catat adanya menggigil, meningkatnya warna atau

perubahan sputum

Rasional : Menunjukkan timbulnya infeksi contohnya pneumonia

e) Kolaborasi pemeriksaan GDA, ukur kapasitas vital dan foto

dada

Rasional : Menyatakan perubahan status pernafasan

f) Berikan tambahan O2 sesuai indikasi

Rasional : Mencegah hipoksia, ventilasi mekanik sesuai kebutuhan

g) Siapkan prosedur parasintesis

Rasional : Kadang-kadang dilakukan dengan membuang cairan

asites bila pernapasan tidak adekuat

h) Siapkan untuk pirau peritoneovena

Rasional : Bedah penanaman kateter untuk mengembalikan,

akumulasi dalam abdomen ke sistem sirkulasi melalui vena kava


7) Resiko tinggi terhadap perubahan proses pikir berhubungan dengan

perubahan fisiologis, peningkatan kadar amonia serum,

ketidakmampuan hati untuk mendetoksikasi enzim atau obat tertentu.

Tujuan : Mempertahankan tingkat mental atau orientasi kenyataan

Intervensi :

a) Observasi perubahan perilaku mental contoh letargi, snomnolen

Rasional : Pengkajian kesadaran penting karena fluktuasi alami dari

koma hepatikum

b) Catat adanya foetur hepatikum dan aktivitas kejang

Rasional : Menunjukkan kadar amonia serum, peningkatan beresiko

encefalopati

c) Konsul pada orang terdekat tentang perilaku klien dan mental klien

Rasional : Memberikan dasar perbandingan status kesadaran klien

saat ini

d) Orientasikan klien waktu, orang dan tempat sesuai kebutuhan

Rasional : Membantu dalam mempertahankan terhadap orientasi

kenyataan, menurunkan bingung dan ansietas

e) Pertahankan aktivitas tirah baring dan bantu aktivitas perawatan

klien

Rasional : Menurunkan kebutuhan metabolik hati, mencegah kelelahan

dan meningkatkan penyembuhan

f) Awasi pemeriksaan laboratorium contoh amonia, pH, BUN,

glukosa, darah lengkap dengan diferensial

Rasional : Peningkatan kadar amonia, hipokalemi, alkalosis

metabolik, hipoglikemi, anemia dan infeksi dapat mencetuskan atau

berpotensi menjadi koma hepatik

g) Bebaskan atau batasi diet protein


Rasional : Protein nabati lebih bisa ditoleransi dari protein hewani

8) Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar), tentang kondisi, prognosis

dan kebutuhan pengobatan

Tujuan : Menyatakan pemahaman proses penyakit, menghubungkan

gejala dan faktor penyebab, melakukan perubahan pola hidup dan

berpartisipasi dalam perawatan

Intervensi :

a) Kaji ulang proses penyakit atau prognosis dan harapan yang

akan datang

Rasional : Memberikan dasar pengetahuan kepada klien dan dapat

membuat pilihan informasi

b) Tekankan pentingnya menghindari alkohol

Rasional : Alkohol menyebabkan terjadinya Sirosis hepatis

c) Informasikan kepada klien tentang efek gangguan penggunaan

obat pada Sirosis hepatis dan pentingnya penggunaan obat hanya

yang diresepkan

Rasional : Beberapa obat bersifat hepatotoksik

d) Tekankan pentingnya masukan nutrisi yang baik

Rasional : Pemeliharaan diet yang tepat dan menghindari makanan

tinggi amonia, membantu perbaikan gejala dan membantu

mencegah kerusakan hati

e) Tekankan perlunya mengevaluasi kesehatan dan mentaati

program terapeutik

Rasional : Sifat penyakit kronis mempunyai potensial untuk

komplikasi mengancam hidup

f) Tingkatkan aktivitas hiburan yang dapat dinikmati klien


Rasional : Mencegah kebosanan dan meminimalkan ansietas

depresi

4. Pelaksanaan

Pelaksanaan adalah inisiatif dari perencanaan untuk mencapai

tujuan yang spesifik (Nursalam, 2001). Didalam pelaksanaan harus

menyesuaikan dengan kondisi dan kemampuan klien serta rumah sakit

tempat perawat bekerja.

5. Evaluasi

a. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan diet

tidak adekuat, kemampuan untuk memproses dan mencerna

makanan, anoreksia

Evaluasi : Diharapkan klien akan menunjukkan peningkatan berat

badan progresif, nilai laboratorium normal dan tidak mengalami

malnutrisi lebih lanjut.

b. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan

mekanisme regulasi, kelebihan natrium dan berkurangnya protein

plasma

Evaluasi : diharapkan klien akan menunjukkan volume cairan stabil,

dengan keseimbangan pemasukan dan pengeluaran, berata badan

stabil, tanda vital dalam rentang normal dan tak ada edema.

c. Resiko tinggi terhadap perdarahan berhubungan dengan gangguan

faktor pembekuan, hipertensii portal

Evaluasi : diharapkan klien akan mempertahankan homeostasis

dengan tanpa perdarahan dan menunjukkan penurunan perilaku

resiko perdarahan.

d. Gangguan body image gambaran diri berhubungan dengan

gangguan fisik, perubahan fungsi peran


Evaluasi : diharapkan klien akan menyatakan pemahaman akan

perubahan dan penerimaan diri pada situasi yang ada.

e. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan

dengan turgor kulit buruk, penonjolan tulang, adanya edema dan

asites, akumulasi garam empedu pada kulit, gangguan sirkulasi atau

status metabolik

Evaluasi : Diharapkan klien dapat mempertahankan integritas kulit,

mengidentifikasi faktor resiko dan menunjukkan perilaku atau teknik

untuk mencegah kerusakan kulit.

f. Resiko tinggi terhadap pola pernapasan tidak efektif berhubungan

dengan asites, penurunan akumulasi paru, akumulasi sekret serta

penurunan energi dan kelemahan

Evaluasi : Diharapkan klien mampu mempertahakan pola

pernapasan efektif, bebas dispnea dan sianosis, dengan nilai GDA

dan kapasitas vital dalam batas normal.

g. Resiko tinggi terhadap perubahan proses pikir berhubungan dengan

perubahan fisiologis, peningkatan kadar amonia serum,

ketidakmampuan hati untuk mendetoksikasi enzim atau obat

tertentu.

Evaluasi : Diharapkan klien mampu mempertahankan tingkat mental

atau orientasi kenyataan, menunjukkan perilaku atau perubahan

pola hidup untuk mencegah atau meminimalkan perubahan mental.

h. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar), tentang kondisi, prognosis

dan kebutuhan pengobatan

Evaluasi : Diharapkan klien dapat menyatakan pemahaman tentang

proses penyakit atau prognosis, menghubungkan gejala dengan


faktor penyebab, melakukan perubahan pola hidup dan

berpartisipasi dalam perawatan.

i. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik

Evaluasi : Diharapkan klien dapat beraktifitas sesuai dengan

toleransinya baik dengan atau tanpa bantuan sama sekali

j. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif dan

hipoalbumin

Evaluasi : Diharapkan klien tidak mengalami infeksi selama terdapat

terapi invasif dan hipoalbumin

C. Dokumentasi keperawatan

Setelah dilaksanakan kegiatan-kegiatan dalam asuhan keperawatan

mulai dari pengkajian, perumusan diagnosa keperawatan, perencanaan,

pelaksanaan dan evaluasi, perawat harus segera melakukan

dokumentasi hasil pelaksanaan proses keperawatan. Karena itu adalah

sebagai bukti dari pekerjaan keperawatan yang digunakan untuk

mengungkapkan fakta yang akan dipertanggungjawabkan.

Dokumentasi diartikan sebagai pekerjaan mencatat atau merekam

jalannya peristiwa yang dianggap berharga atau penting, otentik serta

rahasia dan sewaktu-waktu dapat digunakan sebagai dasar hukum.

Manfaat dokumentasi adalah sebagai alat komunikasi antar anggota

keperawatan dan antar anggota tim kesehatan lainnya, sebagai

dokumen resmi dalam sistem pelayanan kesehatan dan dapat juga

sebagai alat yang digunakan dalam bidang pendidikan serta sebagai alat

pertanggungjawaban asuhan keperawatan yang telah berikan. (Nasrul

Effendi, 1995).
DAFTAR PUSTAKA

________, 2001, http://www.atoziqhealth.com. Diakses tanggal 06 Agustus


2005

Almatsir, S, 2004, Penuntun Diet, edisi baru, Instalasi diet RS Dr. cipto
Mangunkusumo, Jakarta

Doenges, M .E, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta

Engram, B, 1999, Rencana asuhan Keperawatan, volume 3, EGC, Jakarta

Friedmen, M, 1998, Keperawatan Keluarga, edisi 1, EGC, Jakarta

Gallo, H, 1996, Keperawatan Kritis, volume 2, EGC, Jakarta

Long.C.B, 1996, Perawatan medical Bedah, jilid 3, Yayasan Ikatan alumni


Pendidikan keperawatan, Jakarta

Mansjoer,A, 2001, Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3, Media Aesculapius,


Jakarta

NANDA, 2005, Nursing diagnosis, Philadelphia the assocation, Philadelphia

Nursalam, BSN. 2001. Proses dan Pendokumentasian, edisi 1, Jakarta

Priharjo, R, 1993, Pengkajian Fisik Keperawatan, EGC, Jakarta

Suddart, B, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8, EGC, Jakarta

Waspandji, S, 1987, Ilmu Penyakit Dalam, Balai penerbit , edisi 2, FKUI,


Jakarta

Wiki, M, 2005, http://www.wikipedia.com. Diakses tanggal 06 Agustus 2005.


v

Vous aimerez peut-être aussi