Vous êtes sur la page 1sur 168

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga Buku Ajar Asuhan
Keperawatan dengan Demam Berdarah Dengue dan Pengembangan
Model Preventif dan Promotif di komunitas dapat diselesaikan dengan
baik. Pembahasan materi pada buku ini dilakukan dengan cara
memaparkan landasan teori terkait demam berdarah dengue dan
kemudian dilanjutkan dengan pemaparan asuhan keperawatan terkait
kasus tersebut dengan pendekatan NANDA, NIC dan NOC.

Kami menyadari masih terdapat kekurangan dalam buku ini untuk itu
kritik dan saran terhadap penyempurnaan buku ini sangat diharapkan
untuk di masa yang akan datang. Pada kesempatan ini penyusun
menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
penyusun dalam menyelesaikan bahan ini. Mudah-mudahan buku
ini dapat memberikan manfaat bagi para mahasiswa keperawatan pada
khususnya dan bagi semua pihak yang membutuhkan.

Makassar, 27 Januari 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I 1
DEMAM BERDARAH DENGUE 1

A. Definisi DBD ................................................................. 1

B. Penyebab DBD .............................................................. 2

C. Cara penularan DBD ..................................................... 3

D. Tanda dan gejala DBD .................................................. 4

E. Komplikasi DBD ........................................................... 5

F. Patogenisis DBD............................................................ 5

G. Penatalaksanaan DBD ................................................... 7

H. Pencegahan DBD ........................................................... 8


BAB II SEGITIGA EPIDEMIOLOGI DBD 10

A. Host (manusia) ............................................................. 12

B. Agent ........................................................................... 13

C. Enviroment (lingkungan) ............................................. 15

D. Kontrol terhadap Host, Agent dan Lingkungan........... 17


BAB III MODEL PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH 21

A. Peran Perawat Dalam Pencegahan Demam Berdarah . 30

B. Asuhan Keperawatan Komunitas ................................ 31

C. Asuhan Keperawatan Demam Berdarah pada individu38


BAB IV MODEL PROMOSI KESEHATAN 50
BAB V KONSEP DASAR KEPERAWATAN KOMUNITAS 79

A. Definisi Komunitas ...................................................... 79

B. Komponen Keperawatan Komunitas ........................... 84

C. Caring dalam Konteks Komunitas .............................. 87

D. Kontinuitas Perawatan ................................................. 88

E. Perawatan kolaboratif .................................................. 88


BAB IV ASUHAN KEPERAWATAN KOMUNITAS 91

A. Pengkajian Keperawatan Komunitas ........................... 91

B. Diagnosis Keperawatan Komunitas............................. 96

C. Perencanaan Keperawatan Komunitas ...................... 100

D. Pelaksanaan (Implementasi) keperawatan komunitas102

E. Evaluasi keperawatan komunitas............................... 102


BAB V Aplikasi Asuhan Keperawatan Komunitas DBD 105

A. Pengkajian ................................................................. 105

B. Diagnosis dan Perencanaan ....................................... 108


BAB VI 112
BABVI Gambaran Pelaksanaan Juru Pemantau Jentik DBD 126

A. Latar Belakang Kegiatan ........................................... 126

B. Tujuan Kegiatan ........................................................ 128

C. Sasaran Kegiatan ....................................................... 128

E. Pelaksanaan ............................................................... 135


Daftar Pustaka 152
BAB I

DEMAM BERDARAH DENGUE

Tujuan Pembelajaran

Pada akhir bab ini pembaca akan mampu untuk :


 Menjelaskan

A. Definisi DBD

Demam Berdarah Dengue (DBD) dikenal sebagai mosquite-borne


disease yakni penyakit yang disebabkan oleh nyamuk yang umumnya
terjadi di daerah tropis dan subtropis di dunia. Namun seriring dengan
laju migrasi dan perpindahan penduduk DBD menjadi salah satu
penyakit yang mendapatkan perhatian khusus di selurh dunia. Menurut
Center for Disease Control and Prevention (CDC) (1977), demam
berdarah adalah suatu kondisi demam akut yang ditandai adanya dua
atau lebih gejala berikut: nyeri retroorbital atau okular, sakit punggung,
sakit kepala, ruam, mialgia, artralgia, leukopenia, atau manifestasi
hemoragik (misalnya terdapat tes tourniquet positif, petekia; psurpura /
ekimosis; epistaksis; perdarahan gusi; dan terdapat darah dalam
muntahan, urin, atau tinja).

1
Terdapat pula penjabaran definisi DBD oleh World Health
Organization (WHO) (1997), yakni Demam Berdarah (DF) adalah
penyakit virus demam akut yang sering disertai dengan adanya sakit
kepala, nyeri tulang atau sendi serta nyeri otot, adanya ruam dan gejala
leukopenia pada penderitanya. Lebih lanjut WHO (1977) menjabarkan
bahwa kondisi DBD ditandai dengan empat gejala utama yaitu: demam
tinggi, adanya tanda perubahan hemoragik, sering disertai dengan
hepatomegali dan, dalam kasus yang parah, dapat ditemukan tanda-
tanda kegagalan peredaran darah. Pada kondisi tersebut, penderita dapat
mengalami hal yang fatal dan mengacam jiwa akibat terjadinya syok
hopovolemik akibat kebocoran plasma darah yang seringkali disebut
dengan dengue shock syndrome (DSS) sebagaimana yang juga
dipaparkan oleh Chakraborty (2008) bahwa DBD merupakan penyakit
infeksi menular yang disebabkan oleh virus yang berbahaya karena
dapat menyebabkan penderita meninggal dalam waktu yang sangat
pendek

B. Penyebab DBD

Penyebab dari DBD yaitu virus dengue termasuk genus Flafivirus


dan family Flaviviridae serta memiliki RNA berantai tunggal. Virus
dengue terdiri atas 4 serotipe yaitu virus dengue 1 (DEN-1), virus
dengue 2 (DEN- 2), virus dengue 3 (DEN-3), dan virus dengue 4 (DEN
-4), yang diklasifikasikan oleh Albert Sabin pada tahun 1944
(Chakraborty, 2008). Orang yang tinggal di daerah endemis DBD dapat
terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Sejak tahun 1975,
dibeberapa rumah sakit yang ada di Indonesia memiliki 4 serotipe, tetapi
serotipe DEN-3 paling dominan dan diasumsikan memiliki gejala yang
paling berat setelah terinfeksi (Depkes RI, 2004). Sebagian besar virus
ini ditularkan oleh arthropoda (nyamuk) sehingga disebut juga sebagai
arbovirus (virus bawaan arthropoda).

2
C. Cara penularan DBD

Terdapat 3 (tiga) faktor yang dapat menyebabkan penyakit DBD,


diantaranya yaitu faktor manusia, virus, dan vektor perantara (nyamuk).
Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypti.
Nyamuk Aedes aegypti adalah vektor utama demam berdarah. Virus ini
ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk betina yang terinfeksi.
Setelah inkubasi virus selama 4-10 hari (WHO, 2017) atau 3-14 hari
(Chakraborty, 2008), nyamuk yang terinfeksi mampu mentransmisikan
virus selama sisa hidupnya. Hal ini disebabkan karena nyamuk aedes
aegypti dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia
yang sedang mengalami viremia (positif terinfeksi virus dengue) dan
nyamut tersebut mampu menularkan virus dengue setelah 8 sampai 12
hari virus berkembang biak dalam kelenjar ludah yang dikenal sebagai
extrinsic incubation period), kemudian nyamuk yang sudah terinfeksi
virus dengue bisa menularkan ke manusia lain yang bukan bersifat
viremik (Chakraborty, 2008).

Gambar 1. Cara penularan virus dengue (Chakraborty, 2008

3
Nyamuk aedes aegypti menggigit sepanjang hari - terutama pagi dan
malam hari. Setelah menggigit, nyamuk aedes aegypti betina dapat
bertelur saat bertemu dengan wadah yang mengandung air. Telur
menetas menjadi 'wrigglers' atau larva, yang berkembang menjadi
nyamuk dewasa selama satu atau dua minggu.

D. Tanda dan gejala DBD

Tanda dan gejala penyakit DBD yaitu sangat bervariasi berdasarkan


usia. Pada anak-anak sangat rentan terhadap demam berdarah.
terkadang anak hanya memiliki suhu tubuh yang tinggi tetapi tidak
menimbulkan gejala khas yang lain. Gejala khas demam berdarah yaitu
suhu tubuh yang tinggi saat awal terinfeksi kemudian menurun
sementara waktu dan tiba-tiba suhu tubuh menjadi sangat tinggi lagi.
Gejala ini disertai dengan sakit kepala berat, nyeri otot, nyeri tulang
atau nyeri sendi, mual dan muntah, dan timbul ruam (kemerahan), serta
hingga mengalami perdarahan kulit (Chakraborty, 2008). Sedangkan
menurut CDC (2017) karakterisktik demam berdarah dengue yaitu
demam yang berlangsung 2-7 hari, terdapat bukti manifestasi
hemoragik atau dengan adanya hasil tes tourniquet positif, terjadinya
trombositopenia (≤100.000/mm3) dan bukti kebocoran plasma yang
ditunjukkan oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit ≥20% di
atas rata-rata usia atau penurunan hematokrit ≥20% setelah terapi
penggantian cairan), atau efusi pleura, atau asites atau hipoproteinemia.
Gejala awal demam berdarah dengue biasanya dimulai sekitar empat
sampai tujuh hari setelah infeksi awal. Gejala umumnya dan khasnya
berlangsung sekitar 7 hari dan bisa meliputi: demam mendadak,
kelelahan, sakit kepala hebat (terutama dibalik mata), nyeri otot dan
sendi (pergelangan kaki, lutut dan siku), kehilangan nafsu makan,
muntah, diare, sakit perut, kulit memerah pada wajah dan leher, ruam
merah pada lengan dan kaki, gatal, kulit mengelupas dan rambut

4
rontok, perdarahan ringan (hidung atau gusi) dan periode menstruasi
yang berat (Queensland Health, 2017).

E. Komplikasi DBD

Komplikasi demam berdarah dengue meliputi syok (kolaps dari


kehilangan cairan internal) dan perdarahan (perdarahan berat). Anak-
anak umumnya memiliki risiko komplikasi berat yang lebih besar,
(meskipun gejala awal umumnya ringan tapi termasuk demam
tinggi),sehingga perlu diwaspadai tanda-dan gejalanya agar segera
mendapat penangan yang tepat. Selain itu, DBD yan parah adalah
komplikasi yang berpotensi mematikan akibat adanya kebocoran
plasma, akumulasi cairan, gangguan pernapasan, pendarahan hebat, atau
gangguan organ. Tanda peringatan terjadi 3-7 hari setelah gejala
pertama meliputi: sakit perut parah, muntah terus-menerus, pernapasan
cepat, gusi berdarah, kelelahan, gelisah dan darah di muntahan. 24-48
jam berikutnya dari tahap kritis yang dapatmengancam nyawa;
Perawatan medis yang tepat diperlukan untuk menghindari komplikasi
dan risiko kematian (WHO, 2017).

F. Patogenisis DBD

WHO (2013) telah membagi secara singkat tentang patogenesis


demam berdarah dalam 3 fase yaitu fase demam (dimulai pada saat
timbulnya gejala awal), fase kritis (dimulai pada saat suhu tubuh
mengalami penurunan dan kembali normal), dan fase pemulihan
(dimulai pada saat tidak terjadi lagi pemecahan plasma).
Untuk fase demam, disebut juga sebagai fase febrile yang
melibatkan demam tinggi yang berpotensi diatas 40oC dan berhubungan
dengan dua gejala berikut yaitu sakit kepala parah, nyeri di belakang
mata, nyeri otot dan sendi, mual, muntah, kelenjar bengkak atau ruam.
Gejala biasanya berlangsung selama 2-7 hari, setelah masa inkubasi 4-
10 hari setelah gigitan nyamuk yang terinfeksi (WHO, 2017). Ruam

5
terjadi pada 50-80% orang dengan gejala pada hari pertama atau kedua,
gejala seperti kulit memerah. Beberapa petechiae (bintik merah kecil
yang tidak hilang saat kulit ditekan, yang disebabkan oleh kapiler yang
rusak) juga dapat muncul pada fase ini (Fried, 2010).

Gambar 2. Fase-fase patogenesis DBD (WHO, 2013)

Fase selanjutnya yaitu fase kritis (critical phase) dimana ditanda


dengan penurunan demam atau penurunan suhu tubuh. Selama periode
ini, dapat terjadi kebocoran plasma dari pembuluh darah yang biasanya
berlangsung satu sampai dua hari. Hal ini dapat menyebabkan
akumulasi cairan di dada dan rongga perut serta penipisan cairan dari
sirkulasi dan penurunan suplai darah ke organ vital. Pada fase ini juga
dapat terjadi disfungsi organ dan pendarahan hebat, yang biasanya
terjadi di dari saluran cerna (CDC, 2014). Shock (dengue shock
syndrome) dan perdarahan (demam berdarah dengue) terjadi pada
kurang dari 5% kasus demam berdarah, namun perlu diwaspadai bagi
penderita yang sebelumnya telah terinfeksi dengan serotipe virus
dengue lainnya ("infeksi sekunder") karena hal itu dapat menjadi salah
satu peningkatan risiko. Fase kritis yang berujung komplikasi ini dapat
dicegah dengan penanganan yang tepat.

6
Gambar 3: Fase infeksi pada DBD (CDC, 2014)

Fase selanjutnya yaitu fase pemulihan dengan penyerapan cairan


yang bocor ke dalam aliran darah. Fase ini juga disebut dengan fase
reabsorbsi yang umumnya berlangsung dua sampai empat hari. Adapun
fase ini dtandai dengan penyerapan kebocoran plasma dan pendarahan,
stabilisasi tanda-tanda vital, penyerapan kembali cairan yang
terakumulasi, dan peningkatan selera makan dari si penderita. Namun
perlu diwaspadai, kemungkinan terjadinya komplikasi pada fase ini
yaitu terjadinya overload cairan intravaskuler (CDC, 2014).

G. Penatalaksanaan DBD

Adapun penatalaksanaan dilakukan untuk mengurangi gejala DBD


(WHO, 1997) diantaranya:.
1) Penurunan demam dengan melakukan kompres dan pemberian
paracetamol untuk menurunkan demam. Penggunaan salisilat
lainnya seharusnya tidak diberikan karena bisa menyebabkan
perdarahan dan menyebabkan iritasi lambung dan asidosis.
2) Terapi rehidrasi oral harus diberikan pada tahap awal demam.

7
3) Pasien harus segera diurus ke rumah sakit jika ada bukti
perdarahan
4) Rujuk ke rumah sakit atau pusat kesehatan untuk
penatalaksanaan pemberian cairan intravena jika suhu tubuh
menurun, ektremitas dingin, dan bila pasien terlihat gelisah.

H. Pencegahan DBD

Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan


demam berdarah. Hal yang terpenting adalah dengan menghindari gigitan
nyamuk, sehingga beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menghindari
gigitan nyamuk diantaranya:
1) Menggunakan obat pengusir serangga/ anti nyamuk
2) Menggunakan kelambu/ tirai saat tidur
3) Sadar akan lingkungan untuk mengurangi populasi nyamuk
4) Menggunakan pakaian lengan panjang dan celana panjang
5) Pastikan bahwa jendela dan pintu aman, dan lubang apapun
diberikan penyaring/pelindung
6) Mengurangi populasi nyamuk dengan menyingkirkan peralatan
yang memungkinkan pembiakan nyamuk.

Metode utama pengendalian Aedes aegypti adalah dengan


menghilangkan habitatnya. Hal ini dilakukan dengan menyingkirkan
sumber air terbuka, atau jika hal ini tidak memungkinkan, dengan
menambahkan insektisida atau agen pengendali biologis berupa
penggunaan bahan kimia. Hal ini dapat dilakukan dengan tindakan
penyemprotan. Selain itu, mengurangi penampungan air yang tidak terpakai
metode pengendalian vektor yang cukup mudah dan lebih disukai
mengingat kekhawatiran masih terdapat banyak kekhawatiran terkait
penggunaan insektisida yang merupakan bahan kimia terhadap kesehatan.
Beberapa metode pengendalian nyamuk vektor (WHO, 2017) melalui:

8
a) Mencegah nyamuk memeiliki tempat/wadah untuk bertelur melalui
pengelolaan lingkungan dan modifikasi lingkungan
b) Membuang limbah padat dengan benar, meliputi: mengosongkan
dan membersihkan wadah penyimpanan air secara rutin
c) Menggunakan insektisida atau bahan kimia yang sesuai untuk
wadah penyimpanan air di luar ruangan
d) Meningkatkan partisipasi masyarakat untuk pengendalian vektor
yang berkelanjutan
e) Melakukan penyemprotan saat terjadi wabah DBD sebagai salah
satu tindakan pengendalian vektor darurat
f) Melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap perkembangan
vektor nyamuk
g) Menggunakan vaksin Dengvaxia yang saat ini disetujui untuk
digunakan pada usia 9 sampai 45 tahun yang tinggal di daerah
dengan tingginya tingkat demam dengue. Vaksin diberikan dalam
tiga dosis selama 12 bulan. Dengvaxia mencegah infeksi dengue
sedikit lebih dari separuh waktu (WHO, 2017)

9
BAB II
SEGITIGA EPIDEMIOLOGI DBD

Tujuan Pembelajaran

Pada akhir bab ini pembaca akan mampu untuk :


 Menjelaskan

Demam berdarah dengue merupakan masalah kesehatan yang berkembang


pesat dengan perkiraan 2,5 miliar orang yang berisiko, terutama di Asia Tenggara,
Asia Timur, Karibia, Amerika Tengah dan Selatan, dan juga di Afrika, dimana
penyebaran demam berdarah diperkirakan karena kombinasi beberapa faktor
diantaranya peningkatan urbanisasi, pertumbuhan penduduk, migrasi dan
perjalanan internasional dan sulitinya dalam pengendalian vektor (Whitehorn &
Farrar, 2010). Dalam beberapa dekade terakhir, peningkatan mobilitas orang
perkotaan dan pedesaan telah meningkatkan jumlah epidemi dan virus yang
beredar. Bahkan demam berdarah, yang dulunya terbatas di beberapa negara di Asia
Tenggara, kini telah menyebar ke negara lain termasuk China dan Amerika.
Diperkirakan 500.000 orang dengan demam berdarah parah memerlukan rawat inap
setiap tahunnya, dan sekitar 2,5% dari mereka yang terkena meninggal (WHO,
2017).

10
Pada epidemiologi penyakit menular, epidemiologic triangle atau
segitiga epidemiologi terdiri dari host (orang yang rentan), agent (agen
eksternal) dan environment (tempat host dan agen berada). Segitiga
epidemiologi membantu kita untuk senantiasa berupaya untuk menjaga
keseimbangan manusia dan alam sehingga tidak memberikan efek
negative atau timbulnya masalah kesehatan (Swarjana, 2017). Untuk
lebih memahami tentang penyebab dan faktor yang mempengaruhi
kejadian DBD, gambar berikut menampilkan triad atau segitiga
epidemiologi yang memegang andil dalam interkasi dan terjadinya
DBD.

Gambar 4: Segitiga epidemiologi

Gambar di atas menggambarkan interaksi dari ketiga komponen


yang ada. Host merujuk pada seorang individu atau kelompok yang
kemungkinan berisiko atau rentan terkena penyakit yang dalam konteks
DBD yakni individu yang rentan terkena DBD. Sementara agent dalam
hal ini merujuk pada faktor baik itu internal ataupun eskternal yang
dapat menyebabkan terjadinya penyakit. Komponen environment
merujuk pada berbagai faktor baik itu faktor fisik, sosial, ekonomi,
emosi dan spiritual) yang dapat meningkatkan atau menjadi
predisposisi seorang individu terjangkit suatu penyakit (Mengistu,
2016). Interaksi antara agent, host, dan faktor lingkungan saling terkait
satu sama lain sehingga pengembangan tindakan promosi atau

11
pendidikan kesehatan masyarakat yang tepat, praktis, dan efektif untuk
mengendalikan atau mencegah DBD memerlukan perhatian khusus
terhadap ketiga komponen tersebut.

A. Host (manusia)

Virus dengue dapat menginfeksi manusia dan beberapa spesies


primata. Manusia merupakan reservoir utama virus dengue di daerah
perkotaan. Beberapa variabel yang berkaitan dengan karakteristik
pejamu adalah umur, pendidikan, pekerjaan, imunitas, status gizi, ras
dan perilaku (Widodo, 2012), termasuki lokasi tempat tinggal.

Umur adalah salah satu faktor utama yang mempengaruhi kepekaan


terhadap infeksi virus dengue. Semua golongan umur dapat terserang
virus dengue, meskipun baru berumur beberapa hari setelah lahir.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Djati, Rahayujati & Raharto,
(2010) didapatkan data bahwa kelompok umur < 12 tahun terhadap
kelompok umur > 45 tahun memiliki resiko terkena DBD sebesar 10
kali lebih besar. Sehingga dapat dikatakan bahwa resiko terkenda DBD
juga bergantu umur dimana dengan semakin mudanya usia, maka
semakin risiko terkena DBD juga akan semakin tinggi.

Imunitas dan status gizi juga akan mempengaruhi transimisi demam


berdarah, karena dengan kurangnya tingkat imunitas dan gizi yang
buruk dapat membuat individu menjadi lebih rentan terhadapt pajanan
penyakit. Meskipun faktor lingkungan cukup memengang peranan
penting, virus juga memegang andil sebagai faktor yang penting saat
transmisi demam berdarah, begitupun jumlah manusia yang rentan dan
adanya kontak antara orang-orang yang rentan tersebut dengan vektor
nyamuk. Baru-baru ini seperti tahun 1940-an, wabah demam berdarah
dilaporkan terjadi di Amerika Serikat. Hal ini disebabkan karena adanya
perubahan iklim, perkembangan nyamuk yang cukup cepat dan akibat
perpindahan penduduk dan kunjungan wisatawan yang cukup besar ke

12
Amerika Serikat. Namun, penularan di Amerika Serikat jarang terjadi
karena tidak ada kontak yang cukup antara manusia yang terinfeksi,
termasuk kontak dengan spesies nyamuk vektor, dan dengan imunitas
yang baik yang mampu mencegah transmisi terjadi. Terkait hal ini. studi
di perbatasan AS-Meksiko, misalnya, menunjukkan bahwa pembatasan
penularan terjadi karena keterbatasan kontak antara host manusia dan
vektor nyamuk yang ditandai dengan kepadatan rumah yang rendah dan
penggunaan air conditioning (AC) serta jendela di perumahan penduduk
(CDC, 2012).

Dengue ditularkan oleh manusia melalui nyamuk Aedes aegypti,


yang ditemukan di seluruh dunia yang merupaka serangga yang
menularkan penyakit atau sebagai vector DBD. Gejala infeksi biasanya
dimulai 4 - 7 hari setelah gigitan nyamuk dan biasanya berlangsung 3 -
10 hari. Selanjutnya, dalam kasus yang jarang terjadi, demam berdarah
juga dapat ditularkan melalui transplantasi organ atau transfusi darah
dari donor yang terinfeksi, dan ada bukti penularan dari ibu hamil yang
terinfeksi ke janinnya. Tapi pada sebagian besar infeksi, yang paling
memegang andil yakni dengan adanya gigitan nyamuk Aedes aegypti.

B. Agent

WHO (2011) menyatakan bahwa penularan virus dengue


bergantung pada faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik meliputi virus,
vector (nyamuk) dan host (manusia). Faktor abiotik meliputi suhu,
kelembaban dan curah hujan.
Virus dengue merupakan penyebab terjadinya penyakit DBD. Virus
dengue termasuk dalam genus Flafivirus dan family Flaviviridae serta
memiliki RNA berantai tunggal. Virus dengue terdiri atas 4 serotipe
yaitu virus dengue 1 (DEN-1), virus dengue 2 (DEN- 2), virus dengue 3
(DEN-3), dan virus dengue 4 (DEN -4), yang diklasifikasikan oleh
Albert Sabin pada tahun 1944 (Chakraborty, 2008).

13
WHO (2013) mengklasifikasikan infeksi virus dengue (lazim
disebut virus demam berdarah) menjadi 2 kategori umum yaitu
Asymptomatic dengue infection or dengue without symptoms and the
symptomatic dengue. Sedangkan infeksi virus dengue dengan gejala (the
symptomatic dengue) dibagi menjadi 3 kelompok yaitu demam dengue
tanpa gejala spesifik, demam dengue dengan demam di tambah 2 gejala
spesifik yakni pendarahan berat, serta demam berdarah dengue dengan
atau tanpa shock syndrome.
DBD ditularkan melalui nyamuk yang terjangkit virus dengue.
Terdapat 2 (dua) tipe nyamuk yang bisa menularkan DBD yaitu nyamuk
Aedes aegypti dan nyamuk Aedes albopictus dengan tingkat efisiensi
yang berbeda. Kedua spesies nyamuk ini sering berkembang biak di
sekitar tempat tinggal manusia dalam hal ini tampungan air yang dibuat
manusia seperti ban bekas dan wadah atau kontainer jenis lainnya
(Chakraborty, 2008). Virus Dengue yang ditularkan oleh nyamuk
Aedes, terutama Aedes Aegypti yang umumnya menggigit pada pagi
hari dan di malam hari, namun tidak menutup kemungkinan dapat
menggigit dan menyebarkan infeksi setiap saat.
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, spesies Aedes lain yang
menularkan penyakit ini meliputi A. Albopictus A. polynesiensis dan A.
scutellaris. Aedes albopictus, merupakan sebuah vektor demam
berdarah yang sangat adaptif dan, oleh karena itu, dapat bertahan di
daerah beriklim dingin sekalipun (WHO, 2017).
1. Aedes aegypti
Aedes aegypti merupakan nyamuk yang berasal dari Afrika dan
sebagai spesies liar yang berkembang biak di hutan tanpa kontak
manusia. Pada tahap selanjutnya, Ae. aegypti berkembang biak
pada Tempat Penyimpanan Air (TPA) seiring dengan perubahan
lingkungan. Pada tahun 1800, Ae. aegypti tersebut menyebar
daerah tropis dan kota-kota pesisir di seluruh dunia. Sesuai
dengan catatan terkait distribusi, Ae. aegypti merupakan spesies

14
kosmotropik antara garis lintang 45 ° LU dan 35 ° S (WHO,
2013).

2. Aedes albopictus
Aedes albopictus termasuk dalam kelompok scutellaris
subgenus Stegomyia. Ae. albopictus berasal dari Asia terutama
Asia Tenggara dan pulau-pulau di Pasifik Barat serta Samudera
Hindia. Namun, selama beberapa dekade terakhir, spesies
tersebut telah menyebar ke Afrika, Asia Barat, Eropa dan
Amerika (Utara dan Selatan) pada awal abad ke-20 (WHO,
2013).

Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk


Aedes aegypti, Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa
spesies yang lain yang kurang berperan. Penularan DBD terjadi melalui
gigitan nyamuk Aedes sp. betina yang sebelumnya telah membawa
virus dalam tubuhnya dari penderita baru. Nyamuk Aedes aegypti sering
menggigit manusia pada pagi dan siang hari (Shidiq, 2010), Vektor virus
dengue berkembang biak di dalam dan sekitar rumah dan, pada
prinsipnya, bisa dikendalikan meskipun tindakan individu dan
masyarakat. Pendekatan pencegahan harus diadopsi dalam memperluas
upaya pengendalian vektor kepada masyarakat yang melakukan tidak
secara rutin diuntungkan dari kontrol vektor terorganisir. Mungkin
diasumsikan bahwa vektor adalah Ae. aegypti, yang makan siang hari,
berada di dalam rumah dan bertelur dalam wadah air buatan.

C. Enviroment (lingkungan)

Penyakit akibat infeksi virus dengue ditemukan tersebar luas di


berbagai negara terutama di negara tropik dan subtropik yang terletak
antara 30° Lintang Utara dan 40° Lintang Selatan seperti Asia Tenggara,
Pasifik Barat dan Caribbean dengan tingkat kejadian sekitar 50-100 juta

15
kasus setiap tahunnya (Djunaedi, 2006). Salah satu faktor risiko
penularan DBD adalah pertumbuhan penduduk yang relatif cepat, dan
akibat adanya mobilisasi penduduk (Chandra, 2010) baik itu antar
negara atau antar daerah. Hal ini bermanifestasi terhadap munculnya
kawasan perumahan yang relatif padat penduduk dengan jarak yang
relative dekat, sehingga kebersihan antar satu rumah akan berdampak
pada rumah lain disekitarnya seperti keberadaan tempat penampungan
air tanaman hias dan sebagainya yang bila tidak dilakukan tindakan 3M
dapat memudahkan berkembangnya jentik nyamuk yang berdampak
pada lingkungan sekitarnya.
Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor penting yang
berkaitan dengan terjadinya infeksi dengue. Lingkungan pemukiman
sangat besar peranannya dalam penyebaran penyakit menular. Kondisi
perumahan yang tidak memenuhi syarat rumah sehat apabila dilihat dari
kondisi kesehatan lingkungan akan berdampak pada masyarakat itu
sendiri. Dampaknya dilihat dari terjadinya suatu penyakit yang berbasis
lingkungan yang dapat menular seperti DBD (Maria, Ishak, & Selomo,
2013)
Virus dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes, yang sangat sensitif
terhadap kondisi lingkungan. Suhu, presipitasi, dan kelembaban sangat
penting untuk kelangsungan hidup nyamuk, reproduksi, dan
perkembangan dan dapat mempengaruhi kehadiran nyamuk dan
kelimpahan. Selain itu, suhu yang lebih tinggi mengurangi waktu yang
dibutuhkan agar virus dapat meniru dan menyebarluaskan nyamuk.
Proses ini, disebut sebagai "masa inkubasi ekstrinsik", harus terjadi
sebelum virus bisa mencapai kelenjar ludah nyamuk dan ditransmisikan
ke manusia. Jika nyamuk menjadi menular lebih cepat karena suhu lebih
hangat, ia memiliki kesempatan lebih besar untuk menginfeksi manusia
sebelum mati (CDC, 2012).
Suhu, curah hujan, dan kelembaban, sering berkorelasi dengan
kejadian demam berdarah. Asosiasi ini, bagaimanapun, tidak

16
menggambarkan kejadian beberapa tahun epidemi besar di daerah ini,
menunjukkan bahwa variabilitas iklim jangka panjang tidak mengatur
pola transmisi jangka panjang. Regulator epidemi yang lebih penting
mungkin merupakan interaksi dari empat serotipe dengue yang berbeda.
Tingkat paparan sebelumnya populasi manusia terhadap masing-masing
serotipe dengue mungkin merupakan penentu yang lebih penting apakah
epidemi besar terjadi daripada siklus iklim.
Secara global, kejadian demam berdarah telah meningkat. Meskipun
iklim dapat berperan dalam mengubah kejadian dan distribusi dengue,
ini adalah salah satu dari banyak faktor; Dengan korelasi buruk dengan
perubahan historis dalam kejadian, perannya mungkin kecil. Faktor
penting lain yang berpotensi berkontribusi terhadap perubahan global
pada kejadian demam berdarah dan distribusi meliputi pertumbuhan
populasi, urbanisasi, kurangnya sanitasi, peningkatan perjalanan jarak
jauh, pengendalian nyamuk yang tidak efektif, dan peningkatan
kapasitas laporan (CDC, 2012).

D. Kontrol terhadap Host, Agent dan Lingkungan

WHO (2017) merekomendasikan program Pengendalian Vektor


Terpadu yang terdiri dari lima elemen:

1. Advokasi, mobilisasi sosial dan peraturan perundang-undangan


untuk memastikan bahwa badan kesehatan masyarakat dan
masyarakat diperkuat;
2. Kolaborasi antara sektor kesehatan dan sektor lainnya (publik
dan swasta)
3. Pendekatan terpadu pengendalian penyakit untuk
memaksimalkan penggunaan sumber daya
4. Pengambilan keputusan berbasis bukti untuk memastikan setiap
intervensi ditargetkan dan dilakukan secara tepat

17
5. Pengembangan kapasitas untuk memastikan respon yang
memadai terhadap situasi yang terjadi

Program pengendalian vektor berusaha mengurangi jumlah nyamuk


dewasa yang bisa menularkan demam berdarah. Tindakan pengendalian
vektor berfokus pada tahap larva dan pupal (tahap perairan) nyamuk,
karena lebih mudah mengendalikan kontainer yang menampung air
tempat mereka berada daripada menyingkirkan nyamuk dewasa. WHO
merekomendasikan penggunaan dua atau lebih pendekatan
pengendalian vektor, yang dikenal sebagai pengendalian vektor terpadu,
untuk meminimalkan hasil negatif seperti resistensi insektisida dan
untuk meningkatkan efektivitas biaya.
Pendekatan yang digunakan dalam pengendalian vektor terpadu
mencakup tindakan pengendalian lingkungan seperti menghancurkan,
membalik, atau mengeluarkan barang yang dapat menumpuk air
(reduksi sumber); mencegah nyamuk memasuki wadah penampung air
sehingga mereka tidak dapat bertelur di dalamnya, dengan memasang
yang ketat. menutupi pembukaan stoples air atau dengan cara lain; atau
memilah-milah dan mengisi ulang wadah penyimpanan air setiap 7 hari
sehingga larva nyamuk dan pupa dilempar saat wadah dikosongkan.
Tindakan pengendalian mekanis mencegah akumulasi air dengan
memodifikasi desain rumah, seperti menghilangkan selokan hujan
dimana air bisa mandek. Pendekatan lain termasuk metode
pengendalian biologis seperti penggunaan ikan guppy atau
Mesocyclops, copepoda, untuk memakan bakteri nyamuk, atau bakteri
Bacillus thuringiensis israelensis (Bti), yang mengeluarkan racun yang
membunuh larva setelah tertelan. Kontrol kimia melalui penggunaan
insektisida, beberapa di antaranya membunuh larva nyamuk dan lainnya
yang membunuh nyamuk dewasa, juga afektif bila digunakan propely
dan dalam kondisi yang sesuai.

18
Metode pengendalian vektor dapat berhasil jika dukungan
administratif dan politik memadai diberikan untuk implementasi penuh
mereka. Pengendalian vektor terpadu saat ini merupakan satu-satunya
cara yang tersedia untuk mengendalikan demam berdarah. Saat ini tidak
ada vaksin untuk mencegah infeksi dan penyakit. Obat spesifik untuk
mengobati demam berdarah dan demam berdarah. Sebagian besar
program bergantung pada tindakan pengendalian lingkungan atau kimia
yang sering dilakukan oleh staf lapangan kontrol vektor, dan upaya
untuk melibatkan penduduk dalam mengurangi jumlah kontainer
penahan air menghadapi banyak hambatan (WHO, 2013).
Hambatan ini termasuk kebutuhan masyarakat untuk menyimpan air
karena air ledeng tidak dapat diandalkan atau tidak tersedia, keengganan
warga untuk membuang berbagai kontroversi karena hal ini dapat
digunakan untuk banyak tujuan lain, kurangnya layanan pengumpulan
sampah yang mengakibatkan akumulasi sampah. pada banyak properti,
dan pendapatan dari recyclin berbagai logam, dan kaca (WHO, 2013).
Lebih lanjut, terdapat beberapa hal spesifik yang dapat dilakukan untuk
mengontrok terjadinya DBD (WHO, 1997) diantaranya:
1. Pengelolaan limbah padat
Untuk pengendalian agent atau vector DBD, upaya
pengelolaan limbah padat yang efektif dan ramah lingkungan
perlu diupayakan. Dalam hal ini bentuk edukasi ataupun
demonstrasi pemanfaatan barang-barang bekas tempat
bersarangnya nyamuk atau tempat berkembanganya larva perlu
diberikan kepada masyarakat agar upaya pengendalian
berkembangnya nyamuk sebagai agent DBD dapat ditekan dari
segi jumlah. Pengelolaan limbah dengan memanfaatkan sistem 3
R yakni: Reduce (mengurangi), Reuse (menggunakan kembali),
dan Recycle (mendaur ulang) perlu dipromosikan secara luas.

2. Penyemprotan bahan kimia

19
Meskipun langkah penyemprotan dikatakan cukup efektif, tetapi
karena terdapat beberapa pertimbangan kesehatan, untuk menekan
jumlah perkembangan nyamuk Aedes aegypti, penyemprotan
umumnya baru akan dilakukan saat terjadi wabah DBD di suatu
lingkungan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat dilakukan
penyemprotan bahan kimia yaitu:
 Gunakan sarung tangan atau masker saat akan melakukan
penyemprotan
 Lindungi barang-barang dari paparan semprotan bahan kimia
 Saat akan menggunakan kembali barang-barang yang telah
terkena paparan semportan bahan kimia, dilakukan pencucian
dengan air dan sabun saat akan kembali digunakan
 Mengubah dan mencuci fasilitas dengan cukup air dan sabun

20
BAB III
MODEL PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH

Tujuan Pembelajaran

Pada akhir bab ini pembaca akan mampu untuk :


 Menjelaskan

Menurut Asmadi (2005) pencegahan penyakit merupakan salah bentuk usaha


yang dilakukan dengan mengadakan beberapa kegiatan yang bertujuan untuk
melindungi seseorang dari penyakit. Pencegahan penyakit meliputi beberapa
kegiatan yang dilakukan untuk mengekang perkembangan peyakit, menghambat
proses kemajuan penyakit, serta melindungi tubuh dari komplikasi yang dapat
timbul akibat suatu penyakit. Strategi pencegahan penyakit Demam Berdarah
(DBD) merupakan bentuk kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok
masyarakat guna menghambat perkembangbiakan vektor penyebab DBD. Strategi
pencegahan DBD telah banyak diupayakan oleh beberapa Negara di dunia termasuk
di Indonesia.

Jumlah penderita DBD setiap tahunnya selalu di data oleh pemerintah.


Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) tahun 2017
mengungkapkan bahwa angka kejadian DBD setiap tahun yang terhitung sejak
tahun 1968 terkadang mengalami peningkatan dan terkadang juga mengalami

21
penurunan. Data yang diperoleh dari Direktorat Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik, Kemenkes RI pada tahun 2014 mencatat
jumlah kasus DBD mencapai 100,347 dan sebanyak 907 kasus diantaranya tidak
tertolong. Data kejadian DBD pada tahun 2015 yang diperoleh sebayak 129,650
kasus dan sebanyak 1,071 kasus tidak tertolong.

Angka kejadian kasus DBD pada tahun 2016 kembali mengalami


peningkatan dengan jumlah kasus sebanyak 202,314 kejadian dan 1,593 kasus
tidak tertolong atau meninggal dunia. Pada tahun 2017 yang terhitung sejak
Januari hingga Mei, tercatat sebanyak 17,877 kasus dengan 115 kasus yang
tidak tertolong.

World Health Organization (WHO) tahun 2012 mengatakan bahwa tujuan


dari strategi pencegahan demam berdarah adalah menurunkan angka kejadian
demam berdarah dengan tujuan spesifik yang meliputi:
1. Menurunkan angka mortalitas demam berdarah pada tahun 2020 dengan
angka penurunan minimal 50%.
2. Menurunkan angka morbiditas demam berdarah pada tahun 2020 dengan
angka penurunan minimal 50%.
3. Mengetahui angka kejadian demam bedarah secara pasti pada tahun 2015.

Peningkatan angka mortalitas dari demam berdarah dapat dicegah dengan


manajamen yang baik meliputi pemeriksanan sedini mungkin, penanganan
rehidrasi yang baik, serta didukung oleh adanya staf rumah sakit yang terlatih.
WHO (2012) mengatakan bahwa untuk menjalankan strategi pencegehan
demam berdarah yang baik, diperlukan koordinasi dan kerja sama dari seluruh
sektor. Beberapa faktor yang dapat mendukung efektifitas pelaksanaan strategi
pencegahan demam berdarah meliputi:
1. Advokasi dan mobilisasi sumber daya yang baik
2. Koordinasi, kemitraan, dan kolaborasi yang baik dari semua sektor
3. Komunikasi yang baik guna mencapai perubahan perilaku menjadi lebih
sehat
22
4. Pembangunan kapasitas yang baik
5. Monitoring dan evaluasi yang dilakukan secara rutin dan berkala.

Strategi lain yang juga dijalankan untuk mencegah penyebaran penyakit


demam berdarah adalah dengan meningkatkan jumlah penelitian terkait
penyakit tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui efektifitas dan efisiensi
dari beberapa tindakan yang telah dilakukan untuk mencegah penyebaran
penyakit demam beradrah.

A.Bentuk Strategi Pencegahan Demam Berdarah

WHO (2002) mengungkapkan bahwa untuk menjalankan strategi


pencegahan demam berdarah diperlukan partisipasi dari masyarakat.
Pemerintah yang bertugas menangani kasus demam berdarah perlu memahami
kepercayaan dan pengetahuan masyarakat terkait penyakit tersebut. Begitu pula
dengan masyarakat yang sebaiknya memiliki pengetahuan dan pemahaman
yang baik tentang penyakit demam berdarah. Hal ini diperlukan demi
kesuksesan jalannya strategi pencegahan demam berdarah. Beberapa bentuk
strategi pencegahan demam berdarah dapat meliputi:
1. Pengendalian lingkungan

Lingkungan tertentu dapat mendukung berkembang biaknya vektor


nyamuk aedes aegypti. Ginanja (2009) mengungkapkan bahwa nyamuk
aedes aegypti menyukai tinggal di genangan air yang bersih dan tidak
bersentuhan langsung dengan tanah. Jika nyamuk aedes aegypti sudah
tinggal digenangan air yang bersih maka ia akan mengembang biakkan
telurnya di genangan tersebut. Beberapa tempat genangan air bersih yang
disukai oleh vektor demam berdarah dapat berupa sisa kaleng bekas, tempat
penampungan air yang terbuka, bak mandi, ban bekas, dan lain sebagainya.

23
Gambar 1. Pengendalian lingkungan yang dapat dilakukan
masyarakat

Pengendalian lingkungan di Indonesia dikenal dengan istilah 3M yang


terdiri dari menguras, menutup, dan mengubur. Kampanye 3M sudah sering
dilakukan dengan maksud agar masyarakat mampu mengendalikan
lingkungan dengan cara menguras bak mandi secara rutin, menutup tempat
penampungan air rumah tangga, serta mengubur barang-barang bekas yang
dapat menjadi tempat tergenangnya air hujan seperti botol, kaleng, atau ban
bekas.

2. Pemberdayaan Masyarakat

Kesadaran masyarakat untuk dapat menjaga lingkungan agar terhindar


dari penyakit demam berdarah sangat diperlukan. WHO (2002)
mengungkapkan bahwa kampanye yang intensif terkait pencegahan demam
berdarah dapat dilakukan untuk mengajak masyarakat berpartisipasi aktif
dalam mengendalikan lingkungan. Dalam kampanye tersebut, masyarakat
dapat diajak untuk melakukan beberapa langkah pencegahan yang meliputi
pemberantasan sumber habitat larva aedes aegypti dengan mengosongkan

24
atau menutup wadah air, membuang materi sampah termasuk ban bekas,
atau mengenakan kelambu.

Pemberdayaan masyarakat untuk mengendalikan penyebaran


penyakit demam berdarah juga telah dilakukan oleh beberapa negara lain.
Negara Mexico mengadakan kampanye pencegahan demam berdarah
dengan sebutan Patio Limpio. Strategi Patio Limpio dibahas oleh artikel
dari Conyer et al (2012) sebagai salah satu upaya pencegahan DBD di
masyarakat. Kampanye Patio Limpio memiliki konsep berupa peningkatan
partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kesadaran tentang DBD. Patio
Limpio merupakan kegiatan yang dilakukan dengan cara melatih
masyarakat agar mampu mengidentifikasi, mengeliminasi, memonitor, dan
mengevaluasi pengembangan vektor dibawah pengawasan pemerintah.

Conyer et al (2012) mengatakan bahwa pelaksanaan strategi Patio


Limpio dimulai dengan mengadakan pertemuan di masing-masing wilayah
untuk meminta kesediaan dan komitmen dari warga setempat untuk
menurunkan angka kejadian DBD. Setelah ada komitmen dari warga
setempat, kemudian akan dipilih 1 orang yang bertanggung jawab atas 1
wilayah. Penanggung jawab dari masing-masing wilayah akan diberikan
pengetahuan tentang DBD, diberikan pemahaman tentang manfaat menjaga
kebersihan rumah, serta dilatih untuk mencegah perkembangbiakan DBD.

Para penanggung jawab terlatih kemudian akan di beri tanggung


jawab untuk menyalurkan pengetahuannya kepada masing-masing keluarga
di wilayahnya. Penanggung jawab kemudian juga diberi tugas untuk
mengunjungi setiap rumah dan melakukan penilaian bulanan yang
kemudian dilaporkan kembali pada pertemuan masyarakat.

25
Gambar 1. Perencanaan Patio Limpio

Allerano et al (2015) dalam penelitiannya menggunakan metode


Focus Group Disccussion (FGD) untuk mengetahui kesadaran pencegahan
DBD di masyarakat Hermosillo, Sonora Mexico. Penelitian yang dilakukan
bertujuan untuk mengkaji pengetahuan dan kepercayaan masyarakat
tentang penularan DBD serta untuk mengetahui strategi pencegahan DBD
yang dilakukan oleh masyarakat Hermosillo.

Penelitian ini dilakukan dengan metode membentuk 6 kelompok FGD


yang meliputi 3 kelompok dari wilayah dengan angka kejadian DBD yang
tinggi dan 3 kelompok dari wilayah dengan angka kejadian DBD yang
rendah. Masing-masing kelompok beranggotakan 6-10 orang yang
bertetangga. Materi yang di diskusikan oleh masing-masing kelompok
meliputi persepsi tentang DBD, kesadaran dan pengetahuan yang dimiliki
tentang DBD, faktor risiko terjadinya penyakit DBD, serta strategi
pencegahan yang dapat dilakukan oleh masyarakat.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Allerano et al (2015) berfokus


pada 2 hal utama yang meliputi kepercayaan masyarakat tentang penularan

26
DBD serta strategi pencegahan yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Hasil
penelitian pertama menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat
mempercayai bahwa penyebaran penyakit DBD disebarkan oleh nyamuk
walaupun masih ada yang beranggapan bahwa DBD dapat ditularkan dari
manusia ke manusia. Hasil penelitian kedua menunjukkan bahwa secara
umum upaya pencegahan yang telah dilakukan oleh masyarakat adalah
dengan menjaga kebersihan rumah seperti kebersihan dalam rumah,
kebersihan halaman atau penggunaan bubuk abate pada tanaman.

Gambar 2. Pelaksanaan Patio Limpio

Negara lain yang ikut menerapkan pemberdayaan masyarakat sebagai


salah satu upaya untuk mencegah DBD adalah negara Cina. Lin et al (2016)
dalam artikelnya juga membahas tentang strategi dalam menurunkan angka
kejadian DBD di Cina. Strategi yang dilaksanakan merupakan strategi ketat
berbasis pemberdayaan masyarakat yang mewajibkan seluruh elemen
masyarakat terlibat dalam pengendalian DBD. Dalam strategi ini digunakan
kolaborasi multi-sektoral dengan sektor kesehatan sebagai penanggung
jawab. Beberapa kegiatan yang dilakukan pada strategi ketat ini meliputi
pemberantasan larva, penggunaan peptisida untuk membunuh nyamuk
dewasa, pendidikan kesehatan, serta kepemimpinan administrasi yang ketat
seperti pengelolaan sumber dana khusus untuk pemberantasan DBD.

27
Strategi pemberantasan ini di awasi oleh Pemerintah Provinsi dan
Kota di Cina dengan membentuk Komite Pengawasan Demam Berdarah
yang khusus bertugas untuk melakukan pengawasan dan pelatihan teknis
pencegahan. Komite ini akan berkoordinasi langsung dengan departemen
kesehatan setempat terkait pelaksanaan strategi pencegahan DBD. Setelah
berkoordinasi, para tenaga kesehatan setempat akan membentuk tim
pengendali khusus di setiap komunitas masyarakat yang bertugas untuk
melaksanakan pengendalian DBD dibawah standar pemerintah. Tim
pengendalian ini juga bertugas untuk melakukan inspeki berkala terhadap
rumah-rumah di wilayahnya, melakukan larvaciding pada berbagai wadah,
melakukan pengendalian nyamuk dewasa, serta memberikan edukasi terkait
pencegahan DBD.

Semua tempat umum termasuk rumah sakit, sekolah, taman, lapangan,


dan lokasi wisata akan disurvei setiap hari terkait adanya kepadatan nyamuk
dan hasilnya dilaporkan kepada departemen kesehatan setempat. Para guru
dan siswa sekolah juga dituntut untuk berpartisipasi pada pelaksanaan
kampanye pencegahan DBD. Bentuk kampanye yang dapat dilakukan di
wilayah sekolah dapat meliputi partisipasi dalam pembuatan drama, lagu,
maupun kuis yang berorientasi pada pencegahan DBD.
3. Pengendalian biologis

Hastuti (2008) dalam bukunya menyebutkan bahwa salah satu bentuk


tindakan pencegahan penyakit demam berdarah yang dapat dilakukan
adalah dengan menggunakan pengendalian biologis. Pengendalian biologis
yang dimaksud seperti menggunakan jenis ikan pemakan jentik atau larva
seperti ikan nila merah, ikan guppy, dan sebagainya.

28
Gambar 3. Penggunaan Guppy Fish untuk memberantas jentik/larva
nyamuk

World Health Organization (WHO). WHO yang bekerja sama dengan


Asian Development Bank (ADB) menerbitkan sebuah buku yang berjudul
Managing Regional Public Goods For Health, Community-Based Dengue
Vector Control tahun 2013. Dalam buku ini disebutkan bahwa salah satu
langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit DBD adalah
dengan mengontrol vektor penyebab DBD.

Program untuk mengendalikan vektor nyamuk DBD dikenal dengan


Integrated Vector Management (IVM) yang berfokus untuk menurunkan
angka penyebaran virus oleh nyamuk dewasa. Strategi IVM berfokus pada
pengendalian larva dan pupa nyamuk. WHO mengatakan bahwa IVM
dilakukan dengan merekomendasikan dua atau lebih pendekatan
pengendalian vektor nyamuk.

29
Pendekatan pengendalian vektor yang dapat dilakukan adalah dengan
menggunakan metode kontrol biologis seperti penggunaan guppy fish yang
dapat memakan larva nyamuk, atau penggunaan bakteri Bacillus
thuringiensis israelensis (Bti) yang dapat melepaskan racun untuk
membunuh larva.

Gambar 4. Penggunaan Bacillus thuringiensis israelensis

A. Peran Perawat Dalam Pencegahan Demam Berdarah


Efendi & Makhfudli (2009) mengatakan bahwa perawat komunitas
memiliki peran sebagai pemberi asuhan keperawatan dengan berfokus sebagai
pendidik atau penyuluh kesehatan, penemu masalah kesehatan di masyarakat,
penghubung dan koordinator di masyarakat, pelaksana konseling keperawatan,
dan sebagai role model di masyarakat. Dalam pencegahan kasus demam

30
berdarah, perawat komunitas memiliki peran sebagai penyuluh atau pemberi
edukasi kesehatan terkait demam berdarah, pelaksana konseling keperawatan
pada kasus-kasus demam berdarah, penghubung antara masyarakat dalam
tindakan pencegahan demam berdarah, serta sebagai role model dalam hal
pengendalian lingkungan.

Audain & Maher (2017) dalam artikelnya menyebutkan bahwa perawat


sebaiknya dilatih untuk dapat menyampaikan informasi ilmiah ataupun medis
dengan menggunakan cara-cara yang dapat dipahami oleh masyarakat. Maka
dalam hal ini perawat memiliki hal penting untuk mengajarkan tentang
pencegahan dan pengendalian vektor penyakit. Perawat juga diharapkan
mampu meningkatkan kesadaran masyarakat agar mau ikut bekerja sama dalam
mencegah penyebaran penyakit demam berdarah.

B. Asuhan Keperawatan Komunitas


Menurut Riasmini et al (2017) asuhan keperawatan komunitas merupakan
bentuk pelayanan keperawatan yang ditujukan langsung kepada masyarakat
dengan berfokus pada kelompok risiko tinggi dalam upaya meningkatkan
derajat kesehatan, mencegah penyebaran penyakit, serta pengobatan dan
rehabilitasi. Proses asuhan keperawatan komunitas bersifat alamiah, sistematis,
dinamis, kontinyu, dan berkesinambungan dalam memecahkan masalah
kesehatan. Tahapan dalam asuhan keperawatan komunitas meliputi:

1. Pengkajian

Dalam pengkajian komunitas ada beberapa data yang perlu dikumpulkan


meliputi data:
a. Data inti komunitas

Data inti dapat meliputi riwayat sebuah penyakit di suatu wilayah atau
komunitas, demografi, tipe keluarga, status perkawinan, statistik vital,

31
nilai dan keyakinan agama. Dalam kasus demam berdarah maka data
inti yang dapat dikaji berupa sejarah atau riwayat wabah demam
berdarah disuatu wilayah serta perubahan-perubahan yang telah terjadi.
b. Data subsistem komunitas

Data ini meliputi :


1) Lingkungan fisik seperti kualitas air, pembuangan limbah, kualitas
udara, flora, atau kondisi ruang terbuka, penampungan-
penampungan, dan lain sebagainya.
2) Pelayanan kesehatan dan sosial seperti adanya puskesmas, klinik,
rumah sakit, pengobatan tradisional, serta fasilitas kesehatan
lainnya.
3) Ekonomi meliputi rata-rata sumber penghasilan, lokasi industri,
kelompok yang tidak bekerja, dan sebagainya
4) Pendidikan yang meliputi adanya fasilitas pendidikan, pelayanan
kesehatan disekolah, serta adanya sumber informasi kesehatan
yang biasanya diperoleh oleh masyarakat.
c. Data persepsi
1) Persepsi masyarakat yang perlu dikaji adalah bagaimana perasaan
masyarakat terkait tempat tinggalnya, apa yang menjadi
permasalahan, serta persepsi tentang sebuah penyakit. Dalam kasus
demam berdarah maka dapat dikaji persepsi masyarakat terkait
hubungan antara kondisi lingkungan dengan penyakit demam
berdarah atau persepsi tentang penyakit demam berdarah itu
sendiri.
2) Persepsi perawat yang meliputi pernyataan umum tentang kondisi
kesehatan dari masyarakat atau potensial-potensial dari masyarakat
yang dapat digunakan untuk meningkatkan derajat kesehatan.

32
d. Data sekunder

Sumber data sekunder terkait permasalahan di suatu wilayah dapat


diperoleh melalui pelayanan kesehatan, instansi pemerintah di wilayah
tersebut, atau laporan-laporan terkait kondisi wilayah tersebut.
2. Penegakan diagnosa keperawatan komunitas

Beberapa diagnosa yang dapat muncul pada kasus demam berdarah dapat
meliputi:
a. Defisiensi kesehatan komunitas
b. Perilaku kesehatan cenderung berisiko
c. Ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan
d. Ketidakefektifan manajemen kesehatan

33
3. Penyusunan rencana asuhan keperawatan

Diagnosa NOC NIC

Defisiensi Prevensi Primer Prevensi Primer


Kesehatan  Kompetensi masyarakat  Pengembangan program
Komunitas  Derajat kesehatan masyarakat  Manajemen perilaku
 Modifikasi perilaku
 Monitoring kebijakan kesehatan
Prevensi Sekunder
 Kontrol terhadao kelompok berisiko
 Efektivitas program masyarakat Prevensi Sekunder

Prevensi tersier  Skrining kesehatan

 Program efektivitas komunitas  Surveilans komunitas

 Perilaku pemeriksaan kesehatan pribadi  Menjaga konsultasi kesehatan


 Tindak lanjut via telepon

Prevensi Tersier

34
 Konsultasi via telepon
 Rujukan

Perilaku kesehatan Prevensi Primer Prevensi Primer


cenderung berisiko  Partisipasi dalam promosi kesehatan  Dukungan perlindungan
 Perilaku promosi kesehatan  Panduan antisipasi
 Perilaku mencari kesehatan  Promosi kesehatan
 Perawatan diri sendiri  Dukungan pemberi asuhan
 Kinerja pemberi asuhan keperawatan  Promosi integritas keluarga
 Pemeliharaan proses keluarga
 Dukungan keluarga
Prevensi Sekunder
 Peningkatan peran
 Kesehatan emosi pemberi asuhan
 Kesejahteraan pengasuh
 Koping keluarga Prevensi Sekunder
 Fungsi keluarga  Manajemen kasus
 Status kesehatan keluarga  Pendidikan kesehatan
 Program pengembangan

35
 Partisipasi keluarga dalam perawatan  Manajemen penularan penyakit
secara professional  Manajemen lingkungan

Prevensi tersier  Skrining kesehatan

 Partisipasi tim kesehatan dalam keluarga  Identifikasi risiko

 Dukungan sosial  Surveilans komunitas

 Perilaku pemeriksaan kesehatan pribadi

Prevensi tersier
 Membangun hubungan yang kompleks
 Peningkatan sistem dukungan

Ketidakefektifan Prevensi Primer Prevensi Primer


pemeliharaan  Keyakinan kesehatan  Manajemen kasus
kesehatan  Keyakinan kesehatan : kemampuan  Pendidikan kesehatan
yang dirasakan untuk melakukan  Program pengembangan
 Pemasaran sosial

36
Prevensi Sekunder
 Keyakinan kesehatan : perceived untuk Prevensi Sekunder
mengontrol  Manajemen penularan penyakit
 Keyakinan kesehatan : sumber daya
 Manajemen lingkungan
yang dirasakan
 Skrining kesehatan
 Keyakinan kesehatan : ancaman
 Identifikasi risiko
 Orientasi kesehatan
 Surveilans komunitas
 Derajat kesehatan masyarakat

Prevensi tersier
Prevensi tersier
 Dukungna terhadap caregiver
 Partisipasi tim kesehatan dalam keluarga
 Dukungan keluarga
 Dukungan sosial

37
C. Asuhan Keperawatan Demam Berdarah pada individu
Dalam menetapkan asuhan keperawatan pada klien dengan DBD maka
perlu diperhatikan hal-hal yang meliputi:
1. Pengkajian
a. Identitas yang dapat meliputi nama, tempat tanggal lahir, alamat,
pendidikan, dan pekerjaan
b. Keluhan utama yang umumnya dapat berupa keluhan terkait demam
tinggi
c. Riwayat penyakit sekarang yang dapat meliputi riwayat waktu awal
demam tinggi, demam yang naik turun, menggigil, dan riwayat
penurunan kesadaran. Riwayat penyakit lain yang dapat dikaji meliputi
riwayat nyeri sendi atau nyeri ulu hati serta riwayat muntah darah atau
perdarahan lainnya.
d. Riwayat penyakit yang sebelumnya pernah di derita oleh klien
e. Kondisi lingkungan tempat tinggal, sekolah, atau tempat kerja klien
f. Pola kebiasaan sehari-hari klien yang meliputi pola BAB, BAK, tidur,
makan, dan olahraga.
2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan mencakup inspeksi, palpasi,


auskultasi, dan perkusi yang dilakukan secara head to toe.
a. Pada kulit biasanya akan ditemukan pteki yang dapat muncul melalui
tes rempelit. Selain itu turgor kulit juga dapat menurun yang dapat
disertai keringat dingin.
b. Pada bagian kepala biasanya akan tampak kemerahan karena demam,
dengan konjungtiva anemis. Beberapa kasus juga menunjukkan adanya
perdarahan gusi ataupun epistaksis.
c. Pada beberapa kasus akan ditemukan nyeri tekan dibagian abdomen
d. Pada bagian ekstremitas dapat ditemukan adanya akral dingin serta
nyeri sendi, otot, maupun tulang.

38
3. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium pada pasien dengan demam berdarah dapat


berupa:
a. Hb dan PCV yang meningkat
b. Adanya trombositopenia
c. Adanya leukopenia
d. Ig. D positif
e. Hipoproteinemia, hipokloremi, hiponatremia
f. Peningkatan urium dan pH darah
g. Asidosis metabolic
h. SGOT/SGPT yang dapat meningkat pada beberapa kasus
4. Diagnosa Keperawatan

Beberapa diagnosa keperawatan yang dapat muncul dapat meliputi:


a. Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi
b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
kebocoran plasma darah
c. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis
d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perpindahan cairan
intravaskuler
e. Keletihan b/d kelesuan fisik
f. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
kurangnya asupan makan
g. Risiko perdarahan
h. Risiko syok

39
5. Rencana Asuhan Keperawatan

N Diagnosa Tujuan/ Sasaran Intervensi


o Keperawatan (NOC) (NIC)
. (Nanda)

1 Nyeri akut/bd Setelah perawatan selama 1x24 jam, nyeri Manajemen Nyeri

. agen cedera akut klien berkurang dari skala 4 ke skala  Lakukan pengkajian nyeri secara
2 dengan kriteria hasil: komprehensif
biologis
 Observasi adanya petunjuk nonverbal
Kontrol Nyeri terkait nyeri maupun ketidaknyamanan
 Klien dapat mengenali kapan nyeri terutama pada pasien yang tidak dapat
terjadi berbicara
 Klien mengetahui penyebab  Gunakan strategi komunkasi terapeutik
terjadinya nyeri untuk mengetahui pengalaman klien
 Klien mampu mengurangi rasa nyeri terkait nyeri dan penerimaan klien
tanpa analgesik terhadap nyeri

40
 Klien melaporkan perubahan gejala  Gali bersama pasien faktor-faktor yang
nyeri dapat memperberat maupun mengurang
 Klien mengenali hal-hal yang nyeri
berkaitan dengan nyeri.  Evaluasi bersama klien efektifitas
tindakan pengurangan nyeri yang pernah
Tingkat Nyeri dilakukan sebelumnya jika ada
 Klien mengatakan rasa nyeri telah  Kendalikan faktor lingkunan yang dapat
berkurang mempengaruhi nyeri dan
 Tanda-tanda vital dalam rentang ketidaknyamanan
normal  Pilih dan implementasikan tindakan
 Tidak mengalami gangguan tidur. yang beragam seperti farmakologis dan
non farmakolois untuk memfasilitasi
penurunan nyeri
 Pertimbangkan tipe dan sumber nyeri
ketika memilih strategi penurunan nyeri
sesuai dengan kebutuhan
 Ajarkan prinsip-prinsip manajemen
nyeri

41
 Ajarkan penggunaan teknik
nonfarmakologis seperti relaksasi nafas
dalam, aplikasi panas/dingin dan pijatan
jika memungkinkan.
 Kolaborasikan dengan tim kesehatan
unntuk menggunakan teknik
farmakologi jika memungkinkan
 Evaluasi keefektifan dari tindakan
pengontrol nyeri selama pengkajian
nyeri dilakukan
 Mulai modifikasi tindakan pengontrolan
nyeri berdasarkan respon klien
 Informasikan dengan tim kesehatan lain
dan keluarga tentang strategi
nonfarmakologi yang sedang digunakan
untuk mendorong preventif terkait
dengan manajemen nyeri

42
Analgesic Administration
 Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas,
dan derajat nyeri sebelum pemberian obat
 Cek instruksi dokter tentang jenis obat,
dosis, dan frekuensi
 Monitor vital sign sebelum dan sesudah
pemberian analgesik pertama kali
 Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan
gejala (efek samping)
 Monitoring vital sign

2 Hipertermi b/d Setelah perawatan selama Perawatan Demam


. gejala infeksi 1x24 jam, diperoleh kriteria  Pantau suhu dan tanda-tanda vital lainnya
hasil  Monitor warna kulit dan suhu
 Kolaborasi pemberian terapi antipiretik,
antibiotik atau agen anti menggigil
Termoregulasi:
 Tutup pasien dengan selimut atau pakaian
 Klien tidak menggigil saat dingin
ringan tergantung pada fase demam

43
 Tidak ada peningkatan suhu kulit  Dorong konsumsi cairan
 Tidak ada hipertermi  Fasilitasi istirahat, terapkan pembatasan
 Klien melaporkan kenyamanan suhu aktivitas: jika diperlukan
 Mandikan pasien dengan spons hangat
dengan hati-hati (yaitu: berikan pada
Tanda-tanda vital
pasien dengan suhu yang sangat tinggi,
 Suhu tubuh klien berada pada rentang
tidak memberikannya selama fase dingin
normal
dan hindari agar pasien tidak menggigil)
 Tekanan darah klien berada pada
 Pantau komplikasi yang berhubungan
rentang normal
dengan demam serta tanda dan gejala,
 Frekuensi pernafasan klien berada
kondisi penyebab demam.
pada rentang normal
 Lembabkan bibir dan mukosa hidung
 Nadi klien berada pada rentang
yang kering
normal

Ketidakseimbangan
3 nutrsi Setelah dilakukan tindakan Manajeman Gangguan Makan
kurang
. dari kebutuhan keperawatan selama 3 x 24  Kolaborasi dengan tim kesehatan lain
berhubungan dengan nutrisi terpenuhi dengan untuk mengembangkan rencana
kurang asupan makanan kriteria hasil :

44
perawatan dengan melibatkan klien dan
orang terdekat klien
Status Nutrisi
 Rundingkan dengan tim kesehatan lain,
 Asupan Gizi tidak menyimpang
klien, serta orang terdekat klien terkait
dari rentang normal
target pencapaian berat badan
 Asupan makanan tidak
 Rundingkan dengan ahli gizi mengenai
menyimpang dari rentang normal
asupan kalori harian yang ingin dicapai
 Rasio berat badan/tinggi badan
 Dorong klien untuk mendiskusikan
tidak menyimpang dari rentang
makanan yang disukai
normal
 Monitor berat badan klien secara rutin
 Monitor intake secara tepat
Nafsu makan
 Keinginan untuk makan tidak
terganggu
 Klien menyenangi makanan
 Klien mencari makanan
 Intake makanan tidak terganggu
 Intake nutrisi tidak terganggu

45
Ketidakefektifan
4 perfusi Setelah dilakukan perawatan selama 3x24 Perawatan sirkulasi: insufisiensi
jaringan
. perifer b/d jam, diperoleh kriteria hasil : vena
kebocoran plasma darah

 Monitoring edema
Perfusi jaringan perifer:
 Inspeksi kulit
 Tekanan dalam batas normal
 Instruksikan pasien untuk meninggikan
 Edema perifer berkurang dari derajat
kaki setinggi 20o atau lebih dari jantung
2 ke derajat 1
 Ajarkan klien untuk latihan ROM pasif
 Nyeri berkurang dari skala 2 ke skala
ataupun aktif
0
 Kolaborasi pemberian obat antikoagulan
 Tidak ditemukan kerusakan kulit

Keletihan
5 b/d kelesuan Setelah dilakukan intervensi, diagnosa Manajemen energi :
dapat teratasi dengan kriteria hasil :
fisiologis
.  Kaji status fisiologis klien yang
menyebabkan kelelahan
Tingkat kelelahan :

46
 Tidak ada kelelahan  Monitor intake nutrisi untuk mengetahui
sumber energi yang adekuat
Kelelahan (efek yang  Monitor sumber kegiatan dan kelelahan
mengganggu) : emosional yang dialami klien
 Tidak ada penurunan energy (tangan  Monitor sister kardiorespirasi klien
dan kaki tidak tremor)  Bantu klien untuk memahami kebutuhan
untuk membatasi aktivitas
 Bantu klien memprioritaskan kegiatan
untuk mengakomodasi energi yang
diperlukan
 Monitor respon oksigen klien

47
Kekurangan
6 volume cairan Manajemen hipovolemi
Tujuan :
b/d . perpindahan cairan  Monitor adanya tanda – tanda dehidrasi.

intravaskuler Setelah dilakukan tindakan  Monitor adanya sumber – sumber


keperawatan 1 x24 jam, kehilangan cairan.
kebutuhan cairan pasien  Jaga kepatenan IV.
menjadi adekuat dengan kriteri
hasil : Manajemen cairan/elektrolit
 Monitor TTV.
Keseimbangan cairan
 Berikan serat yang diresepkan untuk
 TTV dalam batas normal.
pasien dengan selang makan untuk
 Turgor kulit normal. mengurangi kehilangan cairan dan
 Keseimbangan intake dan output elektrolit melalui diare,
dalam 24 jam.  Pastikan bahwa larutan IV yang
 Membran mukosa lembab. mengandung elektrolit diberikan dengan
aliran yang konstan.
Keparahan kehilangan  Monitor hasil laboratorium yang relevan
darah dengan keseimbangan cairan
 Tidak terdapat hematuria. (hematokrit, BUN, albumin, dll).

48
 Kulit dan membran mukosa pucat.
 Hb dan Hematokrit dalam batas
normal.

49
BAB IV
MODEL PROMOSI KESEHATAN

Tujuan Pembelajaran

Pada akhir bab ini pembaca akan mampu untuk :


 Menjelaskan

A. Piagam Ottawa untuk Promosi Kesehatan

Konferensi internasional pertama tentang promosi kesehatan, yakni


dilakukan di Ottawa pada tangga 21 November 1986. Pada konferensi itu,
promosi kesehatan diberlakukan secara penuh melalui Piagam Ottawa atau
Ottawa Charter untuk promosi kesehatan. Konferensi ini merupakan suatu
tanggapan akan semakin bermunculannya masalah kesehatan dan
kebutuhan untuk meningkatkan derajat kesehatan manusia di seluruh dunia.
Konferensi ini banyak membahas tentang kesehatan yang juga merupakan
pengembangan dari Deklarasi Alma Alta dimana merupakan sebua
deklarasi yang menekankan perlunya tindakan segera oleh semua pihak baik
pemerintah, para petugas kesehatan, dan masyarakat di seluruh dunia untuk
mempromosikan kesehatan.

50
Piagam Ottawa menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan
promosi kesehatan. Salah satunya yaitu faktor-faktor yang menjadi penentu
kesehatan (determinants of health) seperti tempat tinggal, pendidikan,
makanan dan pendapatan. Piagam Ottawa adalah suatu kerangka kerja
global yang bertujuan menjadi panduan dalam pelaksanaan tindakan
promosi kesehatan.
Melalui upaya bersama yang melibatkan semua pihak, seperti
institusi pendidikan, pemerintah, dan stakeholder lainya, promosi kesehatan
telah berhasil beralih dari perubahan perilaku di tingkat individu (dengan
orientasi pengangan penyakit) ke perilaku di tingkat masyarakat (dengan
perilaku berorientasi pada kesehatan) serta pada faktor-faktor penentu
lainnya seperti diet yang sehat, aktivitas fisik, kebersihan pribadi, dan
pendidikan, melalui penerapan kombinasi dari lima Area Aksi Piagam
Ottawa.
Lima area aksi untuk promosi kesehatan yang diidentifikasi dalam
piagam Ottawa adalah:
1. Membangun kebijakan publik yang sehat
2. Menciptakan lingkungan yang mendukung
3. Memperkuat aksi masyarakat
4. Mengembangkan keterampilan pribadi
5. Mengorientasikan kembali layanan perawatan kesehatan ke arah
pencegahan penyakit dan promosi kesehatan

Sebagai inti dari Piagam Ottawa, promosi kesehatan adalah tentang:

a. Memberdayakan individu dan populasi untuk memiliki kontrol atas


kesehatan mereka dan membuat keputusan tentang kesehatan
mereka berdasarkan informasi yang diterimanya.

51
b. Menyediakan lingkungan sosial, ekonomi dan fisik yang
mendukung melalui strategi yang beragam namun saling
melengkapi
c. Bekerja dalam kolaborasi dengan berbagai sektor
d. Memungkinkan individu untuk mengambil kendali atas faktor-
faktor penentu kesehatan
e. Melengkapi sistem dan sektor untuk mengatasi faktor penentu sosial
kesehatan.

Adapun strategi dasar untuk promosi kesehatan adalah sebagai berikut:

a Advocate (Mengadvokasi): Kesehatan adalah sumber daya untuk


sarana sosial dan perkembangan, sehingga dimensi yang
mempengaruhi faktor-faktor ini harus diubah untuk mendorong
kesehatan.
b Enable (Mengaktifkan): Pemerataan kesehatan harus dicapai di
mana individu harus diberdayakan untuk mengendalikan faktor-
faktor penentu yang memengaruhi kesehatan mereka, sehingga
mereka dapat mencapai kualitas hidup tertinggi yang dapat dicapai.
c Mediate (Memediasi): Promosi kesehatan tidak dapat dicapai hanya
oleh sektor kesehatan; melainkan keberhasilannya akan tergantung
pada kolaborasi semua sektor pemerintah (sosial, ekonomi, dll.)
serta organisasi independen (media, industri, dll.).
Penjelasan terkait ketiga komponen ini akan dibahas selanjutnya.
Area promosi kesehatan ini mencakup pada berbagai kelompok
umur dan populasi dalam lokasi atau wilayah yang berbeda seperti sekolah,
tempat kerja dan masyarakat. Seiring dengan kemajuan kebijakan dan
lingkungan pendukung kesehatan dapat diamati bahwa telah terjadi
perubahan perilaku dan gaya hidup yang positif pada tingkat populasi yang
mengarah pada penurunan beberapa penyakit, namun perubahannya masih

52
terbatas pada individu dengan tingkat pendidikan tinggi dan dengan latar
belakang sosial ekonomi yang tinggi pula. Sehingga upaya baru sangat
diperlukan untuk memngurangi kesenjangan yang ada.

B. Promosi kesehatan
Promosi kesehatan adalah proses yang memungkinkan seseorang
atau masyarakat untuk meningkatkan kontrol atas kesehatan dan
meningkatkan kesehatan mereka. Untuk mencapai keadaan fisik, mental,
dan sosial yang sehat, seorang individu atau kelompok harus mampu
mengidentifikasi kebutuhan kesehatan dan cara untuk memenuhi kebutuhan
kesehatan yang diinginkan, dan untuk mengubah atau memodifikasi
lingkungan untuk terciptanya kesehatan yang diinginkan. Sehingga dalam
hal ini kesehatan adalah konsep positif yang menekankan pada sumber daya
sosial dan pribadi serta kapasitas fisik. Oleh karena itu, promosi kesehatan
bukan hanya tanggung jawab sektor kesehatan, tetapi juga merupakan gaya
hidup sehat oleh seorang individu hingga hingga mncapai kesejahteraan.
Pengertian Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat melalui pembelajaran diri oleh dan untuk masyarakat agar dapat
menolong dirinya sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumber
daya dari masyarakat sesuai sosial budaya setempat dan didukung oleh
kebijakan publik yang berwawasan kesehatan (Kemenkes, 2011).
Promosi kesehatan adalah proses yang memungkinkan orang untuk
meningkatkan kontrol atas kesehatan mereka dan faktor penentu. Hal ini
dilakukan dengan memperkuat keterampilan dan kemampuan individu dan
kapasitas kelompok untuk mengubah banyak kondisi, terutama penyebab
sosial dan ekonomi, yang mempengaruhi kesehatan. Promosi kesehatan
berfungsi sebagai dasar perawatan kesehatan primer.

53
C. Tujuan Promosi kesehatan
Promosi kesehatan merupakan suatu proses yang bertujuan
memungkinkan individu meningkatkan kontrol terhadap kesehatan dan
meningkatkan kesehatannya berbasis filosofi yang jelas mengenai
pemberdayaan diri sendiri. Proses pemberdayaan tersebut dilakukan dari,
oleh, untuk dan bersama masyarakat serta sesuai dengan sosial budaya
setempat. Demi mencapai derajat kesehatan yang sempurna, baik dari fisik,
mental maupun sosial, masyarakat harus mampu mengenal dan
mewujudkan 9 aspirasi dan kebutuhannya, serta mampu mengubah atau
mengatasi lingkungannya (Kemenkes, 2011).
Adapun beberapa tujuan promosi kesehatan yaitu:
1. Untuk mempromosikan ekuitas
2. Untuk memastikan keadilan sosial
3. Untuk mengadvokasi peningkatan hasil kesehatan masyarakat
4. Untuk bekerja dalam kemitraan
5. Untuk memastikan kolaborasi lintas sektoral
6. Untuk mempromosikan keterlibatan masyarakat
7. Untuk mendukung pemberdayaan
8. Untuk mempromosikan keberlanjutan
9. Untuk melakukan praktik berbasis bukti
10. Untuk menghargai pengetahuan kontekstual
11. Untuk menghargai pengetahuan dan perbedaan budaya
12. Untuk meningkatkan literasi kesehatan melalui perubahan tingkat
sistem

D. Sasaran Promosi Kesehatan


Menurut Maulana (2009), pelaksanaan promosi kesehatan dikenal
memiliki 3 jenis sasaran yaitu sasaran primer, sekunder dan tersier.
1. Sasaran primer

54
Sasaran primer kesehatan adalah pasien, individu sehat dan
keluarga (rumah tangga) sebagai komponen dari masyarakat.
Masyarakat diharapkan mengubah perilaku hidup mereka yang
tidak bersih dan tidak sehat menjadi Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS). Akan tetapi disadari bahwa mengubah perilaku
bukanlah sesuatu yang mudah. Perubahan perilaku pasien, individu
sehat dan keluarga (rumah tangga) akan sulit dicapai jika tidak
didukung oleh sistem nilai dan norma sosial serta norma hukum
yang dapat diciptakan atau dikembangkan oleh para pemuka
masyarakat, baik pemuka informal maupun pemuka formal.
Keteladanan dari para pemuka masyarakat, baik pemuka informal
maupun formal dalam 10 mempraktikkan PHBS. Suasana
lingkungan sosial yang kondusif (social pressure) dari kelompok-
kelompok masyarakat dan pendapat umum (public opinion).
Sumber daya dan atau sarana yang diperlukan bagi terciptanya
PHBS, yang dapat diupayakan atau dibantu penyediaannya oleh
mereka yang bertanggung jawab dan berkepentingan
(stakeholders), khususnya perangkat pemerintahan dan dunia
usaha (Maulana, 2009).
2. Sasaran Sekunder
Sasaran sekunder adalah para pemuka masyarakat, baik pemuka
informal (misalnya pemuka adat, pemuka agama dan lain-lain)
maupun pemuka formal (misalnya petugas kesehatan, pejabat
pemerintahan dan lain-lain), organisasi kemasyarakatan dan media
massa. Mereka diharapkan dapat turut serta dalam upaya
meningkatkan PHBS pasien, individu sehat dan keluarga (rumah
tangga) dengan cara: berperan sebagai panutan dalam
mempraktikkan PHBS. Turut menyebarluaskan informasi tentang
PHBS dan menciptakan suasana yang kondusif bagi PHBS. 11

55
Berperan sebagai kelompok penekan (pressure group) guna
mempercepat terbentuknya PHBS (Maulana, 2009).
3. Sasaran Tersier
Sasaran tersier adalah para pembuat kebijakan publik yang berupa
peraturan perundangundangan di bidang kesehatan dan bidang lain
yang berkaitan serta mereka yang dapat memfasilitasi atau
menyediakan sumber daya. Mereka diharapkan turut serta dalam
upaya meningkatkan PHBS pasien, individu sehat dan keluarga
(rumah tangga) dengan cara:
[1] Memberlakukan kebijakan/peraturan perundangundangan
yang tidak merugikan kesehatan masyarakat dan bahkan
mendukung terciptanya PHBS dan kesehatan masyarakat.
[2] Membantu menyediakan sumber daya (dana, sarana dan lain-
lain) yang dapat mempercepat terciptanya PHBS di kalangan
pasien, individu sehat dan keluarga (rumah tangga) pada
khususnya serta masyarakat luas pada umumnya (Maulana,
2009).

E. Ruang Lingkup Promosi Kesehatan


Berdasarkan konferensi International Promosi Kesehatan di Ottawa
Canada (1986) yang menghasilkan piagam Ottawa, promosi kesehatan
dikelompokan menjadi lima area berikut:
1. Kebijakan pembangunan berwawasan kesehatan (Health Public
Policy) kegiatan ditujukan pada para pembuat keputusan atau
penentu kebijakan. Hal ini berarti setiap kebijakan
pembangunan dalam bidang apapun harus mempertimbangkan
dampak kesehatan bagi masyarakat. 14
2. Mengembangkan jaringan kemitraan dan lingkungan yang
mendukung (create partnership and supportive environmental).

56
Kegiatan ini bertujuan mengembangkan jaringan kemitraan dan
suasana yang mendukung terhadap kesehatan. Kegiatan ini
ditujukan kepada pemimpin organisasi masyarakat serta
pengelola tempat-tempat umum dan diharapkan memperhatikan
dampaknya terhadap lingkungan, baik lingkungan fisik maupun
lingkungan non-fisik yang mendukung atau kondusif terhadap
kesehatan masyarakat.
3. Reorientasi pelayanan kesehatan (reorient health serice) adalah
penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang merupakan
tanggung jawab bersama antara pemberi dan penerima
pelayanan orientasi pelayanan diarahkan dengan menempatkan
masyarakat sebagai subjek yang dapat memelihara dan
meningkatkan kualitas kesehatannya sendiri. Hal tersebut
berarti pelayanan lebih diarahkan kepada pemberdayaan
masyarakat.
4. Meningkatkan keterampilan individu (increase individual
skills). Kesehatan masyarakat adalah kesehatan yang terdiri atas
kelompok, keluarga, dan individu. Kesehatan masyarakat
terwujud apabila kesehatan kelompok, keluarga, dan individu
terwujud. Oleh sebab itu, peningkatan keterampilan anggota
masyarakat atau individu sangat penting untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat memelihara
serta meningkatkan kualitas kesehatannya.
5. Memperkuat kegiatan masyarakat (strengthen community
action), derajat kesehatan masyarakat akan terwujud secara
efektif jika unsur-unsur yang terdapat di masyarakat tersebut
bergerak sama-sama. Memperkuat kegiatan masyarakat berarti
memberikan bantuan terhadap kegiatan yang sudah berjalan di
masyarakat sehingga lebih dapat berkembang. Disamping itu,

57
tindakan ini memberi kesempatan masyarakat untuk
berimprovisasi, yaitu melakukan kegiatan dan berperan serta
dalam pembangunan kesehatan. Pendekatan yang menyeluruh
dalam pembangunan kesehatan dengan menggunakan lima
ruang lingkup tersebut jauh lebih efektif dibanding dengan
menggunakan pendekatan tunggal. Pendekatan melalui tatanan
memudahkan implementasi penyelenggaraan promosi
kesehatan. Peran serta masyarakat sangat penting untuk
melestarikan berbagai upaya. Masyarakat harus menjadi subjek
dalam promosi kesehatan dan pengambilan keputusan. Akses
pendidikan dan informasi sangat penting untuk mendapatkan
partisipasi dan pemberdayaan masyarakat (Notoatmodjo, 2009).

F. Strategi Promosi Kesehatan


Strategi promosi kesehatan menurut Notoatmodjo (2005)
sebagaimana dikatakan bahwa perlu dilaksanakan strategi promosi
kesehatan paripurna yang terdiri dari pemberdayaan, bina suasana, advokasi
dan kemitraan.

1. Pemberdayaan
Pemberdayaan adalah pemberian informasi dan
pendampingan dalam mencegah dan menanggulangi masalah
kesehatan, guna membantu individu, keluarga atau kelompok-
kelompok masyarakat menjalani tahap-tahap tahu, mau dan mampu
mempraktikkan PHBS. Dalam upaya promosi kesehatan,
pemberdayaan masyarakat merupakan bagian yang sangat penting
dan bahkan dapat dikatakan sebagai ujung tombak. Pemberdayaan
adalah proses pemberian informasi kepada individu, keluarga atau
kelompok (klien) secara terus-menerus dan berkesinambungan

58
mengikuti perkembangan klien, serta proses membantu klien, agar
klien tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar (aspek
knowledge), dari tahu menjadi mau (aspek attitude) dan dari mau
menjadi mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspek
practice) (Notoatmodjo, 2005).

2. Bina suasana
Bina suasana adalah pembentukan suasana lingkungan sosial
yang kondusif dan mendorong dipraktikkannya PHBS serta
penciptaan panutanpanutan dalam mengadopsi PHBS dan
melestarikannya (Notoatmodjo, 2005).
3. Advokasi
Advikasi adalah pendekatan dan motivasi terhadap pihak-
pihak tertentu yang diperhitungkan dapat mendukung keberhasilan
pembinaan PHBS baik dari segi materi maupun non materi
(Notoatmodjo, 2005).

Adapun strategi dasar untuk promosi kesehatan adalah sebagai berikut:


1. Advocate (Mengadvokasi)
Kesehatan yang baik adalah sumber daya utama untuk
pengembangan sosial, ekonomi dan pribadi dan dimensi penting
kualitas hidup. Faktor-faktor politik, ekonomi, sosial, budaya,
lingkungan, perilaku dan biologis semuanya dapat mendukung
kesehatan atau membahayakannya. Tindakan promosi
kesehatan bertujuan untuk membuat kondisi ini menguntungkan
melalui advokasi untuk kesehatan.
2. Enabling (Mengaktifkan)
Promosi kesehatan berfokus pada pencapaian
kesetaraan dalam kesehatan. Tindakan promosi kesehatan

59
bertujuan untuk mengurangi perbedaan dalam status kesehatan
saat ini dan memastikan kesetaraan peluang dan sumber daya
untuk memungkinkan semua orang mencapai potensi kesehatan
sepenuhnya. Ini termasuk fondasi yang aman dalam lingkungan
yang mendukung, akses ke informasi, keterampilan hidup dan
peluang untuk membuat pilihan yang sehat. Orang tidak dapat
mencapai potensi kesehatan sepenuhnya kecuali mereka mampu
mengendalikan hal-hal yang menentukan kesehatan mereka. Ini
harus berlaku sama untuk wanita dan pria.

3. Mediate (Menengahi)
Prasyarat dan prospek kesehatan tidak dapat
dipastikan oleh sektor kesehatan saja. Lebih penting lagi,
promosi kesehatan menuntut tindakan terkoordinasi oleh semua
pihak: oleh pemerintah, oleh kesehatan dan sektor sosial dan
ekonomi lainnya, oleh organisasi non-pemerintah dan sukarela,
oleh otoritas lokal, oleh industri dan oleh media. Orang-orang di
semua lapisan masyarakat terlibat sebagai individu, keluarga,
dan komunitas. Kelompok profesional dan sosial dan tenaga
kesehatan memiliki tanggung jawab besar untuk menengahi
antara berbagai kepentingan dalam masyarakat untuk mencapai
kesehatan.
Strategi dan program promosi kesehatan harus
disesuaikan dengan kebutuhan dan kemungkinan lokal masing-
masing negara dan wilayah untuk memperhitungkan sistem
sosial, budaya dan ekonomi yang berbeda.

Selain itu, terdapat 3 elemen kunci promosi kesehatan (Kwok-Cho Tang,


Robert Beaglehole, & Desmond O'Byrne):
a. Tata pemerintahan yang baik untuk kesehatan
60
Promosi kesehatan mensyaratkan para pembuat kebijakan di
semua departemen pemerintah untuk menjadikan kesehatan sebagai
garis pusat kebijakan pemerintah. Ini berarti mereka harus
memasukkan implikasi kesehatan ke dalam semua keputusan yang
mereka ambil, dan memprioritaskan kebijakan yang mencegah
orang menjadi sakit dan melindungi mereka dari cedera.
Kebijakan ini harus didukung oleh peraturan yang sesuai dengan
insentif sektor swasta dengan tujuan kesehatan masyarakat.
Misalnya, dengan menyelaraskan kebijakan pajak pada produk yang
tidak sehat atau aktivitas yang mampu mendukung kesehatan yang
optimal seperti olahraga, berjalan kaki dengan adanya trotoar, datau
menciptakan area terbuka yang dapat digunakan oleh anak dan
keluarga.
b. Literasi kesehatan
Orang-orang perlu memperoleh pengetahuan, keterampilan dan
informasi untuk membuat pilihan yang sehat, misalnya tentang
makanan yang mereka makan dan layanan kesehatan yang mereka
butuhkan. Mereka perlu memiliki kesempatan untuk membuat
pilihan-pilihan itu. Masyarakat perlu diyakinkan tentang lingkungan
di mana orang dapat menuntut tindakan kebijakan lebih lanjut untuk
lebih meningkatkan kesehatan mereka.
c. Kota sehat
Kota-kota memiliki peran kunci dalam mempromosikan
kesehatan yang baik. Kepemimpinan dan komitmen yang kuat di
tingkat kota sangat penting untuk perencanaan kota yang sehat dan
untuk membangun langkah-langkah pencegahan di masyarakat dan
fasilitas perawatan kesehatan primer. Dari kota-kota sehat
berkembanglah negara-negara sehat dan, pada akhirnya, dunia yang
lebih sehat.

61
G. Upaya Promosi Kesehatan:
a. Membangung Kebijakan Publik yang Sehat
Promosi kesehatan melampaui perawatan kesehatan. Ini
menempatkan kesehatan dalam agenda pembuat kebijakan di semua
sektor dan di semua tingkatan, mengarahkan mereka untuk mengetahui
konsekuensi kesehatan dari keputusan mereka dan untuk menerima
tanggung jawab mereka terhadap kesehatan.
Kebijakan promosi kesehatan menggabungkan beragam
pendekatan yang saling melengkapi termasuk perundang-undangan,
langkah-langkah fiskal, perpajakan dan perubahan organisasi. Ini
adalah tindakan terkoordinasi yang mengarah pada kebijakan
kesehatan, pendapatan, dan sosial yang mendorong pemerataan. Aksi
bersama berkontribusi untuk memastikan barang dan layanan yang
lebih aman dan sehat, layanan publik yang lebih sehat, dan lingkungan
yang lebih bersih dan menyenangkan.
Kebijakan promosi kesehatan mensyaratkan identifikasi hambatan
untuk adopsi kebijakan publik yang sehat di sektor non-kesehatan, dan
cara menghilangkannya. Tujuannya harus membuat pilihan yang lebih
sehat menjadi pilihan yang lebih mudah bagi pembuat kebijakan juga.
b. Membuat Lingkungan yang Mendukung
Masyarakat kita kompleks dan saling terkait. Kesehatan tidak dapat
dipisahkan dari tujuan lain. Hubungan yang tak terpisahkan antara
manusia dan lingkungannya merupakan dasar bagi pendekatan
sosioekologis terhadap kesehatan. Prinsip panduan keseluruhan untuk
dunia, negara, wilayah dan komunitas sama, adalah kebutuhan untuk
mendorong pemeliharaan timbal balik - untuk saling menjaga satu sama
lain, komunitas kita dan lingkungan alam kita. Konservasi sumber daya
alam di seluruh dunia harus ditekankan sebagai tanggung jawab global.

62
Mengubah pola hidup, bekerja dan bersantai memiliki dampak
signifikan pada kesehatan. Pekerjaan dan liburan harus menjadi sumber
kesehatan bagi orang-orang. Cara masyarakat mengatur pekerjaan harus
membantu menciptakan masyarakat yang sehat. Promosi kesehatan
menghasilkan kondisi hidup dan kerja yang aman, menstimulasi,
memuaskan, dan menyenangkan.
Penilaian sistematis terhadap dampak kesehatan dari lingkungan
yang berubah dengan cepat - terutama di bidang teknologi, pekerjaan,
produksi energi dan urbanisasi - sangat penting dan harus diikuti oleh
tindakan untuk memastikan manfaat positif bagi kesehatan masyarakat.
Perlindungan lingkungan alami dan buatan dan konservasi sumber daya
alam harus diperhatikan dalam strategi promosi kesehatan apa pun.

c. Memperkuat Aksi Komunitas


Promosi kesehatan bekerja melalui aksi masyarakat yang
konkret dan efektif dalam menetapkan prioritas, membuat keputusan,
merencanakan strategi, dan mengimplementasikannya untuk mencapai
kesehatan yang lebih baik. Inti dari proses ini adalah pemberdayaan
masyarakat - kepemilikan dan kendali mereka atas usaha dan nasib
mereka sendiri.
Pengembangan masyarakat mengacu pada sumber daya
manusia dan material yang ada di masyarakat untuk meningkatkan
swadaya dan dukungan sosial, dan untuk mengembangkan sistem yang
fleksibel untuk memperkuat partisipasi publik dalam dan arah masalah
kesehatan. Ini membutuhkan akses penuh dan berkelanjutan ke
informasi, peluang belajar untuk kesehatan, serta dukungan pendanaan.

63
d. Mengembangkan Keterampilan Pribadi
Promosi kesehatan mendukung pengembangan pribadi dan
sosial melalui penyediaan informasi, pendidikan untuk kesehatan, dan
peningkatan keterampilan hidup. Dengan melakukan hal itu, ia
meningkatkan pilihan yang tersedia bagi orang untuk melakukan kontrol
lebih besar atas kesehatan mereka sendiri dan atas lingkungan mereka,
dan untuk membuat pilihan yang kondusif bagi kesehatan.
Memungkinkan orang untuk belajar, sepanjang hidup, untuk
mempersiapkan diri untuk semua tahapannya dan untuk mengatasi
penyakit kronis dan cedera adalah penting. Ini harus difasilitasi dalam
pengaturan sekolah, rumah, pekerjaan dan masyarakat. Diperlukan
tindakan melalui badan pendidikan, profesional, komersial dan sukarela,
dan di dalam lembaga itu sendiri.
e. Reorientasi Pelayanan Kesehatan
Tanggung jawab untuk promosi kesehatan dalam layanan
kesehatan dibagi di antara individu, kelompok masyarakat, profesional
kesehatan, lembaga layanan kesehatan dan pemerintah.
Mereka harus bekerja bersama menuju sistem perawatan
kesehatan yang berkontribusi untuk mengejar kesehatan. Peran sektor
kesehatan harus semakin bergerak ke arah promosi kesehatan, di luar
tanggung jawabnya untuk menyediakan layanan klinis dan kuratif.
Layanan kesehatan perlu merangkul mandat yang diperluas yang peka
dan menghormati kebutuhan budaya. Mandat ini harus mendukung
kebutuhan individu dan masyarakat untuk kehidupan yang lebih sehat,
dan membuka saluran antara sektor kesehatan dan komponen
lingkungan sosial, politik, ekonomi dan fisik yang lebih luas.
Reorientasi layanan kesehatan juga membutuhkan perhatian
yang lebih kuat untuk penelitian kesehatan serta perubahan dalam
pendidikan dan pelatihan profesional. Ini harus mengarah pada

64
perubahan sikap dan organisasi layanan kesehatan yang memfokuskan
kembali pada total kebutuhan individu sebagai manusia seutuhnya.

f. Bersipa untuk berpindah ke masa depan


Kesehatan diciptakan dan dijalani oleh orang-orang dalam
lingkungan kehidupan sehari-hari mereka; tempat mereka belajar,
bekerja, bermain, dan cinta. Kesehatan diciptakan dengan merawat diri
sendiri dan orang lain, dengan mampu mengambil keputusan dan
mengendalikan keadaan kehidupan seseorang, dan dengan memastikan
bahwa masyarakat tempat tinggalnya menciptakan kondisi yang
memungkinkan pencapaian kesehatan oleh semua anggotanya.
Peduli, holisme dan ekologi adalah masalah penting dalam
mengembangkan strategi untuk promosi kesehatan. Oleh karena itu,
mereka yang terlibat harus mengambil prinsip panduan bahwa, dalam
setiap tahap perencanaan, implementasi dan evaluasi kegiatan promosi
kesehatan, perempuan dan laki-laki harus menjadi mitra yang setara.

H. Penentu Kesehatan (Determinants of Health)


Penentu kesehatan merupakan kondisi mendasar dan merupakan
sumber daya untuk kesehatan manusia. Penentu kesehatan ini diantaranya
adalah: perdamaian, berlindung, pendidikan, makanan, pendapatan,
ekosistem yang stabil, sumber daya berkelanjutan, keadilan sosial, dan
kesetaraan. Terdapat beberapa hal yang menentukan kesehatan mereka,
dimana hal tersebut dapat berdampak baik atau buruk pada seorang
individu. Individu tidak mungkin dapat langsung mengendalikan banyak
faktor penentu kesehatan. Oleh karena itu dibutuhkan peran serta sejumlah
stakeholder atau yang berkenpentingan untuk mencari solusi bersama.
Selain itu, banyak faktor yang saling terkait satu sama lain yang untuk
memengaruhi kesehatan individu dan masyarakat. Kondisi orang sehat atau

65
tidak, ditentukan oleh keadaan dan lingkungan mereka. Sebagian besar,
faktor-faktor seperti di mana tempat tinggal, keadaan lingkungan, genetika,
tingkat pendapatan dan pendidikan, dan hubungan personal sosial dengan
teman dan keluarga semuanya memiliki dampak besar pada kesehatan.
Faktor-faktor penentu kesehatan meliputi:
a. lingkungan sosial dan ekonomi,
b. lingkungan fisik, dan
c. karakteristik dan perilaku individu orang tersebut.

Berikut ini penjelasan terkait beberapa hal yang berhubungan dengan


determinants of health:

a. Pendapatan dan status sosial - pendapatan yang lebih tinggi dan


status sosial terkait dengan kesehatan yang lebih baik. Semakin besar
kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin, semakin besar
perbedaan dalam kesehatan.
b. Pendidikan - tingkat pendidikan yang rendah dikaitkan dengan
kesehatan yang buruk, lebih banyak stres dan kepercayaan diri yang
lebih rendah.
c. Lingkungan fisik - air bersih dan udara bersih, tempat kerja yang
sehat, rumah yang aman, masyarakat dan jalan semuanya
berkontribusi terhadap kesehatan yang baik. Pekerjaan dan kondisi
kerja - orang-orang dalam pekerjaan lebih sehat, terutama mereka
yang memiliki kontrol lebih besar atas kondisi kerja mereka
d. Jaringan dukungan sosial - dukungan yang lebih besar dari keluarga,
teman, dan masyarakat terkait dengan kesehatan yang lebih baik.
Budaya - adat dan tradisi, dan kepercayaan keluarga dan masyarakat
semuanya memengaruhi kesehatan.
e. Genetika - warisan berperan dalam menentukan umur, kesehatan,
dan kemungkinan mengembangkan penyakit tertentu. Perilaku

66
pribadi dan keterampilan koping - makan seimbang, tetap aktif,
merokok, minum, dan bagaimana kita menghadapi tekanan dan
tantangan hidup, semuanya memengaruhi kesehatan.
f. Layanan kesehatan - akses dan penggunaan layanan yang mencegah
dan mengobati penyakit mempengaruhi kesehatan
g. Gender (Jenis Kelamin). Terdpat beberapa pria atau wanita yang
rentan menderita berbagai jenis penyakit tertentu pada usia yang
berbeda

I. Tahapan Promosi Kesehatan


a. Planning
Tinjauan perencanaan dan evaluasi program Kit sumber daya
promosi kesehatan terpadu departemen ini menjelaskan kerangka kerja
perencanaan umum untuk program yang berhasil perencanaan dan
evaluasi. Komponen-komponen ini adalah:

• pengaturan visi

• pengaturan prioritas dan definisi masalah

• pembuatan solusi

• pembangunan kapasitas (dukungan dan sumber daya)

• perencanaan untuk evaluasi dan diseminasi

Terdapat Enam langkah untuk merencanakan program promosi


kesehatan:

1. LANGKAH 1: Mengelola Proses Perencanaan


Tujuan: untuk mengembangkan rencana untuk mengelola
partisipasi pemangku kepentingan, jadwal, sumber daya, dan

67
menentukan metode untuk pengumpulan data, interpretasi, dan
pengambilan keputusan.
Rencanakan untuk melibatkan pemangku kepentingan,
termasuk klien dan staf, dengan cara yang berarti. Menetapkan
garis waktu yang jelas untuk membuat rencana kerja.
Rencanakan bagaimana Anda akan mengalokasikan sumber
daya keuangan, material, dan manusia. Pertimbangkan data
yang diperlukan untuk membuat keputusan pada setiap
langkah dan sertakan waktu yang memadai untuk
pengumpulan dan interpretasi data. Menetapkan proses
pengambilan keputusan yang jelas. (mis., melalui konsensus,
oleh komite.

2. LANGKAH 2: Melakukan penilaian situasi


Tujuan: untuk mempelajari lebih lanjut tentang populasi yang
diminati, tren, dan isu-isu yang dapat memengaruhi
implementasi, termasuk keinginan, kebutuhan, dan aset
masyarakat.
Langkah ini melibatkan identifikasi: apa situasinya; apa yang
membuat situasi lebih baik dan apa yang membuatnya lebih
buruk; dan tindakan apa yang dapat Anda ambil untuk
mengatasi situasi tersebut. Gunakan beragam jenis data (mis.
Indikator status kesehatan masyarakat, cerita / kesaksian;
temuan evaluasi; pedoman "praktik terbaik"), sumber data
(mis. Perusahaan polling; organisasi masyarakat / mitra;
peneliti; pemerintah; sektor swasta); dan metode pengumpulan
data (mis. wawancara pemangku kepentingan atau kelompok
fokus; survei; tinjauan pustaka; tinjauan temuan evaluasi
sebelumnya atau mandat / kebijakan pemangku kepentingan).

68
3. Langkah 3: Identifikasi tujuan, populasi, hasil dan tujuan hasil
Tujuan: untuk menggunakan hasil penilaian situasional untuk
menentukan tujuan, populasi yang menarik, hasil dan tujuan
hasil.
Pastikan sasaran program, populasi yang menarik, dan sasaran
hasil diselaraskan dengan arahan strategis organisasi atau
kelompok Anda:
- goal: pernyataan luas yang memberikan arahan keseluruhan
untuk suatu program selama periode waktu yang panjang.
- populasi yang diminati: kelompok atau kelompok yang
membutuhkan perhatian khusus untuk mencapai tujuan
Anda
- tujuan akhir: pernyataan singkat yang menetapkan
perubahan yang diinginkan yang disebabkan oleh program.

Sebagian besar program promosi kesehatan akan memiliki satu


tujuan, walaupun program yang lebih kompleks mungkin
memiliki lebih dari satu.
Tujuan menggambarkan cara-cara untuk mencapai tujuan yang
diharapkan. Tunjuan menggambarkan apa yang berubah dan
dan yang harus terjadi untuk mencapai tujuan yang ingin
dicapai dan apa yang ingin dicapai oleh program segera
setelahnya sesuatu dilaksanakan. Oleh karena itu, penting agar
tujuan dibuat dengan jelas dan singkat.
Tujuan membahas faktor-faktor yang menyebabkan atau
berkontribusi pada masalah kesehatan prioritas yang tercakup
dalam tujuan. Analisis yang cermat terhadap faktor-faktor
penentu prioritas masalah kesehatan adalah titik awal untuk
mengembangkan tujuan. Tujuan program dievaluasi dengan

69
evaluasi dampak. Untuk mengembangkan tujuan yang baik
yang akan memandu pengembangan dan evaluasi program
adalah untuk memastikannya adalah SMART:
a. Specific (Spesifik (jelas dan tepat))
b. Measureable (Terukur (dapat untuk dievaluasi))
c. Achievable ( dapat diraih/realistis)
d. Relevant ( relevan dengan masalah kesehatan, kelompok
populasi, individu target)
e. Time (waktu (kerangka waktu untuk mencapai tujuan
yang ingin diraih)

Menulis sasaran program

Perencanaan untuk tindakan promosi kesehatan terpadu harus


dimulai dengan memperjelas prioritas luas dan menggunakannya untuk
mengembangkan sasaran dan sasaran program. Menulis sasaran dan
sasaran adalah dasar untuk memandu proses evaluasi. Dalam
mengukur dampak dan hasil program, penting untuk melihat kembali
tujuan dan sasaran program semula yang sudah direncanakan. Sasaran
program dievaluasi dalam evaluasi hasil.

4. Langkah 4: Identifikasi strategi, aktivitas, output, tujuan dan


sumber daya proses
Tujuan: untuk menggunakan hasil penilaian situasional untuk
memilih strategi dan kegiatan, layak dengan sumber daya yang
tersedia, yang akan berkontribusi pada sasaran dan sasaran
hasil Anda.
Strategi curah pendapat (mis. Pendidikan kesehatan,
komunikasi kesehatan, perubahan organisasi, pengembangan
kebijakan) untuk mencapai tujuan menggunakan satu atau
70
lebih kerangka kerja promosi kesehatan seperti Piagam Ottawa
untuk Promosi Kesehatan atau model sosioekologis.
Prioritaskan gagasan dengan menerapkan hasil penilaian
situasional. Identifikasi kegiatan spesifik untuk setiap strategi,
termasuk kegiatan yang ada untuk memulai, berhenti, dan
melanjutkan. Pilih output dan kembangkan tujuan proses.
Pertimbangkan sumber daya keuangan, manusia, dan natura
yang tersedia.

5. Langkah 5: Mengembangkan indikator


Tujuan: untuk mengembangkan daftar variabel yang dapat
dilacak untuk menilai sejauh mana hasil dan tujuan proses
telah dipenuhi.
Untuk setiap hasil dan tujuan proses, pertimbangkan hasil
yang diinginkan dan apakah: hasil yang diinginkan dapat
dibagi menjadi komponen yang terpisah; hasil yang diinginkan
dapat diukur; ada waktu yang tepat untuk mengamati hasil;
sumber data yang diperlukan dapat diakses; dan sumber daya
yang dibutuhkan untuk menilai hasilnya tersedia. Tetapkan
indikator untuk mengukur setiap hasil dan proses objektif dan
lakukan pemeriksaan kualitas pada indikator yang diusulkan
memastikan mereka valid, dapat diandalkan, dan dapat
diakses. Indikator digunakan untuk menentukan sejauh mana
hasil dan tujuan proses dipenuhi.

6. Langkah 6: Review rencana program


Tujuan: untuk mengklarifikasi kontribusi masing-masing
komponen rencana dengan tujuannya, mengidentifikasi
kesenjangan, memastikan sumber daya yang memadai, dan

71
memastikan konsistensi dengan temuan penilaian situasional.
Model logika adalah penggambaran grafis dari hubungan
antara semua bagian dari suatu program (yaitu, tujuan, sasaran,
populasi, strategi, dan kegiatan) dan merupakan salah satu cara
di mana gambaran umum program dapat dikomunikasikan.
Tinjau rencana untuk menentukan apakah: strategi
berkontribusi secara efektif terhadap sasaran dan sasaran;
tujuan jangka pendek berkontribusi pada tujuan jangka
panjang; kegiatan terbaik dipilih untuk memajukan strategi;
kegiatan sesuai untuk audiens; dan sumber daya yang
memadai untuk melaksanakan kegiatan

Implementasi
[1] Partnership/Kemitraan dan Cappacity Building
Kemitraan memegang peran yang juga sangat penting untuk
pelaksanaan promosi kesehatan, misalnya, mulai dari pendidikan
pasien hingga perumusan bersama kebijakan nasional. Definisi
kemitraan dapat berupa cara-cara bekerja bersama yang meliputi:
aliansi, jaringan, kerjasama, kolaborasi, koalisi, multi-sektoral,
antar-sektoral. Ada beberapa definisi kemitraan lainnya namun yang
pasti adalah kemitraan dilakukan untuk kesehatan adalah bahwa
dengan bermitra dapat memudahkan dalam pencapain tujuan
dibandingkan dengan bekerja sendiri. Kemitraan ini perlu bekerja
secara sinergi dimana berarti kemitraan menggabungkan kekuatan,
perspektif, sumber daya, dan keterampilan semua mitra dalam
mencari solusi yang lebih baik.

Membangun kapasitas orang lain, baik dalam peran


memimpin atau mendukung, juga merupakan bagian penting dari

72
praktik promosi kesehatan dan memberikan kontribusi pada
transformasi layanan dan perubahan sosial. Pendekatan kemitraan
sebaiknya dilakukan melalui sejumlah bidang yang berbeda
termasuk pelatihan dan pendidikan, kebijakan dan kerangka kerja,
pemasaran dan advokasi sosial, penelitian dan evaluasi,
pengembangan dan implementasi program, dan kemitraan dengan
sektor lain.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, promosi kesehatan
difokuskan untuk mempengaruhi faktor-faktor penentu kesehatan
dan mengurangi kesenjangan kesehatan. pendekatan antar-sektoral
atau kemitraan yang melibatkan stakeholder perlu dilakukan karena
faktor penentu kesehatan adalah sebagian banyak berasal di luar
kesehatan. Perlunya kemitraan efektif yang bekerja untuk
meningkatkan kesehatan dalam berbagai bentuk dan ukuran dan
dapat bersifat formal atau informal. Pada satu sisi, kemitraan dapat
memiliki hingga banyak anggota dan di sisi lain, kemitraan dapat
melibatkan sedikit orang yang bekerja pada proyek peningkatan
kesehatan.
[3] Pelatihan dan Pendidikan
Prioritas utama untuk promosi kesehatan adalah membangun
kapasitas staf layanan kesehatan dan lainnya untuk meningkatkan
kesehatan. Ini terjadi melalui program pelatihan dan pendidikan
serta pengembangan dan dukungan yang berkelanjutan.Pelatihan
dan pendidikan diberikan sebagai bagian dari rangkaian intervensi
yang membahas berbasis individu, kelompok, dan populasi
Tujuan dari intervensi ini adalah untuk meningkatkan
pengetahuan, sikap, self-efficacy dan kapasitas individu untuk
berubah. Selanjutnya, pendidikan dan proses pelatihan, dengan
sendirinya, berkontribusi pada pengembangan pribadi dan

73
profesional individu, masyarakat dan organisasi melalui keterlibatan
berkelanjutan mereka selama beberapa hari, minggu atau bulan.
Dampak maksimal dari pelatihan, pendidikan dan pengembangan
berkelanjutan dicapai ketika intervensi relevan, dihargai,
partisipatif, dan dapat dicapai untuk semua
Peserta.

[4] Kebijakan
Pendekatan kebijakan untuk promosi kesehatan telah terbukti
menjadi salah satu cara paling efektif untuk mencapai perubahan.
Untuk mengurangi ketidaksetaraan pada kesehatan, perubahan
paling baik dilakukan dengan mengubah kebijakan dan lingkungan
yang memiliki dampak terbesar pada kehidupan dengan
ketidaksetaraan kesehatan

[5] Social Marketing


Social marketing adalah proses yang menerapkan prinsip
dan teknik pemasaran untuk menciptakan, menyebarkan dan
memberikan informasi, untuk mempengaruhi perilaku target
audiens yang bermanfaat bagi masyarakat dalam promosi kesehatan
berarti berkaitan dengan keseheatan individu, keluarga, dan
masyarakat.
Promosi kesehatan menggabungkan pendekatan pemasaran
sosial untuk mempengaruhi dan meningkatkan kesehatan dan
kesejahteraan. Social marketing pada promosi kesehatan tidak hanya
sekedar upaya untuk meningkatkan kesadaran, memberikan
informasi atau perubahan tingkah laku. Promosi kesehatan dapat
dilakukan dengan kampanye dimana memilki tujuan terukur yang
bertujuan untuk mendukung dan mendorong kelompok populasi

74
tertentu di dalamnya untuk meningkatkan kesehatan dan kualitas
hidup mereka, dan untuk mengurangi kesenjangan kesehatan.
Penting untuk mengkomunikasikan kampanye yang efektif
dengan pesan yang jelas serta dengan tujuan dan metode yang jelas
agar masyarakat dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik
tentang gaya hidup kelompok populasi, lingkungan di mana mereka
tinggal dan bekerja, yang akan mendukung dan memotivasi mereka
untuk melakukan perubahan positif, bagi kesehatan mereka

[6] Advokasi
Advokasi adalah upaya untuk mempengaruhi hasil, termasuk
kebijakan publik dan keputusan alokasi sumber daya yang secara
langsung memengaruhi kehidupan masyarakat saat ini. Faktor-
faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, perilaku dan
biologis semuanya merupakan faktor penentu kesehatan. Penentu
kesehatan, sebagian besar, diciptakan melalui keputusan dan
tindakan yang diambil oleh Pemerintah, organisasi dan individu.
Oleh karena itu, penting bagi praktisi yang ingin meningkatkan
kesehatan, menemukan cara untuk mempengaruhi keputusan ini
melintasi berbagai sektor, baik secara langsung atau secara tidak
langsung melalui advokasi.
Advokasi sangat berperan dalam mempengaruhi atau
mendukung kebijakan publik serta dalam mengembangkan dan
memfasilitasi kemitraan antara berbagai kepentingan dalam
masyarakat untuk mendapatkan manfaat kesehatan, sehingga
memungkinkan individu dan masyarakat untuk mencapai potensi
penuh terhadap kesehatan mereka. Agar pelaksanaan avokasi
berjalan secara fektif, advokasi kesehatan harus direncanakan,
menggunakan strategi berdasarkan analisis yang sistematis. Harus

75
ada advokasi yang efektif dan yang berfokus hingga pada akhirnya
dapat mempengaruhi sistem pengambilan keputusan. Adapun
metode advokasi yang dapat digunakan mencakup lobi,
pengembangan strategi, pembangunan kemitraan, serta advokasi
media.

[7] Penelitian dan Evaluasi


Dalam promosi kesehatan, penelitian diperlukan karena
merupakan bukti yang diperoleh untuk mendukung, menolak atau
memodifikasi teori, menjelaskan pola perilaku, dan
mengembangkan intervensi yang sesuai berdasarkan data yang
diperleh di lapangan. Tujuan utama dari semua penelitian kesehatan
adalah untuk memahami dan kemudian meningkatkan kesehatan
individu dan masyarakat.
Sementara, evaluasi dalam promosi kesehatan diperlukan
untuk mengetahui sejauh mana sebuah program kesehatan berjalan,
bagaiman keberhasilannya, apakah memerlukan umpan balik, dan
untuk memaparkan laporan pertanngugngjawaban sebuha kegiatan
yang tentunya disertai dengan bukti. Agar evaluasi yang efektif
dapat berjalan maka diperlukan adanya pemaparan tujuan yang jelas
dan metode yang tepat untuk mengukur keberhasilan program
promosi kesehatan.

b. Evaluasi
Terdapat tiga jenis evaluasi: proses, dampak, dan hasil.
1. Evaluasi proses digunakan untuk menilai unsur-unsur
pengembangan dan penyampaian program, yaitu kualitas,
kesesuaian dan jangkauan program. Jenis evaluasi ini dapat
digunakan selama masa program, mulai dari perencanaan

76
hingga akhir pelaksanaan.
Selama tahap perencanaan dan uji coba, proses evaluasi akan
fokus pada kualitas dan kesesuaian bahan dan pendekatan yang
dikembangkan. Setelah program berada dalam tahap
implementasi, proses evaluasi dapat dilakukan yang berguna
untuk mengujur program dan tingkat implementasi semua aspek
program, dan dalam mengidentifikasi potensi atau masalah yang
muncul sehingga dapat dengan cepat diselesaikan dengan
dampak minimal pada program.
2. Evaluasi dampak digunakan untuk mengukur dampak program
langsung dan, oleh karena itu, dapat digunakan pada
penyelesaian tahapan implementasi (yaitu, setelah sesi, pada
interval bulanan dan / atau pada saat penyelesaian program).
Jenis evaluasi ini menilai sejauh mana tujuan program dipenuhi.
Karena itu, penting agar sasaran program dikembangkan dan
ditulis dengan cara yang memungkinkan penilaian kemudian
tentang apakah dan sejauh mana mereka telah dicapai.
Dampak didefinisikan sebagai, efek langsung yang
dihasilkan dari sebuah program promosi kesehatan terhadap
manusia, pemangku kepentingan dan pengaturan untuk
mempengaruhi faktor penentu kesehatan. Program promosi
kesehatan mungkin memiliki kisaran efek langsung pada
individu dan pada pengaturan sosial dan fisik. ’Program-
program promosi kesehatan terpadu harus menentukan
indikator dampak, memberikan pernyataan yang lebih konkret
tentang perubahan yang ingin dicapai dalam tujuan. Indikator-
indikator ini harus menentukan jenis perubahan yang
diharapkan dan persentase orang atau pengaturan dimana
perubahan itu diantisipasi.

77
3. Evaluasi hasil digunakan untuk mengukur dampak jangka
panjang dari program dan terkait dengan penilaian tentang
apakah, atau sejauh mana, tujuan program telah tercapai. Efek
jangka panjang mungkin termasuk pengurangan insiden atau
prevalensi kondisi kesehatan, perubahan angka kematian,
perubahan perilaku berkelanjutan, atau peningkatan kualitas
hidup, keadilan atau keadaan lingkungan. Sumber daya ini
berfokus pada proses (jangkauan) dan evaluasi dampak.
Sedangkan agensi / organisasi / kemitraan tidak diperlukan
untuk melakukan evaluasi hasil, mereka didorong untuk
mendokumentasikan setiap temuan hasil yang relevan jika
memungkinkan.

78
BAB V
KONSEP DASAR KEPERAWATAN KOMUNITAS

Tujuan Pembelajaran

Pada akhir bab ini pembaca akan mampu untuk :


 Menjelaskan

A. Definisi Komunitas

Menurut World Health Organization (1974) dalam Harnilawati (2013)


komunitas sebagai suatu kelompok sosial yang ditentukan oleh batas-batas
wilayah, nilai-nilai keyakinan dan minat yang sama, serta ada rasa saling
mengenal dan interaksi antara anggota masyarakat yang satu dan yang
lainnya. Menurut Centers for Disease Control and Prevention (2009) yang
dikutip oleh Swarjana (2016) komunitas yang sehat didefinisikan sebagai
salah satu yang terus-menerus menciptakan dan meningkatkan lingkungan
fisik dan sosial, membantu orang-orang untuk mendukung satu sama lain
dalam aspek kehidupan sehari-hari dan untuk mengembangkan potensi
mereka sepenuhnya.
Laverack (2009) dalam (Sines, et al., 2013) mengemukakan empat
karakteristik utama komunitas yang merangkum berbagai definisi yang
ditemukan dalam beberapa literatur yaitu:
 Dimensi spasial - mengacu pada tempat atau lokasi

79
 Minat, isu atau identitas yang dimiliki kelompok heterogen
 Interaksi sosial yang seringkali kuat di alam dan mengikat orang ke
dalam hubungan atau ikatan yang kuat satu sama lain
 Kebutuhan dan kepentingan bersama yang bisa ditangani secara
kolektif dan tindakan kolaboratif.

Mengistu (2006) mengemukakan terdapat 3 (tiga) fitur utama dari


keperawatan komunitas yaitu lokasi, populasi dan sosial sistem. Ketiga
komponen itu saling terkait satu sama lain, dimana lokasi mempengaruhi
suatu komunitas dalam melakukan aktifitas kesehariannya dalam hal ini
bergantung pada kondisi geografis dan layanan kesehatan yang berada di
tempat mereka tinggal. Selanjutnya populasi, dimana terdapat berbagai
macam individu tetapi menjadi suatu kesatuan dalam konteks komunitas,
dan sistem sosial yang berkaitan dengan segala sesuatu yang berkaitan
dengan interkasi di masyarakat sistem kesehatan, sistem keluarga, sistem
pendidikan dan sistem ekonomi.

St John (1998: 63) dalam (Sines, et al., 2013) mewawancarai perawat


masyarakat yang menjelaskan sifatnya komunitas tempat mereka bekerja
dalam hal 'geografi; penyediaan sumber daya; jaringan dan kelompok
sasaran. Beberapa perawat menggambarkan komunitas mereka sebagai
'klien', di mana anggota masyarakat terhubung. Jika sebuah populasi tidak
terhubung, perawat mendefinisikan komunitas sebagai elemen terbesar
berikutnya yang terhubung seperti kelompok atau keluarga. Akan terlihat
bahwa definisi masyarakat sering mencakup dimensi orang, geografi atau
ruang; elemen, hubungan atau kepentingan bersama; dan menggabungkan
beberapa bentuk interaksi.
Keperawatan kesehatan komunitas adalah area pelayanan keperawatan
professional yang bersifat holistic (bio-psiko-sosial-spritual) dan
difokuskan pada kelompok resiko tinggi yang bertujuan meningkatkan

80
derajat kesehatan melalui upaya promotif, preventif dan tidak mengabaikan
kuratif, dan rehabilitative dengan melibatkan komunitas sebagai dalam
menyelsaikan suatu masalah (Stanhope & Lancaster, 2016).
Keperawatan kesehatan komunitas bertujuan untuk mempertahankan
dan meningkatkan kesehatan serta memberikkan intervensi keperawatan
sebagai dasar untuk membantu individu, keluarga, kelompok dan
masyarakat dalamh mengatasi masalah kesehatan yang dihadapinya dalam
kehidupan sehari-sehari (Efendi & Makhfudli, 2009).
Berbagai definisi keperawatan komunitas telah dikemukakan oleh
organisasi-organisasi professional. Pada tahun 2004, American Nurses
Association (ANA) mendefinisikan keperawatan komunitas sebagai upaya
meningkatkan dan mempertahankan kesehatan dari populasi dengan
keterampilan dan pengetahuan berdasarkan keperawatan dan kesehatan
masyarakat. Praktik keperawatan komunitas dilakukan secara
komprehensif, umum (tidak terbatas pada kelompok tertentu), dan bersifat
kontinyu atau berkelanjutan. Menururt American Public Health Association
(2004) keperawatan kesehatan komunitas merupakan sintesis ilmu
kesehatan masyarakat dan teori keperawatan professional yang bertujuan
meningkatkan derajat kesehatan pada keseluruhan komunitas.
Definisi keperawatan kesehatan masyarakat menurut Depkes (2006),
yaitu suatu bidang dalam keperawatan kesehatan yang merupakan
perpaduan antara keperawatan dan kesehatana masyarakat dengan
dukungan serta peran aktif masyarakat yang menitikberatkan pada
pelayanan promotif dan preventif secara berkesinambungan tanpa
mengabaikan pelayanan kuratif dan rehabilitatif secara holistic dan terpadu.
Upaya pencapaian derajat kesehatan yang optimal dilakukan melalui
tindakan promotif, preventif pada semua tingkat pencegahan dengan
menjamin terjangkaunya pelayanan kesehatan yang dibutuhkan dan
melibatkan klien sebagai mitra kerja dalam perencanaan, pelaksanaan, dan

81
evaluasi pelayanan keperawatan. Mengistu (2006) mendefinisikan bahwa
perawat komunitas merupakan sintesis ilmu keperawatan dan kesehatan
masyarakat yang diterapkan untuk mempromosikan dan melindungi
kesehatan populasi dalam hal ini dengan menggabungkan semua elemen
dasar profesional keperawatan, keperawatan klinis dan teori keperawatan
dengan praktik kesehatan masyarakat untuk berperan serta dalam
meningkatkan kesehatan masyarakat.
Tujuan pelayanan perkesmas adalah meningkatkan kemandirian
masyarakat dalam mengatasi masalah perkesemas secara optimal, hal ini
berbeda dengan pelayanan kesehatan dalam konteks perawatan akut yang
lebih berfokus pada penyembuhan suatu penyakit dan bagaimana intervensi
untuk mengurangi suatu gejala dari suatu penyakit. Pelayanan keperawatan
diberikan secara langsung kepada seluruh masyarakat pada rentang sehat-
sakit dengan mempertimbangkan seberapa jauh masalah kesehatan tersebut
mempengaruhi individu, keluarga, kelompok, amupun masyarakat. Adapun
sasaran perkesmas yaitu seluruh komponen masyarakat yang terdiri atas
individu, keluarga, dan kelompok yang berisiko tinggi termasuk kelompok
atau penduduk di daerah kumuh, terisolasi, berkonflik dan daerah yang tidak
terjangkau dari pelayanan kesehatan. (Efendi & Makhfudli, 2009). Tabel
berikut menunjukkan perbedaan mendasar antara konteks perawatan akut
dan konteks perawatan berbasis komunitas.

Tabel 1: Perbandingan antara perawatan akut dan perawatan berbasis


komunitas (Mengistu, 2006)
Konsep Perawatan akut Perawatan komunitas
Perawatan
Klien atau pasien Klien terlihat di dalam
Klien
terpisah dari keluarga konteks keluarga
dan masyarakat

82
Ditandai dengan Lingkungan berbagi
Lingkungan
lingkungan ruang bersama dengan
perawatan, Kamar keluarga dan
terstandarisasi, masyarakat. Klien
akses keluarga dan tidak terlepas
klien dibatasi oleh dari lingkungan
oleh sekitarnya
fasilitas/pihak yang
terkait
Fokus kesehatan Fokus kesehatan yaitu
Kesehatan
adalah untuk untuk memaksimalkan
menghilangkan/meng fungsi
obati dan kualitas hidup.
penyakit.

Perawata menerima Praktek otonomi


Perawat
kegiatan yang dengan intervensi
sebagian besar yang diputuskan secara
didelegasikan oleh terpisah
dokter, bergantung pada nilai-
berpusat pada nilai yang dipercayai
pengobatan penyakit, atau di pegang oleh klien
dan intervensi dapat
diprediksi.

Perawat komunitas berperan dalam mempromosikan dn melindungi


kesehatan populasi melalui upaya pencegahan penyakit dan terjadinya
cedera, peningkatan disabilitas dan upaya promosi kesehatan di komunitas.
Dalam menjalankan perannya tersebut, perawat komunitas memiliki
beberapa elemen praktik (WHO, 2017) diantaranya:

83
1. Mengkaji kebutuhan pada populasi/komunitas secara keseluruhan
dimana dalam proses pegkajian ini dilakukan secara sistematis.
Pengkajian tidak hanya dilakukan pada komunitas, tetapi juga
kepada ke keluarga dan individu yang secara tidak langsung akan
mendapatkan manfaat dari program promosi kesehatan, atau pada
mereka yang berisiko terkena penyakit, cedera atau bahkan
kematian.
2. Mengidentifikasi dan mengartikulasi sejumlah hal dan faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi kesehatan di komunitas
3. Memberikan solusi atau membantu pemcahan masalah kesehatan
yang terkait dengan bio-psiko-sosio-spiritual pada keluarga,
individu melalui program kesehatan melalui kolaborasi antar sesama
petugas kesehatan dan menggali dan mengidentifikasi sejumlah
sumber daya yang dapat membantu peningkatan kesehatan
4. Mengimplementasikan segala perencanaan dan kebijakan secara
efektif
5. Mengevaluasi program keperawatan komunitas yag sudah
dijalankan dan bagaimana dampaknya terhadap kesehatan individu,
keluarga dan komunitas
6. Menjalankan riset keperawatan, memberikan pelayanan secara
maksimal berdasarkan dari hasil evaluasi yang telah dijalankan.

B. Komponen Keperawatan Komunitas

Transisi di bidang kesehatan perawatan dan partisipasi konsumen telah


membawa beberapa perubahan arah pelayanan kesehatan. Komponen
keperawatan berbasis komunitas yaitu perawatan diri, perawatan kesehatan
preventif, berkaitan dengan konteks masyarakat, perawatan
kesinambungan, dan perawatan kolaboratif (Hunt, 2009).
1. Self-Care : Tanggung Jawab Klien dan Keluarga

84
Gerakan konsumen dalam beberapa dekade terakhir telah
meningkatkan kesadaran pentingnya perawatan diri. Nilai merawat
diri untuk tetap sehat, daripada mengabaikan kesehatan, dengan
konsekuensi sakit atau cedera, telah menjadi gagasan yang lebih
diterima. Program penanganan stres, gizi, olahraga
dan kebugaran, serta penghentian merokok dan pencegahan dan
pengobatan penyalahgunaan zat, adalah contoh bagaimana perilaku
pencarian kesehatan mengambil peran yang lebih menonjol dalam
perawatan kesehatan. Self-care juga terlihat dalam penanganan
penyakit. Program pengelolaan penyakit mulai mencakup pelayanan
di seluruh rangkaian perawatan.
Self-care membebankan klien individual dan keluarga dengan
tanggung jawab utama untuk keputusan dan tindakan perawatan
kesehatan. Karena perawatan kesehatan semakin banyak dilakukan
di luar perawatan akut, dengan merancang klien, keluarga, atau
pengasuh lainnya, seperti teman atau tetangga, lebih peduli daripada
profesional perawatan kesehatan. Memberdayakan individu untuk
membuat keputusan perawatan kesehatan yang tepat merupakan
komponen penting self-care. Salah satu contohnya adalah arahan
awal yang memungkinkan klien berpartisipasi dalam keputusan
tentang perawatan mereka, termasuk hak untuk menolak perawatan.
Salah satunya yaitu kehendak hidup, yang merupakan pernyataan
klien mengenai perawatan medis yang dia gunakan untuk
menghilangkan atau menolak jika klien tidak dapat mengambil
keputusan tersebut untuk dirinya sendiri.
Perawat memainkan peran penting dalam memastikan bahwa klien
dan keluarga diberi tahu tentang masalah penting ini. Meskipun
keperawatan berbasis komunitas memberi kesempatan untuk
melakukan intervensi langsung, namun juga memerlukan pengajaran

85
perawatan mandiri untuk klien dan perawat. Peran perawat dalam
memfasilitasi self-care atau perawatan diri memerlukan proses
keperawatan.
2. Asuhan keperawatan berfokus pada pencegahan.
Dalam praktik kesehatan komunitas, pencegahan adalah hal
utama. Pencegahan selalu lebih baik daripada pengobatan.
Pencegahan mengandung makna antisipasi dan mencegah terjadinya
masalah atau menemukan masalah sedini mungkin, untuk dapat
meminimalkan potensi kecacatan dan kelemahan. Hal ini juga
berarti bahwa pencegahan ditujukan untuk menghentikan dan
mengendalikan penyakit sebelum suatu penyakit muncul atau
sebelum suatu penyakit memperburuk suatu kondisi yang sudah ada
(Mengistu, 2006). Tindakan pencegahan dapat dibagi menjadi tiga
level, yaitu pencegahan primer, sekunder, dan tersier.
Pencegahan primer adalah pencegahan untuk orang-orang yang
masih sehat. Pencegahan sekunder dilakukan ketika telah ditemukan
sakit atau pencegahan bagi orang yang telah didiagnosis sakit dan
diberikan treatment atau pengobatan. Diagnosis dini atau early
diagnosis adalah salah satu kuncinya, sehingga lebih awal dapat
diberikan tindakan yang tepat. Pencegahan tersier adalah pencegahan
berupa pemulihan atau sering dikenal dengan tindakan rehabilitatif.
Lebih lanjut ketiga level pencegahan ini berikut contohnya
sebagai berikut:
 Pencegahan primer: pencegahan suatu penyakit sebelum
berkesempatan untu muncul dan berkembang, misalnya
melalui vaksinasi atau imunisasi, makan makanan yang
bergizi, olahraga yang teratur, istirahat yang cukup,
menghindari rokok dan alkohol, manajemen stress,
menggunakan semprotan nyamuk, dan sebagainya.

86
 Pencegahan sekunder: pencegahan dengan melakukan deteksi
dini terhadap
masalah kesehatan aktual atau potensial misalmya skrining
diabetes, skrining kanker payudara, pap smear, aktivitas
SADARI (pemeriksaan payudara sendiri) dan sebagainya
 Pencegahan tersier: mencegah memburuknya suatu kondisi
kesehatan yang sudah ada misalnya rehabilitasi setelah
amputasi. Contoh lain misalnya, perawat di ruang gawat
darurat tidak hanya mempertimbangkan dampak keracunan
anak, tapi intervensi pencegahan keperawatan mana yang akan
memaksimalkan pemulihan dan mencegah terulangnya
kejadian tersebut. Pengajaran tentang perawatan luka untuk
menghindari infeksi merupakan intervensi pencegahan
penting bagi klien yang mengalami laserasi.

C. Caring dalam Konteks Komunitas

Isu kesehatan dan sosial bersifat interaktif. Asuhan keperawatan


diberikan saat mempertimbangkan budaya, nilai, dan sumber daya klien,
keluarga, dan masyarakat. Dalam situasi dimana anggota keluarga ingin
berpartisipasi dalam perawatan klien tetapi keterampilan psikomotor
mereka membatasi kemampuan mereka untuk melakukannya, perawat akan
mengakomodasi hal tersebut dalam batasan waktu dan perawatan yang
aman. Caring dalam konteks klien, keluarga, dan masyarakat dipengaruhi
oleh lokasi dan sistem sosial masing-masing masyarakat. Lokasi sering
menentukan kelayakan layanan kesehatan. Akibatnya, akses dan
ketersediaan layanan mempengaruhi kesehatan masyarakat.

87
D. Kontinuitas Perawatan

Fragmentasi perawatan telah lama menjadi perhatian profesional


perawatan kesehatan. Misalnya, klien dengan berbagai masalah dapat
dilihat oleh beberapa dokter: dokter keluarga, ahli jantung, ahli
endokrinologi, konsultan, dan ahli bedah. Berbagai penyedia layanan
kesehatan lainnya juga terlibat dalam perawatan klien. Continuity of care
adalah jembatan untuk perawatan berkualitas.
Kontinuitas memungkinkan kualitas perawatan untuk dipelihara dalam
sistem perawatan kesehatan yang berubah. Jika semua penyedia layanan
kesehatan mengikuti prinsip dasar kontuinitas perawatan, maka
kemungkinan dampak yang merugikan dari penurunan lamanya perawatan
akut dimana perawatan dikoordinasikan ke lingkungan masyarakat, dimana
asuhan disediakan melalui berbagai variasi
individu bisa diminimalisir.

E. Perawatan kolaboratif

Perawatan kolaboratif berkitn erat dengan kontinuitas perawatan.


Perawatan kolaboratif di antara profesional perawatan kesehatan adalah
bagian penting dari perawatan berbasis masyarakat karena tujuan utamanya
adalah untuk mempromosikan kesehatan dan memulihkan kesehatan.
Perawatan berbasis masyarakat bekerja dengan berbagai profesional karena
perawatan untuk klien dikaji, direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi.
Dokter bertanggung jawab terutama untuk mendiagnosis penyakit dan
memulai perawatan medis atau bedah. Dokter memiliki wewenang untuk
memasukkan klien dalam rangkaian layanan kesehatan yang spesifik dan
mengeluarkannya dari setting tersebut ke setting lain. Selanjutnya, dokter
menentukan rencana perawatan untuk kebutuhan medis klien dengan
masukan dari pengasuh profesional lainnya. Berbagai terapis (fisik,
pekerjaan, pernafasan, ucapan) mungkin terlibat dalam perawatan klien,

88
memberikan terapi di tempat perawatan akut, pengaturan rehabilitasi,
perawatan di tempat tinggal, atau di rumah. Klien dapat mengunjungi
fasilitas tersebut, atau terapis dapat mengunjungi rumah tersebut.
Seorang ahli gizi dapat menyesuaikan diet khusus dengan individu dan
keluarga tertentu atau untuk menasihati dan mendidik klien dan keluarga
mereka. Pekerja sosial membantu klien dan keluarga membuat keputusan
terkait penggunaan sumber daya masyarakat, perawatan yang mendukung
kehidupan, dan perawatan jangka panjang. Seorang pendeta atau penasihat
spiritual klien juga akan menasihati klien dan keluarga dan memberikan
dukungan spiritual. Apoteker mengeluarkan obat-obatan sesuai petunjuk
dokter. Meskipun masing-masing profesional bertanggung jawab untuk
perhatian khusus, masing-masing juga bertanggung jawab untuk berbagi
informasi dengan orang lain atau untuk mengevaluasi bagaimana perawatan
berlanjut. Jika satu orang dalam rantai gagal berkomunikasi, jembatan
kontinuitas melemah. Biasanya satu orang ditunjuk sebagai koordinator
komunikasi ini. Dalam banyak kasus koordinator ini adalah perawat.
Dalam praktik kesehatan komunitas, kita mengenal dua komponen dasar
(two basic components) yang mencakup promosi kesehatan dan pencegahan
terhadap masalah kesehatan. Level dari pencegahan adalah kunci dari
praktik kesehatan komunitas (Allender et al., 2014). Berikut adalah
penjelasan dari masing-masing komponen praktik kesehatan komunitas
(Swarjana, 2016).
F. Promosi Kesehatan
Dalam bidang public health, public/community health nursing, serta
dalam community health practice, promosi kesehatan adalah bagian yang
sangat penting. Health promotion menyangkut semua upaya yang dilakukan
untuk membantu orang-orang agar lebih dekat dengan kesehatan yang
optimal atau level tertinggi dari keadaan yang sejahtera. Dalam
keperawatan, program dan aktivitas promosi kesehatan dilaksanakan dalam

89
berbagai bentuk pendidikan kesehatan. Tujuan akhir dari promosi kesehatan
adalah untuk meningkatkan levels of wellness untuk individu, keluarga,
populasi, dan komunitas. Upaya kesehatan komunitas yang dapat dilakukan
untuk mencapai tujuan tersebut yaitu :
1. Meningkatkan rentang hidup bagi semua warga.
2. Menurunkan kesenjangan kesehatan bagi populasi.
3. Mendapatkan akses terhadap pelayanan pencegahan bagi semua
orang

90
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN KOMUNITAS

Tujuan Pembelajaran

Pada akhir bab ini pembaca akan mampu untuk :


 Menjelaskan

Asuhan keperawatan komunitas adalah suatu bentuk pelayanan


keperawatan professional yang merupakan bagian dari proses keperawatan yang
dtujukan langsung kepada masyarakat dengan menekankan pada kelompok yang
berisiko tinggi melalui upaya peningkatan derajat kesehatan, pencegahan penyakit,
serta pengobatan dan rehabilitasi sebagai upaya pencapaian derajat kesehatan yang
optimal (Riasmini, et al., 2017). Proses asuhan keperawatan komunitas merupakan
metode asuhan keperawatan yang bersifat alamiah, sistematis, dinamis, kontiyu,
dan berkesinambungan dalam hal pemecahan masalah kesehatan dari klien
individu, keluarga, serta kelompok melalui pengkajian, penentuan diagnosis,
perencanaan, pelaksanaan intervensi dan evaluasi keperawatan (Stanhope &
Lancaster, 2016).

A. Pengkajian Keperawatan Komunitas

Pengkajian komunitas bertujuan untuk mengidentifikasi factor-


faktor ysng dspat mempengaruhi status kesehatan masyarakat
(Anderson & MC. Farlane, 2011). Penkajian komunitas dilakukan

91
dengan mengaplikasikan beberapa teori dan konsep model keperawatan
yang relevan. Informasi atau data ini dapat diperoleh secara langsung
atau tidak langsung di komunitas (Riasmini, et al., 2017). Dalam
pengkajian komunitas menurut (Riasmini, et al., 2017) ada beberapa
data yang perlu dikumpulkan meliputi data :
1. Data Inti Komunitas
Data inti komunitas terdiri dari :
a) Riwayat (riwayat daerah, perubahan daerah)
b) Demografi (usia, jenis kelamin, ras, dan etnis)
c) Tipe keluarga (keluarga/bukan keluarga, kelompok)
d) Status perkawinan (kawin, /janda/duda, belum kawin)
e) Statistic vital (kelahiran, kematian kelompok usia dan
penyebab kematian)
f) Nilai-nilai kepercayaan dan agama

2. Data Subsistem Komunitas


Data subsistem yang diperlukan dalam pengkajian komunitas
meliputi:
a) Lingkungan fisik
Lingkungan fisik yang terdiri dari kualitas air,
pembuangan limbah, kualitas udara, flora, ruang terbuka,
perumahan, daerah hijau, musim, hewan, kualitas makanan
dan akses.
b) Pelayanan kesehatan dan sosial
Pelayanan kesehatan dan social yang dikaji meliputi
puskesmas, klinik, rumah sakit, pengobatan tradisional,
pelayanan kesehatan di rumah, pusat emergensi, rumah
perawatan, fasilitas pelayanan social, pelayanan kesehatan
jiwa, penyakit kronis dan akut yang dialami.

92
c) Ekonomi
Data yang perlu dikaji meliputi karakteristik keuangan
keluarga, dan individu, status pekerjaan, kategori
pekerjaan dan jumlah penduduk yang tidak bekerja, lokasi
perindustrian, pasar, pusat bisnis.
d) Transportasi dan keamanan
Data yang perlu dikumpulkan meliputi alat trasportasi
penduduk datang dna keluar wilayah, transportasi umum
(bus, taksi, angkot dan transportasi privat). Layanan
perlindung kebakaran, polisi, sanitasi dan kualitas udara.
e) Politik dan pemerintahan
Data yang perlu dikaji meliputi pemerintahan (RT, RW,
desa/kelurahan, kecamatan dan lain-lain), kelompok
pelayanan msyarakat (posyandu, PKK, karang taruna,
posbindu, poskesdes, panti, dan sebagainya), kegiatan
politik di wilayah tersebut dan peran serta partai politik
dalam pelayanan kesehatan.
f) Komunikasi
Data yang perlu dikumpulkan terkait dengan komunikasi
terbagi menjadi dua yaitu : a) komunikasi formal meliputi
surat kabar, radio, dan televise, telepon, dan internet; b)
komunikasi informal meliputi papan pengumuman, poster,
brosur, pengeras dari masjid dan sebagainya.
g) Pendidikan
Data yang perlu dikaji meliputi sekolah yang di daerah
tersebut, tipe pendidikan, perpustakaan, pendidikan
khusus, pelayanan kesehatan yang ada di sekolah, program
makan siang di sekolah, akses pendidikan yang lebih
tinggi.

93
h) Rekreasi
Data yang dikumpulkan terkait dengan rekreasi meliputi
taman, area bermain, perpustakaan rekreasi umum dan
privat dan fasilitas khusus.

3. Data Persepsi
Data persepsi yang perlu dikumpulkan meliputi:
a) Persepsi masyarakat
Persepsi masyarakat yang dikaji terkait tempat tinggal
tentng bagaimana persepsi masyarakat tentang kehidupan
bermasyarakat yang dirasakan di lingkungan tempat
tinggal mereka, apa yang menjadi kekuatan mereka,
permasalahan, tanyakan pada kelompok yang berbeda
(misalnya remaja, lansia, pekerja, ibu rumah tangga, dan
sebagainya).
b) Persepsi perawat
Persepsi perawat yang dimaksud yaitu peryataan umum
tentang kondisi kesehatan dari masyarkat yang menjadi
kekuatan, masalah atau potensial masalah yang dapat
diidentifikasi.

Sumber data pada data primer berasal dari masyarakat langsung


yang didapat dengan cara: 1) survey epidemiologi; 2) pengamatan
epidemiologi; 3) skrinning kesehatan. Sedangkan data sekunder, data
didapatkan dari data yang sudah ada sebelumnya. Sumber data sekunder
didapat dari :

1. Sarana pelayanan kesehatan, misalnya rumah sakit dan puskesmas.

94
2. Instansi yang berhubungan dengan kesehatan, misalnya kementrian
kesehatanm dinas kesehatan atau biro pusat statistic.
3. Absensi sekolah, industry dan perusahaan
4. Secara internasional, data dapat diperoleh dari data WHO, seperti
data laporan populasi.

Data yang dikumpulkan dalam pengkajian keperawatan dapat


diperoleh dengan metode wawancara, observasi, kuisoner dan
pemeriksaan. Setelah data terkumpul, data dianalisis dengan beberapa
tahap yaitu kategorisasi, ringkasan, perbandingan dan kesimpulan.

a) Kategorisasi
Data dapat dikategorikan dengan beberapa cara diantaranya: a)
karakteristik demografi (komposisi keluarga, usia, jenis kelamin,
etnis dan ras); b) karaterikstik geografis (batas wilayah, jumlah dan
besarnya kepala keluarga (KK), ruang public dan jalan); c)
karakeristik social-ekonomi (pekerjaan dan jenis pekerjaan), tingkat
pendidikan, dan pola kepemilikan rumah; d) sumber dan pelayanan
kesehatan (rumah sakit, puskesmas, klinik, balai kesehatan dan
pusat kesehatan mental dan lain-lain).
b) Ringkasan
Setelah melakukan kategorisasi data, maka tugas berikutnya adalah
meringkas data dalam setiap kategori. Pernyataan ringkasan
disajikan dalam bentuk ukuran seperti jumlah, bagan dan grafik.
c) Perbandingan
Perbandingan merupakan analisis data yang meliputi identifikasi
kesejangan data dan ketidaksesuaian. Data pembandingan
diperlukan untuk menetapkan pola atau kecenderungan yang ada
atau jika data tidak benar dan perlu revalidasi yang membutuhkan

95
data asli. Perbedaan data dapat terjadi karena adanya kesalahan
pencatat data.

d) Membuat kesimpulan
Membuat kesimpulan merupakan tahap akhir yang dilakukan
setelah data dikumpulkan dan dikategorikan, ringkasan dan
dibandingkan. Kesimpulan dibuat secara logis dari peristiwa yang
kemudian dibuatkan peryataan penegakan diagnosis keperawatan
komunitas.

B. Diagnosis Keperawatan Komunitas

Berdasarkan hasil Munas IPKKI II di Yogyakarta ditetapkan


formulasi diagnosis keperawatan menggunakan ketentuan
diagnosis keperaawatan NANDA (2015-2017) dari ICNP dengan
formulasi tanpa menuliskan etiologi. Penulisan tersebut sesuai
dengan label diagnosis NANDA (2015-2017) mencakup diagnosis
aktual, promos kesehatan/sejahtera atau risiko.

96
Tabel 2. Daftar Diagnosis Keperawatan Komunitas

Sasaran Domain Kelas Kode Rumusan diagnosis keperawatn


Komunitas Domain 1 : Kelas 1 : 00168 Gaya hidup monoton
Promosi Kesadaran
Kesehatan Kesehatan
(NANDA) Kelas 2 : 00257 Sindrom kelelehan lansia
Manajemen 00231 Risiko sindrom kelelahan lansia
Kesehatan 00215 Defesiensi kesehatan komunitas
00188 Perilaku kesehatan cenderung berisiko
00099 Ketidakefektifan pemeliharan kesehatan
00078 Ketidakefektifan manajemen kesehatan
00162 Kesiapan meningkatkan manajemen kesehatan diri
Ketidakefektifan manajemen regimen terapeutik keluarga
00080
Manajemen 10029684 Krisis kesehatan akut
perawatan
(ICNP)
Promosi 10023452 Kemampuan mempertahankan performa kesehtatan
kesehatan Penyalahgunaan alcohol

97
(ICNP) 10022234 Penyalahgunaan obat-obatan
10022425 Perlaku seksual efektif
10028187 Ketidakmampuan manajemen regimen diet
10022592 Ketidakmampuan manajemen regimen latihan
10022603 Ketidakmampuan mempertahankan kesehatan
Defisit pengetahuan tentang latihan
10000918 Kurang pengetauan tentang regimen diet
Kurang pengetahuan tentang perilaku seksual
10022585 Ketidakmampuan meningkatkan keamanan
10021939 Masalah perilaku seksual
10029991 Resiko terjadinya penyakit
Resiko cidera lingkungan
10022140 Penyalahgunaan rokok
10001274
10032386
10032355
10022247
Manajemen 10029286 Kurang pengetahuan tentang penyakit
perawatan jangka
panjang
(ICNP)

98
Manajemen 10029744 Kekerasan pada anak
risiko 10029825 Kekerasan lansia
(ICNP) 10029856 Keamanan lingkungan yang efektif
10032289 Risiko kekerasan
10032301 Risiko kekerasan anak
10033489 Risiko pengabaian anak
10032340 Risiko kekerasan lansia
10033489 Risiko pengabaian lansia
10015122 Risiko jatuh
10033436 Risiko pengobatan

99
C. Perencanaan Keperawatan Komunitas

Perencanaan pada keperawatan komunitas berorientasi pada


promosi kesehatan, pencegahan penyakit, pemeliharaan kesehatan, dan
manajemen krisis. Penyusunan perencanaan keperawatan kesehatan
komunitas melalui langkah-langkah berikut :

1. Menetapkan prioritas
Penetapan prioritas masalah perlu melibatkan masyarakat
dalam suatu pertemuan musyawarah masyarakat. Masyarakat
akan memprioritaskan masalah yang ada dengan bimbingan atau
arahan perawat kesehatan komunitas. Perawat dalam
menentukan prioritas masalah perlu memperhatikan enam
kriteria, yaitu kesadaran masyarakat akan masalah, motivasi
masyarakat untuk menyelesaikan masalah, kemampuan perawat
dalam memengaruhi penyelesaian masalah, ketersediaan pihak
terkait terhadap solusi masalah, beratnya konsekuensi jika
masalah tidak terselesaikan, memperepat penyelesaian masalah
dengan resolusi yang dapat dicapai.

2. Menetapkan sasaran (goal)


Setelah menetapkan prioritas masalah kesehatan, langkah
selanjutnya adalah menetapkan sasaran. Sasaran merupakan
hasil yang diharapkan. Dalam pelayanan kesehatan sasaran
merupakan pernyataan situasi kedepan, kondisi atau status
jangka panjang dan belum bisa diukur. Contoh dari penulisan
sasaran yaitu meningkatkan cakupan imunisasi pada bayi,
memperbaiki komunikasi antara orang tua dan guru,

100
meningkatkan proporsi individu yang memiliki tekanan darah,
serta menurunkan kejadian penyakit kardiovaskuler.
3. Menetapkan tujuan (objective)
Tujuan adalah pernyataan hasil yang diharapkan dan dapat
diukur, dibatasi waktu berorientasi pada kegiatan. Untuk
menetapkan tujuan sebaiknya berdasarkan metode SMART
yaitu spesific, measurable, achievable, relevant dan time bound
(Mengistu, 2006). Hal ini membantu perawat untuk membuat
tujuan yang realistis, yang secara mampu dicapai oleh perawat
yang disesuaikan dengan sumber daya yang tersedia, serta
membantu perawat untuk tidak secara berlebihan menetapkan
tujuan yang sulit diraih nantinya. Idealnya segala tujuan yang
ingin dicapai harus mampu diukur untuk menilai tingkat
keberhasilannya berikut juga dengan tjangka waktunya sehingga
pelaksanaan suatu program dapat lebih terarah dan berjalan
secara efektif dan efisien. Karakteristik dalam penulisan tujuan
yaitu menggunakan kata kerja, menggambarkan tingkah laku
akhir, kualitas penampilan, kuantitas penampilan, cara
mengukur penampilan, berhubungan dengan sasaran, adanya
batasan waktu.
4. Menetapkan rencana intervensi
Dalam menetapkan rencana intervensi keperawatan kesehatan
komunitas maka yang perlu diperhatikan adalah hal apa yang
akan dilaksanakan, waktu pelaksanaan, jumlah, target atau
sasaran, tempat atau lokasi. Adapun hal yang perlu diperhatikan
saat menetapkan rencana intervensi meliputi program
pemerintah terkait dengan masalah kesehatan yang ada, kondisi
atau situasi yang ada, sumber daya yang ada di dalam dan di luar
komunitas yang dapat dimanfaatkan, program yang sudah

101
pernah dijalankan, menekankan pada pemberdayaan
masyarakat, penggunaan teknologi tepat guna, mengedepankan
upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan
rehabilitatif.

D. Pelaksanaan (Implementasi) keperawatan komunitas

Implementasi merupakan tahap kegiatan selanjutnya setelah


perencanaan kegiatan keperawatan komunitas dalam proses
keperawatan komunitas. Fokus pada tahap implementasi adalah
bagaimana mencapai sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Hal yang sangat penting dalam implementasi keperawatan
kesehatan komunitas adalah melakukan berbagai tindakan yang berupa
promosi kesehatan, memelihara kesehatan/mengatasi kondisi tidak
sehat, mencegah penyakit dan dampak pemulihan. Program kesehatan
masyarakat yang telah ditetapkan pada tahap perencanaan. Tahap
implementasi keperawatan komunitas memiliki beberapa strategi
implementasi diantaranya proses kelompok, promosi kesehatan dan
kemitraan (partnership) (Riasmini et al, 2017).

E. Evaluasi keperawatan komunitas

Evaluasi perbandingan antara status kesehatan klien dengan hasil


yang diharapkan. Evaluasi terdiri dari tiga unsur yaitu evaluasi struktur,
evaluasi proses, dan evaluasi hasil. Tugas dari evaluator adalah
melakukan evaluasi, menginterpretasi data sesuai dengan kriteria
evaluasi, menggunakan penemuan dari evaluasi untuk membuat
keputusan dalam memberikan asuhan keperawatan (Nurhayati, 2011).
Evaluasi adalah suatu proses untuk membuat penilaian secara sistematis
mengenai suatu kebijakan, program dan kegiatan berdasarkan informasi
dan hasil analisis dibandingkan terhadap relevansi, keefektifan biaya,

102
dan keberhasilannya untuk keperluan pemangku kepentingan (Riasmini
et al, 2017). Jenis-jenis evaluasi menurut waktu pelaksanaan:

1. Evaluasi formatif. Evaluasi ini dilaksanakan pada waktu


pelaksanaan program yang bertujuan memperbaiki pelaksanaan
program dan kemungkinan adanya temuan utama berupa berbagi
masalah dalam pelaksanaan program.
2. Evaluasi sumatif. Evaluasi ini dilaksanakan pada saat
pelaksanaan program selesai, yang bertujuan untuk menilai hasil
pelaksanaan program dan temuan berupa pencapaian apa saja dari
pelaksanaan program.

Prinsip-prinsip evaluasi yaitu penguatan program, menggunakan


berbagai pendekatan, desain evaluasi untuk kriteria penting di
komunitas, menciptakan proses partisipasi, diharapkan lebih fleksibel,
dan membangun kapasitas. Proses evaluasi yaitu menentukan tujuan
evaluasi, menyusun desain evaluasi yang kredibel, mendiskusikan
rencana evaluasi, menentukan pelaku evaluasi, melaksanakan evaluasi,
mendeseminasikan hasil evaluasi, serta menggunakan hasil evaluasi.
Kriteria penilaian dalam evaluasi terdiri dari:

a) Relevansi (relevance): apakah tujuan program mendukung tujuan


kebijakan?
b) Keefektifan (effectiveness): apakah tujuan program dapat
tercapai?
c) Efisiensi (efficiency): apakah tujuan program tercapai dengan
biaya paling rendah?
d) Hasil (outcomes): apakah indikator tujuan program membaik?
e) Dampak (impact): apakah indikator tujuan kebijakan membaik?

103
f) Keberlanjutan (sustainability): apakah perbaikan indikator terus
berlanjut setelah program selesai?

104
BAB V
Aplikasi Asuhan Keperawatan Komunitas DBD

Tujuan Pembelajaran

Pada akhir bab ini pembaca akan mampu untuk :


 Menjelaskan

A. Pengkajian

1. Lingkungan Fisik
Adapun data yang perlu dikaji pada masalah Demam Berdarah
Dengue (DBD) yaitu:
a) Tempat penampungan air rumah tangga (tempayan, drum dan lain-
lain). Pengurasan TPA (Tempat Pennampungan Air) perlu
dilakukan dengan secara teratur sekurang-kurangnya seminggu
sekali agar nyamuk tidak dapat berkembang biak ditempat itu.
b) Pembuangan limbah. Limbah seperti kaleng, ban, dan barang
bekas lainnya harus dkubur atau dimusnahkan
c) Ruang Terbuka. Ruang terbuka pada rumah perlu diperhatikan
salah satunya ventilasi. Ventilasi rumah adalah lubang tempat
udara keluar masuk secara bebas. Ventilasi biasanya dimanfaatkan
oleh nyamuk untuk keluar maupun masuk ke dalam rumah.

105
Penggunaan kawat kasa pada ventilasi rumah adalah salah satu
pengendalian penyakit DBD secara mekanik. Pemakaian kawat
kasa pada setiap lubang ventilasi yang ada di dalam rumah
bertujuan agar nyamuk tidak masuk ke dalam rumah dan
menggigit manusia (host/pejamu) (Anwar & Adi, 2015).
d) Kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar. Kebiasaan
mengantung pakaian memiliki peluang bisa terkena penyakit
DBD. Pakaian yang tergantung di balik lemari atau di balik pintu
sebaiknya di lipat dan disimpan dalam lemari karena nyamuk
Aedes aegypti senang hinggap dan beristirahat di tempat-tempat
gelap dan kain tergantung (Anwar & Adi, 2015).
e) Pencahayaan. Hasil penelitian Nugroho dalam Anwar & Rahmat
(2015) adalah adanya hubungan yang bermakna antara intesitas
pencahayaan alam kurang 50 lux dengan infeksi dengue. Pada
lokasi penelitian yang didapatkan kondisi rumah responden yang
saling berdekatan sehingga menghalangi sinar/cahaya matahari
masuk ke dalam rumah. Pada umumnya jentik dari nyamuk Ae.
Aegypti dapat bertahan lebih baik di ruangan dalam kontainer
yang gelap dan menarik nyamuk betina untuk meletakkakn
telurnya. Di dalam kontainer yang berintensitas cahaya rendah
atau gelap rata-rata berisi larva lebih banyak dari kontainer yang
intensitas cahayanya besar atau terang.
f) Pemakaian obat anti nyamuk atau lotion. Obat anti nyamuk atau
lotion merupakan penolak serangga atau perlindungan diri yang
umum digunakan masyarakat terhadap nyamuk. Dapat
disimpulkan bahwa orang yang menggunakan obat anti nyamuk
atau lotion tidak memiliki peluang untuk terkena penyakit DBD,
sebaliknya orang yang tidak pernah menggunakan obat anti

106
nyamuk atau lotion akan berpeluang untuk terkena penyakit DBD
(Wati, Astuti, & Sari, 2016).

107
B. Diagnosis dan Perencanaan

Tabel 3. Contoh diagnosis keperawatan pada masalah DBD

Data Diagnosis NOC NIC


Keperawatan
Data pendukung Kode Diagnosis Kode Hasil Kode Intervensi
Studi dokumentasi : 00188 Perilaku Prevensi Primer Prevensi Primer
Hasil rekap kejadian kasus kesehatan 1844 Pengetahuan; manajemen 5510 Pendidikan kesehatan
DBD periode Januari hingga cenderung sakit akut 5520 Memfasiilitasi pembelajaran
Juni, RW “X” tertinggi dengan berisiko 1803 Pengetahuan; proses Pengajaran kelompok
18 kasus dan disusul RW”Y” penyakit 5604 Pengajaran prosedur/tindakan
dengan 14 kasus dengan 1 1805 Pengetahuan; perilaku 5618 Triase;telepon
kasus meninggal pada awal sehat 6366 Manajemen kasus
Juni. 1823 Pengetahuan; promosi 7320
Secara spesifik DBD baik di kesehatan
RW “X” atau RW “Y” 1855 Pengetahuan; gaya hidup
terlokalisir pada RT 1 dengan sehat

108
rata-rata kasus 4-7 kasus Prevensi sekunder Prevensi sekunder
dengan range waktu 1-2 1600 Kepatuhan perilaku 4350 Manajemen perilaku
minggu. 1602 Perilaku promosi 4360 Modifikasi perilaku
Hasil angket : kesehatan 6650 Surveilans
74% kemampuan penduduk 1603 Pencarian perilaku sehat 6550 Proteksi infeksi
dalam mengenali secara dini 1606 Partisipasi dalam 7400 Panduan sistem kesehatan
penyakit DBD kurang baik pengambilan keputusan Fasilitas kunjungan rumah
52% kemampuan penduduk perawatan kesehatn 7560 Pengontrolan berkala
dalam mencegah atau merawat 1608 Kontrol gejala Transportasi;antar fasilitas kesehatan
anggota keluarganya dari 1908 Deteksi faktor resiko 7620 Manajemen penyakit menular
penyakit DBD kurang baik. 1934 Keamanan dan kesehatan 7890 Manajemen lingkungan; komunitas
46% penduduk yang pernah serta perawatan Proteksi resiko lingkungan
mnderita DBD tidak pernah lingkungan 8820 Skrinning kesehatan
dilakukan kunjungan rumah 2606 Status kesehatan keluarga
oleh tenaga Puskesmas. 2700 Kompetensi komunitas 6489
45% warga yang menderita 2701 Status kesehatan
DBD tidak pernah komunitas 8880
mendapatkan penuyuluhan 2806 Respon komunitas
tentang DBD. terhadap disaster/KLB 6520
42 % wrga menyatakan bahwa 2807 Efektifitas skrining
manfaat melakukan tindakan kesehatan komunitas
2808 Prevensi Tersier

109
pencegahan 3M hanya sebatas Efektiifitas program Dukungan teraddap caregiver
lingkungan rumah agar bersih 2802 komunitas Dukungan keluarga
60% hambatan yang dirasakan Kontrol resiko komunitas Mobilissi keluarga
dalam melakukan tindakan Konsultasi
pencegahan karena tidak ada Dokumentasi
sanksi 7040 Pecacatan insidensi kasus
Angka bebas jentik di rumah 2605 Prevensi Tersier Rujukan
tangga sebesar 59% yang Partsispasi tim kesehatan 7140 Konsultasi telepon
berarti ada 41% rumah tangga 2108 dalam keluarga 7120 Pengembangan kesehatan masyarakat
positif jentik. Penggunaan sumber yang 7910 Pengembangan program
18% warga menyatakan yang ada di komunitas 7920
paling efektif untuk mencegah 7980
DBD adalah dilakukan fogging
atau menabur bubuk abate. 8100
Hasil observasi : 8180
Karakteristik lingkungan 8500
pemukiman penduduk
khususnya di RW “X” dan RW 8750
“Y” padat dengan SPAL yang
kurang baik.
Hasil Wawancara

110
Kegiatan PSN melalui gerakan
3M tidak secara rutin dilakukan
hanya kalau terjadi banyak
kasus.
Menggerakkan masyarakat
untuk melakukan gerakan 3M
dirasakan adil

111
BAB VI

Asuhan Keperawataan pada Pasien dengan DHF

Tujuan Pembelajaran

Pada akhir bab ini pembaca akan mampu untuk :


 Menjelaskan

A. Analisa Data

Analisis Data/ Faktor Risiko Etiologi Diagnosa Keperawatan

1. Peningkatan suhu tubuh Infeksi virus dengue


Hipertermia
diatas normal

2. Kulit terasa hangat

3. Kulit kemerahan

4. Takikardia

5. Takipnea

6. Hipotensi

112
7. Vasodilatasi

8. Kejang

9. Apnea

1. Penurunan tekanan darah kegagalan mekanisme Kekurangan Volume

2. Penurunan haluaran urine regulasi Cairan

3. Haus (ketidakseimbangan

4. Kelemahan input dan output

5. Peningkatan frekuensi nadi cairan)

6. Penurunan turgor kulit

7. Perubahan status mental

8. Peningkatan suhu tubuh

9. Membran mukosa kering

10. Kulit kering

1. Perubahan tekanan darah di Penurunan sirkulasi Ketidakefektifan

ekstremitas darah perfusi jaringan perifer

2. Perubahan karakteristik

kulit

3. Warna kulit pucat

Koagulapati inheren - Risiko Perdarahan

(trombositopenia)

1. Hipotensi - Risiko Syok

2. Hipovolemia

113
3. Sepsis

1. kelelahan Kekurangan volume Intoleransi aktifitas

cairan dan kegagalan


2. dispnea
mekanisme regulasi

1. Dispnea Edema Paru Gangguan pertukaran

2. pH Arteri abnormal (perubahan membran gas

3. Gas darah arteri abnormal alveolar-kapiler)

4. Hipoksia

5. Pernapasan cuping hidung

6. Takikardia

B. Diagnosis Keperawatan

1. Hipertermia berhubungan dengan sepsis (Infeksi virus dengue).

2. Kekurangan Volume Cairan berhubungan dengan kegagalan

mekanisme regulasi (ketidakseimbangan input dan output cairan).

3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan

penurunan sirkulasi darah.

4. Risiko Perdarahan : koagulapati inheren (trombositopenia).

5. Risiko Syok : hipotensi, hipovolemia, dan sepsis

6. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kekurangan volume cairan

dan kegagalan mekanisme regulasi (Herdman & Kamitsuru, 2015).

C. Tujuan Intervensi

1. Hipertermia berhubungan dengan sepsis (infeksi virus dengue).

114
a. Termoregulasi

1) Suhu tubuh dalam ambang batas normal

2) Terbebas dari demam

3) Frekuensi pernapasan dalam batas normal

2. Kekurangan Volume Cairan berhubungan dengan kegagalan

mekanisme regulasi (ketidakseimbangan input dan output cairan).

a. Keseimbangan cairan

1) Tekanan darah dalam batas normal

2) Membran mukosa oral dalam keadaan normal

b. Hidrasi

1) Turgor kulit dalam batas normal

2) Intake cairan adekuat

3) Output urine dalam batas normal

3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan

penurunan sirkulasi darah.

a. Perfusi jaringan : perifer

1) Pengisian kapiler jari dalam batas normal

2) Suhu kulit ujung kaki dan tangan normal

3) Kekuatan denyut nadi perifer dalam batas normal

b. Integritas jaringan : kulit dan membran mukosa

1) Dapat merasakan sensasi kulit

2) Elastisitas kulit dan membran mukosa dalam batas normal

3) Tidak ada pigmentasi abnormal pada kulit

115
4) Wajah tidak pucat

4. Risiko Perdarahan : koagulapati inheren (trombositopenia).

a. Status sirkulasi

1) Tekanan darah dalam batas normal

2) Saturasi oksigen dalam batas normal

b. Keparahan kehilangan darah

1) Tidak ada kehilangan darah yang terlihat

2) Tidak ada hematuria

3) Tidak ada hematemsis

c. Koagulasi darah

1) Waktu protrombin dalam batas normal

2) Waktu parsial tromboplastine dalam batas normal

3) Hemoglobin dalam keadaan normal

4) Hasil pemriksaan darah dalam batas normal

5. Risiko Syok : hipotensi, hipovolemia, dan sepsis

a. Keparahan syok : hipovolemik

1) Tanda-tanda vital dalam batas normal

2) Hasil pemeriksaan Analisa Gas Darah dalam batas normal

3) Urine output dalam batas normal

b. Kontrol risiko : proses infeksi

1) Mengidentifikasi faktor risiko infeksi

2) Mengidentifikasi faktor di lingkungan yang berhubungan

dengan infeksi

116
3) Penggunaan alat pelindung diri

4) Mempraktikkan strategi untuk mengontrol infeksi

5) Mengidentifikasi tanda dan gejala infeksi (Moorhead,

Johnson, Maas, & Swanson, 2015).

6. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kekurangan volume cairan dan

kegagalan mekanisme regulasi

a. Toleransi terhadap aktifitas

1) Mampu melakukan Aktifitas Hidup sehari-hari (Activities of

Daily Living/ADL)

7. Gangguan Pertukaran Gas

1. Respon ventilasi mekanik

a. Frekuensi pernapasan dalam batas normal

b. Irama pernapasan reguler

c. Tidak menggunakan otot-otot bantu pernapasan

d. Volume tidal normal

e. Kapasitas vital normal

f. Tidak ada gangguan perfusi jaringan perifer

g. Keseimbangan ventilasi perfusi

2. Status pernafasan : pertukaran gas

a. PH darah arteri dalam batas normal

b. PaCO2 dalam batas normal

c. Pa O2 dalam batas normal

d. Saturasi oksigen dalam batas normal

117
D. Intervensi Keperawatan

1. Hipertermia berhubungan dengan sepsis (Infeksi virus dengue).

a. Perawatan hipertermia

1) Monitor tanda-tanda vital

2) Batasi aktivitas fisik

3) Jauhkan pasien dari sumber panas, pindahkan ke lingkungan yang

lebih dingin.

4) Longgarkan atau lepaskan pakaian

5) Berikan metode pendinginan eksternal (kompres dingin pada

leher, abdomen, kulit kepala, ketiak dan selangkanan serta

berikan selimut dingin)

6) Basahi permukaan tubuh dan kipas pasien

7) Kolaborasikan cairan IV, sesuai kebutuhan

8) Kolaborasikan tambahan oksigen sesuai kebutuhan

9) Kolaborasikan penggunaan obat antipiretik dan antibiotik sesuai

kebutuhan.

10) Berikan pendinginan metode internal (lavement lambung dengan

es, lavement kandung kemih, peritoneal atau torak sesuai

kebutuhan)

11) Instruksikan pasien mengenai tindakan-tindakan untuk

mencegah kondisi sakit yang berhubungan dengan panas (suhu

lingkungan yang panas, dehidrasi dan aktifitas fisik)

b. Pengaturan suhu

118
1) Monitor suhu setiap 2 jam, sesuai kebutuhan

2) Pasang alat monitor suhu tubuh

3) Monitor tekanan darah, nadi dan respirasi, sesuai kebutuhan

4) Tingkatkan intake cairan dan nutrisi yang adekuat

5) Instruksikan pasien bagaimana mencegah keluarnya panas dan

serangan panas

6) Informasikan pasien mengenai indikasi adanya hipotermia dan

penanganan emergensi yang tepat.

7) Pastikan penggunaan obat antipiretik

2. Kekurangan Volume Cairan berhubungan dengan kegagalan mekanisme

regulasi (ketidakseimbangan input dan output cairan).

a. Monitor cairan

1) Tentukan jumlah dan jenis intake/asupan cairan serta kebiasaan

eleminasi

2) Tentukan faktor-faktor risiko yang mungkin menyebabkan

ketidakseimbangan cairan (misalnya kehilangan albumin,

trombosit, infeksi, muntah dan diare)

3) Tentukan apakah pasien mengalami kehausan atau gejala

perubahan cairan

4) Periksa isi ulang kapiler dengan memegang tangan pasien pada

tinggi yang sama seperti jantung dan menekan jari tengah selama

lima detik,lalu lepaskan tekanan dan hitung waktu sampai cairan

kembali merah

119
5) Periksa turgor kulit dengan memegang jaringan sekitar tulang

seperti tangan atau tulang kering, mencubit kulit dengan lembut,

pegang kedua tangan dan lepaskan

6) Catat dengan tepat asupan dan keluaran (asupan oral, asupan pipa

makanan, asupan IV, atibiotik, muntah, dan urine)

7) Monitor membran mukosa, turgor kulit dan respon haus

8) Monitor warna, kuantitas, dan berat jenis urine

b. Manajemen hipovolemia

1) Timbang berat badan di waktu yang sama

2) Monitor status hemodinamik meliputi nadi, tekanan darah dan

hemodinamik lain jika terpasang alat

3) Monitor adanya tanda tanda dehidrasi

4) Monitor adanya sumber-sumber kehilangan cairan

5) Monitor adanya hipotensi ortostatik dan pusing saat berdiri

6) Kolaborasikan cairan IV isotonik dan hipotonik sesuai kebutuhan

3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan

sirkulasi darah.

a. Manajemen sensasi perifer

1) Monitor sensasi tumpul atau tajam dan panas atau dingin (yang

dirasakan pasien)

120
2) Monitor adanya parasthesia dengan tepat (misalnya mati rasa,

tingling, hipertesia, hipotesia dan tingkat nyeri)

3) Monitor adanya penekanan dari gelang, alat-alat medis, sepatu dan

baju

4) Hindari dan selalu monitor penggunaan terapi kompres panas atau

dingin seperti penggunaan bantalan panas, permukaan berbahaya,

atau benda lainyang berpotensi menyebabkan kerusakan

5) Lindungi tubuh terhadap perubahan suhu yang ekstrem

6) Kolaborasikan obat analgesik, kortikostreoid, antikonvulsan, atau

anestesi lokal sesuai kebutuhan

7) Instruksikan pasien untuk selalu mengamati posisi tubuh jika

propriosepsi terganggu

b. Pengecekan kulit

1) Periksa kulit dan selaput lendir terkait dengan adanya kemerahan,

kehangatan ekstrem, atau drainase

2) Monitor kulit adanya ruam dan lecet

3) Periksa pakaian yang terlalu ketat

4) Dokumentasikan perubahan membran mukosa

c. Perawatan sirkulasi : infusiensi vena

1) Lakukan penilaian sirkulasi perifer secara komprehensif (misalnya

mengecek nadi perifer, edema, waktu pengisian kapiler, warna dan

suhu)

2) Nilai nadi perifer dan bandingkan dengan detak jantung

121
3) Monitor level ketidaknyamanan atau nyeri

4) Instruksikan pasien mengenai terapi modalitas/penekanan

5) Dukung latihan ROM pasif dan aktif, terutama pada ekstremitas

bawah selama beristirahat

6) Berikan obat antiplatelet atau antikoagulan sesuai indikasi

7) Pertahankan hidrasi yang cukup untuk menurunkan viskositas

darah.

4. Risiko Perdarahan : koagulapati inheren (trombositopenia).

a. Pencegahan perdarahan

1) Monitor dengan ketat terjadinya perdarahan pada pasien

2) Catat nilai hemoglobin dan hematokrit sebelum dan setelah pasien

kehilangan darah sesuai indikasi

3) Monitor tanda dan gejala perdarahan yang menetap (cek semua

sekresi darah yang terlihat jelas maupun tersembunyi/for frank or

occult blood)

4) Monitor komponen koagulasi darah ( protrombin time/PT, partial

thromboplastine time/PTT, dan trombosit hitung secara akurat

5) Pertahankan agar pasien tetap tirah baring

6) Kolaborasikan produk-produk darah (trombosit dan plasma beku

segar/FFP)

7) Lakukan prosedur invasif bersamaan dengan pemberian transfusi

trombosit/Tc, atau plasma segar beku/FFP

122
8) Instruksikan pasien dan keluarga untuk memonitor tanda-tanda

perdarahan dan mengambil tindakan pencegahan yang sesuai

5. Risiko Syok : hipotensi, hipovolemia, dan sepsis

a. Pencegahan syok

1) Monitor terhadap adanya mekanisme awal kompensasi syok

(hipertensi ortostatik ringan, tekanan nadi melemah, perlambatan

pengisian kapiler, takpinea, mual dan muntah, penuingkatan haus

dan kelemahan)

2) Monitopr terhadap adanya tanda tanda respon inflamasi sistemik

(peningkatan suhu, takikardia , takipnea, leukopenia, leukositosis)

3) Monitor tanda awal adanya tanda awal dari penurunan fungsi

jantung

4) Monitor kemungkinan penyebab kehilanagn cairan

5) Monitor status sirkulasi

6) Monitor tekanan oksimetri

7) Monitor suhu dan status respirasi

8) Posisikan pasien dalam posisi supine, dengan posisi kaki

ditinggikan sesuai kebutuhan

9) Anjurkan pasien dan keluarga mengenai tanda/gejala syok yang

mengancam jiwa

6. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan Intoleransi aktifitas berhubungan

dengan kekurangan volume cairan dan kegagalan mekanisme regulasi

a. Manajemen Energi

123
1) Kaji status fisiologis pasien yang menyebabkan kelelahan

2) Monitor intake/asupan nutrisi untuk mengetahui sumber energi

yang adekuat

3) Monitor waktu dan lama istirahat

4) Ajarkan pasien mengenai pengelolaaan kegiatan dan teknik

manajemen waktu untuk mencegah kelelahan

5) Tingkatkan tirah baring dan jelaskan pentingnya tirah baring

A. Intervensi Keperawatan

1. Manajemen Asam basa

a. Pertahankan kepatenan jalan Napas

b. Posisikan klien untuk mendapatkan ventilasi yang adekuat

c. Monitor kecenderungan pH arteri, PaCO2, PaO2 dan HCO3 dalam

rangka mempertimbangkan jenis ketidakseimbangan yang terjadi

d. Monitor gas darah arteri, level serum serta urine elketrolit jika

diperlukan

e. Kolaborasikan penggunaan cairan IV sesuai dengan

ketidakseimbangan yang terjadi

f. Kolaborasikan penggunaan terapi oksigen sesuai dengan

ketidakseimbangan yang terjadi

g. Kolaborassikan penggunaan obat obat antinyeri jika diperlukan

h. Monitoring status pernafasan

124
2. Manajemen jalan nafas

a. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi sesuai indikasi

jika diperlukan

b. Identifikasi kebutuhan aktual /potensial pasien untuk membuka

jalan napas

c. Lakukan pemasangan oksimeter jika diperlukan

d. Kolaborasikan penggunaan bronkodilator jika diperlukan

e. Kolaborasikan penggunaan aerosol dan nebulizer jika diperlukan

f. Posisikan untuk meringankan sesak

g. Monitor status pernapasan dan oksigenasi

125
BABVI
Gambaran Pelaksanaan Juru Pemantau Jentik DBD

Tujuan Pembelajaran

Pada akhir bab ini pembaca akan mampu untuk :


 Menjelaskan

A. Latar Belakang Kegiatan

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) hingga saat ini masih


menjadi problem utama di Indonesia. Sekalipun angka kematian DBD
dapat ditekan hingga di bawah 1 per 100 orang penderita, namun jumlah
dan sebaran kasusnya semakin meningkat. Tahun 2013 jumlah penderita
sebanyak 112.511 orang dengan area penyebaran hingga 498
Kabupaten/Kota (Kemenkes, 2014).

Kementerian Kesehatan melalui Direktorat Pengendalian Penyakit


Bersumber Binatang (Dit PPBB) Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP dan PL) telah
menetapkan tujuh kegiatan pokok dalam pengendalian DBD antara lain
pengobatan dan tatalaksana penderita, pengendalian vektor,
peningkatan peran serta masyarakat, jejaring kemitraan, pendidikan dan

126
pelatihan, monitoring dan evaluasi serta penelitian dan pengembangan
(Kemenkes, 2014).

Dalam mewujudkan tujuh kegiatan pokok pengendalian DBD,


ditentukan lima rencana pengembangan program antara lain
meningkatkan peran serta masyarakat, mengaktifkan kembali kelompok
kerja operasional (Pokjanal) DBD diberbagai tingkat administrasi,
mendorong kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) oleh anak
sekolah dan Pramuka, mendukung pengembangan vaksin serta
meningkatkan kemampuan sumber daya manusia (SDM) pengendalian
penyakit bersumber arbovirosis (Kemenkes, 2014).

Peran serta masyarakat merupakan komponen utama dalam


pengendalian DBD, mengingat vektor DBD nyamuk Aedes aegypti
jentiknya ada di sekitar permukiman dan tempat istirahat nyamuk
dewasa sebagian besar ada di dalam rumah. Peran serta masyarakat
dalam hal ini adalah peran serta dalam pelaksanaan PSN secara rutin
seminggu sekali. PSN secara rutin dapat membantu menurunkan
kepadatan vektor, berdampak pada menurunnya kontak antara manusia
dengan vektor, akhirnya terjadinya penurunan kasus DBD (Kemenkes,
2014).

Hingga saat ini peran serta masyarakat dalam pelaksanaan PSN


belum optimal, masih banyak masyarakat yang belum melakukan PSN
secara rutin. Banyak faktor yang menjadi penyebab rendahnya peran
masyarakat dalam PSN, di antaranya adalah terbatasnya biaya
kampanye PSN. Langkah awal dari kegiatan kampanye PSN adalah
penyusunan pentunjuk teknis (Juknis) tentang pelaksanaan PSN, salah
satunya adalah Juknis Jumantik-PSN Anak Sekolah (Kemenkes, 2014).

Kelompok anak sekolah merupakan bagian kelompok masyarakat


yang dapat berperan strategis, mengingat jumlahnya sangat banyak

127
sekitar 20% dari jumlah penduduk Indonesia adalah anak sekolah SD,
SLTP dan SLTA. Anak sekolah tersebar di semua wilayah Indonesia,
baik daerah perkotaan maupun pedesaan. Pemahaman PSN bagi anak
sekolah berperan untuk menanamkan perilaku PSN pada usia sedini
mungkin, yang akan digunakan sebagai dasar pemikiran dan
perilakunya dimasa yang akan datang. Selain itu, menggerakan anak
sekolah lebih mudah dibandingkan dengan orang dewasa dalam
pelaksanaan PSN (Kemenkes, 2014).

B. Tujuan Kegiatan

1. Meningkatkan peran serta anak sekolah sebagai Jumantik dalam


pelaksanaan PSN\
2. Sebagai salah satu upaya pembinaan perilaku hidup bersih dan
sehat (PHBS) sejak usia dini.
3. Sebagai panduan bagi pengelola program kesehatan/ petugas
kesehatan dan tenaga pendidik (guru) dalam membentuk/
menggerakan Jumantik-PSN anak sekolah.
4. Mendukung upaya penurunan kasus DBD di Indonesia

C. Sasaran Kegiatan

1. Pengelola program kesehatan/ petugas kesehatan


2. Kepala sekolah dan guru-guru
3. Para pembina gerakan pramuka
4. Anak sekolah dari SD/sederajat, SLTP/sederajat,
SLTA/sederajat
5. Pramuka

D. Pengorganisasian Kegiatan
1. Struktur
Jumantik anak sekolah adalah anak sekolah yang telah diberi
pembekalan terkait pemantauan jentik di sekolahnya.

128
Pembentukan dan pelaksanaan Jumantik PSN anak sekolah
dimaksudkan agar para anak sekolah ikut serta dalam
mendukung program pemerintah dalam upaya pemberantasan
sarang nyamuk (PSN) selain itu melalui pembinaan ini
merupakan salah satu bentuk upaya pembinaan perilaku hidup
bersih dan sehat (PHBS) sejak usia dini. Pembentukan Jumantik
ini serta pengawasan dan pembinaannya menjadi hak dan
tanggung jawab pemerintah kabupaten Takalar dalam hal ini
Dinas Kesehatan dan Pendidikan Kabupaten Takalar. Adapun
struktur organisasinya adalah sebagai berikut :

Gambar 4: Struktur organisasi Jumantik

Dari struktur diatas dapat dilihat bahwa dinas kesehatan dan dinas
pendidikan saling berkoordinasi bekerjasama membentuk kelompok kerja
(Pokja) PSN Anak Sekolah. Kemenkes (2014) juga menjelaskan bahwa
peran dan tanggungjawab Pokja Jumantik PSN Anak sekolah antara lain
yaitu:
a) Membentuk kegiatan PSN/ Jumantik anak sekolah di tiap-tiap
sekolah di wilayahnya.

129
b) Memberikan dukungan operasional dalam rangka pelaksanaan PSN
anak sekolah.
c) Menjalin koordinasi antara puskesmas dan sekolah dalam upaya
pembentukan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan kegiatan
PSN anak sekolah di wilayahnya.
d) Memastikan bahwa pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan PSN/
Jumantik anak sekolah di wilayahnya berjalan dengan baik dalam
rangka mencapai usaha kesehatan sekolah (UKS) yang optimal dan
mewujudkan “Sekolah Bebas Jentik”.
e) Melaksanakan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan
kegiatan PSN anak sekolah di wilayahnya.
f) Memberikan penghargaan terhadap sekolah, madrasah dan pondok
pesantren yang memiliki kinerja dan prestasi yang baik dalam
pelaksanaan PSN anak sekolah dan berhasil mewujudkan “Sekolah
Bebas Jentik”.
g) Memberikan laporan pelaksanaan PSN anak sekolah kepada
Pokjanal DBD tingkat provinsi (jika Pokjanal DBD tingkat provinsi
belum terbentuk, maka laporan ditujukan kepada Gubernur dengan
tembusan kepada kepala dinas kesehatan provinsi).

2. Tata Kerja/Koordinasi di Lapangan


Tata kerja/koordinasi Jumantik-PSN Anak Sekolah di lapangan
adalah sebagai berikut (Kemenkes, 2014)::
a) Tata kerja PSN/Jumantik anak sekolah mengacu pada petunjuk
teknis PSN-Jumantik
b) Anak Sekolah dan ketentuan-ketentuan lainnya yang berlaku di
wilayah setempat.
c) Jumantik anak sekolah berperan dalam kegiatan usaha
kesehatan sekolah (UKS) dalam rangka menciptakan “Sekolah
Bebas Jentik”.

130
d) Puskesmas berkewajiban melaksanakan pembinaan/
penyuluhan teknis kepada para guru dan para kader jumantik
anak sekolah secara berkala.
e) Kepala sekolah bersama dengan para guru dan petugas
puskesmas memantau dan menilai pelaksanaan PSN di
sekolahnya.
f) Kepala sekolah melalui guru penanggungjawab PSN sekolah
memberikan laporan rutin perbulan kepada puskesmas
berdasarkan hasil rekap pelaksanaan PSN/Jumantik Anak
sekolah setiap minggunya.

3. Kriteria dan Perekrutan Jumantik Anak Sekolah dan Guru


Penanggung Jawab PSN
a. Kriteria Jumantik Anak Sekolah
Kader Jumantik adalah siswa-siswi sekolah dengan kriteria
sebagai berikut :
 Mampu membaca dan menulis
 Mampu dan mau melaksanakan tugas dan bertanggung
jawab
 Mampu dan mau menjadi motivator bagi rekan-rekan siswa-
siswi yang lain.
 Mampu dan mau bekerjasama dengan petugas puskesmas,
guru dan petugas kebersihan sekolah lainnya.
b. Kriteria Guru Penanggung Jawab Jumantik-PSN Sekolah
Penunjukan Guru Penanggung Jawab Jumantik PSN Sekolah
menjadi kewenangan kepala sekolah yang bersangkutan, dengan
kriteria antara lain :
 Sudah mengabdi sebagai guru di sekolah bersangkutan
minimal selama 1 tahun.
 Mampu dan mau melaksanakan tugas dan
bertanggungjawab

131
 Mampu dan mau menjadi motivator bagi rekan-rekan guru
dan kader jumantik sekolah yang menjadi binaannya.
 Mampu dan mau bekerjasama/ berkoordinasi yang baik
dengan petugas puskesmas, tim Pokja Jumantik-PSN Anak
Sekolah dan masyarakat.

4. Perekrutan
Perekrutan kader jumantik anak sekolah dan penunjukan guru
penanggungjawab dilaksanakan sesuai dengan tata cara yang telah
diatur oleh masing-masing sekolah. Semakin banyak anak sekolah
yang dilibatkan akan semakin baik, bila perlu seluruh anak sekolah
dilibatkan sebagai Jumantik-PSN Anak Sekolah.

5. Peran dan Tanggung Jawab


Peran dan tanggung jawab pelaksanaan Jumantik-PSN disesuaikan
dengan fungsi masing-masing (Kemenkes, 2014) yaitu:
a. Jumantik Anak Sekolah
1. Melakukan kegiatan pemantauan jentik dan PSN di
lingkungan sekolah secara rutin seminggu sekali.
2. Melakukan kegiatan pemantauan jentik dan PSN di
lingkungan tempat tinggalnya secara rutin seminggu sekali.
3. Membuat catatan/laporan hasil pemantauan jentik dan PSN di
sekolah dan tempat tinggalnya.
4. Melaporkan hasil pemantauan jentik kepada Guru Penanggung
Jawab Jumantik-PSN sekolah seminggu sekali menggunakan
Formulir Hasil Pemantauan Jentik Mingguan di
Rumah/Tempat Tinggal (lampiran 1) dan Formulir Hasil
Pemantauan Jentik Mingguan di Sekolah (lampiran 2)
5. Melakukan sosialisasi PSN 3M dan pengenalan DBD kepada
rekan-rekan siswa-siswi lainnya.

132
6. Berperan sebagai penggerak dan motivator siswa-siswi
lainnya agar mau melaksanakan pemberantasan sarang
nyamuk terutama di lingkungan sekolah dan tempat
tinggalnya.
7. Berperan sebagai penggerak dan motivator bagi keluarga dan
masyarakat agar mau melaksanakan pemberantasan sarang
nyamuk terutama di lingkungan tempat tinggalnya.

b. Guru Penanggung Jawab PSN Anak Sekolah


1. Membuat rekapitulasi laporan mingguan hasil Jumantik-
PSN di masing-masing rumah siswa dan sekolahnya yang
telah disahkan/ ditandatangani oleh kepala sekolah
(lampiran 3) untuk diserahkan kepada kepala puskesmas
setempat selaku pembina UKS wilayahnya.
2. Memeriksa dan mengarahkan kegiatan Jumantik anak
sekolah.
3. Mengawasi/memberikan bimbingan teknis kepada Jumantik
anak sekolah.

c. Kepala Puskesmas
1. Membina dan memantau pelaksanaan kegiatan PSN anak
sekolah serta melaksanakan koordinasi dengan pemerintah
daerah setempat (Pokja PSN Anak Sekolah).
2. Memberikan pembinaan teknis kepada guru-guru dan
Jumantik anak sekolah.
3. Menganalisa laporan hasil pemantauan jentik oleh Jumantik
anak sekolah.
4. Melaporkan rekapitulasi hasil pemantauan jentik oleh
Jumantik anak sekolah di wilayah kerjanya kepada Pokja
PSN Anak Sekolah melalui kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota.

133
d. Dukungan Operasional
Agar Jumantik-PSN Anak Sekolah dapat bertugas dan berfungsi
sebagaimana yang diharapkan maka diperlukan dukungan biaya
operasional. Dukungan dana tersebut dapat berasal dari beberapa
sumber misalnya APBD, Bantuan Operasional Kesehatan (BOK),
dan lain sebagainya (Kemenkes, 2014). Adapun komponen
pembiayaan yang diperlukan antara lain adalah:
 Transport/insentif bagi petugas pembina teknis di lapangan.
 Penyediaan PSN kit berupa topi, rompi, tas kerja, formulir hasil
pemeriksaan jentik, alat
 tulis, senter, pipet dan plastik tempat jentik dan larvasida.
 Penyediaan alat lainnya misalnya media komunikasi, informasi
dan edukasi (KIE) seperti leaflet, stiker, lembar balik (flipchart),
buku saku, juknis/juklak dll.
 Biaya pelatihan/pembinaan guru-guru sekolah/ guru
penanggung jawab PSN anak sekolah oleh Pokja PSN anak
sekolah.
 Biaya pelatihan bagi jumantik anak sekolah oleh puskesmas/
dinas kesehatan/ Pokja PSN anak sekolah.
 Biaya monitoring dan evaluasi.

134
Gambar: PSN Kit berupa topi, tas kerja, senter, dan sebagainya

Gambar: Perlengkapan PSN jumantik kit

E. Pelaksanaan

PSN adalah tindakan pemberantasan sarang nyamuk melalui


kegiatan menutup, menguras dan memanfaatkan barang bekas yang
masih berniai (yang dikenal dengan istiah 3M). Kegiatan PSN anak
sekolah meliputi pengamatan jentik dan kegiatan 3M (menutup,
menguras, memanfaatkan barang-barang bekas yang masih bernilai
ekonomis). PSN 3M merupakan kegiatan terencana secara terus
menerus dan berkesinambungan. Gerakan ini merupakan kegiatan yang
paling efektif untuk mencegah terjadinya penyakit DBD serta
mewujudkan kebersihan lingkungan dan perilaku hidup sehat.

1. Mekanisme pelaksanaan
a. Dinas Kesehatan bersama Dinas Pendidikan dan Kantor
Kementerian Agama Kabupaten/Kota dalam wadah Pokja

135
PSN anak sekolah memberikan pembinaan/pelatihan
Jumantik-PSN anak sekolah kepada guru-guru di sekolah.
b. Kepala Sekolah membuat tim pelaksana Jumantik-PSN anak
sekolah dan menunjuk seorang guru penanggung jawab PSN
anak sekolah.
c. Guru penanggungjawab PSN anak sekolah menyusun program
kerja/kegiatan Jumantik-PSN anak sekolah.
d. Guru yg sudah dilatih mengajarkan Jumantik-PSN kepada
anak sekolah
e. Setiap minggu siswa melakukan pemantauan jentik dan PSN
di sekolah dan rumah/ tempat tinggalnya masing-masing dan
melakukan pencatatan hari dan tanggal pelaksanaan, jenis
tempat perkembangbiakan nyamuk, ada tidaknya jentik dan
kegiatan PSN 3M yang dilakukan (sebagaimana form 1 dan 2).
f. Formulir pencatatan Formulir Hasil Pemantauan Jentik
Mingguan di Rumah/Tempat Tinggal (lampiran 1) dan
Formulir Hasil Pemantauan Jentik Mingguan di Sekolah
(lampiran 2) dilaporkan setiap minggu ke guru penanggung
jawab dan diparaf oleh guru penanggung jawab.
g. Guru penanggungjawab memeriksa formulir tersebut, apabila
laporan ditemukan jentik maka guru wajib memberikan arahan
kepada siswa untuk meningkatkan kegiatan PSN 3M, serta
membuat rekap laporan ke Puskesmas terdekat untuk
ditindaklanjuti.
h. Dinas Kesehatan/ Pokja PSN anak sekolah melalui Puskesmas
setempat melakukan pembinaan ke sekolah dalam rangka
keberlangsungan kegiatan Jumantik-PSN anak sekolah.

136
Gambar 5: Pelaksanaan pendidikan kesehatan tentang DBD di
depan para siswa

2. Pemantauan jentik
Mencari semua tempat perkembangbiakan jentik nyamuk yang ada
di dalam maupun di lingkungan rumah.
Setelah didapatkan, maka dilakukan penyenteran untuk mengetahui
ada tidaknya jentik
Mencatat ada tidaknya jentik dan jenis kontainer yang diperiksa
pada Formulir Hasil Pemantauan Jentik Mingguan di
Rumah/Tempat Tinggal (lampiran 1) dan Formulir Hasil
Pemantauan Jentik Mingguan di Sekolah (lampiran 2)

3. Menguras

137
Menguras tempat penampungan air secara rutin dan terus menerus.
Menguras harus dilakukan setiap minggu dengan pertimbangan
nyamuk harus dibunuh sebelum menjadi nyamuk dewasa, karena
periode pertumbuhan telur, jentik dan kepompong selama 8-12
hari, sehingga sebelum 8 hari harus sudah dikuras supaya mati
sebelum menjadi nyamuk dewasa.
4. Menutup
Menutup adalah kegiatan menutup semua tempat penyimpanan air
yang diperkirakan air akan disimpan dalam waktu lama (lebih dari
satu minggu). Namun apabila tetap ditemukan jentik, maka air
harus dikuras dan dapat diisi kembali kemudian ditutup rapat.
5. Mengubur
Mengubur adalah kegiatan penimbunan barang-barang dari kaleng
atau plastik agar tidak menjadi tempat tertampungnya air. Air yang
tertampung dalam sampah kaleng atau plastik dapat menjadi tempat
berkembang biaknya nyamuk penyebab demam berdarah. Oleh
karena itu kegiatan mengubur barang bekas dapat menjadi alternatif
umtuk mengatasi masalah tersebut

6. Memanfaatkan kembali barang bekas menjadi barang yang


bernilai ekonomis
Pada tahapan kegiatan ini siswa diajarkan tentang bagaimana mampu
mendaur ulang sejumlah barang yang biasanya dijadikan tempat
bersarangnya nyamuk seperti pengelolaan botol bekas, kaleng
minuman, kaleng cat dan sebagainya. Daur ulang ini diharapkan para
siswa dapat menghasilkan barang yang dapat dimanfaatkan untuk
pribadi atau di keluarganya atau bahkan untuk dijual.

138
Gambar 7: Edukasi mendaur ulang barang-barang

a. Pot Hidroponik
Pot hidroponik adalah pot bunga yang terbuat dari olahan barang
bekas yang di ubah menjadi suatu pot yang dapat menyimpan air
sehingga pemilik bunga tidak perlu di sibukkan lagi untuk
menyiram tanamannya (Ina, 2016)
1. Alat dan bahan:
 Botol bekas
 Sumbu kompor
 Gunting
 Cutter
 Air secukupnya
2. Cara pembuatan
 Potong botol plastik dengan cutter pada bagian batas atas
botol
 Bagian badan botol di bentuk menjadi daun atau anyaman
sesuai keinginan pembuat
 Lepaskan tutup botol dari bagian kepala botol yang telah
potong
 Bagian tutup botol di lubangi sedikit untuk tempat
masuknya sumbu

139
 Masukkan sumbu kompor di lubang pada penutup botol
yang sudah di buat
 Tutup kembali kepala botol dengan tutup botol yang telah
kita modifikasi
 Letakkan kepala botol dengan posisi terbalik pada bagian
atas badan botol
 Pot hidroponik siap di gunakan

140
Gambar 6: Tahapan pembuatan pot hidroponik

b. Dompet pernak-pernik
Dompet pernak-pernik adalah tempat penyimpanan eksesoris seperti
jam tangan, bros jilbab, koin, dan berbagai pernak pernik yang terbuat
dari botol plastik bekas yang di gabungkan dengan resleting untuk
membuka dompet (Humaira, 2015)
1. Alat dan bahan:

141
 buah botol bekas dengan bentuk dan warna yang sama
 Resleting
 Benang dan jarum
 Cutter
2. Cara pembuatan
 Potong bagian bawah kedua botol tersebut dengan
menggunakan cutter
 Setelah itu, satukan bagian bawah kedua botol yang telah di
potong dengan cara menjahit resleting pada sisi kedua botol
tersebut.
 Untuk membuat tampilannya lebih lucu dan menarik, Anda
bisa menempelkannya mata boneka pada sisi atasnya.
 Anda juga dapat menambahkan aksesoris sesuai kreativitas
anda untuk lebih mempercantik tampilan

c. Celengan dari Kaleng Bekas

142
Merupakan tempat penimpanan uang yang ingin di tabung untuk
digunakan dimasa depan (Sugeng, 2015)
1. Alat dan bahan :
 Kaleng susu bekas
 Cat Warna, bisa pilox atau cat cair
 Kuas
 Cutter
 Koran bekas
2. Tutorial Memebuat Celengan dari Kaleng Susu Bekas
 Kaleng susu bekas dicuci hingga bersih, kemudian dijemur
sampai kering.
 Kaleng bekas yang sudah kering selanjutnya dicat
menggunakan cat pilox atau cat cair sebagai warna dasar
gunakan warna putih.
 Semprotkan cat secukupnya saja (tidak perlu tebal) tapi rata
kesemua permukaan kaleng. Gunakan koran bekas sebagai
alas.
 Selanjutnya jemur kaleng yang sudah dicat hingga kering
dengan beralasankan koran bekas.
 Setelah kaleng sudah kering kemudian kita lukis / gambar
dengan menggunakan kuas. misalnya gambar pemandangan,
binatang, atau tokoh kartun hello kitty.
 Jemur kembali calon celengan kaleng yang sudah digambar
hingga kering.
 Untuk membuat celengan kaleng lubangi tutup kaleng
dengan cuter, dengan bentuk lubang lurus sepanjang kira-
kira 4 cm.
 Pasang tutup kaleng yang sudah dilubangi tadi sebagai
penutup celengan kaleng.

143
d. Kotak pesan
Merupakan kotak tempat penimpanan surat yang terbuat dari kotak
susu yang sudah tidak dipergunakan (Lestari, 2012)
1. Alat dan bahan
 Kardus susu bekas ukuran 400 gr
 Kertas warna warni
 Lem kertas
 Gunting/cutter
 Penggaris
 Tali
 Boneka hias
2. Cara pembuatan
 Potong kardus susu sesuai yang diinginkan dengan salah satu
sisinya membentuk cela untuk menyelipkan pesan

144
 Untuk memperoleh struktur yang berbeda, remas kertas warna
warni kemudian tempelkan ke kardus hingga leseluruhan
terbungkus rapi
 Lubangi ujung bagian atas kardus yang telah diberi cela untuk
menyelipkan kertas
 Ikatkan tali untuk menggantung kertas
 Tempel boneka hias sebagai pemanis
 Dapat juga dikreasikan sesuai dengan kreatifitas pembuat

e. Pot bunga cantik


Merupakan pot bunga hiasan yang terbuat dari kertas. Pot ini biasa
digunakan untuk mempercantik meja belajar kita (Lestari, 2012).
1. Alat dan bahan
 Gelas kertas bekas
 Karton warna warni
 Kertas krep warna warni
 Tusuk sate

145
 Lem
 Gunting cutter
2. Cara pembuatan
 Bersihkan gelas kertas bekas. Potong kertas karton warna hijau
dengan ukuran yang diinginkan (lebar kurang lebih 1-2 cm),
kemudian lipat-lipat dan masukkan ke dalam gelas hingga
penuh
 Buat pola bunga dan daun dari kertas karton dengan warna
berbeda.
 Tempelkan tusuk sate yang sudah dilapisi kertas krep ke bagian
belakang pola bunga
 Atur bunga-bunga yang telah jadi ke dalam gelas kertas

f. Tempat Tissu Kaleng Bekas


Tempat Tissu Kaleng Bekas merupakan tempat tissu yang terbuat dari
kaleng bekas yang dimodifikasi karena terbuat dari kaleng membuat

146
tempat tissu ini kuat dan tahan terhadap air yang dapat merusak tissue
(Budi, 2016)
1. Alat dan Bahan:
 Kaleng Bekas Susu ukuran besar
 Gunting
 Pisau Cutter
 Cat (warna sesuai dengan keinginan kita)
2. Cara Pembuatan
 Pada bagian tutup kaleng buatlah lubang bulat yang berfungsi
sebagai tempat untuk keluarnya tissu
 Kaleng tinggal dicat dan diwarnai agar lebih menarik

g. Penutup Lampu Hias


Merupakan kerajinan tangan dari barang bekas yang terbuat dari
sendok plastik yang disusun menjadi penutup lampu (LoeXie, 2012)
1. Alat dan Bahan:
 Sendok bekas
 Botol Bekas

147
 Lem
2. Cara Pembuatan
 Botol bekas yang sudah disiapkan dipotong bagian
ujungnya yang kecil
 Sendok plastik bekas dipotong dan dipisahkan dari
gagangnya
 Ujung sendok kemudian ditempelkan dengan
menggunakan lem pada potongan botol bekas satu persatu
hingga keseluruhan botol bekas tertutupi oleh potongan
sendok
 Berikan hiasan tambahan untuk lebih mempercantik

148
h. Wadah Lampu
Merupakan kreasi wadah lampu yang terbuat dari kaleng yang sudah
tidak terpakai (Tiwi, 2017)
1. Alat dan Bahan:
 Kaleng bekas susu ukuran kecil
 Pisau
 Paku
 Cat

2. Cara Pembuatan
 Kaleng bekas dilubangi pada kedua sisinya sebagai tempat
masuknya lampu
 Dibagian sisi kaleng bentuklah pola dengan menggunakan
paku membuat lubang-lubang kecil sesuai dengan kreasi kita
 Kaleng tinggal dicat dan diwarnai agar lebih menarik

149
7. Pencatatan dan pelaporan
a. Kegiatan pencatatan dan pelaporan berfungsi untuk menilai
keberhasilan PSN 3M oleh anak sekolah, serta sebagai informasi
penting dalam rangka menghadapi terjadi serangan DBD.
Pencatatan dan pelaporan PSN anak sekolah dilakukan dengan
tahapan sebagai berikut : Pencatatan dilakukan sesuai dengan
Formulir Hasil Pemantauan Jentik Mingguan di Rumah/Tempat
Tinggal (lampiran 1) dan Formulir Hasil Pemantauan Jentik
Mingguan di Sekolah (lampiran 2).
b. Seminggu sekali siswa melakukan pemantauan jentik dan PSN di
rumahnya masingmasing melakukan pencatatan hasil pemantauan
jentik, jenis tempat perkembangbiakan nyamuk/ penampungan air
(kontainer), ada tidaknya jentik dan kegiatan PSN 3M yang
dilakukan dengan menggunakan Formulir Hasil Pemantauan Jentik
Mingguan di Rumah/Tempat Tinggal (lampiran 1)
c. Seminggu sekali siswa juga melakukan pemantauan jentik dan PSN
di lingkungan sekolahnya, melakukan pencatatan hasil pemantauan
jentik, jenis ruangan yang dipantau, jenis tempat perkembangbiakan
nyamuk/ penampungan air (kontainer), ada tidaknya jentik dan
kegiatan PSN 3M yang dilakukan Formulir Hasil Pemantauan Jentik
Mingguan di Sekolah (lampiran 2).
d. Formulir Hasil Pemantauan Jentik Mingguan Anak Sekolah
dilaporkan setiap minggu ke guru penanggung jawab dan diparaf
oleh guru penanggung jawab.
e. Guru penanggungjawab memeriksa Formulir Hasil Pemantauan
Jentik dan PSN Sekolah dan Formulir Hasil Pemantauan Jentik dan
PSN Rumah, apabila laporan ditemukan jentik maka guru wajib

150
memberikan arahan kepada siwa untuk meningkatkan kegiatan PSN
3M, serta diharapkan dapat melaporkan ke Puskesmas setempat
untuk mendapatkan pengendalian lebih lanjut.
f. Guru Penanggung jawab merekap hasil pemantauan siswa di rumah
dan di sekolah ke dalam form Rekapitulasi Laporan Mingguan
Jumantik-PSN Anak Sekolah (lampiran 3) kepada kepala puskesmas
setempat selaku pembina UKS wilayah.

151
Daftar Pustaka

Anderson, E., & MC. Farlane, J. (2011). Community as partner : Theory


and practice in nursing. Philadelphia: Lippincott Willims &
Wilkins.
Anwar, A., & Adi. (2015). Hubungan Lingkungan Fisik dan Tindakan
PSN dengan Penyakit DBD di Wilayah Buffer kantor Kesehatan
Pelabuhan Kelas II Samarinda. Jurnal Ilmiah Manuntung, 23.
Anwar, A., & Rahmat, A. (2015). Hubungan Kondisi Lingkungan Fisik
dan Tindakan PSN Masyarakat dengan Container Index Jentik Ae.
aegypti di wilayah. Jurnal Ilmiah Rekam Medis dan Informasi
Kesehatan, 118-120.
Budi, R. (2016, November 30). Cara Membuat Kerajinan Tangan dari
Kaleng Bekas Berbentuk Tempat Tissue. Diambil kembali dari
https://rivanibudi.wordpress.com/2016/11/30/
Chakraborty, T., & Alcamo, I. E. (2008). Dengue fever and other
hemorrhagic viruses. Infobase Publishing.
Candra, A. (2010). Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi,
Patogenesis, dan Faktor Risiko Penularan. ASPIRATOR-Journal of
Vector-borne Disease Studies, 2(2).
Centers for Disease Control and Prevention. 1997. Retrieved from:
https://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/casedef.html
Centers for Disease Control and Prevention. 2014. Clinical guidance.
Retrieved from:
https://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html
Djati, AP, Rahayujati, B&Raharto, S. 2010. Faktor Risiko Demam
Berdarah Dengue di Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunungkidul
Provinsi Diy. Retrieved from:
http://kesmas.unsoed.ac.id/sites/default/files/file-
unggah/Anggun%20Pramita3.pdf
Efendi, F., & Makhfudli. (2009). Keperawatan kesehatan komunitas:
Teori dan praktik dalam keperawatan . Jakarta: Salemba Medika.
Fried, J. R., Gibbons, R. V., Kalayanarooj, S., Thomas, S. J.,
Srikiatkhachorn, A., Yoon, I. K., ... & Cummings, D. A. (2010).
Serotype-specific differences in the risk of dengue hemorrhagic
fever: an analysis of data collected in Bangkok, Thailand from 1994
to 2006. PLoS neglected tropical diseases, 4(3), e617.
Harnilawati. (2013). Pengantar ilmu keperawatan komunitas. Sulawesi
Selatan: Pustaka As Salam.
Humaera, A. (2015, April 19). Macam-macam Kerajinan Tangan
Mudah di Buat. Diambil kembali dari
http://myannisahumaira.blogspot.co.id.
Hunt, R. (2009). Introduction to community-based nursing.
Philadelphia: Wolters Kluwer.
Ina, N. H. (2016, Desember 23). Fun With Hydroponics. Diambil
kembali dari http://blog.umy.ac.id/nurhadaina
Kemenkes. (2014). Petunjuk Teknis Jumantik - PSN Anak Sekolah. 1-
37.
Lestari, S. D. (2012). Kreasi Barang Bekas. Jakarta: PT Balai Pustaka
(Persero).
LoeXie. (2012, September 29). Membuat sendiri kap lampu futuristik
keren dari sendok plastik. Diambil kembali dari
https://loexie.wordpress.com/2012/09/29/
Mengistu, D, & Misganaw, E. Community health nursing. Retrieved
from:
https://www.cartercenter.org/resources/pdfs/health/ephti/library/lec
ture_notes/nursing_students/comm_hlth_nsg_final.pdf
Nurhayati. (2011). Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Komunitas.
Jakarta: Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Queensland Health. 2017. Dengue. Retrieved from:
http://conditions.health.qld.gov.au/HealthCondition/media/pdf/14/2
17/284/dengue-v5
Riasmini, N. m., Permatasari, H., Chairani, R., Puji, A. N., Ria, R. T., &
Handayani, T. W. (2017). Panduan asuhan keperawatan individu,
keluarga, kelompok, dan komunitas dengan modifikasi NANDA,
ICNP, NOC dan NIC di puskesmas dan masyarakat. Jakarta: UI-
Press.
Sines, D., Aldridgr-Bent, S., Fanning, A., Farrelly, P., Potter, K., &
Wright, J. (2013). Community and public health nursing. United
Kingdom: Wiley Blackwell.
Stanhope, & Lancaster. (2016). Public health nursing ; Population
centered health care in the community. USA: Mosby.
Sugeng. (2015, Maret 31). Diambil kembali dari Tutorial Blogku:
http://caraaslan.blogspot.co.id/2015/03/cara-membuat-celengan-
dari-kaleng-bekas.html
Swarjana, I. K. (2016). Keperawatan kesehatan komunitas. Yogyakarta:
Andi Offset.
Swarjana, I. K. (2016). Keperawatan Kesehatan Komunitas.
Yogyakarta: ANDI OFFSET.
Tiwi. (2017, Juni 16). Contoh Kerajinan Tangan dari Barang Bekas.
Diambil kembali dari https://ilmuseni.com/seni-rupa/kerajinan-
tangan/contoh-kerajinan-tangan
Wati, N. K., Astuti, S., & Sari, L. K. (2016). Hubungan Pengetahuan
dan Sikap Orang Tua tentang Upaya Pencegahan dengan Kejadian
DBD pada Anak di RSUD Banjarbaru Tahun 2015. Jurkessia, 24-
25.
Whitehorn, J & Farrar, J. 2010. Dengue. British Medical Bulletin, 95(1),
161–173, https://doi.org/10.1093/bmb/ldq019
World Health Organization. 2017. Retrieved from Dengue and severe
dengue http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/
World Health Organization. 2017.Enhancing the role of community
health nursing for universal health coverage. Retrieved from:
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/255047/1/9789241511896-
eng.pdf

Arellano, C., Casttro, L., Caravantes, E.D., Ernst, K.C., Hayden, M., & Castro, P.R.
(2015). Knowledge and beliefs about dengue transmission and their
relationship with prevention practice in Hermosillo, Sonora, Emergent
Public Health Issues In The US-Mexico Border Region, Vol. 3 (142), p. 15-
22.

Asmadi. (2005). Konsep dasar keperawatan. Jakarta: EGC

Audain, G & Maher, C. (2017). Prevention and control of worldwide mosquito-


borne illnesses: nurse as a teacher, The Online Journal of Issues in Nursing.
Vol. 22(1), p. 1-14

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2016).


Nursing Interventions Classification (NOC). Indonesia: Elsevier.

Conyer, R..T., Galvan, J.M., Zuniga, P.B. (2012). Community participation in the
prevention and control of dengue: the patio limpio strategy in Mexico,
Pediatrics and International Child Health, Vol. 32, p. 10-13.

Efendi, F & Makhfudli. (2009). Keperawatan kesehatan komunitas: teori dan


praktik dalam keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Ginanjar, G. (2009). Demam berdarah. Jakarta: PT. Mizan Publika

Hastuti, O. (2008). Demam berdarah dengue. Yogyakarta: Kanisius

Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2016). Diagnosis Keperawatan Defenisi dan


Klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Kemenkes optimalkan PSN


cegah DBD: memperingati asean dengue day. Diakses tanggal 29 Januari
2019. http://www.depkes.go.id/pdf.php?id=17061500001.
Lin, H., Liu, T., Song, T., Lin, L., Xiao, J., Lin, J., He, J., Zhong, H., Hu, W., Deng,
A., Peng, Z., Ma, W., & Zhang, Y. (2016). Community involvement in
dengue outbreak control: an integrated rigorous intervention strategy, PLOS
Neglected Tropical Disease, p. 1-10

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2016). Nurisng Outcomes
Classification (NOC) Edisi Bahasa Indonesia. Indonesia: Elsevier.

Riasmini, N.M., Permatasari, H., Chairani, R., Astuti, N.P., Ria, R.T.T.M.,
Handayani, T.W. (2017). Panduan asuhan keperawatan individu, keluarga,
kelompok, dan komunitas dengan modifikasi Nanda, ICNP, NOC, dan NIC
di puskesmas dan masyarakat. Jakarta: Universitas Indonesia

World Health Organization. (2002). Pencegahan dan pengendalian dengue dan


demam berdarah: panduan lengkap. Jakarta: EGC

World Health Organization. (2012). Global strategy for dengue prevention and
control. France
World Health Organization and Asian Development Bank. (2013).
Managing regional public goods for health: community-based dengue
vector control. Philippines
Kwok-Cho Tang, Robert Beaglehole, & Desmond O'Byrne. Kebijakan dan
kemitraan untuk tindakan promosi kesehatan - menangani faktor-faktor
penentu kesehatan
Ontario Agency for Health Protection and Promotion (Public Health Ontario). At a glance:
The six steps for planning a health promotion program. Toronto, On: Quuen’s Printer for
Ontario:2015

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, M. J., & Wagner, C. M. (2015).

Nursing Interventions Classification (NIC). Singapore: ELSEVIER.

Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2015). Diagnosis keperawatan Definisi &

Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10. Jakarta: EGC.


Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2015). Nursing Outcomes

Classification (NOC) 5th Edition. Singapore: ELSEVIER.


DAFTAR INDEX

Antiplatelet, 122
A
A Apnea, 112 C
C
Abdomen, 38, 118 Apoteker, 89
Abiotik, 13 Arbovirus, 2 Cairan, 4, 39, 44, 48, 113

Abnormal, 114 Arteri, 114, 124 Cairan intravena, 8

Absensi, 95 Arthropoda, 2 Cappacity building, 72

Achievable, 70 Artralgia, 1 Caring, 3, 87

Activities of daily living, 117 Asam basa, 124 CDC, 1, 13

Adaptif, 14 Asian development bank, 29, Cedera biologis, 39

ADL, 117 156 Celengan, 142

Administratif, 19 Asidosis, 7 Cenderung berisiko, 33, 97,

Advocate, 52, 59 Asidosis metabolic, 39 108

Advokasi, 17, 22, 59, 75 Asites, 4 Center for disease control and

Aedes aegypti, 3, 8, 20, 106, Aspek attitude, 59 prevention, 1

127 Aspek knowledge, 59 Community health practice,

Aedes albopictus, 14 Aspek practice, 59 89

Afektif, 18 Asuhan keperawatan, 1, 31 Continuity of care, 88

Agen pengendali biologis, 8 105, 153 Copepoda, 18

Agensi, 78 Asupan gizi, 44


Agent, 11, 19 Asupan makan, 39 DD
Ahli bedah, 88 Asymptomatic dengue
Data inti komunitas, 92
Ahli gizi, 45, 89 infection or dengue
Data persepsi, 94
Akral dingin, 38 without symptoms, 14
Data sekunder, 33
Akumulasi cairan, 5 Auskultasi, 38
Data subsistem komunitas, 92
Alamiah, 31, 91
DBD, 1, 29, 38, 105, 126,
BB
Alkohol, 86
150
American public health
Bacillus thuringiensis Definisi, 2, 72, 79, 156
association, 81
israelensis, 18, 30 Definisi masalah, 67
Analgesic, 43
Bahan kimia, 8, 19 Defisiensi kesehatan, 33
Analgesik, 40, 121
Bak mandi, 23 Deklarasi alma alta, 50
Analisa gas darah, 116
Ban bekas, 14, 23 Demam, 1, 44, 115, 126, 138,
Anemis, 38
Berkembang biak, 3, 14, 105 156
Angka kejadian, 21
Bertelur, 4, 9, 15, 18 Demam berdarah dengue, 1,
Anti nyamuk, 8, 106
Biotik, 13 105, 152
Antibiotik, 43, 118
Bubuk abate, 27, 108 Demam mendadak, 4
Antikonvulsan, 121
Budaya, 53, 59, 64, 75, 87 Demografi, 31, 95
Antipiretik, 43, 118
Demonstrasi, 19 Ekonomi, 32, 93 Gas darah, 114
DEN-2, 2, 13 Ekonomis, 135, 138 Gatal, 4
DEN-4, 2, 13 Ektremitas, 8 Gejala infeksi, 13
DEN-1, 2, 13 Ekuitas, 54 Gejala utama, 2
DEN-3, 2, 13 Elketrolit, 124 Gender, 67
Dengue shock syndrome, 2, 6 Enable, 52 Genetika, 66
Dengvaxia, 9 Endokrinologi, 88 Geografi, 80
Derajat kesehatan, 31, 32, 50, Environment, 11 Gigitan nyamuk, 3, 5, 8, 13,
54, 57, 81, 91 Epidemi, 10, 17 15
Derajat kesehatan Epidemiologi, 11, 94 Goal, 69, 100
masyarakat, 34, 36 Epidemiologic triangle, 11
Determinants of health, 51, Epistaksis, 1, 38 H
H
66 Evaluasi, 23, 65, 91, 102,
Diagnosa keperawatan, 39, 127, 130 Habitat, 24

112 Evaluasi, 3, 41, 76, 102 Head to toe, 38

Diare, 4, 48, 119 Evaluasi formatif, 103 Health promotion, 89

Dimensi spasial, 79 Evaluasi sumatif, 103 Health public policy, 56

Dinamis, 31, 91 Extrinsic incubation period, 3 Hematemsis, 116

Disfungsi organ, 6 Hematokrit, 4, 48, 122


Hematokrit, 48
Dispnea, 114 F
F
Dokter, 88 Hematuria, 48, 116

Donor, 13 Faktor lingkungan, 11, 12 Hemodinamik, 120

DSS, 2 Farmakologis, 41 Hemoglobin, 116

Dukungan sosial, 35, 36 Fase demam, 5, 43 Hemokonsentrasi, 4


Fase febrile, 5 Hemoragik, 2
Fase kritis, 5, 6 Hepatomegali, 2
E
Fase pemulihan, 5, 7 Hidrasi, 115
Early diagnosis, 86 Fasilitas kesehatan, 32, 109 Hidroponik, 139
Edukasi, 19, 28, 31, 134 Flafivirus, 2, 13 Hipertermi, 43
Efektif, 12, 17, 19, 20, 57, 63, Flaviviridae, 2, 13 Hipertermia, 39, 112, 114,
72, 73, 74, 75, 76, 84, 98, Flipchart, 134 118
99, 101, 108, 135 Flora, 32, 92 Hipertesia, 121
Efektifitas, 22, 23, 41 Focus group disccussion, 26 Hipokloremi, 39
Efektivitas program Fragmentasi, 88 Hipoksia, 114
masyarakat, 34 Fungsi keluarga, 35 Hiponatremia, 39
Efisiensi, 14, 23 Hipoproteinemia, 4
Efisiensi, 103 G
G Hipoproteinemia, 39
Efusi pleura, 4 Hipotensi, 112, 113
Ekimosis, 1 Gangguan makan, 44 Hipotesia, 121
Ekologi, 65 Gangguan organ, 5 Hipovolemia, 114, 116, 120,
Ekonomi, 11, 52, 53, 59, 60, Gangguan pernapasan, 5 123
64, 66, 75, 80, 95 Gangguan tidur, 40 Hipovolemia, 113
Hipovolemik, 116 Kehilangan nafsu makan, 4
J
Historis, 17 J Kejang, 112
Holisme, 65 Jalan napas, 124 Kelambu, 8, 25
Host, 11, 13, 106 Jantung, 46, 88, 119, 121, Kelelahan, 4, 5, 46, 47, 97,
123 114, 124
II Jenis kelamin, 67 Keletihan, 39, 46
Jentik, 16, 28, 29, 106, 108, Kelompok profesional, 60
Identitas, 38 128, 132, 133, 134, 135, Keluhan utama, 38
Ikan guppy, 18, 28 136, 137, 138, 150 Kemitraan, 22, 54, 56, 58, 72,
Ikan nila merah, 28 Juknis, 127 73, 75, 78, 102, 126, 156
Iklim, 12, 17 Jumantik, 127, 128, 129, 130, Keperawatan, 1, 3, 30, 31, 33,
Impact, 103 131, 132, 133, 134, 136, 34, 35, 38, 39, 44, 48, 80,
Implementasi, 19, 58, 65, 68, 151, 153 81, 82, 84, 85, 86, 87, 89,
73, 77, 102 Juru pemantau jentik, 3, 126 91, 92, 95, 96, 100, 101,
Imunisasi, 86, 100 102, 108, 153, 154, 155,
Imunitas, 12
K
K 156
Imunitas, 12 Keringat dingin, 38
Increase individual skills, 57 Kader jumantik, 131, 132
Kesadaran kesehatan, 97
Indikator, 68, 71, 77 Kaleng bekas, 142, 146, 147,
Kesadaran masyarakat, 24
Individual, 57, 85 152
Kesehatan keluarga, 35, 109
Infeksi, 2, 4, 6, 7, 9, 12, 13, Kampanye, 24, 25, 28, 74,
Kesenjangan, 53, 66, 71, 73,
14, 15, 16, 19, 39, 43, 87, 75, 127
75, 90
106, 109, 114, 116, 117, Kapasitas, 17, 18, 23, 53, 67,
Kesimpulan, 95, 96
119 72, 73, 103
Keterampilan pribadi, 64
Infeksi awal, 4 Kapasitas, 117
Ketidakefektifan, 33, 36, 39,
Informasi kesehatan, 32 Kapiler, 6, 114, 115, 119,
46, 97, 113, 114, 115, 120
Inkubasi virus, 3 121, 123
Keyakinan agama, 32
Insektisida, 8, 9, 18 Karakteristik, 12, 43, 66, 79,
Keyakinan kesehatan, 36
Inspeksi, 38 93, 95, 113
Klinik, 32, 92, 95
Instansi, 33 Kategorisasi, 95
Koagulapati inheren, 114,
Instansi, 95 Kategorisasi, 95
116, 122
Institusi pendidikan, 51 Keadaan fisik, 53
Koagulapati inheren, 113
Intake makanan, 44 Keadilan sosial, 54, 65
Kolaborasi, 22, 27, 52, 54,
Integritas, 115 Kebiasaan, 106
72, 84
Interaksi, 11, 17, 79, 80 Kebijakan, 56, 61, 62, 74,
Kolaborasi, 17, 43, 44, 46
Intervensi, 17, 46, 73, 76, 81, 156
Kolaps, 5
82, 83, 85, 87, 91, 101 Kebijakan kesehatan, 34, 62
Kombinasi, 10, 51
Intervensi keperawatan, 118, Kebocoran plasma, 2, 4, 5, 6,
Kompetensi masyarakat, 34
124 7, 39, 46
Komplikasi, 2, 5
Intravaskuler, 39, 48 Kebocoran plasma darah, 2,
Iritasi lambung, 7 39, 46
Ivm, 29 Keefektifan, 103
Komponen, 11, 52, 55, 64, Mediate, 52, 60
L
L
67, 71, 80, 82, 85, 89, Medis, 5, 31, 85, 88, 121
122, 127, 134 Lansia, 94, 97, 99 Mematikan, 5
Komunikasi, 22, 93 Larva, 4, 18, 19, 24, 27, 28, Menetapkan prioritas, 100
Komunitas, 1, 3, 28, 30, 31, 29, 30, 106 Menetapkan tujuan, 101
32, 33, 34, 36, 37, 60, 62, Larvaciding, 28 Mengubur, 24, 138
79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, Layanan kesehatan, 64, 67 Mengubur, 138
86, 89, 90, 91, 92, 96, 97, Leaflet, 134 Menguras, 137, 138
100, 101, 102, 103, 109, Leukopenia, 1, 2, 39, 123 Mental, 53, 54, 95, 113
153, 154, 155, 156 Levels of wellness, 90 Menutup, 138
Kondisi lingkungan, 38 Lima area aksi, 51 Mesocyclops, 18
Kondisi ruang terbuka, 32 Limbah, 9, 19, 105 Metode utama, 8
Konjungtiva, 38 Limbah padat, 9, 19 Mialgia, 1
Konseling, 30 Lingkungan, 2, 8, 9, 14, 15, Migrasi, 1, 10
Konsep perawatan, 82 16, 18, 19, 20, 23, 24, 31, Minat, 80
Konsultan, 88 32, 51, 52, 53, 55, 56, 59, Mobilisasi, 16, 17, 22
Konsultasi kesehatan, 34 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, Mobilitas, 10
Konsumen, 84, 85 74, 75, 78, 79, 83, 88, 94, Modifikasi, 9, 42, 140, 154,
Kontainer, 14, 18, 19, 106, 98, 99, 108, 109, 116, 156
137, 150 118, 132, 133, 135, 137, Modifikasi lingkungan, 9
Kontekstual, 54 150 Modifikasi perilaku, 34, 109
Kontinuitas, 3, 88 Lingkungan, 2, 16, 17, 23, Monitor, 43, 45, 47, 48, 118,
Kontinuitas perawatan, 3, 88 32, 62, 66, 83, 92, 105, 119, 120, 121, 122, 123,
Kontinyu, 31, 81 126, 152 124, 125
Kontrol nyeri, 40 Lintas sektoral, 54 Monitoring, 127, 130, 134
Koordinasi, 22, 130, 133 Literasi kesehatan, 61 Monitoring, 23, 34, 43, 46,
Koordinator, 30, 89 Logika, 72 124
Koping keluarga, 35 Lokasi industri, 32 Morbiditas, 22
Korelasi, 17 Lotion, 106 Mortalitas, 22
Kortikostreoid, 121 Mosquite-borne disease, 1
Kota sehat, 61 M
M Mual dan muntah, 4, 123
Kotak pesan, 144 Multi-sektoral, 27, 72
Manajemen kesehatan, 33, 97
Kualitas, 32, 43, 52, 57, 59, Muntah, 4, 5, 38, 119, 120
Manajemen lingkungan, 36,
71, 75, 76, 77, 78, 83, 88,
37, 109
92, 93, 101 N
N
Manajemen perilaku, 34, 109
Kualitas air, 32, 92
Manajemen stress, 86 Nanda, 40, 156
Kualitas udara, 32, 92, 93
Manifestasi hemoragik, 1, 4 NIC, 1, 34, 40, 108, 154, 156
Kuisoner, 95
Masa depan, 65 Nilai, 32, 55, 79, 83, 87, 92,
Kulit memerah, 4, 6
Masa inkubasi ekstrinsik, 16 122
Kulit mengelupas, 4
Masker, 20 NOC, 1, 34, 40, 108, 154,
Measureable, 70 155, 156, 157
Nonverbal, 40 Patogenesis, 5, 6 Pengembangan program, 34,
Nutrisi, 39, 44, 47, 119, 124 Pejamu, 12, 106 110
Nyamuk, 1, 2, 3, 4, 8, 9, 12, Pelaksanaan, 3, 27, 102, 126, Pengendalian biologis, 18, 28
13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 135, 137 Pengendalian mekanis, 18
20, 23, 27, 28, 29, 30, 86, Pemberdayaan, 24, 25, 58 Pengkajian, 3, 31, 38, 84, 91,
105, 106, 127, 129, 133, Pemberdayaan masyarakat, 105
135, 136, 137, 138, 150 25 Pengobatan tradisional, 32,
Nyeri akut, 39, 40 Pembiakan nyamuk, 8 92
Nyeri di belakang mata, 5 Pembuangan limbah, 32, 92 Pengusir serangga, 8
Nyeri otot, 2, 4, 5 Pembuluh darah, 6 Penilaian situasi, 68
Nyeri sendi, 4, 38 Pemeliharaan kesehatan, 33, Penipisan cairan, 6
Nyeri tekan, 38 36, 100 Penularan, 2, 3, 13, 16, 26,
Nyeri tulang, 2, 4 Pemeriksaan, 34, 35, 71, 87, 36, 37
95, 116, 134 Penutup lampu, 147

OO Pemeriksaan fisik, 38 Penyemprotan, 8, 9, 20


Pemeriksaan kesehatan, 34, Penyuluh, 30
Obat, 8, 43, 46, 89, 98, 106, 35 Peptisida, 27
118, 119, 121, 122, 124 Pemeriksaan payudara Perawat, 30, 31, 32, 80, 82,
Observasi, 95, 108 sendiri, 87 83, 86, 87, 89, 94, 100,
Observasi, 40 Pemerintah, 21, 25, 28, 33, 101
Okular, 1 50, 51, 52, 60, 61, 64, 68, Perawatan akut, 82
Organisasi masyarakat, 57, 101, 129, 133 Perawatan kolaboratif, 3, 88
68 Pemuka formal, 55 Perbandingan, 82, 95
Ottawa, 50, 51, 56, 71 Pemuka informal, 55 Perdarahan, 1, 4, 5, 6, 7, 8,
Ottawa charter, 50 Pemuka masyarakat, 55 38, 39, 122, 123
Outcomes, 103 Penampungan air, 8, 16, 23, Perdarahan kulit, 4
Output urine, 115 24, 105, 138, 150 Perdarahan ringan, 5
Overload cairan Pencahayaan, 106 Perekrutan, 131, 132
intravaskuler, 7 Pencegahan dbd, 21, 26, 28 Perifer, 39, 46, 113, 114, 115,
Pencegahan primer, 86 117, 120, 121
PP
Pencegahan primer, 86 Perilaku hidup bersih dan
Pendarahan hebat, 5, 6 sehat, 55
Pajanan penyakit, 12
Pendidikan, 32, 35, 36, 66, Perilaku kesehatan, 33, 35,
Palpasi, 38
70, 73, 93, 108, 129, 135 97, 108
Pap smear, 87
Pendidikan kesehatan, 12, 27, Periode menstruasi, 5
Paracetamol, 7
90, 137 Perkesmas, 82
Parasthesia, 121
Penelitian, 12, 23, 26, 64, 73, Perkusi, 38
Parsial tromboplastine, 116
76, 106, 127 Pernak-pernik, 141
Partisipasi, 9, 23, 25, 28, 58,
Pengaturan prioritas, 67 Pernapasan, 5, 115, 117, 125
63, 67, 84, 103
Pengaturan visi, 67 Persepsi, 26, 32, 94
Partnership, 72
Persepsi masyarakat, 32, 94
Patio limpio, 25, 26, 27
Petechiae, 6 Promosi kesehatan, 35, 52, Rehabilitasi, 31, 87, 89, 91
Petekia, 1 53, 54, 59, 61, 62, 63, 64, Rekreasi, 94
Ph darah, 39 74, 97 Relevansi, 103
Phbs, 55, 56, 58, 59, 128, 129 Promosi kesehatan, 50, 53, Relevant, 70
Piagam ottawa, 56 54, 56, 58, 62, 67, 71, 89, Reorient health serice, 57
Piagam ottawa, 50, 51 97 Reorientasi, 57, 64
Planning, 67 Propely, 18 Reproduksi, 16
Pokjanal, 127, 130 Prosedur invasif, 122 Reservoir, 12
Pola hidup, 63 Proses keluarga, 35 Resleting, 142
Pola kebiasaan sehari-hari, 38 Proses perencanaan, 67 Retroorbital, 1
Politik, 19, 59, 64, 75, 93 Protrombin, 116, 122 Reuse, 19
Politik dan pemerintahan, 93 Psn, 108, 127, 128, 129, 130, Review rencana program, 71
Polynesiensis, 14, 15 131, 132, 133, 134, 135, Ringkasan, 95, 96
Populasi, 8, 17, 51, 52, 68, 136, 150, 151, 152, 153, Ringkasan, 95
69, 70, 72, 73, 74, 75, 80, 155 Risiko tinggi, 31
81, 82, 83, 84, 90, 95 Psurpura, 1 Riwayat, 38, 92
Pot bunga, 145 Pteki, 38 Riwayat penyakit sekarang,
Potensi, 60, 75, 77, 79, 86 Public health, 89, 154 38
Potensi kesehatan, 60 Public opinion, 55 Riwayat penyakit yang
Pramuka, 127, 128 Public/community health sebelumnya, 38
Predisposisi, 11 nursing, 89 Rna berantai tunggal, 2, 13
Presipitasi, 16 Publik yang sehat, 51, 62 Role model, 30
Pressure group, 56 Publik yang sehat, 62 Rom, 46, 122
Prevensi sekunder, 34, 35, Pupa, 18, 29 Rongga perut, 6
36, 37 Puskesmas, 32, 92, 94, 95, Ruam, 1, 2, 4, 5, 121
Prevensi tersier, 34, 35, 36, 130, 131, 132, 133, 134, Ruang terbuka, 105
37 151, 154, 156 Rumah sakit, 2, 8, 22, 28, 32,
Prioritas, 73 Puskesmas, 108, 131, 133, 92, 94, 95
Program, 17, 19, 34, 60, 67, 136, 151
69, 70, 72, 73, 76, 77, 78, S
84, 89, 93, 101, 102, 103, RR
104, 109, 127, 128, 129, Sadari, 87

136, 156 Rambut rontok, 5 Sakit kepala, 1, 2, 4, 5

Promosi, 11, 35, 50, 51, 52, Ras, 12, 92, 95 Sakit perut, 4, 5

53, 54, 56, 58, 59, 60, 62, Rawat inap, 10 Salisilat, 7

63, 64, 65, 67, 69, 70, 71, Reabsorbsi, 7 Saluran cerna, 6

72, 73, 74, 76, 77, 83, 84, Recycle, 19 Sampah, 19, 25, 138

89, 100, 102, 108, 109, Recyclin, 19 Sanitasi, 17, 93

156 Reduce, 19 Sasaran primer, 54, 55


Regulasi, 113, 114, 115, 117, Sasaran sekunder, 55
119, 123 Sasaran tersier, 56
Regulator epidemi, 17 Saturasi oksigen, 116, 117
Scutellaris, 14, 15 Status perkawinan, 92 Tim kesehatan, 35, 36, 42,
Sekolah, 28, 38, 52, 64, 93, Stegomyia, 15 44, 45, 109
95, 127, 128, 129, 130, Stiker, 134 Tingkat nyeri, 40
131, 132, 133, 134, 135, Strategi, 22, 23, 25, 26, 27, Tingling, 121
136, 150, 151 28, 40, 41, 42, 52, 58, 59, Tipe keluarga, 31
Sektor kesehatan, 17, 27, 52, 63, 65, 70, 71, 72, 75, Tipe keluarga, 92
53, 60, 64 102, 117 Tirai, 8
Sekunder, 6, 33, 54, 55, 86, Strategi ivm, 29 Transfusi darah, 13
87, 94, 109 Strengthen community Transimisi, 12
Self-care, 84 action, 57 Transmisi, 12, 17
Self-efficacy, 73 Subtropik, 15 Transplantasi, 13
Sepsis, 113 Suhu, 16, 43, 115 Transport, 134
Serotipe, 2, 6, 13, 17 Suhu tubuh, 4, 5, 6, 8, 112, Transportasi dan keamanan,
Sgot, 39 113, 119 93
Sgpt, 39 Sumber air terbuka, 8 Treatment, 86
Sirkulasi, 6, 46, 113, 114, Sumber penghasilan, 32 Trombositopenia, 4, 39, 113,
115, 116, 120, 121, 123 Supine, 123 114, 116, 122
Sistematis, 31, 63, 75, 84, 91, Suplai darah, 6 Tropik, 15
102 Sustainability, 104 Turgor kulit, 38, 113, 120
Skrining diabetes, 87 Swadaya, 63
Skrining kanker payudara, 87 Syok, 2, 5, 39, 116, 123 U
U
Skrining kesehatan, 34, 36, Syok hopovolemik, 2
37 Urbanisasi, 10, 17, 63
Urium, 39
Smart, 70, 101 TT
Social marketing, 74
Social pressure, 55 Tahap kritis, 5 V
Sosial, 11, 17, 32, 36, 52, 53, Takikardia, 112, 114
Takipnea, 112 Vaksinasi, 86
54, 55, 59, 60, 62, 63, 64,
Tanda peringatan, 5 Variabel, 12, 71
66, 73, 74, 75, 77, 79, 80,
Tanda-tanda vital, 7, 43, 118 Variabilitas, 17
87, 89, 92
Tata pemerintahan, 60 Vasodilatasi, 112
Sosial ekonomi, 53
Telur, 4 Vektor, 3, 8, 9, 10, 12, 14, 15,
Specific, 70
Tempat tissu, 146 18, 19, 21, 23, 25, 29, 30,
Spesies, 12, 13, 14, 15
Terapi rehidrasi oral, 7 31, 126, 127
Spesies primata, 12
Terapis, 88 Ventilasi, 105
Stabilisasi, 7
Terinfeksi, 2, 3, 4, 5, 6, 13 Viremia, 3
Stakeholder, 51, 65, 73
Termoregulasi, 43, 115 Virus dengue, 2, 3, 6, 12, 13,
Stakeholders, 55
Tersier, 54, 56, 86, 87 14, 15, 112, 114, 118
Statistic vital, 92
Tes rempelit, 38 Vital sign, 43
Statistik vital, 31
Tes tourniquet, 1, 4 Volume, 113, 114, 115, 117,
Status gizi, 12
The symptomatic dengue, 14 119
Status perkawinan, 31
Volume cairan, 39, 48, 114, Wadah lampu, 149
'
117, 123 Wawancara, 68, 95
Wewenang, 88 'Wrigglers, 4
W
W Who, 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10,
13, 14, 15, 17, 18, 19, 22,
Wabah, 9, 12, 20, 32 23, 24, 29, 83, 95
Wadah, 4, 9, 14, 15, 18, 25, World health organization, 2,
28, 135, 149 22, 29, 79, 154, 155, 156

Vous aimerez peut-être aussi