Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
SLAMET RIYADI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Slamet Riyadi
NIM D061030061
ABSTRACT
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
PRODUKSI PROTEIN REKOMBINAN HBsAg100-GST
SEBAGAI MODEL IMUNOGEN UNTUK
MENGHASILKAN ANTIBODI
PADA MENCIT
SLAMET RIYADI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi Pembimbing
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto
Ketua Anggota
Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria, M.Sc Muhamad Ali, S.Pt., M.Si., Ph.D
Anggota Anggota
Diketahui
Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Slamet Riyadi
RIWAYAT HIDUP
Dilahirkan di Pemalang pada tanggal 29 Maret 1960 sebagai anak kedua
dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Kampyun (alm) dan Ibu Maryati
(alm). Menikah dengan Rahma Jan dikaruniai seorang putri, Lisantiyas Nurani
mahasiswi semester lima Fakultas Kedokteran UNRAM, dan dua orang putra,
Abdillah Rahmadiputra mahasiswa semester tiga jurusan Teknik Mesin Fakultas
Teknik UNRAM dan Abdul Ghoffar Triatmojo mahasiswa semester tiga Fakultas
Kedokteran UNRAM. Pada saat ini, bertugas sebagai Staf Pengajar di Fakultas
Peternakan Universitas Mataram di Mataram.
Riwayat pendidikan dimulai dengan menyelesaikan pendidikan SDN 2
Kendalsari, kecamatan Petarukan, kabupaten Pemalang, tahun 1972. SMPN
Petarukan, kabupaten Pemalang, tahun 1975. SMAN Pemalang tahun 1979, dan
S1 Fakultas Peternakan UNDIP tahun 1986. Selanjutnya menempuh pendidikan
program S2 Ilmu Peternakan UGM, lulus 2001. Tahun 2003 melanjutkan
pendidikan Program S3 pada Program Studi Ilmu Ternak Sekolah Pascasarjana
IPB. Pada tanggal 1 Maret 1987 diangkat sebagai CPNS di Fakultas Peternakan
Universitas Mataram, kemudian ditetapkan sebagai PNS sejak 1 Oktober 1988
pada instansi yang sama.
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman
1 Ukuran genome dari beberapa makhluk hidup dalam bentuk haploid ......... 16
2 Daftar primer yang digunakan dalam penelitian .......................................... 30
3 Nilai optikal densiti (OD) serum mencit yang diperoleh dari darah mencit
setelah satu minggu dilakukan vaksinasi dengan antigen HBsAg100-GST
pada beberapa tingkat pengenceran .............................................................. 56
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Halaman
Latar Belakang
protein antibodi yang sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai kandidat vaksin galur
lokal yang mampu memberikan respon antibodi yang spesifik sesuai dengan
genetik virus Hepatitis B yang terdapat di Indonesia.
Protein HBsAg100 rekombinan yang dihasilkan dengan teknologi rekayasa
DNA menggunakan bakteri ini diharapkan dapat menggantikan metode produksi
vaksin konvensional dari plasma yang banyak memiliki kelemahan, diantaranya,
rendahnya imunogenisitas, sumber plasma yang terus berkurang (karena jumlah
penderita penyakit Hepatitis B menurun sejalan dengan keberhasilan program
vaksinasi), serta kekhawatiran adanya kontaminasi penyakit lain (terutama HIV)
pada serum donor. Antigen ini diharapkan dapat menghasilkan kandidat vaksin
rekombinan Hepatitis B yang sesuai dengan genetik virus tersebut di Indonesia,
karena gen penyandi antigen tersebut diisolasi dari virus HB yang terdapat di
Indonesia.
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup
1 Mengisolasi gen penyandi HBsAg100 dari virus Hepatitis B sub tipe adw yang
merupakan sub tipe utama di Indonesia.
2 Memperbanyak HBsAg100 dengan PCR.
3 Membuat plasmid rekombinan melalui ligasi HBsAg100 dengan plasmid
pGEX-4T-2.
4 Melakukan transformasi plasmid rekombinan terhadap E. coli DH5α untuk
kloning, dilanjutkan dengan skrining klon yang membawa plasmid
rekombinan. Sekuensing dilakukan untuk memastikan tidak terdapat mutasi
pada gen target, kemudian dilanjutkan lagi dengan transformasi ke dalam E.
coli BL21 untuk menghasilkan protein HBsAg100-GST rekombinan.
5 Melakukan pengujian antigenisitas protein antigen S rekombinan pada mencit
BALB/c dengan teknik ELISA. Melakukan pengujian imunogenisitas protein
HBsAg100-GST rekombinan melalui respon mencit BALB/c yang diimunisasi
dengan HBsAg100-GST, kemudian melakukan pengambilan serum dan
menganalisa kandungan antibodi yang terbentuk dengan teknik ELISA.
6
Kerangka Pemikiran
Gambar 2 Pembesaran dari dua buah core yang ditunjuk dengan tanda panah
(Sumber: Stannard 1995).
Gambar 4 Ilustrasi virus Hepatitis B dengan capsid dan internal density yang
tampak pada irisan melintang (Sumber: Dryden et al. 2006).
Gambar 5 Diagram struktur dari bagian DNA heliks ganda (Sumber: Andre 2006).
Melalui suatu proses kimia, kromosom dapat dikeluarkan dari inti sel.
Selanjutnya, protein yang berikatan dengan DNA dilisiskan dengan enzim
proteinase, sedangkan RNA yang masih berada di sekitar DNA dikatalisis atau
diurai dengan enzim RNAse. Selanjutnya, DNA yang telah terbebas dari protein
(histone) dan RNA siap direkayasa atau dimanipulasi dalam teknologi rekayasa
genetika (Muladno 2002). Old dan Primrose (1989) menjelaskan, bahwa istilah
manipulasi gen dapat diterapkan pada beberapa macam teknik genetika in-vivo
maupun in-vitro yang canggih. Di negara-negara Barat terdapat definisi resmi
15
yang tepat untuk istilah manipulasi gen sebagai akibat adanya peraturan
Pemerintah untuk mengendalikannya. Di Inggris, manipulasi gen didefinisikan
sebagai pembentukan kombinasi baru materi yang dapat diturunkan dengan
melakukan penyisipan (insertion) molekul-molekul asam nukleat, yang dihasilkan
dengan cara apapun di luar sel, ke dalam suatu virus, plasmid bakteri atau sistem
pembawa lainnya yang memungkinkan terjadinya penggabungan ke dalam
organisme inang secara tidak alami tetapi selanjutnya mampu melakukan
penggandaan lagi. Definisi resmi ini menekankan penggandaan molekul asam
nukleat asing (asam nukleat ini hampir selalu DNA) di dalam tubuh organisme
inang yang berbeda. Kemampuan untuk melintasi penghalang spesies alami dan
memasukkan gen-gen dari organisme apapun ke dalam suatu organisme inang
yang tidak berhubungan merupakan satu ciri penting manipulasi gen. Ciri penting
kedua berupa kenyataan bahwa relatif sepotong kecil DNA tertentu digandakan
dalam tubuh organisme inang.
Setiap organisme mempunyai sebuah genome yang mengandung semua
informasi biologik yang diperlukan untuk membangun dan memelihara kehidupan
organisme tersebut. Informasi biologik yang terkandung di dalam genome dikode
oleh DNA yang terkandung di dalam genome yang dibagi ke dalam unit-unit
khusus yang disebut gen (Barnum 2005). Menurut Winarno dan Agustinah (2007),
genome dalam arti sederhana berarti satu set lengkap mengandung informasi
genetika yang dimiliki oleh suatu organisme. Selanjutnya dijelaskan oleh
Muladno (2002), bahwa setiap mahluk hidup mempunyai sel yang di dalam inti
selnya terdapat kromosom dengan jumlah berbeda-beda untuk setiap mahluk
hidup. Manusia mempunyai 23 pasang kromosom dalam setiap intinya. Sapi
mempunyai 30 pasang kromosom, lalat buah Drosophila mempunyai empat
pasang kromosom, bakteri E. coli mempunyai satu kromosom. Beberapa peneliti
lain menambahkan, bahwa virus hepatitis B mempunyai 1 kromosom (Dayal dan
Maldonado 1998; Mason et al. 1998; Burda et al. 2001; Muljono dan
Soemohardjo 2003; Anzola 2004; Wagner et al. 2004; Beck dan Nassal 2007;
GenBank 2008; Nurainy et al. 2008).
Menurut Muladno (2002), total kromosom dalam inti sel dinamakan
genome atau lebih tepatnya disebut genome inti karena berasal dari inti sel. Jadi
16
bisa dikatakan bahwa genom manusia terdiri atas 23 pasang kromosom, genom
sapi terdiri atas 30 pasang kromosom, dan seterusnya. Apabila DNA dari genom
tersebut direntang secara linear, maka ukuran panjang rentangan DNA pada
genom tersebut berbeda-beda pada setiap organisme seperti dijelaskan pada Tabel
1. Rentangan DNA dari genom tersebut disebut genomic DNA.
Berdasarkan data pada Tabel 1, maka dapat dijelaskan bahwa besarnya
ukuran genom tidak mencerminkan besarnya ukuran makhluk hidup, seperti
apabila membandingkan ukuran tubuh manusia dengan ukuran tubuh tikus yang
sangat jauh berbeda, tetapi keduanya mempunyai ukuran genom yang hampir
sama. Demikian pula, ukuran tubuh cacing yang jauh lebih besar dari ukuran
tubuh lalat buah Drosophila, tetapi ukuran genome cacing lebih sedikit daripada
ukuran genome lalat buah Drosophila.
Tabel 1 Ukuran genome dari beberapa makhluk hidup dalam bentuk haploid
3.2 kb. Dayal dan Maldonado (1998) menjelaskan bahwa virus hepatitis B
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1 Genome virus hepatitis B yang menurut mereka ditemukan oleh William S.
Robinson dari Stanford University School of Medicine merupakan genome
yang terkecil dengan ukuran panjang 3,2 kb. Diagram organisasi genome
virus Hepatitis B diilustrasikan pada Gambar 7.
DNA rekombinan adalah suatu DNA buatan atau hasil rekayasa yang
berasal dari satu sumber atau lebih yang tergabung ke dalam satu molekul
rekombinan (Barnum 2005). Selanjutnya, Winarno dan Agustinah (2007)
menjelaskan, bahwa teknologi rekayasa genetika merupakan kegiatan
bioteknologi modern dengan teknologi DNA rekombinan (rDNA) untuk
melakukan pemindahan atau transfer suatu sifat tertentu yang dibawa gen, yang
tersusun dalam DNA, dari suatu spesies yang sama atau berbeda untuk
menghasilkan spesies baru yang lebih unggul. Muladno (2002) juga menyatakan,
seiring dengan kemajuan teknologi molekuler, perpindahan gen dapat terjadi antar
organisme yang sama sekali tidak berkerabat dekat, misalnya gen manusia
dipindahkan ke bakteri atau gen manusia dipindahkan ke hewan ternak.
Perpindahan gen tersebut mengakibatkan terbentuknya molekul DNA yang
berasal dari sumber yang berbeda dapat digabungkan menjadi DNA rekombinan.
Teknik menggabungkan molekul DNA tersebut dikenal sebagai Teknik DNA
Rekombinan.
Biasanya DNA rekombinan merupakan gabungan antara DNA vektor yang
merupakan molekul DNA yang dapat mereplikasi diri dan DNA asing yang
biasanya berupa gen dari suatu mahluk hidup. Vektor tersebut berfungsi sebagai
pembawa DNA asing yang berasal dari suatu organisme untuk dipindahkan ke
dalam organisme lain. Gen yang terkandung pada DNA rekombinan di dalam
organisme resipien diharapkan dapat diekspresikan untuk menghasilkan protein
(Muladno 2002). Menurut Glick dan Pasternak (1994), teknologi DNA
rekombinan, juga disebut kloning gen atau kloning molekuler, adalah suatu istilah
yang mencakup sejumlah protokol percobaan yang bertujuan untuk transfer
informasi genetik (DNA) dari suatu organisme ke organisme yang lain. Percobaan
DNA rekombinan biasanya mengikuti prosedur sebagai berikut:
1 DNA target (DNA asing, DNA insert, DNA klon) dari organisme donor
diekstrak, dipotong secara enzimatik, kemudian disambung dengan plasmid
20
atau DNA vektor (vektor kloning) untuk membentuk suatu bentuk baru yang
disebut molekul DNA rekombinan (rDNA).
2 DNA rekombinan tersebut ditransfer ke dalam sel inang. Proses introduksi
DNA rekombinan ke dalam suatu sel inang atau bakteri disebut transformasi.
3 Selanjutnya sel-sel bakteri tersebut dikultur dan diseleksi atau dimurnikan,
kemudian diisolasi.
4 Sel-sel bakteri inang yang telah dimurnikan dan diisolasi, siap dikultur atau
dikembangbiakkan untuk memproduksi protein spesifik yang dikode oleh DNA
klon yang terkandung dalam DNA rekombinan.
Pembuatan DNA rekombinan memerlukan bantuan dua macam enzim.
Pertama, enzim endonuclease (restriction enzyme) berperan sebagai pemotong
molekul DNA. Kedua, enzim ligase berfungsi untuk menggabungkan molekul-
molekul DNA yang telah dipotong oleh enzim restriksi (Muladno 2002; Barnum
2005).
Ilustrasi tahapan pembuatan DNA rekombinan pada Gambar 8 menunjukkan
bahwa enzim endonuclease yang digunakan untuk memotong kedua sumber DNA
adalah BamHI. Enzim restriksi ini memotong kedua molekul DNA tersebut pada
lokasi yang sama dengan membentuk potongan sticky end atau kohesif.
Selanjutnya enzim ligase DNA menggabungkan kedua molekul DNA tersebut
dengan ikatan kovalen menjadi satu molekul DNA rekombinan.
Muladno (2002) menegaskan bahwa pada prinsipnya kloning DNA adalah
proses penggandaan jumlah DNA rekombinan melalui proses perkembangbiakan
sel bakteri (biasanya E. coli). Hal ini dilakukan dengan memasukkan DNA
rekombinan yang dihasilkan dari proses penggabungan tersebut di atas ke dalam
sel E. coli. Selanjutnya sel ini diinkubasi pada suhu optimal sehingga sel dapat
berkembangbiak secara eksponensial. Masuknya molekul DNA rekombinan ke
dalam sel akan mengubah fenotip sel tersebut, sehingga proses pemasukan
molekul DNA ke dalam sel juga disebut transformasi. Sel yang digunakan dalam
proses transformasi ini biasanya disebut dengan sel kompeten. Plasmid
merupakan molekul kecil yang berukuran sekitar lima ribu pasang basa yang
terdapat di dalam sel bakteri Escherichia coli, posisinya terpisah dengan
kromosom dan mampu mereplikasi sendiri tanpa harus bergantung kepada
21
kromosom, kebanyakan berupa rangkaian molekul DNA untai ganda dan biasanya
berbentuk bulat. Selanjutnya Glick dan Pasternak (1994) menerangkan, bahwa ori
adalah sekuen nukleotida yang merupakan tempat diawalinya atau dimulainya
sintesis DNA pada saat replikasi.
Barnum (2005) menjelaskan, ada beberapa cara dalam melakukan kloning
DNA, dan metode yang digunakan bervariasi tergantung pada tipe DNA, tipe sel
inang, dan tujuan akhir dari kloning DNA. Contohnya, tipe vektor yang
digunakan untuk kloning akan tergantung kepada apakah DNA klon akan tetap
berada di dalam vektor atau akan disisipkan ke dalam kromosom sel inang.
Vaksin Hepatitis B
Menurut Dayal dan Maldonado (1998), vaksin hepatitis B yang pertama kali
mendapat lisensi (pada tahun 1981) adalah Heptavax-B dan telah dipasarkan oleh
Merck Sharp dan Dhome. Vaksin tersebut diperoleh dari hasil ekstraksi dan
pemurnian antigen HBsAG dari serum penderita hepatitis B kronis. Selanjutnya
dijelaskan bahwa vaksin rekombinan atau sebagai hasil rekayasa genetika yang
telah berhasil diproduksi secara komersial adalah Recombivax HB Chiron Corp
dan Merck serta Engerix-B oleh SmithKline Biologicals. Vaksin rekombinan
tersebut diproduksi dari hasil kloning gen HBsAg yang terdapat di dalam yeast.
Joung et al. (2004) menyatakan, hampir semua vaksin hepatitis B konvensional
yang sudah mendapat lisensi saat ini adalah vaksin yang dihasilkan dari plasma.
Namun, keberhasilan program imunisasi menyebabkan pasien hepatitis B yang
akan menjadi sumber vaksin tersebut semakin berkurang yang berakibat pada
semakin terbatasnya darah yang dapat digunakan sebagai sumber vaksin. Oleh
sebab itu produksi vaksin hepatitis B dengan menggunakan plasma semakin sulit
dilakukan. Kekhawatiran terhadap adanya kontaminan pada darah terutama oleh
virus berbahaya seperti HIV, menimbulkan kekhawatiran tersendiri untuk
menggunakan vaksin yang bersumber dari plasma tersebut.
Menurut Mulyanto et al. (1997), Indonesia merupakan daerah endemik
sedang sampai tinggi untuk penyakit hepatitis B, sehingga WHO menghimbau
untuk segera melaksanakan usaha pencegahan. Pengobatan terhadap penderita
penyakit hepatitis B yang sangat mahal menyebabkan tindakan preventif melalui
22
lain dengan memproduksi renin mikroba yang diekstraksi dari fungi, namun sifat
biokimianya tidak sama dengan renin dari abomasum anak sapi. Hal ini bisa
diatasi dengan cara mentransfer gen dari anak sapi yang mengkode pembentukan
renin ke dalam bakteri, selanjutnya bakteri tersebut digunakan sebagai mesin
pembentuk renin yang sifat biokimianya sama dengan renin dari abomasum anak
sapi.
KLONING GEN SR100 DALAM RANGKA PRODUKSI
PROTEIN REKOMBINAN SEBAGAI MODEL
IMUNOGEN UNTUK MENGHASILKAN
ANTIBODI
Abstrak
Sejak satu dekade yang lalu, muncul paradigma baru dalam teknik
pembuatan vaksin. Penggunaan mikroorganisme virulen yang dilemahkan ataupun
yang dibunuh telah diganti dengan penggunaan vaksin sub unit yang lebih efektif
dengan teknologi DNA rekombinan. Melalui penggunaan teknologi tersebut, gen
tertentu dari mikroorganisme virulen dapat dikloning, diekspresi dan dievaluasi
penggunaannya sebagai vaksin. Pada penelitian ini, telah dikloning bagian gen
penyandi protein hidrofilik dari protein S (aa 100-164) dari antigen permukaan
virus hepatitis B untuk digunakan sebagai penghasil kandidat vaksin rekombinan.
Gen tersebut kemudian diligasi dengan vektor pGEX-4T-2 dan disekuensing.
Pensejajaran hasil sequensing tersebut dengan sekuen asli virus hepatitis B
menunjukkan kesamaan. Hasil utama dari penelitian ini adalah klon pembawa gen
penyandi protein S yang selanjutnya dapat digunakan untuk menghasilkan
kandidat vaksin rekombinan hepatitis B.
Abstract
Since one decade ago, a new paradigm of vaccine design is emerging.
Instead of attenuated virulent microorganisms or killed virulent microorganisms,
effective subunit vaccines were developed using recombinant DNA technology. By
using the technology, selected genes of the virulent microorganisms can be
cloned, expressed, and evaluated as vaccine components. In this research,
hydrophilic domain of S protein (aa 100-164)-encoding gene of hepatitis B
surface antigen was cloned for vaccine candidate production. The gene was
ligated with pGEX-4T-2 vector and sequenced. Sequences alignment of the
amplified fragment with genome of hepatitis B virus indicated that the sequences
were identical. A major result achieved from this research was clones carrying S
antigens-encoding gene that could be used further for production of recombinant
hepatitis B vaccine candidates.
Pendahuluan
utama produksi antigen tersebut pada bakteri E. coli adalah tingkat ekspresinya
sangat rendah (Maruyama et al. 2000). Rendahnya tingkat ekspresi yang
disebabkan oleh bagian hidrofobik (Lu et al. 2002; Kumar et al. 2005). Oleh
karena itu, pada penelitian ini bagian yang dikloning adalah bagian penyandi
epitop yang bersifat hidrofilik (dari asam amino 100-164). Selain itu, gen
penyandi antigen permukaan hepatitis B di atas akan digabung (fusi) dengan gen
penyandi enzim gluthation-S-transferase (GST) untuk meningkatkan ekspresi
maupun solubilitas antigen yang sangat penting untuk aktivitas maupun proses
purifikasi (Sheu dan Lo 1995; Vikis dan Guan 2000; Koschoreck et al. 2005). Gen
penyandi antigen permukaan hepatitis B yang digunakan pada penelitian ini
adalah gen yang diisolasi dari virus hepatitis B sub tipe adw sebagai sub tipe
utama di Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk membuat kandidat vaksin galur
lokal yang mampu memberikan respon antibodi yang spesifik sesuai dengan
genetik virus hepatitis B yang terdapat di Indonesia.
Dihasilkannya kandidat vaksin hepatitis B rekombinan dengan teknologi
rekayasa DNA menggunakan bakteri diharapkan dapat menggantikan metode
produksi vaksin konvensional dari plasma yang memiliki kelemahan seperti
rendahnya imunogenisitas, sumber plasma yang terus berkurang (karena jumlah
penderita penyakit hepatitis B menurun sejalan dengan keberhasilan program
vaksinasi), serta kekhawatiran adanya kontaminasi penyakit lain pada serum
donor. Gen penyandi antigen tersebut diisolasi dari virus hepatitis B yang terdapat
di Indonesia, sehingga antigen ini diharapkan dapat menghasilkan kandidat vaksin
rekombinan hepatitis B yang sesuai dengan genetik virus tersebut di Indonesia.
Bahan Penelitian
DNA polimerase yang digunakan adalah enzim pyrobest (Takara Bioinc., Otsu,
Japan). Fragmen tersebut kemudian diligasi dengan teknik Kloning TA
menggunakan vektor pGEX-4T-2 (Pharmacia & Upjohn Inc., New Jersey, USA).
Plasmid rekombinan tersebut selanjutnya ditransformasi ke bakteri E. coli DH5α.
Kultur bakteri dilakukan pada media Luria Bertani, sedangkan isolasi plasmid
untuk sekuensing digunakan Kit Nucleospin (Macherey, Nalgen, Germany).
Metode Penelitian
Amplifikasi Gen SR100. Campuran PCR yang digunakan adalah 0.1 unit
enzim DNA polymerase pyrobest (Takara Bioinc., Otsu, Japan) dengan bufernya;
0.5 μM primer forward (f) dan reverse (r); 0.2 mM dNTP; 1 ng/ml plasmid
pGEMT-HB sebagai cetakan. Program PCR yang digunakan adalah denaturasi
awal pada suhu 94oC selama 5 menit; siklus yang terdiri atas denaturasi pada 94oC
selama 30 detik, annealing pada suhu 54oC selama 30 detik dan elongasi
(ekstensi) pada suhu 72oC selama 30 detik; diakhiri dengan 72oC selama 5 menit
dan 10o C sampai sampel diangkat untuk dilakukan elektroforesis.
penelitian ini dilakukan amplifikasi terhadap DNA yang hanya menyandi asam-
asam amino ke-100 sampai 164. Adapun jumlah nukleotidanya mencapai 195
pasang basa, namun dengan penambahan adaptor yang sengaja dibuat
menyebabkan total produk PCR target mencapai 206 pasang basa. Selain itu,
bagian asam amino tersebut dipilih karena merupakan protein yang bersifat
hidrophilik, sehingga dapat memudahkan ekspresi pada bakteri.
Amplifikasi DNA melalui PCR untuk mendapatkan gen penyandi asam-
asam amino tersebut, berbagai upaya optimalisasi terhadap kondisi reaksi
amplifikasi telah dilakukan. Langkah-langkah optimalisasi tersebut diantaranya
mengatur suhu dan waktu annealing, mengatur konsentrasi DNA sebagai cetakan
dan primer, serta mengatur konsentrasi enzim polimerase DNA.
Campuran PCR yang berhasil digunakan untuk mendapatkan hasil PCR
yang optimal adalah 0.1 unit enzim DNA polymerase pyrobest (Takara Bioinc.,
Otsu, Japan) dengan bufernya; 0,5 μM primer forward (f) dan reverse (r); 0.2 mM
dNTP; 1 ng/ml plasmid pGEMT-HB sebagai cetakan. Penggunaan DNA dengan
konsentrasi kurang dari 1 ng/ml menghasilkan pita gen target yang tidak terlalu
jelas. Penggunaan DNA melebihi 1 ng/ml menyebabkan munculnya beberapa pita
produk PCR yang tidak sesuai dengan ukuran pita target. Program PCR yang
berhasil digunakan adalah 94oC selama 5 menit, 25 siklus pada 94oC selama 30
detik, 54oC selama 30 detik dan 72oC selama 30 detik, diakhiri dengan 72oC
selama 5 menit dan suhu 10oC sampai sampel diangkat untuk dielektroforesis.
Penentuan suhu annealing yang ideal (54oC), telah dilakukan PCR dengan
menggunakan beberapa suhu annealing mulai dari 50oC, 52oC, 54oC, dan 56oC.
Pita gen target terjelas diperoleh pada saat menggunakan suhu 54 oC.
Ketepatan suhu dan waktu annealing, konsentrasi DNA dan primer, serta
konsentrasi enzim polymerase DNA yang digunakan sangat menentukan
keberhasilan amplifikasi. Penggunaan suhu annealing 54oC selama 30 detik telah
menyebabkan primer-primer yang digunakan dapat menempel pada daerah
spesifik dari DNA cetakan. Waktu yang diperlukan untuk tahap extention selama
30 detik pada suhu 72oC karena enzim polymerase Pyrobest yang dipergunakan
memerlukan waktu 1 menit per 1 kilo pasang basa. Berbeda dengan enzim
polymerase Ex Taq yang biasanya memiliki kemampuan lebih cepat, yaitu 40
32
detik per 1 kilo pasang basa. Hal ini dikarenakan enzim polymerase Pyrobest
merupakan enzim dengan tingkat kecermatan tinggi (high fidelity) yang memiliki
kemampuan proof-reading.
Produk PCR dimurnikan kemudian diligasi dengan plasmid pGEX-4T-2
(Pharmacia & Upjohn Inc., New Jersey, USA) yang telah dipotong dengan enzim
Sma1. Enzim yang digunakan untuk proses amplifikasi di atas adalah enzim
Pyrobest yang tergolong enzim yang mempunyai tingkat kecermatan tinggi (high
fidelity), sehingga produk PCR yang dihasilkan berbentuk blunt-end. Teknik ligasi
yang sesuai dengan demikian adalah teknik blunt-end.
Introduksi plasmid pGEX-SR100 ke dalam bakteri inang E. coli DH5α
(transformasi) berhasil dilakukan dengan teknik heat shock. Koloni bakteri E. coli
DH5α pembawa plasmid rekombinan pGEX-SR100 hasil transformasi
ditumbuhkan pada media seleksi (ampisilin 50 µl/ml) yang mengandung X-
gal dan IPTG. Hasil kultur dari bakteri tersebut dapat dilihat pada Gambar 7.
Koloni bakteri yang berwarna putih diduga membawa plasmid rekombinan
pGEX-SR100, sedangkan koloni bakteri yang berwarna biru tidak membawa
plasmid rekombinan.
Penentuan bahwa bakteri-bakteri berwarna putih pembawa gen SR100, maka
dilakukan skrining dengan PCR menggunakan koloni bakteri tersebut sebagai
cetakan (PCR Koloni). Primer yang digunakan untuk PCR koloni tersebut harus
dapat mengamplifikasi bagian 5’-insert dan bagian 3’-dari plasmid. Hal ini
dilakukan untuk memastikan tidak terjadi kesalahan arah insert. Amplifikasi
hanya akan terjadi pada DNA rekombinan yang tidak tersambung secara terbalik.
Adanya pita tunggal DNA dari gambar hasil elektroforesis merupakan indikasi
bahwa klon yang diamplifikasi mengandung plasmid rekombinan. Hasil PCR
koloni tersebut ditampilkan pada Gambar 8.
Hasil amplifikasi yang kedua ujungnya berbentuk tumpul (blunt end)
memiliki keunggulan sekaligus kelemahan untuk ligasi. Produk PCR yang
berujung tumpul akan memudahkan dalam melakukan proses ligasi, yaitu hanya
dibutuhkan satu jenis enzim restriksi dengan karakteristik memotong secara
langsung untuk menghasilkan ujung tumpul juga. Enzim restriksi yang memiliki
kemampuan tersebut diantaranya adalah enzim SmaI. Hal ini akan mengurangi
33
Gambar 8 Hasil elektrophoresis dari PCR koloni. M = Marker (1000 pb), 1 dan 2
= E. coli DH5α pembawa plasmid pGEX-SR100 sebagai cetakan.
Simpulan
Datar Pustaka
Abstrak
Abstract
Biosynthesis of recombinant protein in Escherichia coli may offer an
alternative procedure to generate therapeutic protein free from human protein. In
this research, cloned DNA fragment of Hepatitis B surface antigen was placed
downstream from the gluthatione S-tranferase (GST) protein-encoding gene in
expression plasmid pGEX-4T-2 and expressed in Escherichia coli cells. A
polypeptide of 34.8 kDa molecular weight was synthesized and identified as GST-
SR100 fusion proteins. The recombinant proteins were then purified using GSTrap
and HiTrap column and could be used for vaccine candidate or for antibody
generation.
Pendahuluan
darah yang dapat digunakan sebagai sumber vaksin, sehingga produksi vaksin
hepatitis B dengan menggunakan plasma semakin sulit dilakukan. Kekhawatiran
terhadap adanya kontaminan pada darah terutama oleh virus berbahaya seperti
HIV, menimbulkan kekhawatiran tersendiri untuk menggunakan vaksin yang
bersumber dari plasma tersebut (Joung et al. 2004).
Teknologi DNA rekombinan yang memungkinkan untuk menghasilkan
protein rekombinan pada bakteri sangat penting untuk mengatasi permasalahan
tersebut. Produksi vaksin dengan menggunakan bakteri akan dapat memenuhi
semakin tingginya permintaan vaksin dengan membutuhkan waktu yang relatif
singkat dan biaya yang lebih murah. Selain itu, teknologi DNA rekombinan dan
teknologi produksi pada bakteri memungkinkan dilakukan berbagai upaya
rekayasa epitop dalam rangka meningkatkan kualitas vaksin yang akan dihasilkan.
Escherichia coli merupakan bakteri yang menjadi pilihan utama diantara
aneka bakteri yang telah digunakan sebagai inang dalam menghasilkan protein
rekombinan, baik di bidang riset maupun industri. Hal ini disebabkan bakteri
Escherichia coli membutuhkan biaya media yang murah, cepat berkembang biak,
serta teknologinya sudah berkembang paling luas (Hu et al. 2004; Kristensen et
al. 2005; Lombardi et al. 2005). Berbagai protein rekombinan dari bakteri,
archaeabacteria, maupun dari eukariotik dapat diproduksi secara efisien pada E.
coli (Kristensen et al. 2005).
Pada penelitian ini, biosintesis bagian fragmen dari antigen permukaan
hepatitis B “HBsAg100” telah dilakukan dengan Escherichia coli sebagai inang.
Selain itu, gen penyandi antigen permukaan hepatitis B digabung (fusi) dengan
gen penyandi enzim gluthation-S-transferase (GST) untuk meningkatkan ekspresi
maupun kelarutan antigen yang sangat penting untuk aktifitas maupun proses
pemurnian. Antigen ini diharapkan dapat digunakan sebagai kandidat vaksin
rekombinan hepatitis B yang sesuai dengan genetik virus di Indonesia. Gen
penyandi antigen tersebut diisolasi dari virus hepatitis B lokal yang terdapat di
Indonesia. Antibodi yang dihasilkan juga diharapkan akan lebih efektif dalam
melakukan proteksi terhadap virus hepatitis B asal Indonesia.
42
Bahan Penelitian
Penelitian ini menggunakan dua jenis bakteri E. coli sebagai inang, yaitu E.
coli DH5α dan BL21. Media tumbuh menggunakan media Luria Bertani yang
mengandung 50 mg/ml ampisilin. Marker protein yang digunakan adalah Marker
Nakalai (Nacalai TecQue., Inc., Kyoto, Japan) dengan berat molekul 6 500 sampai
200 000 Dalton. Pemurnian protein rekombinan menggunakan kolum GSTrap
yang disambung dengan kolum HiTrap (Amersham, USA) 1 ml. Bufer PBS
(Phosphate Buffer Saline) pengikatan digunakan 140 mM NaCl, 2.7 mM KCl, 10
mM Na2HPO4, dan 1.8 mM KH2PO4 pH 7.3. Bufer elusi menggunakan 50 mM
Tris-Hcl, 10 mM reduced Gluthatione, pH 8,0. Enzim protease inhibitor yaitu
phenylmethyl sulfonil floride digunakan untuk pencegahan degradasi protein
rekombinan yang dihasilkan oleh protease.
Metode Penelitian
Hasil ekspresi protein dari E. coli inang dapat dilihat pada Gambar 11.
Penampakan pita protein target diperjelas dengan melakukan pengenceran sampel
10 kali. Hasil SDS-PAGE mendapatkan bahwa protein rekombinan diproduksi
paling banyak oleh E. coli BL21. Hal ini ditunjukkan oleh pita protein target pada
penggunaan inang tersebut paling tebal.
Gambar 11. Hasil ekspresi plasmid rekombinan. Kolom 1 = E.coli BL21 (tanpa
membawa plasmid rekombinan), Kolom 2 = E.coli BL21 pembawa
plasmid pGEX-4T-2, Kolom 3 = E. coli BL21 pembawa plasmid
pGEX-SR100 terlarut, Kolom 4 = E. coli BL21 pembawa plasmid
pGEX-SR100 terlarut dengan pengenceran 10x, Kolom 5 = E. coli
BL21 pembawa plasmid pGEX-SR100 (pelet), Kolom 6 = E. coli
BL21 pembawa plasmid pGEX-SR100 pellet dengan pengenceran
10x, Kolom 7 = E. coli DH5α pembawa plasmid pGEX-SR100
terlarut, Kolom 8 = E. coli DH5α pembawa plasmid pGEX-SR100
terlarut dengan 10 x pengenceran. M = Marker. Tanda panah pada
Kolom nomor 2 menunjukkan enzim GST, sedangkan tanda panah
pada Kolom nomor 4 menunjukkan protein fusi antara GST dan
HBsAg100.
45
Virus hepatitis B merupakan virus DNA untai ganda dengan panjang genom
mencapai 3,2-3,3 kpb. Virus yang termasuk famili hepadnaviridae tersebut
memiliki genom yang terbungkus oleh glycoprotein. Siklus replikasi virus dimulai
dengan melekatnya protein selubung tersebut pada sel hati. Di dalam inti sel hati.
sintesis DNA virus disempurnakan, genom virus tersebut diubah menjadi cccDNA
(covalently closed circular DNA). cccDNA akan menjadi cetakan untuk sintesis
RNA yang akan kemudian diubah menjadi DNA virus (Lok dan McMahon, 2001).
Penelitian ini telah menguji ekpresi plasmid rekombinan dengan
menggunakan E. coli DH5α serta E. coli BL21. E. coli DH5α merupakan bakteri
inang yang umum dipergunakan untuk tujuan kloning dan memperbanyak
47
plasmid, sedangkan E. coli BL21 merupakan inang yang umum digunakan untuk
tujuan ekspresi. Perbedaan kedua strain bakteri E. coli tersebut adalah E. coli
DH5α memiliki banyak enzim protease baik di periplasma maupun sitoplasma,
yang dapat mendegradasi protein rekombinan yang dihasilkan pada bakteri
tersebut. Gen-gen penyandi enzim protease pada E. coli BL21 sudah dimutasi
sehingga ekspresi protein rekombinan tidak akan mengalami degradasi yang
intensif. Hal ini terlihat pada hasil SDS-PAGE pada Gambar 11 yang
menunjukkan hal tersebut, dimana intensitas pita protein rekombinan ketika
menggunakan E. coli BL21 sebagai inang lebih tebal dibandingkan dengan ketika
menggunakan E. coli DH5α. Tebalnya pita protein target masih terlihat walaupun
dilakukan pengenceran sampai 10x. Pengenceran 10 x pada protein yang
diekspresi pada E. coli DH5α sudah tidak terlihat.
Eskpresi protein rekombinan pada E. coli BL21 lebih tinggi dibandingkan
pada E. coli DH5α. Hal ini dapat disebabkan oleh fusi dengan GST. Maeng et al.
(2001) melakukan ekspresi gen virus hepatitis B secara parsial yang diikuti
dengan menggabungkan gen tersebut (fusi) dengan gen penyandi enzim GST
untuk meningkatkan ekspresi dan kelarutan antigen permukaan hepatitis B pre-S2
pada E. coli menunjukkan terjadi peningkatan tingkat ekspresi antigen yang
digabung dengan GST.
Berbagai macam affinity tag, seperti GST dan polyhistidin, dapat digunakan
untuk meningkatkan ekspresi dan memfasilitasi pemurnian antigen rekombinan.
Hasil pemurnian fusi HB-100 dan GST dalam penelitian ini menunjukkan bahwa
antigen rekombinan yang diperoleh setelah pemurnian relatif murni dan dalam
jumlah yang cukup untuk dapat digunakan dalam aplikasi (assay) selanjutnya
(Gambar 2 pita nomor 5-7). Keberhasilan isolasi ini tidak terlepas dari sifat
meningkatnya kelarutan protein rekombinan karena fusi dengan GST. Hal ini
sesuai dengan pendapat Koschorreck et al. (2005) yang melaporkan terjadi
peningkatan solubilitas protein rekombinan yang digabung dengan GST.
Simpulan
Daftar Pustaka
Abstrak
Gen SR100 yang difusikan dengan gen penyandi gluthatione S-transferase
(GST) pada diligasi dengan plasmid pGEX-4T-2 berhasil mengekspresikan fusi
protein antigen HBsAg100-GST melalui inang E. coli BL21. Fusi protein antigen
HBsAg100-GST berhasil dimurnikan dengan kolum GST, kemudian diuji
antigenisitasnya melalui respon humoral mencit dalam membentuk antibodi
dengan cara melakukan imunisasi terhadap mencit BALB/c dengan fusi protein
antigen tersebut. Respon mencit menunjukkan bahwa protein antigen HBsAg100
yang dihasilkan dalam penelitian ini bersifat antigenik.
Abstract
The expression vector pGEX-SR100, which the HBsAg100 peptide fused to
gluthatione S-transferase (GST), was constructed. The fusion protein, named
GST-HBsAg100, was highly expressed in E. coli and purified using GST column.
The purified protein was tried to trigger cell immune to produce antibody in mice.
Results indicated that the immunogenicity of GST-HBsAg100 was higher than
GST protein in elicit the levels of HBsAg100-specific IgG antibody in mice. These
results suggest that the HBsAg100 produced in E. coli has immunogenicity.
Pendahuluan
Groot dan Rappuoli (2004), vaksinasi merupakan cara yang paling murah dan
paling aman untuk menurunkan angka kematian akibat infeksi beberapa jenis
penyakit.
Keberhasilan vaksinasi dalam memberantas berbagai jenis penyakit telah
dibuktikan dengan tuntasnya pemberantasan beberapa jenis penyakit yang sangat
mengkhawatirkan, seperti diantaranya cacar air maupun polio. Demikian pula
dengan keberhasilan menekan beberapa penyakit seperti tetanus, rabies, tetelo,
penyakit mulut dan kuku, hepatitis B, maupun tuberkulosis. Penggunaan vaksin
saat ini lebih banyak dipilih dibandingkan dengan penggunaan obat.
Di awal perkembangan teknologi produksi vaksin, penggunaan mikroba
virulen yang telah dilemahkan (attenuating virulent microorganism) ataupun
mikroorganisme virulen yang dibunuh (killing virulent microorganism) dengan
bahan kimia tertentu merupakan pilihan untuk menghasilkan berbagai jenis vaksin
yang dibutuhkan. Teknik tersebut memiliki banyak kelemahan terutama terhadap
spesifikasi vaksin yang dihasilkan, sehingga menyebabkan para ahli terus
berupaya untuk menemukan teknik baru.
Penggunaan vaksin sub-unit yang dihasilkan dari molekul protein yang
dimurnikan dari mikroorganisme patogen telah dapat meningkatkan kualitas
vaksin yang dihasilkan. Vaksin tersebut memiliki spesifisitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan vaksin era sebelumnya. Oleh karena itu penggunaan vaksin
tersebut lebih efektif untuk menangkal berbagai jenis penyakit dengan
menggunakan jumlah yang lebih sedikit (Joshi dan Kumar 2001).
Kemajuan teknologi molekuler dalam beberapa dekade ini, terutama sejak
ditemukannya sekuen genom lengkap dari mikroba-mikroba pathogen, telah
membuka jalan baru bagi dihasilkannya berbagai jenis protein rekombinan, baik
vaksin, antibodi, maupun peptide sintetik yang memiliki manfaat tertentu
(Thanavala 1995; Groot dan Rappuoli 2004). Pada saat ini, vaksin telah dihasilkan
dengan teknologi rekombinan DNA, yaitu melalui kloning gen penyandi protein-
protein tertentu pada mikroorganisme patogen yang dilanjutkan dengan ekspresi
gen tersebut pada sel hewan, sel tanaman, ataupun pada bakteri. Penggunaan
teknologi tersebut telah menjembatani tingginya kebutuhan terhadap vaksin untuk
menanggulangi munculnya berbagai jenis penyakit seperti pada saat ini.
51
Bahan Penelitian
Metode Penelitian
Koleksi Serum. Spesimen darah diambil melalui ekor. Serum darah dapat
diperoleh melalui sentrifuse dengan kecepatan 2500 rpm selama 5 menit (Lippi
2007). Kandungan antibodi serum dianalisis dengan Elisa (Camargo et al. 1987).
pencuci 0.05% tween 20 dalam PBS (pH 7.4) ke dalam masing-masing sumuran
yang akan dicuci. Selanjutnya larutan pencuci dibuang sampai bersih.
humoral mencit yang diimunisasi dgn fusi protein meningkat setelah dilakukkan
imunisasi, kemudian sekitar seminggu mulai stabil dan setelah dilakukan booster
meningkat lagi, tetapi seiring dengan penambahan waktu pemeliharaan maka
respon humoral mencit tersebut menurun sedikit demi sedikit sampai akhir
minggu ke 12. Perkembangan respon humoral mencit terhadap vaksinasi yang
dilakukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 14. Hal ini
menunjukkan bahwa fusi protein rekombinan HBsAg100-GST bersifat antigenik.
Tabel 3 Nilai optikal densiti (OD) serum mencit yang diperoleh dari darah mencit
setelah satu minggu dilakukan vaksinasi dengan antigen HBsAg100-GST
pada beberapa tingkat pengenceran
2,000
1,800
1,600
1,400
OD (450 nm)
1,200
1,000
HBsAg100-GST
0,800
GST
0,600
0,400
0,200
0,000
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Lama pengamatan (Minggu)
Simpulan
Daftar Pustaka
Camargo, I.F., A.M.C. Gaspar, and C.F.T. Yoshida. 1987. Comparative ELISA
Reagents for Detection of Hepatitis B Surface Antigens (HBsAg). Mem Inst
Oswaldo Cruz 82(2):181-187.
Chen X, Li M, Le X, Ma W, and Zhou B. 2004. Recombinant hepatitis B core
antigen carrying preS1 epitopes induce immune response against chronic HBV
infection. Vaccine 22:439-446.
Ddemann AP, Zyl WH. 2003. Evaluation of Aspergillus niger as host for virus-
like particle production, using the Hepatitis B surface antigen as a model.
Springer-Verlag. Word J Gastroenterol 12:244-247
Deng Q, Kong YY, Xie YH, and Wang Y. 2005. Expression and purification of the
complete PreS region of hepatitis B virus. World J Gastroenterol 11:3060-
3064.
Groot ASD, Rappuoli R. 2004. Genome-derived vaccines. Expert Rev Vacc 3:59-
76.
Hu W et al. 2003. A flexible peptide linker enhances the immunoreactivity of two
copies HBsAg preS1 (21-47) fusion protein. J Biotechnol 107:83-90.
Hu WG et al. 2004. Expression of overlapping Pre-S1 Fragment Recombinant
Proteins for the determination of immunogenic domains in HBsAg PreS1
region. Acta Biochim Biophys Sin 36 (6):397-404.
58
Simpulan
Saran
Sheu SY, Lo SJ. 1995. Deletion or alteration of hidrofobik amino acids at the first
and third transmembrane domains of Hepatitis B surface antigen enhances its
production in Escherichia coli. Gene 160:179-184.
Stannard LM. 1995. Hepatitis B Virus. http://web.uct.ac.za/depts/mmi/stannard/
emimages. html.
Soewignjo S, Mulyanto. 1984. Epidemiologi infeksi virus Hepatitis B di
Indonesia. Acta Medica Indones 15:215-230.
Thanavala Y. 1995. Novel approaches to development against HBV. J Biotechnol
44:67-73.
Tizard IR. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Airlangga University Press.
Surabaya
Vikis HG, Guan KL. 2000. Glutathione-S-Transferase-Fusion Based Assays for
Studying Protein-Protein Interaction. Di dalam: Methods in Molecular
Biology, vol. 261. Humana Press Inc. Totowa, NJ.
Wagner A, Denis F, Roges SR, Ratti VL, Alain S. 2004. Hepatitis B Virus
Genotypes. Immuno-anal Biol Special 19:330-342.
Winarno FG. 2004. Keamanan Pangan. Jilid 3, Cetakan 1. Bogor: M-Brio Press.
Winarno FG, Agustinah W. 2007. Pengantar Bioteknologi. Ed Revisi. Bogor: M-
Brio Press.
Wiryosuhanto SD, Sudradjat SD, editor. 1992. Aplikasi Bioteknologi Kesehatan
Hewan. Hasil Semiloka Bioteknologi Kesehatan Hewan di Bogor, 20-21
Oktober 1992. Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian. Jakarta.
Worman HJ. 2002. Hepatitis B. Columbia University Medical Center. Deseases of
the Liver/Howard J. Worman, M.D./hjw14@columbia.edu
Yamada T et al. 2001. Physicochemical and immunological characterization of
Hepatitis B virus envelope particles exclusively consisting of the entire L (pre-
S1+pre-S2+S) protein. Vaccine. J Virol 19:3154-3163.
Yamamoto H, Satoh T, Kiyohara T, Totsuka A, Moritsugu Y. 1997. Quantitation of
group-specific a antigen in Hepatitis B vaccines by anti-HBs/a monoclonal
antibody. Biologicals 25:373-380.
LAMPIRAN
73
Sumber:
Lampiran 2 (lanjutan)
76
Lampiran 2 (lanjutan)
77
Lampiran 2 (lanjutan)
Diterima melalui email dari Fak. Kedokteran UNRAM pada tanggal 2 April 2009
Lampiran 3 Program PCR yang berhasil digunakan untuk amplifikasi gen SR100
78
Lampiran 4 (lanjutan)
79
Lampiran 5 (lanjutan)
81
Lampiran 5 (lanjutan)
82
Lampiran 5 (lanjutan)
Lampiran 6 (lanjutan)
84
Lampiran 6 (lanjutan)
Lampiran 6 (lanjutan)
85
Lampiran 7 (lanjutan)
86
Lampiran 7 (lanjutan)
Lampiran 7 (lanjutan)
87
Lampiran 19 Mesin Elisa Photoreader yang digunakan untuk membaca hasil elisa
93
Lampiran 21 Data hasil pembacaan optikal densiti (OD) terhadap serum mencit
yang diperoleh dari darah mencit sebelum dan setelah dilakukan
vaksinasi HBsAg100-GST (kelompok A) dan GST (kelompok B)