Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
KELOMPOK III
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
mata kuliah Sistem Imun dan Hematologi. Penyusunan makalah ini tidak terlepas
dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penyusun mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada tutor kelompok 11 dalam mata
kuliah ini.
Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan saran dan kritik yang membangun
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
penyakit yang disebabkan akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang diakibatkan
oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Penyakit ini pertama kali ditemukan pada
tahun 1981 di Amerika Serikat dan sampai saat ini telah menyerang sebagian besar negara
didunia. Penyakit ini berkembang secara pandemi, menyerang baik negara maju maupun
singkat terjadi peningkatan jumlah penderita dan melanda semakin banyak negara. Saat ini
tidak ada negara yang terbebas dari HIV/AIDS sehingga menyebabkan berbagai krisis
gambaran jumlah penderita yang sebenarnya. Pada penyakit ini berlaku teori “Gunung Es“
dimana penderita yang kelihatan hanya sebagian kecil dari yang semestinya. Untuk itu
WHO mengestimasikan bahwa dibalik 1 penderita yang terinfeksi telah terdapat kurang
B. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui dan membahas lebih
dalam tentang management kasus pada HIV AIDS (Aqcuired Immune Deficiency
Syndrome). Selain itu, makalah ini juga ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas
Kasus : Seorang manajer kasus mendampingi klien HIV / Aids sejak 5 tahun yang
lalu, dia mengalami kelelahan dan putus asa karena banyak dari klien tidak patuh
berobat, beberapa dari odha pergi menghilangkan jejak, sebagian sudah meninggal
dunia, Saat ini manajer kasus tersebut kondisinya sakit, dia khawatir tertular penyakit
Diskusi :
2. Bagaimana menjadi manajeman yang baik pada klien HIV / Aids ini ?
4. Apa prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam manajemen kasus HIV/Aids ?
BAB II
KONSEP DASAR
A. Pengerertian HIV/AIDS
AIDS dapat diartikan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh
menurunnya sistem kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus) yang termasuk dalam famili retroviridae. Penyakit ini ditandai
oleh infeksi oportunistik dan atau beberapa jenis keganasan tertentu. AIDS merupakan
HIV/AIDS dapat juga dapat berupa sindrom akibat defisiensi imunitas seluler tanpa
penyebab lain yang diketahui, ditandai dengan infeksi oportunistik dan keganasan
berakibat fatal. Munculnya sindrom ini erat hubungannya dengan berkurangnya zat
kekebalan tubuh dimana proses ini tidak terjadi seketika melainkan sekitar 5-10 tahun1.
B. Epidemiologi AIDS
Infeksi AIDS pertama kali dilaporkan di Amerika oleh CDC (Central for Disease
Control) pada tahun 1981 pada orang dewasa homoseksual sedangkan pada anak tahun
1983. Di Indonesia kasus AIDS pertama kali dilaporkan pada 1987 yang menimpa seorang
warga negara asing di Bali. Tahun berikutnya mulai dilaporkan adanya kasus di beberapa
provinsi3.
Karena AIDS bukan penyakit maka AIDS tidak menular, yang menular adalah HIV
yaitu virus yang menyebabkan kekebalan tubuh mencapai masa AIDS. Virus ini terdapat
dalam larutan darah, cairan sperma dan cairan vagina, dan bisa menular pula melaui kontak
darah atau cairan tersebut. Pada cairan tubuh lain konsentrasi HIV sangat rendah sehingga
orang yang mengidap HIV tidak bisa dikenali melalui diagnosis gejala tertentu, disamping
itu orang yang terinfeksi HIV bisa tidak merasakan sakit. Berbulan-bulan atau tahun
seseorang yang sudah terinfeksi dapat bertahan tanpa menunjukkan gejala klinis yang khas
Secara epidemiologik yang penting sebagai media perantara virus HIV adalah
semen, darah dan cairan vagina atau serviks. Penularan virus HIV secara pasti diketahui
melalui hubungan seksual (homoseksual, biseksual dan hetero-seksual) yang tidak aman,
yaitu berganti-ganti pasangan, seperti pada promiskuitas. Penyebaran secara ini merupakan
penyebab 90% infeksi baru di seluruh dunia. Penderita penyakit menular seksual terutama
ulkus genital, menularkan HIV 30 kali lebih mudah dibandingkan orang yang tidak
menderitanya. Parenteral, yaitu melalui suntikan yang tidak steril, misalnya pada pengguna
produk darah yang tidak bebas HIV, serta petugas kesehatan yang merawat penderita
HIV/AIDS secara kurang hati-hati. Perinatal, yaitu dari ibu yang mengidap HIV kepada
janin yang dikandungnya. Transmisi HIV-I dari ibu ke janin dapat mencapai 30%,
sedangkan HIV-2 hanya 10%. Penularan secara ini biasanya terjadi pada akhir kehamilan
atau saat persalinan. Bila antigen p24 ibu jumlahnya banyak, dan/ atau jumlah reseptor
CD4 kurang dari 700/ml, maka penularan lebih mudah terjadi. Ternyata HIV masih
heteroseksual diikuti pengguna narkotika (nafza). Secara umum ada 5 faktor yang perlu
diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu sumber infeksi, vehikulum yang
membawa agent, host yang rentan, tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (port’d
entree).
Nafza Heteroseksual Homoseksual Perinatal Tansfusi darah Tidak diketahui
Gambar 2.2.1 Jumlah penderita AIDS berdasarkan Cara Penularan berdasarkan Tahun
Pada 10 tahun pertama sejak penderita AIDS pertama ditemukan di Indonesia, peningkatan
jumlah kasus AIDS masih rendah. Pada akhir 1997 jumlah kasus AIDS kumulatif 153
kasus dan HIV positif baru 486 orang yang diperoleh dari serosurvei di daerah sentinel.
Pada akhir abad ke 20 terlihat kenaikan yang sangat berarti dari jumlah kasus AIDS dan di
beberapa daerah pada sub-populasi tertentu, angka prevalensi sudah mencapai 5%,
sehingga sejak itu Indonesia dimasukkan kedalam kelompok negara dengan epidemi
terkonsentrasi.
Peningkatan jumlah penderita AIDS di Indonesia tiap tahun ditunjukkan pada gambar
2.2.210.
Gambar 2.2.2 Jumlah Kasus AIDS di Indonesia 10 Tahun Terakhir Berdasarkan Tahun
tertinggi pada golongan umur 20-29 tahun dan penderita laki-laki lebih banyak daripada
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang disebut Human Immunodeficiency Virus
(HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada
tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di
Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan
internasional pada tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV. HIV terdiri dari 2 tipe
yaitu virus HIV-1 dan HIV-2. Keduanya merupakan virus RNA (Ribonucleic Acid) yang
Karakteristik HIV12,13 :
penyakit
Orang dengan HIV + tidak tahu bahwa dirinya sudah terinfeksi HIV
Seorang pengidap HIV yang belum menunjukkan gejala dapat menularkan kepada
orang lain. Satu-satunya cara untuk mendapatkan kepastian infeksi HIV yaitu
Virus HIV termasuk virus RNA positif yang berkapsul. Diameternya sekitar 100
nm dan mengandung dua salinan genom RNA yang dilapisi oleh protein nukleokapsid
seperti terlihat pada gambar 2.3.1. Pada permukaan kapsul virus terdapat glikoprotein
transmembran gp41 dan glikoprotein permukaan gp120. Di antara nukleokapsid dan kapsul
virus terdapat matriks protein. Selain itu juga terdapat tiga protein spesifik untuk virus HIV,
yaitu enzim reverse transkriptase (RT), protease (PR), dan integrase (IN). Retrovirus juga
memiliki sejumlah gen spesifik sesuai dengan spesies virusnya, antara lain gag (fungsi
struktural virus), pol (fungsi struktural dan sintesis DNA), serta env (untuk fusi kapsul virus
Infeksi HIV terjadi saat HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel T–helper
dengan melekatkan dirinya pada protein permukaan CD4+. CD4+ berikatan dengan gp120
berupa glikoprotein yang terdapat pada selubung virus HIV. Setelah terjadi ikatan maka
RNA virus masuk kedalam sitoplasma sel dan berubah menjadi DNA dengan bantuan
enzim RT. Setelah terbentuk DNA, virus menerobos masuk kedalam inti sel. Dalam inti
sel, DNA HIV disatukan pada DNA sel yang terinfeksi dengan bantuan enzim integrase.
Waktu sel yang terinfeksi menggandakan diri, DNA HIV diaktifkan dan membuat bahan
baku untuk virus baru. Virus yang belum matang mendesak ke luar sel yang terinfeksi
dengan proses yang disebut budding atau tonjolan. Virus yang belum matang melepaskan
diri dari sel yang terinfeksi. Setelah melepaskan diri, virus baru menjadi matang dengan
terpotongnya bahan baku oleh enzim protease dan kemudian dirakit menjadi virus yang
siap bekerja. Keseluruhan siklus hidup HIV dapat dilihat pada gambar 2.3.2.17,18,19
Gambar 2.3.2 Siklus hidup HIV19
D. Patogenesis HIV/AIDS
menghancurkan HIV. Penyakit HIV/AIDS dimulai dengan infeksi akut yang tidak dapat
diatasi sempurna oleh respons imun adaptif dan berlanjut menjadi infeksi jaringan limfoid
perifer yang kronik dan progresif. Perjalanan penyakit HIV dapat diikuti dengan
memeriksa jumlah virus di plasma dan jumlah sel CD4+ dalam darah.18,19
Setelah terjadi infeksi primer, sel dendrit di epitel akan menangkap virus kemudian
bermigrasi ke kelenjar getah bening. Sel dendrit mengekspresikan protein yaitu CCR5 yang
berperan dalam pengikatan HIV, sehingga sel dendrit berperan besar dalam penyebaran
HIV ke jaringan limfoid. Di jaringan limfoid, sel dendrit dapat menularkan HIV ke sel
CD4+ melalui kontak langsung antar sel. Dari jaringan limfoid, HIV masuk ke dalam aliran
darah dan kemudian menginfeksi organ-organ tubuh. Proses penyebaran HIV dapat dilihat
Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam jumlah
banyak dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan viremia
disertai dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti infeksi virus
lainnya). Setelah terjadi penyebaran infeksi HIV, terbentuk respons imun adaptif baik
humoral maupun selular terhadap antigen virus. Respons imun ini dapat mengontrol
sebagian dari infeksi dan produksi virus yang menyebabkan berkurangnya viremia dalam
Setelah terjadi infeksi akut dilanjutkan dengan fase kedua dimana kelenjar getah
bening dan limpa menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem
imun masih kompeten mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum muncul
manifestasi klinis infeksi HIV, sehingga fase ini disebut juga masa laten klinis (clinical
latency period). Pada fase ini jumlah virus rendah dan sebagian besar sel tidak mengandung
HIV. Kendati demikian, penghancuran sel CD4+ dalam jaringan limfoid terus berlangsung
dan jumlah sel CD4+ yang bersirkulasi semakin berkurang. Pada awal penyakit, tubuh
dapat menggantikan sel CD4+ yang hancur dengan yang baru. Namun setelah beberapa
tahun siklus infeksi virus, kematian sel dan infeksi baru berjalan terus sehingga akhirnya
Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain dan r espons imun
terhadap infeksi tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan limfoid.
Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS dimana terjadi
destruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel CD4+ dalam darah kurang dari 200
sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis. Pasien AIDS menderita infeksi oportunistik,
neoplasma, kaheksia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal dan degenerasi susunan saraf
pusat.
Gambaran jumlah CD+ dalam perjalanan infeksi HIV sampai tahap AIDS dapat
Virus HIV yang menginfeksi seseorang dapat menimbulkan gejala klinis berbeda-
beda. Lesi-lesi yang muncul sesuai dengan tahap infeksi, mulai dari akut sampai dengan
bervariasi antar individu, berkisar antara 6 bulan hingga lebih 20 tahun. Waktu yang
E. Diagnosis HIV/AIDS
hal. Dalam menentukan diagnosis awal dapat dilihat dari riwayat penyakit-penyakit yang
pernah diderita yang menunjukkan gejala HIV dan pada pemeriksaan fisik terdapat tanda-
tanda infeksi opurtunistik. Selain itu riwayat pergaulan dapat membantu dalam
menegakkan diagnosa AIDS karena dapat menjadi sumber informasi awal penularan
pemeriksaan fisik25
secara tidak langsung yaitu dengan menunjukkan adanya antibodi spesifik. Berbeda dengan
virus lain, antibodi tersebut tidak mempunyai efek perlindungan. Pemeriksaan secara
langsung dapat dilakukan, yaitu antara lain dengan melakukan biakan virus, antigen virus
Pemeriksaan adanya antibodi spesifik dapat dilakukan dengan Rapid Test, Enzime
Linked Sorbent Assay (ELISA) dan Western Blot. Sesuai dengan pedoman nasional,
diagnosis HIV dapat ditegakkan dengan 3 jenis pemeriksaan Rapid Test yang berbeda atau
Pada pemeriksaan ELISA, hasil test ini positif bila antibodi dalam serum mengikat
antigen virus murni di dalam enzyme-linked antihuman globulin. Pada minggu 23 masa
sakit telah diperoleh basil positif, yang lama-lama akan menjadi negatif oleh karena
sebagian besar HIV telah masuk ke dalam tubuh .Interpretasi pemeriksaan ELISA adalah
pada fase pre AIDS basil masih negatif, fase AIDS basil telah positif. Hasil yang semula
Pemeriksaan Western Bolt merupakan penentu diagnosis AIDS setelah test ELISA
dinyatakan positif. Bila terjadi serokonversi HIV pada test ELISA dalam keadaan infeksi
HIV primer, harus segera dikonfirmasikan dengan test WB ini. Hasil test yang positif akan
sebuah kertas nitroselulosa yang terdiri atas protein struktur utama virus. Setiap protein
terletak pada posisi yang berbeda pada garis, dan terlihatnya satu pita menandakan
Berdasarkan kriteria WHO, serum dianggap positif antibodi HIV-1 bila 2 envelope
pita glikoprotein terlihat pada garis. Serum yang tidak menunjukkan pita-pita tetapi tidak
dievaluasi dan diperiksa secara serial selama 6 bulan sebelum dinyatakan negatif. Bila
hanya dijumpai 1 pita saja yaitu p24, dapat diartikan hasilnya fase positif atau fase dini
Waktu antara infeksi dan serokonversi yang berlangsung beberapa minggu disebut
antibody negative window period. Pada awal infeksi, antibodi terhadap glikoprotein
envelope termasuk gp41 muncul dan menetap seumur hidup. Sebaliknya antibodi antigen
inti (p24) yang muncul pada infeksi awal, jumlahnya menurun pada infeksi lanjut. Pada
infeksi HIV yang menetap, titer antigen p24 meningkat, dan ini menunjukkan prognosis
yang buruk. Penurunan cepat dan konsisten antibodi p24 juga menunjukkan prognasi yang
buruk.31,32
F. Stadium Klinis HIV/AIDS
WHO telah menetapkan Stadium Klinis HIV/AIDS untuk dewasa maupun anak
dimana stadium klinis HIV/AIDS masing-masing terdiri dari 4 stadium. Jika dilihat dari
gejala yang terjadi pembagian stadium klinis HIV/AIDS adalah sebagai berikut :33
Clinical Stage 1
Asymptomatic
Persistent generalized lymphadenopathy
Clinical Stage 2
Clinical Stage 3
Clinical Stage 4
G. Penatalaksanaan HIV/AIDS
pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV),
Terapi anti-HIV yang dianjurkan saat ini adalah HAART (Highly Active
antiretroviral. Terapi ini terbukti efektif dalam menekan replikasi virus (viral
load) sampai dengan kadar di bawah ambang deteksi. Waktu memulai terapi
ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat ARV akan diberikan
dalam jangka panjang. ARV dapat diberikan apabila infeksi HIV telah
laboratoris. Alur pemberian terapi ARV dapat dilihat pada gambar 2.7.1.36,37
Gambar 2.7.1 Langkah-langkah dalam pengobatan infeksi HIV.36
menunjukkan gejala yang sangat berat tanpa melihat jumlah CD4+. Obat ini
kurang dari 200 sel/mm3. Pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ 200-350
dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load lebih dari 100.000
kopi/ml terapi ARV dapat dimulai, namun dapat pula ditunda. Terapi ARV
tidak dianjurkan dimulai pada pasien dengan jumlah limfosit CD4+ lebih dari
350 sel/mm3 dan viral load kurang dari 100.000 kopi/ml. Keadaan untuk
Terapi HIV/AIDS saat ini adalah terapi kimia yang menggunakan obat
ARV yang berfungsi menekan perkembangbiakan virus HIV. Obat ini adalah
inhibitor dari enzim yang diperlukan untuk replikasi virus seperti reverse
transcriptase (RT) dan protease. Inhibitor RT ini terdiri dari inhibitor dengan
senyawa dasar nukleosid (nucleoside-based inhibitor) dan nonnukleosid
reverse transkriptase selama proses transkripsi RNA virus pada DNA host.
rantai DNA virus akan mengalami terminasi sedangkan analog NNRTI akan
menginaktifkannya.
Obat yang termasuk dalam golongan NRTI antara lain Abacavir (ABC),
dan Stavudine (d4T), Tenofovir. Obat yang termasuk NNRTI antara lain
Setelah sintesis mRNA dan poliprotein HIV terjadi, tahap selanjutnya protease
Dengan pemberian PI, produksi virion dan perlekatan dengan sel pejamu masih
terjadi, namun virus gagal berfungsi dan tidak infeksius terhadap sel. Yang
(SQV).36,37,38
dua obat golongan NRTI dengan satu obat golongan NNRTI. Kombinasi ini
mempunyai efek yang lebih baik dibandingkan kombinasi obat yang lain dan
membutuhkan biaya yang lebih sedikit karena terdapat generiknya. Analog
nukleotida seperti AZT, TDF, ABC atau d4T. Didanosine (ddI) merupakan
NNRTI, baik EFV atau NVP dapat dipilih untuk dikombanasikan dengan obat
NRTI sebagai terapi lini pertama. Terapi lini pertama dapat juga dengan
untuk diperoleh. Pemilihan regimen obat ARV sebagai lini pertama dapat
Evaluasi pengobatan dapat dilihat dari jumlah CD4+ di dalam darah dan
menahan efek samping dari obat, sehingga terjadi disfungsi organ yang cukup
berat. Hal tersebut dapat dipantau secara klinis, baik dari keluhan atau dari hasil
pemeriksaan fisik pasien, atau dari hasil pemeriksaan laboratorium, tergantung
keadaan yang dapat muncul pada awal pengobatan ARV. Sindrom ini ditandai
kebalan tubuh yang telah lanjut. Kembalinya fungsi imunologi dapat pula
untuk mengganti terapi. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2.7.2.39,40
pertama dengan rejimen lini kedua. Rejimen lini kedua pengganti harus terdiri
dari obat yang kuat untuk melawan galur/strain virus. Terapi lini kedua yang
utama golongan PI dalam terapi lini kedua. Golongan NRTI yang menjadi
pilihan untuk terapi lini kedua adalah ddI atau TDF. Penambahan golongan
NNRTI dapat digunakan apabila pada terapi lini pertama menggunakan 3 obat
golongan NRTI.
Pemilihan regimen obat ARV untuk lini kedua dapat dilihat pada
gambar 2.8.5.40
jenis infeksi sangat tergantung dari lingkungan dan cara hidup penderita.41
Gastro-intestinal Cryptosporidiosis
system Candida
Cytomegolavirus (CMV)
Isosporiasis
Kaposi's Sarcoma
Central/peripheral Cytomegolavirus
Nervous system Toxoplasmosis
Cryptococcosis
Non Hodgkin's lymphoma
Varicella Zoster
Herpes simplex
Skin Herpes simplex
Kaposi's sarcoma
Varicella Zoster
bahan infeksius maupun noninfeksius dari luar (eksogen), di sisi lain juga
40%.42
yang terjadi. Pada pneumonia yang sedang-berat atau berat, penderita harus di
rawat di rumah sakit karena mungkin memerlukan bantuan ventilator (sekitar
40% kasus). Obat pilihan adalah kotrimoksazol intravena dosis tinggi. Terapi
antibiotika ini diberikan selama 21 hari. Penderita yang berespon baik dengan
(dalam 72 jam) belum terapi antibiotika untuk menekan risiko komplikasi dan
lainnya untuk PCP berat adalah pentamidin intravena (pilihan kedua) dan
infeksi HIV/AIDS dan menjadi penyebab kematian pada sekitar 11% penderita.
Berdasarkan data World Health Organization (WHO), pada akhir tahun 2000
kira-kira 11,5 juta orang penderita infeksi HIV di dunia mengalami ko-infeksi
dengan tanpa infeksi HIV. Saat pemberian obat pada koinfeksi TBC-HIV harus
memperhatikan jumlah CD4 dan sesuai dengan rekomendasi yang ada (tabel
viral suppresion dan timbulnya resistensi obat. Protease inhibitor dan NNRTI
dapat pula mempertinggi atau menghambat sistem enzim ini dan berakibat
suppresion dan timbulnya resistensi obat. Protease inhibitor dan NNRTI dapat
HIV/AIDS 45
daerah mukokutan, batang tubuh, tungkai atas dan bawah, muka dan rongga
mulut. Bentuk lesi berupa makula eritematosa agak menimbul, berwarna hijau
efektif bila dalam keadaan baru dan besarnya terbatas. Radiasi, kemoterapi dan
tipe A atau B yang mempunyai berbagai disiplin keahlian dan fasilitas ICU.
Perawatan dilakukan di Unit sesuai dengan gejala klinis yang menonjol pada
penderita. Harapan untuk sembuh memang sulit, sehingga perlu perawatan dan
sakit terhadap penderita lain yang dirawat maupun terhadap tenaga kesehatan
alat pelindung seperti masker, sarung tangan, yang jasa pelindung, pelindung
mata, melindungi kulit terluka dari kemungkinan kontak dengan cairan tubuh
H. Pencegahan
Cara penularan dan beberapa hal yang perlu diperhatikan agar tidak tertular oleh
melalui peralatan ini banyak terdapat pada golongan muda pengguna narkotik
transfusi darah(38).
3) Penularan lainnya yang sangat mudah adalah melalui cara perinatal. Seorang
wanita hamil yang telah terinfeksi HIV, risiko penularan kepada janinnya
sebesar 50%.
Untuk mencegah agar virus HIV tidak ditularkan ke orang lain dapat dilakukan
dengan cara bimbingan kepada penderita HIV yang berperilaku seksual tidak aman,
supaya menjaga diri agar tidak menjadi sumber penularan. Pengguna narkotik
suntik yang seropositif agar tidak memberikan peralatan suntiknya kepada orang
lain untuk dipakai; donor darah tidak dilakukan lagi oleh penderita seropositif dan
a. Pengertian kepatuhan
atau pasrah pada tujuan yang telah ditetapkan (Susan. B, 2002). Sackett
perilaku pasien sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh tenaga medis
hariya dan waktu minum dalam jangka waktu tertentu (Osterberg dan
Terrence, 2005).
pada pasien HIV. Namun kepatuhan individu berdasarkan rasa terpaksa atau
2009).
menggunakan obat yang diminum setiap harinya dan waktu minum dalam
jangka waktu tertentu sesuai ketentuan yang diberikan oleh tenaga medis.
lain:
1) Faktor demografi
2) Faktor psikologi
Penyakit kronik yang diderita pasien, regimen obat yang kompleks, dan
menjadi kurang sehingga pasien tidak cukup mengerti dan paham akan
bagian, yaitu:
jika ia salah paham mengenai instruksi yang diberikan padanya. Ley dan
3. Isolasi sosial dan keluarga. Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat
berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan serta
profesionalisme kesehatan.
2) Perilaku sehat sangat dipengaruhi oleh kebiasaan, oleh karena itu perlu
perilaku.
oleh pasien, hubungan interaksi yang baik antara pasien dan konselor,
dukungan sosial dan keyakinan dari orangtua maupun teman dan juga petugas
kesehatan.
1) Metode langsung
dengan beberapa cara, seperti mengukur viral load dalam darah atau
penolakan pasien.
obat.
sesuai dosis obat yang diberikan pada waktu tertentu, Kepatuhan tinggi
adalah : jumlah kombinasi obat ARV kurang dari 0-3 dosis yang tidak
diminum dalam periode 30 hari (≥ 95%). Kepatuhan sedang adalah
jumlah kombinasi obat ARV antara 3-12 dosis yang tidak diminum
kombinasi obat ARV lebih dari 12 dosis yang tidak diminum dalam
obat.
Penyebaran HIV/AIDS memang sangat sulit terdeteksi. Data yang di dapatkan saat ini
hanya sebagian kecil dari besarnya jumalah orang yang sebenarnya mengidap HIV / AIDS. Dirjen
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemkes RI melaporkan sejak pertama kali terdeteksi di
Indonesia pada 1987, kasus HIV-AIDS secara akumulatif hingga Maret 2018 lalu jumlahnya
mencapai 291.129 kasus HIV dan 106.965 kasus AIDS. Kasus-kasus tersebut dilaporkan oleh
421 kabupaten dan kota. Itu berarti 82% dari total 514 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia.
620.000 orang mengidap HIV di Indonesia pada 2016. Dari jumlah itu, 13% telah mengikuti
terapi ARV (anti retro viral ), yaitu pengobatan untuk menekan perkembangbiakan virus dalam
tubuhnya.
Data di atas menunjukkan lebih dari setengah kasus HIV-AIDS di Indonesia belum
terdeteksi. Inilah yang dinamakan sebagai fenomena bongkahan es di bawah permukaan laut (
iceberg phenomenon ). Yaitu peningkatan jumlah ODHA yang tajam dan banyaknya kasus
HIV/AIDS yang dihimpun oleh Dinas Kesehatan sesungguhnya adalah kenyataan yang hanya
terlihat di permukaan saja. Masih Banyak ODHA yang tidak terdeteksi hingga hari ini.
Fenomena ini juga sekaligus menunjukkan selama ini banyak orang yang tidak sadar
dirinya telah terinfeksi HIV. Bahkan, sejumlah laporan menyebutkan banyak orang yang baru
mengetahui dirinya telah lama terinfeksi HIV saat diperiksa di rumah sakit akibat sakit-sakitan,
mereka terlambat mengetahuinya. Saat sejumlah penyakit menyerang (dikenal sebagai infeksi
oportunistik) orang tersebut sudah memasuki fase AIDS di mana pengobatan dan perawatannya
Tes HIV adalah satu-satunya cara untuk memastikan apakah kita terinfeksi HIV atau
tidak. Tes HIV lazimnya dilakukan dengan pemeriksaan darah untuk mencari antibodi terhadap
HIV . Sampel darah diambil dengan jarum sekali pakai. Jika menunjukkan hasil “reaktif”, ada
kemungkinan kita terinfeksi HIV. Namun tes tersebut perlu diulang lagi dengan cara berbeda
Ada banyak manfaat apabila tes HIV dilakukan secara dini. Mereka yang tergolong
berisiko tinggi tertular HIV sangat dianjurkan melakukan tes. Apabila mengetahui positif HIV,
mereka dapat segera mendapat penanganan medis agar tetap sehat. Selain itu, melalui proses
konseling yang baik, diharapkan mereka memiliki kesadaran untuk mencegah penularan HIV ke
orang lain.
mengkampanyekan pentingnya tes HIV secara dini. Ini dilakukan terutama bagi kalangan yang
berisiko seperti konsumen narkoba suntik, penjaja seks dan pelanggannya, atau laki-laki yang
Bahkan, melihat fakta tingginya ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV, pemerintah
Penanggulangan HIV dan AIDS, yang di antaranya menyatakan bahwa tes dan konseling HIV
dianjurkan sebagai bagian dari pemeriksaan laboratorium rutin saat pemeriksaan asuhan
antenatal atau menjelang persalinan pada semua ibu hamil yang tinggal di daerah dengan epidemi
meluas dan terkonsentrasi, serta ibu hamil dengan keluhan IMS dan tuberculosis di daerah
epidemi rendah.
Kampanye promotif untuk meningkatkan kesadaran orang mengikuti tes HIV perlu terus
dilakukan. Bagaimana pun, fenomena gunung es HIV-AIDS di Indonesia dan di sejumlah negara
mengeluarkan sebuah rekomendasi, dilakukannya HIV Self-Testing atau Tes HIV Mandiri untuk
meningkatkan cakupan tes HIV. Hal ini menjadi bagian dari upaya pencapaian target 90-90-90
Target pertama PBB itu adalah, pada tahun 2020 sebanyak 90 persen orang dengan HIV
mengetahui statusnya, 90 persen orang dengan HIV mendapat pengobatan, dan 90 persen orang
yang mendapat pengobatan itu mengalami penuruan jumlah virus dalam tubuhnya.
Tes HIV Mandiri diharapkan menjadi cara inovatif untuk mencapai target tersebut.
Dikutip dari situs resmi WHO, Tes HIV Mandiri dilakukan oleh individu dengan menggunakan
cairan oral atau tetesan darah dari jari tangan untuk mengetahui status infeksi HIV secara pribadi,
dalam keadaan nyaman, sendirian atau ditemani orang yang dipercaya. Hasilnya akan diperoleh
dalam 20 menit atau kurang. Namun demikian, bagi yang hasil tesnya positif, sangat disarankan
untuk melakukan tes konfirmasi pada klinik kesehatan untuk mendapatkan diagnosis yang
definitif.
WHO juga mencatat ada 23 negara telah menerapkan kebijakan Tes HIV Mandiri ini
dan sejumlah negara lainnya masih dalam tahap pengembangan. Indonesia sendiri tampaknya
masih melakukan sejumlah kajian mendalam mengenai hal ini. Cukup beralasan mengingat
sebuah kebijakan perlu mempertimbangkan berbagai faktor, mulai dari efektivitas hingga
Di sisi lain, sejumlah fakta mengemuka dengan adanya alat tes HIV yang dijual secara
“bebas” melalui internet atau farmasi swasta. Dengan mesin pencari di internet, akan mudah kita
temui sejumlah toko online menawarkan alat tes HIV ini. Sangat mungkin penjualan informal
dan tidak teregulasi semacam ini dapat melibatkan penggunaan produk yang tidak diketahui
AIDS yang belum terdeteksi. Rekomendasi dari WHO untuk meningkatkan cakupan tes HIV
perlu menjadi pertimbangan penting dalam mengurai fenomena gunung es tersebut. Pemerintah
PEMBAHASAN KASUS
Kasus : Seorang manajer kasus mendampingi klien HIV / Aids sejak 5 tahun yang lalu, dia
mengalami kelelahan dan putus asa karena banyak dari klien tidak patuh berobat,
beberapa dari odha pergi menghilangkan jejak, sebagian sudah meninggal dunia, Saat
ini manajer kasus tersebut kondisinya sakit, dia khawatir tertular penyakit dari klien
dampingannya
Diskusi :
2. Bagaimana menjadi manajeman yang baik pada klien HIV / Aids ini ?
4. Apa prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam manajemen kasus HIV / Aids ?
Jawaban kasus
1. Manajemen kasus merupakan salah satu metode intervensi yang dilakukan oleh pekerja
psikososial.
dilakukan oleh perawat bekerjasama dengan bidang lain diantaranya dokter, psikolog, LSM,
pejabat pemerintah, keluarga dan masyarakat untuk membantu dan mendukung orang
diperlukan, rujukan yang sesuai serta perencanaan yang lebih mendukung kualitas hidup
ODHA.
bekerjasama dengan bidang lain diantaranya dokter, psikolog, LSM, pejabat pemerintah,
keluarga dan masyarakat untuk membantu dan mendukung orang dengan HIV/AIDS dalam
memenuhi kebutuhan biopsikososial dan pelayanan yang diperlukan, rujukan yang sesuai
Bersifat profesional :
odha untuk : Mentaati saran petugas kesehatan secara benar, Mengurangi penyebaran
b. Pengumpulan informasi
2 Asesmen
b. Upaya pendidikan mengenai penularan HIV dan cara – cara memperkecil risiko
Asesmen kemampuan klien mengikuti perawatan, yaitu : Upaya mengidentifikasi
3. Perencanaan Pelayanan
a. Pelayanan yang dibutuhkan klien, Tujuan dan hasil yang ingin dicapai
kebutuhan klien
d. Mengkoordikasikan dengan manajer kasus lain dengan siapa klien akan bekerja
yang ditentukan
Jadi pada dasarnya yang harus diperhatikan dalam manajemen kasus HIV / aids
pengobatan
MANAJEMEN KASUS
PENGOBATAN
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
1. Antoni, B. (2009). Anti Stigma dan Diskriminasi. Yayasan Lembaga Sabda (YLSA)
2. Azza, A. (2010). Beban Perempuan Penderita HIV/AIDS dalam prespektif Gender. Jurnal
Ners, Volume5 no.2, Oktober 2010.
3. Dayaningsih, Diana (2009). Studi Fenomenologi pelaksanaan HIV Voluntary Conseling
And Testing (VCT) di Rsup DR. Kariyadi. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Semarang
4. Susilo, C. (2006). Efek Penyuluhan Terhadap Perubahan Stigma Masyarakat Tentang
HIV/AIDS di Wilayah Puskesmas Situbondo. Journal Insight : Psikologi, Vol1. ISSN : 1858-
4063