Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peritonitis adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa yang sering
bersamaan dengan kondisi bakteremia dan sindroma sepsis. (Harrison Textbook
8th Edition, 2015).
Sebagaimana dalam penelitian Tarigan pada tahun 2014, peritonitis
didefenisikan suatu proses inflamasi membran serosa yang membatasi
ronggaabdomen dan organ-organ yang terdapat didalamnya. Peritonitis dapat
bersifat lokal maupun generalisata, bakterial ataupun kimiawi. Peradangan
peritoneum dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, bahan kimia iritan, dan
benda asing. Kemudian disebutkan juga bahwa peritonitis merupakan salah satu
penyebab kematian tersering pada penderita bedah dengan mortalitas sebesar
10-40%. Peritonitis difus sekunder yang merupakan 90% penderita peritonitis
dalam praktek bedah dan biasanya disebabkan oleh suatu perforasi
gastrointestinal ataupun kebocoran. (Tarigan, M.H, 2014)
Angka kejadian penyakit peritonitis di Amerika pada tahun 2011 diperkirakan
750 ribu pertahun dan akan meningkat bila pasien jatuh dalam keadaan syok .
Dalam setiap jamnya didapatkan 25 pasien mengalami syok dan satu dari tiga
pasien syok berakhir dengan kematian. Angka insiden ini meningkat 91,3% dalam
sepuluh tahun terakhir dan merupakan penyebab terbanyak kematian di ICU
diluar penyebab penyakit peritonitis. Angka insidensi syok masih tetap meningkat
selama beberapa dekade, rata-rata angka mortalitas yang disebabkannya juga
cenderung konstan atau hanya sedikit mengalami penurunan.
Kejadian peritonitis tersebut dapat memberikan dampak yang sangat
kompleks bagi tubuh.Adanya penyakit peritonitis menjadikan kasus ini menjadi
prognosis yang buruk. Hasil survey pada tahun 2008 Angka kejadian peritonitis di
sebagian besar wilayah Indonesia hingga saat ini masih tinggi. Di Indonesia,
jumlah pasien yang menderita penyakit peritonitis berjumlah sekitar 7% dari
jumlah penduduk di Indonesia atau sekitar 179.000 orang (Depkes, RI 2008)
Angka kejadian peritonitis sampai saat ini belum diketahui secara pasti,
namun yang pasti diketahui adalah diantara seluruh jenis peritonitis, peritonitis
sekunder merupakan peritonitis yang paling sering ditemukan dalam praktik klinik.
Hampir 80% kasus peritonitis disebabkan oleh nekrosis dari traktus
gastrointestinal. Terdapat perbedaan etiologi peritonitis sekunder pada negara
berkembang (berpendapatan rendah) dengan negara maju. Pada negara
berpendapatan rendah, etiologi peritonitis sekunder yang paling umum, antara lain
appendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum, dan perforasi tifoid. Sedangkan,
di negara-negara barat appendisitis perforasi tetap merupakan penyebab utama
peritonitis sekunder, diikuti dengan perforasi kolon akibat divertikulitis. Tingkat
insidensi peritonitis pascaoperatif bervariasi antara 1%-20% pada pasien yang
menjalani laparatomi (An-Huang, 2015).
Masalah kesehatan sistem pencernaan yang bersifat akut seperti peritonitis
akan memberikan respon maladaptif terhadap konsep diri pasien sehingga tingkat
stress emosional dan mekanisme koping yang digunakan berbeda-beda. Dampak
psikologis pada pasien peritonitis adanya perubahan fungsi struktur tubuh, adanya
dialisis akan menyebabkan penderita mengalami gangguan pada gambaran diri,
kecemasan, ketidakpastian, ketakutan, kegagalan pengobatan, biaya yang harus
dikeluarkan dan depresi merupakan kondisi umum ditemukan pada pasien
dengan penyakit kronis. Kondisi tersebut diakibatkan oleh ketidakpastian pasien
menerima diagnosa mengenai penyakitnya. Dampak fisik dan spiritual pasien
akan merasa terganggu dengan kelemahan fisik dalam beraktivitas karena klien
mengalami kelemahan dan nyeri. Dan di dalam kehidupan sosial dan masyarakat
pasien akan menarik diri dan mengurangi interaksi sosial. (Muttaqin, 20116).
Banyaknya kejadian peritonitis di masyarakat perlu mendapatkan perhatian
serius karena mengingat banyak permasalahan yang terjadi pada klien dengan
pritonitis. Maka upaya perawat sebagai tenaga kesehatan yaitu dengan cara
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan untuk mengatasi berbagai komplikasi
yang akan timbul. Upaya perawat sebagai promotif mampu memberikan
penyuluhan dan menyampaikan akibat yang akan timbul jika peritonitis tidak
tertangani dengan baik, seperti kelebihan volume cairan dengan memonitor intake
dan output, status nutrisi, tanda-tanda vital dan pitting edema. Upaya perawat
sebagai preventif yaitu mampu melakukan pencegahan dini dari dampak
peritonitis, dengan menganjurkan kepada keluarga agar menerapkan atau
melakukan pola hidup yang sehat. Upaya perawat sebagai kuratif bertujuan untuk
memberikan pengobatan dengan menerapkan asuhan keperawatan yang baik.
Dan upaya perawat yang terakhir yaitu rehabilitatif merupakan upaya pemulihan
kesehatan pada pasien yang mengalami peritonitis dirumah sakit.
Berdasarkan kondisi diatas dan data-data diatas juga menunjukkan angka
kejadian penderita Peritonitis di DIRUANG ICU RSUD ULIN BANJARMASIN,
maka kelompok tertarik untuk mengangkat kasus Asuhan Keperawatan Pada
Klien Dengan PERITONITIS DI RUSD ULIN BANJARMASIN sebagai kajian
dalam laporan hasil evaluasi praktek klinik.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengaplikasikan ilmu yang sudah didapat secara nyata dalam memberikan
Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan peritonitis secara komprehensif DI
Ruangan ICU RSUD ULIN BANJARMASIN.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu melaksanakan pengkajian asuhan keperawatan pada klien
dengan DI Ruangan ICU RSUD ULIN BANJARMASIN..
b. Mampu menegakkan diagnosa keperawatan pada klien dengan peritonitis
DI Ruangan ICU RSUD ULIN BANJARMASIN..
c. Mampu membuat rencana asuhan keperawatan pada klien dengan
peritonitis DI Ruangan ICU RSUD ULIN BANJARMASIN..
d. Mampu melakukan tindakan untuk mengatasi masalah atau diagnosa
keperawatan pada klien dengan peritonitis DI Ruangan ICU RSUD ULIN
BANJARMASIN..
e. Mampu melakukan evaluasi terhadap asuhan keperawatan yang
dilaksanakan rencana keperawatan pada klien dengan peritonitis DI
Ruangan ICU RSUD ULIN BANJARMASIN..
f. Mampu melakukan dokumentasi keperawatan terhadap asuhan
keperawatan yang sudah dievaluasi pada klien dengan peritonitis DI
Ruangan ICU RSUD ULIN BANJARMASIN..
C. Manfaat
1. Bagi penulis
Untuk menambah wawasan dan pemahaman penulis dalam menerapkan
asuhan keperawatan pada klien, khususnya pada klien dengan peritonitis.
2. Bagi Pasien
Dengan adanya studi kasus tentang asuhan keperawatan pada klien dengan
peritonitis ini, diharapkan pasien mendapatkan asuhan keperawatan yang baik
dari tenaga perawat.
3. Bagi Rumah Sakit
Hasil studi kasus ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan yang
bermanfaat bagi para perawat yang berada DI Ruangan ICU RSUD ULIN
BANJARMASIN., agar dapat menerapkan dan memberikan asuhan
keperawatan pada klien dengan peritonitis.
4. Bagi Institusi
Hasil studi kasus ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan atau referensi
akademi untuk pengembangan pembelajaran studi kasus selanjutnya.
5. Bagi Pembaca
Dengan adanya hasil studi kasus ini diharapkan dapat memberikan
pengertian, pengetahuan dan pengambilan keputusan yang tepat kepada
pembaca khususnya dalam menyikapi jika ada pasien dengan penyakit
peritonitis.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Konsep Peritonitis
1. Anatomi fisiologi
2. Pengertian
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum suatu membrane yang
melapisi rongga abdomen. Peritonitis biasanya terjadi akibat masunya bakteri
dari saluran cerna atau organ-organ abdomen ke dalam ruang perotonium
melalui perforasi usus atau rupturnya suatu organ. (Corwin, 2015).
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum yang biasanya di akibatkan
oleh infeksi bakteri, organisme yang berasal dari penyakit saluran pencernaan
atau pada organ-organ reproduktif internal wanita (Baugman dan Hackley,
2015).
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput
organ perut (peritonieum). Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih yang
membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis
bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan patogenesis
disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu kegawat
daruratan yang biasanya disertai dengan bakterecemia atau sepsis. Akut
peritonitis sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi viskus
(secondary peritonitis). Apabila tidak ditemukan sumber infeksi pada
intraabdominal, peritonitis diketagori sebagai primary peritonitis. (Fauci et al,
2016).
B. ETIOLOGI
Infeksi bakteri
a. Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
b. Appendisitis yang meradang dan perforasi
c. Tukak peptik (lambung / dudenum)
d. Tukak thypoid
e. Tukan disentri amuba / colitis
f. Tukak pada tumor
g. Salpingitis
h. Divertikulitis
Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta
hemolitik, stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah
clostridium wechii.
C. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Corwin (2016), gambaran klinis pada penderita peritonitis adalah sebagai
berikut :
1. Nyeri terutama diatas daerah yang meradang.
2. Peningkatan kecepatan denyut jantung akibat hipovolemia karena
perpindahan cairan kedalam peritoneum.
3. Mual dan muntah.
4. Abdomen yang kaku.
5. Ileus paralitik (paralisis saluran cerna akibat respon neurogenik
atau otot terhadap trauma atau peradangan) muncul pada awal
peritonitis.
6. Tanda-tanda umum peradangan misalnya demam, peningkatan
sel darah putih dan takikardia.
7. Rasa sakit pada daerah abdomen
8. Dehidrasi
9. Lemas
10. Nyeri tekan pada daerah abdomen
11. Bising usus berkurang atau menghilang
12. Nafas dangkal
13. Tekanan darah menurun
14. Nadi kecil dan cepat
15. Berkeringat dingin
16. Pekak hati menghilang
D. KLASIFIKASI
Berdasarkan pathogenesis peritonitis dapat di klasifikasikan sebagai berikut:
a. Peritonitis bacterial primer
Akibat kontaminasi bacterial secara hematogen pada cavum peritoneum dan
tidak ditemukan focus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat
monomikrobial, biasanya E.coli, Streotokokus atau Pneumococus, peritonitis
ini dibagi menjadi dua yaitu:
Spesifik : Seperti Tuberculosa.
Non-spesifik : Pneumonia non tuberculosis dan tonsillitis. Factor yang
beresiko pada peritonitis ini adalah malnutrisi, keganasan intra abdomen,
imunosupresi dan splenektomi. Kelompok resiko tinggi adalah dengan
sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis
hepatis dengan asites.
b. Peritonitis bacterial akut sekunder(supurative)
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akaut atau perforasi traktus
gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umunya organism tunggal tidak
akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multiple organism
dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakteri anaerob, khususnya spesies
bacteroides dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan
infeksi. Luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat
peritonitis. Kuman dapat berasal:
Luka trauma atau penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam
cavum peritoneal.
Perforasi organ-organ dalam perut. Seperti di akibatkan oleh bahan kimia.
Perforasi usus sehingga feces keluar dari usus. Komplikasi dari proses
inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya appendicitis.
c. Peritonitis Tersier
Peritonitis ini terjadi akibat timbulnya abses atau flagmon dengan atau tanpa
fistula. Yang disebabkan oleh jamur, peritonitis yang sumber kumannya tidak
dapat ditemukan. Seperti disebabkan oleh iritan langsung, seperti misalnya
empedu, getah lambung, getah pancreas, dan urine(Andra & Yessie, 2015)
E. PATOFISIOLOGI
Disebabkan oleh kebocoran dari organ abdomen kedalam rongga abdomen
biasanya sebagai akibat dari inflamasi, infeksi, iskemia, trauma atau perforasi
tumor. Terjadi proliferasi bacterial, yang meninbulkan edema jaringan, dan dalam
waktu yang singkat terjadi eksudari cairan. Cairan dalam peritoneal menjadi keruh
dengan peningkatan protein, sel darah putih, debris seluler dan darah. Respon
segera dari saluran usus adalah hipermotilitas, diikuti oleh ileus pralitik, disertai
akumudasi udara dan cairan dalam usus.
Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolitik intra abdomen
(meningkatan aktivitas inhibilator activator plasminogen) dan sekuestrasi fibrin
dengan adanya pembentukan jajaring pengikat. Produksi eksudat fibrin
merupakan mekanisme terpenting dari sistem pertahanan tubuh, dengan cara ini
akan terikat bakteri dalam jumlah yang sangat diantara matrika fibrin.
Pembentukan abses pada peritonitis pada prinsipnya merupakan mekanisme
tubuh yang melibatkan subtansu pembentukan abses dan kuman-kuman itu
sendiri untuk menciptakan kondisi abdomen yang stril. Pada keadaan jumlah
kuman yang sangat banyak, tubuh sudah tidak mampu mengeliminasi kuman dan
berusaha mengendalikan penyebaran kuman dengan membentuk kompartemn
yang dikenal sebagai abses.
Masuknya bakteri dalam jumlah besar ini bisa berasal dari berbagai sumber.
Yang paling sering ialah kontaminasi bakteri transien akibat penyakit visceral atau
intervensi bedah yang merusak keadaan abdomen. Selain jumlah bakteri transein
yang terlalu banyak didalam rongga abdomen, perin=tonitis juga terjadi karena
virulensi kuman yang tinggi hingga menggangu proses fagositosis dan
pembunuhan bakteri dengan neutrophil keadaan makin buruk jika infeksinya
disertai dengan pertumbuhan bakteri lain atai jamur.
F. KOMPLIKASI
Menurut (Haryono, 2015) komplikasi potensial Peritonitis yang memerlukan
pendekatan kolaboratif dalam perawatan, mencakup :
1. Septikemia dan syok septic.
2. Syok hipovelmia.
3. Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan
multi system. Peritonitis bisa menyebabkan beberapa komplikasi, seperti
infeksi jadi menyebar ke aliran darah dan seluruh tubuh (sepsis). Kondisi ini
bisa menyebabkan tekanan darah menurun drastis (syok sepsis) sehingga
beberapa organ tubuh gagal berfungsi. Komplikasi lain yang dapat muncul
akibat peritonitis adalah terbentuknya abses atau kumpulan nanah pada
rongga perut. Perlengketan usus juga dapat terjadi, sehingga menyebabkan
usus tersumbat.
4. Abses residual intraperitoneal
5. Eviserasi luka.
6. Obstruksi usus
7. Oliguri
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Complete Blood Count (CBC), umumnya pasien dengan infeksi intra
abdomen menunjukan adanya luokositosis (>11.000 sel/ µL) dengan adanya
shift to the left. Namun pada pasien dengan immunocompromised dan
pasien dengan beberapa tipe infeksi (seperti fungal dan CMV) keadaan
leukositosis dapat tidak ditemukan atau malah leukopenia
a) PT, PTT dan INR
b) Test fungsi hati jika diindikasikan
c) Amilase dan lipase jika adanya dugaan pankreatitis
d) Urinalisis untuk mengetahui adanya penyakit pada saluran kemih
(seperti pyelonephritis, renal stone disease)
e) Kultur darah, untuk menentukan jenis kuman dan antobiotik
f) BGA, untuk melihat adanya asidosis metabolic
Diagnostic Peritoneal Lavage.Pemeriksaan cairan peritonium
Pada SBP dapat ditemukan WBC > 250 – 500 sel/µL dengan dominan PMN
merupakan indikasi dari pemberian antibiotik. Kadar glukosa < 50 mg/dL,
LDH cairan peritoneum > serum LDH, pH < 7,0, amilase meningkat,
didapatkan multipel organisme.
2. Radiologis
Foto polos abdomen (tegak/supine, setengah duduk dan lateral dekubitus)
adalah pemeriksaan radiologis utama yang paling sering dilakukan pada
penderita dengan kecurigaan peritonitis. Ditemukannya gambaran udara
bebas sering ditemukan pada perforasi gaster dan duodenum, tetapi jarang
ditemukan pada perforasi kolon dan juga appendiks. Posisi setengah duduk
berguna untuk mengidentifikasi udara bebas di bawag diafragma (seringkali
pada sebelah kanan) yang merupakan indikasi adanya perforasi organ.
3. USG
USG abdomen dapat membantu dalam evaluasi pada kuadran kanan atas
(abses perihepatik, kolesistitis, dll), kuadran kanan bawah dan kelainan di
daerah pelvis. Tetapi kadang pemeriksaan akan terganggu karena penderita
merasa tidak nyaman, adanya distensi abdomen dan gangguan distribusi gas
abdomen.
USG juga dapat mendeteksi peningkatan jumalah cairan peritoneum (asites),
tetapi kemampuan mendeteksi jumlah cairan < 100 ml sangat terbatas. Area
sentral dari rongga abdomen tidak dapat divisualisasikan dengan baik dengan
USG tranabdominal. Pemeriksaan melalui daerah flank atau punggung bisa
meningkatkan ketajaman diagnostik. USG dapat dijadikan penuntun untuk
dilakukannya aspirasi dan penempatan drain yang termasuk sebagai salah
satu diagnosis dan terapi pada peritonitis.
4. CT Scan
Jika diagnosa peritonitis dapat ditegakkan secara klinis, maka CT Scam tidak
lagi diperlukan. CT Scan abdomen dan pelvis lebih sering digunakan pada
kasus intraabdominal abses atau penyakita pada organ dalam lainnya. Jika
memungkinkan, CT Scan dilakukan dengan menggunakan kontra ntravena.
CT Scan dapat mendeteksi cairan dalam jumlah yang sangat minimal, area
inflamasi dan kelainan patologi GIT lainnya dengan akurasi mendekati 100%.
Abses peritoneal dan pengumpulan cairan bisa dilakukan aspirasi dan drain
dengan panduan CT Scan.
H. PENATALAKSANAAN MEDIS
Menurut Netina (2016), penatalaksanaan pada peritonitis adalah sebagai berikut:
1. Penggantian cairan, koloid dan elektrolit merupakan focus utama dari
penatalaksanaan medik.
2. Analgesik untuk nyeri, antiemetik untuk mual dan muntah.
3. Intubasi dan penghisap usus untuk menghilangkan distensi abdomen.
4. Terapi oksigen dengan nasal kanul atau masker untuk memperbaiki
fungsi ventilasi.
5. Kadang dilakukan intubasi jalan napas dan bantuan ventilator juga
diperlukan.
6. Therapi antibiotik masif (sepsis merupakan penyebab kematian
utama).
7. Tindakan pembedahan diarahkan pada eksisi ( appendks ), reseksi ,
memperbaiki (perforasi ), dan drainase ( abses ).
8. Pada sepsis yang luas perlu dibuat diversi fekal.
9. Laparatomi merupakan tahapan setelah proses pembedahan pada
area abdomen (laparatomi) dilakukan. Dalam Perry dan Potter (2005)
dipaparkan bahwa tindakan post operatif dilakukan dalam 2 tahap
yaitu periode pemulihan segera dan pemulihan berkelanjutan setelah
fase post operatif. Proses pemulihan tersebut membutuhkan
perawatan post laparatomi. Perawatan post laparatomi adalah bentuk
pelayanan perawatan yang di berikan kepadaklien yang telah
menjalani operasi pembedahan abdomen.
I. PENGKAJIAN ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian merupakan awal dalam proses keperawatan, meliputi
identitas klien (nama, alamat, no. MR, umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, data penanggung jawab dan lain lain (Muttaqin, 2016).
1. Keluhan Utama
Keluhan utama merupakan hal-hal yang dirasakan oleh klien sebelum
masuk ke rumah sakit. Pada klien dengan peritonitis biasanya didapatkan
keluhan utama yang bervariasi, mulai dari nyeri di bagian perut dan di sertai
dengan keluar keringat dingin (Muttaqin, 2016).
2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Dahulu (RKD)
Biasanya klien berkemungkinan memiliki riwayat pembedahan pada
perut , memeiliki riwayat penyakit gastro intestinal seperti apendiksitis,
memilki riwayat tertusuk di bagian perut.
b. Riwayat Kesehatan Sekarang (RKS)
Biasanya klien mengalami nyeri abdomen, mual dan muntah, abdomn
terasa kaku, biasanya di sertai dengan demam, terasa lemah, nyeri
tekan pada abdomen dan berkeringat dingin.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga (RKK)
Biasanya klien tidak mempunyai anggota keluarga yang pernah
menderita penyakit yang sama.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Sistem pernafasan (B1)
Pola nafas irregular (RR> 20x/menit), dispnea, retraksi otot bantu
pernafasan serta menggunakan otot bantu pernafasan.
b. Sistem kardiovaskuler (B2)
Klien mengalami takikardi karena mediator inflamasi dan hipovelemia
vaskular karena anoreksia dan vomit. Didapatkan irama jantung
irregular akibat pasien syok (neurogenik, hipovolemik atau septik),
akral : dingin, basah, dan pucat.
c. Sistem Persarafan (B3)
Klien dengan peritonitis tidak mengalami gangguan pada otak namun
hanya mengalami penurunan kesadaran.
d. Sistem Perkemihan (B4)
Terjadi penurunan produksi urin.
e. Sistem Pencernaan (B5)
Klien akan mengalami anoreksia dan nausea. Vomit dapat muncul
akibat proses patologis organ visceral (seperti obstruksi) atau secara
sekunder akibat iritasi peritoneal. Selain itu terjadi distensi abdomen,
bising usus menurun, dan gerakan peristaltic usus turun (<12x/menit).
f. Sistem Muskuloskeletal dan Integumen (B6)
Penderita peritonitis mengalami letih, sulit berjalan, nyeri perut dengan
aktivitas. Kemampuan pergerakan sendi terbatas, kekuatan otot
mengalami kelelahan, dan turgor kulit menurun akibat kekurangan
volume cairan.
4. Pengkajian Psikososial
Interaksi sosial menurun terkait dengan keikutsertaan pada aktivitas sosial
yang sering dilakukan.
5. Personal Hygiene
Kelemahan selama aktivitas perawatan diri.
6. Pemeriksaan Penunjang.
a. Test laboratorium
b. Leukositosis
c. Hematokrit meningkat
d. Asidosis metabolik
e. X-Ray
Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan :
Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis, usus halus
dan usus besar dilatasi, udara bebas (air fluid level) dalam rongga
abdomen terlihat pada kasus perforasi.
J. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
No Diagnosa NOC NIC
1 Ketidakefektifan Respiratory status: Airway Management
pola nafas b.d Ventilation - Monitor vital sign
Hiperventilasi Respiratory status: - Buka jalan nafas
Airway patency guanakan teknik chin
Vital sign status lift atau jaw trust bila
Kriteria hasil: perlu
- Mendemonstrasikan - Atur Posisi pasien
batuk efektif dan suara untuk
nafas yang bersih, tidak memaksimalkan
ada syanosis atau ventilasi
dypsneu - Identifikasi pasien
- Menunjukan jalan nafas perlunya alat bantu
yang paten nafas
- Tanda-tanda vital dalam - Keluarkan secret
rentang normal dengan batuk atau
suction
- Monitor status
respirasi dan O2
- Monitor frekuensi dan
irama pernafasan
- Monitor sianosis
perifer
2 Perfusi jaringan Circulation Status Intra Cranial Pressure (ICP)
Tissue Prefusion : Monitoring (Monitor
serebral tidak
Cerebral Tekanan Intra Kranial)
efektif b.d
Kriteria Hasil : - Tentukan faktor penyebab
gangguan transport Mendemonstrasikan status koma/ penurunan perfusi
sirkulasi yang ditandai dengan : jaringan otak & risiko
O2
- Pasien menunjukkan peningkatan TIK
peningkatan kesadaran, - Catat respon pasien
perbaikan fungsi sensorik dan terhadap stimuli.
motorik - Monitor tekanan
- Tidak ada tanda-tanda intrakranial pasien dan
peningkatan tekanan respon neurologi terhadap
intrakranial (tidak lebih dari 15 aktivitas.
mmHg). - Monitor tingkat kesadaran
- TTV dalam batas normal tiap 1 jam
- Observasi TTV tiap 1 jam
- Restrain pasien jika perlu.
- Kolaborasi pemberian
antibiotik.
- Posisikan pasien pada
posisi semifowler.
- Amati tanda gejala klinis
infeksi (demam, urin
keruh)
Peripheral Sensation
Management (Manajemen
Sensasi Perifer)
- Monitor adanya
daerah tertentu yang
hanya peka terhadap
panas/dingin/
tajam/tumpul.
- Monitor adanya
paretese.
- Instruksikan keluarga
untuk mengobservasi
kulit jika ada lesi atau
laserasi.
- Gunakan sarung
tangan untuk proteksi.
- Batasi gerakan pada
kepala, leher dan
punggung.
- Monitor kemampuan
BAB.
- Kolaborasi pemberian
analgetik.
- Monitor adanya
tromboplebitis.
3 Hipertermi b.d Thermoregulation Fever Treatment
Kriteria Hasil: - Monitor vital sign
Proses penyakit
- Suhu tubuh dalam - Monitor IWL
rentang normal - Monitor perubahan
- TTV dalam rentang warna kulit
normal - Monitor penurrunan
- Tidak ada perubahan tingkat kesadaran
warna kulit dan tidak - Monitor intake dan
ada pusing, merasa outpiut
nyaman - Kompres paien pada
aksila dan lipatan
paha
- Kolaborasikan
pemberian antipiretik
4 Hambatan Mobilitas Joint Movement : Active Exercise Therapy :
Mobility Level Ambulation
Fisik b.d Gangguan
Self Care : ADLs - Monitoring vital sign
Kognitif
Transfer Performance sebelum/sesudah
Kriteria Hasil : latihan dan lihat
- Klien meningkat dalam respon pasien saat
aktivitas fisik. latihan.
- Mengerti tujuan dari - Konsultasikan dengan
peningkatan mobilitas. terapi fisik tentang
- Memverbalisasikan perasaan rencana ambulasi
dalam meningkatkan sesuai dengan
kekuatan dan kemampuan kebutuhan.
berpindah. - Bantu klien untuk
Memperagakan penggunaan menggunakan
alat bantu untuk mobilisasi tongkat saat berjalan
(walker). dan cegah terhadap
cedera.
- Ajarkan pasien atau
tenaga kesehatan lain
tentang teknik
ambulasi.
- Kaji kemampuan
pasien dalam
mobilisasi.
- Latih pasien dalam
pemenuhan
kebutuhan ADLs
secara mandiri sesuai
kemampuan.
- Dampingi dan bantu
pasien saat mobilisasi
dan bantu penuhi
kebutuhan ADLs
pasien.
- Berikan alat bantu jika
klien memerlukan.
- Ajarkan pasien
bagaimana merubah
posisi dan berikan
bantuan jika
diperlukan.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS
Nama : Ny.I
Usia : 44 Tahun
Alamat : Martapura
No. Register : 1xxxxxx
Kriteria Klien : Total Care
Tanggal MRS : 16 Februari 2019
Tanggal Pengkajian : 18 Februari 2019
I. PENGKAJIAN
1. Riwayat Penyakit
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluarga mengatakan 1,5 bulan yang lalu sebelum masuk rumah sakit pasien
mengeluh sering nyeri kepala sehingga dibawa ke RS Ratu Jaleha. Di RS ratu
Jaleha pasien dirawat sekitar 1 minggu, kemudian diperbolehkan pulang. 2 minggu
setelah itu pasien mengeluh tidak bisa BAB dan perut pasien membesar. Karena
hal itu keluarga akhirnya memutuskan untuk membawa pasien ke RS Idaman
Banjarbaru dan dirawat diruang ICU. 2 hari setelah di rawat di ICU pasien akhirnya
BAB. 4 hari kemudian perut pasien kembali membesar dan dirujuk ke RSUD Ulin
Banjarmasin. Saat dilakukan pengkajian pada tanggal 18-Februari-2019 pasien
nampak sesak, pasien nampak terpasang ventilator sebagai alat bantu nafas, GCS
pasien 2 E:1 V:x M:1, tingkat kesadaran pasien coma, status sedasi pasien R4,kulit
pasien nampak kemerahan, akral dan kulit teraba hangat, CRT>2dtk, nampak
terpasang kantung colostomy pada bagian abdomen sebelah kiri, pasien nampak
terpasang cvp, pasien hanya bedrest ditempat tidur, segala aktivitas pasien
nampak dibantu perawat, skala aktivitas pasien ekstrimitas atas 1/1, Ekstrimitas
bawah 1/1. TTV : TD: 98/68 mmHg, N:132x/mnt, T: 39,6 C, RR: 28x/mnt.
d. Diagnosa Medis
Peritonitis + Post Op Laparatomi + Sepsis.
2. Secondary Survey
a. B1 (Breath)
Inspeksi : pergerakan dinding dada nampak simetris, pasien nampak menggunakan
ETT, OPA, dan ventilator sebagai alat bantu nafas, pasien nampak
sesak.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan tidak teraba adanya benjolan pada dada pasien
Perkusi : suara lapang paru saat diperkusi sonor dan suara jantung redup
Auskultasi : suara nafas terdengar vesikuler dan sura jantung S1 S2 tunggal.
b. B2 (Blood)
Tidak terdapat deviasi trakea ataupun distensi vena jugularis, gambaran EKG
pasien sinus rhytm. Irama Jantung Reguler. CRT >2dtk, terpasang CVP pada leher
sebelah kanan, tidak terdapat Edema pada tubuh pasien. Akral teraba hangat.
Bunyi jantung S1 S2 tunggal. Nadi :132 x/mnt, TD : 98/68 mmHg.
c. B3 (Brain)
Tingkat kesadaran pasien coma GCS E=1 V=x M=1. Ramsay skor pasien R4. Pupil
isokor mengecil jika kena cahaya.
d. B4 (Bowel)
Mukosa bibir kering, lidah dan mulut tampak kotor, keadaan gigi lengkap, peristaltic
usus 7x/mnt, kotoran pasien berwarna hitam cair, pasien terpasang kantung
colostomy, terpasang NGT diet entramik, perut pasien tidak asites.
e. B5 (Bladder)
Pasien terpasang kateter hari ke 2, jumlah urin 100cc, warna urin kuning, tidak
terdapat distensi pada abdomen.
f. B6 (Bone)
Warna kulit pasien kuning langsat, Turgor kulit pasien baik kembali <2dtk. Akral
teraba hangat, skala otot ekstremitas atas1/1 ekstremitas bawah 1/1, terpasang
infus di ekstrimitas atas sebelah kiri dan syringe pump di bagian ekstrimitas bawah
kanan dan kiri. Tidak terdapat adanya luka decubitus.
3. Pemeriksaan Penunjang
17-02-2019 (09.55.53)
RUJUKAN
HEMATOLOGI
HITUNG JENIS
ELEKTROLIT
KIMIA
GAS DARAH
%F1O2 70 %
17-02-2019 (23:01:23)
DIABETES
Sewaktu
GINJAL
ELEKTROLIT
IMUNO-SEROLOGI
REMATIK
HEMATOLOGI
HITUNG JENIS
HEMOSTASIS
KIMIA
GAS DARAH
%FIO2 70 %
HASIL PEMERIKSAAN RADIOLOGI (17-02-2019)
Hepar :
Ukuran membesar, ekhoparenkim homogen , kapsul intak, tak tampak nodul/cyst/absess. Tak
tampak cairan bebas Morrison pouch dan splenorenal.
GB Kolaps
Spleen/ Pankreas: normal
Ren D/S.
Ukuran tidak membesar, ekhoparenkim homogen pcs dan ureter tidak dilatasi. Tak tampak
stone/cyst/mass. Tak tampak cairan bebas Morrison pouch dan splenorenal.
Vesika Urinaria:
Kosong, balon kateter (+), uterus ukuran dan parenkim normal. Adnexa normal. Cairan bebas
minimal.
Kesimpulan:
- Cairan bebas minimal retrouterina dan perihepatic
- GB KOLAPS
- USG Hepar, spleen , pancreas, ren tak tampak kelainan
BNO 3 posisi
Dilatasi bowel, dinding menebal, double wall sign
Free air (+)
Air fluid level (+)
Kesan:
Ileus obstruktif dengan suspek perforasi
4. Terapi Farmakologi
No Nama Cara Dosis Waktu Efek Indikasi Kontra
obat pember pemberia sampping indikasi
ian n
1 ceftriaxo Intra 2 x 1 09.00 – Bengkak, untuk Hipersensitif
ne vena gr 21.00 nyeri, dan
membantu terhadap
kemerahan
Wita di tempat mengobati cephalospori
suntikan
penyakit n dan
Reaksi alergi
Mual atau yang penicillin
muntah disebabkan (sebagai
Sakit perut
Sakit kepala oleh bakteri. reaksi alergi
atau pusing silang
Lidah sakit
atau
bengkak
Berkeringat
Vagina gatal
atau
mengeluarka
n cairan
pada diare,
parasit tricho
monas.
Banjarmasin, 2019
(…………………………………….)
II. ANALISA DATA
No Data (Symptom) Penyebab (Etiologi) Masalah (Problem)
1 DS : - Gangguan Pertukaran
DO : Gas
- RR : 28x/mnt
- Pasien terpasang
bantu nafas
DO : Jaraingan Serebral
- GCS pasien 2 E: 1 V:
x M: 1
- Tingkat kesadaran
pasien coma
R4
- CRT>2dtk
- T: 39,6 C
- N: 132x/mnt
- RR : 28x/mnt
DO :
hangat
- T: 39,6 C
- N: 132x/mnt
- RR : 28x/mnt
- Pasien post op
Colostomy
- Nampak terpasang
kantung colostomy
pada bagian
- Pasien nampak
DO:
ditempat tidur
- Pasien nampak
terpasan NGT
- Segala aktivitas
- Skala Aktivitas
Keperawatan
44
atas dan bawah sinistra dextra
- Berkolaborasi dengan dokter untuk
pemberian antibiotik.:
Cefriaxone 2x1 gr
Metronidazole 3x500 mg
- Memposisikan pasien pada posisi
semifowler.:
Posisi pasien semi fowler, kepala sedikit
lebih tinggi
- Memonitor kemampuan BAB :
Pasien BAB cair kehitaman, terlihat pada
kantung colostomy
3 Senin, 18 Hipertermi b.d Proses penyakit
Februari 2019
- Monitor vital sign
10.15
TD : 94/66 mmHg
RR : 26x/mnt
N : 128x/mnt
T : 39,50C
- Memonitor IWL
IWL= 10xBB+10%/24 (BBx40) ∆T
10x60+10%/24 (60x40) 2,5
600+600/24
50
- Memonitor perubahan warna kulit:
Warna kulit sawo matang, tidak ada
sianosis
- Mengompres pasien pada aksila dan
lipatan paha
Pasien di kompres pada lipatan aksila
dan lipatan paha
- berkolaborasikan pemberian antipiretik
:
paracetamol
45
4 Senin, 18 Kerusakan integritas jaringan b.d Faktor
Februari 2019
Mekanik
09.45
- Memakaikan pasien pakaian yang
longgar
Pasien menggunakan pakaian longgar
dari rumah sakit
- Memantau pergerakan dan aktifitas
pasien :
Pasien Coma tidak ada pergerakan di
ekstremitas atas dan bawah maupun
pada anggota gerak lainnya
- Mempertahankan teknik pensterilan
perban ketika merawat luka :
Balut/ perban luka pasien selalu
diganti setiap hari pada pagi hari
- Memelihara kenyamanan tempat tidur
Posisi semi fowler, sprai dan pakaian
selalu diganti setiap hari
5 Senin, 18 Hambatan Mobilitas Fisik b.d Gangguan
Februari 2019
Kognitif
10.00
- Monitoring vital sign
TD : 94/66 mmHg
RR : 26x/mnt
N : 128x/mnt
T : 39,50C
- mengkaji kemampuan pasien dalam
mobilisasi.
Pasien tidak mampu melakukan
mobilisasi, tingkat kesadaran : Coma
6 Senin, 18 Defisit perawatan diri b.d Kelemahan
Februari 2019
- Memonitor kebutuhan klien untuk alat-
09.00
alat bantu untuk kebersihan diri,
berpakaian, berhias, toileting dan
makan
Tingkat kesadaran : Coma, GCS E1
V0 M1, aktivitas pasien dibantu
sepenuhnya.
Kebersihan diri : pada pagi hari diseka,
pakaian diganti, spray diganti
Toiletting : pasien menggunakan
popok dan terpasang kateter
Makan : pasien terpasang NGT.
VI. EVALUASI
P : Intervensi Dilanjutkan
- Observasi ttv
- Pertahankan posisi pasien
47
- Monitor status respirasi dan O2
4 Kerusakan Senin 18 S: -
integritas februari O : - Tampak bekas luka operasi di
jaringan b.d 2019 perut pasien
Faktor 9.45 wita - Tampak colostomy di perut
Mekanik
sebelah kiri bagian bawah
- Pasien coma tidak ada
pergerakan sama sekali
Ttv : TD : 94/66 mmHg
RR : 26x/mnt
N : 128x/mnt
T : 39,50C
49
luka
- Observasi TTV
6 Defisit Senin 18 S:
perawatan februari P: - pasien coma tidak bisa melakukan
diri b.d 2019 perawatan diri secara mandiri
Kelemahan 9.00 wita - Pasien di seka 1 kali sehari oleh
perawat
- Terdapat bau yang kurang
sedap di tubuh pasien di
karnakan ada colostomy
A : Masalah belum Teratasi
P : Intervensi di lanjutkan
- seka pasien setiap hari
- Ajarkan keluarga cara menyeka
pasien
- Observasi ttv
VII. CATATAN OBSERVASI
No. Diagnosa Tanggal/Jam Catatan Observasi (SOAPIE)
Keperawatan
1 Ketidakefektifa Selasa 19 februari S:-
n pola nafas 2019 O : - Pasien tampak bisa istirahat karena tidak
b.d 10.15 wita sesak lagi
Hiperventilasi - Pasien tampak terpasang ventilator
- TTV : TD : 94/66 mmHg
RR : 26x/mnt
N : 128x/mnt
T : 39,50C
- SPO2 99 %
A : - Masalah teratasi Sebagian
P : Intervensi di lanjutkan
- Pertahankan posisi pasien
- Monitor SPO2
- Monitor TTV
I : - Memposiskan pasien Semi fowler
- SPO2 9%
- TTV : TD : 100/70 mmHg
RR : 23x/mnt
N : 120x/mnt
T : 38,50C
51
transport O2 T : 38,50C
P :Intervensi di lanjutkan
53
E : - luka pasien tampak membaik tidak ada tanda-
tanda infeksi
P: Intervensi dilanjutkan
55
efektif b.d sekali
gangguan - Pasie tampak di lakukan tindakan darurat
transport O2 CVR
- Pasien tampak di berikan injeksi adrenalin
5 ampul, dan tampak tidak ada respon
A : Masalah belum teratasi
- Pasien tidak ada respon
- Keadaan pasien melemah
P : Intervensi di hentikan di karnakan pasien
meninggal
57
BAB IV
PEMBAHASAN
Penulis melakukan asuhan keperawatan pada Ny.I dengan diagnosa
medis Peritonitis + Post Op Laparatomi + Sepsis , usia 44 tahun pada
tanggal 18 Februari 2019 di ruang Intensif Care Unit RSUD Ulin
Banjarmasin.
1. Pengkajian
Pengkajian yang dilakukan tanggal 18 Februari 2019 pada Ny. I
didapatkan bahwa pasien mengalami peritonitis + Post Op
59
Laparatomi + Sepsis. Menurut Zahari (2016) bahwa distribusi kasus
berdasarkan jenis kelamin didapatkan jumlah kasus peritonitis pada
laki-laki (53,6%) lebih tinggi daripada perempuan (46,4%). Pasien
berusia 44 tahun menurut teori Saha (2007) yang menunjukan bahwa
usia penderita peritonitis bervariasi dari 6-86 tahun. Berdasarkan
kelompok usia dapat dilihat bahwa peritonitis sering terjadi pada
kelompok usia 10-19 tahun yaitu 24 orang (24.5%). Menurut Zaharai
(2016) Peritonitis menjadi salah satu penyebab tersering akut
abdomen yang merupakan suatu kegawatan abdomen. Peritonitis
biasanya disertai dengan bakterisemia atau sepsis yang dapat
menimbulkan kematian dan pada Ny.I sudah ditemukan tanda-tanda
sepsis diantara nya TD: 98/68 mmHg, T: 39,6 C, N: 132x/mnt,
RR:28x/mnt. Dan hasil dari leukosit 19,3 ribu dari rentang normal 4,0
– 10,5 ribu. Tingkat kesadaran pasien juga coma dengan GCS E:1
V:x M:1 tanda gejala ini sesuai dengan teori dari suparto (2016).
Keluarga juga mengatakan pasien pernah riwayat appendicitis satu
tahun yang lalu menurut teori Zahari (2016) Peritonitis sekunder
umumnya akibat perforasi apendiks merupakan jenis peritonitis yang
terbanyak (53,1%) .
Hasil pemeriksaan penunjang tanggal 17/02/2019 09.55.53
pemeriksaan leukosit didapattkan hasil 19,3* ribu dengan rentang
nilai normal 4,0 – 10,5. Pemeriksaan penunjag 17/02/2019 23:01:23
pemeriksaan leukosit didapatkan hasil 18,6* dengan rentang nilai
normal 4,0 – 10,5.
2. Diagnosa Keperawatan
Dari hasil pengkajian yang telah kami lakukan maka kami
menganalisa data tersebut hingga dapat menegakkan tiga prioritas
diagnosa keperawatan yang mengacu pada NANDA (2017) yaitu:
a. Ketidakefektifan pola nafas behubungan dengan Hiperventilasi.
Diagnosa keperawatan ini didukung oleh data objektif yang
ditemukan pada pasien bahwa pasien nampak sesak, pasien
nampak terpasang ETT dan OPA , Pasien juga menggunakan
ventilator sebagai alat bantu nafas dan RR 28x/mnt,
Untuk mengatasi ketidak efektifan pola nafas nyeri ini
dokter memberikan advis berupa pemasangan ETT, OPA dan
Ventilator. Hal ini sesuai dnegan teori bahwa pembebasan jalan
nafas dengan oropharyngeal tube adalah cara yang ideal untuk
mengembalikan sebuah kepatenan jalan nafas yang menjadi
terhambat oleh lidah pasien yang tidak sadar atau untuk
membantu ventilasi. Pemasangan pipa endotrakeal menjamin
terpeliharanya jalan napas dan sebaiknya dilakukan sesegera
mungkin oleh penolong yang terlatih dengan terpeliharanya jalan
napas dapat memberikan oksigen dengan konsentrasi tinggi,
menjamin tercapainya volume tidal yang, diinginkan, Mencegah
teriadinya aspirasi, Mempermudah penghisapan lendir di trakea
Merupakan jalur masuk beberapa obat-obat resusitasi (Sally
,2015). Menurut Teori Setiyohadi (2016) Ventilator merupakan
suatu sistem alat bantuan hidup yang dirancang untuk
menggantikan atau menunjang fungsi pernapasan yang
normal.Tujuan utama pemberian dukungan ventilator mekanik
adalah untuk mengembalikan fungsi normal pertukaran udara dan
memperbaiki fungsi pernafasan kembali keadaan normal. Dokter
juga memberikan advis untuk pemberian Lasix 2x1 gram pada
jam 09.00 dan 17.00.
b. Penurunan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
gangguan transport O2 diagnosa keperawatan ini didukung oleh
objektif yang ditemukan pada pasien bahwa pasien mengalami
penurunan kesadaran, status kesadaran pasien coma dengan
GCS : 2 E:1 V:x M: 1, status sedasi pasien R4, dan CRT>2dtk.
Agar meningkatan transport O2 maka pasien diberi alat
bantuan nafas yaitu ETT, OPA dan Ventilator. Untuk mengurangi
infeksi akibat sepsis yang berakibat pada kegagalan organ
61
dokter memberikan advis untuk dilakukan terapi obat berupa
Ceftriaxone, Diberikan melalui IV, dengan dosis 1gram, diberikan
dua kali sehari yaitu pada pukul 09.00,17.00 Wita dan juga
dengan terapi Metronidazol yang diberikan melalui IVFD
Diberikan tiga kali sehari 250 mg pada pukul 09.00, 17.00 dan
01.00 wita. Maka menurut teori yang dikemukakan oleh Nicholas
R : 2015 bahwa penanganan infeksi dapat yaitu diberikan obat
antibiotic Ceftriaxone dan Metronidazol.
3. Intervensi
63
Dari diagnosa yang telah kami dapatkan maka kami membuat beberapa
perencanan yang mengacu pada NIC (2017) yaitu:
a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi pada
diagnose ini kami membuat perencanaan pain management,
perencanaan tersebut diantaranya:
1) Memonitor vital sign
2) Mengatur posisi pasien untuk memaksimalkan ventilasi
3) Mengidentifikasi pasien perlunya alat bantu nafas
4) Memonitor status respirasi dan O2
5) Memonitor frekeunsi dan irama pernafasan
b. Perfusi jaringan serebral tidak efektif berhubungan dengan
Gangguan Transport O2. Pada diagnose ini kami membuat
perencanaan intracranial pressure
c. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit Pada diagnose ini
kami membuat perencanaan fever treatment
1) Memonitor vital sign
2) Memonitor IWL
3) Memonitor perubahan warna kulit
4) Memonitor penurunan tingkat kesadaran
5) Melakukan kompres pada aksila dan lipatan paha pasien.
6) Berkolaborasi pemberian antipiretik
d. Kerusakan Integritas Jaringan berhubungan dengan factor mekanik
(prosedur invasif). .
Pada diagnosa ini kami membuat perencanaan dengan Tissue
Integrity:skin and mucous dan Wound Healing: primary and
secondary intention, perencanaan tersebut diantara nya:
1) Mengobservasi karakteristik luka termasuk drainase , warna
ukuran, dan temperature untuk mengetahui kualitas dan tingkat
luka.
2) Bersihkan luka dengan normal saline karena normal saline
adalah cairan pencuci luka yang tepat, yang merupakan cairan
pencuci yang fisiologis, karena sesuai fisiologisnya dengan cairan
tubuh kita.
3) Gunakan teknik steril ketka melakukan perawatan luka,
penggunaan teknik steril dalam perawatan luka agar
meminimalisir resiko terjadinya infeksi dan juga penyembuhan
luka bergantung pada keadaan luka yang bersih.
4) Membandingkan , mencatat perubahan luka dan membersihkan,
memantau dan meningkatkan. Dikarenakan pengkajian luka dan
kulit disekitarnya secara teratur dan akurat merupakan hal yang
penting untuk memanajemen luka.
5) Berkolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian diet tktp untuk
mempercepat penyembuhan luka.
e. Hambatan mobilitas Fisik berhubungan dengan gangguan kognitif
Pada diagnosaini kami membuat perencanaan dengan sleep
enhancement, perencanaan tersebut adalah:
1) Mengkaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
2) Mendapingi psien saat mobilisasi
3) Membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan ADLs
4) Memfasilitasinuntuk mempertahankan aktivitas sebelum tidur
5) Berkolaborasi melakukan ROM Pasif
f. Defisit Perawatan diri berhubungan dengan kelemahan
Pada diagnosa ini kami membuat perencanaan dengan self care
Assistance: ADLs, perencanaan tersebut diantara nya:
1) Monitor kemampuan pasien untuk melakukan perawatan diri
2) Monitor kebutuhan pasien untuk alat-alat bantu untuk kebersihan
diri, berpakaian, berhias toileting dan makan
3) Sediakan bantuan sampai pasien mampu secara utuh melakukan
self care
4. Evaluasi
Setelah dilakukan penatalaksanaan dari beberapa intervensi atau
perencanaan maka hasil yang didapatkan di pasien adalah :
65
a. Ketidakefektifan pola nafas behubungan dengan hiperventilasi evaluasi
pasien berdasarkan data objektif adalh tidak nampak sesak lagi dan RR:
26x/mnt pada hari rabu 20 Februari 2019 jam 08.00 wita pasien
meninggal dunia.
b. Penurunan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan gangguan
transport O2 evaluasi dari pasien didapatkan hasil data objektif adalah
pasien masih mengalami penurunan kesadaran, status kesadaran
pasien coma dengan GCS : 2 E:1 V:x M: 1, status sedasi pasien R4, dan
CRT>2dtk. pada hari rabu 20 Februari 2019 jam 08.00 wita pasien
meninggal dunia.
c. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit. Evaluasi dari diagnose
ini didapatkan dari data objektif yang ditemukan pada pasien yaitu kulit
pasien nampak kemerahan, akral dan kulit pasien teraba hangat T:40,2
C. Pada hari rabu 20 Februari 2019 jam 08.00 wita pasien meninggal
dunia.
d. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan faktor mekanik
(prosedur invasive) evaluasi dari diagnose ini didapatkan dari data
objektif pasien post op colostomy, nampak terpasang kantung colostomy
pada bagian abdomen sebelah kiri dan pasien nampak terpasang CVP.
Luka post op laparatomi dan colostomy mulai menyatu dengan jaringan
sekitarnya.
e. Hambatan mobilitas fisik b.d gangguan kognitif evaluasi dari diagnose ini
didapatkan dari data objektif segala aktivitas pasien nampak dibantu oleh
perawat, status kesadaran pasien coma, GCS: E: 1 V:x M: 1, pasien
masih pengaruh sedasi status sedasi pasien R4. Pada hari rabu 20
Februari 2019 jam 08.00 wita pasien meninggal dunia.
f. Defisit Perawatan diri berhubungan dengan Kelemahan evaluasi dari
diagnose ini didapatkan dari data objektif ditemukan pada pasien yaitu
pasien hanya bedrest ditempat tidur, pasien nampak terpasang NGT,
segala aktivitas pasien seperti minum,makan, dan perawatan diri selalu
dibantu oleh perawat Pada hari rabu 20 Februari 2019 jam 08.00 wita
pasien meninggal dunia.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
67
Peritonitis adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa yang sering
bersamaan dengan kondisi bakteremia dan sindroma sepsis. (Harrison
Textbook 8th Edition, 2015)
Dalam kasus yang kami dapatkan dengan pasien Ny.I kami
menemukan enam diagnosa keperawatan yaitu, Ketidakefektifan pola nafas
behubungan dengan hiperventilasi, Penurunan perfusi jaringan serebral
berhubungan dengan gangguan transport O2, Hipertermi berhubungan
dengan proses penyakit, Kerusakan integritas jaringan berhubungan
dengan faktor mekanik (Proses insive), Hambatan mobilitas fisik b.d
gangguan kognitif, dan Defisit Perawatan diri berhubungan dengan
Kelemahan.
Untuk terapi pengobatan yang didapatkan yaitu, Infus yang
digunakan berupa NS dan RL 20 tpm. Untuk obat yang digunakan berupa
Ceftriaxone, Metronidazol, Lasix, Ranitidin. Selama 5 hari dirawat di ICU
RSUD Ulin Banjarmasin terhitung dari tanggal 16 Februari 2019 – 20
Februari 2019 pasien masih belum sembuh dan meninggal dunia karena
komplikasi dari peritonitis yaitu sepsis.
B. Saran
1. Bagi Pendidikan
Disarankan agar mampu memberikan informasi serta penanganan secara
dini apabila terdapat komplikasi pada saat melakukan asuhan keperawatan
peritonitis.
2. Bagi RSUD Ulin Banjarmasin
Disarankan jika ada pasien dengan Peritonitis dapat lebih memberikan
asuhan keperawatan yang komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, EJ. 2015. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC
Herdman,T.H. & Kamitsuru,S. (Eds). (2014). NANDA international Nursing
Diagnoses: Definition and Classification,2015-1017. Oxford:
Willey Blackwell.
69