Vous êtes sur la page 1sur 31

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah. SWT yang telah


melimpahkan rahmat dan hidayahnya serta memberikan perlindungandan
kesehatan sehingga penulis dapat menyusun makalah dengan judul ”
MANAJEMEN KONFLIK KLINIK”. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa
selama penyusunan makalah ini penulis banyak menemui kesulitan dikarenakan
keterbatasan referensi dan keterbatasan penulis sendiri. Dengan adanya kendala
dan keterbatasan yang dimiliki penulis maka penulis berusaha semaksimal mungkin
untuk menyusun makalah dengan sebaik-baiknya.
Sebagai manusia penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari semua pihak demi perbaikan yang lebih baik dimasa yang
akan datang. Akhirnya semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan
bagi pembaca pada umumnya, Amin.

Februari 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ..............................................................................


KATA PENGANTAR ...............................................................................
DAFTAR ISI .............................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................... 2
1.3 Tujuan ........................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Konflik Klinik .......................................... 4
2.2 Penyebab Konflik Klinik ........................................... 7
2.3 Proses Konflik Klinik................................................. 12
2.4 Strategi dan Ketrampilan Manajemen Konflik Klinik 13
2.5 Penyelesaian Konflik Klinik ...................................... 15
2.6 Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan .... 18
2.7 Hasil Konflik Klinik................................................... 21

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan ................................................................ 26
3.2 Saran........................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 27

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kolaborasi merupakan istilah umum yang sering digunakan untuk

menggambarkan suatu hubungan kerja sama yang dilakukan pihak tertentu. Sekian

banyak pengertian dikemukakan dengan sudut pandang beragam namun didasari

prinsip yang sama yaitu mengenai kebersamaan, kerja sama, berbagi tugas,

kesetaraan, tanggung jawab dan tanggung gugat. Namun demikian kolaborasi sulit

didefinisikan untuk menggambarkan apa yang sebenarnya yang menjadi esensi dari

kegiatan ini. Seperti yang dikemukakan National Joint Practice Commision (1977)

yang dikutip Siegler dan Whitney (2000) bahwa tidak ada definisi yang mampu

menjelaskan sekian ragam variasi dan kompleknya kolaborasi dalam kontek

perawatan kesehatan.

Berdasarkan kamus Heritage Amerika (2000), kolaborasi adalah bekerja

bersama khususnya dalam usaha penggambungkan pemikiran. Hal ini sesuai

dengan apa yang dikemukanan oleh Gray (1989) menggambarkan bahwa

kolaborasi sebagai suatu proses berfikir dimana pihak yang terklibat memandang

aspek-aspek perbedaan dari suatu masalah serta menemukan solusi dari perbedaan

tersebut dan keterbatasan padangan mereka terhadap apa yang dapat dilakukan.

Seiring dengan perkembangan zaman, berbagai perusahaan mulai dari

perusahaan multinasional yang paling besar sampai perusahaan domestik yang

1
paling kecil, mengakui bahwa manajemen sumber daya manusia sangat

menentukan dalam mencapai keberhasilan perusahaan. Mempunyai tenaga kerja

yang berkualitas, berkomitmen dan mempunyai loyalitas yang tinggi merupakan

amunisi penting bagi sebuah organisasi (Mardian, 2014).

Mempertahankan atau bahkan mengembangkan sumber daya manusia bukan

hal mudah. Banyak persoalan yang melingkupi pengelolaan sumber daya manusia

dalam sebuah organisasi. Salah satu permasalahan kepegawaian yang hampir

ditemui oleh semua organisasi adalah turnover (Prihanjana, 2011).

Setiap manusia memiliki sejumlah dorongan, tujuan dan kebutahan yang unik

dan selalu menuntut untuk dipuaskan. Bumi ini terdiri dari orang- orang seperti ini

yang bergerak dari segala penjuru, melalui massa dan ruang didalam perjalan

mereka jika perjalan ini dibayangkan sebagai sebuah kapsul yang memuat satu

orang yang melintasi kapsul – kapsul lain, maka setiap akan bersifat otonomi, dan

manusia tidak dapat diperhitungkan secara sosilogis; dan teori system umum akan

berlaku.

Di satu segi, manusia adalah kapsul- kapsul tetapi kebutuhan- kebutuhanya

dipenuhi dengan menjadi tergantung (dependen) dan saling tergantung

(interdependep) dengan kapsul lain. Bila semua orang dan kapsul- kapsul mereka

menginkan hal- hal yang komplemen, yaitu, apa yang dinginkan oleh seseorang

adalah apa yang ingin diberikan oleh orang lain, dan apa yang ingin dipertahankan

oleh seseorang adalah apa yang tidak dinginkan oleh orang lain, apa system- system

dapat hadir dengan itegrasi total. Tetapi, harmoni seperti ini tidak hadir didalam

realita konflik Klinik hadir didalam ketidakadaan integrasi total yang harmonis.

2
Karenanya , konflik Klinik selalu ada meskipun ditekan.manusia memmang tidak

berfikir menyakini, dan meinginkan hal yang sama. Konflik Klinik adalah sebuah

kemutlakan; pemimpin harus belajar untuk secara efektif menfasilitasi

penyelesauian konflik Klinik diantara orang –orang agar tujuan dapat tercapai,

inilah yang merupakan isi dari bab ini. Bab mulai dengan pengertian konflik Klinik,

diikuti oleh bahasan tentang tipe dan penyebab konflik Klinik. Isi area ini menyusun

tahap proses konflik Klinik serta strategi dan manajemen konflik Klinik.

Penyelesaian serta hasil produktif dan destruktif dari konflik Klinik menjadi topic

akhir.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada makalah ini adalah Apa yang dimaksud dengan konflik

Klinik, tipe-tipe konflik Klinik, penyebab konflik Klinik, proses konflik Klinik,

strategi dan manajemen konflik Klinik, cara penyelesaian konflik Klinik dan hasil

dari konflik Klinik ?

1.3 Tujuan

1.3.1 Mengetahui yang dimaksud dengan konflik Klinik

1.3.2 Mengetahui tipe-tipe konflik Klinik

1.3.3 Mengetahui penyebab konflik Klinik

1.3.4 Mengetahui proses konflik Klinik

1.3.5 Mengetahui strategi dan manajemen konflik Klinik

3
1.3.6 Mengetahui cara penyelesaian konflik Klinik

1.3.7 Mengetahui hasil dari konflik Klinik

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Klinik

Klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan dan

menyediakan pelayanan medis dasar dan atau spesialistik, diselenggarakan oleh

lebih dari satu jenis tenaga kesehatan dan dipimpin oleh seorang tenaga medis

(Permenkes RI No.9, 2014) .

Klinik berdasarkan Jenisnya yaitu :

1) Klinik Pratama

Klinik pratama merupakan klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik

dasar yang dilayani oleh dokter umum dan dipimpin oleh seorang dokter

umum. Berdasarkan perijinannya klinik ini dapat dimiliki oleh badan usaha

ataupun perorangan.

2) Klinik Utama

Klinik utama merupakan klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik

spesialistik atau pelayanan medik dasar dan spesialistik. Spesialistik berarti

mengkhususkan pelayanan pada satu bidang tertentu berdasarkan disiplin

ilmu, golongan umur, organ atau jenis penyakit tertentu. Klinik ini dipimpin

seorang dokter spesialis ataupun dokter gigi spesialis. Berdasarkan

perijinannya klinik ini hanya dapat dimiliki oleh badan usaha berupa CV,

ataupun PT.

5
2.2 Pengertian Konflik Klinik

Konflik Klinik adalah sebuah keadaan yang timbul oleh karena perbedaan

tujuan atau emosional. Terjadinya konflik Klinik dalam suatu organisasi,

merupakan hal yang mustahil untuk dihindarkan. Hal ini disebabkan oleh karena

individu-individu yang terlibat dalam organisasi memiliki berbagai macam

karakter, tujuan, visi, maupun gaya yang berbeda-beda. Konflik Klinik yang

berkepanjangan dapat mempengaruhi komponen yang terlibat di dalamnya, bahkan

kehancuran tidak dapat dihindarkan.

Sebaliknya, konflik Klinik juga bisa konstruktif (functional conflict) yang

merangsang terbentuknya sikap positif, misalnya memberikan tantangan kepada

karyawan untuk mendapatkan reward bila berprestasi baik, membuat persaingan

antar karyawan untuk berlomba-lomba mendapatkan penghargaan, dan sebagainya.

Agar konflik Klinik tetap menguntungkan, maka seorang pemimpin yang baik

harus dapat memilih pendekatan yang tepat untuk menyelesaikan suatu konflik

Klinik yang terjadi di dalam organisasinya. Sebelumnya seorang manajer atau

pemimpin harus mengetahui sebab-sebab konflik Klinik terlebih dahulu.

Identifikasi konflik Klinik dan pemilihan solusi yang tepat menentukan

kelangsungan suatu oganisasi. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu manajemen

konflik Klinik, yaitu sebuah cara yang digunakan oleh manajer atau pemimpin

dalam sebuah organisasi, untuk mengatasi konflik Klinik yang merugikan, atau

menimbulkan konflik Klinik yang menguntungkan.

Konflik Klinik adalah perselisihan atau perjuangan yang timbul ketika

keseimbangan dari perasaan, hasrat, pikiran, dan perilaku seseorang terancam.

6
Perjuangan ini dapat terjadi di dalam individu atau di dalam kelompok. Pemimpin

dapat menggerakkan konflik Klinik ke hasil yang destruktif atau konstruktif.

Deutsch (1969) dalam lamonica (1986), mendefinisikan konflik Klinik sebagai

suatu perselisihan atau perjuangan yang timbul akibat terjadinya ancaman

keseimbangan antara perasaan, pikiran, hasrat dan perilaku seseorang. Douglass &

bevis (1979) mengartikan konflik Klinik sebagai suatu bentuk perjuangan diantara

kekuatan interdependen. Perjuangan tersebut dapat terjadi baik di dalam individu

(interpersonal conflict) ataupun di dalam kelompok (intragroup conflict).

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa konflik Klinik terjadi akibat

adanya pertentangan pada situasi keseimbangan yang terjadi pada diri individu

taupun pada tatanan yang lebih luas, seperti antar-individu, antar-kelompok, atau

bahkan antar-masyarakat. Konflik Klinik dianggap sebagai suatu bentuk

perjuangan maka dalam penyelesaian konflik Klinik seharusnya diperlukan usaha-

usaha yang bersifat konstruktif untuk menghasilkan pertumbuhan positif individu

atau kelompok, mpeningkatan kesadaran, pemahaman diri dan orang lain, dan

perasaan positif kearah hasil interaksi atau hubungan dengan orang lain.

2.3 Tipe konflik Klinik

Konflik Klinik timbul didalam diantara dan antara orang- orang adanya

perbedaan adanya pada kenyataan definisi, pandangan, otoritas, tujuan, nilai, dan

kendali konflik Klinik dalam organisasi secra strukturan dapat dikategorikan

7
sebagai konflik Klinik vertika atau horizontal. Konflik Klinik vertical meliputi

perbedaan antara pemimpin dan anak buah. Hal inin sering diakibatkan oleh

komunikasi dan kurang penyebaran persepsi dan perilaku yang tepat untuk peran

diri sendiri atau orang lain. Konflik Klinik horizontal adalh garis konflik Klinik

antara staff dan ada hubungan dengan praktik keahlian otoritas, dan sebagainya.

Sering berupa perselisihan antar departemen:

1. Konflik Klinik di dalam pengirim

Pengirim sama pesan saling berlawaan. Contoh pemimpin yang sama menutut

pelayanan yang tinggi, menolak memecat anggota staff tidak kompeten dan

menolak pengontrak staff tambahan

2. Antar pengirim

Pesan – pesan yang berlawan dari dua atau lebih pengirim. Contoh pimpinan

tertinggi dari keperawatan menekankan kebutuhan untuk memakai

keperawatan menekankan kebutuhan untuk memakai keperawatan primer

sebagai model pelayanan keperawatan; anak buah yakin bahwa mereka dapat

mencapai layanan keperawatan yang individual dan bermutu dengan

menggunakan metode keperawatan tim

3. Antar pesan

Orang yang sama ternasuk didalam kelompok- kelompok yang berkonflik

Klinik. Contoh Direktur keperawatan adalah seorang anggota kelompok

konsumen masyarakat yang sedang berusaha untuk mengkonsilidasi

8
pelatyanan obsteri dan pediatric didaerahnya, dengan menempatkan semau ahli

pediatric terbagi diantara dua rumah sakit lainya. Perawat yang sama juga

merupakan pegawai di salah satu rumah sakit yang ingin tetap

mempertahankan kedua pelayanan tersebut dirumah sakitnya.

4. Peran pribadi

Orang yang sama nilai- nilainya berlawanan (ketidak sesuaian kognitif).

Contoh perawat percaya bahwa pasien di klinik harus menerima perhatian

individual dari seseorang perawat yang mengikuti perkembangannya pada

setiap kunjungan. Syarat – syarat dari kedudukannya dan system pelayanan

yang ada membuat tujuan ini jarang bisa tercapai, jika tidak boleh dibilang

bahwa tidak mungkin tercapai.

5. Antar pribadi

Dua atau lebih orang bertindak sebagai pendukung kelompok- kelompok yang

berbeda. Contoh direktur keperawatan bersaing dengan direktur lain untuk

sebuah posisi baru.

6. Didalam kelompok

Nilai- nilai baru dari luar dimasukkan pada kelompok yang ada. Contoh

pendidikan yang berkelajutan diwajibkan oleh pemerintah untuk setiap

perpanjangan ijin kn keperawatan. Lembaga pelayanan kesehatan desa tidak

mempunyai dana untuk pengirim perawat untuk mengikuti program

pendidikan berkelanjutan, dan staff perawat, yang dibayar murah tetapi puas,

tidak dapat membianyayi sendiri pendidikan lanjutan mereka.

7. Antar kelompok

9
Dua atau lebih kelompok dengan tujuan yang berlawanan. Contoh departemen

keperawatan menuntut bahwa para perawata diruang operasi dan pemulihan

secara organisional berada dibawah keperwatan. Departemen bedah, yang

terdiri dari dari para dokter, menyakini bahwa mereka harus mengendalikan

perawat- perawat di area ini.

8. Peran mendua

Seseorang tidak menyadari harapan olrang lain terhadap sebuah peran

tertentunya. Contoh seorang pengawas perawat yang baru tidak mempunyai

gambaran tentang posisinya dan tidak mempunyai pengalaman sebelumnnya

sebagai pengawas.

9. Beban peran yang terlalu

Seseorang tidak dapat memenuhi harapan orang lain untuk perannya. Contoh

seorang sarjana muda baru diharapkan oleh direktur keperawatan untuk

bertanggung jawab terhadap 40 tempat tidur di unit penyakit kronis dan akut

pada dinas malam.

2.4 Penyebab Konflik Klinik

Banyak faktor yang bertanggungjawab terhadap terjadinya konflik Klinik

terutama dalam suatu organisasi. Faktor-faktor tersebut dapat berupa perilaku yang

menentang, stres, kondisi ruangan, kewenangan dokter-perawat, keyakinan,

eksklusifisme, kekaburan tugas, kekurangan sumber daya, proses perubahan,

imbalan, dan masalah komunikasi.

10
1. Perilaku menentang, sebagai bentuk dari ancaman terhadap suatu dialog

rasional, dapat menimbulkan gangguan protocol penerimaan untuk interaksi

dengan orang lain. Perilaku ini dapat berupa verbal dan non verbal. Terdapat

tiga macam perilaku menentang, yaitu :

a. Competitive bomber, yang dicirikan dengan perilaku mudah menolak,

menggerutu dan menggumam, mudah untuk tidak masuk kerja, dan

merusak secara agresif yang di sengaja.

b. Martyred accommodation, yang ditunjukkan dengan penggunaan

kepatuhan semu atau palsu dan kemampuan bekerja sama dengan orang

lain, namun sambil melakukan ejekan dan hinaan.

c. Avoider, yang ditunjukkan dengan penghindaran kesepakatan yang telah

dibuat dan menolak untuk berpartisipasi.

2. Stres, juga dapat mengkobatkan terjadinya konflik Klinik dalam suatu

organisasi. Stres yang timbul ini dapat disebabkan oleh banyaknya stressor

yang muncul dalam lingkungan kerja seseorang. Contoh stressor antara lain

terlalu banyak atau terlalu sedikit beban yang menjadi tanggung jawab

seseorang jika dibandingkan dengan orang lain yang ada dalam organisasi,

misalnya di bangsal keperawatan.

3. Kondisi ruangan yang terlalu sempit atau tidak kondusif untuk melakukan

kegiatan-kegiatan rutin dapat memicu terjadinya konflik Klinik. Hal yang

memperburuk keadaan dalam ruangan dapat berupa hubungan yang monoton

atau konstan diantara individu yang terlibat didalamnya, terlalu banyaknya

pengunjung pasien dalam suatu ruangan atau bangsal, dan bahkan dapat

11
berupa aktivitas profesi selain keperawatan, seperti dokter juga mampu

memperparah kondisi ruangan yang mengakibatkan terjadinya konflik

Klinik.

4. Kewenangan dokter-perawat yang berlebihan dan tidak saling mengindahkan

usulan-usulan diantara mereka, juga dapat mengakibatkan munculnya konflik

Klinik. Dokter yang tidak mau menerima umpan balik dari perawat, atau

perawat yang merasa tidak acuh dengan saran-saan dari dokter untuk

kesembuhan klien yang dirawatnya, dapat memperkeruh suasana. Kondisi ini

akan semakin “runyam” jika diantara pihak yang terlibat dalam pengelolaan

klien merasa direndahkan harga dirinya akibat sesuatu hal. Misalnya kata-

kata ketus dokter terhadap perawat atau nada tinggi dari perawat sebagai

bentuk ketidak puasan tehadap penanganan yang dilakukan profesi lain.

5. Perbedaaan nilai atau keyakinan antara satu orang dengan orang lain. Perawat

begitu percaya dengan persepsinya tentang pendapat kliennya sehingga

menjadi tidak yakin dengan pendapat yang diusulkan oleh profesi atau tim

kesehatan lain. Keadaan ini akan semakin menjadi kompleks jika perbedaan

keyakinan, nilai dan persepsi telah melibatkan pihak diluar tim kesehatan

yaitu keluarga pasien. Jika ini telah terjadi, konflik Klinik yang muncul pun

semakin tidak sederhana karena telah mengikutsertakan banyak variable di

dalamnya.

6. Eksklusifisme, adanya pemikiran bahwa kelompok tertentu memiliki

kemampuan yang lebih dibandingkan dengan kelompok lain. Hal ini tidak

jarang mengakibatkan terjadinya konflik Klinik antar-kelompok dalam suatu

12
tatanan organisasi. Hal ini bisa terjadi manakala sebuah kelompok didalam

tatanan organisasi (seperti bangsal keperawatan) diberikan tanggung jawab

oleh manager untuk suatu tugas tertentu atau area pelayanan tertentu, lantas

memisahkan diri dari sistem atau kelompok lain yang ada dibangsal tersebut

karena merasa bahwa kelompoknya lebih mampu dibandingakan dengan

kelompo lain.

7. Peran ganda yang disandang seseorang (perawat) dalam bangsal keperawatan

seringkali mengakibatkan konflik Klinik seorang perawatan yang berperan

lebih dari satu peran pada waktu yang hamper bersamaan, masih merupakan

fenomena yang jamak ditemukan dalam tatanan pelayanan kesehatan baik di

rumah sakit maupun di komunitas. Contoh peran ganda, antara lain satu sisi

perawat sebagai pemberi pelayanan keperawatan kepada klien, namun pada

saat yang bersamaan yang harus juga berperan sebagai pembimbing

mahasiswa atau bahkan sebagai manager dibangsal yang bersangkutan.

Dalam kondisi ini sering terjadi kebingunan untuk menentukan mana yang

harus dikerjaka terlebih dahulu oleh perawat tersebut dan kegiatan mana yang

dapat dilakukan kemudian. Akibatnya, sering terjadi kegagalan melakukan

tanggung jawab dan tanggung gugat untuk suatu tugas pada individu atay

kelompok.

8. Kekurangan sumber daya insani, dalam tatanan organisasi dapat dianggap

sumber absolute terjadinya konflik Klinik. Sedikinya sumber daya insani atau

manusia, sering memicu terjadinya persaingan yang tidak sehat dalam suatu

tatanan organisasi. Contoh konflik Klinik yang dapat terjadi, yaitu persaingan

13
untuk memperoleh uang melalui pemikiran bahwa segala sesuatu pasti di

hubungkan dengan uang, persaingan memperebutkan menangani klien, dan

tidak jarang juga terjadi persaingan dalam memperebutkan jabatan atau

kedudukan.

9. Perubahan dianggap sebagai proses ilmiah. Tetapi kadang perubahan justru

akan mengakibatkan munculnya berbagai macam konflik Klinik. Perubahan

yang dilakukan terlalu tergesa-gesa atau cepat, atau perubahan yang

dilakukan terlalu lambat, dapat memunculkan konflik Klinik. Individu yang

tidak siap dengan perubahan, memandang perubahan sebagai suatu ancaman.

Begitu juga individu yang selalu menginginkan perubaan akan menjadi tidak

nyaman bila tidak terjadi perubahan, atau perubahan dilakukan terlalu dalam

tatanan organisasinya.

10. Imbalan, beberapa ahli berpendapat bahwa imbalan kadang tidak cukup

berpengaruh dengan motovasi seseorang. Namun, jika imbalan dikaitkan

dengan pembagian yang tidak merata anatar satu orang dan orang lain sering

menyebabkan munculnya konflik Klinik. Terlebih lagi bila individu yang

bersangkutan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan untuk

menentukan besar-kecilnya imbalan atau sering disebut dengan sistem

imbalan. Pemberian imbalan yang tidak didasarkan atas pertimbangan

professional sering menimbulkan masalah yang pada gilirannya dapat

memunculkan suatu konflik Klinik.

11. Komunikasi dapat memunculkan suatu konflik Klinik jika penyampaian

informasi yang tidak seimbang, hanya orang-orang tertentu yang diajak biacar

14
oleh manager, penggunaan bahasa yang tidak efektif, dan juga penggunaan

media yang tidak tepat sering kali berujung dengan terjadinya konflik Klinik

ditatanan organisasi yang bersangkutan.

2.5 Proses Konflik Klinik

La Monica (1986) mengutip pendapatnya Filley (1980) membagi proses konflik

Klinik dalam enam tahapan, yaitu kondisi yang mendahului, konflik Klinik yang

dipersepsi, konflik Klinik yang dirasakan, perilaku yang dinyatakan, penyelesaian

atau penekanan konflik Klinik, dan penyelesaian akibat konflik Klinik. Kondisi

yang mendahului merupakan penyebab terjadinya konflik Klinik seperti yang sudah

didiskusikan sebelumnya. Setelah terjadi suatu konflik Klinik, konflik Klinik yang

ada dipersepsi atau berusaha diketahui. Kondisi yang ada diantara pihak yang

terlibat atau di dalam diri dapat menyebabkan terjadinya konflik Klinik. Konflik

Klinik yang dipersepsi ini pada umumnya bersifat logis, tidak personal, dan sangat

objektif. Di sisi lain konflik Klinik akan dirasakan secara subjektif karena individu

merasa ada konflik Klinik relasi. Perasaan semacam ini sering diasumsikan sebagai

suatu yang dapat mengancam integritas diri, memunculkan permusuhan, perasaan

takut dan bahkan timbulnya perasaan tidak berdaya. Akibat dari kondisi-kondisi

tersebut, beberapa individu kemudian melakukan bentuk perilaku nyata seperti

perilaku agresif, pasif, aseptif, persaingan, debat, atau ada beberapa individu yang

mencoba memecahkan masalah atau konflik Klinik. Langkah selanjutnya yang

dilakukan terhadap terjadinya konflik Klinik adalah perilaku untuk menyelesaikan

atau menekan konflik Klinik tersebut. Perilaku tersebut dapat berupa perjnjian

15
siantara yang terlibat atau kadang melalui tindakan “penaklukan” pada pihak yang

terlibat. Oleh karena itu, upaya untuk menyelesaikan sisa atau akibat konflik Klinik

tersebut sudah selayaknya dilakukan oleh pihak yang terlibat. Jika hal itu tidak

dilakukan, dapat memunculkan konflik Klinik baru pada tempat dan waktu yang

berbeda.

2.6 Strategi dan Ketrampilan Manajemen Konflik Klinik

Pendekatan strategi konflik Klinik dengan cara menghindar memungkinkan

kedua kelompok atau pihak yang terlibat konflik Klinik menjadi dingin dan

berusaha mengumpulkan informasi. Teknik menghindar dapat digunakan apabila

isu tidak gawat atau bila kerusakan yang potensial tidak akan terjadi dan lebih

banyak menguntungkan. Selanjutnya baru diatur kembali untuk pertemuan

penyelesaian konflik Klinik. Dengan demikian, pihak yang terlibat konflik Klinik

diberi kesempatan untuk merenungkan dan memikirkan alternative

penyelesaiannya. Strategi akomodasi digunakan untuk memfasilitasi dan

memberikan wadah untuk menampung keinginan pihak yang terlibat konflik

Klinik. Dengan cara ini dimungkinkan terjadi peningkatan kerjasama dan

pengumpulan data-data yang akurat dan signifikan untuk pengambilan suatu

kesepakatan. Cara kompetisi dapat dilakukan seorang manajer dengan cara

menunjukkan kekuasaan yang terkait dengan posisinya untuk menyelesaikan

konflik Klinik, terutama yang terkait dengan tugas dan tanggungjawab stafnya.

Strategi yang biasa digunakan adalah melalui peningkatan motivasi antar staf guna

menimbulkan rasa persaingan yang sehat. Strategi kompromi dilakukan dengan

mengambil jalan tengah diantara pihak-pihak yang terlibat konflik Klinik. Hal ini

16
biasanya bersifat sementara sehingga bila situasinya sudah stabil, perlu

dikumpulkan pihak yang terlibat konflik Klinik untuk selanjutnya dapat dilakukan

penyelesaian masalah secara tuntas. Cara lain yang dapat ditempuh untuk

menyelesaikan konflik Klinik adalah dengan cara kerjasama. Cara ini dilakukan

dengan melibatkan pihak yang terlibat konflik Klinik untuk melakukan kerjasama

dalam rangka menyelesaikan konflik Klinik. Cara ini biasanya menimbulkan

perasaan puas di kedua belah pihak yang terlibat konflik Klinik

Bentuk ketrampilan yang dapat dimanfaatkan untuk mengelola konflik

Klinik pada umumnya berupa kegiatan pencegahan. Ketrampilan tersebut berkisar

pada kegiatan berikut.

1. Membuat aturan atau pedoman yang jelas dan harus diketahui oleh semua

pihak.

2. Menciptakan suasana yang mendukung dengan banyak pilihan. Hal ini akan

membuat orang menjadi senang dalam memberikan usulan, member kekuatan

bagi mereka meningkatkan pemikiran kreatif, memungkinkan pemecahan

masalah yang lebih baik.

3. Mengungkapkan bahwa mereka dihargai. Pujian dan penegasan tentang nilai-

nilai adalah penting untuk setiap orang dalam bekerja.

4. Menekankan pemecahan masalah secara damai, dan membangun suatu

jembatan pengertian.

5. Menghadapi konflik Klinik dengan tenang dan memberikan pendidikan tentang

perilaku.

6. Memainkan peran yang tidak menimbulkan stress dan konflik Klinik.

17
7. Mempertimbangkan waktu dengan baik untuk semuanya, dan jangan menunda

waktu yang tidak menentu.

8. Memfokuskan pada masalah dan bukan pada kepribadian.

9. Mempertahankan komunikasi dua arah.

10. Menekankan pada kesamaan kepentingan.

11. Menghindari penolakan berlebihan.

12. Mengetahui hambatan untuk kerjasama.

13. Membedakan perilaku yang menentang dengan perilaku normal dalam

kesalahan kerja.

14. Menguatkan dalam menghadapi orang yang marah.

15. Menetapkan siapa yang memiliki masalah.

16. Menetapkan kebutuhan yang terlalaikan.

17. Membangun kepercayaan dengan mendengarkan dan mengklarifikasi.

18. Merundingkan kembali prosedur pemecahan masalah.

2.7 Penyelesaian Konflik Klinik

Konflik Klinik yang terjadi dalam suatu tatanan organisasi misalnya bangsal

keperawatan harus dikenali sifat, jenis, penyebab, lamanya, dan kepelikan konflik

Klinik dalam rangka untuk menyelesaikannya. Seorang manajer atau kepala

ruangan harus segera mengambil inisiatif untuk memfasilitasi penyelesain konflik

Klinik yang positif. Manajer dapat saja “mengabaikan” konflik Klinik yang terjadi

atau harus ikut campur tangan dalam penyelesaiannya. Jika persoalan yang

mendasari konflik Klinik sangat kecil, dalam arti hanya melibatkan dua orang

18
(perawat, perawat dengan profesi lain) dan tidak mempengaruhi proses pemberian

asuhan keperawatan secara bermakna, seorang manajer tidak harus ikut campur

untuk mnyelesaikan konflik Klinik. Meskipun demikian, manajer dapat member

izin agar pihak yang terlibat membuat perjanjian mengenai persoalan yang sedang

dihadapi dan cara apa yang sekiranya dapat dilakukan untuk menyelesaikan konflik

Klinik. Sebaliknya, bila konflik Klinik yang terjadi sangat mempengaruhi

pemberian asuhan keperawatan pada klien, seorang manajer dapat mengambil

inisiatif untuk ikut seta aktif menyelesaikan konflik Klinik yang sedang terjadi

denga pertimbangan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan yang

dapat menimpa klien.

Beberapa strategi dapat dilakukan untuk menyelesaikan konflik Klinik, seperti

penggunaan disiplin, pertimbangan tahap kehidupan, komunikasi, lingkaran

kualitas dan latihan keasertifan.

1. Penggunaan disiplin

Dalam menggunakan displin untuk mengelola atau mencegah terjadinya

konflik Klinik, seorang manajer perawat harus mengetahui dan memahami

peraturan dan ketepatan organisasi yang berlaku. Berbagai aturan dapat

digunakan untuk mengelola konflik Klinik, antara lain penggunaan disiplin

yang progresif, pemberian hukuman yang sesuai dengan pelanggaran yang

dilakukan anggota, penawaran bantuan untuk menyelesaikan masalah

pekerjaan, penentuan pendekatan terbaik utnuk setiap personil, pendekatan

individual, tegas dalam keputusan, penciptaan rasa hormat dan rasa percaya

diri diantara anggota utnuk mengatasi masalah kedisiplinan.

19
2. Pertimbangan tahap kehidupan

Konflik Klinik juga dapat diselesaikan melalui pemberian dukungna pada

anggota untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam tahap

perkembangan kehidupannya. Ada tiga tahap perkembangan yaitu tahap

dewasa muda, setengah baya, dan setelah umur 55 tahun. Masing-masing

tahap perkembangan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda. Misalnya,

tahap dewasa muda dicirikan dengan kegiatan mengejar atau rasa “haus” akan

pengetahuan, keterampilan, dan selalu ingin bergerak kearah kemajuan dan

tahap setengah baya dicirikan dengan perilaku atau keinginan untuk

membantu perawat mudah dalam mengembangkan karirnya, serta tahap

diatas umur 55 tahun dicirikan dengan perilaku pengintegrasian ide ego

dengan tujuan yang diinginkan. Atas dasar ciri tersebut maka seorang manajer

harus mampu mengidentifikasi karakteristik pada masing-masing tahap

perkembangan sebagai dasar untuk menyelesaikan konflik Klinik.

3. Komunikasi

Komunikasi yang merupakan bagian mendasar manusia dapat dimanfaatkan

dalam penyelesaian konflik Klinik. Komunikasi merupakan suatu seni yang

penting digunakan untuk memelihara suatu lingkungan kondusif-terapeutik.

Dalam situasi ini, seorang manajer dapat melakukan beberapa tindakan untuk

mencegah terjadinya konflik Klinik melalui pengajaran pada staf

keperawatan tentang komunikasi efektif dan peran yang harus dilakukan,

pemberian informasi yang jelas pada setiap personel secara utuh,

pertimbangan matang tentang semua aspek situasi emosi, dan pengembangan

20
keterampilan dasar yang menyangkut orientasai realitas, ketengan emosi,

harapan-harapan positif yan gdapat membangkitkan respons positif, cara

mendengar aktif, dan kegiatan dan menerima informasi.

4. Lingkaran kualitas

Cara lain yan gdapat digunakan untuk mencegah terjadinya konflik Klinik

adalah lingkaran kualitas. Cara ini telah digunakan untuk mengurangi

terjadinya sters melalui kegiatan manajemen personel. Lingkaran kualitas ini

dapat digunakan melalui kegiatan manajemen partisipasi, keanggotaan dalam

panitia, program pengembangan kepemimpinan, latihan-latihan kelas,

penjenjangan karier, perluasan kerja, dan rotasi kerja.

5. Latihan keasertifan

Seorang manajer dapat juga melatih stafnya dalam hal keasertifan untuk

mencegah atau mengelola konflik Klinik. Sifat asertif dapat juga diajarkan

melalui progam pengembangan staf. Pada program ini perawat diajarkan cara

belajar melalui respon yang baik. Manajer dapat belajar mengendalikan

personel supaya mampu memegang aturan. Bila mereka tidak puas, mereka

mencoba melakukan sesuatu untuk mencapai kepuasan itu. Pada umunya

perilaku asertif dapat dipelajari melalui studi kasus, bermain peran, dan

diskusi kelompok.

2.8 Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan

Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan merupakan gabungan

antara logika dan daya, dan jika tepat, akan menciptakan jalan keluar yang

21
memuaskan. Sekalipun tidak mudah untuk mengambil keputusan dalam berbagai

kondisi yang dihadapi, tetapi keputusan tetap harus diambil dalam setip kegiatan

yang dilakukan organisasi. Karena setiap keputusan memiliki dampak pada waktu

yang akan datang, oleh karena itu keputusan yang dapat diambil harus dapat

diterima secara rasional karena keputusan yang diambil harus berdasarkan

informasi yang akurat, tepat, dan lengkap. Berdasarkan hal tersebut perlu dibuat

langkah-langkah pengambilan keputusan yang mempertimbangkan ketepatan,

keakuratan, dan kelengkapan informasi pendukung tersebut.

Tahap pertama, pengkajian situasi. Tahap ini terdiri dari tiga proses yang

dilakukan, yaitu identifikasi masalah, diagnosis penyebab dari masalah, dan

identifikasi tujuan dari penyelesaian masalah melalui keputusan yang akan diambil.

Pada proses identifikasi masalah, pengambilan keputusan perlu membedakan apa

yang benar-benar masalah dan gejala dan apa yang menjadi sebab akibat dari gejala

dan masalah tersebut. Pada proses diagnosis penyebab masalah, pengambil

keputusan menentukan secara pasti apa yang menjadi sebab dan apa yang menjadi

akibat. Proses terakhir dari tahap investigasi situasi adalah identifikasi tujuan dari

keputusan yang akan diambil. Pada proses ini, pengambil keputusan perlu

menentukan tujuan dari keputusan yang akan diambil.

Tahap kedua, perumusan alternative solusi. Pada tahap ini, pengambil

keputusan mencoba membangun beberapa alternative solusi untuk diputuskan guna

diambil sebagai langkah solusi. Tahap ini akan sangat tidak efektif jika masukan

berupa ide-ide kreatif dihasilkan melalui keterlibatan seluruh lapis pekerja yang

terkait dengan masalah yang dihadapi. Salah satu metode yang digunakan metode

22
brain storming/curah ide, yang seluruh pihak dilibatkan dalam penentuan

alternative secara kreatif dan bebas dalam menawarkan berbagai langkah solusi

yang terkait dengan masalah. Agar tahapan ini berjalan efektif dan efisien, maka

perlu dipimpin oleh seorang yang mampu mengendalikan proses pertemuan secara

efektif dan efisien. Pada tahap ini evaluasi belum dilakukan, artinya berbagai

alternative yang barangkali secara financial misalnya tidak memungkinkan, untuk

sementara ditampung dulu, karena pada tahap ini seluruh ide ditampung tamping

tanpa harus mengevaluasinya terlebih dahulu.

Tahap ketiga, pengujian alternative. Pada tahap ini, pengambil keputusan

melakukan evaluasi dan penilaian terhadap berbagai alternative yang muncul untuk

kemudian diambil satu atau lebih alternative yang dianggap terbaik. Untuk dapat

menentukan alternative solusi yang terbaik, maka pendekatan bagan alur (flow

chart) dapat dipergunakan untuk mendapatkan alternative-alternatif yang

memungkinkan.

Tahap keempat, pelaksanaan dan evaluasi alternative. Jika keputusan sudah

diambil, maka langkah berikutnya adalah mengimplementasikan alternative yang

telah diputuskan untuk dijalankan. Sebelum dijalankan maka tentunya perlu

direncanakan akan seperti apa dan bagaimana alternative tersebut dijalankan.

Proses ini dilakukan pada proses perencanaan implementasi. Pada tahap ini

ditentukan siapa, apa saja, dan bagaimana alternative tersebut akan dijalankan.

Setelah direncanakan, implementasi dilakukan sehingga proses berikutnya adalah

implementasi dari rencana alternative yang akan dijalankan. Pada proses ini, apa

yang telah direncanakan dari alternative yang akan dijalankan kemudian

23
diimplementasikan. Untuk memastikan langkah implementasi tersebut berjalan

dengan baik dan mencapai tujuan yang telah dirumuskan, maka perlu dilakukan

proses pengawasan terhadap implementasi alternative. Proses ini dilakukan untuk

memastikan bahwa apa yang telah dijalankan sesuai dengan apa yang telah

direncanakan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Rintangan terhadap pengambilan keputusan yang efektif tidak memutuskan,

menghindari keputusan terperangkap aspek-aspek risiko, ketakutan, dan

kekhawatiran yang tidak diinginkan. Pegang teguh, menolak menghadapi isu, pada

akhirnya akan menemukan gangguan, reaksi berlebihan, membiarkan satu situasi

diluar control, membiarkan emosi yang mengontrol, “vacillating”, menghilangkan

keputusan.

2.9 Hasil Konflik Klinik

Konflik Klinik mengakibatkan hasil yang dapat produktif untuk pertumbuhan

individu atau organisasi. Sebalikanya,konflik Klinik dapat sangat destruktif(

Kramer, Schmalenberg, 1978;lLewis 1976, Myrtle, Glogow, 1978; Nielsen, 1977)

Deutsh( 1969, 1973) menegenali empat factor utama yang menentukan hasil konflik

Klinik: isu, kekuasaan, kemampuan menanggapai kebutuhan, dan komunikasi

bahasan berikut ini diberikan oleh Kramer dan Schmalenberg (1978).

1. Isu

Pada konflik Klinik yang destruktif, isu di besarkan, dirumuskan secara luas

dengan tambahan secara rinci , dan bermuatan emosi. Pada konflik Klinik yang

konstuktif, isu difokuskan dan dipertahankan dalam ukuran yang dapat

24
ditangani. Hanya isu perifer yang berhubungan hal pokok yang dididkusikan,

dan proses pilihannya adalah aksi (tindakan) bukan reaksi.

2. Kekuasaan

Pada kekuasaan destruktif, situasi dipertahankan atau diubah melalui ancaman

dan paksaan. Suasananya adalah persaingan dengan hasil menang dan kalah.

Kekuasaan konstruktif meliputi penemuan jalan keluar yang dapat diterima

yang mungkin berupa kompromi atau sebuah jalan keluar yang dapat diterima

yang mungkin diterima yang mungkin berupa kompromi atau sebuah jalan

keluar yang baru; kebutuhan dan pandangan pribadi tidak dipaksakan pada

orang lain

3. Kemampuan Menanggapi Kebutuhan

Pada konflik Klinik destruktif, hanya kebutuhan sendiri saja yang

dipertimbangkan. Dengan berjalanya waktu seseorang menjadi semakian yakin

bahwa keyakinananya dan perilakunya adalah benar. Penyelesaaian konflik

Klinik yang konstruktif ditandai secara khas oleh penyelesaian yang

menanggapi kebutuhan semua pihak yang terlibat.

4. Komunikasi

Saling tidak percaya, persepsi yang salah, dan peningkatan muatan emosi

tertentu saja membentuk konflik Klinik yang destruktif. Penyelesaian yang

konstruktif meliputi dialog terbuka dan jujur, slaing berbagi kekawatiran, dan

mendengarkan dengan hasrat untuk memahami orang lain. Tujuanya adalah

memebuka masalah sehingga dapat dihadapi secara efektif.

25
3 Konflik Klinik dapat bermanfaat bagi organisasi, bila pemimpin mempunyai

kemahiran dalam memfasilitasi penyelesain konflik Klinik yang konstruktif.

Jika perbedaan pendapat tentang sesuatu isu disuarakan dan jika masalah

dibuka, hali ini menunjukan bahwa orang- orang terlibat dan peduli. Lawan

dari cinta bukanlah benci, tetapi ketidakpedulian. Pada cinta dan benci terdapat

enerji mereka yang dicintai seseorang akan memepunyai kekuasaan untuk

menibulkan kebencian. Ketidakpedulian bersifat kosong. Enerji ditimbulkan

melalui penyelesaian konflik Klinik yang efektif dapat diguanakan secara

positif kearah pencapain tujuan. Nielsen (1977) mengatakan bahwa konflik

Klinik adalah akar perubahan pribadi dan social’( hlm153). Konflik Klinik

merangsang penyelesaian masalah dan hasil penyelesaian yang kreatif, konflik

Klinik dapat dinikmati, danmemungkinkan perkembangan identitas pribadi.

26
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Konflik Klinik adalah sebuah keadaan yang timbul oleh karena perbedaan

tujuan atau emosional. Terjadinya konflik Klinik dalam suatu organisasi,

merupakan hal yang mustahil untuk dihindarkan. Hal ini disebabkan oleh karena

individu-individu yang terlibat dalam organisasi memiliki berbagai macam

karakter, tujuan, visi, maupun gaya yang berbeda-beda. Konflik Klinik yang

berkepanjangan dapat mempengaruhi komponen yang terlibat di dalamnya, bahkan

kehancuran tidak dapat dihindarkan.

Konflik Klinik adalah perselisihan atau perjuangan yang timbul ketika

keseimbangan dari perasaan, hasrat, pikiran, dan perilaku seseorang terancam.

Perjuangan ini dapat terjadi di dalam individu atau di dalam kelompok. Pemimpin

dapat menggerakkan konflik Klinik ke hasil yang destruktif atau konstruktif. Secara

structural, konflik Klinik dapat vertical, yaitu melibatkan perbedaan antara

pemimpin dan anak buah, atau horizontal, yaitu garis relative staf. Sembilan tipe

konflik Klinik tercatat dalam literature : di dalam pengirim, di dalam peran, peran

pribadi, antar pribadi, di dalam kelompok, di antara kelompok, peran mendua, dan

beban peran yang terlalu besar.

Penyebab konflik Klinik adalah unik dan bermacam-macam. Tetapi, penyebab

umumnya telah dinyatakan dan dibahas. Penyebab umum ini antara lain perilaku

menentang, stress, kondisi ruangan yang terlalu sempit, kewenangan dokter-

27
perawat yang berlebihan, perbedaan nilai dan keyakinan, eksklusifisme, peran

ganda perawat, kekurangan sumber daya insani, perubahan, imbalan serta

komunikasi. Proses konflik Klinik dimulai dengan kondisi pendahulu, kemudian

bergerak ke konflik Klinik yang di presepsi dan atau dirasakan. Selanjutnya adalah

perilaku, lalu konflik Klinik untuk diselesaikan atau ditekan.

Penyelesaian konflik Klinik yang konstruktif adalah sebuah aspek penting dari

tanggung jawab menejerial. Sejumlah pendekatan, termasuk kemungkinan

keterlibatan dan menejemen yang mempunyai tujuan, juga didiskusikan. Tidak ada

metoda terbaik untuk memfasilitasi penyelesaian konflik Klinik. Seorang

pemimpin harus mempunyai pengetahuan tentang kemungkinan strategi bersamaan

dengan pengetahuan tentang proses memimpin dan mengatur orang; kemudian

harus dipilih dan dilaksanakan strategi yang terbaik untuk situasi yang unuk

tersebut.

3.2 Saran

Konflik Klinik adalah sebuah kemutlakan, pemimpin harus belajar untuk secara

efektif memfasilitasi penyelesaian konflik Klinik diantara orang-orang agar tujuan

dapat tercapai. Dari hasil pembahasan di atas, diharap para pembaca baik yang

merupakan calon pemimpin ataupun yang telah menjadi pemimpin, agar dapat me-

manajemen institusi atau organisasinya dengan baik agar terbebas dari konflik

Klinik yang ada.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Monica. 1998. Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan. Jakarta: EGC.

2. Simamora, R. 2012. Buku Ajar Manajemen Keperawatan. Jakarta: EGC.

3. Supriyatno. 2005. Manajemen Bangsal Keperawatan. Jakarta: EGC.

4. Ahmad Muslim.2014. Manajemen Konflik Klinik Interpersonal Di Sekolah.


Jurnal Paedagogy. Volume 1. Nomor 2 Edisi Oktober 2014.

5. Anwar Prabu Mangkunegara.2001. Manajemen Sumber Daya Manusia


Perusahaan.Bandung:Remaja Rosdakarya.

6. Dean J. Pluit dan Rubin Jeffry.2004. Teory Konflik Klinik Sosial.


Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

7. Hannah-Hanh D. Nguyen. 2012. Chinese employees’ interpersonal conflict


management strategies. International Journal of Conflict Management Vol. 23
No. 4, 2012

29

Vous aimerez peut-être aussi