Vous êtes sur la page 1sur 184

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI .............................................................................................................. ii

DAFTAR TABEL ....................................................................................................... iii

ANGKA KECUKUPAN GIZI UNTUK ORANG INDONESIA ............................. 1

MEDIAN BERAT BADAN DAN TINGGI BADAN NORMAL ORANG


INDONESIA BERDASARKAN DATA RISKESDAS 2007 DAN 2010 .................. 15

KECUKUPAN ENERGI, PROTEIN, LEMAK DAN KARBOHIDRAT .................. 26

KECUKUPAN AIR ..................................................................................................... 51

KECUKUPAN VITAMIN: VITAMIN A, B1, B2, B3, B6, B12,


ASAM PANTOTENAT, FOLAT, C, D, E, K, BIOTIN DAN KOLIN ...................... 68

KECUKUPAN MINERAL: KALSIUM, FOSFOR, MAGNESIUM, TEMBAGA,


KROMIUM, BESI, IODIUM, SENG, SELENIUM, MANGAN, FLUOR,
NATRIUM DAN KALIUM ........................................................................................ 121

PENGEMBANGAN DAFTAR KOMPOSISI PANGAN INDONESIA .................... 171

LAMPIRAN ................................................................................................................ 180

ii
DAFTAR TABEL

Halaman

TABEL 1. ANGKA KECUKUPAN ENERGI, PROTEIN, LEMAK,


KARBOHIDRAT, SERAT DAN AIR YANG DIANJURKAN
UNTUK ORANG INDONESIA (PER ORANG PER HARI) ............... 180

TABEL 2. ANGKA KECUKUPAN VITAMIN YANG DIANJURKAN


UNTUK ORANG INDONESIA (PER ORANG PER HARI) ............... 181

TABEL 3. ANGKA KECUKUPAN MINERAL YANG DIANJURKAN


UNTUK ORANG INDONESIA (PER ORANG PER HARI) ............... 182

iii
ANGKA KECUKUPAN GIZI
UNTUK ORANG INDONESIA

Djoko Kartono1), Hardinsyah2), Abas Basuni Jahari1), Ahmad Sulaeman2)


Mary Astuti3), Moesijanti Soekatri4), Hadi Riyadi2)
1)
Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, Kemenkes,
2)
Fakultas Ekologi Manusia, IPB, 3) Fakultas Teknologi Pertanian, UGM,
4)
Jurusan Gizi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II.

Jalan Dr. Sumeru 63, Bogor 16112


E-mail : kartono.djoko@yahoo.com

Abstrak
Dalam kurun waktu 1968-2004, setiap lima tahun sekali secara nasional ditetapkan Angka
Kecukupan Gizi (AKG). Kemudian sejak tahun 2004 ditetapkan setiap 10 tahun. AKG
dirumuskan oleh para pakar dibidangnya melalui Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi
(WNPG). Banyak sekali macam zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yang terdiri dari
karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan air. Angka kecukupan gizi berubah dari
waktu ke waktu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan temuan hasil penelitian
yang terkait dengan kecukupan gizi dan kesehatan masyarakat. AKG ini meliputi
kecukupan: energi; protein; lemak, karbohidrat, air; 14 vitamin: vitamin A, vitamin D,
vitamin E, vitamin K, thiamin, riboflavin, niasin, asam pantotenat, piridoksin, folat,
vitamin B12, biotin, kolin dan vitamin C; dan 13 mineral: kalsium, fosfor, magnesium,
natrium, kalium, besi, iodium, seng, tembaga, kromium, selenium, mangan, fluor.
Perbedaan AKG ini dengan AKG sebelumnya adalah :1) AKG ini mencakup angka
kecukupan lemak (termasuk n-3 dan n-6), serat, kromium, tembaga, asam pantotenat, kolin
dan biotin yang pada AKG sebelumnya belum ditetapkan; 2) Sebagian angka kecukupan
gizi yang baru, dihitung berdasarkan berbagai temuan baru, termasuk data berat dan tinggi
badan orang Indonesia berdasarkan Riskesdas 2007 dan 2010. Dasar perhitungan angka
kecukupan gizi adalah: 1) berat badan orang Indonesia yang dikategorikan normal menurut
standar WHO, 2) prinsip-prinsip perhitungan AKG yang digunakan oleh WHO/FAO dan
IOM yang disesuaikan dengan ukuran tubuh orang Indonesia, 3) berbagai studi terkait di
Indonesia dan Asia. Dalam menaksir kecukupan energi diperhatikan komponen yang
mempengaruhi yaitu 1) energi basal metabolisme (BMR), 2) aktifitas, 3) tambahan
kebutuhan untuk pertumbuhan, 4) tambahan energi bagi pencernaan makanan (thermic
effect of food=TEF), dan 5) faktor komposisi tubuh, umur dan jenis kelamin. Dalam
membahas kecukupan protein ada 2 masalah pokok yaitu jumlah nitrogen dan asam amino
esensial. Kualitas dan kuantitas protein dalam makanan menggambarkan banyaknya
protein yang dapat digunakan tubuh. Dalam menaksir kecukupan lemak memperhatikan
distribusi keseimbangan energi dari gizi makro, termasuk rasio n-6 dan n-3. Sementara
angka kebutuhan vitamin dan mineral dirumuskan melalui kajian dan adaptasi dari anjuran
WHO, FAO dan IOM. Diharapkan rumusan AKG ini menjadi masukan bagi Kementerian
Kesehatan dalam menetapkan AKG terbaru yang dianjurkan untuk orang Indonesia sebagai
standar untuk: 1) kecukupan gizi dalam penilaian dan perencanaan konsumsi gizi dan
ketersediaan pangan; 2) pengembangan pangan/diet termasuk produk pangan; 3) dasar
perumusan anjuran porsi pangan dalam mengimplementasikan Pedoman Gizi Seimbang;
dan 4) penetapan acuan label gizi. Rata-rata angka kecukupan energy (AKE) dan angka
kecukupan protein (AKP) nasional pada tingkat konsumsi, masing-masing adalah 2150

1
kkal dan 57 g perkapita perhari dengan proporsi anjuran protein hewani 25%. Sementara
AKE dan AKP pada tingkat persediaan adalah 2400 kkal dan 63 g perkapita perhari.
Agar AKG dapat digunakan secara akurat dalam penilaian asupan gizi, diperlukan Daftar
Komposisi Pangan Indonesia (DKPI) yang lengkap, tidak hanya mencakup semua zat gizi
dalam AKG, tetapi juga zat gizi lainnya seperti asam lemak, asam amino, kolesterol,
sukrosa, fruktosa dan zat bio-aktif dalam pangan.

Kata kunci
angka kecukupan gizi, energi, protein, lemak, karbohidrat, serat, air, vitamin dan mineral

Abstract

Nationally during the period of 1968-2004, every 5 years, the Recommended Dietary
Allowance (RDA) or Angka Kecukupan Gizi (AKG) was set. However, since 2004 the
RDA was set every 10 years. RDA formulated by experts through National Workshop on
Food and Nutrition or Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG). Nutrients needed
by the body are made up of carbohydrates, proteins, fats, vitamins, minerals and water.
RDA rate changes from time to time to follow developments in science and research
findings related to nutrition and public health. This RDA consists of RDA for: energy,
protein, fats, carbohydrates, water, 14 vitamins: vitamin A, vitamin D, vitamin E, vitamin
K, thiamin, riboflavin, niacin, pyridoxine, folate, vitamin B12, pantothenic acid, biotin ,
choline and vitamin C, and 13 minerals: calcium, phosphorus, magnesium, sodium,
potassium, iron, iodine, zinc, copper, chromium, selenium, manganese, fluor. The
differences between this RDA and the previous RDA are: 1) the new RDA includes fat, n-
3, and n-6, dietary fiber, chromium, copper, pantothenic acid, choline and biotin; 2) most
of the new RDA is calculated based on the new findings, including data on body weight
and height of Indonesians based on the Basic Health Research (Riskesdas) 2007 and 2010.
The basis of RDA calculations are: 1) body weight of Indonesian people who are
categorized normal by WHO standards, 2) principles of RDA calculations used by
FAO/WHO and IOM which is adjusted to body weight of Indonesians, 3) results of
studies in Indonesia and Asia. There are components that affect the RDA for energy: 1)
basal metabolic rate (BMR), 2) activity, 3) requirements for growth, 4) energy for food
digestion (thermic effect of food = TEF), and 5) body weight and height, age and gender.
There are two main factors in determining the RDA for protein: the amount of nitrogen and
essential amino acids. Quality and quantity of protein in the diet reflect the amount of
proteins used by the body. Energy balance distribution of macro nutrients, including ratio
of n-3 and n-6 is also considered. Formulation of RDA for vitamin and mineral were
approached using FAO/WHO and IOM recommendations. It is expected that this RDA to
be the input for the Ministry of Health to declare the new RDA for Indonesians to be used
as a standard: 1) in the assessing and planning of food consumption and availability, 2) diet
and food products development; 3) in the formulation of recommended portion of daily
diet in the implementation of Balanced Diets, and 4) in the establishment of nutrition
reference values (labeling). The average RDA of energy and protein at the consumption
level is 2150 kcal and 57 g/cap/day respectively, while energy and protein RDA at supply
level is 2400 kcal and 63 g/cap/day respectively. It is recommended that animal food is
25% of energy RDA.
In order to RDA apply accurately in assessing nutrient intake, it is necessary to have a
complete Food Composition Tables of Indonesian foods, includes all the nutrients in the

2
RDA and others i.e. fatty acids, amino acids, cholesterol, sucrose, fructose and bio-active
substances in the foods.

Keywords
recommended dietary allowances, energy,protein, fats, carbohydrate, dietary fiber, water,
vitamin and mineral

I. PENDAHULUAN

Dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 diamanatkan perlunya


angka kecukupan gizi yang kewenangan penetapannya oleh Kementerian Kesehatan.
Indonesia telah memiliki beberapa Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang disempurnakan
dari waktu ke waktu sesuai perkembangan IPTEK sejak tahun 1968. AKG terakhir
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan tahun 2005.

AKG digunakan untuk berbagai keperluan yaitu: 1) standar untuk menilai asupan
gizi, 2) standar untuk merencanakan kebutuhan gizi dan pangan, 3) standar untuk
pengembangan produk pangan dan diet, 4) standar untuk menetapkan acuan label gizi; 5)
standar untuk penerapan gizi seimbang dalam komunikasi, informasi dan edukasi (KIE)
gizi.

AKG adalah jumlah zat gizi tertentu yang dibutuhkan bagi kelompok tertentu
(umur, jenis kelamin, berat dan tinggi badan dan tingkat aktivitas fisik) yang mencakup
hampir semua penduduk (97.5%) untuk hidup sehat. Dengan demikian maka penetapan
AKG didasarkan kepada kebutuhan untuk mencukupi zat gizi bagi pemeliharaan
kesehatan. Pemenuhan kebutuhan zat gizi dapat mencegah berbagai penyakit akibat
kekurangan gizi antara lain gizi kurang dan stunting, anemi gizi, kekurangan vitamin A
dan gangguan akibat kurang iodium, yang saat ini masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat.

AKG tidak mungkin diterapkan dalam penilaian dan perencanaan konsumsi pangan
tanpa tersedia data tentang asupan gizi. Sementara, asupan gizi tidak diketahui tanpa
ketersediaan Daftar Komposisi Pangan Indonesia (DKPI) yang lengkap. Sampai saat ini
DKPI baru mencakup 10 zat gizi dari sekitar 50 zat gizi. Oleh karena itu disamping
menyempurnakan AKG juga perlu penyempurnaan DKPI.

II. DASAR DAN LINGKUP

A. Berat dan Tinggi Badan

Berat dan tinggi badan yang digunakan untuk penetapan AKG adalah nilai median
berat dan tinggi badan normal orang Indonesia yang di analisis dari data Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) 2007 dan 2010. Digunakan ukuran panjang badan (PB) untuk anak
berumur di bawah 2 tahun dan tinggi badan (TB) untuk yang berumur 2 tahun ke atas.

Penentuan status gizi normal didasarkan pada data BB, PB atau TB dikonversikan
menjadi nilai Z-score (standardized value) menurut umur dan jenis kelamin dengan
menggunakan standar pertumbuhan WHO 2006 untuk anak umur 0-59 bulan dan standar

3
WHO 2007 untuk anak dan remaja umur 5-19 tahun. Indikator status gizi yang digunakan
adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB), indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U). Selanjutnya
ditetapkan status gizi normal menggunakan kriteria WHO yaitu bila nilai Z-score setiap
indikator status gizi membentang antara -2 SD (Z-score =-2) dan +2 SD (Z-score = +2).

B. Kelompok Umur

Kelompok umur untuk AKG adalah mengikuti pengelompokan umur yang


disepakati untuk Asia Tenggara. Batas kelompok umur yang digunakan untuk AKG ini
mengalami penambahan jika dibandingkan pada AKG sebelumnya. Batas atas kelompok
umur pada AKG sebelumnya adalah 65 tahun keatas, sedangkan untuk AKG ini adalah 80
tahun keatas sesuai dengan umur harapan hidup Indonesia yang semakin meningkat (diatas
65 tahun).

C. Energi

Perhitungan kecukupan energi yang terkini didasarkan model persamaan IOM


(2005) dari meta analisis tim pakar Institute of Medicine (IOM 2002). Model ini
diperoleh dari data energi basal (EB) yang diukur dengan metode doubly labeled water
yang lebih valid dibanding model sebelumnya. Kecukupan energi pada anak berbeda
dengan kelompok usia lainnya. Pada kelompok usia lanjut perhitungan Angka kecukupan
Energi (AKE) didasarkan pada persamaan Henry (2005).

Berbagai faktor yang dipertimbangan dalam perhitungan AKE adalah berat dan
tinggi badan, pertumbuhan dan perkembangan (usia), jenis kelamin, energi cadangan bagi
anak dan remaja, serta thermic effect of food (TEF). TEF adalah peningkatan pengeluaran
energi karena asupan pangan yang nilainya 5-10% dari Total Energy Expenditure (TEE)
(Mahan & Escoot-stump 2008).

D. Zat Gizi

1. Protein

Kebutuhan protein seseorang dipengaruhi oleh berat badan, usia (tahap


pertumbuhan dan perkembangan) dan mutu protein dari konsumsi pangan. Bayi dan anak-
anak yang berada dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan yang pesat membutuhkan
protein lebih banyak per kilogram berat badannya dibanding orang dewasa (IOM, 2005).

Mutu protein ditentukan oleh komposisi dan jumlah asam amino esensial dari
pangan yang dikonsumsi. FAO (2013) merekomendasikan pola kebutuhan (referensi)
asam amino esensial yang baru, yang pada umumnya sedikit lebih tinggi dari pola
kebutuhan asam amino sebelumnya. Pangan hewani mengandung asam amino lebih
lengkap dan banyak dibanding pangan nabati, karena itu pangan hewani mempunyai mutu
protein yang lebih baik dibandingkan pangan nabati. Disamping itu, mutu protein juga
ditentukan oleh daya cerna protein tersebut, yang dapat berbeda antar jenis pangan.
Semakin lengkap komposisi dan jumlah asam amino esensial dan semakin tinggi daya
cerna protein suatu jenis pangan atau menu, maka semakin tinggi mutu proteinnya.
Demikian pula semakin rendah kandungan serat dan lembut tekstur suatu jenis pangan
sumber protein semakin baik mutu proteinnya (Gibney, Vorster & Kok, 2002).

4
Angka kecukupan protein (AKP) pada orang dewasa sebesar 0.75 g/kg BB
(sebelum di koreksi mutu) dihitung berdasarkan IOM (2005) yang hasilnya relatif sama
dengan temuan penelitian di Philipina dan Indonesia.

2. Lemak

Kebutuhan lemak seseorang juga dipengaruhi oleh ukuran tubuh (terutama berat
badan), usia atau tahap pertumbuhan dan perkembangan dan aktifitas. Pola umumnya
secara kuantitas adalah, bila kebutuhan energi meningkat kebutuhan akan zat gizi makro
juga meningkat. Artinya semakin banyak kecukupan energi semakin banyak pula zat gizi
makro, termasuk lemak yang dibutuhkan.

Pola konsumsi pangan harian yang dianjurkan sebaiknya memenuhi keseimbangan


rasio energi dari protein, lemak dan karbohidrat, atau yang biasa disebut sebagai kisaran
distribusi persentase energi dari zat gizi makro (Average Macronutrients Energy
Distribution Range – AMDR). Secara umum pola konsumsi pangan remaja dan dewasa
yang baik adalah bila perbandingan komposisi energi dari karbohidrat, protein dan lemak
adalah 50-65% : 10-20% : 20-30%. Komposisi ini tentunya dapat bervariasi, tergantung
umur, ukuran tubuh, keadaan fisiologis dan mutu protein makanan yang dikonsumsi.

Penetapan angka kecukupan lemak (AKL) didasarkan pada persentase energi dari
lemak sebesar 25%. Menurut FAO (2010) proporsi lemak jenuh (saturated fat) dan asam
lemak trans masing-masing maksimal 8% dan 1% dari energi total. Ini berarti bagi
seorang remaja atau dewasa dengan kecukupan energi 2000 kkal, perlu membatasi
konsumsi lemaknya pada 56 g/hari dan lemak jenuh sekitar 18 g/hari.

Upaya memperbaiki komposisi asam lemak dalam menu harian perlu dilakukan
agar sejalan dengan upaya pencegahan penyakit kronik degeneratif sedini mungkin melalui
pengaturan komposisi asam lemak yang dikonsumsi. Perbandingan untuk kandungan n-6
dan n-3 adalah 4-8 : 1. Secara kuantitas, kecukupan n-3 dan n-6 didasarkan pada IOM
(2005). Kecukupan bagi ibu hamil dan ibu menyusui adalah sama yaitu 13 g n-6 dan 1,4 g
n-3 per hari. Kecukupan bagi bayi 0-5 bulan dan 6-11 bulan masing-masing adalah 4,4 g
n-6 dan 0,5 g n-3 per hari

3. Karbohidrat

Kebutuhan karbohidrat seseorang dipengaruhi oleh ukuran tubuh (berat badan),


usia atau tahap pertumbuhan dan perkembangan, dan aktifitas fisik. Ukuran tubuh dalam
arti masa otot yang semakin besar dan aktifitas fisik yang semakin tinggi berimplikasi pada
kecukupan karbohidrat yang semakin tinggi.

Angka kecukupan karbohidrat (AKK) bagi setiap kelompok umur dan jenis
kelamin dihitung dengan cara by difference. Metode ini digunakan karena kecukupan
energi, protein dan lemak sudah diketahui. Ini artinya kecukupan karbohidrat dihitung
dengan total kecukupan energi dikurangi total energi dari kecukupan protein dan
kecukupan lemak.

5
4. Serat

Serat tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia tetapi diperlukan untuk
hidup sehat. Serat pangan (dietary fiber) secara fisik terdiri dari serat pangan yang larut air
dan serat pangan yang tidak larut air. Kedua serat pangan ini memperlama masa transit
makanan dalam organ pencernaan (memperlama rasa kenyang) dan sebagian difermentasi
oleh mikroba usus menjadi asam lemak rantai pendek. Serat pangan larut air yang
umumnya terdapat dalam buah, kacang dan sereal berfungsi untuk memperlambat
penyerapan glukosa, kolesterol dan garam empedu di dalam usus halus, sehingga
menurunkan kadar gula dan kolesterol darah. Sedangkan serat pangan yang tidak larut air
berguna memperlambat pencernaan starch, membantu pergerakan usus dan melancarkan
buang air besar. Serat pangan berupa beta-glukan, psyllium, pektin dan inulin (sejenis
fruktooligosakarida – FOS) terbukti dapat mengendalikan kolesterol.
Angka kecukupan serat (AKS) dihitung berdasarkan anjuran tim pakar IOM (2005)
yaitu 14 g/1000 kkal kebutuhan energi. Angka ini berlaku bagi anak usia 1 tahun keatas.
Kebutuhan serat bagi bayi tidak ditetapkan.

5. Air

Air merupakan salah satu zat gizi makro esensial yang berfungsi sebagai pelarut,
pengendali suhu tubuh, mempertahankan volume vascular, media transportasi zat gizi dan
pembuangan sisa dan komponen pembentuk sel. Dalam tubuh orang dewasa mengandung
air sekitar 60-70% dan di dalam sel terkadung sekitar 80% air.
Kekurangan air dapat berdampak buruk pada kesehatan, konsentrasi dan produktivitas
kerja. Penetapan kebutuhan air didasarkan pada jumlah air dari ASI pada anak usia
sebelum 6 bulan, menggunakan rumus Darrow pada anak 1-18 tahun, dan berdasarkan luas
permukaan tubuh pada orang dewasa. Khusus usia lanjut didasarkan pada penelitian klinis
di Indonesia.

6. Vitamin

Ada 14 (empat belas) vitamin yang dihitung AKGnya yaitu: vitamin B1 (thiamin),
B2 (riboflavin), B3 (niasin), B5 (asam pantotenat), B6 (piridoksin), B9 (folat), B12
(kobalamin), biotin, kolin, vitamin A, vitamin C, vitamin D, vitamin E dan vitamin K.

Penetapan angka kecukupan vitamin ini terutama didasarkan pada review dari
rekomendasi kecukupan vitamin yang ditetapkan oleh Institute of Medicine (IOM 1997,
2000, 2001, 2006, 2011), Joint Expert FAO/WHO (2002) dan WHO (2005). Cara ini
dilakukan mengingat sangat terbatasnya informasi terkait yang berasal dari Indonesia.

7. Mineral

Ada 13 mineral yang dihitung AKGnya: kalsium, fosfor, magnesium, natrium,


kalium, mangan, tembaga, kromium, besi, iodium, seng, selenium dan fluor. Penetapan
angka kecukupan mineral ini terutama didasarkan pada review dari rekomendasi
kecukupan mineral yang ditetapkan oleh Institute of Medicine (IOM 1997, 2000, 2001,
2006, 2011) dan Joint Expert FAO/WHO (2001) dan WHO (2005). Cara ini dilakukan

6
mengingat sangat terbatasnya informasi terkait yang berasal dari Indonesia. Beberapa
mineral, seperti besi dan seng, angka kecukupannya dihitung dengan mempertimbangkan
bio-availabilitasnya pada kondisi pola pangan di Indonesia.

III. REKOMENDASI ANGKA KECUKUPAN GIZI (AKG)

1. Angka Kecukupan Gizi yang direkomendasikan dalam Widyakarya Nasional Pangan


dan Gizi (WNPG) perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

2. Perlu disusun suatu panduan penilaian dan perencanaan konsumsi gizi perorangan
menurut kelompok umur, jenis kelamin, aktifitas dan kondisi tertentu, yang dijadikan
dasar dalam i) penilaian konsumsi gizi (pemenuhan kebutuhan gizi) baik untuk survei
maupun praktek kegizian, dan ii) perencanaan konsumsi pangan (diet) seseorang untuk
mempertahankan hidup sehat.

3. Dalam kurun waktu sepuluh tahun mendatang diperlukan berbagai penelitian tentang:
1) kebutuhan dan kecukupan gizi penduduk Indonesia agar diperoleh AKG yang lebih
valid bagi penduduk Indonesia; 2) penyempurnaan Daftar Komposisi Pangan Indonesia
(DKPI) . Untuk ini perlu dibentuk suatu Tim Pakar yang bertugas merumuskan kajian
payung (research umbrella) penelitian AKG dan DKPI, target dan prioritasnya

4. AKG yang direkomendasikan ini dapat digunakan untuk perencanaan konsumsi dan
penyediaan pangan nasional dan wilayah, penilaian konsumsi pangan secara secara
agregatif (makro) tingkat nasional dan wilayah, serta penetapan komponen gizi dalam
perumusan garis kemiskinan dan upah minimum dengan penyesuaian pada tingkat
aktifitas. AKG tidak digunakan untuk menilai pemenuhan kecukupan gizi seseorang.

5. Rata-rata Angka Kecukupan Energi (AKE) dan Angka Kecukupan Protrin (AKP)
nasional pada tingkat konsumsi, masing-masing adalah 2150 kkal dan 57 g perkapita
perhari dengan proporsi anjuran protein hewani 25%. Semenara AKE dan AKP pada
tingkat persediaan adalah 2400 kkal dan 63 g perkapita perhari.

6. AKG ini supaya digunakan untuk penyempurnaan acuan label gizi, dan standar gizi
lainnya.

7
Tabel 1. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak, Karbohidrat, Serat dan Air yang dianjurkan
untuk orang Indonesia (per orang per hari

Kelompok umur BB TB Energi Protein Lemak Karbohidrat Serat Air


(kg) (cm) (kkal) (g) (g) (g) (g) (mL)
Total n-6 n-3
Bayi/Anak
0 – 6 bulan 6 61 550 12 34 4,4 0,5 58 0 -
7 – 11 bulan 9 71 725 18 36 4,4 0,5 82 10 800
1-3 tahun 13 91 1125 26 44 7,0 0,7 155 16 1200
4-6 tahun 19 112 1600 35 62 10,0 0,9 220 22 1500
7-9 tahun 27 130 1850 49 72 10,0 0,9 254 26 1900
Laki-laki
10-12 tahun 34 142 2100 56 70 12,0 1,2 289 30 1800
13-15 tahun 46 158 2475 72 83 16,0 1,6 340 35 2000
16-18 tahun 56 165 2675 66 89 16,0 1,6 368 37 2200
19-29 tahun 60 168 2725 62 91 17,0 1,6 375 38 2500
30-49 tahun 62 168 2625 65 73 17,0 1,6 394 38 2600
50-64 tahun 62 168 2325 65 65 14,0 1,6 349 33 2600
65-80 tahun 60 168 1900 62 53 14,0 1,6 309 27 1900
80+ tahun 58 168 1525 60 42 14,0 1,6 248 22 1600
Perempuan
10-12 tahun 36 145 2000 60 67 10,0 1,0 275 28 1800
13-15 tahun 46 155 2125 69 71 11,0 1,1 292 30 2000
16-18 tahun 50 158 2125 59 71 11,0 1,1 292 30 2100
19-29 tahun 54 159 2250 56 75 12,0 1,1 309 32 2300
30-49 tahun 55 159 2150 57 60 12,0 1,1 323 30 2300
50-64 tahun 55 159 1900 57 53 11,0 1,1 285 28 2300
65-80 tahun 54 159 1550 56 43 11,0 1,1 252 22 1600
80+ tahun 53 159 1425 55 40 11,0 1,1 232 20 1500
Hamil (+an)
Trimester 1 +180 +20 +6 +2,0 +0,3 +25 +3 +300
Trimester 2 +300 +20 +10 +2,0 +0,3 +40 +4 +300
Trimester 3 +300 +20 +10 +2,0 +0,3 +40 +4 +300
Menyusui (+an)
6 bln pertama +330 +20 +11 +2,0 +0,2 +45 +5 +800
6 bln kedua +400 +20 +13 +2,0 +0,2 +55 +6 +650
*Nilai median berat dan tinggi badan orang Indonesia dengan status gizi normal berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2007 dan 2010. Angka ini dicantumkan agar AKG dapat disesuaikan dengan kondisi berat dan tinggi
badan kelompok yang bersangkutan

8
Tabel 2. Angka Kecukupan Vitamin yang dianjurkan untuk orang Indonesia
(per orang per hari)

Kelompok umur BB (kg)* TB (cm)* Vitamin A Vitamin D Vitamin E Vitamin K


(mcg) (mcg) (mg) (mcg)
Bayi/Anak
0 – 6 bulan 6 61 375 5 4 5
7 – 11 bulan 9 71 400 5 5 10
1-3 tahun 13 91 400 15 6 15
4-6 tahun 19 112 450 15 7 20
7-9 tahun 27 130 500 15 7 25
Laki-laki
10-12 tahun 34 142 600 15 11 35
13-15 tahun 46 158 600 15 12 55
16-18 tahun 56 165 600 15 15 55
19-29 tahun 60 168 600 15 15 65
30-49 tahun 62 168 600 15 15 65
50-64 tahun 62 168 600 15 15 65
65-80 tahun 60 168 600 20 15 65
80+ tahun 58 168 600 20 15 65
Perempuan
(thn)
10-12 tahun 36 145 600 15 11 35
13-15 tahun 46 155 600 15 15 55
16-18 tahun 50 158 600 15 15 55
19-29 tahun 54 159 500 15 15 55
30-49 tahun 55 159 500 15 15 55
50-64 tahun 55 159 500 15 15 55
65-80 tahun 54 159 500 20 15 55
80+ tahun 53 159 500 20 15 55
Hamil (+an)
Trimester 1 +300 +0 +0 +0
Trimester 2 +300 +0 +0 +0
Trimester 3 +350 +0 +0 +0
Menyusui
6 bln pertama
(+an) +350 +0 +4 +0
6 bln kedua +350 +0 +4 +0
*Nilai median berat dan tinggi badan orang Indonesia dengan status gizi normal berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2007 dan 2010. Angka ini dicantumkan agar AKG dapat disesuaikan dengan kondisi berat dan tinggi
badan kelompok yang bersangkutan

9
Tabel 3. Angka Kecukupan Vitamin yang dianjurkan untuk orang Indonesia (per orang per hari)

Kelompok Vitamin Vitamin Vitamin Vitamin B5 Vitamin Folat Vitamin Biotin Kolin Vitamin
umur B1 B2 B3 (Pantotenat) B6 (mcg) B12 (mcg) (mg) C
(mg) (mg) (mg) (mg) (mg) (mcg) (mg)
Bayi/Anak
0 – 6 bulan 0,3 0,3 2 1,7 0,1 65 0,4 5 125 40
7 – 11 bulan 0,4 0,4 4 1,8 0,3 80 0,5 6 150 50
1-3 tahun 0,6 0,7 6 2,0 0,5 160 0,9 8 200 40
4-6 tahun 0,8 1,0 9 2,0 0,6 200 1,2 12 250 45
7-9 tahun 0,9 1,1 10 3,0 1,0 300 1,2 12 375 45
Laki-laki
10-12 tahun 1,1 1,3 12 4,0 1,3 400 1,8 20 375 50
13-15 tahun 1,2 1,5 14 5,0 1,3 400 2,4 25 550 75
16-18 tahun 1,3 1,6 15 5,0 1,3 400 2,4 30 550 90
19-29 tahun 1,4 1,6 15 5,0 1,3 400 2,4 30 550 90
30-49 tahun 1,3 1,6 14 5,0 1,3 400 2,4 30 550 90
50-64 tahun 1,2 1,4 13 5,0 1,7 400 2,4 30 550 90
65-80 tahun 1,0 1,1 10 5,0 1,7 400 2,4 30 550 90
80+ tahun 0.8 0,9 8 5,0 1,7 400 2,4 30 550 90
Perempuan
10-12 tahun 1,0 1,2 11 4,0 1,2 400 1,8 20 375 50
13-15 tahun 1,1 1,3 12 5,0 1,2 400 2,4 25 400 65
16-18 tahun 1,1 1,3 12 5,0 1,2 400 2,4 30 425 75
19-29 tahun 1,1 1,4 12 5,0 1,3 400 2,4 30 425 75
30-49 tahun 1,1 1,3 12 5,0 1,3 400 2,4 30 425 75
50-64 tahun 1.0 1,1 10 5,0 1,5 400 2,4 30 425 75
65-80 tahun 0,8 0,9 9 5,0 1,5 400 2,4 30 425 75
80+ tahun 0,7 0,9 8 5,0 1,5 400 2,4 30 425 75
Hamil (+an)
Trimester 1 +0,3 +0,3 +4 +1,0 +0,4 +200 +0,2 +0 +25 +10
Trimester 2 +0,3 +0,3 +4 +1,0 +0,4 +200 +0,2 +0 +25 +10
Trimester 3 +0,3 +0,3 +4 +1,0 +0,4 +200 +0,2 +0 +25 +10
Menyusui
(+an)
6 bln +0,3 +0,4 +3 +2,0 +0,5 +100 +0,4 +5 +75 +25
6pertama
bln kedua +0,3 +0,4 +3 +2,0 +0,5 +100 +0,4 +5 +75 +25

10
Tabel 4. Angka Kecukupan Mineral yang dianjurkan untuk orang Indonesia
(per orang per hari)

Kelompok umur Kalsium Fosfor Magnesium Natrium Kalium Mangan


(mg) (mg) (mg) (mg) (mg) (mg)
Bayi/Anak
0 – 6 bulan 200 100 30 120 500 -
7 – 11 bulan 250 250 55 200 700 0,6
1-3 tahun 650 500 60 1000 3000 1,2
4-6 tahun 1000 500 95 1200 3800 1,5
7-9 tahun 1000 500 120 1200 4500 1,7
Laki-laki
10-12 tahun 1200 1200 150 1500 4500 1,9
13-15 tahun 1200 1200 200 1500 4700 2,2
16-18 tahun 1200 1200 250 1500 4700 2,3
19-29 tahun 1100 700 350 1500 4700 2,3
30-49 tahun 1000 700 350 1500 4700 2,3
50-64 tahun 1000 700 350 1300 4700 2,3
65-80 tahun 1000 700 350 1200 4700 2,3
80+ tahun 1000 700 350 1200 4700 2,3
Perempuan
10-12 tahun 1200 1200 155 1500 4500 1,6
13-15 tahun 1200 1200 200 1500 4500 1,6
16-18 tahun 1200 1200 220 1500 4700 1,6
19-29 tahun 1100 700 310 1500 4700 1,8
30-49 tahun 1000 700 320 1500 4700 1,8
50-64 tahun 1000 700 320 1300 4700 1,8
65-80 tahun 1000 700 320 1200 4700 1,8
80+ tahun 1000 700 320 1200 4700 1,8
Hamil (+an)
Trimester 1 +200 +0 +40 +0 +0 +0,2
Trimester 2 +200 +0 +40 +0 +0 +0,2
Trimester 3 +200 +0 +40 +0 +0 +0,2
Menyusui (+an)
6 bln pertama +200 +0 +0 +0 +400 +0,8
6 bln kedua +200 +0 +0 +0 +400 +0,8

11
Tabel 5. Angka Kecukupan Mineral yang dianjurkan untuk orang Indonesia
(per orang per hari)

Kelompok umur Tembaga Kromium Besi Iodium Seng Selenium Fluor


(mcg) (mcg) (mg) (mcg) (mg) (mcg) (mg)
Bayi/Anak
0 – 6 bulan 200 - - 90 - 5 -
7 – 11 bulan 220 6 7 120 3 10 0.4
1-3 tahun 340 11 8 120 4 17 0.6
4-6 tahun 440 15 9 120 5 20 0.9
7-9 tahun 570 20 10 120 11 20 1.2
Laki-laki (thn)
10-12 tahun 700 25 13 120 14 20 1.7
13-15 tahun 800 30 19 150 18 30 2.4
16-18 tahun 890 35 15 150 17 30 2.7
19-29 tahun 900 35 13 150 13 30 3.0
30-49 tahun 900 35 13 150 13 30 3.1
50-64 tahun 900 30 13 150 13 30 3.1
65-80 tahun 900 30 13 150 13 30 3.1
80+ tahun 900 30 13 150 13 30 3.1
Perempuan
10-12 tahun 700 21 20 120 13 20 1.9
13-15 tahun 800 22 26 150 16 30 2.4
16-18 tahun 890 24 26 150 14 30 2.5
19-29 tahun 900 25 26 150 10 30 2.5
30-49 tahun 900 25 26 150 10 30 2.7
50-64 tahun 900 20 12 150 10 30 2.7
65-80 tahun 900 20 12 150 10 30 2.7
80+ tahun 900 20 12 150 10 30 2.7
Hamil (+an)
Trimester 1 +100 +5 +0 +70 +2 +5 +0
Trimester 2 +100 +5 +9 +70 +4 +5 +0
Trimester 3 +100 +5 +13 +70 +10 +5 +0
Menyusui (+an)
6 bln pertama +400 +20 +6 +100 +5 +10 +0
6 bln kedua +400 +20 +8 +100 +5 +10 +0

12
Daftar Pustaka

1. Food and Agriculture Organization of the United Nations/World Health Organization


(FAO/WHO). (2001). Human Vitamin and Mineral Requirements. Report of a joint
FAO/WHO Expert Consultation. Food and Nutrition Division. Rome : FAO.
2. Food and Nutrition Research Institute. (2002). Recommended Energy and Nutrient Intakes:
Philipines, 2002 edition. Departmen of Science and Technology.
3. Hardinsyah dan Tambunan, V. (2004). Kecukupan Energi, Protein, Lemak dan Serat Makanan.
Dalam Angka Kecukupan Gizi dan Acuan Label Gizi. Jakarta : LIPI, Deptan, Bappenas,
BPOM, BPS, Menristek, PERGIZI PANGAN, PERSAGI dan PDGMI.
4. Institute of Medicine. Food and Nutrition Board (IOM-FNB). (2011). Dietary Reference Intake
for Calcium and vitamin D. Washington : National Academy Press.
5. Institute of Medicine. (2005). Dietary Reference Intake for Energy, Carbohydrate, Fiber, Fat,
Fatty Acids, Cholesterol, Protein, and Amino Acids. A Report of the Panel on Macronutrients,
Subcommittees on Upper Reference Levels of Nutrients and Interpretation and Uses of Dietary
Reference Intakes, and the Standing Committee on the Scientific Evaluation of Dietary
Reference Intakes. Washington, DC : National Academies Press.
6. Institute of Medicine, Food and Nutrition Board (IOM-FNB). (1997). Dietary Reference
Intakes for Calcium, Phosphorous, Magnesium, Vitamin D and Fluoridaide. Washington, DC :
National Academy Press.
7. Institute of Medicine, Food and Nutrition Board (IOM-FNB). (2000). Dietary Reference
Intakes for Vitamin C, Vitamin E, Selenium, and Carotenoids. National Academy Press.
Washington.
8. Institute of Medicine, Food and Nutrition Board (IOM-FNB). (2001). Dietary Reference
Intakes for Vitamin A, Vitamin K, Arsenic, Boron, Chromium, Copper, Iodine, Iron,
Manganese, Molybdenum, Nickel, Silicon, Vanadium, and Zinc. Washington : National
Academy Press.
9. Institute of Medicine. Food and Nutrition Board (IOM-FNB). (1997). Dietary Reference Intake
for Calcium, Phosphorus, Magnesium. Washington : National Academy Press.
10. MacPhail, P. (2000). Iron. In: Essentials of Human Nutrition (eds. Mann J. and S. Truswell).
New York : Oxford University Press.
11. Muhilal, Jalal dan Hardinsyah. (1998). Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan dalam :
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI. Jakarta : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
12. National Research Council. (1989). Recommended Dietary Allowances. 10th edition. Food and
Nutrition Board. Washington : National Academy Press.
13. Soekatri, M dan Kartono, D. Angka Kecukupan Mineral: Kalsium, Fosfor, Magnesium, Fluor.
Widyakarya Pangan dan Gizi VIII, Jakarta, 17-19 Mei, 2004. Jakarta : LIPI.
14. Food and Nutrition Research Institute. (2002). Recommended Energy and Nutrient Intakes:
Philipines, 2002 edition. Departmen of Science and Technology.
15. Food and Agriculture Organization of the United Nations/World Health Organization
(FAO/WHO). (2001). Human Vitamin and Mineral Requirements. Report of a joint
FAO/WHO Expert Consultation. Food and Nutrition Division. Rome : FAO.
16. Gibson R. (2000). Ultratrace Elements. In: Essentials of Human Nutrition (eds. Mann J. and
S.Truswell). New York : Oxford University Press.
17. Gibson, R. dan E. Ferguson. (1999). An interactive 24-hour recall for assessing the adequacy of
Iron and Zinc Intakes in Developing Countries. Washington, DC: ILSI Press.

13
18. Goulding, A. (2000). Major Minerals: Calcium and Magnesium. In: Essentials of Human
Nutrition (eds. Jim Mann and Stewart Truswell). New York : Oxford University Press.
19. Institute of Medicine, Food and Nutrition Board (IOM-FNB). (1997). Dietary Reference
Intakes for Calcium, Phosphorous, Magnesium, Vitamin D and Fluoridaide. Washington :
National Academy Press.
20. Institute of Medicine, Food and Nutrition Board (IOM-FNB). (2000). Dietary Reference
Intakes for Vitamin C, Vitamin E, Selenium, and Carotenoids. Washington : National
Academy Press.
21. Institute of Medicine, Food and Nutrition Board (IOM-FNB). (2001). Dietary Reference
Intakes for Vitamin A, Vitamin K, Arsenic, Boron, Chromium, Copper, Iodine, Iron,
Manganese, Molybdenum, Nickel, Silicon, Vanadium, and Zinc. Washington : National
Academy Press.
22. Derhyshine, E. 2007. The importance of adequate fluid and fiber intake during pregnancy.
Nursing standard 21: 40 – 43
23. Devlin, Thomas M. 1986. Textbook of Biochemistry With Clinical Correlations. New York:
John Wiley & Sons.
24. Darrow, D.C dan Prat EL., 1950. Fluid Therapy: Relation to tissue composition and
expenditure of water and electrolyte council of Food and Nutrition. J.A.M.A 143:365.
25. Gisolfi CV dan AJ. Ryan., 1996. Gastrointestinal physiology during exercise. In: Buskirk ER
Publish SM ed. Body fluid balance: exercise and sport. CRC press p 19-51
26. Holliday, MA dan Segar W.E., 1957, The maintenance need for water in parenteral fluid
therapy. Pediatrics 19.823-832.
27. Institute of Medicine, Food and National Board. 2005 b.Dietary reference intake for water,
potassium, sodium, chloride and sulfate. Washington DC.The National Academic Press.
28. Jequier E and F. Constant, 2009. Water as an essential nutrient: The physiological basis of
hydration. E,J,of Clin Nutr. 1-9.
29. Kleiner SM. 1999. (Review) Water: An Essential but Overlooked Nutrient. J Am Diet Assoc
Apr 99(4):411.
30. R.J. Lavizzo-Mourey., 1987. Dehidration in the elderly: A short Review. J.of.Nat med ass vol
79:10.
31. Mary Astuti, Zaenal M Sofro, Rahardjo TK, C Wibawati, D. Erawati dan Dito Adi Pratama,
2010. Pengaruh konsumsi minuman elektrolit terhadap keseimbangan cairan tubuh dan
hematologi pada laki-laki yang berpuasa Ramadan.
32. Mien K Mahmud., Hermana. 1990. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Depkes RI.
33. Shannon, Marcia, 2012. Water: The Essential Nutrient yang diakses dari agebb.missouri.edu
pada 18 Juli 2012.
34. Siregar, P. 2012. Kebutuhan Air pada Berbagai Kelompok Usia dan Kondisi tertentu.
Workshop Revitalisasi Zat Gizi Air.
35. Wilson, Fisher, and Fuqua. 1971. Principles of Nutrition. New Delhi: Wiley Eastern Private
Limited.
36. Derhyshine, E. 2007. The importance of adequate fluid and fiber intake during pregnancy.
Nursing standard 21: 40 – 43.

14
MEDIAN BERAT BADAN DAN TINGGI BADAN NORMAL ORANG
INDONESIA
BERDASARKAN DATA RISKESDAS 2007 DAN 2010

Abas Basuni Jahari1


1
Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik
Badan Litbangkes, Kemenkes RI

Jalan Dr. Semeru 63, Bogor 16122


E-mail : abas1952@gmail.com

Abstrak
Angka Kecukupan Gizi digunakan untuk perencanaan penyediaan pangan nasional dan
wilayah, penilaian konsumsi pangan secara secara agregatif di tingkat nasional dan wilayah,
serta penetapan komponen gizi dalam perumusan garis kemiskinan dan upah minimum
dengan penyesuaian pada tingkat aktifitas. Dalam penyusunan AKG tersebut, perhitungan
berat badan dan tinggi badan normal orang Indonesia diperlukan karena sebagian besar
kecukupan zat gizi didasarkan pada umur dan berat badan normal pada umur tersebut. Pada
tahun 2007 dan 2010 Kementerian Kesehatan telah melaksanakan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas). Dalam Riskesdas dikumpulkan data antropometri seluruh anggota keluarga dari
balita sampai lanjut usia. Dengan tersedianya data antropometri seluruh anggota keluarga
dimungkinkan untuk memperoleh angka median berat badan dan tinggi badan orang
Indonesia yang memiliki status gizi baik pada berbagai kelompok umur dan jenis kelamin.
Angka median tinggi badan dan berat badan yang dihitung dimaksudkan untuk meng-
“update” angka median tinggi badan dan berat badan yang digunakan pada penyusunan
Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2004 dan sekaligus digunakan sebagai dasar untuk
perhitungan AKG 2012.

Kata Kunci
median berat badan, median tinggi badan, status gizi baik.

Abstract
The Recommended Dietary Allowance (RDA) is needed for planning the food supply at
national and regional levels, assessing food consumption aggregratively at national and
regional levels as well as determining nutrition component when formulating poverty line or
minimum wages with adaptation to the activity levels. In detemination of RDA, age, normal
body weight and height of Indonesian are needed for calculating nutrient requirements of
Indonesian. In 2007 and 2010, Ministry of Health did research in basic health survey
(Riskesdas). One of the information gained is anthropometry for all family members from
infants to elderly.The availability of anthropometry data of all household members, enable
Indonesia to have data on weight and height median of Indonesian who had a normal nutrition
status at all ages and sexes based on WHO 2006 and 2007 growth standard. These current
calculated weight and height median are addressed to update the previous median weight and
height medians used for RDA 2004, and to be used as a basic calculation to produce the RDA
2012.

Keywords
weight median, height median, normal nutrition status .

15
I. PENDAHULUAN

Penyusunan Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk sebagian besar zat gizi didasarkan
pada umur dan berat badan normal pada umur tersebut. Oleh karena itu diperlukan data rata-
rata berat badan normal orang Indonesia pada berbagai kelompok umur dan jenis kelamin
disertai dengan tinggi badannya. Pada tahun 2007 dan 2010 Kementerian Kesehatan telah
melaksanakan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Dalam Riskesdas dikumpulkan data
antropometri seluruh anggota keluarga dari balita sampai lanjut usia. Dengan tersedianya data
antropometri seluruh anggota keluarga dimungkinkan untuk memperoleh angka rata-rata berat
badan orang Indonesia pada berbagai kelompok umur dan jenis kelamin yang memiliki status
gizi baik. Angka rata-rata berat badan yang dihitung ini adalah untuk memperbarui angka
rata-rata yang digunakan pada penyusunan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2004 yang
sekaligus digunakan sebagai dasar untuk perhitungan Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun
2012.

II. TUJUAN

Tujuan Umum:
Memperoleh angka rata-rata berat badan dan tinggi badan normal orang Indonesia
berdasarkan data mutakhir untuk perumusan AKG 2012.
Tujuan khusus:
1. Memperoleh gambaran tentang perubahan pencapaian berat badan dan tinggi badan
normal dari tahun 2007 ke tahun 2010
2. Memperoleh rata-rata berat badan dan tinggi badan dari berbagai umur dan jenis
kelamin yang berstatus gizi normal.
3. Memperoleh gambaran tentang posisi rata-rata berat badan dan tinggi badan normal
terhadap baku pertumbuhan WHO.

III. BAHAN DAN METODE

Data yang digunakan untuk perhitungan rata-rata berat badan dan tinggi badan normal
orang Indonesia adalah data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 dan 2010 yang
dikumpulkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan
RI. Data yang diolah meliputi umur, jenis kelamin, berat badan (BB), panjang badan (PB)
untuk anak berumur di bawah 2 tahun dan tinggi badan (TB) untuk yang berumur 2 tahun ke
atas.

A. Perhitungan Nilai Median Tinggi Badan (TB) dan Berat Badan (BB)

Nilai median TB dan BB yang dihitung berdasarkan gabungan data Riskesdas 2007
dan 2010 dan berdasarkan baku WHO 2006 dan 2007, yaitu:
Nilai median TB dan BB dihitung berdasarkan beberapa kondisi sebagai berikut:
1. Untuk kelompok umur 0-10 tahun perhitungan median TB/U dan BB/U didasarkan pada
median baku TB/U dan baku BB/U WHO 2006 dan 2007.
a) Median TB dan BB baku WHO 2006 dan 2007 menurut umur (bulan)
digabungkan.

16
b) Umur dikelompokkan sesuai pengelompokan untuk Angka Kecukupan Gizi
(AKG) .
c) Kemudian dihitung median TB dan median BB sesuai kelompok umur.

2. Untuk penduduk berumur 11-19 tahun dihitung median TB/U dan median IMT
berdasarkan baku WHO 2007. Pada baku WHO 2007 tidak tersedia baku BB/U, sehingga
nilai BB untuk kelompok ini dihitung berdasarkan angka median TB/U dan IMT/U
dengan rumus: BB = Median IMT x (Median TB/100)2.
Perhitungan nilai median didasarkan pada pertumbuhan normal yang dapat dicapai anak
Indonesia saat ini, yaitu nilai median TB/U dan IMT/U yang berada dalam batas normal
WHO 2007 antara Z-Score -1 SD sampai +1 SD. Kemudian nilai BB dihasilkan melalui
perhitungan berdasarkan angka median TB/U dan median IMT/U tersebut dengan rumus:
BB = Median IMT x (Median TB/100)2
3. Untuk penduduk berumur 19 tahun ke atas dipakai median pencapaian TB anak umur 19
tahun pada baku WHO 2007, kemudian median BB dihitung berdasarkan nilai nilai IMT
yang berada pada rentang normal untuk orang dewasa yang digunakan oleh Direktorat
Gizi, Kementrian Kesehatan, yaitu antara 18,5 sampai 24,9. Rumus yang digunakan
untuk menghitung nilai BB sama dengan sebelumnya, yaitu: BB = IMT x (Median
TB/100)2. Selengkapnya dapat dilihat pada bagian IV (HASIL).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Median Tinggi Badan dan Berat Badan Balita

Perhitungan nilai media tinggi badan menurut umur (TB/U) untuk balita tidak
dibedakan menurut jenis kelamin sesuai dengan kebutuhan untuk perumusan Angka
Kecukupan Gizi (AKG). Gambar 1 menunjukkan posisi median TB/U balita hasil Riskesdas
2007-2010 dan median TB/U baku WHO 2006. Median TB/U balita hasil Riskedas dihitung
dari balita yang memiliki status TB/U normal menurut baku WHO 2006, yaitu yang berada
pada rentang Z_Score TB/U antara -1 SD sampai +1 SD (selanjutnya disebut rentang sempit)
dan yang berada pada rentang Z_Score antara -2 SD sampai +2 SD (selanjutnya disebut
rentang lebar). Gambar 1 menunjukkan bahwa nilai median TB/U balita pada rentang sempit
dan rentang lebar sudah mendekati nilai median baku TB/U WHO 2006. Berdasarkan grafik
pencapaian pertumbuhan ini, maka ditetapkan nilai median TB/U untuk kelompok umur balita
dihitung berdasarkan nilai median TB/U dari baku WHO 2006.

Cara perhitungan median berat badan menurut umur (BB/U) balita sama dengan cara
untuk perhitungan median TB/U balita. Hasil perhitungan nilai median BB/U balita dari
Riskesdas 2007-2010 yang berstatus normal menurut baku BB/U WHO 2006 pada rentang
sempit dan rentang lebar sudah mendekati nilai median BB/U WHO 2006, terutama nilai
median yang berada pada rentang sempit. Berdasarkan hal tersebut maka perhitungan median
BB/U untuk setiap kelompok umur sesuai AKG didasarkan pada nilai median baku BB/U
WHO 2006.

17
120 20,0

18,0
100
16,0

14,0
80
Tinggi Badan (cm)

Berat Badan (kg)


12,0

60 10,0

8,0
40
6,0

4,0
20

2,0

0 0,0
0 3 6 9 12151821242730333639424548515457 0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 48 51 54 57
Umur (Bulan) Umur (Bulan)
-1SD s/d +1SD -2SD s/d +2SD -1SD s/d +1SD -2SD s/d +2SD
Baku WHO Baku WHO

Gambar 1. Median Tinggi Badan dan Berat Badan balita dari Riskesdas
2007,2010 dan Median Baku WHO 2006

B. Median Tinggi Badan dan Berat Badan Anak Umur 5-9 Tahun

140 40

35
130

30

120
Tinggi Badan (cm)

Berat Badan (kg)

25

110 20

15
100

10

90
5

80 0
5 6 7 8 9 5 6 7 8 9
Umur (Tahun) Umur (Tahun)

-1SD s/d +1SD -2SD s/d +2SD -1SD s/d +1SD -2SD s/d +2SD
Baku WHO Baku WHO

Gambar 2. Median Tinggi Badan dan Berat Badan Anak Umur 5-9 Tahun dari
Riskesdas 2007-2010 dan Median Baku WHO 2007

18
Cara perhitungan median TB/U dan median BB/U untuk anak umur 5-9 tahun sama
dengan cara yang digunakan untuk balita. Posisi nilai median TB/U dan BB/U, terutama yang
berada dalam rentang sempit sudah mendekati nilai median TB/U maupun nilai median
BB/U dari baku WHO 2007. Berdasarkan hal tersebut maka perhitungan median BB/U untuk
setiap kelompok umur sesuai AKG didasarkan pada nilai median baku TB/U dan median
baku BB/U WHO 2007

Tabel 1 berikut menyajikan nilai median TB dan BB untuk anak balita dan anak umur
5-9 tahun yang dikelompokan menurut kelompok umur untuk penyusunan Angka Kecukupan
Gizi (AKG)

Tabel 1.Nilai Median Tinggi Badan dan Berat Badan Anak Umur 0-9 Tahun
dan Perbandingannya dengan AKG 2004

AKG 2012 AKG 2004


Kelompok Umur
Tinggi Badan Berat Badan Tinggi Badan Berat Badan
(cm) (kg) (cm) (kg)
0-6 bulan 61 6 60 6
7-11 bulan 71 9 71 9
1-3 tahun 91 13 90 12
4-6 tahun 112 19 110 18
7-9 tahun 130 27 120 25

C. Median Tinggi Badan dan Berat Badan Anak Umur 10-19 Tahun

Perlu diketahui bahwa untuk anak umur >10 tahun tidak tersedia baku BB/U dari
WHO. Baku yang tersedia bagi kelompok umur ini adalah baku TB/U dan Indeks Massa
Tubuh menurut Umur (IMT/U) WHO 2007. Sesuai dengan pengelompokan umur untuk
penyusunan AKG, maka pada kelompok umur ini dibedakan menurut jenis kelamin.

Pada Gambar 3, posisi nilai median TB/U anak Indonesia pada status normal menurut
baku WHO 2007, baik pada rentang sempit dan rentang lebar masih berada di bawah median
baku TB/U WHO 2007. Nilai median TB/U pada rentang sempit memiliki posisi yang lebih
dekat kearah median baku TB/U WHO 2007. Berdasarkan hal ini maka perhitungan nilai
median TB/U untuk penyusunan AKG dilakukan dengan menggunakan pertumbuhan optimal
yang dapat dicapai anak Indonesia yaitu nilai median TB/U yang berada pada rentang sempit.

19
180 180

170 170

160 160

150 150
Tinggi Badan (cm)

Tinggi Badan (cm)


140 140

130 130

120 120

110 110
Laki-laki Perempuan
100 100

90 90

80 80
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Umur (Tahun) Umur (Tahun)

-1SD s/d +1SD -2SD s/d +2SD Baku WHO -1SD s/d +1SD -2SD s/d +2SD
Baku WHO

Gambar 3.Median Tinggi Badan Anak Umur 10-19 Tahun Dari Riskesdas 2007-2010
Dan Median Baku WHO 2007

Karena baku BB/U tidak tersedia, maka nilai median berat badan dihitung berdasarkan nilai
normal median IMT/U dan TB/U dengan rumus: BB = median IMT/U x (TB/100)2.

Tabel 2.Nilai Berat Badan anak umur 10-18 Tahun yang dihitung berdasarkan
Nilai Median TB/U dan Nilai Median IMT/U

Kelompok Umur Median TB/U(cm) Median IMT/U Berat Badan (kg)


(Tahun)
Laki-laki
10-12 tahun 142 16,9 34
13-15 tahun 158 18,8 46
16-18 tahun 165 20,5 56
Perempuan
10-12 tahun 145 17,4 36
13-15 tahun 155 19,3 46
16-18 tahun 158 20,2 50

20
Tabel 3.Nilai Median Tinggi Badan dan Berat Badan Anak Umur 10-18 Tahun
dan Perbandingannya dengan AKG 2004

AKG 2012 AKG 2004


Kelompok Umur
Tinggi Badan Berat Badan Tinggi Badan Berat Badan
(cm) (kg) (cm) (kg)
Laki-laki
10-12 tahun 142 34 138 35
13-15 tahun 158 46 155 48
16-18 tahun 165 56 160 55
Perempuan
10-12 tahun 145 36 145 38
13-15 tahun 155 46 152 49
16-18 tahun 158 50 155 50

Tabel 3 di atas menyajikan nilai median TB dan BB untuk umur 10-18 tahun menurut
jenis kelamin dan kelompok umur sesuai dengan untuk penyusunan AKG dan
perbadingannya dengan nilai median TB dan BB yang digunakan pada penyusunan AKG
2004.

D. Median Tinggi Badan dan Berat Badan Dewasa umur di atas atau sama dengan 20
Tahun

Untuk dewasa umur 20 tahun ke atas tidak tersedia baku WHO baik untuk TB/U,
BB/U maupun IMT/U. Oleh karena itu perhitungan nilai median TB/U dan BB/U didasarkan
pada nilai sampel Riskesdas 2007-2010 dengan menggunakan batas normal anak umur 19
tahun yang pertumbuhannya mendekati berakhir. Untuk dewasa laki-laki digunakan rentang
sempit dengan batas TB antara 169 cm sampai 184 cm, sedangkan untuk rentang lebar dengan
batas antara 162 cm sampai 191 cm.

Untuk dewasa perempuan digunakan rentang sempit dengan batas TB antara 157 cm
sampai 170 cm, sedangkan untuk rentang lebar dengan batas antara 150 cm sampai 176 cm.
Hasil perhitungan nilai median TB/U disajikan pada Gambar 4. Nilai median TB yang
digunakan adalah nilai yang terletak antara median rentang lebar dan nilai median rentang
sempit, dan dengan mempertimbangkan terjadinya kenaikan tinggi badan sebesar sekitar 3 cm
selama kurun waktu 10 tahun terakhir.

Untuk perhitungan nilai berat badan pada kelompok umur dewasa digunakan nilai
median IMT yang berada pada rentang normal menurut baku yang dipublikasi oleh Direktorat
Gizi, Kementerian Kesehatan RI, yaitu antara batas 18,5 sampai 24,9. Penyesuaian nilai IMT
dilakukan agar tidak mendekati batas bawah (batas kurus) atau batas atas (batas kelebihan
berat badan).

21
180 170

175 165

170 160
Tinggi Badan (cm)

Tinggi Badan (cm)


165 155

160 150

155 Laki-laki 145 Perempuan

150 140

20
24
28
32
36
40
44
48
52
56
60
64
68
72
76
80
84
20
24
28
32
36
40
44
48
52
56
60
64
68
72
76
80
84

Umur (tahun) Umur (Tahun)

-2SD s/d +2SD -1SD s/d +1SD -2SD s/d +2SD -1SD s/d +1SD
Rata-rata Rata-rata

Gambar 4. Median Tinggi Badan Dewasa Umur >=20 Tahun Dari Riskesdas 2007-2010

Tabel 4.Nilai Berat Badan anak umur >=19 tahun yang dihitung Berdasarkan
Nilai Median TB/U dan Nilai Median IMT/U

Median Median Berat Badan


Kelompok Umur (Tahun)
TB/U(cm) IMT/U (kg)
Laki-laki
19-29 tahun 168 21,5 60
30-49 tahun 168 22,0 62
50-64 tahun 168 22,0 62
65-79 tahun 168 21,5 60
>=80 tahun 168 21,0 58
Perempuan
19-29 tahun 159 21,5 54
30-49 tahun 159 22,0 55
50-64 tahun 159 22,0 55
65-79 tahun 159 21,5 54
>=80 tahun 159 21,0 53

Hasil perhitungan nilai median TB dan BB untuk kelopok umur 20 tahun ke atas
sesuai dengan pengelompokan umur untuk penyusunan AKG disajikan pada Tabel 5 berikut.
Nilai median TB dan BB hasil perhitungan dengan menggunakan data Riskesdas 2007-2010
disandingkan dengan nilai median TB dan BB yang digunakan pada penyusunan AKG 2004.

22
Tabel 5.Nilai Median Tinggi Badan dan Berat Badan dewasa Umur >=20 Tahun
dan Perbandingannya dengan AKG 2004

AKG 2012 AKG 2004


Kelompok Umur
Tinggi Badan Berat Badan Tinggi Badan Berat Badan
(cm) (kg) (cm) (kg)
Laki-laki
19-29 tahun 168 60 165 60
30-49 tahun 168 62 165 62
50-64 tahun 168 62 165 62
65-79 tahun 168 60 165 62
>=80 tahun 168 58 - -
Perempuan
19-29 tahun 159 54 156 52
30-49 tahun 159 55 156 55
50-64 tahun 159 55 156 55
65-79 tahun 159 54 156 55
>=80 tahun 159 53 - -

E. Tabel Median TB dan BB Untuk Penyusunan AKG 2012

Tabel 6 di bawah ini merupakan ringkasan hasil perhitungan median TB dan median
BB dari berbagai kelompok umur untuk keperluan penyusunan Angka Kecukupan Gizi 2012.
Berbeda dengan AKG 2004, maka pada penyusunan AKG 2012 kelompok umur >=65 tahun
dibagi dua menjadi 65-79 tahun dan >=80 tahun dengan pertimbangan bahwa Umur Harapan
Hidup (UHH) orang Indonesia meningkat terus dari 54 tahun pada tahun 1980, 70 tahun pada
tahun 2008 dan 71 tahun pada tahun 2011. Dengan demikian kemungkinan jumlah orang
lanjut usia di Indonesia akan menjadi lebih banyak.

23
Tabel 6. Nilai median Tinggi Badan dan Berat Badan Menurut Kelompok
Umur Untuk Penyusunan AKG 2012

AKG 2012
Kelompok Umur
Tinggi Badan (cm) Berat Badan (kg)

0-6 bulan 61 6
7=-11 bulan 71 9
1-3 tahun 91 13
4-6 tahun 112 19
7-9 tahun 130 27
Laki-laki
10-12 tahun 142 34
13-15 tahun 158 46
16-18 tahun 165 56
19-29 tahun 168 60
30-49 tahun 168 62
50-64 tahun 168 62
65-79 tahun 168 60
>=80 tahun 168 58
Perempuan
10-12 tahun 145 36
13-15 tahun 155 46
16-18 tahun 158 50
19-29 tahun 159 54
30-49 tahun 159 55
50-64 tahun 159 55
65-79 tahun 159 54
>=80 tahun 159 53

V. KESIMPULAN

Telah diperoleh tabel nilai median tinggi badan dan berat badan orang Indonesia
menurut kelompok umur dan jenis kelamin untuk digunakan sebagai dasar penyusunan AKG
2012.
Nilai median tinggi badan dan berat badan pada umur 0-18 tahun hasil perhitungan
berdasarkan Riskesdas 2007-2010 secara umum lebih tinggi dari median TB dab BB yang
digunakan untuk penyusunan AKG 2004.

24
Daftar Pustaka

1. Direktorat Gizi Masyarakat. (2003). Penilaian Status Gizi. Jakarta : Direktorat Gizi
Masyarakat.
2. World Health Organization. (2006). WHO Child Growth Standard: Methods and
Development: length/height for age, weight for age, weight for length, weight for height, and
body mass index for age. Geneva : World Health Organization,
3. World Health Organization. (2007). Development of WHO Growth Reference for School-aged
Children and Adolescents. Bulletin of World Health Organization. 85 : 660-7.

25
KECUKUPAN ENERGI, PROTEIN, LEMAK DAN KARBOHIDRAT
Hardinsyah1, Hadi Riyadi1 dan Victor Tambunan2
1
Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB
2
Departemen Gizi, FK UI
Jalan Lingkar Akademik, FEMA-IPB, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680
E-mail : hardinsyah2010@gmail.com

Abstrak

Angka kecukupan gizi (AKG) berguna sebagai patokan dalam penilaian dan
perencanaan konsumsi pangan, serta basis dalam perumusan acuan label gizi. AKG
mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan Iptek gizi dan ukuran antropometri
penduduk. Setelah sekitar sepuluh tahun ditetapkan angka kecukupan energi (AKE) dan
kecukupan protein (AKP) bagi penduduk Indonesia, kini saatnya ditinjau ulang dan
disempurnakan. Kajian ini bertujuan merumuskan angka kecukupan energi (AKE),
kecukupan protein (AKP), kecukupan lemak (AKL), kecukupan karbohidrat (AKK) dan serat
makanan (AKS) penduduk Indonesia. Data berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) yg
digunakan dalam perhitungan AKE dan AKP didasarkan pada median berat badan dan tinggi
badan normal penduduk Indonesia menurut kelompok umur dan jenis kelamin berdasarkan
data Riskesdas 2010 terhadap standar WHO. Secara umum perhitungan AKE pada anak dan
dewasa didasarkan pada model persamaan estimasi energi IOM 2005 (MPEI). MPEI pada
anak mempertimbangkan faktor RBNPI, umur, energi pertumbuhan dan energi cadangan.
MPEI pada remaja dan dewasa mempertimbangkan faktor RBNPI, umur, energi cadangan dan
aktifitas fisik. Perhitungan AKP bagi anak dan dewasa didasarkan pada kecukupan protein
pada setiap kelompok umur dan jenis kelamin anjuran IOM (2005) dan WHO (2007) serta
faktor koreksi mutu protein. Perhitungan AKL didasarkan pada anjuran sebaran persentase
energi dari lemak (Aceptable Macronutrient Distribution Range – AMDR) dan kebutuhan
asam lemak esensial bagi setiap kelompok umur dan jenis kelamin yang dianjurkan IOM
(2005) dan FAO/WHO (2008). Perhitungan tambahan AKE, AKP, AKL bagi ibu menyusui
didasarkan pada tambahan kecukupan gizi ini untuk produksi ASI dikoreksi penurunan berat
badan setelah melahirkan. Perhitungan tambahan AKE, AKP, AKL bagi ibu hamil
didasarkan pada tambahan kecukupan zat gizi ini bagi pertumbuhan perkembangan janin dan
organ tubuh ibu, peningkatan cairan tubuh, dan cadangan. Perhitungan AKL didasarkan pada
IOM (2005) dan FAO/WHO (2008) serta distribusi persentase energi gizi makro. Angka
kecukupan serat pangan (AKS) bagi anak, remaja dan dewasa adalah 14 g serat pangan per
1000 kkal kecukupan energi (IOM 2005). Hasil kajian menunjukkan kisaran distribusi energi
gizi makro dari pola konsumsi penduduk Indonesia berdasarkan analisis data Riskesdas 2010
adalah 9-14% energi protein, 24-36% energi lemak, dan 54-63% energi karbohidrat yang
belum sebaik yang diharapkan, yaitu 5-15% energi protein, 25-55% energi lemak, dan 40-
60% energi karbohidrat tergantung usia atau tahap tumbuh kembang. Pada makalah ini
disajikan AKE, AKP, AKL, AKK dan AKS untuk setiap kelompok umur dan jenis kelamin
bagi penduduk Indonesia. AKP yang dihasilkan dari data klinis (keseimbangan nitrogen) jauh
lebih rendah dibandingkan cara anjuran kisaran sebaran persentase energi dari gizi makro
(AMDR). Secara umum AKE dan AKP bagi penduduk Indonesia saat ini (WNPG 2012)
sedikit lebih tinggi dibanding AKE dan AKP 2004 (WNPG 2004). Dengan menggunakan
hasil perhitungan AKE dan AKP pada setiap kelompok umur dan jenis kelamin, serta
komposisi penduduk hasil Sensus Penduduk 2010, diperoleh rata-rata AKE dan AKP nasional

26
pada tingkat konsumsi masing-masing adalah 2150 kkal dan 57 g perkapita per hari dengan
proporsi anjuran protein hewani 25%. Sementara AKE dan AKP pada tingkat ketersediaan
adalah 2400 kkal dan 63 g per kapita per hari. Penggunaan angka-angka kecukupan gizi ini
berguna sebagai dasar perencanaan konsumsi pangan kelompok orang atau wilayah untuk
mencapai status gizi dan kesehatan yang optimal, akan tetapi tidak dimaksudkan untuk
penilaian atau penelitian tingkat asupan zat gizi pada individu.

Kata kunci
Kecukupan energi, kecukupan protein, kecukupan lemak, kecukupan karbohidrat

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penelitian dan ilmu Pengetahuan (Iptek) gizi berkembang pesat, termasuk di bidang
kebutuhan gizi. Angka kecukupan energi (AKE) dan kecukupan protein (AKP) bagi
penduduk Indonesia ditetapkan sekitar satu dekade lalu. Semenjak itu telah banyak
perkembangan penelitian dan Ipteks gizi yang terjadi. Bila pada Widyakarya Nasional Pangan
dan Gizi (WNPG) VI (1998) penetapan AKE mengunakan model persamaan Schofield yang
terbukti belakangan overestimated, makapada WNPG VIII (2004) penetapan AKE
menggunakan model persamaan Oxford atau Institute of Medicine (IOM) (2002). Akan tetapi
tetapi model yang digunakan pada WNPG 2004 belum mencakup kelompok umur anak dan
remaja.

Kemudian pada tahun 2005, (IOM, 2005) menghasilkan model persamaan IOM (2005)
dari data (subyek) yang lebih banyak, menggunakan pengukuran energi basal yang lebih
akurat – menggunakan metode doubly labeled water, dan mencakup model persamaan yang
komprehensif bagi anak, remaja, dewasa, ibu hamil dan ibu menyusui. Perkembangan Iptek
lainnya juga ditandai dengan penetapan kebutuhan protein, lemak, karbohidrat dan serat
makanan oleh IOM (2005) dan kajian dan penetapan kebutuhan lemak dan asam lemak oleh
FAO (2010). Juga untuk pertama kalinya Indonesia melalui Riskesdas (2010) memiliki data
berat dan tinggi badan serta konsumsi pangan yang mencakup semua kelompok umur. Hal ini
menjadi salah satu fondasi dalam penyempurnaan penetapan AKE, AKP, Angka Kecukupan
Lemak (AKL) dan Angka Kecukupan Karbohidrat (AKK), termasuk serat.

Dilain pihak, kebijakan nasional tentang penanggulangan penyakit tidak menular yang
berkaitan erat dengan faktor gizi dan gaya hidup juga semakin menguat. Penyempurnaan
AKG diharapkan bisa member andil bagi perbaikan masalah gizi yang berkaitan dengan
faktor risiko kejadian penyakit tidak menular. Komitmen pada penyusunan AKG yang lalu
untuk turut melakukan harmonisasi AKG diantara negara anggota ASEAN juga tetap
diperhatikan, yaitu tentang definisi, kegunaan, cakupan zat gizi, pengelompokan umur, basis
perhitungan AKG dari dokumen FAO/WHO dan IOM terkini dengan penyesuaian terhadap
hasil kajian di Indonesia yang relevan dan mutakhir.

Selama sekitar sepuluh tahun terakhir telah terakumulasi berbagai kajian dan publikasi
mutakhir tentang kecukupan gizi, yang pada umumnya berasal dari negara-negara maju.
Mempertimbangkan hal tersebut, dipandang perlu untuk melakukan penyempurnaan AKE dan
AKP serta merumuskan AKL dan AKK bagi setiap kelompok umur dan jenis kelamin bagi

27
penduduk Indonesia. Metode perumusan AKG Indonesia perlu terus disempurnakan dengan
mengkaji temuan-temuan dan kesepakatan-kesepakatan tentang AKG pada tingkat
internasional dan regional dengan melibatkan berbagai pakar di bidangnya serta stakeholders.
Tulisan ini dimaksudkan untuk merumuskan angka kecukupan energi (AKE), protein (AKP),
lemak (AKL) dan karbohidrat (AKK) termasuk serat pangan (dietary fiber) bagi penduduk
Indonesia melalui forum WNPG X.

B. Istilah

Istilah yang dipakai bagi angka kecukupan gizi berbeda-beda antar negara. Indonesia
menggunakan istilah Angka Kecukupan Gizi (AKG) sebagai terjemahan dari RDA
(recommended dietary allowance). Filipina menggunakan istilah Recommended Energy and
Nutrient Intakes (RENI). Di Amerika Serikat mulai tahun 1997 (IOM, 1997) menggunakan
istilah Dietary Reference Intake (DRI). DRI terdiri dari empat komponen, yaitu 1)
kecukupan gizi rata-rata (Estimated Average Requirement, EAR), 2) Konsumsi gizi yang
dianjurkan (Recommended Dietary Allowance, RDA), 3) Kecukupan asupan gizi (Adequate
Intake, AI) dan 4) Batas Atas yang diperbolehkan (Tolerable Upper Intake Level, UL).

AI suatu zat gizi merupakan angka yang menggambarkan kecukupan gizi berdasarkan
asupan gizi orang yang sehat. AI digunakan bila belum cukup kajian kecukupan zat gizi
tertentu pada populasi tertentu.

Batas Atas (Tolerable Upper Level Intake), adalah nilai rata-rata tertinggi asupan gizi
harian yang tidak menimbulkan risiko gangguan kesehatan (adverse health effects) bagi
hampir semua orang secara umum. Bila asupan lebih besar dari Batas Atas maka potensi
mengalami gangguan kesehatan mungkin meningkat.

Berat Badan Sehat adalah nilai rata-rata berat badan dari sekelompok orang yang
memiliki status gizi yang normal. Pada anak balita status gizi dengan z-skor BB/U antara +1
sampai -1. Pada kelompok usia lainnya bila nilai IMT atau IMT/U berada diantara 20.25
sampai 23.25

DRI – Dietary Reference Intake adalah patokan untuk menentukan kecukupan gizi
seseorang untuk hidup sehat

Energi Basal adalah energi yang diperlukan tubuh dalam kondisi tubuh istirahat total
(tidak ada aktifitas fisik). Biasanya diukur saat berbaring pagi hari yang dipuasakan
sebelumnya.

Energi Aktifitas adalah pengeluaran energi oleh tubuh untuk melakukan kegiatan,
yang dinyatakan dalam satuan Kal/kg BB/menit atau KJ/kg BB/menit

EAR (Estimated Average Requirement) merupakan rata-rata kecukupan zat gizi yang
diperoleh dari nilai rata-rata kecukupan gizi berdasarkan hasil penelitian terhadap sejumlah
orang yang dianggap sehat. Rata-rata kecukupan zat gizi ini bila diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari mencukupi kecukupan 50% populasi sehat.

28
RDA (Recommended Dietary Allowance) adalah angka kecukupan gizi yang bila
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari akan memenuhi kecukupan gizi 97,5% populasi sehat
(IOM, 1997).

Kategori Aktifitas Fisik (Physical Activity – PA) adalah pengkategorian aktifitas fisik
seseorang menjadi kategori sangat ringan, ringan, aktif, dan sangat aktif, berdasarkan
kategori IOM (2005).

Umur adalah usia kronologis seseorang yang dinyatakan dalam satuan bulan bagi bayi
(< 12 bulan) dan dalam satuan tahun bagi anak dan dewasa (>= 1 tahun). Bayi berumur 5
bulan artinya bayi berumur 5 bulan sampai menjelang umur 6 bulan (umur 5 bulan 0 hari
sampai – 5 bulan 30 hari). Umur 12 tahun berarti umur 12 tahun sampai menjelang ulang
tahun ke-13.

II. KECUKUPAN ENERGI

A. Fungsi dan Pangan Sumber

Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Energi
berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan, pengaturan suhu dan kegiatan
fisik. Kelebihan energi disimpan dalam bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka
pendek dan dalam bentuk lemak sebagai cadangan jangka panjang (IOM, 2002).

Pangan sumber energi adalah pangan sumber lemak, karbohidrat dan protein. Pangan
sumber energi yang kaya lemak antara lain lemak/gajih dan minyak, buah berlemak (alpokat),
biji berminyak (biji wijen, bunga matahari dan kemiri), santan, coklat, kacang-kacangan
dengan kadar air rendah (kacang tanah dan kacang kedele), dan aneka pangan produk
turunannya. Pangan sumber energi yang kaya karbohidrat antara lain beras, jagung, oat,
serealia lainnya, umbi-umbian, tepung, gula, madu, buah dengan kadar air rendah (pisang,
kurma dan lain lain) dan aneka produk turunannya. Pangan sumber energi yang kaya protein
antara lain daging, ikan, telur, susu dan aneka produk turunannya.

B. Faktor yang Mempengaruhi dan Dasar Penetapan Energi

Berbagai faktor yang mempengaruhi kecukupan energi adalah berat badan, tinggi
badan, pertumbuhan dan perkembangan (usia), jenis kelamin, energi cadangan bagi anak dan
remaja, serta thermic effect of food (TEF). TEF adalah peningkatan pengeluaran energi
karena asupan pangan yang nilainya 5-10% dari Total Energy Expenditure (TEE) (Mahan &
Escoot-stump 2008). Angka 5% digunakan bagi anak-anak yang tekstur makanannya lembut
dan minum ASI/susu (umur <3 tahun) ; dan 10% pada usia selanjutnya.

Perhitungan kecukupan energi yang terkini didasarkan model persamaan IOM (2005)
dari meta analisis tim pakar (IOM 2002). Model ini diperoleh dari data enersi basal (EB)
yang diukur dengan metode doubly labeled water yang lebih valid dibanding model
sebelumnya. Kecukupan energi pada anak berbeda dengan kelompok usia lainnya. Rumus
perhitungan kecukupan energi pada anak usia 0-8 tahun disajikan pada Tabel 1, untuk remaja
pada Tabel 2, untuk dewasa (laki laki dan perempuan serta perempuan hamil) pada Tabel 3,
dan untuk lansia pada Tabel 8. Kecukupan energi sejak usia empat tahun dikoreksi dengan

29
faktor kategori aktifitas fisik (PA). Pada kelompok usia lanjut (Lansia) hasil perhitungan AKE
dari persamaan Henry (2005) perlu dikoreksi karena jumlah subyek yang kecil dan
overestimasi berdasarkan hasil kajian Krems et al (2005), yaitu overestimasi 9% pada lansia
laki-laki dan 11% pada lansia perempuan mulai usia 65 tahun. Pada lansia juga dilakukan
koreksi penurunan kebutuhan energi dengan bertambahnya umur yaitu 5% pada usia 50-64
tahun, 7.5 % pada usia 65-79 tahun, dan 10% pada usia >=80 tahun sebagai akibat penurunan
jumlah sel-sel otot, dan beragam kompleks penurunan fungsi organ.

Nilai PA pada anak sebelum usia sekolah (umur <3 tahun) dan pada usia lanjut (>=80
tahun) diasumsikan sangat ringan; sedangkan nilai PA pada usia lainnya diasumsikan pada
kategori ringan, yang sejalan dengan hasil Riskesdas (2007) bahwa sebagain besar penduduk
remaja dan dewasa Indonesia melakukan aktifitas fisik pada kategori ringan. Artinya bagi
anak usia sekolah, remaja dan dewasa yang memilki aktifitas aktif dan sangat aktif akan
membutuhkan energi lebih banyak lagi.

Tabel 1 Model persamaan estimasi kecukupan energi anak 0-9 tahun

Kecukupan Energi
Model persamaan
(kkal)
Anak 0-2 tahun TEE + 0,05TEE
0-3 bulan
TEE = [89 x BB (kg) – 100] + 175 kkal
4-6 bulan
TEE = [89 x BB (kg) – 100] + 56 kkal
7-12 bulan
TEE = [89 x BB (kg) – 100] + 22 kkal
13-35 bulan
TEE = [89 x BB (kg) – 100] + 20 kkal

Anak Laki laki 3-9 tahun TEE + 0,1TEE


TEE = [88,5 – (61,9xU) + PA x (26,7xBB+903xTB)] + 20 kkal
Keterangan :
PA = 1,0 (sangat ringan) PA = 1,26 (aktif)
PA = 1,13 (ringan) PA = 1,42 (sangat aktif)

Anak Perempuan 3-9 tahun TEE + 0,1TEE


TEE = [135,3 – (30,8xU) + PA x (10xBB+934xTB)] + 20 kkal
Keterangan :
PA = 1,0 (sangat ringan) PA = 1,31 (aktif)
PA = 1,16 (ringan) PA = 1,56 (sangat aktif)

Sumber : IOM (2005)


Keterangan :
U = umur (tahun), BB = berat badan (kg), TB = tinggi badan (m)
TEE = Total Energy Expenditure - total pengeluaran energi, (kkal)
PA = koefisien aktivitas fisik

30
Tabel 2 Model Persamaan estimasi kecukupan energi remaja 10-18 tahun

Kecukupan Energi
Model persamaan
(kkal)
Laki laki 10-18 tahun dengan status gizi normal TEE + 0,1TEE
TEE = [88,5 – (61,9xU) + PA x (26,7xBB+ 903xTB)]+ 25 kkal
Keterangan :
PA = 1,0 (sangat ringan) PA = 1,26 (aktif)
PA = 1,13 (ringan) PA = 1,42 (sangat aktif)

Perempuan 10-18 tahun dengan status gizi normal TEE + 0,1TEE


TEE = [135,3 – (30,8xU) + PA x (10xBB + 934xTB)]+ 25 kkal
Keterangan :
PA = 1,0 (sangat ringan) PA = 1,31 (aktif)
PA = 1,16 (ringan) PA = 1,56 (sangat aktif)

Sumber : IOM (2005)


Keterangan :
U = Umur (tahun), BB = Berat badan (kg), TB = Tinggi badan (m)
TEE = Total Energy Expenditure - total pengeluaran energi, (kkal)
PA = koefisien aktivitas fisik

Tabel 3 Model persamaan estimasi kecukupan energi dewasa 19-64 tahun

Kecukupan Energi
Model persamaan
(kkal)
Laki laki 19-55 dengan status gizi normal TEE + 0,1TEE
TEE = 662 – (9,53xU) + PA x (15,91xBB+ 539,6xTB)
Keterangan :
PA = 1,0 (sangat ringan) PA = 1,25 (aktif)
PA = 1,11 (ringan) PA = 1,48 (sangat aktif)

Perempuan 19-55 tahun dengan status gizi normal TEE + 0,1TEE


TEE = 354 – (6,91xU) + PA x (9,36xBB+726xTB)
Keterangan :
PA = 1,0 (sangat ringan) PA = 1,27 (aktif)
PA = 1,12 (ringan) PA = 1,45 (sangat aktif)

Tambahan bagi perempuan hamil (BB normal)


Trimester 1 = + 0 kkal
Trimester 2 = + 340 kkal
Trimester 3 = + 450 kkal

Tambahan bagi perempuan menyusui


6 bulan pertama = 500 kkal - 170 kkal
6 bulan kedua = 400 kkal – 0 kkal

Sumber : IOM (2005)


Keterangan :
U = Umur (tahun), BB = Berat badan (kg), TB = Tinggi badan (m)
TEE = Total Energy Expenditure - total pengeluaran energi, (kkal)
PA = koefisien aktivitas fisik

31
Tabel 4 Rumus perhitungan kecukupan energi usia lanjut >=65 tahun

Model persamaan Kecukupan Energi (kkal)


Laki laki usia lanjut (EB x PA)+(0,1xTEE)
EB = (11,4xBB) + (541xTB) – 256
Keterangan :
PA = 1,0 (sangat ringan)
PA = 1,11 (ringan)
PA = 1,25 (aktif)

Perempuan usia lanjut (EB x PA)+(0,1xTEE)


EB = (8,52xBB) + (421xTB) +10,7
Keterangan :
PA = 1,0 (sangat ringan)
PA = 1,12 (ringan)
PA = 1,27 (aktif)

Sumber : Henry (2005)


Keterangan :
EB = Energi Basal
PA = Koefisien aktivitas fisik

Berikut disajikan hasil perhitungan (estimasi) angka kecukupan energi per orang per
hari menurut kelompok umur dan jenis kelamin. Bila dibandingkan AKE 2012 ini dengan
AKE 2004 terdapat peningkatan AKE pada kelompok anak balita dan usia muda produktif
(10-49 tahun) dan penurunan kecukupan energi pada kelompok usia lansia (>=65 tahun). Dua
faktor utama penyebabnya adalah BB dan TB median normal penduduk Indonesia saat ini
yang lebih baik dibanding dekade lalu dan model persamaan estimasinya (Tabel 5)

Khusus AKE lansia disebabkan oleh penajaman kelompok umur, dan koreksi hasil
model persamaan regresi yang digunakan yang menurut Krems (2005) overestimate. Juga
koreksi aktifitas fisik yang diasumsikan sedentary atau sangat ringan pada lansia di atas usia
80 tahun. Sementara pada kelompok usia lainnya (selain lansia >=80 tahun dan anak <9
tahun) diasumsikan kegiatan fisik ringan, sejalan dengan temuan Riskesdas 2007 bahwa lebih
dari 90% penduduk Indonesia berada pada kategori aktifitas fisik ringan.

Kecukupan gizi anak usia<6 bulan, yang seharusnya diberi ASI ekslusif, lebih baik
dibulatkan ke atas untuk mencapai rata-rata jumlah asupan energi per hari dari ASI selama
pemberian ASI eksklusif dan dikoreksi dengan faktor konversi energi dari makanan ibu
menyususi menjadi energi dalam ASI, yaitu 1,1 (FAO/WHO, 1985). Penelitian yang
dilakukan Nasoetion (2003) di Bogor menunjukkan jumlah asupan volume ASI bagi bayi
yang diberikan ASI ekslusif dengan metode penimbangan dan kohort sekitar 750 ml/hari,
sejalan dengan temuan studi di manca negara berkisar antara 650 sampai 850 ml/hari.

Tambahan kecukupan energi pada trimester pertama kehamilan tidak diperlukan bila
ibu hamil sehat dengan berat badan normal pada saat memulai kehamilan. Asumsi ini
tampaknya lemah karena persentase KEK wanita usia subur dan ibu hamil trimester pertama
di Indonesia sekitar 20-35%, karena itu lebih baik tambahan kecukupan energi disebar pada
ketiga semester dengan tambahan secara bertahap sejak awal kehamilan.

32
Tabel 5. Angka Kecukupan Energi (AKE) 2012 dan dibanding AKE 2004

Berat Tinggi Hasil Analisis AKE2012*) AKE2004**)


Umur
badan (kg) badan (cm) AKE2012 (kkal) (kkal)
Anak
0-6 bulan 6 61 - 550 550
6-11 bulan 9 71 723 725 650
1-3 tahun 13 91 1130 1125 1000
4-6 tahun 19 112 1614 1600 1550
7-9 tahun 27 130 1865 1850 1800
Laki-laki
10-12 tahun 34 142 2096 2100 2050
13-15 tahun 46 158 2469 2475 2400
16-18 tahun 56 165 2675 2675 2600
19-29 tahun 60 168 2739 2725 2550
30-49 tahun 62 168 2620 2625 2350
50-64 tahun 62 168 2331 2325 2250
65-79 tahun 60 168 1890 1900 2050
80+ tahun 58 168 1530 1525 2050
Perempuan
10-12 tahun 36 145 1988 2000 2050
13-15 tahun 46 155 2133 2125 2350
16-18 tahun 50 158 2119 2125 2200
19-29 tahun 54 159 2268 2250 1900
30-49 tahun 55 159 2166 2150 1800
50-64 tahun 55 159 1920 1900 1750
65-79 tahun 54 159 1560 1550 1600
80+ tahun 53 159 1421 1425 1600
Hamil (+an)
Trimester 1 +0 +180 +180
Trimester 2 +340 +300 +300
Trimester 3 +450 +300 +300
Menyusui (+an)
6 bl pertama +330 +330 +500
6 bl kedua +400 +400 +550
*)
pembulatan/penghalusan
**)
Hardinsyah dan Tambunan, V. 2004

III. KECUKUPAN PROTEIN

A. Fungsi dan pangan sumber protein

Protein terdiri dari asam-asam amino. Disamping menyediakan asam amino esensial,
protein juga mensuplai energi dalam keadaan energi terbatas dari karbohidrat dan lemak.
Asam amino esensial meliputi Histidine, Isoleucine, Leucine, Lysine, Methionine, Cysteine,
Phinilalanine, Tyrosine, Threonine, Tryptophan dan Valine. Pada umumnya empat asam
amino yang sering defisit dalam makanan anak-anak adalah Lysine, Methionine+Cysteine,
Threonine +Tryptophan. (FAO/WHO, 1985). Protein atau asam amino esensial berfungsi
terutama sebagai katalisator, pembawa, penggerak, pengatur, ekpresi genetik,
neurotransmitter, penguat struktur, penguat immunitas dan untuk pertumbuhan (WHO,
2002).

33
Pangan sumber protein hewani meliputi daging, telur, susu, ikan, seafood dan hasil
olahnya. Pangan sumber protein nabati meliputi kedele, kacang-kacangan dan hasil olahnya
seperti tempe, tahu, susu kedele. Secara umum mutu protein hewani lebih baik dibanding
protein nabati. Di Indonesia kontribusi energi dari protein hewani terhadap total energi relatif
rendah yaitu 4% (Hardinsyah dkk, 2001), yang menurut FAO RAPA (1989) sebaiknya sekitar
15% dari total energi.

B. Faktor Mempengaruhi dan Dasar Penetapan Kecukupan Protein

Kecukupan protein seseorang dipengaruhi oleh berat badan, usia (tahap pertumbuhan
dan perkembangan) dan mutu protein dalam pola konsumsi pangannya. Bayi dan anak-anak
yang berada dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan yang pesat membutuhkan protein
lebih banyak per kilogram berat badannya dibanding orang dewasa (IOM, 2005).

Mutu protein makanan ditentukan salah satunya oleh komposisi dan jumlah asam amino
esensial. Pangan hewani mengandung asam amino lebih lengkap dan banyak dibanding
pangan nabati, karena itu pangan hewani mempunyai mutu protein yang lebih baik
dibandingkan pangan nabati. Disamping itu, mutu protein juga ditentukan oleh daya cerna
protein tersebut yang dapat berbeda antar jenis pangan. Semakin lengkap komposisi dan
jumlah asam amino esensial dan semakin tinggi daya cerna protein suatu jenis pangan atau
menu, maka semakin tinggi mutu proteinnya. Demikian pula semakin rendah kandungan
serat dan lembut tekstur suatu jenis pangan sumber protein semakin baik mutu proteinnya
(Gibney, Vorster & Kok, 2002).

Analisis data konsumsi pangan Riskesdas 2010 (Hardinsyah dkk, 2012) menunjukkan
rata-rata proporsi konsumsi energi dari lemak penduduk Indonesia saat ini sekitar 25-29%
dari total konsumsi energi (Tabel 6). Secara umum kondisi AMDR penduduk Indonesia ini
menunjukkan rendahnya konsumsi protein dan cenderung tinggi karbohidrat dan lemak.
Sementara konsumsi energi dari lemak bagi bayi dan anak 0-3 tahun masih rendah dari
seharusnya 30-45%. Berdasarkan anjuran WHO (2010) dan IOM (2005), kontribusi energi
dari lemak bagi remaja dan dewasa sebaiknya tidak melebihi 30%; bagi bayi 40-60% dan bagi
anak<2 tahun 35%. Anjuran konsumsi lemak bagi orang dewasa seperti tercantum dalam
salah satu pesan Pedoman Umum Gizi Seimbang adalah batasi konsumsi lemak sampai 25%
kecukupan energi.

Perhitungan kecukupan protein didasarkan pada kebutuhan protein per kilogram berat
badan menurut umur dan jenis kelamin berdasarkan hasil review yang dilakukan IOM (2005);
demikian pula untuk tambahan kecukupan protein bagi ibu menyusui (IOM, 2005), dengan
data berat badan rata-rata sehat penduduk Indonesia menurut kelompok umur dan jenis
kelamin, seperti halnya pada perhitungan AKE. Perhitungan kecukupan protein disesuaikan
dengan rata-rata berat badan sehat, serta dikoreksi dengan faktor koreksi mutu protein. Hasil
analisis data konsumsi pangan Susenas 2009 (BPS 2009) menunjukkan bahwa sekitar separoh
konsumsi protein penduduk Indonesia berasal dari serealia terutama beras yang menurut
WHO (2007) mutu protein beras (true digestability) adalah 75. Review yang dilakukan WHO
(2007) menunjukkan bahwa mutu protein diet penduduk Pilipina (yang pola pangan pokok
nasi dan lebih banyak makan daging, ikan dan susu dibanding penduduk Indonesia) adalah
88, dan penduduk India (yang pola pangan pokok nasi dan banyak kacang-kacangan dan susu)
adalah 78. Oleh karena itu asumsi mutu protein diet penduduk Indonesia pada perhitungan
AKG yang lalu adalah 85 perlu disempurnakan dengan mutu protein 80. Ini artinya faktor

34
koreksi mutu protein pada AKG 2012 ini adalah 100/80 atau 1,3. Sedangkan faktor koreksi
mutu protein bagi perempuan hamil adalah 1,2 karena pada saat hamil menurut IOM (2005)
terjadi efisiensi penyerapan zat gizi termasuk protein sekitar 10%. Selain itu dengan
mempertimbangkan bahwa asam amino esensial pada diet usia anak dan remaja cenderung
defisit, dan protein terutama protein hewani turut berperan dalam pertumbuhan linear atau
pencegahan stunting, maka koreksi mutu protein 1,3 tidak diberlakukan pada anak dan remaja
tetapi ditingkatkan menjadi 1,5. Berikut rumus perhitungan kecukupan protein:

Kecukupan protein = (AKP x BB) x faktor koreksi mutu protein

Keterangan :
AKP = Angka kecukupan protein (g/kgBB/hari)
BB = Berat badan aktual (kg)
Faktor koreksi mutu protein umum = 1,3 bagi dewasa dan 1,5 bagi anak dan remaja
Faktor koreksi mutu protein Perempuan hamil = 1,1

Kisaran distribusi energi gizi makro dari pola konsumsi penduduk Indonesia
berdasarkan analisis data Riskesdas 2010 adalah 9-14% energi protein (Tabel 6), 24-36%
energi lemak, dan 54-63% energi karbohidrat. Anjuran kisaran sebaran energi gizi makro
(AMDR) bagi penduduk Indonesia dalam estimasi kecukupan gizi adalah 5-15% energi
protein, 25-55% energi lemak, dan 40-60% energi karbohidrat, yang penerapannya tergantung
umur atau tahap pertumbuhan dan perkembangan.

Tabel 6 Distribusi persentase energi dari protein, lemak dan karbohidrat


dalam pola konsumsi pangan penduduk Indonesia

Energi Protein Energi Lemak Energi Karbohidrat Total


Umur
(%) (%) (%) (%)
0-6 bulan 9,4 36,2 54,4 100,0
7-11 bulan 11,2 29,0 59,8 100,0
1-3 tahun 13,0 27,9 59,3 100,0
4-6 tahun 13,1 27,0 59,8 100,0
7-9 tahun 13,3 27,2 59,5 100,0
Laki-laki
10-12 tahun 13,0 26,8 60,2 100,0
13-15 tahun 13,3 26,4 60,4 100,0
16-18 tahun 13,3 26,1 60,6 100,0
19-29 tahun 13,3 25,4 61,3 100,0
30-49 tahun 13,2 25,0 61,8 100,0
50-64 tahun 13,2 24,8 62,1 100,0
65-79 tahun 13,1 24,6 62,3 100,0
80+ tahun 13,2 24,4 62,4 100,0
Perempuan
10-12 tahun 13,1 27,0 59,9 100,0
13-15 tahun 13,4 27,4 59,2 100,0
16-18 tahun 13,6 27,4 59,1 100,0
19-29 tahun 13,8 26,8 59,4 100,0
30-49 tahun 13,7 26,9 59,4 100,0
50-64 tahun 13,5 25,8 60,6 100,0
65-79 tahun 13,3 25,8 60,9 100,0
80+ tahun 13,2 25,3 61,5 100,0
Diolah dari Data Riskesdas (2010). Sumber: Hardinsyah dkk (2011)

35
AKP bagi orang dewasa didasarkan pada rata-rata kebutuhan protein orang dewasa
(yang berbeda menurut umur dan jenis kelamin) dikalikan dengan berat badan, ditambah
sejumlah safe level (24%) dan dikoreksi dengan mutu (faktor koreksi mutu 1,2). Tambahan
24% berasal dari review FAO/WHO (1985) yang masih valid menurut IOM (2005), yaitu
berasal dari nilai coefficient of variation 12% (2 x CV = 24%). Kebutuhan protein (EAR
protein) per kilogram berat badan menggunakan review penelitian oleh tim IOM (2005), yang
tidak berbeda dengan temuan di Pilipina dan di Indonesia oleh Puslitbang Gizi Bogor (0,75
g/kg BB). Hanya saja temuan di Bogor tidak mencakup kelompok usia dewasa yang luas.
Cara yang sama juga dilakukan pada kelompok usia lainnya.

Khusus pada bayi <6 bulan, AKP didasarkan pada protein ASI dari sejumlah 750 ml
ASI/hari, dan tidak perlu dikoreksi mutu proteinnya bila hampir semua bayi diberi ASI secara
ekslusif sampai usia 6 bulan. Tetapi pada kenyataannya, persentase bayi yang diberi ASI
ekslusif sampai usia 6 bulan masih rendah, yaitu 32 % berdasarkan survey cross sectional
SDKI dan 18 % berdasarkan Riskesdas 2010. Sedangkan berdasarkan studi kohort di Kota
Bogor hanya sebesar 6% (Hardinsyah dkk, 2002). Oleh karena itu diberikan faktor koreksi
mutu bagi AKP bayi 1,1. Pada ibu hamil dan ibu menyusui efisiensi pencernaan dan
penggunaan asam amino lebih baik dibanding ketika tidak hamil, sehingga ditetapkan faktor
koreksi mutu protein 1,2 (Tabel 7).

Secara keseluruhan, hasil estimasi AKP 2012 untuk semua kelompok umur, jenis
kelamin dan kondisi fisiologis serta perbandingannya dengan AKP hasil WNPG 2004
disajikan pada Tabel 7. Hasil akhirnya adalah hasil perhitungan yang dibulatkan ke atas dan
tidak berkoma. Hasil perhitungan dengan pendekatan data hasil kajian keseimbangan nitrogen
tubuh (kebutuhan protein dari data review berbagai kajian klinis) tidak konsisten dengan hasil
perhitungan Angka kecukupan protein (AKP) bagi kelompok usia dewasa yang didasarkan
pada distribusi %-energi gizi makro (MDR seperti disajikan pada Tabel 8. Ini menunjukkan
bahwa pada orang dewasa perhitungan kebutuhan AKP berdasarkan kajian “keseimbangan
nitrogen” lebih rendah dibanding angka kecukupan protein berdasarkan distribusi proporsi
energi gizi makro).

Pemenuhan kebutuhan gizi mikro yang berkualitas berkaitan erat dengan konsumsi
protein, terutama protein hewani. Dalam kaitannya dengan mengatasi masalah gizi mikro
terutama mineral zat besi, zink, selenium, kalsium dan vitamin B12, serta masalah stunting
sejak usia dini yang merupakan masalah gizi dan kesehatan masyarakat di Indonesia, perlu
ditingkatkan asupan protein terutama dari pangan hewani. Meningkatkan konsumsi protein
hewani yang rendah lemak seharusnya dalam konteks gizi seimbang menjadi kebijakan dan
program. Banyak bukti bahwa konsumsi pangan hewani meningkatkan pertumbuhan linear
dan perkembangan kognitif anak. Selain itu Indeks glikemik diet harian dengan konsumsi
gizi seimbang seperti ini akan cenderung lebih rendah. Namun dari segi ekonomi tentu lebih
mahal. Dari segi keamanan pangan akibat kelebihan asam amino atau protein, IOM (2005)
membuktikan bahwa konsumsi asam amino atau protein adalah aman dan tidak ada batas atas
(upper level) karena tidak ditemukan dari berbagai penelitian nilai NOEL-nya (No Observed
Adverse Health Effect Level). Tentunya bagi yang berisiko gangguan ginjal dan hati perlu
membatasi konsumsi protein hewani. Dalam konteks ini pilihan AKP 2012 berdasarkan
DEGM lebih dianjurkan.

36
Tabel 7. Hasil perhitungan kecukupan protein menurut kelompok umur dan jenis kelamin
berdasarkan model estimasi dari data keseimbangan nitrogen tubuh

Hasil
Berat Tinggi Kecukupan
Faktor Analisis AKP2012*) AKP2004**)
Umur Badan -BB badan –TB protein
koreksi AKP2012 (g) (g)
(kg) (cm) /kg BB
(g)
Anak
0-6 bulan 6 61 1,8 1,1 11,9 12 12
7-11 bulan 9 71 1,5 1,3 17,6 18 16
1-3 tahun 13 91 1,3 1,5 25,4 26 25
4-6 tahun 19 112 1,2 1,5 34,2 35 39
7-9 tahun 27 130 1,2 1,5 48,6 49 45
Laki-laki
10-12 tahun 34 142 1,1 1,5 56,1 56 50
13-15 tahun 46 158 1,0 15 69,0 72 60
16-18 tahun 56 165 0,9 1,3 65,5 66 65
19-29 tahun 60 168 0,8 1,3 62,4 62 60
30-49 tahun 62 168 0,8 1,3 64,5 65 60
50-64 tahun 62 168 0,8 1,3 64,5 65 60
65-79 tahun 60 168 0,8 1,3 62,4 62 60
80+ tahun 58 168 0,8 1,3 60,3 60 60
Perempuan
10-12 tahun 36 145 1,1 1,5 59,4 60 50
13-15 tahun 46 155 1,0 1,5 69,0 69 57
16-18 tahun 50 158 0,9 1,3 58,5 59 50
19-29 tahun 54 159 0,8 1,3 56,2 56 50
30-49 tahun 55 159 0,8 1,3 57,2 57 50
50-64 tahun 55 159 0,8 1,3 57,2 57 50
65-79 tahun 54 159 0,8 1,3 56,2 56 50
80+ tahun 53 159 0,8 1,3 55,1 55 50
Hamil (+an)
Trimester 1 +0,3 +1,2 +19,4 +20 +17
Trimester 2 +0,3 +1,2 +19,4 +20 +17
Trimester 3 +0,3 +1,2 +19,4 +20 +17
Menyusui
(+an)
6 bl pertama +0,3 +1.2 +19.4 +20 +17
6 bl kedua +0,3 +1.2 +19.4 +20 +17
Catatan:
AKP2012= Angka Kecukupan Protein 2012
*)
pembulatan/penghalusan
**)
Hardinsyah dan Tambunan, V. 2004

37
Tabel 8. Anjuran proporsi energi dari lemak, karbohidrat dan protein serta kecukupan protein
yang dihitung berdasarkan proporsi energi dari protein

AKP2012 AKP2012
AKE
% -Energi % -Energi %-Energi berdasarkan berdasarkan
Umur 2012
protein lemak karbohidrat proporsi energi keseimbangan
(kkal)
protein*) (g) nitrogen (g)
Anak
0-6 bulan 550 8 50 42 11 12
7-11 bulan 750 10 45 45 18 16
1-3 tahun 1050 10 35 55 28 20
4-6 tahun 1575 10 35 55 40 28
7-9 tahun 1750 10 35 55 46 38
Laki-laki
10-12 tahun 2050 15 30 55 79 50
13-15 tahun 2550 15 30 55 93 62
16-18 tahun 2675 15 30 55 100 62
19-29 tahun 2725 15 30 55 102 62
30-49 tahun 2600 15 25 60 98 62
50-64 tahun 2325 15 25 60 87 62
65-79 tahun 1900 10 25 65 48 60
80+ tahun 1525 10 25 65 38 58
Perempuan
10-12 tahun 2000 15 30 55 75 52
13-15 tahun 2125 15 30 55 80 60
16-18 tahun 2125 15 30 55 80 58
19-29 tahun 2250 15 30 55 84 58
30-49 tahun 2150 15 25 60 81 58
50-64 tahun 1900 15 25 60 71 57
65-79 tahun 1550 10 25 65 39 57
80+ tahun 1425 10 25 65 36 55
Hamil (+an)
Trimester 1 +180 +7 +20
Trimester 2 +300 +11 +20
Trimester 3 +300 +11 +20
Menyusui (+an)
6 bl pertama +330 +12 +20
6 bl kedua +400 +15 +20
Catatan: AKP2012= Angka Kecukupan Protein 2012
*)Proporsi energi protein = persentase energi dari protein dalam distribusi energi gizi makro

Guna memperoleh mutu protein dan mutu zat gizi mikro yang lebih baik, paling tidak
seperempat (25%) AKP dipenuhi dari protein hewani. Porsi ikan akan lebih banyak dalam
pemenuhan kebutuhan protein hewani penduduk Indonesia, karena dalam pola pangan
penduduk saat ini sekitar 60% kuantitas pangan hewani penduduk berasal dari ikan
(Hardinsyah dkk, 2001). Diantara pangan nabati, beras (dikonsumsi dalam jumlah besar) dan
tahu-tempe mempunyai peran besar dalam mensuplai pemenuhan kebutuhan protein. Hal ini
mendatangkan manfaat tambahan, karena protein nabati, terutama protein kedele dapat
meningkatkan absorbsi kalsium.

38
C. Referensi Asam Amino untuk Evaluasi Mutu Protein Makanan
Kebutuhan protein tubuh sangat dipengaruhi oleh mutu protein makanan. Karena itu
mutu protein makanan dari individu/masyarakat dan produk pangan perlu ditentukan. Banyak
cara untuk menilai mutu protein. Salah satunya dengan menghitung skor asam aminonya.
FAO (2013) telah menetapkan referensi pola kebutuhan asam amino, yang merupakan koreksi
terhadap referensi terdahulu yaitu referensi FAO/WHO/UNU (2007). Metode yang dianjurkan
FAO 2013 untuk mengukur mutu protein adalah DIAAS (digestible indispensable amino acid
score; DIAAS) sebagai pengganti PDCAAS (Protein Digestibility Corrected Amino Acid
Score; PDCAAS). DIAAS didefinisikan sebagai: DIAAS % = 100 x [(mg asam amino
esensial makanan tercerna dalam 1 g protein makanan) / (mg asam amino esensial makanan
yang sama dalam 1 gram protein referensi)]. Metode ini memang agak sulit diterapkan karena
ketersediaan data biavailabilitas dan daya cerna asam amino suatu pangan masih sangat
terbatas. Ada kegunaan menghitung DIAAS, yaitu a) untuk mengukur mutu protein makanan
campuran (diet) individu/masyarakat, b) untuk mendokumentasi mutu asam amino pangan
tunggal, yang dapat digunakan dalam meramu diet agar mutu proteinnya meningkat (prinsip
komplementasi atau saling melengkapi), c) untuk keperluan regulatori yang bertujuan
mengklasifikasi dan memonitor kecukupan protein dari suatu pangan atau produk pangan
yang dijual pada konsumen. Untuk tujuan regulatori, dianjurkan 2 pola, yaitu menggunakan
referensi bayi (komposisi asam amino ASI) pada Tabel 9 untuk makanan formula bayi; dan
menggunakan referensi anak usia 6 bulan-3 tahun untuk semua pangan/produk pangan
lainnya.
Dalam menghitung DIAAS, rasio-nya harus dihitung untuk masing-masing asam
amino esensial dan nilai rasio terendah yang dimaksud dengan DIAAS. DIAAS dapat
memiliki nilai dibawah atau dalam beberapa keadaan bisa diatas 100%. Nilai-nilai diatas
100% tidak perlu dipotong, kecuali apabila menghitung DIAAS bagi asupan asam amino atau
protein diet campuran atau pangan bersumber tunggal (seperti formula bayi atau ASI).
Pola skor asam amino yang direkomendasikan (dalam hal ini pola asam amino dari
protein referensi) yang digunakan untuk menghitung mutu protein (DIAAS) disajikan pada
Tabel 9.

Tabel 9. Kebutuhan asam amino bagi bayi, anak, remaja, dan dewasa untuk orang Indonesia

Kelompok umur His*) Ile Leu Lys SAA AAA Thr Trp Val
Pola skor asam amino (mg/g kebutuhan protein)
Bayi (0 – 6 bulan) 21 55 96 69 33 94 44 17 55
Anak (6 bulan–3 tahun) 20 32 66 57 27 52 31 8,5 43
Anak diatas 3 tahun, remaja 16 30 61 48 23 41 25 6,6 40
dan dewasa
Sumber : FAO (2013)
*) Singkatan asam amino (His, histidin; Ile, isoleusin; Leu, leusin; Lys, lisin; SAA, asam amino sulfur, yaitu
methionin dan sistin; AAA= asam amino aromatik, yaitu Phe, fenilalanin dan Tyr, tirosin; Thr, treonin; Trp,
triptofan; Val, valin)

IV. KECUKUPAN LEMAK

A. Fungsi dan Pangan Sumber

Lemak (lipid) merupakan komponen struktural dari semua sel-sel tubuh, yang
dibutuhkan oleh ratusan bahkan ribuan fungsi fisiologis tubuh (McGuire and Beerman, 2011).
Lemak terdiri dari trigliserida, fosfolipid dan sterol yang masing-masing mempunyai fungsi

39
khusus bagi kesehatan manusia. Sebagian besar (99%) lemak tubuh adalah trigliserida.
Trigliserida terdiri dari gliserol dan asam-asam lemak. Disamping mensuplai energi, lemak
terutama trigliserida, berfungsi menyediakan cadangan energi tubuh, isolator, pelindung organ
dan menyediakan asam-asam lemak esensial (Mahan dan Escott-Stump, 2008). Selain itu
juga berfungsi penting dalam metabolisme zat gizi, terutama penyerapan karoteniod, vitamin
A, D, E dan K (Boyle and Roth, 2010, Brown, 2011, Hamazaki dan Okuyama, 2000).

Asam lemak berdasarkan kejenuhannya dikelompokkan menjadi asam lemak jenuh dan
asam lemak tidak jenuh (baik tidak jenuh tunggal maupun tidak jenuh jamak). Sistem syaraf
pusat kaya dengan turunan dua asam lemak Asam lemak esensial, yaitu asam linoleat dan
asam alfa-linolenat (Brown, 2011). Omega-3 (seperti asam linolenat, EPA dan DHA) dan
Omega-6 (seperti asam linoleat dan AA) merupakan asam lemak tidak jenuh rantai panjang
(long chain fatty acids) yang berfungsi sebagai anti-inflamasi, anti-clotting sehingga penting
bagi kelancaran aliran darah dan fungsi sendi (IOM, 2005, Vance dan Vance, 2008). Efek
ketidakcukupan asupan lemak total adalah gangguan pertumbuhan dan peningkatan resiko
penyakit kronis, seperti penyakit jantung koroner. Begitu juga ketidakcukupan asupan
omega-6 Polyunsaturated Fatty Acids juga mengakibatkan munculnya tanda-tanda defisiensi
asam lemak esensial. Sedangkan ketidakcukupan asupan omega-3 Polyunsaturated Fatty
Acids berakibat gangguan penglihatan dan perilaku belajar (IOM, 2005).

Omega-6 banyak terdapat dalam minyak nabati seperti minyak kedele, minyak jagung,
minyak biji bunga matahari, minyak biji kapas dan minyak safflower. Omega-3 banyak
terdapat dalam minyak ikan, ikan laut dalam seperti lemuru, tuna, salmon, cod, minyak
kanola, minyak kedele, minyak zaitun dan minyak jagung. Lemak/gajih, minyak kelapa,
mentega (butter), minyak inti sawit dan coklat banyak mengandung lemak jenuh (Duyff,
1998). Asam-asam lemak yang tidak jenuh dapat menjadi jenuh atau sebagian tetap tidak
jenuh tetapi berubah menjadi trans-fatty acids, yang tidak baik bagi kesehatan, karena proses
pengolahan pangan (hidrogenisasi) atau cara menggunakannya.

Kolesterol merupakan suatu komponen mirip lemak (fat-like substance). Kolesterol


membentuk empedu yang berfungsi dalam pencernaan dan penyerapan lemak. Kolesterol juga
berfungsi dalam pertumbuhan sel dan pembentukan hormon steroid (seperti estrogen).
Dengan bantuan sinar matahari, kolesterol dapat diubah menjadi vitamin D di dalam tubuh.
Kolesterol diproduksi dalam tubuh terutama oleh hati, tetapi jika produksi kolesterol
berlebihan bisa meningkatkan risiko penyumbatan pembuluh arteri. Kolesterol banyak
terdapat dalam daging, organ dalam (jeroan), otak dan kuning telur (Duyff, 1998; Leeds dan
Gray, 2001).

B. Faktor Mempengaruhi dan Dasar Penetapan Kecukupan

Seperti halnya kecukupan energi, kecukupan lemak seseorang juga dipengaruhi oleh
ukuran tubuh (terutama berat badan), usia atau tahap pertumbuhan dan perkembangan dan
aktifitas. Pola umumnya secara kuantitas adalah, bila kebutuhan energi meningkat kebutuhan
akan zat gizi makro juga meningkat. Artinya semakin banyak kecukupan energi semakin
banyak pula zat gizi makro, termasuk lemak yang dibutuhkan.

Pola konsumsi pangan harian yang dianjurkan sebaiknya memenuhi keseimbangan


rasio energi dari protein, lemak dan karbohidrat, atau yang biasa disebut sebagai kisaran

40
distribusi persentase energi dari zat gizi makro (Average Macronutrients energy Distribution
Range – AMDR). Secara umum pola konsumsi pangan remaja dan dewasa yang baik adalah
bila perbandingan komposisi energi dari karbohidrat, protein dan lemak adalah 50-65% : 10-
20% : 20-30%. Komposisi ini tentunya dapat bervariasi, tergantung umur, ukuran tubuh,
keadaan fisiologis dan mutu protein makanan yang dikonsumsi. Pada bayi usia < 6 bulan,
persentase energi dari protein sekitar 5% masih baik karena proteinnya berasal dari ASI (ASI
ekslusif) yang mutu proteinnya 100%.

Lemak dikonsumsi dalam bentuk lemak atau minyak yang tampak (seperti gajih,
mentega, margarin, minyak, santan dll) dan minyak yang tidak tampak (terkandung dalam
makanan). Lemak yang tampak dalam bentuk padat cenderung mengandung lebih banyak
asam lemak jenuh. Menurut Simopoulus et al. (2000) proporsi lemak jenuh (saturated fat)
dan asam lemak trans masing-masing maksimal 8% dan 1% dari energi total. Ini berarti bagi
seorang remaja atau dewasa dengan kecukupan energi 2000 kkal, perlu membatasi konsumsi
lemaknya pada 56 g/hari dan lemak jenuh sekitar 18 g/hari.

Upaya memperbaiki komposisi asam lemak dalam menu harian perlu dilakukan agar
sejalan dengan upaya pencegahan penyakit kronik degeneratif sedini mungkin melalui
pengaturan komposisi asam lemak yang dikonsumsi. Perbandingan kandungan n-6 dan n-3
adalah 4-8 : 1 (Simopoulus et al., 2000; Hamazaki dan Okuyama, 2000). Komposisi n-3
dalam makanan bayi atau anak sebaiknya lebih tinggi lagi. Penelitian kandungan n-6 dan n-3
pada ASI menunjukan bahwa perbandingan n-6 dan n-3 adalah 4 : 1 baik pada ibu menyusui
dari kelompok sosial ekonomi rendah maupun tinggi (Muhilal, Herman dan Karyadi, 1994).

Merujuk pada anjuran perbandingan komposisi energi dari karbohidrat, protein dan
lemak di Amerika Serikat (IOM, 2005) dan menyelaraskan dengan Pedoman Gizi Seimbang
Indonesia (Kemenkes 2005) serta perhitungan hasil konsumsi pangan Riskesdas 2010
(Hardinsyah 2012), maka anjuran kecukupan lemak dalam konteks AMDR bagi penduduk
Indonesia dibagi ke dalam tiga (3) kelompok penduduk seperti disajikan pada Tabel 10
berikut

Tabel 10. Anjuran proporsi energi dari lemak, karbohidrat dan protein menurut kelompok umur

Zat gizi makro Persen terhadap total energi (%)


Bayi 0-11 bl*) Anak, 1-3 th**) Anak, 4-18 th**) Dewasa**)
(%) (%) (%) (%)
Protein 5 15 (5-20) 15 (10-30) 15 (10-30)
Lemak 55 35 (30-40) 30 (25-35) 25 (20-30)
Karhohidrat 40 50 (45-65) 55 (45-65) 60 (45-65)
*)
Berdasarkan Air susu Ibu (ASI) dari United Nations University Center.
**)
Angka dalam kurung merupakan kisaran anjuran di Amerika Serikat (IOM, 2005)

Kontribusi energi dari lemak sebaiknya sekitar 35% pada anak usia 1-3 tahun, 30% pada
usia 4-18 tahun dan 25% pada orang dewasa. Perbaikan menu dengan komposisi energi asam
lemak ini sangat penting agar upaya pencegahan penyakit kronik degeneratif sedini mungkin
dapat tercapai (Bredbenner et al. 2009 dan WHO 2010). Berdasarkan AMDR dihitung angka
kecukupan lemak menurut kelompok umur dan jenis kelamin (Tabel 11).

41
Tabel 11. Anjuran proporsi energi dari lemak, karbohidrat dan protein serta kecukupan lemak

Umur AKE2012 % -Energi % -Energi %-Energi AKL2012


(kkal) Protein Lemak Karbohidrat (g)
Anak
0-6 bulan 550 5 55 40 34
7-11 bulan 725 10 45 45 36
1-3 tahun 1125 10 35 55 44
4-6 tahun 1600 10 35 55 62
7-9 tahun 1850 10 35 55 72
Laki-laki
10-12 tahun 2100 15 30 55 70
13-15 tahun 2475 15 30 55 83
16-18 tahun 2675 15 30 55 89
19-29 tahun 2725 15 30 55 91
30-49 tahun 2625 15 25 60 73
50-64 tahun 2325 15 25 60 65
65-79 tahun 1900 10 25 65 53
80+ tahun 1525 10 25 65 42
Perempuan
10-12 tahun 2000 15 30 55 67
13-15 tahun 2125 15 30 55 71
16-18 tahun 2125 15 30 55 71
19-29 tahun 2250 15 30 55 75
30-49 tahun 2150 15 25 60 60
50-64 tahun 1900 15 25 60 53
65-79 tahun 1550 10 25 65 43
80+ tahun 1425 10 25 65 40
Hamil (+an)
Trimester 1 +180 +6
Trimester 2 +300 +10
Trimester 3 +300 +10
Menyusui (+an)
6 bl pertama +330 +11
6 bl kedua +400 +13
Catatan: AKL2012= Angka Kecukupan Lemak 2012

Selanjutnya untuk asam lemak esensial adalah asam lemak tidak-jenuh ganda n-6 ( asam
linoleat) tidak melebihi 10% adalah asupan asam lemak tidak-jenuh ganda n-6 (asam linoleat)
di Amerika Serikat jarang melebihi 10% dari energi total, bukti epidemiologi untuk keamanan
asupan lebih dari 10% pada umumnya terbatas, dan asupan asam linoleat tinggi dapat
memunculkan keadaan pro-oksidan yang akan dapat memicu kejadian penyakit kronis, seperti
kanker dan penyakit jantung koroner (IOM, 2005). Anjuran kecukupan asam lemak esensial
disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12 . Anjuran kecukupan asam lemak esensial n-3 dan n-6 berdasarkan proporsi
energi (%-energi) pada tiga kelompok umur
Persen terhadap energi total*)
Asam lemak esensial Anak, 1-3 tahun Anak, 4-18 tahun Dewasa
(g) (g) (g)
Asam lemak tidak-jenuh ganda n-3 0,6 – 1,2 0,6 – 1,2 0,6 – 1,2

Asam lemak tidak-jenuh ganda n-6 5 - 10 5 - 10 5 – 10


*)
Diadopsi dari kisaran anjuran di Amerika Serikat (IOM, 2005)

42
Secara kuantitas, kecukupan n-3 dan n-6 didasarkan pada IOM (2005). Kecukupan
bagi ibu hamil dan ibu menyusui adalah sama yaitu 13 g n-6 dan 1,4 g n-3 per hari.
Kecukupan bagi bayi 0-5 bulan dan 6-11 bulan masing-masing adalah 4,4 g n-6 dan 0,5 g n-
3 per hari (Tabel 13).

Tabel 13. Kecukupan asam lemak n-6 dan n-3 bagi anak dan dewasa

Asam lemak n-6 Asam lemak n-3


Umur
(g) (g)
0-11 bulan 4,4 0,5
1-3 tahun 7,0 0,7
4-6 tahun 10,0 0,9
7-9 tahun 10,0 0,9
Laki-laki
10-12 tahun 12,0 1,2
13-15 tahun 16,0 1,6
16-18 tahun 16,0 1,6
19-29 tahun 17,0 1,6
30-49 tahun 17,0 1,6
50-64 tahun 14,0 1,6
65-79 tahun 14,0 1,6
80+ tahun 14,0 1,6
Perempuan
10-12 tahun 10,0 1,0
13-15 tahun 11,0 1,1
16-18 tahun 11,0 1,1
19-29 tahun 12,0 1,1
30-49 tahun 12,0 1,1
50-64 tahun 11,0 1,1
65-79 tahun 11,0 1,1
+80 tahun 11,0 1,1
Hamil
Trimester 1 +2,0 +3,0
Trimester 2 +2,0 +3,0
Trimester 3 +2,0 +3,0
Menyusui
6 bl pertama +2,0 +2,0
6 bl kedua +2,0 +2,0
Sumber: Dihitung dari anjuran IOM (2005)

V. KECUKUPAN KARBOHIDRAT

A. Fungsi dan Pangan Sumber

Karbohidrat merupakan salah satu zat gizi makro. Karbohidrat ada yang dapat dicerna
oleh tubuh sehingga menghasilkan glukosa dan energi, dan ada pula karbohidrat yang tidak
dapat dicerna yang berguna sebagai serat makanan. Fungsi utama karbohidrat yang dapat
dicerna bagi manusia adalah untuk menyediakan energi bagi sel, termasuk sel-sel otak yang
kerjanya tergantung pada suplai karbohidrat berupa glukosa. Kekurangan glukosa darah
(hipoglikemia) bisa menyebakan pingsan atau fatal; sementara bila kelebihan glukosa darah
menimbulkan hiperglikemia yang bila berlangsung terus meningkatkan risiko penyakit
diabetes atau kencing manis (Mahan K. dan Escott-Stump, 2008).

43
Karbodidrat dapat dikelompokkan berdasarkan jumlah unit gula (glukosa) yang
dikandungnya. Bila mengandung satu unit gula disebut monosakarida, seperti glukosa dan
fruktosa yang banyak terdapat dalam larutan gula dan buah-buahan. Bila mengandung dua
unit gula disebut disakarida, seperti sukrosa (dalam gula meja, buah dan sayur), lactosa
(dalam susu) dan maltosa (dalam karamel). Bila mengndung 3-10 unit gula disebut
oligosakarida, seperti rafinosa and stachyosa yang banyak dijumpai dalam kacang-kacangan.
Bila mengandung lebih dari sepuluh unit gula disebut polisakarida seperti kanji (starch),
glikogen dan selulosa.

Monosakarida sering juga disebut sebagai karbohidrat sederhana. Karbohidrat sederhana


mudah dicerna dan cepat menghasilkan energi, sehingga penting dalam pemulihan energi, dan
sebaliknya mudah meningkatkan gula darah Sedangkan karbohidrat komplek (glikogen dan
pati) butuh waktu lebih lama untuk menghasilkan energi dan karena sifatnya ini, maka
karbohidrat komplek sangat baik digunakan untuk pengendalian kadar glukosa darah
(Whitney, Cataldo dan Rofles, 1998 dan IOM, 2005).

Total serat pangan terdiri dari serat pangan fungsional dan serta pangan. Serat pangan
fungsional adalah karbohidrat yang tidak dapat dicerna dan mempunyai efek manfaat
fisiologis bagi manusia. Serat pangan adalah karbohidrat yang tidak dapat dicerna dan lignin
yang terdapat dalam tanaman. Serat pangan merupakan komponen polisakarida yang bukan
pati (non-starch polysaccharides) pembentuk struktur tanaman seperti selulosa hemiselulosa,
pektin, gum, lignin dan lain-lain. (IOM, 2005).

Serat tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia. Serat pangan (dietary fiber)
secara fisik terdiri dari serat pangan yang larut air dan serat pangan yang tidak larut air.
Kedua serat pangan ini memperlama masa transit makanan dalam organ pencernaan
(memperlama rasa kenyang) dan sebagian difermentasi oleh mikroba usus menjadi asam
lemak rantai pendek. Serat pangan larut air yang umumnya terdapat dalam buah, kacang dan
sereal berfungsi untuk memperlambat penyerapan glukosa, kolesterol dan garam empedu di
dalam usus halus, sehingga menurunkan kadar gula dan kolesterol darah. Sedangkan serat
pangan yang tidak larut air berguna memperlambat pencernaan starch, membantu pergerakan
usus dan melancarkan buang air besar (Kritchevsky, 1988; IOM, 2005). Serat pangan berupa
beta-glukan, psyllium, pektin dan inulin (sejenis fruktooligosakarida – FOS) terbukti dapat
mengendalikan kolesterol (Letexier, Diraison and Beylot, 2003) dan gula darah (Chen dan
Raymond, 2008).

B. Faktor Mempengaruhi dan Dasar Penetapan Kecukupan

Kecukupan energi, kecukupan karbohidrat seseorang dipengaruhi oleh ukuran tubuh


(berat badan), usia atau tahap pertumbuhan dan perkembangan, dan aktifitas fisik. Ukuran
tubuh dalam arti masa otot yang semakin besar dan aktifitas fisik yang semakin tinggi
berimplikasi pada kecukupan karbohidrat yang semakin tinggi.

Ada dua pendekatan untuk menghitung kebutuhan karbogidrat bagi setiap kelompok
umur dan jenis kelamin. Pertama didasarkan pada cara by difference. Untuk menghitung
kecukupan karbohidrat dilakukan by difference karena kecukupan energi, protein dan lemak
sudah diperoleh. Ini artinya kecukupan karbohidrat dihitung dengan total kecukupan energi
dikurangi total energi dari kecukupan protein dan kecukupan lemak. Perhitungan kecukupan
karbohidrat dengan prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

44
Karbohidrat =
[Keb Energi (kkal) – {(Keb Protein (g) x 4)(kkal)+ (Keb Lemak (g) x 9 (kkal)}]/4

Hasil perhitungan kecukupan karbohidrat berdasarkan cara pertama ini (by difference)
berdasarkan distribusi persentase energi zat gizi makro bagi disajikan pada Tabel 13.

Cara kedua adalah dengan mengunakan hasil review yang dilakukan IOM (2005)
bahwa kebutuhan karbohidrat bayi yang didasarkan karbohidrat dari ASI yang cukup adalah
60 g/orang/hari. Selanjutnya pada remaja dan dewasa 100 g/orang/hari. Hasil review IOM
(2005) menunjukkan kebutuhan karbohidrat remaja dan dewasa laki laki dan perempuan
relatif sama yaitu 100 g/orang/hari. Dengan mempertimbangkan perlu ditambah sejumlah dua
kali koefisien variasi (30%) untuk menjadikan kecukupannya, maka kecukupan karbohidrat
bagi perempuan dan laki-laki remaja atau dewasa adalah 130 g/orang/hari.

Bagi ibu menyusui didasarkan pada jumlah kebutuhan karbohidrat bagi perempuan
dewasa, yaitu 100 g/org/hari, ditambah dengan jumlah karbohidrat untuk produksi ASI yaitu
60 g/orang/hari, sehingga kebutuhan karbohidrat bagi ibu menyusui adalah 160 g/orang/hari.
Dengan mempetimbangkan perlu ditambah sejumlah dua kali koefisien variasi (30%) untuk
menjadikan kecukupannya, maka kecukupan karbohidrat bagi ibu menyusui adalah 210
g/orang/hari.

Bagi ibu hamil kebutuhannya adalah sejumlah kebutuhan perempuan dewasa (100
g/hari) ditambah kebutuhan karbohidrat janin yaitu 33 g/orang/hari, sehinga total
kebutuhannya adalah 133 g/org/hari. Untuk dijadikan kecukupan perlu ditambah 30% seperti
halnya pada ibu menyusui maka kecukupan karbohidrat bumil adalah 175 g/orang/hari. Bila
karbohidrat terlalu rendah akan memicu glukoneogenesis yang tidak efisien (energically
expensive) dan ini sebaiknya dihindari (IOM, 2005).

Kecukupan total serat pangan pada remaja dan dewasa didasarkan pada review IOM
(2005) tentang penelitian manfaat total serat pangan dalam mengendalikan kolesterol terkait
dengan menurunkan risiko penyakit jantung koroner, yaitu 14 g/1000 kkal. Angka yang sama
juga diterapkan pada anak 1-8 tahun untuk mencegah konstipasi (sulit buang air besar).
Anjuran kecukupan serat ini berarti semakin rendah konsumsi atau kecukupan energi
seseorang semakin rendah pula kecukupan serat pangannya. Anjuran kecukupan serat ini
harus disertai dengan anjuran minum yang memenuhi kecukupan air. Anjuran rasio serat
pangan tidak larut air dan serat pangan larut air adalah 3 : 1. Tidak ada bukti bahwa
kebutuhan total serat pangan ibu hamil dan ibu menyusui berbeda dengan perempuan. Tidak
perlu dianjurkan kecukupan serat bagi bayi (IOM, 2005). Angka kebutuhan total serat pangan
pada Tabel 14.

45
Tabel 14 . Distribusi persentase energi makro dan angka kecukupan karbohidrat dan serat

AKE2012 % -Energi % -Energi %-Energi AKK2012 AKS2012


Umur (kkal) protein lemak karbohidrat (g) (g)
Anak
0-6 bulan 550 8 50 42 58 0
7-11 bulan 725 10 45 45 82 10
1-3 tahun 1125 10 35 55 155 16
4-6 tahun 1600 10 35 55 220 22
7-9 tahun 1850 10 35 55 254 26
Laki-laki
10-12 tahun 2100 15 30 55 289 30
13-15 tahun 2475 15 30 55 340 35
16-18 tahun 2675 15 30 55 368 37
19-29 tahun 2725 15 30 55 375 38
30-49 tahun 2625 15 25 60 394 38
50-64 tahun 2325 15 25 60 349 33
65-79 tahun 1900 10 25 65 309 27
80+ tahun 1525 10 25 65 248 22
Perempuan
10-12 tahun 2000 15 30 55 275 28
13-15 tahun 2125 15 30 55 292 30
16-18 tahun 2125 15 30 55 292 30
19-29 tahun 2250 15 30 55 309 32
30-49 tahun 2150 15 25 60 323 30
50-64 tahun 1900 15 25 60 285 28
65-79 tahun 1550 10 25 65 252 22
80+ tahun 1425 10 25 65 232 20
Hamil (+an)
Trimester 1 +180 +25 +3
Trimester 2 +300 +41 +4
Trimester 3 +300 +41 +4
Menyusui (+an)
6 bl pertama +330 +45 +5
6 bl kedua +400 +55 +6
Catatan: AKK2012= Angka Kecukupan Karbohidrat 2012
AKS2012= Angka Kecukupan Serat 2012

VI. RATA-RATA AKE DAN AKP NASIONAL

Setiap penyempurnaan AKE dan AKP melalui forum WNPG, juga dilakukan estimasi
rata-rata AKE dan AKP nasional yang akan dijadikan dasar untuk melakukan evaluasi dan
perencanaan konsumsi dan ketersediaan pangan dalam rangka pemenuhan kebutuhan
penduduk rata-rata secara makro nasional. Selain itu juga dijadikan sebagai dasar penetapan
garis kemiskinan pangan rata-rata rumahtangga.

Berdasarkan hasil perhitungan AKE dan AKP pada setiap kelompok umur dan jenis
kelamin (Tabel 5 dan Tabel 7), serta komposisi penduduk hasil Sensus Penduduk 2010 (Tabel
15), maka diperoleh rata-rata AKE dan AKP nasional. AKE dan AKP nasional pada tingkat
konsumsi masing-masing adalah 2150 kkal/kapita/hari dan AKP nasional 57 g/kapita/hari
berdasarkan kajian keseimbangan nitrogen (data klinis) dan 76 g/hari berdasarkan distribusi
energi gizi makro untuk memenuhi gizi seimbang yang mengantisipasi masalah penyakit
tidak menular dan stunting (Tabel 15). Sementara pada tingkat ketersediaan ditambah
sejumlah 10% yang mencerminkan kehilangan dan kerusakan pangan dari produsen ke asupan

46
konsumen sehingga menjadi 2400 kkal/kapita/hari dan AKP nasional 63 g/kapita/hari
berdasarkan kajian keseimbangan nitrogen (data klinis) dan 84 g/hari berdasarkan distribusi
energi gizi makro.

VII. RISET MASA MENDATANG

Mempertimbangkan bahwa perubahan AKG akan mempengaruhi regulasi atau standar


berkitan dengan acuan label gizi dan lain sebagainya, maka disarankan peninjauan ulang AKE
dan AKP sebaiknya sekali dalam 10 tahun, sehingga berdampak pada efisiensi dalam
organisasi pemangku kepentingan.

Sehubungan dengan penyakit tidak menular yang terkait gizi, diperlukan kajian tentang
energi basal dan energi aktifitas dengan metode yangcanggih dan tentang kebutuhan asam
lemak dan komponen karbohidrat . Disamping itu diperlukan juga penelitian tentang indeks
glikemik dan beban glikemik berbagai jenis pangan dan menu makanan Indonesia, yang
bermanfaat bagi pencegahan dan terapi penyakit, terutama hiperglikemia. Disamping itu
masih dibutuhkan kajian-kajian tentang trans-fatty acids, EPA dan DHA, serta kajian kaitan
antara jumlah asam lemak n-6 dan asam lemak n-3 dengan toleransi glukosa.

47
Tabel 15. Perhitungan rata-rata AKE dan AKP Penduduk Indonesia

Penduduk AKE Perkalian AKP Perkalian Perkalian


Umur (%) (kkal/hr) AKE (g/hr) AKP*) AKP**)
(1) (2) (3) (4)=(2)x(3) (5) (6)=(2)x(5)
Anak
0-6 bulan 0,8 550 440.0 12 9,6 8,8
7-11 bulan 0,8 725 580.0 18 14,4 14,4
1-3 tahun 5,8 1125 6525.0 26 150,8 162,4
4-6 tahun 5,9 1600 9440.0 35 206,5 236,0
7-9 tahun 6,0 1850 11100.0 49 294,0 276,0
Laki-laki 0,0 0,0
10-12 tahun 2,8 2100 5880,0 56 156,8 221,2
13-15 tahun 2,8 2475 6930,0 72 201,6 260,4
16-18 tahun 2,6 2675 6955,0 66 171,6 260,0
19-29 tahun 9,5 2725 25887,5 62 589,0 969,0
30-49 tahun 14,5 2625 38062,5 65 942,5 1421,0
50-64 tahun 5,3 2325 12322,5 65 344,5 461,1
65-79 tahun 1,9 1900 3610,0 62 117,8 91,2
80+ tahun 0,3 1525 457,5 60 18,0 11,4
Perempuan 0,0 0,0
10-12 tahun 2,9 2000 5800,0 60 174,0 217,5
13-15 tahun 2,9 2125 6162,5 69 200,1 232,0
16-18 tahun 2,7 2125 5737,5 59 159,3 216,0
19-29 tahun 9,6 2250 21600,0 56 537,6 806,4
30-49 tahun 14,6 2150 31390,0 57 832,2 1182,6
50-64 tahun 5,5 1900 10450,0 57 313,5 390,5
65-79 tahun 2,3 1550 3565,0 56 128,8 89,7
80+ tahun 0,5 1425 712,5 55 27,5 18,0
Hamil (+an) 0,0 0,0
Trimester 1 0,6 +180 108,0 20 12,0 4,2
Trimester 2 0,6 +300 180,0 20 12,0 6,6
Trimester 3 0,6 +300 180,0 20 12,0 6,6
Menyusui (+an) 0 0
6 bl pertama 0,8 +330 264 20 16,0 9,6
6 bl kedua 0,8 +400 320 20 16,0 12,0
100,0 214659,5 5658,1 7584,6
Rata-rata/kapita/hari 2132 kkal 56,6 g 75,8 g
Angka Diperhalus 2150 kkal 57,0 g 76,0 g
Keterangan : *)AKP yang didasarkan pada kajian keseimbangan nitrogen
**)AKP yang didasarkan pada distribusi persentase energi gizi makro

48
Daftar Pustaka

1. Badan Pusat Statistik (BPS). (2012). Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. Edisi 25 Juni 2012.
Jakarta : Badan Pusat Statistik.
2. Badan Pusat Statistik (BPS). (2009). Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan
Provinsi 2009. Jakarta : Badan Pusat Statistik.
3. Baker JL, Michaelsen KF, Rasmussen KM, Sorensen TIA. (2004). Maternal Pre-pregnant
BodyMass Index, Duration of Breastfeeding, and Timing of Complementary Food Introduction are
associated with Infant Weight Gain”. Am J Clin Nutr 80:79-88.
4. Balitbangkes. (2010). Riset Kesehatan Dasar 2010. http://www.riskesdas.litbang.depkes.go.id/ [25
Feb 2011].
5. Boyle MA., and Roth SL. (2010). Personal Nutrition. Seventh Edition. Belmont : Wadsworth
Cengage Learning.
6. Brown JE. (2011). Nutrition through the Life Cycle”. Fourth Edition. Belmont : Wadsworth
Cengage Learning.
7. Campbell WW., Johnson JA., McCabe GP., and Carnell NS. (2008). Dietary Protein Requirements
of Younger and Older Adults. Am J Clin Nutr 88:1322–9.
8. Chen J. and Raymond K. (2008). Beta-glucans in the Treatment of Diabetes and Associated
Cardiovascular Risks. Vasc Health Risk Manag. 4(6): 1265–1272.
9. FAO/WHO/UNU. (2007). Protein and Amino Acids Requirements in Human Nutrition. WHO
Technical Report Series 935. Geneva : WHO.
10. FAO. (2013). Dietary Quality Protein Evaluation in Human Nutrition. Rome : FAO.
11. Fauji M. (2011). Aktivitas Fisik dan Kaitannya dengan Kecukupan dan Tingkat Konsumsi Cairan
pada Remaja dan Dewasa [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
12. Gibson RS. (2005). Principles of Nutritional Assesment. Second Ed. New York: Oxford University
Press.
13. Hardinsyah, Martianto D. (1992). Menaksir Kecukupan Energi dan Protein serta Penilaian Mutu
Konsumsi Pangan. Jakarta: Wirasari.
14. Hardinsyah dan Tambunan, V. (2004). Kecukupan Energi, Protein, Lemak dan Serat Makanan.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII 17 – 19 Mei 2004. Jakarta : LIPI.
15. Hardinsyah, Irawati, A., Kartono, D., Prihartini S., Linorita I., Amilia L., Fermanda M., Adyas
E.E., Yudianti D., Kusharto C.M. dan Heryanto Y. (2012). Pola Konsumsi Pangan dan Gizi
Penduduk Indonesia. Bogor : Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB dan Badan Litbangkes
Kemenkes RI.
16. Henry CJK. (2005). Basal Metabolic Rate Studies in Humans: Measurements and Developmnet of
New Equations. Public Health Nutrition 8(7)A:1133-1152.
17. [IOM] Institute of Medicine. (2005). Dietary Reference Intake for Energy, Carbohydrate, Fiber,
Fat, Fatty Acids, Cholesterol, Protein, and Amino Acids”. A Report of the Panel on
Macronutrients, Subcommittees on Upper Reference Levels of Nutrients and Interpretation and
Uses of Dietary Reference Intakes, and the Standing Committee on the Scientific Evaluation of
Dietary Reference Intakes. Washington, DC. : National Academies Press.
18. Krems C., Luhrmann P.M., Strussburg A., Hartmann B., NeuHauser-Berthold M. (2005). Lower
Resting Metabolic Rate in the Elderly may not be Entirely Due to Changes in Body Composition.
Eur J Clin Nutr. 59(2):255-62.
19. Letexier D., Diraison F. and Beylot M. (2003). Addition of Inulin to a Moderately High-
Carbohydrate Diet Reduces Hepatic Lipogenesis and Plasma Triacylglycerol Concentrations in
Humans”. Am J Clin Nutr 77:559–64
20. Mahan K. dan Escott-Stump. (2008). Food, Nutrition, and Diet Therapy. USA: W.B Saunders
Company.
21. McGuire M and Beerman K.A. (2011). Nutritional Sciences: From Fundamentals to Food. Second
Edition. Belmont : Wadsworth Cengage Learning.
22. Moffatt R.J. and Stamford B. (2006). Lipid Metabolism and Health. Boca Raton : CRC Press.
23. Popkin BM., D’Anci KE., Rosenberg IH. (2010). Water, Hydartion and Health. Nutr Rev 68(8) :
439-458.
24. Santoso B.I., Hardinsyah, Siregar P., Pardede S.O. (2011). Air Bagi Kesehatan. Jakarta: Centra
Communications.
25. Siregar P., Susalit E., Wirawan R., Setiati S., Sarwono W. (2009). Optimal Water Intake for the
Elderly: Prevention of Hyponatremia”. Med J Indonesia 18:18-25.

49
26. United Nations University Center. Constituents of Human Milk.
http://archive.unu.edu/unupress/food/8F174e/8F174E04.htm
27. Vance DE., and Vance JE. (2008). Biochemistry of Lipids, Lipoproteins and Membranes. 5th
Edition. Amsterdam : Elsevier.
28. Verdu JM., Navarrete GR.. (2009). Physiology of Hydration and Water Nutrition. Spanyol:
Published in partnership with coca cola Espana.
29. [WHO] World Health Organization. (2007). Body Mass Index Classification.
http://apps.who.int/bmi/index.html [10 Agustus 2011].
30. [WHO] World Health Organization. (2007). Protein and Amino Acid Requirements in Human
Nutrition. Report of a Joint WHO/FAO/UNU Expert Consultation . Geneva : WHO.
31. [WHO] World Health Organization. (2008). Interim Summary of Conclusions and Dietary
Recommendations on Total Fat & Fatty Acids.
http://www.who.int/entity/nutrition/topics/FFA_summary_rec_conclusion.pdf [20 Okt 2011].
32. [WNPG] Widyakarya Pangan dan Gizi VIII. (2004). Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi
Daerah dan Globalisasi. 17-19 Mei 2004.

50
KECUKUPAN AIR
Mary Astuti1), Hardinsyah2), Parlindungan Siregar3) dan Susilowati 1)
1)
Fakultas Teknologi Pertanian, UGM
2)
Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB
3)
Fakultas Kedokteran UI

Jalan Bulak Sumur, Yogjakarta


E-mail ana_food@yahoo.com

Abstrak
Air adalah salah satu zat gizi makro esensial yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah terbanyak
diantara semua zat gizi. Air disusun oleh unsur H dan O dan tidak berperan sebagai sumber
energi, tetapi air mempunyai peran besar dalam reaksi yang menghasilkan energi. Selain itu
air di dalam tubuh berperan sebagai pembentuk sel, pengatur suhu tubuh, pelarut, pelembab,
pelumas sendi, pelindung atau bantalan organ, dan mengalirkan pembuangan sisa makanan.
Air dan zat-zat yang terlarut di dalamnya (cairan) merupakan komponen tubuh terbesar,
terdistribusi dalam cairan ekstraseluler dan cairan intraseluler. Zat yang terlarut dalam air
adalah protein, glukosa, elektrolit dan yang lain. Elektrolit yang penting dalam cairan
ekstraseluler adalah Natrium dan elektrolit utama dalam cairan intraseluler adalah Kalium.
Air dan elektrolit akan bergerak keluar dan masuk sel melalui membran sel. Keseimbangan
air dan elektrolit diatur oleh regulator sistem osmose dan regulator volume. Regulator osmose
terutama mengatur eksresi air melalui ginjal serta mempengaruhi pusat rasa haus. Sensor dari
regulator osmose terletak pada hipotalamus dan pusat rasa haus yang dipengaruhi oleh tinggi
rendahnya osmolalitas plasma. Kekurangan air tubuh terjadi kalau jumlah air yang
dikeluarkan lebih besar dibandingkan jumlah air yang dikonsumsi. Dehidrasi pada anak
remaja di Indonesia mencapai hampir 50%. Dehidrasi dapat berdampak buruk terhadap
mood, konsentrasi, kinerja, dan kesehatan. Jumlah air yang dianjurkan untuk dikonsumsi
setiap hari ditentukan menurut berat badan, jenis kelamin dan kondisi fisiologis tertentu.
Pada bayi usia kurang dari 6 bulan, jumlah air yang dianjurkan untuk dikonsumsi berdasarkan
jumlah ASI yang dikonsumsi. Penentuan angka kecukupan air pada anak dan orang dewasa
berbeda karena terdapatnya perbedaan fisiologis. Pada anak-anak usia 1-18 tahun digunakan
rumus Darrow sedangkan pada orang dewasa digunakan dasar Luas Permukaan Tubuh. Pada
perhitungan Luas Permukaan Tubuh, berat badan yang dipergunakan untuk menghitung
adalah berat badan orang Indonesia. Jumlah air yang dianjurkan untuk ibu hamil adalah
sebesar anjuran pada perempuan dewasa ditambah 300 ml karena adanya penambahan cairan
dalam jaringan. Pada ibu menyusui dianjurkan tambahan kebutuhan air 750 ml setara dengan
produksi ASI.

Kata kunci:
air, zat gizi esensial, kecukupan air

51
I. PENDAHULUAN

Air merupakan zat gizi yang tidak terlepas dari kehidupan manusia dan mahluk hidup
lainnya. Air merupakan komponen utama sel, jaringan ataupun organ didalam tubuh yang
sangat vital bagi kehidupan manusia. Manusia bertahan hidup tanpa mengkonsumsi air tidak
lebih dari 5 hari, yang lebih singkat dibandingkan tanpa mengkonsumsi makanan padat yang
berisi karbohidrat, protein maupun lemak.
Meskipun air merupakan zat gizi namun belum banyak perhatian yang diberikan oleh
para ilmuwan, peneliti maupun pemerintah terhadap air. Pemerintah dalam Pedoman Umum
Gizi Seimbang yang dikeluarkan pada tahun 1999, memberikan 13 pesan dasar agar orang
Indonesia hidup dengan sehat. Salah satu pesannya (pesan ke-9) adalah minumlah air bersih,
aman dan sehat secukupnya. Pesan dalam buku tersebut akan sulit ditangkap oleh masyarakat
karena tidak semuanya membaca dan memahami PUGS.

Zat gizi adalah substansi dalam bahan pangan yang diperlukan dan digunakan oleh
tubuh untuk pertumbuhan, perbaikan dan metabolisme normal. Jumlah yang dibutuhkan dari
luar tubuh cukup banyak dibandingkan jumlah yang disintesa di dalam tubuh. Perhatian
ilmuwan terhadap zat gizi protein, lemak, karbohidrat maupun vitamin dan mineral cukup
besar baik dalam program penanggulangan masalah gizi mikro maupun masalah gizi makro
kecuali pada air karena air dianggap belum menimbulkan masalah gizi dan kesehatan. Belum
dikaji pula secara mendalam apakah ada hubungan antara timbulnya masalah gizi ataupun
masalah kesehatan dengan defisiensi air. Padahal dari aspek fisiologis air mempunyai peran
yang sangat penting. Tanpa adanya air maka berbagai reaksi metabolisme dari zat gizi makro
tidak bisa berlangsung dengan baik, dan tanpa adanya air yang cukup zat gizi dalam sel tidak
bisa berfungsi dengan baik.
.

II. JUMLAH AIR DALAM TUBUH DAN DISTRIBUSINYA

Air terdiri atas unsur Hidrogen dan Oksigen yang membentuk suatu senyawa dengan
rumus H2O. Struktur air tersebut dapat membentuk ikatan dengan senyawa lain melalui ikatan
Hidrogen (H-bonding). Keistimewaan sifat fisikokimia air membuat mahluk bisa bertahan
hidup. Pada manusia, sel adalah bagian terkecil dari tubuh. Pada semua sel biologis akan tetap
bertahan hidup karena adanya air. Air yang bersifat polar mengakibatkan beberapa senyawa
akan terlarut ataupun tersuspensi. Senyawa yang terlarut ataupun tersuspensi adalah zat gizi
yang terdapat di dalam sel biologis. Dengan sifat polaritas air tersebut peranannya terhadap
kehidupan sel sangatlah besar.

Jumlah air dalam tubuh (Total body water) yang dinyatakan sebagai persen massa bebas
lemak pada bayi jumlahnya paling besar yaitu sekitar 75% (Fomon., 1967). Pada bayi massa
lemak sangat rendah yaitu sekitar 13-15% dan massa bebas lemak yang terdiri atas protein,
mineral, glikogen serta air sangat besar. Pada massa bebas lemak tersebut jumlah airnya
paling dominan. Semakin meningkat usia seseorang maka jumlah air dalam tubuh akan
semakin menurun karena terjadi peningkatan massa lemak. Jumlah air dalam tubuh bebas
lemak sangat bervariasi yang disebabkan karena perbedaan komposisi tubuh. Pada Tabel 1
terlihat jumlah air dalam tubuh berdasarkan atas umur dan gender.

52
Tabel 1. Persentase air dalam tubuh manusi (%)

Umur Laki-laki, % Perempuan,%


0-6 bl 74 (64-84) 74 (64-84)
6 -12 bl 60 (57-64) 60 (57-64)
1-12 th 60 (49-75) 60 (49-75)
12-18 th 59 (52-66) 56 (49-63)
19-50 th 59 (43-75) 50 (41-60)
51+ 56 (47-67) 47 (39-57)
Sumber : Altman, 1961

Seperti terlihat pada Tabel 1, perbedaan total air pada tubuh terjadi pada usia 12 tahun,
yaitu pada masa pertumbuhan massa bebas lemak pada laki-laki lebih besar dibandingkan
pada perempuan. Pada tubuh seseorang yang kandungan lemaknya rendah tetapi massa
ototnya lebih besar, maka kandungan glikogennya lebih besar sehingga jumlah air pada
jaringan bebas lemak lebih besar karena adanya tekanan osmose oleh granula glikogen di
dalam sarkoplasma otot.

Air dalam tubuh didistribusikan dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler. Air beserta
senyawa yang terlarut di dalam ruang ekstraseluler menggambarkan jumlah cairan dalam
plasma dan dalam ruang antar sel sedangkan cairan dalam intraseluler menggambarkan
jumlah cairan didalam sel. Rasio jumlah cairan dalam intraseluler dengan ekstraseluler adalah
65:35 sehingga pada laki-laki dewasa dengan berat 70 kg jumlah cairan dalam intraseluler
sebanyak 28 L sedangkan di ekstrseluler sebanyak 14 L, dan dalam plasma terdapat 3 L dan
dalam ruang antar sel sebanyak 11 L. Jumlah cairan tersebut tidak statis tetapi dinamis
sehingga selalu terjadi aliran air pada kedua ruang tersebut ataupun terjadi perubahan jumlah
air karena kondisi tubuh seperti aktivitas fisik tubuh, kondisi diare, panas badan yang tinggi
dan lain sebagainya. Kondisi hidrasi akan dipertahankan tetap stabil dengan adanya sistem
pengaturan dalam tubuh. Oleh karena terdapat senyawa yang larut dalam air, maka cairan
dalam tubuh baik didalam sel maupun jaringan dan organ tidak ada yang 100% air.

Aliran air dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler tergantung pada tekanan osmose,
yaitu air akan mengalir dari ruang yang jumlahnya sedikit ke tempat yang jumlahnya banyak
secara osmose. Perpindahan cairan dari plasma ke ruang antar sel terjadi melalui kapiler.
Kapiler pada jaringan yang berbeda strukturnya akan mengakibatkan perbedaan permiabilitas
air ataupun zat yang terlarut di dalamnya. Daya transkapiler untuk mengalirkan air dari dan ke
ruang antar sel terjadi karena tekanan hidrostatik dan tekanan osmose yang berkaitan dengan
konsentrasi protein dalam serum (Costil dan Fink., 1974).

Volume ekstraseluler terdiri atas plasma darah dan lainnya berupa cairan antar sel,
cairan limfa, cairan pada saluran pencernaan, cairan mata dan juga cairan pada sambungan
tulang (joints). Volume intraseluler berada dalam sel dari berbagai organ ataupun jaringan
seperti sel darah, sel jantung, sel liver, sel ginjal, sel paru-paru, sel tulang dan lain sebagainya.

Volume ekstraseluler dan intraseluler akan dikontrol sedemikian rupa sehingga


volumenya tidak menjadi berkurang. Apabila volume intraseluler berkurang maka proses
metabolisme termasuk metabolisme energi tidak bisa berlangsung secara efisien. Sebaliknya
apabila volume ekstraseluler menurun akan mengakibatkan volume plasma menurun yang
akan berpengaruh terhadap jumlah oksigen yang dapat didistribusikan ke seluruh bagian
tubuh. Kandungan oksigen yang rendah disebut hipoksia. Rendahnya oksigen dalam larutan

53
akan mengakibatkan kebutuhan oksigen untuk reaksi pembentukan energi kurang terpenuhi
sehingga produksi energi menjadi lebih rendah.

Senyawa yang terlarut dalam cairan ekstraseluler dan intraseluler adalah elektrolit yang
pada cairan ekstraseluler didominasi oleh Natrium dan Khlor dan dalam cairan intraseluler
didominasi oleh Kalium dan Fosfat. Untuk mempertahankan konsentrasi Natrium ataupun
Kalium diatur melalui mekanisme pompa Na-K di dalam membran sel. Cairan intraseluler
dipertahankan konsentrasinya sedangkan cairan ekstraseluler bersifat lebih dinamis dan
kondisi homeostasis cairan ekstraseluler diatur oleh beberapa hormon dan melibatkan
beberapa organ. Homeostasis cairan ekstraseluler sangat berhubungan erat dengan Na dalam
cairan ekstraseluler.

III. ASPEK FISIOLOGIS AIR

Air menjadi komponen utama bagi semua jaringan tubuh dan pada setiap sel air yang
terdapat pada sitoplasma mengisi struktur, memberikan kharakteristik bentuk dan kekokohan.
Didalam cairan intraseluler, air berperan sebagai media reaksi maupun ikut berperan dalam
suatu reaksi seperti dalam pemecahan protein, lemak ataupun karbohidrat melalui proses
hidrolisis. Senyawa sederhana hasil pencernaan makronutrien akan ditranspor dalam satu
organel ke organel lainnya didalam sel dan juga transpor nutrien dari ekstraseluler ke
intraseluler atau sebaliknya. Tanpa adanya air yang membasahi organ-organ dalam tubuh
seperti organ mata, maka mata akan menjadi kering dan sakit. Makanan yang dikunyah dan
bercampur dengan cairan ludah membentuk bolus akan menjadikan makanan tersebut lebih
mudah untuk ditelan. Sambungan tulang yang cairannya kurang akan membuat lutut ataupun
siku akan terasa sakit kalau digerakkan. Air yang bersifat polar akan melarutkan ion-ion dan
dengan sifat polaritas air tersebut maka larutan bisa bersifat asam, basa ataupun netral.
Kehidupan manusia dapat berlangsung secara normal apabila suhu tubuh dapat dipertahankan
dalam kisaran suhu yang normal yaitu 37oC. Apabila suhu tubuh turun sampai 27oC atau naik
menjadi 42oC yang terjadi adalah kematian. Peranan air dalam mengatur suhu tubuh melalui
beberapa cara seperti mekanisme penormalan suhu tubuh. Salah satu caranya adalah dengan
melalui suplai darah, yaitu pada saat suhu tubuh menurun maka panas yang dihasilkan oleh
energi akan dibawa pembuluh darah ke permukaan kulit, akibatnya lebih sedikit darah
disirkulasikan sehingga kehilangan panas akan dihambat. Sebaliknya apabila suhu tubuh
meningkat maka kapiler darah yang berada dekat kulit menjadi lebih besar diameternya
sehingga suply darah lebih banyak kearah permukaan kulit yang dekat udara yang lebih
dingin sehingga panas keluar tubuh melalui kulit ke lingkungan sekitarnya. Peningkatan
jumlah keringat yang dihasilkan saat suhu tubuh meningkat merupakan salah satu cara
bagaimana air berperan dalam mengatur suhu tubuh. Sekitar 600 kkal panas tubuh akan
dikeluarkan di saat 1 L keringat dikeluarkan. Dalam suatu reaksi pembentukan energi dari
sumber karbohidrat, lemak dan portein air mengambil bagian yang sangat besar. Oleh karena
itu tidak ada satu sistem dalam tubuh yang tidak tergantung dengan air. Dengan demikian air
merupakan zat gizi yang sangat penting dalam kehidupan manusia.

54
SUMBER AIR

Air sebagai zat gizi yang sangat penting bagi kehidupan manusia, berasal dari riga
sumber yaitu (i) minuman, (ii) makanan dan (iii) air yang dihasilkan pada proses
metabolisme. Air yang dibutuhkan oleh tubuh paling banyak berasal dari luar tubuh karena
sintesa air di dalam tubuh sangat sedikit sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhannya.

A. Air Minuman
Berbagai sumber air yang berasal dari minuman ada yang berupa air, jus buah dan jus
sayur, minuman isotonik, hipotonik, hipertonik, minuman penyegar seperti teh, kopi ataupun
coklat, minuman berkarbonatasi dan juga air zam-zam yang diminum terutama pada saat naik
haji. Berbagai jenis minuman yang dikonsumsi mempunyai nilai pH yang berbeda-beda yang
akan mempengaruhi pH darah atau pH tubuh. Pada kondisi pH yang cenderung rendah akan
berdampak terhadap kesehatan tubuh.

Air yang telah didistilasi bersifat asam dan mempunyai pH yang rendah dan bersifat
neurotoksin (Caulkins.,2011). Air yang mengalami penyaringan atau disebut air berion
(ionized water) mengandung total zat padat terlarut yang tinggi sehingga pH air menjadi
tinggi. Air tersebut juga mengandung beberapa elemen anorganik. Kandungan asam dalam air
berion yang dihilangkan (deionized water) akan mengakibatkan pH menjadi tinggi. Air kran
(tap water) mempunyai kandungan zat padat yang terlarut cukup tinggi, mengandung
senyawa organik, asamnya cukup tinggi dan juga mengandung beberapa kontaminan seperti
flor, khlorin dan lain sebagainya.

Air dan minuman yang dikonsumsi dengan nilai pH yang beragam akan
mempengaruhi pH darah. Pada kondisi normal pH darah berada pada kisaran pH 7.35-7.45.
Meskipun pH minuman yang dikonsumsi ada yang tidak sama dengan pH tubuh tetapi tubuh
mempunyai sistem yang berupaya agar supaya pH tetap netral. Namun apabila konsumsi
minuman dengan pH rendah terlalu sering dilakukan kemungkinan akan mempengaruhi pH
darah yang akan mengakibatkan kesehatan tubuh kurang baik. Meskipun di dalam tubuh
terdapat suatu sistem yang akan mengatur keseimbangan asam dan basa, namun dalam suatu
metabolisme seluler reaksi-reaksi banyak tergantung pada pH dan kerja ensim sangat sensitif
terhadap pH. Sistem buffer protein yang bersifat amfoter akan berusaha menetralkan pH yang
terlalu rendah ataupun terlalu tinggi. Meskipun terdapat buffer protein namun sebaiknya
makanan ataupun minuman yang dikonsumsi yang bersifat netral atau sedikit alkalis.
Penelitian yang dilakukan pada ayam broiler yang pada minumnya diberi CO2, menunjukkan
penurunan pH plasma dibandingkan yang tidak ditambah CO2 (Raup dan Bottle., 1990).
Tabel 2 menunjukkan pH beberapa minuman.
Tabel 2. pH beberapa jeni minuman
No Jenis minuman Nilai pH
1 Air Zam-zam 7,90 – 8,00
2 Air mineral 7,78 – 7,94
3 Air beroksigen 5,91 – 6,30
4 Air Heksagonal 6,96 – 7,00
5 Minuman isotonik 3,71 – 4,57
6 Minuman Teh 3,49 – 7,19
7 Minuman berkarbonatasi 2,85 – 3,56
8. Minuman jus buah 3,75- 4, 64
9. Air kelapa muda 5,65 – 5,90
Sumber : Mary Astuti, 2009

55
B. Air Makanan
Air yang berasal dari makanan jumlahnya sangat bervariasi, misalnya kandungan nasi
per 100 g sebanyak 56,7 g adalah air dan pada bikang ambon sebanyak 51.5 g/100 g.
Kandungan air pada cookies sekitar 4-9%. Tergantung jenis makanan yang dikonsumsi maka
jumlah air yang dikonsumsi juga berbeda-beda. Menu makanan yang banyak sayurannya
maka jumlah airnya juga lebih banyak dibandingkan makanan yang lebih kering.
Diperkirakan jumlah air yang berasal dari makanan sekitar 20%-30% dari jumlah air yang
dikonsumsi. Pada Tabel 3 menunjukkan jumlah air yang terdapat pada beberapa makanan
yang biasa dikonsumsi di Indonesia.

Tabel 3. Kandungan air pada beberapa makanan di Indonesia

No Nama Makanan Kandungan air,


(%)
1 Getuk goreng Sokaraja 16,5
2 Tahu goreng 77,3
3 Kacang atom 3,1
4. Tempe goreng 36,8
5 Sayur brongkos 76,4
6 Rawon 86,7
7. Nasi 55,4
8. Gudeg 69,2
9. Gado-gado 68,5
10, Dada Ayam goreng mbok Berek 43,4
Sumber : Mien Mahmud dkk., 1990

C. Air metabolisme
Air yang dihasilkan melalui proses metabolisme di dalam tubuh jumlahnya sangat
sedikit. Setiap gram protein menghasilkan 0.42 ml, setiap gram lemak menghasilkan 1,07 ml,
dan setiap gram karbohidrat akan menghasilkan 0,6 ml air. Jumlah air yang dihasilkan pada
metabolisme sangat tergantung pada jumlah karbohidrat, protein dan lemak yang dikonsumsi
setiap hari. Hal tersebut dapat dihitung dari asupan atau kebutuhan karbohidrat, protein dan
lemak setiap hari. Jumlah air yang berasal dari proses metabolisme sekitar 10% kecukupan
air. Semakin tinggi konsumsi atau kecukupan lemak semakin tinggi jumlah air metabolime.

Berdasarkan makalah WNPG X berjudul Kecukupan Energi, Protein, Lemak dan


Karbohidrat, jumlah kecukupan protein, lemak dan karbohidrat bagi perempuan dewasa umur
30-49 tahun masing-masing adalah 57, 60 dan 323 gram dengan total kecukupan energi
perorang perhari 2625 kkal (Hardinsyah, Riyadi dan Tambunan, 2012). Berdasarkan jumlah
kecukupan tersebut, jumlah air metabolisme yang dihasilkan bila sejumlah zat gizi tersebut
dikonsumsi adalah 342 ml atau setara dengan 14% kebutuhan air dengan asumsi kecukupan
airnya 2000mL.

IV. KEHILANGAN AIR

Air yang terdapat dalam tubuh akan dapat mengalami kehilangan melalui beberapa
cara yaitu :

56
A. Urin dan Feses
Urin adalah air dan zat yang terlarut didalamnya yang dikeluarkan sebagai hasil sisa
metabolisme. Jumlah air yang dikeluarkan melalui sistem ginjal bervariasi dari 1-2 L per hari
tergantung pada jumlah cairan yang dikonsumsi dan status hidrasi. Aktivitas fisik dan kondisi
cuaca akan mempengaruhi pengeluaran urin. Aktivitas fisik dan cuaca panas akan
mempengaruhi pengeluaran urin sekitar 20-60% sedangkan pada kondisi cuaca dingin dan
hipoksia akan meningkatkan pengeluaran urin. Warna urin selain ditentukan oleh zat yang
terlarut juga dipengaruhi oleh air sebagai pelarutnya, sehingga warna urin sering
dipergunakan sebagai indikator terjadinya dehidrasi. Dalam urin kadang-kadang ada sedimen
yang menunjukkan adanya sel darah merah, sel darah putih, kristal, epitel, bakteri ataupun
jamur.

Berat jenis urin (urin specific gravity) bervariasi sekitar 1.005-1.030. Berat jenis urin
juga dapat dijadikan sebagai indikator dehidrasi apabila nilainya lebih besar dari nilai
normalnya (1.02). Apabila terjadi dehidrasi yang berat di dalam urin terdapat mikroalbumin,
namun apabila terdapat silinder atau endapan protein mengindikasikan bahwa terjadi penyakit
pada ginjal sebagai organ yang mengatur pengeluaran urin. Osmolalitas urin yaitu jumlah
semua partikel yang terlarut dalam urin. Osmolalitas urin dipergunakan untuk mengukur
kepekatan urin, pengukuran osmolalitas lebih akurat dibandingkan dengan mengukur berat
jenis urin karena berat jenis urin dipengaruhi oleh partikel yang tidak terlarut. Pada kondisi
seseorang mengalami dehidrasi maka osmolalitasnya akan meningkat.
Air yang masuk dalam alat pencernaan makanan tidak seluruhnya diserap tetapi
sebagian kecil akan dikeluarkan bersama sama dengan feses. Jumlah air yang dikeluarkan
bersama feses dalam keadaan normal sekitar 100-200 ml per hari.

B. Keringat
Keringat adalah air yang dikeluarkan oleh kelenjar keringat pada kulit manusia.
Senyawa utama dalam keringat selain air adalah Natrium Khlorida (NaCl) dan beberapa
senyawa lain yang bertanggung jawab terhadap aroma keringat seperti senyawa metilfenol.
Air yang terdapat dalam keringat memicu efek pendinginan oleh karena itu di saat cuaca
panas ataupun banyak melakukan aktivitas fisik, keringat akan dihasilkan. Keringat
dikeluarkan oleh dua kelenjar yaitu kelenjar ekrin yang terdapat seluruh permukaan tubuh
tetapi lebih banyak terdapat pada telapak tangan, telapak kaki dan wajah, yang dihasilkan
adalah air yang mengandung berbagai macam garam dan kelenjar apokrin yang menghasilkan
keringat yang mengandung lemak. Kelenjar apokrin terutama menghasilkan keringat di ketiak
dan sekitar alat kelamin. Aktivitas kelenjar ini menghasilkan bau karena aktivitas bakteri yang
memecah komponen organik dari keringat yang dihasilkannya. Keringat yang dikeluarkan
oleh tubuh dapat memperlancar sirkulasi darah. Jumlah keringat yang dikeluarkan dalam
keadaan normal sekitar 0.1L per hari.

C. Pernafasan dan Penguapan


Pernafasan adalah pertukaran gas antara makhluk hidup dengan lingkungannnya atau
suatu proses menghirup oksigen dari udara serta mengeluarkan CO2 dan uap air. Jumlah air
yang dikeluarkan melalui pernafasan adalah 300 ml per hari.
Kehilangan air tubuh juga dapat melalui por dari permukaan kulit melalui proses
penguapan. Semakin besar luas permukaan kulit yang terbuka dan semakin panas suhu
lingkungan semakin banyak kehilangan air tubuh melalui penguapan.

57
V. STATUS HIDRASI

Cairan dalam tubuh terdiri dari cairan ekstrasel dan cairan intrasel. Pada orang
dewasa, volume cairan intrasel sekitar 60% total cairan tubuh atau 36% dari berat badan.
Volume cairan ekstrasel sebesar 40% total cairan tubuh atau 24% dari berat badan. Cairan
ektrasel dibagi dua, yaitu cairan intarvaskular (plasma) yg jumlahnya sekitar 10% total cairan
tubuh atau 6% berat badan orang dewasa; dan cairan interstisium yg jumlahnya sekitar 30%
total cairan tubuh atau 18% dari berat badan orang dewasa (Santoso dkk, 2011).

Kecukupan air yang berada di dalam tubuh baik dalam cairan ekstraseluler maupun
intraseluler dinyatakan sebagai status hidrasi. Status hidrasi diukur dengan alat yang disebut
Bio Electric Impendance (BIA) meskipun menurut Bartok dkk (2004), pengukuran dengan
BIA kurang sensitif untuk hiperhidrasi. Status hidrasi dievaluasi pada osmolalitas plasma
yang dikontrol oleh sistem homeostasis. Homeostasis adalah keadaan yang relatif konstan di
dalam lingkungan internal tubuh, dipertahankan secara alami oleh mekanisme adaptasi
fisiologis. Untuk sebagian besar mekanisme tersebut dikontrol oleh sistem saraf dan endokrin
dan tidak mencakup perilaku sadar.

Status hidrasi cairan ekstraseluler erat berhubungan dengan kadar Natrium. Apabila
volume cairan ekstraseluler ataupun konsentrasi Natrium meningkat akan berakibat
peningkatan volume darah yang akan mengakibatkan peningkatan pengeluaran Natriuretic
Peptide (NP). Sebagai akibatnya terjadi penurunan hormon Aldosteron yang berakibat pada
meningkatnya jumlah cairan dalam urin. Pada saat terjadi kenaikan NP maka hormon ADH
yang dikeluarkan menurun, sehingga rasa haus menjadi berkurang dan asupan air juga
berkurang akibatnya urin yang dikeluarkan juga lebih banyak. Sebaliknya terjadi kondisi yang
berbeda apabila volume cairan ekstraseluler dan konsentrasi Na menurun. Sistem menjadi
berbeda karena dengan menurunnya volume darah dan menurunnya tekanan darah akan
terjadi peningkatan sekresi Rennin dan aktivasi angiotensin II. Akibatnya hormon Aldosteron
dan ADH meningkat sehingga terjadi peningkatan rasa haus dan asupan cairan meningkat,
jumlah cairan yang dikeluarkan urin sedikit.

A. Dehidrasi

Kecukupan air di dalam tubuh dinyatakan dengan status hidrasi sedangkan apabila
kekurangan air disebut dehidrasi. Dehidrasi adalah suatu kondisi tubuh yang mengalami
kekurangan air paling tidak 1% dari berat tubuh (Kleiner., 1999). Kehilangan air tersebut
dalam bentuk cairan. Dalam kondisi kekurangan yang ringan maka dengan mengkonsumsi air
yang cukup kondisi hidrasinya dapat dipertahankan kembali normal. Apabila dalam beberapa
menit terjadi dehidrasi seluler maka seseorang akan merasa haus. Apabila rasa haus tersebut
tidak disertai dengan tindakan mengkonsumsi air maka akan terjadi penurunan volume
plasma darah. Apabila volume plasma darah menurun maka ginjal akan memberikan respon
dengan meningkatkan Rennin yang kemudian akan meningkatkan sirkulasi angiotensin II.
Renin-angiotensin merupakan sistem hormon yang secara kritis berperan dalam perilaku
minum. Angiotensin II yang dihasilkan oleh Renin akan disirkulasikan kedalam darah.

Sensitivitas rasa haus sangat penting dalam mencegah dehidrasi. Gejala dan akibat
dehidrasi sangat tergantung dari berat ringannya kondisi dehidrasi. Ada tiga faktor fisiologis
yang mempengaruhi rasa haus yaitu (i) cerebral osmoreceptor, (ii) extra-cerebral
osmoreceptors dan (iii) volume receptor (Greenleaf., 1996). Osmoreceptor bertanggung jawab

58
terhadap dehidrasi seluler dengan adanya tekanan osmose yang mengakibatkan aliran cairan
dari sel. Volume reseptor bertanggung jawab terhadap dehidrasi ekstraseluler karena
kehilangan cairan dari vaskular dan ruang antar sel, sedangkan osmoreseptor diaktifkan oleh
banyaknya cairan yang hilang. Dengan demikian osmoreseptor bertindak sebagai garda depan
pertahanan homeostasis dalam melawan dehidrasi. Aktivasi osmoreseptor akan
mempengaruhi perilaku minum serta pengeluaran hormon Arginin vasopresin. Hormon
tersebut akan meningkatkan permiabilitas tubula ginjal dan mengurangi jumlah cairan yang
dikeluarkan melalui urin. Osmoreseptor tersebut terletak pada hipotalamus di area otak.
Kajian yang dilakukan The Indonesian Hydration Study (THIRST) membuktikan
bahwa masalah kurang air tubuh atau dehidrasi cukup tinggi di Indonesia. Berdasarkan hasil
studi ini 46,1 % subjek remaja dan dewasa yang diteliti dari enam daerah di Indonesia
mengalami dehidrasi. Kejadian dehidrasi pada kelompok remaja (49.5%) lebih tinggi
dibanding kelompok dewasa (42.5%) yg diukur berdasarkan urine specific gravity
(Hardinsyah dkk, 2010)

Air yang mempunyai peran sangat besar dalam berbagai proses reaksi di dalam tubuh,
akan terlihat dampaknya apabila tubuh mengalami dehidrasi. Menurut Lieberman., (2010)
dehidrasi dapat mempengaruhi fungsi kognitif. Meskipun demikian belum diketahui secara
lebih jelas pada dehidrasi berapa persen pengaruhnya menjadi nyata. Hal tersebut berkaitan
dengan kesulitan dalam menentukan variabel perilaku manusia dan juga pengukuran status
hidrasi yang lebih akurat, serta faktor yang berkaitan dengan suhu, dan stres yang akan
mempengaruhi dehidrasi sulit dikontrol. Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan
kognitif seperti keturunan, lingkungan, cara berfikir, dan kemungkinan reaksi biokimia dalam
sel-sel otak yang mempengaruhi fungsi sel otak.

Dehidrasi 1-2 % mengakibatkan badan lemah - kurang tenaga. Hal tersebut berkaitan
dengan produksi energi yang kurang cukup. Sebagaimana diketahui dalam produksi energi
terutama di mitokondria melibatkan serangkaian reaksi ensimatis yang membutuhkan air. Bila
jumlah air berkurang maka reaksi tidak bisa berjalan dengan normal. Air juga diperlukan
untuk melarutkan oksigen yang diperlukan pada metabolisme energi oksidatif. Kekurangan
oksigen menyebabkan reaksi pembentukan energi tidak berlangsung normal, yang selanjutnya
tubuh kekurangan energi dan menjadi lemas kurang bertenaga.

Dehidrasi 3-4% mengakibatkan terjadinya perubahan mood seseorang yang akan


mempengaruhi perilakunya. Orang menjadi tidak sabar dan mudah marah. Hal tersebut
berhubungan dengan naiknya suhu sebagai akibat kekurangan air, akibatnya terjadi perilaku
seseorang menjadi lebih agresif dan mudah marah. Selain menjadi mudah marah, dapat juga
terjadi peningkatan detak jantung dan pernafasan.

Seseorang yang tidak mengonsumsi makanan yang mengandung protein, lemak dan
karbohidrat dalam jumlah yang tidak mencukupi dalam waktu beberapa minggu akan
mengalami kelaparan yang akan berdampak pada kesehatan, sedangkan seseorang yang tidak
mengkonsumsi air dalam jumlah yang cukup dalam waktu kurang dari satu minggu
mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah air tubuh sampai 10 persen akan berdampak
kematian. Dengan demikian air merupakan zat gizi yang sangat penting bagi kehidupan
manusia. Oleh karena air sangat penting maka di dalam tubuh terdapat mekanisme pengaturan
rasa haus yang dilakukan oleh hipotalamus di dalam otak.

59
Dehidrasi juga akan mempengaruhi detak jantung dan tekanan darah pada saat
seseorang berada pada posisi berbaring pada suhu ruangan kemudian bangun. Pada kondisi
dehidrasi tersebut lebih sulit mengatur tekanan darah sehingga tekanan darah sistolik dan
diastolik yang berbeda jauh akan mengakibatkan seseorang terhuyung-huyung saat berdiri dan
kemungkinan akan jatuh. Peningkatan detak jantung sesuai dengan kondisi dehidrasinya.
Jenis minuman yang dikonsumsi yang dapat mempertahankan kadar Natrium dalam cairan
ekstraseluler juga akan mempengaruhi detak jantung (Astuti dkk., 2010).

Masyarakat Indonesia adalah penduduk Muslim terbesar di dunia yang pada bulan
Ramadan mereka akan menjalankan ibadah puasa Ramadan selama satu bulan. Puasa
Ramadan dilakukan pada siang hari atau saat matahari terbit dan bersinar dan akan diakhiri
pada saat matahari terbenam. Di daerah tropis puasa Ramadan umumnya berlangsung selama
12 jam tetapi di daerah subtropis dapat berlangsung lebih dari 12 jam. Penelitian yang
dilakukan Astuti dkk (2010) pada remaja usia 15-19 tahun yang menjalankan ibadah puasa
Ramadan di suatu pesantren menunjukkan bahwa para remaja tidak mengalami dehidrasi
yang ditunjukkan dengan nilai berat jenis urin yang tidak berbeda nyata pada saat mereka
tidak berpuasa. Kecukupan asupan air pada saat Sahur akan mempertahankan osmolalitas
plasma selama 12 jam berpuasa karena tubuh mempunyai kemampuan dalam mempertahan
osmolalitas plasma.

Salah satu dampak dehidrasi adalah terjadinya Hipernatremia atau peningkatan kadar
natrium dalam darah. Hipernatremia adalah keadaankadar Na lebih dari 145 mEq/L darah.
Kurang asupan air minum ataupun terlalu banyaknya air yang hilang melalui urin ataupun
diare dan muntah yang berlebihan bisa mengakibatkan hipernatremia. Air dan Natrium
bagaikan dua sisi mata uang yang saling terkait. Pada saat kandungan Natrium meningkat
maka hormon Aldosteron yang dikeluarkan lebih sedikit akibatnya jumlah Natrium yang
dikeluarkan melalui urin lebih banyak. Hal tersebut akan membuat kadar Natrium normal
kembali. Konsentrasi Natrium dalam cairan ekstraseluler diatur pula oleh hormon ADH. Pada
orang lanjut usia yang mengalami sensasi rasa haus menurun sering terjadi hipernatremia.
Gejala yang dihadapi adalah kebingungan atau demensia, kejang otot, kejang seluruh tubuh,
koma dan akhirnya mati. Lansia yang dirawat di rumah sakit akibat hipernatremia banyak
yang meninggal dunia. Oleh karena itu jumlah minuman yang harus dikonsumsi oleh lansia
harus diawasi agar supaya tidak terjadi hipernatremia.

B. Overhidrasi
Didalam tubuh terdapat suatu sistem yang bekerja untuk menstabilkan homeostasis
cairan tubuh. Oleh karena itu overhidrasi sangat jarang terjadi.
Kelebihan air atau banyaknya cairan yang menumpuk di jaringan tubuh umumnya
berhubungan dengan penyakit yang berkaitan dengan kelenjar hipofisa, ginjal, liver dan paru-
paru. Pada orang sehat meskipun jumlah air yang dikonsumsi melebihi anjuran, tetapi
pengeluaran urin ataupun keringat juga semakin besar. Pada orang yang tidak sehat karena
beberapa jaringan ataupun organ tidak berfungsi dengan baik maka air akan lebih banyak
tertahan dan untuk mengeluarkannya diperlukan pengobatan diuretik ataupun dengan
dipompa keluar.

60
VI. KONSUMSI AIR

Konsumsi air yang cukup merupakan syarat mutlak untuk mempertahankan kesehatan
dan kesejahteraan manusia. Meskipun dalam tubuh terdapat sistem yang mengatur
keseimbangan air namun apabila tanda-tanda yang diberikan oleh tubuh kurang direspon
dengan baik maka sistem tidak bisa berjalan dengan normal. Pada usia anak belum bisa
merasakan rasa haus maka orang tua perlu menyediakan minuman yang cukup bagi anaknya
dan mencatat berapa jumlah cairan yang dikonsumsi. Pada ibu yang sedang mengandung
yang kurang mengkonsumsi air akan mengakibatkan terjadinya sembelit atau konstipasi. Air
yang cukup jumlahnya dikonsumsi oleh ibu hamil juga akan membantu dalam penyerapan
vitamin yang larut air. Ibu hamil yang mengkonsumsi air sebanyak 1,675 L per hari akan
mengalami konstipasi dibandingkan yang cukup minum air sebanyak 2,03 L.

Konsumsi air pada ibu yang sedang hamil pada trimester ke III akan lebih besar
dibandingkan pada trimester II ataupun I (Anderson., 1986). Pada trimester III konsumsi air
sebanyak 2,46 L, trimester II dan I sebesar 2,182 L. Kecukupan konsumsi air pada ibu hamil
akan mencegah terjadinya kelahiran prematur. Selama kehamilan akan terjadi peningkatan
jumlah cairan dalam ekstraseluler, intraseluler ataupun air ketuban maka dianjurkan untuk
konsumsi air sebanyak 300 mL/hari lebih banyak dibandingkan pada perempuan yang sedang
tidakhamil. Apabila pada perempuan dewasa yang tidak hamil konsumsi airnya (total water
intake) sebanyak 2300 mL maka perlu ditambah 300 mL menjadi 2600 mL.

Konsumsi air dalam struktur H2O perlu diperhitungkan jumlah air yang terdapat dalam
makanan dan minuman sehingga diperlukan data kandungan air dalam makanan ataupun
minuman. Tergantung dari menu makanan yang dikonsumsi setiap hari maka jumlah air yang
dikonsumsi dari makanan sangat bervariasi. Diperkirakan jumlah air (H2O) yang terdapat
dalam makanan berkisar antara 20-30 %. Pada orang yang tidak aktif secara fisik jumlah air
yang dikonsumsi lebih sedikit dibandingkan orang yang aktif melakukan olah raga. Pada saat
melakukan aktivitas olah raga terjadi peningkatan suhu badan sehingga diperlukan konsumsi
yang lebih tinggi untuk mempertahankan suhu badan. Laki-laki yang masa tulang dan ototnya
lebih tinggi daripada perempuan juga membutuhkan konsumsi air yang lebih besar
dibandingkan pada perempuan yang mempunyai massa lemak lebih tinggi.

Di Indonesia, untuk pertama kali tersedia data konsumsi atau asupan air dari data
berskala nasional, yaitu dari data Riskesdas 2010 yang dianalisis oleh Hardinsyah dkk (2012).
Analisis dilakukan berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin yang mirip dengan
pengelompokan umur dalam tabel kecukupan gizi Indonesia. Hasilnya menunjukkan asupan
air penduduk Indonesia masih rendah atau belum mencukupi, terutama pada usia remaja baik
laki-laki maupun perempuan, seperti disajikan pada Tabel 4 (Hardinsyah, 2012). Meskipun
data ini didasarkan pada survei konsumsi pangan dengan metode food recall 1x 24 jam – yang
cenderung underestimated, temuan ini sejalan dengan temuan studi THIRST yang
menunjukkan bahwa kelompok remaja lebih banyak yang mengalami dehidrasi dibanding
kelompok dewasa (Hardinsyah dkk, 2010).
Tabel 4. Konsumsi air dan tingkat konsusmi air perkapita perhari menurut kelompok umur

Kelompok Konsumsi Tingkat konsumsi*


(mL/hari) (%)
Anak:
1-2 Tahun 1123±480 114,5±52,4
2-3 Tahun 1240±489 98,6±41,2

61
4-6 Tahun 1279±450 87,0±32,6
7-9 Tahun 1348±465 83,7±30,6
Laki-laki:
10-12 Tahun 1518±531 60,3±24,5
13-15 Tahun 1604±580 54,3±23,7
16-19 Tahun 1688±1605 52,3±22,1
20-39 Tahun 1757±590 52,9±19,0
40-55 Tahun 1798±587 56,8±20,0
56-65 Tahun 1711±608 66,5±31,0
66-75 Tahun 1630±580 85,5±32,0
75+ Tahun 1570±580 86,3±33,9
Perempuan:
10-12 Tahun 1123±480 65,9±24,5
13-15 Tahun 1123±480 62,3±24,0
16-19 Tahun 1123±480 65,8±27,2
20-39 Tahun 1532±556 64,3±25,4
40-55 Tahun 1533±551 66,4±26,6
56-65 Tahun 1537±540 73,9±32,7
66-75 Tahun 1452±508 92,0±33,6
75+ Tahun 1444±528 94,9±36,6
Hamil (+an)
Menyusui (+an)

*Dihitung berdasarkan kebutuhan masing-masing subjek

VII. KECUKUPAN AIR

Perhitungan kecukupan air pada berbagai kelompok umur berbeda-beda, Ada


beberapa rumus yang dapat dipergunakan pada pendekatan perhitungan kecukupan air.
Prinsip perhitungannya berdasarkan atas (i) Keseimbangan cairan tubuh pada orang sehat, (ii)
Berdasarkan pada luas permukaan tubuh (LPT), berat badan, tinggi badan dan umur, (iii)
Berdasarkan pada asupan energi, yaitu pada aktifitas yang ringan dan suhu normal
kebutuhannya sekitar 1-1,5 ml/kkal, (iv) Berdasarkan pada median intake air pada orang
sehat, (v) Pada anak-anak berdasarkan berat badan menggunakan rumus Darrow dan (vi) Pada
bayi berdasarkan jumlah produksi ASI pada ibu sehat dan normal.

Perhitungan berdasarkan luas permukaan tubuh bagi orang dewasa menggunakan


formula :

Mosteller (1987) LPT(m2) = √ tinggi (cm) x berat (kg)/3600


Kebutuhan air = 1500 ml setiap m2 LPT

Sebagai contoh pada usia seorang perempuan 20 tahun,


mempunyai berat badan 43 kg dan tinggi badan 145 cm,
maka LPT (m2) = √(145 (cm) x 43 (Kg))/3600 = √6235 / 3600 = √ 1,7= 1,3
Kebutuhan air = 1500 ml x 1,3 = 1950 mL
Pada anak-anak usia 1-18 tahun menggunakan rumus Darrow, yaitu (i) pada berat badan
<10 kg maka Kebutuhan air = 100 ml setiap kg berat badan sehingga apabila berat badan anak
9 kg maka jumlah air yang dibutuhkan 900 ml setiap hari. Bila (ii) berat badan anak 10-20 kg
maka kebutuhan air adalah 1000 ml + 50 ml setiap kenaikan kg be badan diatas 10 kg. Bila
berat badan anak 18 kg maka kebutuhan airnya adalah 1000 ml + 400 ml = 1400 ml, apabila
(iii) berat badan anak diatas 20 kg maka kebutuhan airnya adalah 1500 ml+20 ml setiap

62
kenaikan kg berat badan diatas 20 kg. Apabila seorang anak mempunyai berat badan normal
25 kg maka kebutuhan airnya = 1500 + 100 ml = 1600 ml per hari.

Untuk bayi usia 0-6 bulan kebutuhan airnya sama dengan ASI yang diproduksi ibu
menyusui yang sehat dan normal. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus
Darrow dan LPT, dengan cara perhitungan berat badan dan tinggi badan orang Indonesia
(Riskesdas 2010) untuk kecukupan gizi, maka Kecukupan air yang dianjurkan (total water
intake = air dalam makanan+ air dalam minuman + air metabolisme) terdapat pada Tabel 5.
Perhitungan tersebut juga memperhatikan kecukupan air pada negara Filipina (FNRI),
Amerika (IOM), Eropa (EFSA) dan juga WNPG 2004.

Anjuran konsumsi air pada ibu yang menyusui juga perlu tambahan sesuai dengan
produksi ASI, yaitu selama 6 bulan pertama kehidupan bayi jumlah ASI yang diproduksi
sekitar 800 mL (Jacqueline C , 2006). Apabila kadar air ASI adalah 0.87 dan efisiensi
asupan air menjadi air dalam ASI adalah 0,90 maka a tambahan air yang dibutuhkan seorang
ibu menyusui dalam enam bulan pertama menyusui adalah sekitar 773 mL atau dibulatkan
menjadi 800 mL.

Pada usia lanjut kecukupan air lebih rendah dari usia sebelumnya baik pada wanita
maupun dewasa. Penelitian klinis yang dilakukan Siregar P dkk (2009) menunjukkan bahwa
kebutuhan air optimal bagi usia lanjut adalah 1.5 Liter. Dengan asumsi bahwa nilai
keragaman asupan air pada usia lanjut sekitar 20%, maka diestimasi angka kecukupan air bagi
usia lanjut 1.2 sampai 1.8 L. Oleh karena ukuran tubuh laki-laki lebih besar dari perempuan
maka kecukupan air bagi laki-laki usia lanjut lebih banyak dibanding usia lanjut perempuan.
Pada usia lanjut perempuan di atas 80 tahun ditetapkan kecukupan air 1500 mL dan pada laki-
laki 1600 mL

Pada Tabel 5 terlihat adanya perbedaan jumlah air yang dianjurkan dibandingkan
dengan WNPG 2004, hal tersebut karena perbedaan pada standar berat badan dan tinggi
badan normal yang dipergunakan dalam perhitungan dan perbedaan formula yang digunakan.
Apabila dibandingkan dengan angka kecukupan air di Filipina pada tahun 2004 juga ada
perbedaan karena meskipun Filipina dan Indonesia berada di daerah tropis namun berat
badabn dan tinggi badan standar pada penduduk kedua negara tersebut berbeda. Oleh karena
air sebagai zat gizi yang penting maka perhitungan AKG air juga perlu ditinjau kembali setiap
10 tahun sekali.

63
Tabel 5. Kecukupan air perkapita perhari

Kelompok AK Air AKAir AK Air AK Air AK Air AK air


WNPG WHO IOM 2004 EFSA 2010 FNRI 2002 WNPG 2004
2012 2003 (mL/hari) (mL/hari) (mL/hari) (mL/hari)
(mL/hari) (mL/hari)
Bayi: 750 700 100- 800 -
0-6 Bulan 190/kgBB/hr
7-11 Bulan 800 1000 800 800-1000 1100 800
Anak: 1200 1000 1300 1300 1200 1200
1-3 Tahun
4-6 Tahun 1500 1700 1600 1600 1500
7-9 Tahun 1900 1700 1600(7-8th) 1600 1900
Laki-laki:
10-12 Tahun 1800 2400 1900-2100 1600 1800
13-15 Tahun 2000 3300 2500 2100 2000
16-18 Tahun 2200 3300 2500 2300 2200
19-29 Tahun 2500 2900 3300 2500 2400 2500
30-49 Tahun 2600 2900 3700 2500 2400 2600
50-64 Tahun 2600 2900 3700 2500 2200 2600
65-79 Tahun 1900 2900 3700 2500 1500 1900
80+ Tahun 1600 1600
Perempuan:
10-12 Tahun 1800 2100 1900 1800 1800
13-15 Tahun 2000 2300 2000 2100 2000
16-18 Tahun 2100 2300 2000 2100 2100
19-29 Tahun 2300 2200 2700 2000 2000 2300
30-49 Tahun 2300 2200 2700 2000 2000 2300
50-64 Tahun 2300 2200 2700 2000 2000 2300
65-79 Tahun 1600 2700 2000 1500 1600
80+ Tahun 1500 1500
Hamil (+an) +300 +300 +300 +300 +300
Menyusui (+an) +800 +1100 +2700 +800
6 bln pertama +800
6 bln kedua +650
Keterangan : AK=Angka Kecukupan

VIII. KESIMPULAN DAN RISET MASA DATANG

1. Air sebagai zat gizi esensial mempunyai peran yang sangat besar dalam tubuh baik
sebagai pengatur dan pembangun tubuh, termasuk berperan dalam reaksi, mengatur suhu
badan, sebagai pelarut zat gizi lain sehingga untuk mendapatkan fungsi air yang optimal
diperlukan kondisi hidrasi yang baik. Kondisi hidrasi diatur oleh sistem yang melibatkan
hormon, organ maupun elektrolit.
2. Pemenuhna kecukupan air dimaksudkan untuk mencegah kekurangan air tubuh dan
dehidrasi. Pada bayi usia kurang dari 6 bulan kecukupan air diperoleh dari ASI. ASI yang
diperoleh dari ibu menyusui berkisar sekitar 700 ml, sedangkan diatas 6 bulan selain ASI
juga makanan lain. Pada anak-anak perhitungan kecukupan air menggunakan rumus
Darrow sedangkan pada orang dewasa dapat menggunakan dasar Luas permukaan tubuh. .

64
Anjuran kecukupan air untuk orang dewasa laki-laki sebanyak 2500 ml dan orang dewasa
perempuan 2300 ml. Ibu hamil dianjurkan untuk tambahan konsumsi total air 300 ml atau
dianjurkan konsumsi total air 2600 ml dan pada ibu menyusui dianjurkan tambahan
konsumsi total air 650-870 ml atau dianjurkan konsumsi total air 2850-3070 ml per hari.
3. Sampai saat ini belum ada penelitian penentuan kebutuhan dan kecukupan air lansung
pada subjek Indonesia yang representatif pada setiap kelompok umur, jenis kelamin,
aktifitas dan kondisi khusus atau penyakit tertentu. Oleh karena itu dimasa datang
diperlukan penelitian kebutuhan dan kecukupan air pada berbagai kelompok umur dan
jenis kelamin orang Indonesia. Disamping itu juga diperlukan penelitian tentang dampak
dehidrasi dan uapaya penanggulangnanya pada kelompok-kelompok yang berisiko tinggi
dehidrasi atau kekurangan air tubuh, seperti olahragawan, pekerja fisik, ibu hamil dan ibu
menyusui serta anak-anak.

65
DAFTAR PUSTAKA

1. Altman P.L.(1961). “Blood and other body fuids”. Washington DC: Federation of
American Societies for Experimental Biology
2. Andersen, A.S. (1986). “Dietary factor in the aetiology and treatment of constipation
during pregnancy”. British J. of. Obstetric and Gynecology 93.3. 245 – 249
3. Astuti M., Sofro, Z.M. Rahardjo TK, Wibawati, C.Erawati D. dan Pratama, D.A.
(2010). “Pengaruh konsumsi minuman elektrolit terhadap keseimbangan cairan
tubuh dan hematologi pada laki-laki yang berpuasa Ramadan”.
4. Christian J.L., Greger J.L., Stewart B. (1985). “Study guide for nutrition for living”.
California: The Benjamin/ Cummings Publishing Company Inc.
5. Costill, D.L., dan Fink, W.J. (1974). “Plasma volume changes following exercise and
thermal dehydration”. J. Appl Physiol 37:521-525
6. Derhyshul E., Davis J., Castarell V., Dettman P. (2006). “Diet, physical in activity
and the prevalence of constipation through out and after pregnancy”. Maternal and
Child Nutrition 2, 3, 127 - 134
7. Derhyshine, E. (2007). “The importance of adequate fluid and fiber intake during
pregnancy”. Nursing Standard 21: 40 – 43.
8. Devlin, T. M. (1986). “Textbook of biochemistry with clinical correlations”. New
York: John Wiley & Sons
9. Darrow, D.C. dan Prat E.L. (1950). “Fluid Therapy: Relation to tissue composition
and expenditure of water and electrolyte”. Council of Food and Nutrition. J.A.M.A
143:365
10. Gisolfi C.V. dan Ryan A.J. (1996). “Gastrointestinal physiology during exercise”. In:
Buskirk ER Publish SM ed. Body fluid balance: exercise and sport. CRC press p 19-
51
11. Hardinsyah, Briawan D, Hartati Y, Adiningsih, S, Thaha, R Aries, M (2010).
“Kebiasan Minum dan Status Dehidrasi pada Remaja dan Dewasa di Beberapa
Daerah di Indonesia (THIRST Study)”. Bogor: PERGIZI PANGAN Indonesia.
FEMA IPB, FKM UNAIR dan FKM UNHAS.
12. Hardinsyah, Irawati, A. Kartono, D. Prihartini, S. Lolita I. Amalia, L. Fernanda, M.
Adyas EE. Yudianti, D. Kusharto, CM dan Heryatno, Y. (2012). “Pola Konsumsi
Pangan dan Gizi Penduduk Indonesia, berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar
2010”. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB dan Badan Litbang
Kesehatan, Kemenkes RI.
13. Holliday, M.A. dan Segar W.E. (1957). “The maintenance need for water in
parenteral fluid therapy”. Pediatrics 19.823-832
Institute of Medicine, Food and National Board. (2005). “Dietary reference intake
for water, potassium, sodium, chloride and sulfate”. Washington DC.The National
Academic Press.
14. Jacqueline C. Kent, Leon R. Mitoulas, Mark D. Cregan, Donna T. Ramsay, Dorota
A.. Doherty and Peter E. Hartmann. (2006). Volume and Frequency of
Breastfeedings and Fat Content of Breast Milk Volume and Frequency of
Breastfeedings and Fat Content of Breast Milk. Pediatrics:117;e387

66
15. Jequier E. and Constant F. (2009). “Water as an essential nutrient: The physiological
basis of hydration”. Eur J of Clin Nutr. 1-9
16. Kleiner S.M. (1999). (Review) “Water: An Essential but Overlooked Nutrient”. J
Am Diet Assoc Apr 99(4):411
17. Lavizzo-Mourey, R.J. (1987). “Dehidration in the elderly: A short Review”. J.of.Nat
med ass vol 79:10
18. Mahmud., M. K., Hermana. (1990). “Daftar Komposisi Bahan Makanan”. Depkes RI
19. Santoso, B. Hardinsyah. Siregar, P. Dan Pardede S O. (2011). “Air Bagi Kesehatan”.
Jakarta: Centra Communications.
20. Shannon, M. (2012). “Water: The Essential Nutrient”. Diakses dari
agebb.missouri.edu pada 18 Juli 2012.
21. Siregar, P. (2012). “Kebutuhan Air pada Berbagai Kelompok Usia dan Kondisi
tertentu”. Workshop Revitalisasi Zat Gizi Air
22. Siregar P, Susalit E, Irawan R, Setati S, Sarwono W. (2009). Optimal water intake
for the elderly:Prevention hiponatremia. Med J. Indones. 18:18-25
23. Wilson, F., dan Fuqua. (1971). “Principles of Nutrition”. New Delhi: Wiley Eastern
Private Limited

67
KECUKUPAN VITAMIN:
VITAMIN A, B1, B2, B3, B6, B12, ASAM PANTOTENAT, FOLAT, C, D,
E, K, BIOTIN DAN KOLIN
Ahmad Sulaeman1, Budi Setiawan1, Dewi Permaesih2,
Nurfi Afriansyah2 Astari Apriantini1
1
Departemen Gizi Masyarakat – Fakultas Ekologi Manusia IPB
2
Pusat Penelitian Teknologi Terapan Kesehatan Terapan dan Epidemiologi Klinik –
Balitbangkes,Kemenkes RI

Jalan Lingkar Akademik, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680


E-mail : asulaeman06@gmail.com

Abstrak
Vitamin adalah zat gizi mikro yang sangat dibutuhkan tubuh manusia meski dalam jumlah
sedikit. Kekurangan asupan zat gizi ini dapat menimbulkan akibat yang akan mempengaruhi
status gizi dan kesehatan manusia. Berbagai masalah gizi di Indonesia banyak disebabkan
oleh kurangnya asupan vitamin. Terdapat 14 vitamin yang telah diketahui esensial bagi
kesehatan manusia yakni vitamin A, D, E, K, C, B1, B2, B6, B12, Folat, Niasin, Pantotenat,
Biotin, dan Kolin. Defisiensi vitamin akan terjadi apabila pola konsumsi pangan (diet) secara
konsisten rendah vitamin atau secara tanpa sengaja hilang dari saluran pencernaan. Angka
kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG) vitamin ini dimaksudkan untuk menjadi rujukan
asupan vitamin agar tercapai kondisi yang sehat. Untuk masing-masing jenis vitamin dibahas
mengenai fungsinya bagi tubuh, sumber bahan pangan, efek kekurangan dan kelebihan,
faktor-faktor yang mempengaruhi angka kecukupan, metode penentuan kebutuhan dan
kecukupan, rekomendasi kecukupan dan penerapannya, serta berbagai penemuan dari riset-
riset terbaru terkait fungsi dan peran vitamin yang dibutuhkan untuk masa mendatang. AKG
vitamin dinyatakan untuk masing-masing kelompok umur dari bayi berusia 0-6 bulan dan 7-
11 bulan hingga orang lanjut usia di atas 80 tahun. Penyempurnaan AKG vitamin dilakukan
dengan mempertimbangkan penemuan fakta-fakta baru terkait peran dan fungsi vitamin serta
pola konsumsi makanan masyarakat dan berbagai kesepakatan, baik internasional maupun
regional. Mengingat masih terbatasnya riset di dalam negeri, penetapan AKG vitamin ini
banyak didasarkan pada hasil penelitian di luar negeri serta membandingkan AKG vitamin
dari berbagai negara dengan tetap mempertimbangkan hasil-hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas 2007 dan 2010). Di masa mendatang diperlukan studi di dalam negeri untuk
penetapan kriteria kecukupan masing-masing vitamin. Agar AKG ini dapat digunakan sebagai
acuan dalam menilai kecukupan dan dalam perencanaan pangan dan gizi, dibutuhkan data
mutakhir mengenai kandungan vitamin, baik larut air maupun lemak, serta prekursornya jika
ada, pada berbagai jenis pangan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia.

Kata Kunci :
Angka kecukupan, vitamin, defisiensi, toksisitas, upper limit.

68
DIETARY REFERENCE INTAKE FOR VITAMIN

Abstract

Vitamin is categorized as micronutrient which is essentially needed by human body in small


quantity. Lack of vitamin will lead to deficiency and may affect nutritional status and health
status. Many nutrition problems may be caused by vitamin deficiencies. There are 13 essential
vitamin for human health namely A, D, E, K, C, B1, B2, B6, B12, and Folate, Niacin,
Pantothenic acid, Biotin and Kolin. The vitamin deficiency may occur if the fat content in
diet is very low or it is difficult to be absorbed. Vitamin deposit in the body can be used to
avoid the deficiency when FSV intake is low, but the dangerous of FSV is possible to be toxic
if excess consumption occurred, especially those who consume supplements. On the other
hand, water soluble vitamin (WSV) can not be stored in the body, therefore WSV has to be
available in diets. Recommended Dietary Allowance (RDA) for vitamin is aimed to be a
reference for vitamin intake to achieved healthiness. Each vitamin is discussed in term of its
function, food source, deficiency and toxicity, the factors influenced the RDA, Method used
to determine the adequacy and the allowance, the recommendation and its application, and the
research needed related to the function and its role for the future. RDA for vitamin is stated
according to age groups, in infant from 0-6 month/s and 7-11 mo/s to elderly above 80 years.
Additional information is added, such as in special condition and for preventing diseases in
some vitamins, when constructing the RDA in 2012 compared to RDA 2004. Completion of
Vitamin RDA is also considering new development of science and technology and new facts
related to role and function of vitamins, as well as community food consumption and
international or/and regional agreements. However, because of the limitation of internal study
related to vitamin, the arrangement of RDA is based on studies from other countries. Some
national figures, such as basic Health Research (RISKESDAS 2007 and 2010), are used to
determine Indonesian RDA for Vitamin. In the future, it needed to have national data in
regard to nutrition content especially vitamin in food eaten by Indonesian and its precursors
to build RDA of each vitamin which fit for Indonesian and construct the food and nutrition
planning.
Key words :
Dietery reference intake, vitamin, deficiency, toxicity, upper limit

I. PENDAHULUAN

Terdapat 13 vitamin yang telah diketahui esensial bagi kesehatan manusia yang dapat
digolongkan atas dua kelompok, yakni vitamin larut lemak (A, D, E dan K) dan vitamin larut
air (C, B1, B2, B6, B12, Folat, Niasin, Pantotenat, Biotin, dan Kolin).
Vitamin larut lemak berbeda dari vitamin larut air dalam beberapa hal. Vitamin ini
ditemukan di dalam lemak atau bagian berminyak dari makanan. Karena tidak larut dalam air,
vitamin ini membutuhkan asam empedu untuk pencernaannya dan kilomikron untuk
transpornya. Setelah diserap, vitamin ini akan masuk ke sistem lymphatic sebelum masuk ke
aliran darah. Jika dikonsumsi melebihi kebutuhan, vitamin ini akan dibawa dan disimpan di

69
dalam hati dan jaringan adiposa sebagai cadangan. Kelebihan konsumsi ini tidak akan
diekskresikan oleh tubuh seperti halnya vitamin larut air, dan akan dibongkar kembali dari
penyimpanannya jika sewaktu-waktu tubuh memerlukannya. Karena kemampuan tubuh untuk
menyimpan vitamin-vitamin ini sangat efisien, maka defisiensi vitamin larut lemak umumnya
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk dapat diketahui daripada defisiensi vitamin larut
air. Sebagai contoh, seseorang tidak akan mengalami defisiensi vitamin A dalam waktu 3
bulan meskipun selama itu dia tidak mendapat asupan yang cukup. Penyimpanan yang
reversible di dalam tubuh memungkinkannya untuk tetap bertahan dalam beberapa hari,
minggu, bahkan bulan atau tahun, walaupun tanpa mengonsumsi makanan yang mengandung
vitamin-vitamin ini. Namun, pada saat yang sama, risiko dari toksisitas lebih besar
dibandingkan dengan vitamin larut air (Rolfes, Kathryn & Whitney, 2009).
Sejak ditemukan, penelitian terhadap vitamin larut lemak, khususnya yang berkaitan
dengan pengaruh vitamin ini terhadap kesehatan dan berbagai penyakit, terus berlanjut. Masih
banyak hal yang perlu dikerjakan dan dikaji berkaitan dengan vitamin ini, termasuk penentuan
kecukupan yang benar-benar harus terpenuhi dalam diet sehari-hari. Sebagian dari penetapan
kecukupan dan batas maksimal yang masih dapat ditoleransi, misalnya, diambil dari data-data
yang masih sangat terbatas sehingga sulit ditetapkan Angka Kecukupan dan batas maksimum
yang dapat ditoleransi (UL).
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan semakin lengkapnya data-data
hasil penelitian, maka AKG dari vitamin pun terus mengalami penyempurnaan dari periode ke
periode. Salah satu perkembangannya adalah diperkenalkannya konsep Retinol Activity
Equivalen (RAE) untuk vitamin A sebagai pengganti dari Retinol Equivalent (RE) berkaitan
dengan konversi provitamin A ke vitamin A (IOM, 2002).
Vitamin larut lemak terdapat pada bagian tanaman atau hewan yang mengandung lemak
seperti bagian lembaga dari biji-bijian, komponen lemak dari membran sel, dan sel-sel tempat
penyimpanan lemak lainnya. Adapun vitamin larut air terdapat dalam berbagai sayuran dan
buah-buahan, kecambah, makanan fermentasi, dan daging. Tidak ada makanan atau tipe
makanan tunggal yang merupakan sumber yang lengkap dari semua vitamin. Masing-masing
vitamin cenderung ditemukan pada makanan tertentu. Oleh karena itu diet yang beragam
diperlukan untuk menjamin asupan yang cukup dari vitamin-vitamin tersebut.

II. VITAMIN LARUT LEMAK


A. Vitamin A

Defisiensi vitamin A masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang signifikan di


seluruh dunia, terutama di belahan Afrika dan Asia Tenggara. Nyatanya, 19 juta perempuan
hamil dianggap terpengaruh oleh defisiensi gizi ini (McGuire 2012). Karena defisiensi
vitamin A selama periode kehamilan dan pasca-kelahiran dapat sangat mempengaruhi
kesehatan ibu dan anak, suplementasi vitamin A kadang disarankan.
Defisiensi vitamin A merupakan masalah kesehatan masyarakat yang nyata di lebih dari
70 negara (Chakravarty, 2000), termasuk Asia Tenggara (Combs et al., 1998). Antara tahun
1995 dan 2005, diperkirakan 45 negara menderita defisiensi vitamin A (DVA) berdasarkan
prevalensi buta senja dan 122 negara mengalami DVA biokimia (kadar retinol serum < 0,7
μmol/l) pada anak-anak prasekolah (WHO, 2009). Selain itu sekitar 250 juta lagi anak-anak
balita diperkirakan mengalami DVA secara subklinis dan berada dalam risiko morbiditas yang
parah dan kematian prematur (Howson et al., 1998).

70
Vitamin A mempunyai keunikan sebagai vitamin larut lemak yang pertama kali
diketahui. Fungsi yang paling dikenal dari vitamin A adalah perannya dalam penglihatan.
Bentuk retinal (11-cis-retinaldehyde) dari vitamin A dibutuhkan oleh mata untuk transduksi
cahaya menjadi sinyal-sinyal saraf yang diperlukan untuk penglihatan. Bentuk asam retinoat
diperlukan untuk mempertahankan diferensiasi kornea dan membran konjungtiva, sehingga
mencegah xeroftalmia, dan untuk fotoreseptor sel rod dan cone dari retina. Vitamin A juga
dibutuhkan untuk integritas sel epitel (epithelial) di seluruh tubuh. Asam retinoat, melalui
aktivasi reseptor asam retinoat (RAR) dan reseptor retinoid X (RXR) dalam nukleus,
mengatur ekspresi berbagai gen yang membuat kode untuk protein struktural (seperti keratin
kulit), enzim (seperti alkohol dehidrogenase), protein matriks ekstraselular (seperti laminin),
dan retinol binding protein (RBP) dan reseptor. Asam retinoat juga memainkan peran penting
dalam perkembangan embrio dan terlibat dalam pembentukan tungkai dan lengan, jantung,
mata, dan telinga. Retinoid penting untuk mempertahankan fungsi kekebalan, yang tergantung
pada diferensiasi dan proliferasi di dalam respon terhadap rangsangan kekebalan. Lebih
lanjut, pertumbuhan, diferensiasi, dan aktivasi B-limphocite memerlukan retinol. Selain itu
dilaporkan bahwa vitamin A dibutuhkan dalam hemopoesis, pertumbuhan tulang dan untuk
fertilitas pada laki-laki dan perempuan (IOM, 2000).
Mengingat penting dan banyaknya peran vitamin A, maka kekurangan asupan vitamin A
dapat menyebabkan beberapa konsekuensi serius. Muhilal dan Sulaeman (2004) menyebutkan
beberapa konsekuensi dari defisiensi vitamin A, berdasarkan berbagai studi yang dilakukan di
Indonesia, yakni:
(i) Defisiensi vitamin A menyebabkan sel epitel menjadi rata, melebar dan berkurang
dalam jumlah, sel-sel Goblet's berkurang dalam jumlah atau tidak ada.
(ii) Xeroftalmia dalam bentuk bercak Bitot (X1B), kornea xerosis dan keratomalacia
(X2/X3) dan corneal scars (XS). Rabun senja disebabkan oleh kekurangan retinol untuk
membentuk rodopsin yang diperlukan untuk melihat di bawah kadar cahaya atau
iluminasi yang rendah.
(iii) Anak-anak yang menderita defisiensi vitamin A mempunyai respon kekebalan yang
tertahan dibandingkan anak-anak normal.
(iv) Laju morbiditas di antara anak-anak yang menderita defisiensi vitamin A lebih tinggi
dari anak-anak yang normal.
(v) Intervensi vitamin A menurunkan laju mortalitas di antara anak-anak berusia di bawah
lima tahun yang menunjukkan bahwa status vitamin A yang rendah meningkatkan
mortalitas.
(vi) Anak-anak dengan status vitamin A yang rendah memiliki pertumbuhan yang lebih
rendah daripada yang berstatus vitamin A yang lebih baik.
(vii) Defisiensi vitamin A dini kemungkinan mempengaruhi perkembangan mental ketika
anak-anak mencapai usia sekolah.

1. Sumber Vitamin A
Makanan yang berasal dari hewan merupakan sumber vitamin A yang sudah jadi
(preformed vitamin A) atau retinol, kebanyakan berada dalam bentuk retynil ester. Hal ini
karena hati merupakan tempat penyimpanan vitamin A sehingga kandungan retinolnya paling
tinggi. Daging, unggas, ikan dan telur mengandung vitamin A dalam jumlah yang cukup
tinggi. Sementara bahan-bahan nabati seperti buah berwarna oranye, sayuran berdaun hijau,
akar dan umbi-umbian (seperti wortel dan ubi jalar merah) serta minyak sawit merah

71
mengandung vitamin A dalam bentuk prekursor atau karotenoid provitamin A. Sulaeman et
al. (2002) melaporkan bahwa kripik yang dibuat dari wortel mengandung karotenoid
provitamin A dalam jumlah yang tinggi dan available, di mana per 1 sajian kripik (30 g) telah
cukup untuk memenuhi kebutuhan satu hari vitamin A orang dewasa.

2. Penyerapan
Vitamin A dalam diet manusia sebagian tersusun oleh vitamin A yang sudah terbentuk
(preformed vitamin A) yang berasal dari sumber hewani dan sebagian lagi dari karoten
provitamin A yang berasal dari bahan nabati. Vitamin A yang sudah terbentuk dalam diet
kebanyakan berada dalam bentuk ester, kemudian ester tersebut akan dihidrolisis menjadi
retinol sebelum diserap. Bila tikus diberi makan ester vitamin A, maka pada puncak absorpsi,
sebagian besar dari vitamin yang ditemukan pada mukosa usus berada dalam bentuk alkohol,
yang menunjukkan bahwa vitamin A diserap dalam bentuk ini. Dalam mukosa, retinol
diesterifikasi menjadi retinol ester. Retinol ester kemudian dibawa oleh kilomikron ke hati, di
mana vitamin ini disimpan. Vitamin A segera dilepas, dilekatkan ke protein pembawa yang
spesifik yang disebut protein pengikat retinol RBP untuk dibawa ke sel-sel yang
membutuhkan vitamin A ini. Di dalam sel, retinol dibawa oleh RBP selular (cRBP). Bentuk
aktif dari vitamin A adalah retinol, retinal dan asam retinoat (retinoic acid) (Muhillal dan
Sulaeman, 2004).
Kelebihan konsumsi vitamin A dapat menjadi toksik dan mempunyai efek teratogenis
bagi perempuan hamil. Oleh karena itu, asupan vitamin A harus sesuai dan memenuhi
kebutuhan serta menghindari kelebihan konsumsi.

3. Ekskresi
Bila tikus percobaan diberi pakan (U-14C)-karoten atau (U-14C)-retinene, kedua unsur
yang dilabel tersebut dapat ditemukan dalam udara yang diembuskan dan dalam urine. Jumlah
bahan radioaktif dalam CO2 yang diembuskan sebesar 3-16% pada percobaan dengan
menggunakan retinene dan sebesar 2-26% pada percobaan karoten. Jumlah yang sama dari
bahan yang dilabel (12%) ditemukan di urine. Bila ester retinol yang diberi label 15-14C
diinjeksikan secara intravena, 3% dari yang diberi label diekskresikan ke dalam urine, 0,2%
ke dalam feses, dan 4% melalui CO2 yang diembuskan dalam 24 jam (Muhilal dan Sulaeman,
2004).
Percobaan-percobaan ini secara jelas menggambarkan bahwa beberapa vitamin A
dimetabolisasi menjadi asam yang dalam dekarboksilasi memberikan peningkatan terhadap
CO2 yang diembuskan. Dalam sel sebagian vitamin A diubah menjadi asam retinoat. Asam
retinoat ini pada akhirnya diubah menjadi retynoyl-glucoronide, suatu senyawa larut air, yang
dapat dikeluarkan melalui urine dan feses. Beberapa retinol juga diketahui diubah menjadi
retinol-glucoronide dan dikeluarkan dalam empedu bersama-sama dengan retinoyl-
glucoronide.

4. Bioavailabilitas
Bioavailabilitas adalah fraksi dari zat gizi yang dimakan, yang tersedia untuk
penggunaan dalam fungsi fisiologis normal dan untuk penyimpanan. Garam-garam empedu,
lipase pankreatik, dan lemak membantu dalam penyerapan vitamin A dan karoten oleh tubuh.
Bioavailabilitas (ketersediaan) dari vitamin A yang sudah terbentuk (preformed), yaitu dalam
bentuk retinol, sangat tinggi. Retinol yang ditambahkan pada makanan sebagai fortifikan
diserap lebih dari 90%.

72
Bioavailabilitas dari karotenoid dalam sayuran berdaun hijau sangat rendah karena ada
beberapa hal yang bisa mempengaruhinya. Di antaranya, (i) karotenoid terperangkap dalam
matriks makanan, (ii) terbatasnya senyawa-senyawa yang mempengaruhi penyerapan seperti
lemak, (iii) status gizi dari host, (iv) keberadaan parasit seperti cacing gelang dan giardia.
Suatu studi yang cermat pada manusia mengungkapkan bahwa 1 g retinol ekuivalen dengan
26 g karoten dari sayuran berdaun hijau dan 11 g karoten dari buah-buahan. Namun,
penelitian terbaru yang dilakukan oleh Charlotte et al. (2012) menunjukkan bahwa β-karoten
yang terkandung pada wortel murni mempunyai bioavailabilitas yang lebih tinggi
dibandingkan β-karoten murni yang berasal dari suplementasi.
De Pee dan West (1996) telah mengembangkan suatu algoritma dari faktor-faktor yang
mempengaruhi bioavailabilitas karotenoid, terutama -karoten, yang disingkat dengan
"SLAMANGHI", yakni:
- Species dari karotenoid
- Linkages (ikatan) dari tingkat molekular
- Amount (jumlah) karotenoid dalam makanan
- Matrix tempat karotenoid terikat
- Absorption modifiers (faktor yang mempengaruhi penyerapan)
- Nutrient status of the host (status gizi dari inang)
- Genetic factors (faktor genetik)
- Host related factors (faktor-faktor yang berkaitan dengan host)
- Interaction among all those factors (interaksi di antara faktor-faktor tersebut).

Faktor yang paling penting untuk menjelaskan rendahnya bioavailabilitas dari


karotenoid yang berasal dari sayuran berdaun hijau tampaknya adalah matriks, pengubah
penyerapan (absorption modifier), dan faktor-faktor yang berhubungan dengan host, terutama
infestasi parasit. Matriks dari sayuran berdaun hijau dicirikan dengan banyaknya membran
dan sedikitnya lemak di dalam kloroplas, organel dari sel tanaman yang mengandung
karotenoid. Bila infestasi parasit atau faktor-faktor lain yang mengganggu sistem pencernaan
ditambahkan pada efek dari susah dicernanya matriks dan inhibitor absorpsi dari sayuran,
bioavailabilitas karotenoid dari sayuran berdaun hijau gelap dapat menjadi lebih buruk lagi.
Berbagai laporan (Jalal et al., 1998; Borel et al., 1998) menunjukkan bahwa keberadaan
lemak merupakan faktor kunci dalam penyerapan karoten. Underwood (1998) melaporkan
bahwa intervensi berbasis makanan sayuran di daerah defisiensi vitamin A dapat memperbaiki
status vitamin A, terutama bila level lemak makanan juga ditingkatkan secukupnya. Takyi
(1999) melaporkan bahwa anak-anak yang mengonsumsi sayuran berdaun hijau gelap dengan
ditambah lemak (10 g/100 g), retinol serumnya meningkat nyata. Hasil ini sesuai dengan yang
didapatkan Jalal dkk 1998 yang mempelajari faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
keberhasilan penggunaan -karoten sebagai sumber vitamin A dalam program berbasis
makanan. Jalal dkk menemukan bahwa memasukkan -karoten (terutama dalam bentuk ubi
jalar merah) ke dalam makanan secara nyata meningkatkan tingkat vitamin A serum. Lebih
lanjut, peningkatan tertinggi dalam retinol serum terjadi bila ditambahkan beta-karoten
dengan lemak kepada anak yang telah diberi obat cacing.

5. Biokonversi Karoten ke Retinol


Biokonversi merupakan fraksi zat gizi yang tersedia secara biologis, yaitu karotenoid
provitamin A yang diserap, yang diubah menjadi retinol di dalam tubuh. FAO/WHO telah
mengajukan bahwa 3,3 g -karoten memiliki aktivitas vitamin A 1 g retinol. Bioefikasi
dari -karoten yang dilarutkan dalam minyak, yang dipelajari pada anak-anak Indonesia,

73
menggunakan -karoten dan retinol yang diberi label isotop, menunjukkan bahwa 2,4 g -
karoten dibutuhkan untuk membentuk 1 g retinol (van Lieshout, 2001). Bioefikasi dari
karotenoid dalam makanan harus mempertimbangkan bioavailabilitas dan biokonversinya.
Sekelompok ahli FAO/WHO pada tahun 1967 memperkenalkan konsep retinol
equivalent untuk menyatakan aktivitas vitamin A dari karotenoid dalam diet secara umum.
Satuan ini kemudian juga diadopsi oleh National Research Council (1989). Dalam konsep ini:
1 g retinol = 1 g RE
1 g -karoten = 0,167 g RE
1 g karotenoid provitamin A lainnya (seperti -karoten, -cryptoxhantin) = 0,084 g RE
Pada tahun 2001 Institute of Medicine (IOM) memperkenalkan konsep baru yang disebut
retinol activity equivalent (RAE). Konsep RAE diperkenalkan berdasarkan kajian dari
berbagai hasil penelitian yang menunjukkan bahwa penyerapan karotenoid dari diet jauh lebih
rendah dari -karoten murni di dalam minyak (Muhilal dan Sulaeman 2004).
Telah diketahui rasio ekuivalensi karoten : retinol (g : g) mulai dosis rendah
(kurang dari 2 mg) dari -karoten murni dalam minyak adalah kira-kira 2 : 1 (yaitu, 2 g -
karoten dalam minyak menghasilkan 1 g retinol). Rasio ini berasal dari jumlah relatif -
karoten yang diperlukan untuk memperbaiki adaptasi gelap abnormal pada individu yang
defisien vitamin A. Namun, efisiensi penyerapan -karoten dalam makanan lebih rendah dari
penyerapan -karoten murni dalam minyak sehingga diperkirakan bahwa 3 g -karoten dari
makanan ekuivalen dengan 1 g -karoten murni dalam minyak (NRC, 1989). Hal ini
didasarkan pada efisiensi penyerapan relatif -karoten dari sumber makanan yang hanya
sekitar 33%. Dengan demikian, FAO/WHO dan NRC (1989) menetapkan bahwa 6 g -
karoten dari makanan ekivalen dengan 1 g retinol.
Berbagai hasil penelitian dengan menggunakan berbagai sampel makanan, seperti
sayuran berdaun hijau (de Pee et al., 1995), wortel (Micozzi et al., 1992; Torronen et al.,
1996), brokoli (Castenmiller et al., 1999) dan masih banyak lagi menunjukkan, efisiensi
penyerapan yang lebih rendah lagi sehingga hal ini mendorong IOM untuk meninjau ulang
ekuivalensi yang telah ditetapkan oleh FAO/WHO dan NRC tersebut. de Pee et al. (1998)
mencoba mengukur biokonversi relatif -karoten dari buah versus dari sayuran dengan
mengamati kenaikan konsentrasi retinol serum setelah pemberian diet tinggi sayuran, buah
dan retinol. Hasilnya menunjukkan bahwa aktivitas vitamin A dari -karoten yang berasal
dari sayuran hijau hanya setengah dari aktivitas -karoten yang berasal dari jeruk (orange)
dan umbi berwarna kuning. Diperkirakan bahwa 6 g -karoten dari diet campuran secara
gizi ekivalen dengan 1 g -karoten dalam minyak. Oleh karena itu, rasio retinol activity
equivalency (g RAE) untuk -karoten dari makanan diperkirakan 12 : 1 (6 x 2 : 1) (Gambar
1). Bukti bahwa satu RAE ekivalen dengan 12 g -karoten dari makanan ini didukung oleh
hasil penelitian Parker et al. (1999) yang melaporkan bahwa 8% dari -karoten yang dimakan
dari wortel diserap dan dikonversi menjadi retinil ester, yang terkandung dalam kilomikron,
menghasilkan rasio ekuivalensi karoten : retinol sebesar 13 : 1. Hasil penelitian Sulaeman et
al. (2002) menggunakan kripik wortel dengan menggunakan gerbil sebagai hewan percobaan,
yang sangat mirip sistem metabolisme karotenoidnya dengan manusia, menunjukkan hasil
yang senada.

Dikonsumsi Diserap Dikonversi

Vitamin A dari diet atau Retinol Retinol (1 g)


suplemen (1 g)

-karoten dari -karoten


74 Retinol (1 g)
suplemen (2g) 7

-karoten dari diet (12g) -karoten Retinol (1 g)


Gambar 1. Penyerapan dan Biokonversi Karotenoid Provitamin A menjadi Retinol berdasarkan Faktor
Ekuivalensi Baru (rasio Retinol Activity Equivalent) [IOM, 2001]

Berdasarkan konsep baru tersebut, satu RAE untuk karotenoid provitamin A selain -
karoten ditetapkan setara dengan 24 g karotenoid berdasarkan pengamatan bahwa aktivitas
vitamin A dari -cryptoxanthin dan -karoten kira-kira setengah dari -karoten. Untuk lebih
jelasnya, perbandingan antara konsep RE dan RAE disajikan pada Tabel 1. Konsekuensi dari
penggunaan satuan RAE adalah untuk mencukupi kebutuhan vitamin A dari sumber-sumber
nabati, maka jumlah yang dikonsumsi harus ditingkatkan menjadi dua kali lipat dari yang
selama ini diperkirakan dapat mencukupi kebutuhan vitamin A.

Tabel 1. Perbandingan Interkonversi Unit Vitamin A dan Karotenoid


antara National Research Council 1989 dan Insitute of Medicine 2001
NRC 1989 IOM 2001
1 retinol equivalent (g RE) 1 retinol activity equivalent (g RAE)
= 1 g all-trans-retinol = 1 g all-trans-retinol
= 2 g suplemen all-trans--carotene = 2 g suplemen all-trans--carotene
= 6 g all-trans--carotene dari makanan = 12 g all-trans--carotene dari makanan
= 12 g karotenoid provitamin A lain dari = 24 g karotenoid provitamin A lain dari
makanan makanan
Sumber: IOM (2001)
Catatan: 1 g retinol = 3,33 SI aktivitas vitamin A dari retinol (WHO, 1966); 10 SI -karoten = 3,33 SI
retinol; 10 SI didasarkan atas 3,33 SI aktivitas vitamin A x 3 (relatif aktivitas vitamin dari -karoten dalam
suplemen versus dalam diet). Jadi, ketika mengkonversi dari SI -karoten dari buah-buahan atau sayuran
ke g RAE, SI dibagi dengan 20 (2 x 10).

6. Status Vitamin A
Status vitamin A dari populasi atau individu dapat diukur dengan berbagai metode,
seperti dengan pengukuran diet, pengukuran indikator biokimia, baik fungsional maupun
gejala dan tanda-tanda klinis (symptomatology). Metode-metode ini berbeda dalam
spesifisitas dan sensitivitas, dan juga dalam penerapannya. Metode mana yang dipilih sangat
tergantung pada asupan/status vitamin A yang diharapkan dalam populasi (atau individu)
yang dikaji dan tujuan spesifik dari studi (Berg, 1996). Dari hasil pengukuran tersebut, status
vitamin A individu atau populasi dapat dikelompokkan menjadi lima kategori, yakni: (1)
defisien, (2) marginal, (3) cukup, (4) berlebih, atau (5) berada dalam risiko toksisitas.
Baik kekurangan maupun kelebihan dalam asupan vitamin A dapat memunculkan risiko
yang merugikan kesehatan, sehingga angka kecukupan vitamin A yang ditetapkan adalah
jumlah vitamin A yang harus didapat setiap hari untuk mempertahankan status vitamin A
pada level atau tingkat yang memuaskan atau cukup. Tingkat konsentrasi vitamin A yang
cukup dalam hati adalah 20 g/g berat basah. Tanda-tanda klinis dari defisiensi vitamin A
akan muncul jika cadangannya tak berarti lagi. Hal itu hanya terjadi bila rata-rata asupan
harian vitamin A sangat rendah untuk jangka waktu yang lama. Orang yang mempunyai
tingkat vitamin A yang cukup dalam hatinya tidak akan menunjukkan tanda-tanda defisiensi,

75
walaupun mereka tidak mendapat asupan vitamin A untuk jangka waktu sekitar 3 bulan
(Muhillal dan Sulaeman, 2004).
Cadangan vitamin A dalam hati pada bayi dan anak kecil umumnya rendah. Oleh karena
itu sangat penting untuk mempertahankan kecukupan asupan vitamin A hariannya. Pada
Tabel 2 disajikan indikator untuk defisiensi subklinis vitamin A pada ibu dan anak-anak usia
6-71 bulan.
Tabel 2. Indikator Defisiensi Sub-Klinis Vitamin A dan Ambang Batas
pada Ibu dan Anak Usia 6-71 Bulan

Indikator Ambang Batas Defisiensi


Buta senja (rabun ayam) (24-71 bulan) ≥ 1% laporan dari satu riwayat buta senja
Retinol dalam ASI ≤ 1,05 mol/L* (< 8 g/g lemak susu)
Retinol serum atau plasma < 0,70 *mol/L
Uji respons dosis relatif (RDR) ≥ 20 %
Modifikasi RDR (MRDR) Rasio ≥ 0,06
*)
Sumber: FAO/WHO (2001) mikromol/Liter
7. Toksisitas Vitamin A
Tingkat Asupan Atas yang dapat ditoleransi atau Tolerable Upper Intake Level (UL)
digunakan untuk menentukan kemungkinan konsumsi berlebih (over consumption) dari zat
gizi. Jika asupan harian dari zat gizi kurang dari UL, maka semakin kecil risiko
penyimpangan yang terjadi akibat dari asupan berlebih.
Jika asupan vitamin A berasal dari hanya makanan sehari-hari, umumnya tidak akan terjadi
efek yang merugikan. Namun, karena adanya vitamin A sintetik di pasaran serta program
vitamin A yang menggunakan dosis vitamin A yang sangat tinggi, terdapat kemungkinan
seseorang mengonsumsi vitamin A dalam jumlah berlebihan. Satu contoh yang baik adalah
dua anak yang tanpa sengaja mengambil 5 sampai 10 kapsul vitamin A, yang masing-masing
mengandung 200.000 SI (Satuan International). Mereka mengonsumsinya sekaligus karena
menurut mereka kapsul tersebut enak. Mereka mengambil kapsul dari lemari, di mana ibu
mereka yang merupakan kader gizi, menyimpan botol berisi kapsul-kapsul tersebut. Kedua
anak menderita sakit kepala, dan muntah-muntah. Dalam beberapa hari kulit mereka menjadi
pecah-pecah. Segera setelah mendapat informasi sekitar 2 bulan setelah kejadian, darah
mereka diambil dan dianalisis. Vitamin A dari serum mereka telah kembali ke nilai normal
(sekitar 30 g/dL) dua bulan setelah mengambil vitamin A dalam jumlah berlebihan.
Beberapa bulan kemudian, kulit mereka menjadi lebih halus dari sebelumnya.
Overdosis vitamin A kebanyakan terjadi karena kecelakaan atau ketidakmengertian,
seperti seseorang mengira bahwa dengan mengambil lebih banyak vitamin A akan menjadi
lebih sehat. Konsumsi vitamin A yang berlebihan dapat memberikan efek teratogenis.
Kemungkinan retinol ditransfer melewati plasenta ke sirkulasi fetal, akan menyebabkan efek
teratogenis. Kelainan bawaan yang dilaporkan muncul dari konsumsi vitamin A berlebihan
pada manusia berkaitan dengan muka dan kepala (seperti langit-langit mulut yang terbelah,
telinga rendah), cardiac (kelainan jantung), kelainan saluran kemih (genitourinary), kelainan
sistem saraf pusat dan tulang otot (Muhilal dan Sulaeman, 2004). LaChance (1998) dalam
presentasinya pada Meeting of ASEAN-RDA menjelaskan diagram yang baik sekali untuk
asupan yang aman dari vitamin A, sebagaimana disajikan pada Gambar 2. Diagram tersebut
mengilustrasikan bahwa UL untuk orang dewasa kemungkinan sekitar 5000 RE atau 15.000
SI per hari. Dosis toksik yang dilaporkan untuk perempuan hamil adalah sekitar 500.000 SI
untuk dosis tunggal atau 25.000 SI untuk dosis harian. Gejala yang muncul dari toksisitas
vitamin A (sedang dan parah) antara lain adalah sakit kepala, muntah, diplopia, kebotakan
(alopecia), kekeringan pada membran mukosa, dermatitis, anemia, insomnia, abnormalitas

76
tulang, sakit tulang dan persendian, pembengkakan hati (hepatomegaly), kerusakan hati,
tinggi kapur (hiperkalsemia), tinggi trigliserida (hiperlipemia), ketidakteraturan menstruasi,
aborsi spontan, dan kelainan bawaan. Belum dilaporkan adanya efek toksik yang merugikan
dari kelebihan mengonsumsi karotenoid provitamin A, kecuali menyebabkan
hiperkarotenimia yang ditandai dengan warna kulit yang menjadi kekuningan. Namun,
sebaliknya dilaporkan, adanya manfaat kesehatan dari mengonsumsi karotenoid provitamin A,
seperti mencegah beberapa jenis kanker, photosensitivity disorders, penyakit kardiovaskular,
age macular degeneration, katarak dan infeksi HIV (Olson, 2001).

KISARAN AMAN ASUPAN VITAMIN A

1.0 1.0
1 RE = 1 mol all trans retinol

EIExcessnadequacy
Risiko kekurangan

Risiko kelebihan
0.5 0.5
Kisaran Asupan yang Aman

0 0

(a) (b) (c)


800-1000 RE 3000 RE > 5000 RE

Gambar 2. Kisaran Asupan Vitamin A yang Aman (LaChance, 1998)

8. Angka Kecukupan Vitamin A


Seperti disebutkan di atas, angka kecukupan vitamin A adalah jumlah vitamin A yang
harus dikonsumsi per hari untuk mempertahankan status vitamin A pada level memuaskan
atau cukup. Amerika Serikat, Kanada dan beberapa negara Asia, antara lain China dan
Jepang, menggunakan istilah Dietary Reference Intakes (DRI) yang terdiri atas Estimated
Average Requirement (EAR), Recommended Dietary Allowance (RDA=EAR + 2 SD),
Adequate Intake (AI), dan Tolerable Upper Intake Level (UL). Data untuk vitamin A belum
tersedia.
Dalam pertemuan untuk harmonisasi dari RDA ASEAN telah disepakati bahwa, untuk
sementara waktu, kita hanya menggunakan RDA, bukan DRI yang terdiri atas 4 parameter
tadi. Bagaimanapun, RDA harus berdasarkan berbagai studi yang menghubungkan antara
asupan dan status vitamin A.
Penilaian diet merupakan indikator status vitamin A yang agak kasar pada tingkat populasi.
Pada tingkat individu intrepretasi data asupan, bahkan, lebih meragukan karena keragaman
antar-individu dalam kebutuhan dan asupan hari ke hari. Catatan jangka pendek, seperti recall
makanan 24 jam, oleh sebab itu kurang teliti, tetapi mungkin merupakan alternatif yang
efektif dalam hal waktu dan biaya untuk identifikasi kelompok berisiko tinggi (Berg, 1996).
Dalam "sheffield experiment", yang dilakukan pada tahun 1940-an (Hume & Krebs,
1949), di mana peserta laki-laki merupakan anti-militer, 16 subjek (14 laki-laki dan 2
perempuan) diminta untuk mengonsumsi diet defisien vitamin A dan 7 subjek (6 laki-laki dan
1 perempuan) bertindak sebagai kontrol yang mengonsumsi diet sama, tetapi dengan
tambahan suplemen retinol atau -karoten, untuk periode antara 8,5 sampai 25 bulan.
Adaptasi gelap digunakan sebagai indikator fungsional dari bioefikasi. Pada kelompok
kontrol, 750 g retinol/hari (n = 2) atau 3.000 g -karoten/hari dalam minyak (n = 4) atau
dalam margarin (n = 2) mencegah adaptasi gelap yang buruk. Dari 16 subjek lainnya, hanya 3

77
laki-laki, yang juga mempunyai konsentrasi retinol plasma terendah, membentuk atau
menghasilkan adaptasi gelap yang buruk (fase deplesi dari studi). Baik 390 g retinol/hari (n
= 1) maupun 1.500 g -karoten/hari dalam minyak, diperlukan untuk memperbaiki adaptasi
gelap yang buruk ini (fase replesi).
Studi deplesi-replesi lainnya yang dilakukan oleh Booher dkk (n = 5) (1939) dan oleh
Wagner (1940) sesaat sebelum Perang Dunia II (n = 10) mencapai kesimpulan yang serupa.
Sementara itu, Sauberlich dkk pada tahun 1970-an (n = 8) menyimpulkan bahwa, atas dasar
berat, sebanyak dua kali -karoten dari retinol diperlukan untuk memperbaiki adaptasi gelap
yang buruk. Akan tetapi, teknik deplesi-replesi memerlukan bukan hanya jangka waktu studi
yang sangat lama (sampai 2 tahun), komite etika kedokteran juga dapat menolak untuk
menyetujui studi tersebut. Selain itu, studi deplesi-replesi hanya menghasilkan estimasi kasar
dari bioefikasi, karena hanya dosis retinol dan -karoten yang meningkat secara bertahap
yang dapat diuji dan dibandingkan.
Dalam teknik keseimbangan oral-feses, perbedaan antara jumlah -karoten dalam
makanan yang dikonsumsi dan yang diekskresi di dalam feses diasumsikan menunjukkan
jumlah -karoten yang diserap (Bowen et al., 1993). Dengan teknik ini, degradasi gastrik atau
bakteri dari karotenoid yang tidak terserap dapat berkontribusi terhadap over-estimasi dari
penyerapan. FAO/WHO (2001), yang juga dilansir dalam WNPG 2004 (Muhillal dan
Sulaeman 2004), memiliki dua level rekomendasi berdasarkan pada kebutuhan rata-rata dan
tingkat asupan yang aman (Tabel 3).
Dari berbagai studi yang tersebar di Indonesia, terlihat adanya hubungan antara asupan
vitamin A dan status vitamin A seperti ditunjukkan pada Tabel 4. Namun, data ini tidak dapat
dijadikan acuan dalam penetapan angka kecukupan vitamin A di Indonesia, sebab tidak
didesain untuk menetapkan kecukupan vitamin A, tetapi diambil dari data surveilans yang ada
data asupan vitamin A dan data status vitamin A.

Tabel 3. Kecukupan Rata-rata dan Tingkat Asupan yang Aman untuk Vitamin A
Kecukupan Asupan Aman yang Dianjurkan
Kelompok Usia
(mcg RE)* (mcg RE)*
Bayi: 0-0,5 tahun 180 375
0,5-1 tahun 190 400
Anak-anak: 1-2 tahun 200 400
2-6 tahun 200 450
6-10 tahun 250 500
Laki-laki: 10-12 tahun 300 500
12-70+ tahun 300 600
Perempuan: 10-70+ tahun 270 500
Ibu hamil: 370 800
Ibu menyusui: 0-6 bulan 450 850
> 6 bulan 450 850
Sumber: Diadaptasi dari FAO/WHO (2001) *)mikrogram Retinol Equivalent

Jika level vitamin A dari serum digunakan sebagai indikator status vitamin A, yang
harus di atas 40 g/dL, tampaknya hanya bayi, laki-laki dan perempuan dewasa dengan
asupan 400 g retinol atau lebih per hari yang akan memiliki status gizi yang baik. Namun,
asupan vitamin A oleh anak-anak di bawah lima tahun, ibu hamil, dan ibu menyusui akan
terlalu rendah untuk mempunyai status gizi yang lebih baik (Muhillal & Sulaeman, 2004).
Untuk mencapai status vitamin A yang lebih baik, asupan harus 2 sampai 4 kali asupan yang
sekarang. Estimasi kebutuhan vitamin A untuk masyarakat disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Hubungan Asupan Vitamin A dan Kadar Vitamin A Serum di Indonesia

78
Asupan Vitamin A Vitamin A Serum
Kelompok Usia
(mcg) (mcg/dL)
Retinol Karoten RE
Bayi 175 - 23  6
(Perkiraan dari ASI) 400 - 45  15
Anak di bawah 5 tahun 52 3600 191 22  7
Anak di bawah 5 tahun 50 3500 185 22  8
Anak di bawah 5 tahun
(affluent)*)
250 3500 384 35  9
Ibu hamil 47 3900 197 21  6
Ibu menyusui 19 3500 154 25,4  7
Laki-laki dewasa*) 300 4000 500 54,8  3,8
Perempuan dewasa*) 250 4000 450 41,5  2,0
*)
Data yang tidak dipublikasikan dari Puslitbang Gizi ( Muhilal dan Sulaeman, 2004)

Sebagai pembanding untuk menetapkan Angka Kecukupan, pada Tabel 6 disajikan


angka kecukupan vitamin A untuk beberapa negara ASEAN. Nilai RDI untuk vitamin A yang
telah ditetapkan oleh IOM (2000) sampai saat ini belum diubah. Demikian pula di beberapa
negara lain. Hal ini mengingat belum ada hasil penelitian terbaru yang mendukung perlunya
RDI vitamin A diubah. Oleh karena itu, AKG vitamin A di Indonesia yang telah ditetapkan
pada tahun 2004 (Tabel 7) masih bisa digunakan untuk saat ini. Nilai kecukupan tahun 2004
diestimasi dari kebutuhan ditambah 2 standar deviasi.

Tabel 5. Estimasi Kebutuhan Vitamin A

Kebutuhan Vitamin A
Kelompok Usia
mcg RE
Bayi 400
Anak di bawah lima tahun 380
Anak sekolah 400
Ibu hamil 580
Ibu menyusui 570
Laki-laki dewasa 500
Perempuan dewasa 450
Sumber: Muhilal dan Sulaeman (2004).

Tabel 6. Angka Kecukupan Vitamin A di Beberapa Negara ASEAN

Malaysia Filipina Singapura Thailand Vietnam FAO/WHO


Kelompok Usia
1975 1989 1988 1989 1996 2001
(tahun)
(mcg RE) (mcg (mcg RE) (mcg RE) (mcg RE) (mcg RE)
RE)
Bayi: 0-1 tahun 300 325 300 420-375 325-350 375
Anak: 1-9 tahun 250-400 350-400 250-400 390-500 400 600
Laki-laki:
575-750 425-525 575-750 600-700 500-600 600
10-19 tahun
20 + tahun 750 525 750 700 600 600
Perempuan: 575-750 400-450 575-750 600 500-600 600

79
10-19 tahun
Perempuan:
750 450 750 600 500 500
20 + tahun
Hamil (+an)
Trimester 1 +0 + 25 +0 + 200 +0 + 300
Trimester 2 +0 + 25 +0 + 200 + 100 + 300
Trimester 3 +0 + 25 +0 + 200 + 100 + 300
Menyusui (+an)
6 bulan pertama + 450 + 325 + 450 + 400 + 350 + 350
6 bulan kedua +0 + 275 + 450 + 320 +0 + 350
Sumber: Muhilal dan Sulaeman (2004)

Tabel 7. Angka Kecukupan Vitamin A untuk Orang Indonesia


Dibandingkan dengan Sumber lain

AK Vit A IOM FAO/WHO FNRI AK Vit A


Kelompok Umur 1998a 2002b 2001c 2002d 2012e
(mcg RE) (mcg RE) (mcg RE) (mcg RE) (mcg RE)
Anak

0-6 bulan 350 400 375 375 375


7-11 bulan 350 500 400 400 400
1-3 tahun 350 300 400 400 400
4-6 tahun 400 400 450 450 450
7-9 tahun 400 400 500 400 500

80
Laki-laki
10-12 tahun 500 600 600 400 600
13-15 tahun 600 900 600 550 600
16-18 tahun 700 900 600 600 600
19-29 tahun 700 900 600 550 600
30-49 tahun 700 900 600 550 600
50-64 tahun 700 900 600 550 600
65-80 tahun 600 900 600 550 600
80+ tahun 600
Perempuan
10-12 tahun 500 600 600 400 600
13-15 tahun 500 700 600 450 600
16-18 tahun 500 700 600 450 600
19-29 tahun 500 700 500 500 500
30-49 tahun 500 700 500 500 500
50-64 tahun 500 700 500 500 500
65-80 tahun 500 700 500 500 500
80+ tahun 500
Hamil (+an) +200 +50-70 +300 +300 +300
Menyusui (+an)
6 bln pertama +350 +500 –600 +350 +400 +350
6 bln kedua +350 +500-600 +350 +400 +350
Keterangan:
a)
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI, 1998
b)
Dietary Reference Intakes, Institute of Medicine, 2002
c)
Recommended Nutrient Intakes, FAO/WHO, 2001
d)
Recommended Energy and Nutrient Intakes, Food & Nutrition Research Institute, Philippines, 2002
fe
Disarankan menggunakan satuan g Retinol Activity Equivalents (RAEs). 1 g RAE = 1 g retinol, 12 g
-karoten, 24 g -karoten, atau 24 g -cryptoxanthin. Untuk menghitung RAEs dari RE dari
karotenoid provitamin A dalam makanan, bagilah RE dengan 2. Untuk vitamin A preformed di dalam
makanan atau suplemen dan untuk karotenoid provitamin A dalam suplemen, 1 RE=1 RAE.

B. Vitamin D

Vitamin D (kalsiferol) berbeda dari zat gizi lainnya, di mana tubuh dapat
mensintesisnya dengan bantuan sinar matahari. Vitamin ini dapat difotosintesis di dalam kulit
manusia dengan bantuan radiasi ultraviolet B matahari, sehingga dalam beberapa hal, vitamin
D sering dianggap bukan zat gizi yang esensial.
1. Fungsi Vitamin D
Vitamin D merupakan salah satu vitamin yang fungsinya di dalam tubuh cukup unik
karena mirip dengan fungsi hormon. Secara garis besar fungsi vitamin D antara lain adalah
untuk: (a) Meningkatkan penyerapan kalsium (Ca) dan fosfor (P); (b) Meningkatkan
pertumbuhan; (c) Membantu pembentukan tulang dan gigi [Densitas tulang maksimal terjadi
pada usia 20-30 tahun dan densitas tulang yang maksimal ini dipengaruhi oleh pembentukan
tulang sejak bayi]; (d) Mencegah kehilangan asam amino melalui ginjal, dan (e) Ekspresi gen
(Muhilal dan Sulaeman, 2004). Fungsi biologi utama dari vitamin D pada manusia adalah
untuk mempertahankan konsentrasi kalsium dan fosfor serum dalam kisaran normal dengan
meningkatkan efisiensi usus halus untuk menyerap mineral-mineral tersebut dari diet.
Terdapat perhatian yang terus meningkat terkait kemungkinan peran lebih dari vitamin D
dalam kesehatan manusia. Sejumlah peneliti telah menyatakan adanya hubungan antara
asupan vitamin D dengan kesehatan mulai dari pencegahan kanker sampai meningkatnya
imunitas. Penelitian lain juga menyebutkan adanya kemungkinan vitamin D berperan dalam
mencegah diabetes atau preeclampsia selama kehamilan. Media juga telah menaruh perhatian,

81
dan ekspektasi publik telah mulai muncul. Namun, kajian mengenai angka kecukupan vitamin
D masih terus berkembang sejalan dengan adanya penelitian-penelitian terbaru terkait
efektivitas vitamin ini di dalam tubuh.
Data yang terus muncul menunjukkan bahwa kadar 25-hidroxivitamin D yang rendah
dapat mempengaruhi kesehatan jantung (kardiovaskular). Defisiensi vitamin D dapat
mengaktifkan sistem renin-angiotensin-aldosterone dan dapat mengakibatkan hipertensi dan
hipertropi ventrikular kiri. Selain itu, defisiensi vitamin D menyebabkan meningkatnya
hormon paratiroid, yang meningkatkan resistensi insulin dan ini berkaitan dengan diabetes,
hipertensi, inflamasi, dan meningkatkan risiko kardiovaskular. Studi epidemiologi telah
mengaitkan rendahnya level 25-hidroxivitamin D dengan faktor risiko jantung koroner dan
keadaan kardiovaskular yang menyimpang (Lee et al. 2010).
Namun, IOM (2011) mengungkapkan bahwa dengan kekecualian pengukuran yang
berhubungan dengan kesehatan tulang, potensi indikator yang diperiksa, saat ini belum
didukung oleh bukti yang dapat dianggap meyakinkan atau cukup terkait sebab dan akibat,
atau informatif terkait hubungan dosis dan respon untuk menentukan kebutuhan gizi dari
vitamin D tersebut. Dampak (outcome) yang terkait dengan kanker/neoplasma, penyakit
kardiovaskular dan hipertensi, diabetes dan sindroma metabolik, jantung dan performa fisik,
penyakit-penyakit fungsi kekebalan dan otoimun, infeksi, fungsi neuropsikologis, dan
preeklamsi tidak dapat dikaitkan dengan asupan kalsium atau vitamin D secara meyakinkan,
dan data yang ada sering bertentangan. Walaupun data yang berkaitan dengan risiko kanker
dan vitamin D menarik, potensinya pada saat ini belum cukup dapat menunjukkan satu
hubungan antara insiden kanker dan asupan vitamin D (atau kalsium) secara sebab-akibat;
nyatanya, untuk beberapa kanker terdapat satu peningkatan insiden yang berhubungan dengan
konsentrasi serum 25 OHD yang lebih tinggi atau asupan vitamin D yang lebih tinggi.
Peran vitamin D yang berkaitan dengan jantung dan performa fisik, penyakit
kardiovaskular, penyakit autoimun, dan fungsi imun juga telah mendapat perhatian yang besar
dan tetap belum terpecahkan. Peran potensial vitamin D saat ini, yang diterangkan sebagai
hipotesis menarik yang muncul dan sifat yang bertentangan dari bukti yang ada, tidak dapat
digunakan untuk menetapkan manfaat kesehatan dengan level yang dapat dipercaya. Secara
kontras, bukti-bukti sekitar kesehatan tulang memberikan dasar yang reasonable dan
mendukung untuk memungkinkan indikator ini digunakan untuk pengembangan DRI (IOM
2011).

2. Sumber Vitamin D
Kecuali dalam ikan berlemak dan minyak hati ikan, jumlah vitamin D yang terdapat
pada makanan yang tidak difortifikasi jumlahnya sedikit dan bervariasi. Kebanyakan produk-
produk susu dan margarin difortifikasi dengan vitamin D, seperti halnya banyak produk
serealia dan cokelat. Umumnya, vitamin D cukup stabil terhadap berbagai prosedur
pengolahan makanan (Spalholz, Boylan & Driskell, 1998).
Vitamin D terdapat dalam berbagai bentuk, tetapi yang secara fisiologis relevan ada
dua, yakni vitamin D2 (ergokalsiferol) dan vitamin D3 (kolekalsiferol). Vitamin D2 berasal
dari kamir atau ragi dan sterol nabati, yaitu ergosterol, sedangkan vitamin D3 berasal dari 7-
dehidrokolesterol, yang disintesis di dalam kulit dari kolesterol sebagai prekursornya (IOM,
1997). Jadi, vitamin D yang berasal dari bahan hewani disebut kolekalsiferol (vitamin D3) dan
yang berasal dari bahan nabati disebut ergokalsiferol (vitamin D2). Suatu zat yang tadinya
disebut vitamin D1 ternyata tidak mempunyai aktivitas sebagai vitamin, oleh karena itu sudah
tidak disebut dalam kepustakaan. Vitamin D tanpa subscript 2 dan 3 menunjukkan, baik
vitamin D2 maupun D3 atau kedua-duanya, secara biologis bersifat statis (inert),

82
membutuhkan dua obligat hidroksilasi untuk membentuk hormon yang aktif secara biologis,
1,25-dihidroxivitamin D (1,25(OH)2D.

3. Metabolisme Vitamin D
Prekursor vitamin D adalah ergosterol di dalam bahan nabati (prekursor vitamin D2),
dan 7-dehidrokolesterol di dalam kulit hewan atau manusia (prekursor vitamin D3). Senyawa-
senyawa ini mempunyai struktur kimia hampir identik dengan kolesterol. Dalam keadaan
terpapar sinar ultraviolet, ergosterol diubah menjadi vitamin D2 di dalam tanaman dan 7-
dehidrokolesterol diubah menjadi vitamin D3 di dalam hewan. Tahapan metabolisme utama
dari vitamin D2 dan vitamin D3 hampir sama. Setelah diserap vitamin D akan mengalami
metabolisme menjadi 25-hidroksi vitamin D atau disebut 25-hidroksi kolekalsiferol atau 25-
(OH)-D, di hati, dan selanjutnya mengalami hidroksilasi pada karbon posisi 1 sehingga
menjadi 1,25-dihidroksi kolekalsiferol atau 1,25-(OH)2D di ginjal. Bentuk aktif vitamin D di
dalam tubuh berupa 1,25-(OH)2D dan di dalam tubuh memiliki peran lebih mirip peran
hormon. Metabolit vitamin D ini akan diikat oleh "vitamin D binding protein" (DBP) dan
bentuk aktif vitamin D tersebut akan dilepas pada sel yang membutuhkannya (Muhillal dan
Sulaeman 2004).

4. Defisiensi Vitamin D
Penyakit akibat defisiensi vitamin D yang terkenal adalah riket (tulang bengkok) pada
anak-anak, dan osteomalasia pada orang dewasa. Tanpa vitamin D, maka kalsium, fosfor dan
mungkin mineral tulang lainnya tidak didepositkan dalam matriks berkolagen dari tulang
(Spalholz et al., 1998). Tulang-tulang yang rakitis tidak mampu menopang tubuh dan
menahan berat. Hasilnya adalah kaki bengkok (bowlegs), kaki pengkor (knock-knees),
persendian membesar, punggung bungkuk, dada burung merpati, dan tengkorak kepala yang
condong ke depan. Juga terdapat mineralisasi yang tidak cukup pada dentin gigi dan enamel.
Bila kadar kalsium di dalam darah rendah (hipokalsemia) akan merangsang sekresi
hormon paratiroid (PTH), suatu hormon yang mengatur metabolisme kalsium, yang
selanjutnya merangsang pembentukan 1,25 (OH2) D di ginjal. Sebagian vitamin D dapat
dibentuk tubuh dengan bantuan sinar ultraviolet dengan prekursor kolesterol yang sudah
diubah menjadi 7-dehidrokolesterol. Komponen terakhir ini, dengan pertolongan sinar
matahari (sinar ultraviolet), diubah menjadi kolekalsiferol atau vitamin D3.
5. Toksisitas Vitamin D
Konsumsi vitamin D yang berlebihan akan menyebabkan hiperkalsemia dan
hiperkalsiurea dengan akibat: kurang nafsu makan, haus berlebihan, tingkat frekuensi kencing
yang tinggi, mual, muntah, lemas, diare dan pertumbuhan terhambat. Untuk kebanyakan
orang, asupan vitamin D dari makanan dan suplemen tidak akan melewati UL. Di Amerika
Serikat, Tolerable Upper Intake Level untuk orang dewasa adalah 50 g atau 2000 SI per hari
(Spalholz et al., 1998). Di Indonesia, belum ada kesepakatan seberapa tinggi konsumsi
vitamin D yang menyebabkan toksisitas. Namun, diperkirakan bahwa konsumsi di atas 50 g
sudah akan menyebabkan toksisitas.
Keracunan vitamin D (Vitamin D Intoxication/VDI) akibat suplementasi jarang terjadi,
tetapi baru-baru ini frekuensi terjadinya keracunan vitamin D lebih tinggi. Hal ini mungkin
disebabkan oleh peningkatan asupan suplemen vitamin D karena adanya pemahaman tentang
peran vitamin D (25OHD) dalam patogenesis beberapa penyakit. Gejala dan temuan terkait
dengan VDI berhubungan erat dengan konsentrasi kalsium dalam serum dan durasi
hiperkalsemia. Level Serum 25 (OH)D sekitar 150 g/ml dinilai sebagai VDI (Tabel 8 dan 9).

83
Tabel 8. Definisi Klinis dari Level Serum 25 (OH)-D

Vitamin D 25 (OH)-D 25 (OH)-D


(nmol/L*)
mcg/ml**
Severe deficiency 12,5 5
Deficiency 37,5 15
Insuficiency 37,5-50 15-20
Normal 50-250 20-80
Excess 250 100
Intoxication 375 150
Sumber: Misra et al (2008 seperti dikutip Ozkan et al, 2012)
*)
nano mol/ Liter
**)
microgram/L

Tabel 9. Data Laboratorium pada serum Darah Pasien dengan VDI

Parameter Kadar saat masuk Kadar setelah 6 bulan


Ca (mg/dl)* 12,1 ± 2,8 9,6 ± 0,5
P (mg/dl)* 6,1 ± 1,2 4,1 ± 0,5
ALP (IU/L)** 351 ± 224 538 ± 128
PTH (pg/ml)*** 15 ± 9,2 48 ± 41
25 (OH)-D (ng/ml**** 247 ± 117,8 110,2 ± 72
Kalsium/Creatine 2,47 ± 1,03 0,11 ± 0,12
Sumber: Doneray et al (2009 seperti dikutip Ozkan et al, 2012)
Catatan: Ca: Calcium, P: Fosfor, ALP: Alkaline phosphatats, PTH: Parathyroid hormone, 25OHD:
1,25-Dihydroksivitamin D
*)
miligram/Liter
**)
International Unit/liter
***)
picogram/mililiter
****)
nanogram/mililiter

6. Angka Kecukupan Vitamin D


Sewaktu bayi lahir, cadangan vitamin D sangat minim, oleh karena itu perlu segera
diperoleh vitamin D dari makanan, yakni ASI. Namun, berbagai penelitian mengungkapkan
bahwa kadar vitamin D pada ASI rendah, sehingga bayi perlu mendapat sinar matahari agar
dapat diproduksi vitamin D3 di dalam tubuh.
Bagi penduduk di daerah tropis, sebagian vitamin D dapat diperoleh dari vitamin yang
disintesis tubuh dengan bantuan sinar matahari. Penelitian untuk mengungkap kebutuhan
vitamin D, yang berasal dari makanan tidak mudah karena sebagian vitamin D dapat disintesis
oleh tubuh. Pendekatan yang digunakan untuk meneliti kebutuhan vitamin D ialah dengan
membandingkan asupan vitamin D dengan status vitamin D, misalnya dari densitas tulang
(bone density). Pendekatan lain adalah dengan mengukur status vitamin D dengan mengukur
kadar 25-OH-D dalam plasma. Asupan vitamin D yang dapat mempertahankan kadar 25-OH-
D dalam plasma sebesar 27 mol/L, suatu kadar yang disepakati normal, merupakan asupan
yang sesuai dengan kebutuhan vitamin D.
Hasil pengumpulan data juga mengungkapkan bahwa untuk orang lanjut usia (lansia)
diperlukan asupan yang lebih tinggi karena sebagian dari mereka menunjukkan status vitamin
D yang kurang optimal dengan konsumsi 5 g per hari. Setelah mempertimbangkan berbagai

84
hasil penelitian tentang kebutuhan vitamin D, konsultasi para ahli IOM (2011) menganjurkan
kecukupan vitamin D, seperti yang disajikan pada Tabel 10. Kecukupan vitamin D yang
dianjurkan tersebut disusun dengan asumsi bahwa semua vitamin D diperoleh dari makanan.
Angka kecukupan tersebut selanjutnya dijadikan sebagai acuan dalam menghitung angka
kecukupan gizi vitamin D di Indonesia (Tabel 10). Ukuran yang digunakan untuk vitamin D
ialah mikrogram (g). Satu mikrogram vitamin D2 atau D3 setara dengan 40 SI.

Tabel 10.Angka Kecukupan Vitamin D untuk Orang Indonesia


Dibandingkan dengan Sumber Lain

Kelompok Usia AK Vit D IOM FAO/WHO FNRI AK Vit D AK Vit D


dan Jenis 1998a 1997b 2001c 2002d 2004e 2012
Kelamin (mcg/hari (mcg/hari) (mcg/hari) (mcg/hari) (mcg/hari) (mcg/hari)*
)* * * * *
Bayi/anak
0-6 bulan 7.5 5 5 5 5 -
7-11 bulan 10 5 5 5 5 -
1-3 tahun 10 5 5 5 5 15
4-6 tahun 10 5 5 5 5 15
7-9 tahun 10 5 5 5 5 15
Laki-laki

85
10-12 tahun 10 5 5 5 5 15
13-15 tahun 10 5 5 5 5 15
16-18 tahun 10 5 5 5 5 15
19-29 tahun 5 5 5 5 5 15
30-49 tahun 5 5 5 5 5 15
50-64 tahun 5 10 10 10 10 15
65-80 tahun 5 15 15 15 15 20
80+ tahun 5 15 15 15 15 20
Perempuan
10-12 tahun 10 5 5 5 5 15
13-15 tahun 10 5 5 5 5 15
16-18 tahun 10 5 5 5 5 15
19-29 tahun 5 5 5 5 5 15
30-49 tahun 5 5 5 5 5 15
50-64 tahun 5 10 10 10 10 15
65-80 tahun 5 15 15 15 15 20
80+ tahun 5 15 15 15 15 20
Hamil (+an) +5 +0 +0 +0 +0 +0
Menyusui (+an)
6 bl pertama +5 +0 +0 +0 +0 +0
6 bln kedua +5 +0 +0 +0 +0 +0
Keterangan:
a)
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI,1998
b)
Dietary Reference Intakes, Institute of Medicine, 1997, berupa adequate intake karena belum cukup
tersedia bukti ilmiah untuk menetapkan perkiraan kebutuhan rata-rata (estimated average requirement)
sebagai dasar untuk menetapkan Angka Kecukupan
c)
Recommended Nutrient Intakes, FAO/WHO, 2001
d)
Recommended Energy and Nutrient Intakes, Food & Nutrition Research Institute, Philippines, 2002
e)
Muhilal dan Sulaeman (2004). Angka Kecukupan Vitamin Larut Lemak.
**)
mikrogram/hari

Asupan vitamin D mungkin perlu disesuaikan ke atas sebanyak 50 g/hari (2.000


IU/hari) pada individu yang mengalami obesitas, dan pada mereka dengan osteoporosis,
paparan sinar matahari terbatas (di penjara, tinggal di rumah), dan malabsorpsi. Individu yang
berisiko tinggi lainnya, disarankan mengukur tingkat serum 25-OHD. Dosis yang dibutuhkan
untuk mencapai 75 nmol/L dapat diperkirakan dari tingkat yang diukur.
Setiap 2,5 g vitamin D (100 IU) yang ditambahkan akan meningkatkan tingkat serum 25-
OHD sekitar 2,5 nmol/L (kisaran 1,75-2,75 nmol/L). Karena adanya variabilitas respon 25-
OHD individu untuk suplemen vitamin D, dalam individu yang berisiko tinggi, tingkat 25-
OHD serum harus diuji ulang setelah sekitar 3 bulan suplementasi untuk mengonfirmasi
bahwa tingkat 25-OHD target telah tercapai (IOM 2011).

C. Vitamin E

Vitamin E adalah zat gizi larut-lemak yang antara lain berfungsi sebagai antioksidan
pemecah-rantai (chain-breaking) dalam tubuh dengan mencegah penyebaran reaksi radikal-
bebas sehingga dapat mencegah terjadinya peroksidasi dari lipida. Dari delapan bentuk
vitamin E yang terdapat secara alami, hanya bentuk α-tokoferol yang bertahan dalam plasma.
Di dalam sel banyak terdapat komponen-komponen yang mudah teroksidasi oleh adanya
radikal bebas di antaranya asam lemak tak jenuh, protein dan DNA.
Vitamin E disebut juga tokoferol dan ada 4 macam tokoferol, yakni , ,  dan . Selain
tokoferol, ada tokotrienol, di mana pada rantai sampingnya ada 3 ikatan rangkap. Tokoferol
merupakan pula antioksidan potensial. Bila di dalam makanan ada campuran vitamin E, maka

86
jika bentuk  diberi potensi sama dengan 1, potensi -tokoferol perlu dikalikan 0,5, -
tokoferol 0,1 dan -tokoferol dikalikan dengan 0,3. Potensi atau aktivitas dari vitamin E
dinyatakan dalam bentuk TE (tocopherol equivalent), di mana 1 TE = 1 mg d--tokoferol = 2
mg-tokoferol = 10 mg-tokoferol = 3,34 mg-tokotrienol = 1,49 SI.

1. Fungsi dan Sumber Vitamin E


Fungsi utama vitamin E secara biologis adalah melindungi PUFA dan komponen
membaran sel serta LDL dari oksidasi radikal bebas. Tingginya peroksidasi dari komponen
tersebut dikaitkan dengan timbulnya berbagai penyakit degeneratif. Agar tidak terjadi
kerusakan sel oleh radikal bebas, untuk mencegah oksidasi/kerusakan oleh radikal bebas,
diperlukan sejumlah antioksidan yang larut dalam lemak dan larut dalam air. Vitamin E
merupakan antioksidan yang larut dalam lemak. Antioksidan sendiri bekerja secara sinergi
untuk memusnahkan radikal bebas tersebut.

Sumber pangan paling kaya vitamin E adalah minyak nabati, seperti minyak kelapa sawit,
minyak bunga matahari, minyak zaitun, minyak biji kapas, dan minyak dedak beras. Sumber
vitamin E lainnya termasuk serealia utuh, kacang-kacangan, sayuran, buah, dan daging
(terutama bagian lemaknya). Namun, lebih dari setengah vitamin E ini sering kali rusak
selama pengolahan dan pemasakan makanan karena vitamin E sangat rentan terhadap oksidasi
oleh oksigen, cahaya, dan penggunaan berulang-ulang dari minyak goreng (Spalholzet al,
1998). Di samping makanan, sumber vitamin E lain adalah suplemen makanan, yang
mengandung vitamin E dalam dosis tinggi. Hanya bentuk alami dari α-tokoferol (RRR-α-
tokoferol) yang terdapat dalam makanan tidak-difortifikasi yang diperhitungkan untuk
pemenuhan Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan [AKG]. Bentuk vitamin E lain yang
non-α-tokoferol tidak ada dalam makanan.
Karena vitamin E lazim ditemukan dalam makanan yang mengandung lemak dan lebih
mudah diserap dari makanan yang mengandung lemak, asupan vitamin E pada orang-orang
yang mengonsumsi diet berlemak-rendah dapat kurang optimal, kecuali makanan dipilih
secara hati-hati untuk meningkatkan asupan vitamin E.

2. Penyerapan dan Metabolisme


Vitamin E larut dalam lemak, oleh karena itu penyerapannya dipengaruhi oleh sekresi
asam empedu dan perubahan misel di dalam pencernaan. Sekitar 20-50 persen vitamin E yang
berasal dari makanan dapat diserap. Setelah diserap, vitamin E akan dibawa oleh kilomikron
ke hati bersama very low density lipoprotein (VLDL). Banyaknya vitamin E dalam plasma
dipengaruhi banyaknya vitamin E yang dikeluarkan dari hati. Vitamin E yang dikeluarkan
oleh hati berbentuk -tokoferol. Keberadaan lemak makanan yang cukup diperlukan untuk
memaksimalkan penyerapan vitamin E karena lemak menstimulasi aliran cairan empedu dan
cairan pankreas yang esensial untuk penyerapan. Asam lemak tak jenuh ganda
(Polyunsaturated fatty acids [PUFA]) diketahui menurunkan penyerapan dan penggunaan
vitamin E, yang mungkin karena kecenderungannya untuk teroksidasi (Erdman et al, 1998).
Akibatnya, kebutuhan vitamin E pada hewan meningkat begitu konsentrasi PUFA meningkat.
Menggandakan PUFA dalam diet tanpa menambah asupan vitamin E pada manusia
menyebabkan penurunan gradual alfa-tokoferol plasma.
Di dalam hati, vitamin E diikat oleh -TTP (-tokoferol transfer protein). Setelah
menjalankan fungsinya sebagai antioksidan, tokoferol dapat teroksidasi menjadi tokoferol
radikal dan bentuk radikal ini dapat direduksi kembali menjadi tokoferol oleh kerja sinergi
dari antioksidan yang lain, misalnya vitamin C.

87
Tempat penyimpanan vitamin E dapat dilihat dari organ yang kaya vitamin E antara lain
hati, jaringan adiposa, otak dan lipoprotein. Vitamin E dikeluarkan dari tubuh bersama asam
empedu melalui feses, sebagian melalui urine, setelah diubah menjadi asam tokoferonat dan
tokoferonalakton yang dapat berkonyugasi dengan asam glukoronat.

3. Defisiensi Vitamin E
Karena vitamin E banyak terdapat dalam makanan, terutama yang mengandung lemak,
maka defisiensi vitamin E sangat langka. Pada kondisi vitamin E terganggu penyerapannya
atau tidak dapat diserap, ada kemungkinan terjadi kekurangan produksi lipoprotein, seperti
abetolipoproteinemia. Defisiensi vitamin E hanya terjadi akibat ketidaknormalan genetis dari
metabolisme vitamin E, sindroma malabsorpsi lemak, atau kurang energi-protein (KEP).
Defisiensi juga mungkin dapat terjadi bila tidak mengonsumsi vitamin E dalam jangka
waktu lama, misalnya lebih dari satu tahun tidak mengonsumsi vitamin E, yang berakibat
terjadi degenerasi membran sel antara lain mudah pecahnya membran sel darah merah. Pada
hewan percobaan defisiensi vitamin E dapat menyebabkan destropi otot dan otot jantung tidak
normal.
4. Toksisitas Vitamin E
Vitamin E dianggap relatif aman untuk orang sehat, tetapi vitamin E dosis tinggi tidak
disarankan untuk pasien yang sedang mengonsumsi vitamin K untuk gangguan pembekuan
darah, atau pengobatan antikoagulan. Suplemen vitamin E juga tidak dianjurkan untuk
diberikan dalam kurun waktu satu hingga dua minggu menjelang dan sesudah operasi karena
dikhawatirkan akan mengganggu proses koagulasi darah.
Tidak terdapat bukti pengaruh merugikan dari kelebihan konsumsi vitamin E yang terdapat
secara alami di dalam makanan. Karena itu pengukuran toksisitas biasanya didasarkan kepada
asupan -tokoferol sebagai suatu suplemen, fortifikan makanan, atau agen farmakologi.
Namun, sejumlah studi pada hewan dan manusia telah menunjukkan bahwa vitamin E
mempunyai toksisitas kronis yang sangat rendah, bahkan walaupun di atas dosis yang
digunakan dalam suplemen makanan.
Dari kajian terhadap beberapa penelitian, Institute of Medicine (IOM) melaporkan bahwa
dari studi pada hewan, -tokoferol tidak bersifat mutagenis, karsinogenis, atau teratogenis.
Hewan yang diberi dosis sangat tinggi -tokoferol atau -tokoferil asetat mengalami
sejumlah pengaruh menyimpang, tetapi relevansi dari informasi ini terhadap situasi manusia
masih dipertanyakan. Sedikit informasi tersedia mengenai pengaruh merugikan terhadap
manusia yang mungkin berasal dari konsumsi bentuk lain tokoferol, seperti  atau -toferol,
dalam jumlah melebihi konsentrasi yang secara normal ditemukan dalam makanan (IOM,
2000).
Vitamin E merupakan vitamin yang paling rendah toksisitasnya. Apalagi, beda antara
angka kecukupan dan nilai UL cukup jauh, misalnya kecukupan untuk laki-laki dewasa 15
mg/hari, sedangkan nilai UL 800 mg/hari. Konsumsi vitamin E dari makanan sehari-hari tidak
akan melebihi nilai UL. Dosis tinggi(>400 IU/d) dari suplemen vitamin E dilaporkan dapat
meningkatkan mortalitas dan oleh sebab itu harus dihindari (Miller et al, 2005).

5. Angka Kecukupan Vitamin E


Ada beberapa faktor yang memengaruhi kebutuhan vitamin E, di antaranya adalah
bioavailabilitas dan interaksi antar-zat-gizi. Interaksi zat gizi yang memengaruhi kebutuhan
vitamin E adalah adanya interaksi antioksidan (dengan vitamin C, Se dan -karoten) dan
interaksi dengan lemak tidak jenuh yang dikonsumsi.

88
Kebutuhan vitamin E didasarkan pada prevensi hemolisis yang diinduksi hidrogen
peroksida. Nilai-nilai Estimasi Kebutuhan Rata-rata (Estimated Average Requirement [EAR]),
AKG, dan Asupan Adekuat (Adequate Intake [AI]) untuk vitamin E hanya berlaku untuk
asupan bentuk ‗2R-stereoisomeric‘alfa-tokoferol dari makanan, makanan yang difortifikasi,
dan suplemen. Bentuk-bentuk lain vitamin E yang ditemukan secara alami tidak memenuhi
kebutuhan vitamin E karena tidak dikonversi menjadi α-tokoferol pada manusia.
Tingkat asupan batas atas yang dapat ditoleransi (Tolerable Upper Intake Level [UL])
didasarkan pada efek samping dari peningkatan kecenderungan menjadi hemorrhage. UL
vitamin E berlaku untuk segala bentuk alfa-tokoferol suplemen karena semua diserap; bentuk
vitamin E sintetis ini hampir secara eksklusif digunakan dalam suplemen, fortifikasi makanan,
dan agen farmakologis. Ada sedikit informasi tentang efek merugikan yang mungkin timbul
akibat menelan vitamin E bentuk lain.
Kecukupan vitamin E pada bayi dihitung dari ketersediaan vitamin E dalam ASI dari ibu
yang status vitamin E-nya normal. Kecukupan gizi yang diperoleh dengan dasar ini disebut
Adequate Intake (AI). Kecukupan vitamin E untuk orang dewasa normal dapat bervariasi
tergantung gaya hidup dan kebiasaan makan. Konsumsi PUFA yang tinggi dalam minyak
makan akan secara nyata meningkatkan kebutuhan vitamin E karena minyak tersebut mudah
teroksidasi di dalam tubuh dan vitamin E diperlukan untuk mencegah oksidasi tersebut.
Demikian halnya kebiasaan merokok atau tinggal di lingkungan di mana banyak orang
merokok.
Kecukupan vitamin E pada orang dewasa diperoleh dari penelitian sejumlah subjek yang
tidak diberi vitamin E dalam beberapa tahun sehingga timbul gejala defisiensi vitamin E
antara lain fragilitas sel darah merah. Pemberian vitamin E untuk menormalkan kembali
diperkirakan sesuai dengan kebutuhan vitamin E.
Cara lain dengan mengukur vitamin E dalam darah dengan pemberian berbagai dosis
vitamin E. Kadar vitamin E dalam plasma, berupa -tokoferol, yang dianggap normal ialah 12
mol/dl atau 516 g/dL. Dengan menggunakan 12 mol/dl sebagai batas normal terendah,
maka subjek yang mengonsumsi 12 g -tokoferol per hari dapat mencapai kadar -tokoferol
dalam plasma yang normal tersebut. Untuk menghitung kecukupan diperoleh dari kebutuhan
minimal tersebut (estimated average requirement) ditambah 2 SD, sehingga diperoleh angka
15 mg untuk kecukupan vitamin E per orang per hari.
IOM (2006) menetapkan angka kecukupan vitamin E sebagaimana disajikan pada
Tabel 11. Dengan mempertimbangkan kondisi di Indonesia, di mana peluang terjadinya
peroksidasi lipid yang disebabkan banyaknya perokok, baik perokok aktif maupun pasif,
diperkirakan Angka Kecukupan vitamin E dari WNPG 2004 tampaknya perlu dipertahankan
dan ini sesuai dengan Angka Kecukupan vitamin E yang ditetapkan IOM (2006).
Tabel 11. Angka Kecukupan Vitamin E Orang Indonesia sehari
Kelompok Umur EAR a AI b UL c AK Vit E AK Vit E
mg/hari* mg/hari* mg/hari* 2004d 2012
mg/hari* mg/hari*

Bayi/Anak
0-6 bulan 4 TD 4 4
7-12 bulan 5 TD 5 5
1-3 tahun 5 6 200 6 6
4—8 tahun 6 7 300 7 7
Laki-laki
9-13 tahun 9 11 600 11 11
14-18 tahun 12 15 800 15 15

89
19-50 tahun 12 15 1000 15 15
51-64 tahun 12 15 1000 15 15
65-80 tahun 12 15 1000 15 15
80+ tahun 12 15 1000 15 15
Perempuan
9-13 tahun 9 11 600 11 11
14-18 tahun 12 15 800 15 15
19-50 tahun 12 15 1000 15 15
51-64 tahun 12 15 1000 15 15
65-80 tahun 12 15 1000 15 15
80+ tahun 12 15 1000 15 15
Hamil (+an)
Trimester 1, 2 & 3 +0 +0 +200 +0 +0
Menyusui (+an)
6 bl pertama +4 +4 +200 +4 +4
6 bln kedua +4 +4 +200 +4 +4
Sumber: a, b, c IOM (2006) dan Muhilal dan Sulaeman (2004)
Catatan: alfa-tokoferol termasuk RRR-alfa-tokoferol, bentuk satu-satunya α-tokoferol yang
terdapat secara alami dalam makanan, dan bentuk 2R-stereoisomeric (RRR-, RSR-, RRS-, and
RSS-alfa-tokoferol) yang ditemukan dalam makanan yang difortifikasi dan suplemen. Tidak
termasuk bentuk 2S-stereoisomeric (SRR-, SSR-, SRS-, dan SSS-alfa-tokoferol), yang juga
ditemukan dalam makanan yang difortifikasi dan suplemen. UL vitamin E berlaku untuk bentuk
sintetis yang diperoleh dari suplemen, makanan yang difortifikasi, atau kombinasi keduanya.
*)
=miligram/hari

D. Vitamin K

1. Fungsi dan Sumber Vitamin K


Vitamin K merupakan koenzim yang berperan untuk sintesis sejumlah protein yang
berperan dalam koagulasi darah dan metabolisme tulang. Vitamin K, misalnya berperan
sebagai koenzim dalam pembentukan koagulasi protein faktor II yang disebut prothrombin.
Vitamin K juga berperan dalam menambahkan karbondioksida pada residu glutamat (Glu)
dari suatu protein (Gla) yang akan mengikat kalsium dan penting untuk pembentukan tulang,
selain penting pula mekanisme pengikatan Ca tersebut untuk otot dan ginjal.

Vitamin K terdapat antara lain pada sayuran berdaun hijau. Ada tiga macam vitamin K
yakni vitamin K1 (phylloquinone) yang terdapat pada makanan nabati, vitamin K2
(menoquinone) terdapat pada makanan hewani, vitamin K3 (menadione) yang dihasilkan
bakteri pencernaan. Sayur-sayuran berdaun hijau merupakan sumber vitamin K yang baik.
Dari data-data terbatas menunjukkan bahwa vitamin K cukup stabil terhadap prosedur
pengolahan dan pemasakan. Spalholtz et al. (1998) melaporkan bahwa manusia memperoleh
vitamin K (~ 50% rata-rata) dari sintesis bakteri di dalam usus pencernaan yang diserap
terutama di ileum.

2. Penyerapan dan Metabolisme


Vitamin K yang paling banyak terdapat dalam makanan ialah vitamin K1 (phylloquinone).
Vitamin K diserap di jejunum dan ileum. Karena vitamin K larut dalam lemak, maka dalam
proses penyerapannya diperlukan asam empedu, cairan pankreatik dan lemak. Banyaknya
vitamin K yang dapat diserap sangat bervariasi dari 10% sampai 80% tergantung pada faktor-
faktor yang mempengaruhinya.
Setelah diserap vitamin K akan diangkut oleh kilomikron, di bawa ke hati dan sebagian
besar akan disimpan di hati. Hati merupakan organ tubuh yang konsentrasi vitamin K nya

90
cukup tinggi. Setelah menjalankan fungsinya, vitamin K akan mengalami degradasi diikuti
dengan konjugasi dengan asam glukuronat dan selanjutnya dapat dikeluarkan melalui urine.
Vitamin K yang belum terdegradasi dapat dikeluarkan bersama empedu melalui feses.

3. Defisiensi
Manifestasi dari kekurangan vitamin K adalah lamanya waktu pembekuan darah, karena
itu defisiensi vitamin K mudah terkena hemorrhage (perdarahan). Namun, defisiensi vitamin
K pada orang normal/sehat jarang terjadi.
Defisiensi sekunder dapat terjadi bagi orang yang mengonsumsi antiobiotik antara lain
karena efek antibiotik pada kinerja enzim karboksilase yang memerlukan vitamin K.
Defisiensi vitamin K pada bayi yang baru lahir yang hanya diberi ASI mendapat perhatian
serius karena defisiensi vitamin K tersebut meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada bayi.
"Hemorrhage Disease" (DHN) pada bayi yang baru lahir antara lain karena kekurangan
vitamin K sehingga mengakibatkan kekurangan prothrombin dan proconvertin. Masalah ini
disebut juga "Vitamin K Deficiency Bleeding" (VKDB). Rendahnya kadar vitamin K pada
ASI dan rendahnya asupan vitamin K merupakan faktor terjadinya defisiensi vitamin K pada
bayi.
Pada orang dewasa, defisiensi vitamin K antara lain ditandai dengan lamanya pembekuan
darah, rendahnya kadar vitamin K dalam plasma, rendahnya ekskresi gamma-carboxy
glutamyl residue" (Gla) dalam urine serta rendahnya aktivitas faktor VII (yang terkait dengan
agregasi keping-keping darah).
Terdapat laporan bahwa kekurangan vitamin K berhubungan dengan penyakit tulang,
termasuk pengembangan osteoporosis, tetapi panel menyimpulkan tidak terdapat bukti yang
cukup untuk menetapkan secara tegas hubungannya.

4. Toksisitas Vitamin K
Tidak ada efek merugikan yang telah dilaporkan untuk vitamin K sehingga suatu nilai UL
belum ditetapkan. Bila konsumsi vitamin K hanya dari makanan sehari-hari maka tidak akan
terjadi kelebihan vitamin K dan tidak akan ada efek samping. Pemberian vitamin K dengan
dosis 10-20 mg (beberapa ratus kali kecukupan) di klinik, tidak diamati adanya efek samping.
Namun, konsumsi vitamin K berlebihan sebaiknya dihindari sebelum ada data-data yang
konkrit mengenai banyaknya dosis vitamin K yang dapat menyebabkan efek samping.
Kelebihan vitamin K (sebagai menadione) yang diberikan pada bayi menyebabkan
meningkatnya kejadian anemia hemolitik, hiperbilirubinemia, kernikterus, dan kerusakan hati,
terutama pada bayi prematur yang mempunyai erythroblastosis (Spalholz et al.,1998).

5. Angka Kecukupan Vitamin K


Kecukupan vitamin K dihitung dari asupan vitamin K yang dikaitkan dengan status
vitamin K. Status vitamin K yang dapat digunakan antara lain waktu pendarahan, ekskresi
Gla dalam urine, kadar vitamin K dalam plasma serta peningkatan kadar PIVKA II
(prothrombin prekursor-Gla) dalam plasma. Adequate intake (AI) untuk laki-laki adalah 120
mikrogram dan 90 mikrogram untuk wanita ditetapkan berdasarkan tingkat konsumsi dari
individu sehat.
Selain itu dapat dilakukan penelitian "cross-over design" dengan pemberian diet rendah
vitamin K diikuti dengan pemberian vitamin K (replete) sehingga dapat diketahui pada
tingkat konsumsi vitamin K berapa status vitamin K menjadi normal.

91
Berbagai hasil penelitian di atas oleh konsultasi ahli FAO/WHO (2001) digunakan untuk
menyusun kecukupan vitamin K. Ukuran yang digunakan untuk kecukupan vitamin K ialah
g (mikrogram). Berdasarkan berbagai pertimbangan, AKG vitamin K yang disusun oleh
konsultasi ahli FAO/WHO (2001) dijadikan acuan dalam penyusunan AKG vitamin K untuk
Indonesia (Tabel 11). Pada AKG tersebut sebagian lebih rendah dari AKG vitamin K hasil
WNPG 1998 karena AKG sebelumnya itu lebih berdasarkan kepada AKG di Amerika Serikat.
Tabel 12.Angka Kecukupan Vitamin K untuk Orang Indonesia
Dibandingkan dengan Sumber Lain
Kelompok AK IOM FAO/WHO FNRI AK Vit K
Usia 1998a 2002b 2001c 2002d 2012
(mcg) (mcg) (mcg) (mcg) (mcg)
Bayi/Anak
0-6 bulan 5 2.0 5 6 5
7-11 bulan 10 2.5 10 9 10
1-3 tahun 15 30 15 13 15
4-6 tahun 20 55 20 19 20
7-9 tahun 30 55 25 24 25
Laki-laki
10-12 tahun 45 60 35 34 35
13-15 tahun 65 75 55 50 55
16-18 tahun 70 75 55 58 55
19-29 tahun 80 120 65 59 65
30-49 tahun 80 120 65 59 65
50-64 tahun 80 120 65 59 65
64+ tahun 80 120 65 59 65
Perempuan
10-12 tahun 45 60 35 35 35
13-15 tahun 55 75 55 49 55
16-18 tahun 60 75 55 50 55
19-29 tahun 65 90 55 51 55
30-49 tahun 65 90 55 51 55
50-64 tahun 65 90 55 51 55
64+ tahun 65 90 55 51 55
Hamil (+an)
+0 +0 +0 +0 +0
Menyusui (+an)
+0 +0 +0 +0 +0
Keterangan:
a)
Angka Kecukupan Gizi, Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI, 1998
b)
Dietary Reference Intakes, Institute of Medicine, 2002, berupa adequate intake karena belum cukup
tersedia bukti ilmiah untuk menetapkan perkiraan kebutuhan rata-rata (estimated average requirement)
sebagai dasar untuk menetapkan AKG.
c)
Recommended Nutrient Intakes, FAO/WHO, 2001
d)
Recommended Energy and Nutrient Intakes, Food & Nutrition Research Institute, Philippines, 2002
Meskipun telah banyak dipublikasikan berbagai hasil penelitian terkait dengan peran dari
vitamin K terhadap kesehatan, RDI untuk vitamin K yang disusun oleh IOM (2000) sampai
saat ini belum diubah. Hal ini mengingat sebagian hasil penelitian tersebut masih belum
konklusif. Oleh karena itu angka kecukupan vitamin K bagi orang Indonesia yang disusun
tahun 2004 nampaknya masih sesuai. Beberapa pertimbangan yang menjadi alasan tetapnya
nilai AKG tahun 2004 adalah sebagai berikut:
1. Kekurangan vitamin K, terutama pada usia dewasa masih dilaporkan, kecuali pada kasus
kasus penyakit tertentu.

92
2. Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan seperti yang di-review oleh Shearer et al.
(2012) menunjukkan bahwa kebutuhan vitamin K pada orang dewasa tidak berbeda, baik
menurut jenis kelamin maupun tingkatan usia.
3. Peranan vitamin K dalam mengurangi risiko penyakit kronis tertentu sampai saat ini belum
dapat dibuktikan secara ilmiah disebabkan sulitnya menetapkan biomarker yang cocok
untuk masing-masing gejala klinis.
Namun, perlu dipertimbangkan angka kecukupan vitamin K bagi ibu hamil dan menyusui
mengingat masih besarnya kejadian pendarahan intracranial. Hal ini didasarkan pada
berbagai pertimbangan berikut:
1. Ibu hamil dengan asupan vitamin K rendah memiliki prevalensi kekurangan vitamin K
secara sub klinis lebih besar dari ibu hamil dengan intake vitamin K cukup (18,8% vs
3,3%).
2. Ibu hamil dengan kekurangan vitamin K yang parah melahirkan bayi dengan kondisi yang
disebut chondrodysplais punctata.
3. Kandungan vitamin K pada bayi yang mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) lebih rendah
dibandingkan bayi yang mendapatkan Susu Formula.

III. VITAMIN LARUT AIR


A. Tiamin (Vitamin B1)
Tiamin atau dikenal sebagai vitamin B1 merupakan vitamin yang dampak kekurangannya
telah lama diketahui, yakni beri-beri. Adalah Eijkman, seorang dokter Belanda yang bekerja
di Jawa yang menemukan pada 1890 bahwa beri-beri dapat disembuhkan dengan kulit ari
beras. Hasil studi Frazier dan Stanton pada 1909-1915 menunjukkan bahwa beri-beri pada
manusia merupakan penyakit defisiensi yang memberikan respon terhadap ektraks hasil
sosohan beras. Pada 1926 ahli kimia Belanda yang bekerja di Jawa, yaitu Jansen dan Donath
berhasil mengisolasi dan mengkristalkan faktor anti-beri-beri dari ekstrak kulit ari beras dan
memberi nama trivial aneurine (Tanphaichitr, 2001). Selanjutnya Roger William berhasil
mengisolasi tiamin dalam jumlah yang cukup dan berhasil menetapkan struktur kimianya.

1. Fungsi dan Sumber Tiamin


Fungsi biokimia dari tiamin diidentifikasi pada 1935 oleh Thomson dan Johnson yang
menunjukkan bahwa level piruvat darh meningkat pada orang dengan defisiensi tiamin.
Selanjutnya diketahui bahwa tiamin merupakan vitamin pertama yang didemonstrasikan
mempunyai fungsi metabolik yang didefinisikan dengan jelas sebagai suatu koenzim.
Walaupun demikian, mekanisme kerusakan sistem saraf pusat dan periferal akibat defisiensi
tiamin masih belum jelas; selain peran koenzim yang telah ditetapkan, tiamin mengatur
aktivitas satu transporter chlorida pada sel-sel saraf.
Studi dari Peters pada tahun 1920an dan 1930an (Bender, 2003) menetapkan peran
koenzim dari tiamin dalam dekarboksilasi oksidatif dari piruvat. Tiamin difosfat merupakan
koenzim untuk tiga kompleks multienzim dalam mitokondria mamalia yang terlibat dalam
dekarboksilasi oksidatif dari oxoacids: piruvat dehidrogenase dan 2-oxoglutarat
dehydrogenase dalam pathway metabolik sentral yang menghasilkan energi, dan the
branched-chain oxo-acid dehydrogenase dalam katabolisme leucine, isoleucine, and valine.

93
Studi lebih lanjut menetapkan peran koenzim dari tiamin difosfat dalam transketolase
dalam dalam pathway pentosa fosfat. Studi yang lebih baru telah menunjukkan bahwa tiamin
trifosfat bertindak untuk mengatur satu ―chloride channel‖ dalam jaringan saraf.
Tiamin terdapat baik pada pangan asal hewan maupun nabati, walaupun dalam jumlah
yang banyak hanya terdapat sedikit makanan saja. Sumber yang baik untuk tiamin adalah ragi
atau kamir, hati dan ginjal, daging babi, dan kacang-kacangan, termasuk kacang hijau, kedelai
dan kacang tanah. Pada serealia, kandungan tiamin pada endosperemnya rendah, namun
tinggi pada lembaga sehingga kandungan tiamin pada dedak beras dan beras tumbuk lrbih
tinggi daripada beras giling. Pada telur terdapat pada kuningnya. Pada minyak, lemak dan
gula tiamin tidak ada. Susu dan produk susu, seafood, buah-buahan dan sayuran bukan
merupakan sumber tiamin yang baik (Tanpaichitr, 2001).
Tiamin dalam bentuk bebas tidak stabil, dan dua derivatif tiamin umum digunakan dalam
pengayaan pangan dan preparasi farmasi thiamin chloride hydrochloride (umum dikenal
sebagai tiamin hidroklorida) dan tiamin mononitrat. Tiamin mononitrat kurang higroskopis
dari pada tiamin hidroklorida dan merupakan bentuk yang disukai untuk pengayaan pangan.

2. Penyerapan dan Metabolisme


Penyerapan tiamin terjadi terutama di jejunum. Pada konsentrasi rendah menggunakan
sistem aktif yang dimediasi carrier yang melibatkan fosforilasi dan pada konsentrasi yang
lebih tinggi secara diffusi pasif. Tiamin ditransportasikan dalam darah, dalam eritrosit dan
plasma.
Persentase dari tiamin dosis tinggi yang diserap hanya sedikit saja dan nilai serum yang
meningkat menghasilkan ekskresi urine aktif dari vitamin. Setelah satu dosis oral vitamin,
ekskresi puncak terjadi dalam waktu 2 jam, dan ekskresi hampir lengkap setelah 4 jam.
Dengan level farmakologi yang lebih tinggi (250 mg secara intramuscular, hampir 1 minggu
dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi plasma yang ―steady state‖ (IOM 2000).

3. Defisiensi
Defisiensi tiamin menghasilkan penyakit yang disebut beri-beri, yang secara klasik
terdapat dalam dua bentuk, yakni kering (paralytic) dan basah (oedomatous). Beri-beri terjadi
pada bayi yang diberi ASI oleh ibunya yang mengalami defisiensi. Pada orang dewasa, beri-
beri terjadi pada yang mengonsumsi makanan tinggi karbohidrat, terutama dari beras giling
yang disertai antitiamin faktors (ATFs).

Tanda-tanda klinis defisiensi tiamin mencakup anorexia, turun berat badan, perubahan
mental seperti apatis, menurun memori jangka pendek, bingung, dan iritabilitas; lemah otot,
dan efek kardiovaskular, seperti pembesaran hati. Pada beri-beri basah, terjadi edema; pada
beri-beri kering, ―wasting‖ otot nampak jelas. Pada bayi, kegagalan jantung terjadi agak tiba-
tiba. Berdasarkan IOM (2001) defisiensi tiamin yang parah di negara maju ada hubungannya
dengan konsumsi alkohol yang tinggi.

4. Toksisitas
Karena tiamin mudah dibuang dalam urine, toksisitas bukan merupakan masalah pada
tiamin. Tidak terdapat laporan mengenai efek merugikan dari kelebihan konsumsi tiamin dari
makanan dan suplemen. Karena data untuk asesmen risiko kuantitatif tidak cukup, maka
tidak ditetapkan Tolerable Upper Intake Level (UL) untuk tiamin (IOM 2001).

94
5. Penilaian Status Tiamin
Status tiamin tergantung tidak hanya kepada kandungan tiamin dalam makanan, namun
juga tergantung kepada ketersediannya. Faktor yang mempengaruhi ketersediaan adalah
hilangnya tiamin setelah penanganan dan pengolahan pangan, konsumsi etanol, keberadaan
antitiamin factors (ATFs), dan status folate dan protein.
Status tiamin dapat dinilai berdasarkan asupan tiamin per 1000 kkal, ekskresi tiamin
melalui urine (urinary thiamin excretion), koefisien aktivasi transketolase (transketolase
activation coefficient) dan eritrosit tiamin difosfat (erythrocyte thiamin diphosphate).
Berdasarkan parameter-parameter tersebut, maka status tiamin seseorang dapat
dikelompokkan atas adekuat (cukup), marginal dan defisien (Tabel 13).

Asupan tiamin dihitung per 1000 kkal. Tiamin akan dikeluarkan melalui urine dalam
jumlah tertentu secara proposional, tergantung pada status tiamin. Selama 4 jam, tiamin akan
dikeluarkan melalui urine lebih dari 300 nmol, setelah pemberian 5 mg (19 μmol) tiamin.
Apabila kurang dari 75 nmol, maka dikategorikan defisien.

Nilai koefisien aktivasi <1,15 pada pemberian tiamin difosfat secara in vitro,
menunjukkan kondisi normal. Apabila nilai koefisien aktivasi >1,25 akan menunjukkan
keadaan defisien. Konsentrasi tiamin difosfat pada orang normal berkisar antara 150-300
nmol/L. Apabila <120 nmol/L dikategorikan defisien.

6. Angka Kecukupan Tiamin


Fungsi utama tiamin adalah dalam metabolisme karbohidrat, sehingga kebutuhan tiamin
tergantung pada proporsi karbohidrat dalam diet. Oleh karena itu, perhitungan kebutuhan
tiamin, ditentukan berdasarkan total kebutuhan energi dengan asumsi 40% energi berasal dari
lemak. Apabila komposisi diet rendah lemak dan tinggi karbohidrat serta protein, maka
kebutuhan tiamin bisa menjadi lebih tinggi. Dilaporkan tidak ada laporan efek toksik dari
asupan tiamin dosis tinggi ini. Hanya sekitar 2,5 mg (10 µmol) yang dapat diabsorpsi, sisanya
akan segera dikeluarkan.
Berdasarkan studi deplesi/replesi, diperlukan 0,2 mg per 1000 kkal untuk memelihara
kondisi ekskresi urine normal. Untuk mendapatkan koefisien aktivasi transketolasse pada
kondisi normal, diperlukan 0,3 mg per 1000 kkal. Penentuan angka kecukupan tiamin
dihitung 0,5 mg per 1000 kkal untuk dewasa dengan konsumsi energi 2000 kkal per hari.
Karena terdapat perubahan dalam Angka Kecukupan Energi dalam Widyakarya Pangan dan
Gizi 2012, maka secara otomatis, angka kecukupan tiamin juga berubah seperti yang disajikan
pada Tabel 13.

Tabel 13. Kriteria dan Pengelompokan Status Tiamin

95
Penilaian Adequate Marginal Deficient
Asupan
nmol/1000 kkal* › 1,1 0,75 – 1,1 ‹ 0,75
nmol/Mj** › 0,27 0,18 – 0,27 ‹ 0,18
mg/1000 kkal*** › 0,3 0,2 – 0,29 ‹ 0,2
µg/mj**** › 72 48-72 ‹ 48
Ekskresi Urine
nmol/mol***** kreatinine › 28 11 – 27 ‹ 11
µg/g kreatinine › 66 27 – 65 ‹ 27
nmol/hari › 375 150 – 375 ‹ 150
µg/hari › 100 40 – 99 ‹ 40
Ekskresi Urine 4 jam setelah dosis
parenteral 19 nmol (5 mg)
nmol › 300 75 – 300 ‹ 75
µg › 80 20 – 79 ‹ 20
Koefisien aktivasi transketolase ‹ 1,15 1,15 – 1,24 › 1,25
Eritrosit thiamin difospate
nmol/L***** › 150 120 – 150 ‹ 120
µg/L › 64 50 – 64 ‹ 50
* ) nanomol per 1000 kilokalori, **) nanomol per Megajoule , ***) miligram per 10000 kilokalori,
****) mikrogram per mikrojoule, ******) nanomol perliter

96
Tabel 14. Kecukupan Tiamin 2012 Dibandingkan dengan 2004
Tinggi AK Energi AK Thiamin AK Thiamin
Berat badan
Umur badan 2012 2012 2004
(kg)*
(cm)** (kkal)*** 2012 (mg) (mg)
BayiAnak
0-6 bulan 6 61 550 0,3 0,2
7-11 bulan 9 71 725 0,4 0,4
1-3 tahun 13 91 1125 0,6 0,5
4-6 tahun 19 112 1600 0,8 0,8
7-9 tahun 27 130 1850 0,9 0,9
Laki-laki
10-12 tahun 34 142 2100 1,1 1,1
13-15 tahun 46 158 2475 1,2 1,2
16-18 tahun 56 165 2675 1,3 1,3
19-29 tahun 60 168 2725 1,4 1,3
30-49 tahun 62 168 2625 1,3 1,2
50-64 tahun 62 168 2325 1,2 1,2
65-79 tahun 60 168 1900 1,0 1,0
80+ tahun 58 168 1525 0,8 1,0
Perempuan
10-12 tahun 36 145 2000 1,0 1,1
13-15 tahun 46 155 2125 1,1 1,2
16-18 tahun 50 158 2125 1,1 1,1
19-29 tahun 54 159 2250 1,1 1,0
30-49 tahun 55 159 2150 1,1 0,9
50-64 tahun 55 159 1900 1,0 0,9
65-79 tahun 54 159 1550 0,8 0,8
80+ tahun 53 159 1425 0,7 0,8
Hamil (+an)
Trimester 1 - - +180 +0,3 +0,3
Trimester 2 - - +300 +0,3 +0,3
Trimester 3 - - +300 +0,3 +0,3
Menyusui (+an)
6 bulan pertama +330 +0,3 +0,3
6 bulan kedua +400 +0,3 +0,3

*) kilogram, dari Jahari dkk (2012)


**) sentimeter, dari Jahari dkk (2012)
***) kilokalori perhari dari Hardinsyah dkk (2012)
****) miligram perhari

B. Riboflavin (Vitamin B2)

1. Sumber
Riboflavin merupakan senyawa larut air, berwarna kuing dan berfluoresen. Bentuk utama
dari vitamin ini adalah sebagai komponen integral dari koenzim flavin mononucleotide
(FMN) dan flavin-adenine dinucleotide (FAD). Dalam bentuk koenzim ini riboflavin
berfungsi sebagai katalis untuk rekasi-reaksi redoks dalam sejumlah pathway metabolik dan
dalam produksi energi. Kombinasi kriteria digunakan untuk mengestimasi Angka Kecukupan
Gizi untuk riboflavin, termasuk erythrocyte glutathione reductase activity coefficient dan
urinary riboflavin excretion.

97
Sumber makanan signifikan untuk riboflavin adalah daging dan produk daging termasuk
unggas dan ikan, susu dan produk susu,telur dan keju. Sementara sumber nabati adalah sayur-
sayuran, seperti brokoli, kelompok kubis-kubisan, seperti collard dan turnip.

2. Penyerapan dan Metabolisme


Metabolisme riboflavin merupakan proses yang terkontrol ketat yang tergantung kepada
status riboflavin individual. Riboflavin diubah menjadi koenzim dalam sitoplasma seluler
kebanyakan jaringan, terutama di usus halus, hati, jantung dan ginjal. Metabolisme riboflavin
dimulai dengan fosforilasi vitamin yang tergantung kepada ATP menjadi FMN. Flavokinase,
katalis untuk konversi ini di bawah kendali hormonal. FMN kemudian dibuat menjadi
kompleks dengan apoenzim spesifik untuk membentuk sejumlah flavoprotein, namun
kebanyakan diubah menjadi FAD oleh FAD synthetase. Produksi FAD dikontrol oleh inhibisi
produk sedemikian rupa sehingga kelebihan FAD menghambat produksi berikutnya.

3. Defisiensi dan Toksisitas


Defisiensi riboflavin menghasilkan kondisi hipo-atau ariboflavinosis dengan gejala
tenggorokan sakit, hyperaemia, oedema pharyngeal dan membran mucous mulut, cheilosis;
angular stomatitis, glossitis, sewborrheic dermatitis, dan normochromic, mormocyitic bone
marrow. Toksisitas riboflavion bukan merupakan suatu masalah karena terbatasnya absorpsi
intestinal.

4. Penilaian Status Riboflavin (Vitamin B2)


Metode untuk penilaian status riboflavin antara lain Ekskresi riboflavin & metabolitnya dalam urine dan
koefisien Erythrocyte Glutathione Reductase (EGR), yaitu rasio aktivitas eritrosit dengan dan tanpa penambahan
FAD in vitro.

Tabel 15. Kriteria Penilaian Status Riboflavin

Pengukuran Adequate Marginal Deficient


Urine riboflavin
µg/g kreatinin › 80 27-80 ‹ 27
mol/mol kreatinin › 24 8-24 ‹8
µg/24 h › 120 40-120 ‹ 40
nmol/24 h › 300 100-300 ‹ 100
mg over 4 h after 5 mg dose 5 mg dose › 1.4 1.0-1.4 ‹ 1.0
mg over 4 h after 5 mg dose 5 mg dose › 3.7w 2.7- 3.7 ‹ 2.7
Eritrosit riboflavin
µg/g hemoglobin › 0.45 - -
nmol/g hemoglobim › 1.2 - -
Glutathione reductase
Activation coeficient 1.4 1.4-1.7 › 1.7

98
5. Status Riboflavin

Asupan riboflavin di bawah 1,1 mg per hari, mengakibatkan ekskresi riboflavin dalam
urine sangat sedikit. Ekskresi riboflavin dalam urine meningkat dengan meningkatnya asupan.
Nilai koefisien EGR antara 1,0-1,3 menunjukkan status riboflavin normal; sedangkan nilai
>1,7 mengindikasikan defisiensi. Nilai koefisien EGR <1,3 dimiliki oleh orang yang biasa
mengonsumsi riboflavin antara 1,2-1,5 mg per hari.

6. Kecukupan Riboflavin

Berdasarkan studi deplesi/replessi, kebutuhan minimal orang dewasa adalah 0,5-0,8 mg


per hari. Asupan riboflavin antara 1,1-1,6 mg per hari, dapat meningkatkan jumlah riboflavin
yang dikeluarkan melalui urine. Kebutuhan riboflavin juga dapat dihitung berdasarkan asupan
energi, 0,6-0,8 mg per 1000 kkal. Tidak ada laporan kasus toksisitas dan efek samping akibat
konsumsi riboflavin.

Namun, konsumsi riboflavin pada dosis tinggi dicirikan dengan urine yang berwarna
kuning namun tidak mengindikasikan bahaya. Tubuh memiliki keterbatasan dalam absrobsi
riboflavin; karena bersifat larut air, kelebihan riboflavin akan diekresikan melalui urine.

Riboflavin bersifat stabil selama pemanasan, namun akan terjadi kehilangan apabila
terkena cahaya. Pengeringan makanan dengan sinar matahari akan merusak sebagian besar
riboflavin dalam makanan. Meskipun riboflavin relatif stabil selama pengolahan; namun,
karena bersifat larut air, maka sebagian riboflavin akan tertinggal dalam air rebusan.

99
Tabel 16. Kecukupan Riboflavin 2012 Dibandingkan dengan 2004

AK AK
Berat Tinggi AK Energi
Riboflavin Riboflavin
Umur Badan badan 2012
2012 2004
(kg)* (cm)** (kkal)***
(mg) (mg)
Bayi/Anak
0-5 bulan 6 61 550 0,3 0,3
6-11 bulan 9 71 725 0,4 0,4
1-3 tahun 13 91 1125 0,7 0,5
4-6 tahun 19 112 1600 1,0 0,6
7-9 tahun 27 130 1850 1,1 0,9
Laki-laki
10-12 tahun 34 142 2100 1,3 1,0
13-15 tahun 46 158 2475 1,5 1,2
16-18 tahun 56 165 2675 1,6 1,3
19-29 tahun 60 168 2725 1,6 1,3
30-49 tahun 62 168 2625 1,6 1,3
50-64 tahun 62 168 2325 1,4 1,3
65-79 tahun 60 168 1900 1,1 1,3
80+ tahun 58 168 1525 0,9 1,3
Perempuan
10-12 tahun 36 145 2000 1,2 1,0
13-15 tahun 46 155 2125 1,3 1,0
16-18 tahun 50 158 2125 1,3 1,0
19-29 tahun 54 159 2250 1,4 1,1
30-49 tahun 55 159 2150 1,3 1,1
50-64 tahun 55 159 1900 1,1 1,1
65-79 tahun 54 159 1550 0,9 1,1
80+ tahun 53 159 1425 0,9 1,1
Hamil (+an)
Trimester 1 - - +180 +0,3 +0,3
Trimester 2 - - +300 +0,3 +0,3
Trimester 3 - - +300 +0,3 +0,3
Menyusui (+an)
6 bulan pertama - - +330 +0,4 +0,4
6 bulan kedua - - +400 +0,4 +0,4
*) kilogram, Jahari dkk (2012)
**) sentimeter, jahari dkk (2012)
***) kilokalori perhari, Hardinsyah dkk (2012)
****) miligram perhari

C. Niasin (vitamin B3)

1. Penilaian Status Niasin

Penilaian status niasin didasarkan kepada jenis niasin metabolit yang diekresikan melalui
urine, yakni N-methyl-nicotinamide, niasin metabolit lainnya adalah methyl-2-pyridone-5-

100
carboxamide, rasio methyl-2-pyridone-5-carboxamide terhadap N-methyl-nicotinamide dalam
urine, pengukuran rasio konsentrasi NAD & NADP dalam sel darah merah.

Tabel 17. Penilaian Status Niasin

Pengukuran Elevated Adequate Marginal Deficient


N- Methil nicotinamide
µmol/24 h › 48 17-47 5.8-17 ‹ 5.8
mg/g kreatinin › 4.4 1.6-4.3 0.5-1.6 ‹ 0.5
mmol/mol kreatin › 4.0 1.3-3.9 0.4-1.3 ‹ 0.4
Methyl pyridone carboxamide
µmol/24 h - › 18.9 6.4-18.9 ‹ 6.4
mg/g kreatinin - › 4.0 2.0-3.9 ‹ 2.0
mmol/mol kreatinin - › 4.4 0.44-4.3 ‹ 0.44
Ratio, methyl pyridone - 1.3-4.0 1.0-1.3 ‹ 1.0
carboxamide: N-methyl
nicotinamide
Ratio, erythrocyte - › 1.0 - ‹ 1.0
NAD:NADP

2. Status Niasin

Orang dewasa dengan status gizi baik, ekskresi metabolit niasin berupa N‘-
methylnicotinamide berkisar antara 4-6 mg. Ekskresi 5.8 ± 3.6 mg N-methyl-nicotinamide/24
jam dan 20.0 ± 12.9 mg N-methyl-2-pyridone-5-carboxamide/24 jam mengindikasikan status
niasin dalam kondisi normal. Rasio methyl-2-pyridone-5-carboxamide terhadap N-methyl-
nicotinamide antara 1,3-4,0 juga mengindikasikan status niasin normal. Namun, rasio
erythrocyte NAD to NADP < 1.0, mengindikasikan defisiensi niasin.

3. Kecukupan Niasin

Kebutuhan niasin sangat terkait dengan kebutuhan energi, terutama asupan karbohidrat.
Umur dan jenis kelamin juga berpengaruh pada jumlah kebutuhan niasin. Jumlah niasin
dalam diet relatif sangat kecil, sehingga kebutuhan niasin dapat dipenuhi dari konversi
triptofan menjadi niasin. Sehingga kebutuhan harian niasin tergantung pada jumlah triptofan
dalam diet dan efisiensi konversi triptofan menjadi niasin. Berdasarkan acuan pola komposisi
asam amino, 1 g protein mengandung 14 mg triptofan per g protein. Konversi 60 mg triptofan
menjadi 1 mg niasin dinyatakan sebagai 1 niacin equivalent (NE). Kandungan niasin dalam
ASI adalah sekitar 1,5 mg/L dan triptofan 210 mg/L, sehingga total kandungan niasin dalam
ASI menjadi 5 mg NE/L atau 4 mg per 0.75 liter ASI per hari. Lebih lanjut kebutuhan niasin
secara konvensional dihitung berdasarkan pengeluaran energi (energy expenditure).
Berdasarkan studi deplesi/replesi, ekskresi N1-methyl nicotinamide normal didapat dari
asupan niasin 5,5 mg per 1000 kkal.

101
Tabel 18. Angka Kecukupan Niasin

AK Energi AK Niasin
Berat Tinggi AK Niasin
2012 2012
Umur badan badan 2004
(kcal)*** (mg)
(kg)* (cm)** (mg)
Bayi/Anak
0-5 bulan 6 61 550 3 2
6-11 bulan 9 71 725 4 4
1-3 tahun 13 91 1125 6 6
4-6 tahun 19 112 1600 8 9
7-9 tahun 27 130 1850 10 10
Laki-laki
10-12 tahun 34 142 2100 12 12
13-15 tahun 46 158 2475 14 14
16-18 tahun 56 165 2675 16 15
19-29 tahun 60 168 2725 16 15
30-49 tahun 62 168 2625 16 14
50-64 tahun 62 168 2325 16 13
65-79 tahun 60 168 1900 16 10
80+ tahun 58 168 1525 16 8
Perempuan
10-12 tahun 36 145 2000 12 11
13-15 tahun 46 155 2125 13 12
16-18 tahun 50 158 2125 14 12
19-29 tahun 54 159 2250 14 12
30-49 tahun 55 159 2150 14 12
50-64 tahun 55 159 1900 14 10
65-79 tahun 54 159 1550 14 9
80+ tahun 53 159 1425 14 8
Hamil (+an)
Trimester 1 - - +180 +4 +4
Trimester 2 - - +300 +4 +4
Trimester 3 - - +300 +4 +4
Menyusui (+an)
6 bulan pertama - - +330 +3 +3
6 bulan kedua - - +400 +3 +3
*) kilogram
**) sentimeter
***) kilokalori perhari
****) miligram perhari

D. Piridoksin (Vitamin B6)

1. Penilaian Status Piridoksin


Status vitamin B6 dapat ditentukan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara
langsung dilakukan dengan pengukuran konsentrasi piridoksin dalam plasma, sel darah
merah, dan urine. Secara tidak langsung meliputi pengukuran pyridoxal-5‘-phosphate (PLP)
dalam plasma, sel darah merah, dan dalam darah. Selain itu dapat berupa pengukuran

102
erythrocyte amino transferase activity, ekskresi metabolit triptofan (tryptophan) dan juga
pengukuran konsentrasi 4-asam piridoxat dalam urine.

Tabel 19. Penilaian Status Kecukupan Gizi Piridoksin

Pengukuran Adequate Status


Plasma total vitamin B6 › 40 nmol* (10 µg)/L
Plasma pyridoxal phosphate › 30 nmol (7.5 µg)/L
Erythrocyte alanine aminotransferase activation coefficient ‹ 1.25
Erythrocyte aspartate aminotransferase activation coefficient ‹ 1.80
Erythrocyte aspartate aminotransferase › 0.13 units (8.4 µ)
Urine 4-pyridoxin acid › 3.0 µmol**/ hari
› 1.3 mmol ***creatinine
Urine total vitamin B6 › 0.5 µmol/hari
› 0.2 mmol/mol kreatinine
Urine xanthurenic acid after 2 g tryptophan load ‹ 65 µmol/hari meningkat
Urine cystathionine after 3 g methionine load < 350 µmol/ hari meningkat
Sumber: Bender (2003)
*) nanomol
**) micromol
***) milimol

2. Status Piridoksin

Konsentrasi PLP plasma merupakan salah satu indikator yang baik untuk penilaian status
vitamin B6. PLP plasma juga berkorelasi dengan asupan vitamin B6 dari makanan. Rentang
konsentrasi PLP plasma pria berkisar 27-75 nmol/L, sedangkan wanita sekitar 26-93 nmol/L.
Nilai koefisien aktivasi erythrocyte aspartate aminotransferase (EAST-AC)<1,8
mengindikasikan status vitamin B6 dalam kondisi normal. Erythrocyte transaminase activity
(alanine & aspartate) merupakan indikator status viamin B6 jangka panjang.

3. Kecukupan Piridoksin

Penilaian status viatmin B6 yang hanya didasarkan atas asupan vitamin B6 dari makanan
kurang memadai, terutama apabila hanya dilakukan pengukuran dalam beberapa hari saja.
Masalah lainnya adalah kurang lengkapnya data kandungan vitamin B6 dalam daftar
komposisi bahan makanan. Rataan mingguan asupan vitamin B6 antara 1,2-1,5 mg/hari, dan
rasio vitamin B6 terhadap protein >0,02, mengindikasikan status vitamin B6 pada kondisi
normal.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecukupan piridoksin:

- Kebutuhan piridoksin dipengaruhi oleh komposisi diet, umur, dan gender.


- Diet yang mengandung lebih banyak protein, memerlukan lebih banyak piridoksin.
- Perlu tambahan untuk ibu hamil & menyusui.
- Wanita dilaporkan butuh piridoksin lebih tinggi dari laki-laki.

103
Tabel 20. Angka Kecukupan Piridoksin

AK Protein AK Piridoksin
Berat Tinggi AK Piridoksin
2012 2012
Umur badan badan 2004
(g)*** (mg)****
(kg)* (cm)** (mg/hari)

Bayi/Anak
0-5 bulan 6 61 12 0,1 0,1
6-11 bulan 9 71 18 0,3 0,3
1-3 tahun 13 91 26 0,5 0,5
4-6 tahun 19 112 35 0,6 0,6
7-9 tahun 27 130 49 1,0 1,0
Laki-laki
10-12 th 34 142 56 1,3 1,3
13-15 th 46 158 72 1,3 1,3
16-18 th 56 165 66 1,3 1,3
19-29 th 60 168 62 1,3 1,3
30-49 th 62 168 65 1,3 1,3
50-64 th 62 168 65 1,7 1,7
65-79 th 60 168 62 1,7 1,7
80+ th 58 168 60 1,7 1,7
Perempuan
10-12 th 36 145 60 1,2 1,2
13-15 th 46 155 69 1,2 1,2
16-18 th 50 158 59 1,2 1,2
19-29 th 54 159 56 1,3 1,3
30-49 th 55 159 57 1,3 1,3
50-64 th 55 159 57 1,5 1,5
65-79 th 54 159 56 1,5 1,5
80+ th 53 159 56 1,5 1,5
Hamil (+an)
Trimester 1 - - +20 +0,4 +0,4
Trimester 2 - - +20 +0,4 +0,4
Trimester 3 - - +20 +0,4 +0,4
Menyusui (+an)
6 bl pertama - - +20 +0,5 +0,5
6 bl kedua - - +20 +0,5 +0,5
*) kilogram, Jahari dkk (2012)
**) sentimeter, Jahari dkk (2012)
***) gram perhari, Hardinsyah dkk (2012)
****) miligram perhari

E. Asam Folat

Asam folat ditemukan lebih dari 50 tahun yang lalu sebagai zat yang diperlukan oleh semua
sel hidup, baik hewan maupun tumbuhan. Asam folat mempunyai peran pada metabolisme

104
tingkat seluler. Asam folat merupakan nama generik untuk zat-zat yang mempunyai aktivitas,
seperti pteroyl monoglutamic acid.
1. Fungsi dan sumber
Folat berfungsi sebagai co-enzim pada transfer satu atom karbon. Sebelum berfungsi
folat akan diaktifkan kedalam bentuk tetrahydrofolat. Transfer satu atom karbon ini sangat
penting pada sintesis purin dan pyrimidin. Ketersediaan folat (bersama vitamin B12) sangat
penting bagi pembaharuan sel/ regenerasi sel.
Folat terdapat pada berbagai bahan makanan. Namun, karena sangat tidak stabil,
kandungan asam folat yang sebenarnya dari suatu bahan makanan sangat sulit diukur. Sumber
yang baik termasuk daging, buah, sayuran terutama asparagus, berbagai kacang yang
dikeringkan, dan whole grain sereal product.
Asam folat tidak tahan cahaya ultra violet, panas, oksigen, keadaan asam dan mineral
divalent (valensi 2) seperti besi dan copper. Transpor di dalam usus menggunakan carrier,
prosesnya tergantung pada keasaman (pH). Transpor maksimum terjadi setelah dekonyugasi
kedalam bentuk monoglutamat di jejunum. Absorpsi folat menggunakan binding protein yang
spesifik untuk asam folat. Secara umum pada brush border mukosa usus terdapat binding
protein yang bersifat low affinity. Binding protein dengan high affinity terdapat pada brush
border sel di daerah jejunum. Absorpsi dapat juga terjadi secara diffusi pasif, namun ini
merupakan pilihan ke dua. Hanya sangat sedikit folat terdapat di feses.
Asam folat terdapat di sirkulasi dalam bentuk plasma pteroyl mono-glutamat. Folat yang
tidak dipergunakan oleh sel akan di ekskresi oleh ginjal dan keluar bersama urin dalam bentuk
pteroyl glutamic acid, 5 methyl pteroyl glutamic acid, 10 formyl tetra hydrofolat atau
acetamidobenzoylglutamat. Uptake oleh sel menggunakan binding protein yang sangat
spesifik untuk folat.

2. Efek Kekurangan dan Kelebihan


Anemia, dermatitis, dan gangguan pertumbuhan merupakan tanda defisiensi folat. Pada
masa pertumbuhan embryonic, bila terjadi kekurangan folat (misal ibu hamil defisiensi folat)
akan terjadi efek teratogenik, yaitu kegagalan penutupan neural tube, dan bayi lahir dengan
kelainan seperti spina bifida atau gangguan neural tube defects yang lain. Pada tikus
defisiensi folat akan menimbulkan putusnya DNA strand. Gejala lain defisiensi folat adalah
lekopenia, lemah, depresi, dan polyneuropathy, yang mungkin berhubungan dengan interaksi
folat-vitamin B12.
Kelebihan folat belum pernah dilaporkan, namun dari percobaan pemberian folat
intravena dosis besar dilaporkan terjadi kejang. Walaupun belum pernah dilaporkan
terjadinya toxisitas folat, namun adanya effek dosis tinggi yang tidak diharapkan, suplemen
folat dosis tinggi tidak dianjurkan.

3. Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan


Defisiensi folat dapat memberi efek yang merugikan pada pertumbuhan janin,
karenanya kebutuhan folat pada masa hamil perlu diperhatikan. Namun, perlu diperhatikan
bahwa status vitamin B12 adalah normal, karena folat yang berlebih dapat manutupi effek
defisiensi vitamin B12, sampai gejala neurologik defisiensi vitamin B12 muncul. Perlu
pertimbangan suplementasi folat-vitamin B12. Kandungan zat zat yang menghambat absorpsi
folat dalam bahan makanan perlu diperhatikan dalam menentukan jumlah asupan.

105
4. Kebutuhan dan Kecukupan
Kecukupan folat didefinisikan sebagai jumlah intik yang dibutuhkan untuk mencegah
terjadinya defisiensi berat denag disertai gejala klinis (FNB, 1989). Selanjutnya angka
kecukupan folat diperkirakan didasarkan atas perkiraan rata-rata kecukupan (EAR, Estimated
Average Requirement) yaitu jumlah folat yang diperlukan untuk memenuhi kecukupan 50%
populasi. Selanjutnya dilakukan koreksi bagi ragam populasi. Rekomendasi untuk folat
dinyatakan dalam Dietary Folate Equivalents (DFE) karena asam folat sintetik memiliki
bioavailabilitas yang lebih tinggi dibanding folat yang diperoleh secara alami dari makanan
(IOM-FNB, 2000). Bioavailabilitas asam folat sintetik bila dikonsumsi dengan makanan
adalah 85%, sedangkan bioavailabilitas folat yang terdapat secara alami dalam pangan adalah
50%.
Rekomendasi angka kecukupan folat dari berbagai sumber dapat dilihat pada Tabel 21.
Dari tabel tersebut terlihat bahwa AKG 1998 kurang dari separuh nilai yang ada pada DRI
(FNB-IOM, 2000) maupun RNI (FAO/WHO, 2001). Mengingat penelitian lokal di Indonesia
tentang kebutuhan dan kecukupan folat belum dilakukan, maka penentuan AKG folat 2004
didasarkan kepada DRI (FNB-IOM, 2000) dan RNI (FAO/WHO, 2001) serta
mempertimbangkan bioavailabilitas folat yang terdapat secara alami dalam pangan sebesar
50%. AKG folat tahun 2012 untuk kelompok umur 1-3 tahun adalah 160 µg dan kelompok
umur 10-12 tahun laki-laki maupun perempuan adalah 400 µg. Sedangkan tambahan selama
hamil adalah 200 µg dan tambahan selama menyusui adalah 100 µg.

106
Tabel 21. Kecukupan folat 2012 dan dari sumber lain
AKG DRI RENI AK Folat AKG Folat
Kelompok 1998a 2000b RNI 2002d 2004 2012
Umur (mcg) (mcg) 2001c (mcg) (mcg) (mcg)
(mcg)
Bayi/Anak
0-6 bulan 22 65 80 65 65 65
7-11 bulan 32 80 80 80 80 80
1-3 tahun 40 150 160 160 150 160
4-6 tahun 60 200 200 200 200 200
7-9 tahun 80 200 330 300 200 300
Laki-laki
10-12 tahun 90 300 400 400 300 400
13-15 tahun 125 400 400 400 400 400
16-18 tahun 165 400 400 400 400 400
19-29 tahun 170 400 400 400 400 400
30-49 tahun 170 400 400 400 400 400
50-64 tahun 170 400 400 400 400 400
65-79 tahun 170 400 400 400 400 400
80+ 400
Perempuan
10-12 tahun 100 300 400 400 300 400
13-15 tahun 130 400 400 400 400 400
16-18 tahun 150 400 400 400 400 400
19-29 tahun 150 400 400 400 400 400
30-49 tahun 150 400 400 400 400 400
50-64 tahun 150 400 400 400 400 400
65-79 tahun 150 400 400 400 400 400
80+ 400
Hamil (+an) +50 +100 +200 +200 +100 +200
Menyusui
(+an)
6 bln pertama +50 +100 +200 +200 +100 +100
6 bln kedua +50 +100 +200 +200 +100 +100
a) AKG (Angka Kecukupan Gizi), Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI, 1998
b) DRI (Dietary Reference Intakes), Institute of Medicine, 2000
c) RNI (Recommended Nutrient Intakes), FAO/WHO, 2001
d) RENI (Recommended Energy and Nutrient Intakes), Food & Nutrition Research Institute,
Philippines, 2002.

F. Vitamin B12

Vitamin B12 adalah vitamin yang masih termasuk baru ditemukan, dan diisolasi pada
tahun 1948. Vitamin ini sangat potent dan sangat sedikit vitamin ini diperlukan tubuh, untuk
mencegah symptom defisiensi yakni anemia perniciousa dan gejala neurologis defisiensi
vitamin B12. Vitamin B12 adalah nama generik untuk komponen yang mempunyai struktur
cincin corrin.
Absorpsi vitamin B12 adalah kompleks. Proses absorpsi dimulai di lambung, di mana
preformed B12 terikat pada protein carrier yang disebut faktor intrinsik. B12 yang disintesis
flora usus juga terikat pada protein carrier. Tidak diketahui apakah carrier tersebut sama.
Absorpsi di daerah distal ileum melalui carrier, walaupun mekanismenya belum jelas.
Absorpsi B12 dapat juga terjadi di usus besar. Di dalam darah vitamin B12 terikat pada
transpor protein.

107
1. Fungsi dan sumber
Vitamin B12 berfungsi sebagai co-enzym pada reaksi yang memerlukan 5
deoxyadenosine atau berpartisipasi sebagai substrat pada reaksi metilasi untuk membentuk
metylcobalamin. Vitamin B12 diperlukan untuk sintesis purin dan pirimidin (asam nukleat).
B12 dapat disintesis oleh bakteri, fungi dan algae. Tumbuh-tumbuhan yang lebih tinggi
(species) dan hewan tidak dapat mensintesis B12. Untuk manusia, B12 diperoleh dari makanan
hewani.
Agar dapat berfungsi aktif, vitamin B12 harus mengandung kobalt pada pusat cincin
corrin. Vitamin B12 adalah kristal berwarna merah, tahan panas, rusak diatas temperatur 2100
C, tidak tahan sinar ultra violet, asam dan adanya metal seperti besi dan copper. Vitamin B12
sangat sulit diperiksa karena jumlahnya sangat sedikit dalam bahan makanan.
Sumber vitamin B12 adalah dari migoorganisme, algae, ragi dan semua pangan hewani
seperti daging, telur, susu dan ikan, terutama dalam organ hati. Vitamin B12 juga terdapat
dalam pangan nabati yang difermentasi seperti tempe. Vitamin B12 dapat disintesis oleh
bakteri usus.

2. Efek Kekurangan dan Kelebihan


Defisiensi B12 akan menimbulkan anemia megaloblastik. Keadaan defisiensi B12 jarang
terjadi karena hampir seluruh bahan makanan hewani mengandung vitamin B12, dan hanya
sedikit sekali yang diperlukan tubuh. Defisiensi B12 biasanya timbul karena gangguan genetik
pada sintesis faktor intrinsik. Gejala defisiensi B12 yang lain adalah hilangnya fungsi syaraf
perasa di perifer. Fungsi vitamin B12 berkaitan erat dengan fungsi asam folat sehingga
defisiensi salah satu diantaranya akan menimbulkan gejala serupa atau pada tahap awal saling
menutupi gejala yang timbul. Kelebihan vitamin B12 belum ditemukan dalam literatur.

3. Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan


Vitamin B12 bersama asam folat merupakan substansi yang sangat penting pada
regenerasi sel dan pertumbuhan jaringan. Karenanya kebutuhan pada masa pertumbuhan,
hamil, menyusui, dan masa penyembuhan dari sakit perlu diperhatikan.

4. Kebutuhan dan Kecukupan


Ada beberapa metode yang direkomendasikan dapat digunakan untuk memperkirakan
kecukupan vitamin B12. Pengukuran tersebut diantaranya pengukuran konsentrasi vitamin B12
dalam serum atau plasma, pengukuran hematologic, konsentrasi serum methyl malonic acid
(MMA) dan total konsentrasi homosistein, serta transcobalamin.
National Academy of Science (NAS) menetapkan angka kecukupan gizi (RNI,
Recommended Nutrient Intake) berdasarkan perkiraan rata-rata kecukupan (EAR, Estimated
Average Requirement) ditambah dua standar deviasi. Hal tersebut juga diadaptasi oleh
kelompok ahli dari FAO/WHO (FAO/WHO, 2001). Rekomendasi angka kecukupan tiamin
dari berbagai sumber dapat dilihat pada Tabel 22 berikut:

108
Tabel 22. Angka Kecukupan B12 Dibanding Sumber lain

DRI RNI
AKG RENI AK B12 AK B12
Kelompok 2000b 2001c
1998a 2002d 2004 2012
Umur (g) (g)
(g) (g) (g) (g)

Bayi/Anak
0-6 bulan 0,1 0,4 0,4 0,3 0,4 0.4*
7-11 bulan 0,1 0,5 0,5 0,5 0,5 0.5*
1-3 tahun 0,5 0,9 0,9 0,9 0,9 0.9
4-6 tahun 0,7 1,2 1,2 1,2 1,2 1.2
7-9 tahun 0,9 1,5 1,8 1,8 1,5 1.2
Laki-laki
10-12 tahun 1,0 1,8 2,4 2,4 1,8 1.8
13-15 tahun 1,0 2,4 2,4 2,4 2,4 2.4
16-18 tahun 1,0 2,4 2,4 2,4 2,4 2.4
19-29 tahun 1,0 2,4 2,4 2,4 2,4 2.4
30-49 tahun 1,0 2,4 2,4 2,4 2,4 2.4
50-64 tahun 1,0 2,4 2,4 2,4 2,4 2.4
65-79 tahun 1,0 2,4 2,4 2,4 2,4 2.4
80+ 2.4
Perempuan
10-12 tahun 1,0 1,8 2,4 2,4 1,8 1.8
13-15 tahun 1,0 2,4 2,4 2,4 2,4 2.4
16-18 tahun 1,0 2,4 2,4 2,4 2,4 2.4
19-29 tahun 1,0 2,4 2,4 2,4 2,4 2.4
30-49 tahun 1,0 2,4 2,4 2,4 2,4 2.4
50-64 tahun 1,0 2,4 2,4 2,4 2,4 2.4
65-79 tahun 1,0 2,4 2,4 2,4 2,4 2.4
+80 2.4
Hamil (+an) +0,3 +0,2 +0,2 +0,2 +0,3 +0.2
Menyusui (+an)
6 bln pertama +0,3 +0,4 +0,4 +0,4 +0,3 +0.4
6 bln kedua +0,3 +0,4 +0,4 +0,4 +0,3 +0.4
a) AKG (Angka Kecukupan Gizi), Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI, 1998
b) DRI (Dietary Reference Intakes), Institute of Medicine, 2000
c) RNI (Recommended Nutrient Intakes), FAO/WHO, 2001
d) RENI (Recommended Energy and Nutrient Intakes), Food & Nutrition Research Institute, Philippines,
2002.
*) microgram perhari

Dari tabel tersebut terlihat bahwa AKG 1998 kurang dari separuh dibanding DRI (FNB-
IOM, 2000) maupun RNI (FAO/WHO, 2001). Mengingat penelitian lokal di Indonesia
tentang kebutuhan dan kecukupan vitamin B12 masih sangat kurang, maka penentuan AKG
vitamin B12 tahun 2004 didasarkan kepada DRI (FNB-IOM, 2000) dan RNI (FAO/WHO,
2001). AKG vitamin B12 tahun 2012 untuk kelompok umur 7-9 tahun adalah 1,2 µg dan
tambahan selama hamil adalah 0.2 µg sedangkan tambahan selama menyusui adalah 0,4 µg.

109
G. Asam Pantotenat

1. Fungsi dan Sumber

Vitamin B5 atau sering disebut sebagai asam pantothenat adalah salah satu vitamin B
yang penting bagi tubuh. Vitamin ini berperan penting dalam pembentukan sel darah merah,
sistem saraf pusat, dan antibodi untuk mengatasi infeksi dan juga mengatur regulasi hormon
stress dan seks. Selain itu vitamin ini juga membantu memaksimalkan penggunaan vitamin
lain oleh tubuh, terutama vitamin B2 (riboflavin). Turunan dari asam pantothenat, yaitu
pantithene, dapat digunakan sebagai penurun kolesterol.

Adapun fungsi lain dari asam pantothenat yang tidak kalah pentingnya adalah
perannya dalam pembentukan energi melalui metabolisme karbohidrat, lemak dan protein.
Asam pantothenat merupakan komponen pembentuk koenzim A (CoA) dan
phosphopantetheine, yang terlibat dalam metabolisme asam lemak ,membantu dalam sintesis
steroid, porphyrin dan acetylcholine, dan juga terlibat dalam transfer asil termasuk asilasi
post-sintetik dari protein.

Asam pantothenat cukup tersedia melimpah di dalam makanan seperti pada telur, susu,
brokoli, ragi dan daging. Karena sangat mudahnya seseorang mendapat asupan makanan yang
mengandung asam pantothenat sehingga tidak terlalu diperlukan penambahan suplemen untuk
vitamin ini. Defisiensi terjadi karena mengonsumsi pangan semisintetis atau adanya
antagonis vitamin. Namun kejadian defisiensi asam pantothenat sangat jarang terjadi di
masyarakat walaupun defisiensinya dapat menyebabkan gejala rasa terbakar pada kaki,
gangguan pertumbuhan, masalah kulit, gangguan pencernaan,pusing, keram perut dan otot.
Kelebihan dosis dari vitamin ini juga dapat menimbulkan masalah pada kesehatan seperti
mudah lelah, insomnia, depresi, muntah, sakit perut dan infeksi saluran pernapasan atas.

2. Kebutuhan dan kecukupan

Asam pantothenat yang terkandung di dalam urine merupakan gambaran dari asupan
vitamin tersebut. Oleh karena itu, kriteria utama yang digunakan untuk mengestimasi AI
asam pantothenat adalah asupan yang cukup untuk menggantikan ekskresi dalam urine.
Menurut Sauberlich (1974), asupan Asam pantothenat dianggap rendah atau defisiensi jika
kadarnya kurang dari 1 mg (4,5 μmol)/ 24 jam di dalam urine.
Amerika serikat dan Kanada menetapkan bahwa 5 mg asam pantothenat per hari sudah
dapat memenuhi kecukupan vitamin tersebut di dalam tubuh (IOM, 1998). Namun sampai
saat ini penelitian mengenai penetapan status gizi vitamin B5 masih sangat terbatas dan masih
belum ada metode khusus dalam penilaian zat gizi ini yang akurat. Karena tidak ada data
Indonesia dan tidak ada alasan untuk penyesuaian kecukupan asam pantotenat yang
dirtekomendasikan IOM, maka rekomendasi IOM digunakan bagi angka kecukupan asam
pantotenat bagi orang Indonesia (Tabel 23)

I. Biotin

1. Fungsi dan Sumber


Biotin atau disebut juga sebagai vitamin B7 atau vitamin H, adalah salah satu vitamin B
yang mempunyai banyak peran penting di dalam tubuh. Peran biotin ini antara lain adalah
dalam membantu penggunaan asam folat, asam pantothenat dan vitamin B12 oleh tubuh

110
sehingga zat gizi tersebut dapat berfungsi dengan optimal. Biotin juga berfungsi untuk
menjaga kesehatan rambut dan kuku sehingga sering digunakan pada produk-produk
kosmetik. Secara metabolik, biotin berperan penting dalam lipogenesis, glukoneogenesis dan
katabolisme asam amino. Selain itu biotin juga menginduksi sejumlah enzim penting, seperti
glukokinase dan enzim-enzim glikolisis lainnya. Biotin juga mempunyai peran dalam regulasi
siklus sel.

Keberadaan biotin cukup tersedia melimpah di dalam makanan seperti pada telur, susu,
brokoli, ragi, dan daging. Royal jelly memiliki kandungan biotin yang paling tinggi, yakni
1680 pmol/100g. Pengolahan dan penyimpanan makanan dapat menyebabkan kandungan
biotinnya menurun. Selain itu biotin juga dapat disintesis oleh flora usus. Para vegetarian
mempunyai saluran pencernaan yang mampu mengabsorb lebih banyak biotin dibandingkan
usus pada manusia yang masih memakan daging.

Defisiensi biotin yang dapat menyebabkan gejala secara klinis sangat jarang terjadi.
Namun kurangnya asupan dapat menyebabkan beberapa gangguan kesehatan seperti depresi,
kehilangan nafsu makan, rambut rontok, lidah yang membengkak dan berwarna magenta,
mudah lelah, nyeri otot, kulit kering bersisik, luka pada ujung mulut (cheilitis). Kelebihan
konsumsi biotin dalam beberapa penelitian tidak menunjukkan adanya efek samping yang
berbahaya bagi kesehatan manusia maupun pada hewan percobaan. Tidak ada efek yang
buruk pada penelitian pemberian biotin 20,5 - 41 mmol setiap hari baik dengan cara oral
maupun intramuskular selama beberapa waktu yang panjang.

2. Kebutuhan dan Kecukupan Biotin

Evaluasi status gizi biotin dapat diukur dengan menentukan tingkat sirkulasi vitamin
dalam darah keseluruhan, plasma, atau serum, dan kandungan biotin dalam urine. Biasanya
dapat menggunakan metode mikrobiologi dalam penilaiannya.

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi status biotin di dalam tubuh antara
lain:1) Konsumsi telur mentah yang berlebih dapat menyebabkan defisiensi biotin, 2)
Kelainan metabolisme sejak lahir (biotin-dependent carboxylase), 3) Pemberian makanan
parenteral pada pasien dalam jangka waktu yang lama (tidak terdapat biotin di dalam larutan
infus), dan 4) Penyakit Seborrheic Dermatitis pada bayi atau pada masa pertumbuhan.

Indikator dari kecukupan asupan biotin pada manusia adalah jika: 1) Kadar biotin
dalam urine sekitar 160 nmol/24 jam atau 70 nmol/L, 2) Sirkulasi di dalam darah, plasma atau
serum sekitar 1500 pmol/L. Konsentrasi biotin di plasma tidak memberikan status indeks
yang sensitif. Namun biotin dalam ekskresi urine lebih menggambarkan status asupan biotin.
Penelitian mengenai kecukupan biotin masih sangat sedikit dan belum ada bukti yang kuat
yang dapat dijadikan landasan dalam menentukan rekomendasi asupan biotin yang dapat
merepresentasikan masing-masing negara. Namun secara umum AI biotin berkisar antara 15 –
70 μg/hari. Asupan tersebut diperkirakan dapat mencegah defisiensi. Sedangkan jumlah
asupan yang masih aman untuk dikonsumsi berkisar 10-200 μg/hari (Department of Health,
1991; Scientific Committee for Food, 1993). Untuk U.S dan Canada menetapkan angka
kecukupan biotin untuk orang dewasa sebesar 30 μg per day (Institute of Medicine, 1998).
Kecukupan Biotin disajikan pada tabel 23.

111
J. Kolin

1. Fungsi dan Sumber


Kolin mempunyai beberapa fungsi penting bagi tubuh antara lain sebagai prekursor
asetilcholine, fosfolipid, dan betaine donor metil. Kolin juga merupakan komponen dari
fosfolipid pada membran (phosphatidylcholine dan sphingomyelin). Turunan dari kolin, yaitu
phosphatidylcholine, merupakan komponen VLDL sehingga kolin diperlukan untuk sekresi
VLDL dan mengeluarkan lemak dari hati. Betaine yang dibentuk dari kolin berperan penting
di ginjal untuk membantu reabsorpsi air dari tubulus ginjal. Selain itu di dalam tubuh kolin
dapat diubah menjadi molekul sel signaling dan neurotransmitter.

Kolin merupakan zat gizi yang esensial karena tubuh hanya dapat memproduksi kolin
dalam jumlah kecil sehingga diperlukan tambahan asupan kolin dari makanan. Defisiensi
kolin sangat jarang terjadi karena kebutuhan kolin dapat mudah diperoleh dari berbagai
makanan sehari-hari. Pangan hewani mengandung lebih banyak kolin dibandingkan pangan
nabati. Sumber pangan lain yang kaya akan kolin antara lain telur, daging, ayam, ikan dan
susu. Sedangankan sumber yang baik dari pangan nabati terdapat pada sayuran jenis
cruciferous dan kacang-kacangan yang menyediakan 10% dari AKG harian setiap porsinya
(Zeisel & Caudill, 2010).

2. Dampak Defisiensi dan Kelebihan

Defisiensi kolin dapat menyebabkan kerusakan pada organ-organ tubuh di antaranya


kerusakan pada hati, kerusakan otot (karena peningkatan kreatin fosfokinase), kerusakan
DNA dan perubahan ekspresi gen limfosit. Defisiensi kolin pada ibu hamil dapat
menyebabkan risiko terjadinya cacat ketika lahir pada bayi akibat tidak sempurnanya
pertumbuhan dan perkembangan sistem tabung saraf (neural tube defect/NTD).

Banyaknya kolin di dalam bahan pangan tidak akan memberikan efek samping bagi
tubuh. Keracunan akibat kolin dapat terjadi jika mengonsumsi kolin 10-16 g per hari. Ketika
konsentrasi kolin jenuh di dalam tubuh, maka akan memicu produksi trimetilamin dan
menyebabkan aroma amis pada tubuh. Selain itu gejala lainnya adalah muntah, selalu
berkeringat dan pengeluaran cairan saliva yang tinggi di dalam mulut. Konsumsi kolin
sebanyak 7,5 g atau lebih pada beberapa orang dapat menyebabkan penurunan tekanan darah.
Oleh karena adanya efek samping dari konsumsi kolin yang berlebih, maka IOM menetapkan
batas atas yang masih aman (UL) dari kolin sebanyak 3,5 g perhari untuk dewasa umur 19
tahun atau lebih.

3. Kebutuhan dan kecukupan


Kriteria utama yang digunakan untuk mengestimasi AI untuk kolin adalah pencegahan
kerusakan hati, seperti yang dinilai dengan mengukur kadar alanine aminotransferase pada
serum. AI pada wanita dan pria dewasa sebesar 425 dan 550 mg/hari, dan sangat dianjurkan
pemenuhannya selama masa hamil dan menyusui. AI untuk bayi dihitung berdasarkan asupan
dari ASI. Belum ada perkiraan asupan kolin yang merepresentasikan masing-masing negara
sehingga belum dapat dihitung EAR-nya. Kecukupan Kolin disajikan pada tabel 23

112
Tabel 23. Angka Kecukupan Asam Pantotenat, Biotin dan Kolin

Umur EAR AKG AK Asam AK Biotin AK


2004 Pantothenat 2012 Kolin
2012 (µg/hari) 2012
(mg/hari) mg/hari
Anak
0-5 bl ND ND 1.7* 5 125
6-11 bl ND ND 1.8* 6 150
1-3 th ND ND 2 8 200
4-6 th ND ND 2 12 250
7-9 th ND ND 3 12 375
Laki-laki
10-12 th ND ND 4 20 375
13-15 th ND ND 5 25 550
16-18 th ND ND 5 30 550
19-29 th ND ND 5 30 550
30-49 th ND ND 5 30 550
50-64 th ND ND 5 30 550
65-79 th ND ND 5 30 550
80+ th ND ND 5 30 550
Perempuan
10-12 th ND ND 4 20 375
13-15 th ND ND 5 25 400
16-18 th ND ND 5 30 425
19-29 th ND ND 5 30 425
30-49 th ND ND 5 30 425
50-64 th ND ND 5 30 425
65-79 th ND ND 5 30 425
80+ th ND ND 5 30 425
Hamil (+an)
Trimester 1 ND ND +1 +0 +25
Trimester 2 ND ND +1 +0 +25
Trimester 3 ND ND +1 +0 +25
Menyusui (+an)
6 bln pertama ND ND +2 +5 +50
6 bln kedua ND ND +2 +5 +50

113
K. Vitamin C

1. Fungsi dan Sumber

Vitamin C berfungsi sebagai donor atau penyumbang electron (peran antioksidan).


Vitamin c terlibat dalam sintesis dan modulasi beberapa komponen hormon sistem syaraf.
Sebagai ko-fafaktor dalam pembentukan enzim tertentu. Vitamin c juga berfungsi dalam
expresi gen kolage sekresi pro-kolagen selular dan biosintesis jaringan penghubung lain
(elastin, vibronektin, proteoglikan, maktik tulang dfan vibrilin). Konsentrasi plasma vitamin c
yang rendah sering ditemukan pada perokok, penderita infeksi dan diabetes. Sumber vitamin
C adalah dari buah. Sayur juga sebagai sumber vitamin C tetapi karena seringkali diolah
dengan panas sebelum dikonsumsi sehingga kandungannya dalam sayuran lebih rendah
dibanding dalam sayuran segar atau salad/lalapan.

2. Kebutuhan dan Kecukupan

Konsentrasi vitamin C dalam darah, serum, dan plasma umumnya digunakan sebagai
indikator biokimia untuk penilaian status vitamin C. Konsentrasi vitamin C dalam darah
menggambarkan asupan vitamin C saat ini. Konsentrasi vitamin C dalam plasma antara 0,8-
1,4 mg/dl, mengindikasikan status vitamin C dalam kondisi normal. Namun, kandungan
vitamin C dalam urine merupakan indikator yang tidak baik untuk penilaian status vitamin C.

Penentuan kebutuhan vitamin C pada awalnya didasarkan atas jumlah yang dapat
mencegah terjadinya scurvy. Indikator kecukupan vitamin C yang terbaik adalah near
maximal neutrophil ascorbate concentration. Indikator lain yang dapat digunakan adalah
biomarker oksidasi lemak, fungsi vascular, fungsi anti oksidan dalam leukosit, proteksi
terhadap oxidative stress, markers kerusakan DNA, parameter yang berkaitan dengan respon
imun, fungsi kognitif dan daya ingat, serta kaitannya dengan penyakit degeneratif kronis
seperti kanker dan penyakit jantung.

Penentuan rata-rata asupan vitamin C didasarkan kandungan vitamin C dalam tubuh


sebesar 900 mg, efisiensi absorpsi 85%, dan catabolic rate 2,9; sehingga dibulatkan menjadi
30 mg per hari. Mengingat pentingnya vitamin C untuk menjaga kesehatan yang optimum
(optimum health), di samping untuk meningkatkan penyerapan besi kaitannya dengan enemia.

114
Tabel 24. Angka Kecukupan Vitamin C
AK AK
Berat Tinggi
Vitamin C Vitamin C
Umur badan badan
2012 2004
(kg) (cm)
(mg) (mg)
Bayi/Anak
0-5 bulan 6 61 40 40
6-11 bulan 9 71 50 50
1-3 tahun 13 91 40 40
4-6 tahun 19 112 45 45
7-9 tahun 27 130 45 45
Laki-laki
10-12 tahun 34 142 50 50
13-15 tahun 46 158 75 75
16-18 tahun 56 165 90 90
19-29 tahun 60 168 90 90
30-49 tahun 62 168 90 90
50-64 tahun 62 168 90 90
65-79 tahun 60 168 90 90
80+ tahun 58 168 90 90
Perempuan
10-12 tahun 36 145 50 50
13-15 tahun 46 155 65 65
16-18 tahun 50 158 75 75
19-29 tahun 54 159 75 75
30-49 tahun 55 159 75 75
50-64 tahun 55 159 75 75
65-79 tahun 54 159 75 75
80+ tahun 53 159 75 75
Hamil (+an)
Trimester 1 - - +10 +10
Trimester 2 - - +10 +10
Trimester 3 - - +10 +10
Menyusui (+an) - -
6 bulan pertama - - +25 +25
6 bulan kedua - - +25 +25

115
IV. RISET MASA DEPAN

Sampai saat ini penelitian tentang asupan dan status vitamin, baik yang larut dalam lemak
maupun larut air masih amat terbatas. Di masa datang diharapkan penelitian tentang hal ini
semakin meningkat. Demikian pula kajian tentang tolerable upper limitnya perlu dilakukan.
Studi epidemiologis untuk melihat tingkat konsumsi vitamin dikaitkan dengan prevalensi
penyakit kronis di Indonesia perlu dilakukan. Lebih lanjut diperlukan percobaan acak yang
terkontrol untuk menetapkan relevansi status berbagai vitamin dengan berbagai penyakit
kronis atau penyakit yang tidak menular yang sesungguhnya bisa dicegah dengan gizi yang
baik.
Interaksi asupan vitamin dengan komponen gizi mikro lainnya merupakan hal yang juga perlu
dikaji. Selanjutnya sejalan dengan ditemukannya peran lain dari berbagai vitamin dalam
menunjang kesehatan dan mencegah berbagai penyakit kronis, perlu adanya penelitian lebih
lanjut terkait dengan indikator defisiensi vitamin yang lebih terpercaya dan mudah diukur.
Untuk dapat menghitung asupan vitamin dari masyarakat berdasarkan metode recall,
diperlukan ―updating‖ daftar komposisi bahan makanan Indonesia dengan jenis dan jumlah
makanan yang lebih merepresentasikan yang sering dikonsumsi serta kandungan vitamin yang
lebih lengkap dan akurat.

116
Daftar Pustaka
1. Barba CVC & Cabrera MIZ. (2008). ―Recommended Energy and Nutrient Intakes for
Filipinos 2002‖. Asia Pac J Clin Nutr. 17(S2): 399-404.
2. Bender DA. (2003). ―Nutritional Biochemistry of the Vitamins‖. New York:
Cambridge University Press.
3. Berg VD. Vitamin A intake and status.1996. Eur J Clin Nutr. 50(3): S7-12.
4. Booher L, Callison E and Hewston E. (1939). ―An Experimental Determination Of
The Minimum Vitamin A Requirements Of Normal Adults‖. J Nutr. (17): 317-31.
5. Borel P, Tyssandier V, Mekki N, Grolier P, Rochette Y, Alexandre-Gouabau MC, et
al. (1998). ―Chylomicron -Carotene And Retinyl Palmitate Responses Are
Dramatically Diminished When Men Ingest -Carotene With Medium-Chain Rather
Than Long-Chain Tryglycerides‖. J Nutr. 128: 1361-7.
6. Bowen PE, Garg V, Stacewicz SM, Yelton L and Schreiner RS. (1993). ―Variability
Of Serum Carotenoids In Response To Controlled Diets Containing Six Servings Of
Fruits And Vegetables Per Day‖. Ann N Y Acad Sci. 691: 241-3.
7. Castenmiller JJM, West CE, Linssen JPH, van het Hof KH, Voragen AGJ. (1999).
―The food matrix of spinach is a limiting factor in determining the bioavailability of -
carotene and to a lesser extent of lutein in humans‖. J Nutr. 129: 349-55.
8. Chakravarty I. (2000). ―Food-based strategies to control vitamin A deficiency‖. Food
Nutr Bull. 21(2): 135-43.
9. Charlotte Sy, Gleize B, Dangles O, Landrier J-F, Veyrat CC and Borel P. (2012).
―Effects of physicochemical properties of carotenoids on their bioaccessibility,
intestinal cell uptake, and blood and tissue concentrations‖. Mol Nutr Food Res. 56(9):
1385-97.
10. Combs GF. The Vitamins: Fundamental Aspects in Nutrition and Health.(1998). New
York: Academic Press. 108-109, 138.
11. de Pee S, West CE, Muhilal, Karyadi D and Hautvast JGAJ. (1995). Lack of
improvement in vitamin A status with increased consumption of dark-green leafy
vegetables. Lancet. 346 : 75-81.
12. de Pee S & West CE. (1996). ― Dietary Carotenoids And Their Role In Combating
Vitamin A Deficiency A Review Of The Literature‖ Eur J Clin Nutr. 50(Suppl 3):
S38-S53.
13. de Pee S, West CE, Permaesih D, Martuti S, Muhilal and Hautvast JGAJ. (1998).
―Orange fruit is more effective than are dark-green leafy vegetables in increasing
serum concentrations of retinol and -carotene in schoolchildren in Indonesia‖. Am J
Clin Nutr. 68: 1058-67.
14. Dibley MJ and Jeacocke DA. (2001). ―Safety and toxicity of vitamin A supplements
in pregnancy‖. Food Nutr Bull. 22(3): 248-66.
15. Erdman Jr JW, Poor JL and Dietz JM. (1998).‖Factors affecting the bioavailability of
vitamin A, carotenoids, and vitamin E‖. Food Technol. 42(10): 214-219.
16. FAO/WHO. (1967).‖Requirement of Vitamin A, Thiamine, Riboflavin and Niacin”.
Report of a Joint FAO/WHO expert group. Geneva: WHO.
17. FAO/WHO. (2001).‖Human Vitamin and Mineral Requirements”. Report of a joint
FAO/WHO expert consultation. Bangkok, Thailand: Food and Nutrition Division -
FAO.
18. FAO/WHO. (2004). ―Vitamin and Mineral Requirements in Human Nutrition”.
Report of a joint FAO/WHO expert consultation, Bangkok, Thailand, 21-30
September 1998. Geneva: WHO & FAO.

117
19. The Heart Outcomes Prevention Evaluation Study Investigators. Vitamin E
supplementation and cardiovascular events in high-risk patients. (2000).‖ N Engl J
Med.‖ 342: 154-60.
20. Howson CP, Kennedy ET and Horwitz A. (1998).‖Prevention of Micronutrient
Deficiencies”: Tools for Policy Makers and Public Health Workers. Washington, DC:
National Academy Press.
21. Hume EM & Krebs HA. (1949).‖Vitamin A requirement of human adult: An
experimental study of vitamin A deprivation in man‖. A Report of the Vitamin A Sub-
Committee of the Accessory Food Factors Committee. Medical Research Council
Special Report Series No 264. JAMA. 140(16): 1310.
22. Institute of Medicine (IOM) of the National Academies. (1997). ―Dietary References
Intakes for Calcium, Phosphorus, Magnesium, Vitamin D, and Fluoride”.
Washington, DC: National Academy Press. 432 p.
23. Institute of Medicine (IOM) of the National Academies. (1998).‖Dietary Reference
Intakes for Thiamin, Riboflavin, Niacin, Vitamin B6, Folate, Vitamin B12, Pantothenic
Acid, Biotin, and Choline”. Washington DC: National Academy Press.
24. Institute of Medicine (IOM) of the National Academies. (2000).‖Dietary References
Intakes for Vitamin C, Vitamin E, Selenium, and Carotenoids”. Washington, DC:
National Academy Press. 506 p.
25. Institute of Medicine (IOM) of the National Academies. (2001). ―Dietary References
Intakes for Thiamin, Riboflavin, Niacin, Vitamin B6, Folate, Vitamin B12, Pantothenic
Acid, Biotin and Choline”. Washington, DC: National Academy Press. 564 p.
26. Institute of Medicine (IOM) of the National Academies. (2002). ‖Dietary References
Intakes for Vitamin A, Vitamin K, Arsenic, Boron, Chromium, Copper, Iodine, Iron,
Manganese, Molybdenum, Nickel, Silicon, Vanadium, and Zinc”. Washington, DC:
National Academy Press. 773 p.
27. Institute of Medicine (IOM) of the National Academies. (2006).‖Dietary References
Intakes: The Essential Guide to Nutrient Requirements””. Washington, DC: National
Academy Press. 1329 p.
28. Institut of Medicine (IOM) of the National Academies. (2011). ―Dietary Reference
Intakes for Calcium and Vitamin D”. Washington, DC: National Academy Press.
1115 p.
29. Jalal F, Nesheim MC, Agus Z, Sanjur D and Habicht JP. (1998). ―Serum retinol
concentrations in children are affected by food sources of -carotene, fat intake, and
anthelmintic drug treatment‖. Am J Clin Nutr. 68: 623-9.
30. Lachance PA. (1998). Overview of key nutrition: Micronutrient aspects. Nutr Review.
56(4): S34-S39.
31. Lee JH, O‘Keefe JH, Bell D, Hensrud DD, and Holick MF. (2008).‖Vitamin D
deficiency: An important, common, and easily treatable cardiovascular risk factor‖. J
Am Coll Cardiol. 52(24): 1949-56.
32. McGuire L. (2012). ―WHO Guideline: Vitamin A Supplementation in Pregnant
Women‖. Geneva: WHO, 2011
33. Micozzi MS, et al. (1992). ―Plasma Carotenoid Levels In Human Subjects Fed A Low
Carotenoid Diet‖. J Nutr. 122: 96-100.
34. Miller III ER, Pastor-Barriuso R, Dalal D, Remersma RA, Appel LJ, Guallar E‖.
(2005). Meta-analysis: high-dosage vitamin E supplementation may increase all-cause
mortality‖. Ann Intern Med. 142: 37-46.
35. Muhilal. (1974). ― Biochemistry of Retinol Binding Protein‖. PhD Thesis. The
University of Liverpool.

118
36. Muhilal and Karyadi D. (1977). ―A study on the bioavailability of vegetables
carotenes and preformed vitamin A added to salt in preschool children‖. Paper
presented at IVACG meeting, Geneva.
37. Muhilal, Permaesih D, Saidin M, et al. (1985). ―Impact of vitamin A supplementation
to lactating women on vitamin A status of the infants‖. Penel Gizi Makan. 8: 5-19.
38. Muhilal. (2001).‖The consequences of vitamin A deficiency in children‖.Gizi Indon.
25:30-6.
39. Muhilal & Sulaeman A. (2004). ―Angka kecukupan vitamin larut lemak.‖ Dalam:
Soekirman, Seta AK, Pribadi N, Martianto D, Ariani M, Jus‘at I, et al, editor.
Prosiding Angka Kecukupan Gizi dan Acuan Label Gizi, Widyakarya Nasional
Pangan dan Gizi VIII; 17-19 Mei 2004; Jakarta. p 41-74.
40. NRC. (1989). ‖Recommended Dietary Allowances”. 10th Edition. Washington, DC:
National Academy Press.
41. Olson JA. (2001). ―Vitamin A‖. In: RB Rucker, JW Suttie, DB McCormic & LJ
Machlin, eds. Handbook of Vitamins. New York: Marcel Dekker.
42. Ozkan B, Hatun S and Bereket A. (2012).‖ Vitamin D intoxication. The Turkish
Journal of Pediatrics. 54(2): 93-8.
43. Rivlin RS and Pinto JT. (2001). ―Riboflavin‖. In: RB Rucker, JW Suttie, DB
McCormic & LJ Machlin, eds. Handbook of Vitamins. New York: Marcel Dekker.
44. Rolfes SR, Pinna K, and Whitney E. (2009). ―Understanding Normal and Clinical
Nutrition”. USA: Wadsworth.
45. Sauberlich HE, Hodges RE, Wallace DL, et al. (1974).‖Vitamin A metabolism and
requirements in the human studied with the use of labeled retinol‖. Vitam Horm. 32:
252-75.
46. Sauberlich HE, Skala JH, Dowdy RP. (1974). ―Laboratory tests for the assessment of
nutritional status”. Cleveland: CRC Press, 1974.
47. Saidin S, Saidin M and Murdiana A. (1987). ―Impact High Dose Of Vitamin A
Supplementation To Lactating Mothers On Vitamin A Status Of The Infants‖. Penel
Gizi Makan. 10: 55-60.
48. Shearer MJ, Fu X and Booth SL. (2012). ―Vitamin K Nutrition, Metabolism, and
Requirements‖: Current Concepts and Future Research. Adv Nutr. 3:182-95.
49. Spalholz JE, Boylan LM and Driskell JA. (1998) ―Nutrition: Chemistry and Biology,
Second Edition”. Boca Raton: CRC Press. 349 p.
50. Sulaeman A, Giraud DW, Naslund MM and Driskell JA. (2012). ― Mongolian Gerbils
Can Utilize Provitamin-A Carotenoids In Deep-Fried Carrot Chips‖. J Nutr. 132: 211-
7.
51. SCF (Scientific Committee for Food). (1993). ―Nutrient and energy intakes for the
European Community‖. Reports of the Scientific Committee for Food, Thirty First
Series. European Commission, Luxembourg.
52. Takyi EEK. (1999). ― Children‘s Consumption Of Dark Green Leafy Vegetables With
Added Fat Enhances Serum Retinol‖. J Nutr. 129: 1549-54.
53. Tanphaichitr V. (2001). ―Thiamine‖. In: RB Rucker, JW Suttie, DB McCormic and LJ
Machlin, eds. Handbook of Vitamins. New York: Marcel Dekker.
54. Tee E-S, Lim C-L, Chong Y-H and Khor S-C. (1996). ― A study of the biological
utilization of carotenoids of carrot and swamp cabbage in rats‖. Food Chem. 56: 21-
32.
55. Törrönen R, Lehmusaho M, Häkkinen S, Hänninen O, and Mykkänen H. (1996).
―Serum -carotene response to supplementation with raw carrots, carrots juice or
purified -carotene in healthy non-smoking women‖. Nutr Res.16: 565-75.

119
56. Underwood BA. (1998). ―Prevention of vitamin A deficiency.‖ In: Howson CP,
Kennedy ET & Horwitz A, eds. Prevention of Micronutrient Deficiencies: Tools for
Policy makers and Public Health Workers. Washington, DC: National Academy
Press. 103-65.
57. van Lieshout M, West CE, Muhilal et al. (2001).‖ Bioefficacy of -carotene dissolved
in oil studied in children in Indonesia‖. Am J Clin Nutr. 73: 849-50.
58. Wagner KH. (1940). Experimentally low vitamin A status in human. Z Physical
Chem. 264: 153-88.
59. Whitney EN and Rolfes SR. (2008). Understanding Nutrition, 11th Edition. Belmont:
Thomson Wadsworth.
60. WHO. (2009). ―Global Prevalence of Vitamin A Deficiency in Population at Risk
1995-2005: WHO Global Database on Vitamin A Deficiency”. Geneva: WHO.
61. Zeisel SH and Caudill. (2010). Choline. Adv Nutr. 1: 46–48.

120
KECUKUPAN MINERAL:
KALSIUM, FOSFOR, MAGNESIUM, TEMBAGA, KROMIUM, BESI,
IODIUM, SENG, SELENIUM, MANGAN, FLUOR,
NATRIUM DAN KALIUM
Moesijanti Soekatri1) dan Djoko Kartono2)
1)
Jurusan Gizi, Poltekkes Kemenkes Jakarta II
2)
Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, Balitbangkes, Kemenkes

Jalan: Hang Jebat III/F3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan


E-mail : moesijanti@yahoo.com

Abstrak

Makalah ini menyajikan rekomendasi untuk angka kecukupan zat minera: kalsium, fosfor,
magnesium, besi, iodium, seng, selenium, mangan, fluor, tembaga, kromium serta natrium
dan kalium. Angka kecukupan gizi berubah dari waktu ke waktu mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan dan temuan hasil penelitian yang terkait dengan kecukupan gizi,
peningkatan kualitas sumber daya manusia serta kecenderungan di bidang kesehatan.
Perkembangan di bidang zat gizi mikro menyebabkan perkiraan dan perhitungan kecukupan
beberapa zat gizi mikro mengalami perubahan. Rekomendasi angka kecukupan juga
memperhatikan angka batas atas yang masih dianggap aman. Terminologi yang digunakan
yaitu angka kecukupan gizi yang merupakan terjemahan dari Recommended Dietary
Allowance (RDA). Institute of Medicine dari Amerika Sertikat menggunakan terminologi
Dietary Reference Intake (DRI). Di dalam DRI tercakup RDA, Adequate Intake (AI) dan
Tolerable Upper Intakes Level (UL). Recommended Nutrients Intake (RNI) yang digunakan
oleh FAO/WHO pada dasarnya sama dengan DRI yaitu kecukupan untuk hampir semua
penduduk (97.5%). Konsumsi rata-rata (AI) dan bukan RDA yang digunakan dalam
menetapkan angka kecukupan bayi 0 – 6 bulan. Rekomendasi angka kecukupan yang
diusulkan untuk Indonesia dalam makalah ini selalu merujuk pada DRI dan RNI karena masih
sangat terbatasnya data dari dalam negeri. Perbedaan pola makanan dan ukuran fisik menjadi
aspek utama dalam mempertimbangkan rekomendasi angka kecukupan gizi. Kesepakatan
negara-negara Asia Tenggara dengan menggunakan istilah harmonisasi yang mengharapkan
kesamaan dalam penyajian kelompok umur dan satuan (unit) zat gizi juga menjadi aspek
pertimbangan dalam rekomendasi kecukupan zat gizi mikro ini. Dalam tabel angka
kecukupan gizi yang dianjurkan tahun 2004 ada 9 mineral, dan tahun 2012 ditambahkan
angka kecukupan yang dianjurkan untuk 2 mineral yaitu tembaga dan kromium serta 2
elektrolit yaitu natrium dan kalium. Angka kecukupan tembaga dan kromium ditambahkan
karena beberapa produk makanan mencantumkannya dalam acuan label gizi (ALG).
Demikian juga angka kecukupan natrium dan kalium ditambahkan karena sudah ada ALGnya
namun belum ada AKGnya.
Kata kunci
angka kecukupan gizi, gizi mikro, mineral, elektrolit

121
I. PENDAHULUAN

Mineral adalah zat inorganik, yang berarti zat itu tidak dibentuk oleh tubuh mahluk
hidup dan tidak mengandung karbon. Sementara itu, zat organik adalah zat yang
mengandung karbon dan dapat diproduksi oleh tumbuhan atau hewan. Tubuh manusia
memerlukan mineral secara terus menerus walaupun hanya dalam jumlah yang sangat sedikit.
Secara umum ada 4 fungsi mineral dalam tubuh yaitu i) sebagai ko-faktor dalam berbagai
reaksi metabolik, ii) sebagai bagian dari senyawa yang mengandung zat organik seperti
enzim, hormon dan unsur tertentu dalam darah, iii) sebagai ion yang memungkinkan
pergerakan zat melintasi membran sel dan pergerakan otot, dan iv) sebagai unsur dalam
pembentukan tulang. Walaupun mineral mempunyai fungsi sangat penting tetapi secara
keseluruhan beratnya hanya sekitar 4% berat badan.

Amerika Serikat dan Kanada telah membentuk Panitai Kerjasama sejak tahun 1997
dengan tugas melakukan revisi terhadap standar kecukupan gizi di kedua negara tersebut.
Panitia telah menetapkan beberapa jenis standar kecukupan gizi. Standar tersebut adalah
„Dietary Reference Intakes‟ (DRIs) yang dimaksudkan sebagai rujukan dalam perencanaan
dan penilaian gizi pada masyarakat yang sehat. DRI terdiri dari „Estimated Average
Requirement „ (EAR) yaitu nilai asupan gizi yang mencakup kebutuhan 50% masyarakat,
„Recommended Diatery Allowance ‟ (RDA) yaitu tingkat asupan gizi sehari-hari dari hampir
seluruh masyarakat (97%) atau 2 simpang baku diatas EAR, „Adequate Intake‟ (AI) adalah
nilai yang didasarkan dari hasil pengamatan terhadap nilai normal ataupun pertumbuhan yang
nilainya berada diatas EAR dan RDA, dan „Tolerable Upper Intake Level ‟ (UL) yaitu tingkat
asupan maksimal yang masih dapat ditolerir untuk menghindari risiko kelebihan yang dapat
menyebabkan gangguan kesehatan.

Kerjasama FAO/WHO tahun 1998 di Bangkok menghasilkan „Human Nutrition and


Mineral Requirements‟ yang kemudian disebut sebagai „Recommended Nutrient Intakes „
(RNI). Angka RNI untuk zat gizi mikro adalah lebih rendah dari DRI. Ini disebabkan DRI
didasarkan pada perhitungan seluler sedangkan RNI lebih didasarkan pada tradisi perkiraan
tubuh keseluruhan. Ada harapan yang mendesak terhadap data penelitian dari negara
berkembang tentang kebutuhan zat gizi.

Seperti di masa lalu, karena terbatasnya data yang tersedia, data dari luar negeri
digunakan untuk menetapkan kecukupan gizi, khususnya mineral, di Indonesia. Harapan
untuk masa depan adalah tersedia data dari Indonesia untuk memvalidasi kelayakan data luar
negeri karena adanya pengaruh genetik, gaya hidup dan pola makan (budaya).

Mineral makro yaitu kalsium, fosfor dan magnesium maupun mineral mikro yaitu
tembaga dan kromium dibahas disini. Pembahasan meliputi fungsi dan sumber pangan, efek
kekurangan dan kelebihan, faktor yang mempengaruhi kebutuhan serta rekomendasi
kecukupan dan penerapannya.

122
A. KALSIUM (Ca)

1. Pendahuluan

Kalsium (Ca) adalah mineral yang paling banyak terdapat di tubuh manusia. Hampir
seluruh kalsium di dalam tubuh ada dalam tulang dan gigi. Pada tulang, kalsium berperan
sentral dalam struktur dan kekuatan tulang, bergerak sesuai kebutuhan dan berfungsi
menggantikan sampai kira kira 0,5 gram dalam sehari. Pada gigi, kalsium membuat gigi
menjadi kokoh dan bersifat menetap. Hanya sedikit sekali (1%) kalsium berada dalam
jaringan lunak, cairan ekstra sel dan plasma yang diperlukan dalam banyak peran
metabolisme dan pengaturan. Tubuh orang dewasa mengandung sekitar 1000 – 1300 g
kalsium yang kurang dari 2% berat tubuh. Kandungan normal kalsium darah adalah 9 – 11
mg per 100 ml. Sekitar 48% serum kalsium adalah ionik dan 46% dalam senyawa protein
darah. Sisanya dalam bentuk senyawa komplek yang mudahlarut, seperti dalam bentuk sitrat.
Mobilisasi kalsium serta penyimpanannya dipengaruhi oleh umur, diet, status hormon, dan
keadaan psikologis seseorang.

2. Fungsi

Kalsium mempunyai 2 fungsi: penyusunan dan pengaturan. Kira kira 99 persen total
kalsium, bersama fosfor, berperan sebagai komponen utama tulang dan gigi.

a) Tulang

Kalsium merupakan bagian dari mineral kompleks yang dideposit dalam suatu matrik
organik yang utamanya terdiri dari kolagen tipe I. Kolagen ini terdiri dari asam amino dalam
jumlah yang banyak seperti glisin, proline, dan hydroxyproline. Kolagen mengandung 30-
33% glisine, dan 15-30% asam amino lain seperti proline dan 3-4-5-hydroxyproline. Kalsium
dalam bentuk garam (hydroxyapatite) membentuk matriks pada kolagen protein pada struktur
tulang membentuk rangka yang mampu menyangga tubuh serta tempat bersandarnya otot
yang menyebabkan memungkinkan terjadinya gerakan. Pembentukan tulang dimulai sejak
embrio dan dilanjutkan sepanjang hidup. Anak yang masih tumbuh dan kembang memerlukan
pembentukan tulang yang lebih banyak dari pada orang yang sudah tua. Usia dewasa
mementingkan keseimbangan kalsium di tulang, sedangkan pada masa tua, kalsium
diperlukan untuk mengganti kehilangan kalsium di tulang.

Proses pembentukan gigi mengikuti pola pembentukan tulang, tetapi perombakan


kalsiumnya tidak secepat tulang. Adanya flourida membantu gigi lebih mudah bertahan dari
pengeroposan gigi karena membuat gigi lebih keras.

Kalsium cairan tubuh hanya berkisar 1% beredar sebagai ion kalsium. Ion kalsium
bertanggung jawab pada kontraksi dan relaksasi otot, merupakan katalisator pada pembekuan
darah, membantu pembentukan acetylcholine yang dapat meningkatkan penerusan impuls
saraf, sekresi hormon dan mengaktifkan reaksi beberapa enzim.

b) Darah

Kalsium dibawa oleh darah ke seluruh tubuh sampai ke sel dengan bantuan sistem
hormon. Keseimbangan kadar kalsium dalam darah selalu dipertahankan walaupun dalam

123
keadaan asupan kalsium yang rendah. Pada keadaan ini kelenjar paratiroid mengeluarkan
hormon yang dapat menyebabkan ginjal mendapatkan kembali kalsium sebelum dikeluarkan.
Selain itu, hormon ini bekerja sama dengan calcitriol (hormon aktif dibentuk dari vitamin D)
yang dapat mengambil kalsium dari tulang dengan menstimulasi aktifitas osteoclasts untuk
memecah/merusak tulang. Bila terjadi dalam waktu yang lama, hal ini dapat menyebabkan
kerapuhan tulang. Sebaliknya, dalam keadaan asupan kalsium yang tinggi, osteoblast (sel
yang dapat membentuk tulang) dapat meningkatkan massa tulang. Selama pertumbuhan
osteoblast lebih banyak bekerja untuk meningkatkan massa tulang dari pada memecah tulang.
Kekerasan tulang dibutuhkan sampai pada usia kurang lebih 30-35 tahun. Konsumsi yang
cukup akan kalsium, fosfor dan vitamin D, membuat massa tulang akan stabil pada wanita
sampai tibanya menopause. Setelah menopause tulang mulai mengalami ketidak seimbangan
karena tidak adanya hormon estrogen.

Secara singkat fungsi kalsium adalah: i) pengerasan tulang dan gigi, ii) transmisi
impuls syaraf, iii) pembekuan darah, iv) aktifitas normal jantung, dan v) aktifitas normal otot.

3. Sumber

Sumber utama kalsium untuk kelompok masyarakat mampu adalah susu dan hasil
olahnya yang mengandung sekitar 300 mg kalsium per cangkir dan 1 ons keju mengandung
250 mg kalsium. Sumber lain kalsium adalah sayuran hijau, kacang-kacangan dan ikan yang
dikalengkan dan ikan laut (seperti salmon). Roti dan biji-bijian menyumbang asupan kalsium
yang nyata karena konsumsi yang sering. Ikan dan makanan sumber laut mengandung
kalsium lebih banyak dibandingkan daging sapi maupun ayam.

4. Efek Kelebihan dan Kekurangan

Kekurangan kalsium dapat meningkatkan risiko osteoporosis pada orang dewasa yaitu
gangguan yang menyebabkan penurunan secara bertahap jumlah dan kekuatan jaringan
tulang. Penurunan itu disebabkan oleh terjadinya demineralisasi yaitu tubuh yang kekurangan
kalsium akan mengambil simpanan kalsium yang ada pada tulang dan gigi. Kekurangan
kalsium pada orang dewasa dapat juga menyebabkan tulang menjadi lunak (osteomalacia).
Pada masa pertumbuhan, kekurangan kalsium dapat menyebabkan pengurangan pada massa
dan kekerasan tulang yang sedang dibentuk. Selain itu kekurangan kalsium pada masa anak-
anak dapat menyebabkan riketsia, yaitu pembentukan stuktur tulang yang buruk. Pada
kekurangan yang sangat berat dapat menyebabkan pendek. Kekurangan kasium pada darah
akan menyebabkan keadaan yang ditandai dengan kekakuan pergerakan otot, yang disebut
tetani.

Kelebihan kalsium dapat mencegah koagulasi (penggumpalan) darah dan juga


hambatan pertumbuhan serta gangguan pencernaan pada anak. Kelebihan kalsium dapat
berpengaruh negatif terhadap penyerapan seng, besi dan mangan, selain juga dapat
menyebabkan konstipasi dan batu ginjal.

5. Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan

Ada beberapa faktor gizi yang dapat mempengaruhi kebutuhan dan keseimbangan
kalsium antara lain: natrium dan protein. Natrium dan protein meningkatkan kehilangan

124
kalsium dalam urin, yang selanjutnya menyebabkan berkurangnya retensi kalsium dalam
tubuh. Meningkatnya kehilangan kalsium adalah sekitar 1 mmol (40 mg) sehari untuk setiap
1000 mmol (2,3 g/hari) peningkatan asupan natrium, sementara 40 mg kenaikan asupan
protein meningkatkan kehilangan kalsium sekitar 1 mmol (40 mg). Selain itu, vitamin D
penting untuk dikaitkan dengan kalsium karena mengatur penyerapan kalsium dan fosfor dari
usus halus.

Laktosa pada susu meningkatkan absorpsi kalsium. Perbandingan yang seimbang


antara kalsium dan fosfor membantu penyerapan kalsium. Akan tetapi serat, fitat dan oxalat
dapat mengganggu penyerapan kalsium bila dikonsumsi berlebihan. Oleh karenanya,
makanan/minuman tertentu dapat mempengaruhi penyerapan kalsium atau meningkatkan
kehilangan kalsium. Contohnya adalah: minuman ringan karena mengandung tinggi fosfor,
makanan tinggi lemak atau protein, konsumsi sayuran yang berlebihan karena mengandung
asam oksalat ataupun asam fitat.

6. Rekomendasi Kecukupan Kalsium

a) Bayi dan Anak

Bayi 0-6 bulan dapat tumbuh baik dengan asupan kalsium 240 mg sehari dari sekitar 750 ml
ASI yang dua per tiganya dapat diserap. Jika digunakan variasi 25% maka asupan 300 mg
akan mendapatkan 200 mg kalsium. Bayi yang mendapat susu formula, di Amerika Serikat,
asupan kalsium lebih banyak karena hanya sekitar setengahnya dapat diserap sehingga
diperlukan 400 mg sehari. Asupan sebanyak 600 mg sehari dapat memenuhi kecukupan
kalsium untuk bayi umur 7–11 bulan. Pada usia 7-11 bulan dengan perkiraan ekskresi
kalsium 120 mg/hari maka kurang lebih 250 mg kalsium diperlukan dalam sehari. Pada anak
usia 12-36 bulan diperkirakan kalsium yang dikeluarkan dan pertumbuhan yang lebih cepat
dari umur sebelumnya maka diperlukan kurang lebih 650 mg sehari. Pada anak usia 4-6
tahun dan anak usia 7-9 tahun kalsium diperlukan untuk pertambahan pertumbuhan, koreksi
diet dan ekskresi membutuhkan tambahan masing masing 300 mg sampai 350 mg sehari
sehingga RDA nya menjadi 1000 mg sehari.

b) Remaja dan Dewasa

Masa penumpukan kalsium yang tinggi untuk tulang berlangsung dari remaja hingga sekitar
umur 24 tahun. Perkiraan kecukupan kalsium didasarkan pada kehilangan 250 mg/hari dan
kebutuhan pembentukan tulang sekitar 200 mg serta tingkat penyerapan 40%. Asupan
sebesar 1200 mg sehari dianggap dapat memenuhi kecukupan kalsium untuk kelompok ini.
Kecukupan kalsium untuk dewasa (diatas 25 tahun) sama dengan kelompok umur 1-10 tahun.

c) Kehamilan dan Menyusui

Kalsium untuk janin terutama dibutuhkan pada trimester 3 tetapi penyerapan kalsium selama
kehamilan lebih efisien dibandingkan masa tidak hamil. Pada kehamilan 28 minggu,
diperlukan tambahan 100 mg sehari dan pada kehamilan 35 minggu diperlukan tambahan 350
mg sehari. Karena itu selama kehamilan diperlukan kalsium untuk pertumbuhan janin sekitar
200 mg sehari. Demikian pula selama masa menyusui diperlukan tambahan sekitar 200 mg
sehari untuk mendapatkan kandungan kalsium yang cukup dalam ASI. Oleh sebab itu,
kecukupan kalsium selama masa kehamilan dan menyusui ditetapkan 1200 mg sehari.

125
Tabel 1 menyajikan rekomendasi angka kecukupan kalsium yang ditetapkan oleh WNPG
1998, 2004 FRNI 2002, IOM 2006 dan FAO/WHO 2001.

Tabel 1. Rekomendasi Angka Kecukupan Kalsium Sehari dari WNPG 98, FNRI 2002,
FAO/WHO 2002, IOM 2006, WNPG 2004 dan WNPG 2012

Kelompok WNPG 98 FNRI 2002 IOM 2006 FAO/WHO 2002*) WNPG 2004**) AK Ca 2012
umur (mg) (mg) (mg) (mg) (mg) (mg)
Bayi/Anak
0- 6 bulan 300 200 200 300 (human milk) 200 200
400 (infant formula)
7-11 bulan 400 400 260 400 400 250
1– 3 tahun 500 500 700 500 500 650
4– 6 tahun 500 550 1000 600 500 1000
7– 9 tahun 500 700 1150 700 600 1000
Laki-laki
10- 12 tahun 700 1000 1300 1300 1000 1200
utamanya selama
growth spurt
13–15 tahun 700 1000 1300 1300 1000 1200
16–18 tahun 700 1000 (16-18) 1300 1300 1000 1200
19- 29 tahun 500 750 (19-29) 1000 1000 800 1100
30- 49 tahun 800 750 (30-49) 1000 1000 800 1000
50- 64 tahun 500 750 (50-64) 1000 1000 1000 1000
65- 79 tahun 500 800 (65+) 1000 1300 1000 1000
80+ tahun 1200 1000
Perempuan
10- 12 tahun 700 1000 1300 1300 1000 1200
selama growth spurt
13- 15 tahun 700 1000 1300 1300 1000 1200
pre-menopause
16- 18 tahun 600 1000 (16-18) 1300 1300 1000 1200
menopause
19- 29 tahun 500 750 (19-29) 1000 1000 800 1100
30- 49 tahun 600 750 (30-49) 1000 1000 800 1000
50- 64 tahun 500 800 (50-64) 1200 1300 1000 1000
65- 79 tahun 500 800 (65+) 1200 1300 1000 1000
80+ tahun 1200 1000
Hamil (+an)
Trimester 1 +400 +50 +0 +200 +150 +200
Trimester 2 +400 +50 +0 +200 +150 +200
Trimester 3 +400 +50 +0 +200 +150 +200
Menyusui (+an)
6 bulan pertama +400 750 (0-6 bl) +0 1000 +150 +200
6 bulan kedua +400 750 (7-12 bl) +0 1000 +150 +200
Catatan:
WNPG=Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (Indonesia), FNRI=Food and Nutriion Researh Institute
(Filipina), NRC=National Research Council (Amerika Serikat), FAO/WHO=Food and Agriculture
Organization/World Health Organization
*) Data dari negara maju; ada kontroversi kelayakannya untuk negara berkembang.
**)
Moesijanti S dan D.Kartono 2004

126
7. Riset yang dibutuhkan pada masa datang

a. Hubungan ketinggian (latitude), paparan matahari dan sintesa vitamin D dengan


penyerapan kalsium di lokasi geografi yang berbeda di Indonesia.
b. Karena eratnya hubungan vitamin D dalam penyerapan kalsium, dan adanya
kecenderungan prevalensi kekurangan vitamin D (periksa darah) cukup banyak, maka
perlu dilakukan penelitian tentang asupan kalsium, vitamin D dan paparan matahari
terhadap kadar vitamin D dan kalsium dalam darah.
c. Selain itu Daftar Komposisi Gizi Indonesia perlu ditambah dengan berbagai mineral
dan vitamin khususnya vitamin D.

B. FOSFOR (P)

1. Pendahuluan

Seperti kalsium, fosfor mempunyai peran struktural dan fungsional. Sebagian besar
(85%) fosfor berada dalam rangka yang berperan sebagai struktural bersama kalsium.
Sisanya ada dalam cairan ekstra seluler, terutama dalam bentuk ion fosfat inorganik dan
dalam jaringan lunak sebagai ester fosfat inorganik yang penting untuk memelihara fungsi
tubuh.

2. Fungsi

Fosfor adalah mineral terbanyak kedua setelah kalsium dalam tubuh. Dalam tubuh,
fosfor mempunyai peran struktural dan fungsional. Sebagian besar (85%) fosfor bersama-
sama dengan kalsium berada dalam rangka dan gigi yang berperan sebagai struktural. Tubuh
akan menjaga rasio kalsium:fosfor 1,5:1, suatu rasio yang vital untuk pertumbuhan tulang
yang ideal. Sisanya yang 20% mempunyai berbagai fungsi. Antara lain membantu
pembentukan fosfolipida, protein nukleus, vitamin B6 dan B1 dan senyawa organik lainnya.
Salah satu fungsi utama fosfor adalah dalam pembentukan energi senyawa ATP, GTP dan
ADP yang terlibat dalam penurunan energi dari lemak, hidrat arang dan protein dan juga
dalam penyimpanan energi. Sama seperti kalsium, fosfor sangat penting dalam metabolisme
vitamin D serta hormon kalsitonin dan paratiroid di usus halus, tulang dan ginjal.

Secara singkat, selain merupakan bagian utama tulang dan gigi, fosfor mempunyai
fungsi: i) mengatur pelepasan energi selama pembakaran atau oksidasi hidrat arang, lemak
dan protein; ii) fosforilasi monosakarida dan lemak untuk memfasilitasi jalan ke sel membran;
iii) memfasilitasi penyerapan dan transportasi zat gizi; iv) mengatur keseimbangan asam-basa
dalam darah; v) merupakan bagian dari DNA dan RNA.

3. Sumber

Fosfor ada di hampir semua sel sehingga hampir semua bahan makanan mengandung
fosfor. Daging, ikan, unggas, kacang-kacangan dan serealia merupakan sumber utama fosfor
dalam makanan sehari-hari. Fosfor dalam makanan sumber hewani lebih mudah diserap
dibandingkan nabati. Dalam makanan yang diawetkan dan minuman ringan berkarbonat
banyak mengandung fosfor dalam bentuk fosfat.

127
4. Efek Kelebihan dan Kekurangan

Keadaan kekurangan fosfor jarang terjadi karena hampir semua bahan makanan
mengandung fosfor, baik nabati maupun hewani. Kecuali orang mengkonsumsi antasid
dalam jumlah banyak, kencing yang berlebihan dan pada bayi lahir prematur dapat terjadi
hipofosfatemia. Tanda tanda hipofosfatemia adalah terasa lemah dan sakit disekitar tulang.
Kekurangan fosfor dapat juga menggangu pembentukan tulang dan gigi, lemah, tidak ada
nafsu makan, dan rasa tidak enak.

Kelebihan fosfat, hiperfosfatemia, juga jarang terjadi karena kelebihan fosfor


dikeluarkan melalui air kencing secara efisien. Hiperfosfatemia akut akan meningkatkan
penggunaan kalsium yang dapat menyebabkan hipokalsemia.

5. Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan

Fosfor dari sumber hewani lebih baik penyerapannya dibandingkan sumber nabati.
Bentuk fosfat dalam sumber nabati adalah asam fitat tapi bioavailabilitasnya rendah. Namun
adanya enzim fitase dalam beberapa bahan makanan dan beberapa bakteri yang dapat
menyebabkan fosfor lebih mudah diserap. Fosfor yang berlebihan akan mempengaruhi
metabolisme kalsium yaitu menyebabkan hipokalsemik. Sekitar 50-70% fosfor dari makanan
akan diserap di duodenum dan jejenum. Vitamin D akan membantu penyerapan fosfor, tetapi
asupan yang berlebihan dari kalsium, magnesium dan aluminium dapat menghambat
penyerapan fosfor. Sisa yang tidak diserap, dibuang melalui feses. Obat antasida dapat
menyebabkan keadaan hipofosfatemia pada mereka yang asupan fosfornya juga rendah.

6. Rekomendasi Kecukupan Fosfor

a) Bayi 0-6 bulan

Rekomendasi untuk bayi usia 0-6 bulan merujuk pada kandungan fosfor dari Air Susu Ibu
(ASI) yaitu sekitar 750 ml sehari. Jadi RDA kalsium adalah sekitar 100 mg sehari

b) Bayi 7-11 bulan

Rekomendasi didasarkan pada asupan ASI yaitu sekitar 600 ml sehari atau 75 mg fosfor
sehari dan tambahan dari MPASI sekitar 150 – 200 mg fosfor sehari. Rata rata kecukupan
fosfor untuk kelompok ini menjadi 250 mg fosfor.

c) Anak 1-9 tahun

Selain ada koreksi untuk efisiensi penyerapan fosfor adalah 70% juga ditambahkan variasi
sebesar 20%. Dengan demikian kebutuhan anak usia 1-3 tahun adalah sebesar 460 mg/hari
dan 500 mg sehari untuk anak usia 4-6 tahun dan pada usia 7-9 tahun karena tidak ada
perbedaan antara keduanya.

d) Anak 10-18 tahun

128
Seperti juga pada usia sebelumnya, maka koreksi untuk efisiensi penyerapan fosfor adalah
70% dan untuk variasi sebesar 20% ditambahkan sehingga kebutuhan usia 10-18 tahun adalah
1200 mg sehari baik pria maupun wanita.

e) Dewasa 19 tahun sampai lebih dari 70 tahun

Kebutuhan fosfor dari asupan diet digunakan untuk menjaga fosfor dalam serum sehingga
diperlukan sekitar 580 mg per hari baik untuk pria maupun wanita. Dengan menambahkan
10% variasi maka kecukupan fosfor pada usia ini adalah sekitar 700 mg per hari.

f) Kehamilan dan Menyusui

Karena adanya efisiensi penyerapan fosfor selama kehamilan sampai 10% maka asupan fosfor
sudah mencukupi sehingga tidak perlu ada penambahan saat kehamilan. Sedangkan selama
menyusui menunjukkan bahwa kandungan fosfor pada ASI tidak mempengaruhi fosfor di
serum. Karena itulah kecukupan saat menyusui sama dengan saat kehamilan.

Tabel 2 menyajikan rekomendasi angka kecukupan fosfor yang ditetapkan oleh WNPG 1998,
FRNI 2002 dan IOM 2006 Rekomendasi angka kecukupan untuk fosfor dari FAO/WHO
2001 masih belum ada.

7. Riset yang dibutuhkan pada masa datang

Riset yang diperlukan antara lain a) evaluasi terhadap makanan orang Indonesia untuk
melihat asupan fosfor dan kalsium, hal ini diperlukan untuk melihat keseimbangan ratio
kalsium dan fosfor terutama dalam pembentukan tulang dan gigi b) pengembangan Daftar
Pangan dan Komposisi Zat Gizi yang sudah memuat fosfor dapat dikembangkan dengan
mencakup lebih banyak pangan Indonesia seyogyanya mendapat prioritas utama.

Tabel 2. Rekomendasi Angka Kecukupan Fosfor Sehari dari WNPG 98, FNRI 2006,
IOM 2006 dan WNPG 2012

129
Kelompok umur WNPG 98 FNRI 2002 IOM 2006 AK P 2012
(mg) (mg) (mg) (mg)
Bayi/Anak
0- 6 bulan 200 90 100 100
7-11 bulan 250 275 275 250
1 - 3 tahun 250 460 460 500
4 - 6 tahun 350 500 500 500
7 - 9 tahun 400 500 500 500
Laki-laki
10- 12 tahun 500 1250 1250 1200
13- 15 tahun 500 1250 1250 1200
16- 18 tahun 500 1250 1250 1200
19- 29 tahun 500 700 700 700
30- 49 tahun 800 700 700 700
65-79 tahun 500 700 700 700
80+ tahun 700 700 700
Perempuan
10- 12 tahun 450 1250 1250 1200
13- 15 tahun 450 1250 1250 1200
16- 18 tahun 450 1250 1250 1200
19- 29 tahun 450 700 700 700
30- 49 tahun 450 700 700 700
65- 79 tahun 450 700 700 700
80+ tahun 700 700 700
Hamil (+an)
Trimester 1 +200 700 (tr 1) +0 +0
Trimester 2 700 (tr 2) +0 +0
Trimester 3 700 (tr 3) +0 +0
Menyusui (+an)
6 bulan pertama +300 700 +0 +0
6 bulan kedua +200 700 +0 +0
Catatan:
WNPG=Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (Indonesia),
FNRI=Food and Nutriion Research Institute (Filipina)
RENI=Recommended Energy and Nutrient Intakes (Filipina),
NRC=National Research Council (Amerika Serikat).

C. MAGNESIUM (Mg)

1. Pendahuluan

Magnesium terkandung dalam semua bagian intra seluler. Tubuh dewasa normal
mengandung sekitar 20 – 28 g magnesium. Sekitar 50% ada dalam rangka tubuh, sisanya di
otot, jaringan lunak dan cairan ekstra seluler. Sekitar 30% magnesium dalam rangka tubuh
ada pada permukaan tulang sebagai cadangan memelihara magnesium ekstra seluler. Total
plasma magnesium yang normal berkisar antara 1,7-2,3 mg/100 ml.

2. Fungsi

Magnesium dapat berperan sebagai pengganti kalsium dalam proses transportasi dan
mineralisasi pembentukan tulang. Magnesium juga berperan dalam sejumlah fungsi sel
termasuk oksidatif fosforilasi, glikolisis dan sintesa protein. Magnesium sangat dibutuhkan
untuk pembentukan baik jaringan lunak maupun keras. Sangat penting untuk metabolisme dan

130
pengaturan fungsi saraf dan otot, termasuk jantung dan berperan dalam proses pembekuan
darah.

Fungsi utama magnesium adalah : i). Sintesa ATP, ii). meneruskan impuls saraf, iii)
mengaktifkan kerja enzim metabolisme, iv). diperlukan untuk kesehatan otot dan saraf, v).
merupakan komponen di tulang, otot dan sel darah merah.

3. Sumber

Banyak dalam sayuran karena magnesium ada dalam bentuk klorofil. Sumber lain
adalah makanan dari sumber air laut dan ikan air tawar segar, padi-padian dan kacang-
kacangan, susu dan juga air minum. Daging dan hasil olahan sumber hewani juga
mengandung banyak magnesium. Buah-buahan seperti alpokat dan pisang juga merupakan
sumber magnesium.

4. Efek Kelebihan dan Kekurangan

Kekurangan magnesium dapat menyebabkan deposit kalsium menjadi tidak normal di


berbagai jaringan dan batu ginjal, denyut jantung yang tidak beraturan, sulit tidur, kram pada
kaki dan tangan gemetaran (sama seperti pada kekurangan kalsium dan fosfor). Penderita
arteriosklerosis umumnya rendah kadar magnesium. Kekurangan tingkat berat jarang terjadi,
yang ditandai dengan depresi, disorientasi dan halusinasi (gangguan pada mental, emosional,
dan otot). Kelebihan magnesium jarang sekali terjadi. Gejala kelebihan magnesium sangat
mirip dengan gejala akibat kelebihan anestesi yaitu gangguan fungsi sistem saraf pusat.

5. Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan

Pertambahan jaringan merupakan faktor yang mempengaruhi kebutuhan magnesium.


Kalsium dan fosfor dapat mempengaruhi penyerapan magnesium terutama bila konsumsi
magnesium rendah tetapi mineral lain tinggi. Magnesium diserap di usus kecil di bagian
jejenum dan ileum. Pada kasus ketika penyerapan magnesium terhambat di usus kecil, maka
penyerapan magnesium akan terjadi di usus besar. Pada asupan magnesium yang tinggi,
penyerapan akan kecil, begitu juga apabila asupan magnesium rendah, maka penyerapan
tinggi. Secara normal, sekitar 40-60% magnesium akan diserap tubuh. Magnesium yang
berlebih akan dibuang melalui ginjal. Pengeluaran magnesium juga akan meningkat bila
mengkonsumsi sumber protein, alkohol, dan kopi secara berlebihan.

6. Rekomendasi Kecukupan Magnesium

a) Bayi 0-6 bulan


Kecukupan magnesium untuk bayi 0-6 bulan ditentukan berdasarkan kandungan magnesium
pada ASI yaitu 750 ml sehari. Dengan kandungan sekitar 31,4-35,7 mg/L maka kecukupan
magnesium adalah 26 mg sehari, atau dibulatkan menjadi 30 mg sehari.

Pada usia 7-11 bulan. Magnesium berasal dari ASI dan MPASI. FAO/WHO
merekomendasikan 6 mg/kg. Dengan berat badan 9 kg maka kecukupannya adalah 54 mg
sehari atau dibulatkan menjadi 55 mg sehari.

131
Usia 1-9 tahun. Kecukupannya didasarkan pada keseimbangan positif magnesium
untuk perkembangan dan pertumbuhan yang baik. Untuk mencapai keseimbangan positif,
magnesium sebesar 10 mg sehari dianjurkan, kecukupan sekitar 5 mg/kg/hari diperlukan,
sehingga untuk anak usia 1-3 tahun dan berat 13 kg, kecukupannya adalah +60 mg
magnesium sehari, untuk anak usia 4-6 tahun dengan berat 19 kg, kecukupannya adalah 95
mg magnesium, dan anak usia 7-9 tahun dengan berat 27 kg, kecukupannya +120 mg
magnesium sehari.

Usia remaja 10-18 tahun. Rekomendasi FAO dan WHO adalah 4,5 mg/kg berat
badan sehari dengan sudah memperhatikan keseimbangan positif, maka kecukupannya adalah
sebagai berikut: pada usia 10-12 tahun dengan berat badan 34 kg maka kecukupannya +150
mg sehari untuk pria dan 155 mg sehari untuk wanita (berat badan 36 kg).Untuk usia 13-15
tahun dengan berat badan 46 kg untuk laki laki dan 46 kg untuk perempuan, kecukupannya
adalah masing masing 207 mg sehari, dibulatkan kebawah menjadi 200 mg sehari. Untuk usia
16-18 tahun dengan berat badan 56 kg untuk laki laki dan 50 kg untuk perempuan, maka
kecukupannya adalah masing masing 250 mg sehari untuk laki laki dan untuk perempuan 220
mg sehari.

Dewasa. Asupan magnesium sebesar 10 mg/kg/hari menunjukkan adanya


keseimbangan positif yang kuat pada masa dewasa, sedangkan pada konsumsi 5 mg/kg/hari
menunjukkan keseimbangan negatif. Dengan demikian diperkirakan dengan asupan 6 mg
/hari setiap kg berat badan pun cukup untuk mencapai keseimbangan magnesium. Karena itu
kebutuhannya dari 19-49 tahun untuk laki laki dengan berat badan 60 kg dan wanita 54 kg,
maka kecukupannya adalah untuk pria +350 mg sehari dan untuk wanita +310 mg sehari.
Selanjutnya untuk laki laki, pada usia 50-64 (berat badan 62 kg) kecukupannya adalah +350
mg sehari dan usia 65-79 tahun, 60 kg, kecukupan adalah +350 mg sehari, dan usia 80 dan
diatas 80 tahun dengan berat badan 58 kg, kecukupan magnesium adalah 330 mg sehari.
Untuk perempuan, usia 50-64 tahun ( berat badan 55 kg) kecukupannya adalah 320 mg sehari,
pada usia 65-80 tahun ( berat badan 60 kg) maka kecukupannya adalah 350 mg sehari, dan
mereka yang berusia 80 dan diatas nya (berat badan 58 kg) adalah 330 mg sehari.

Masa Kehamilan dan Menyusui. Karena adanya efisiensi penggunaan magnesium


saat kehamilan maka kecukupannya ditambahkan sebanyak 40 mg magnesium sehari. Saat
menyusui tidak perlu ada tambahan magnesium.

Tabel 3 menyajikan rekomendasi angka kecukupan magnesium yang ditetapkan oleh FNRI
2002, IOM 2006, FAO/WHO 2001 dan WNPG 2004.

Tabel 3. Rekomendasi Angka Kecukupan Magnesium Sehari dari FNRI 2002, IOM 2006, FAO/WHO
2002, WNPG 2004 dan WNPG 2012

Kelompok umur WNPG 2004*) FNRI 2002 IOM 2006 FAO/WHO 2002 AK Mg 2012
(mg) (mg) (mg) (mg) (mg)
Bayi/Anak
0- 6 bulan 25 36 30 26 (human milk) 30
36 (infant formula)
7-11 bulan 55 54 75 53 55
1- 3 tahun 60 65 80 60 60
4- 6 tahun 90 76 130 73 95

132
7- 9 tahun 120 100 130 100 120
Laki-laki
10- 12 tahun 170 155 240 250 150
13- 15 tahun 220 225 410 250 200
16- 18 tahun 270 260 410 250 250
19- 29 tahun 290 235 400 260 350
30- 49 tahun 300 235 420 260 350
50- 64 tahun 300 235 420 260 350
65- 79 tahun 300 235 420 230 350
80+ tahun 330
Perempuan
10- 12 tahun 180 160 240 230 155
13- 15 tahun 230 220 360 230 200
16- 18 tahun 240 240 360 230 220
19- 29 tahun 250 205 310 220 310
30- 49 tahun 270 205 320 220 320
50- 64 tahun 270 205 320 220 320
65- 79 tahun 270 205 320 190 320
80+ tahun 270 205 320 190 320
Hamil (+an)
Trimester 1 +40 +0 +40 +0 +40
Trimester 2 +40 +0 +40 +0 +40
Trimester 3 +40 +0 +40 +0 +40
Menyusui (+an)
6 bulan pertama +0 +45 +0 +50 +0
6 bulan kedua +0 +45 +0 +50 +0
*)
Moesijanti S dan D.Kartono 2004

7. Riset yang dibutuhkan pada masa datang

a) Karena belum secara spesifik digambarkan kekurangan magnesium terhadap


pertumbuhan dan sistim saraf serta kesehatan tulang, maka diperlukan studi tentang
pengaruh magnesium terhadap kesehatan saraf dan tulang terutama pada usia lansia,
b) Mendesak diperlukan studi mengenai kandungan magnesium dicantumkan pada daftar
pangan dan komposisi zat gizi makanan orang Indonesia
c) Pengaruh asupan fosfor pada kadar magnesium karena adanya interaksi pada keduanya.

D. TEMBAGA (Cu)

1. Pendahuluan

Tembaga terdapat disemua jaringan, tetapi konsentrasi terbesar ada pada hati, ginjal,
otot dan otak. Kebanyakan tembaga dalam tubuh dalam bentuk kompleks organik, dan
terbanyak dalam bentuk metaloprotein dan berfungsi sebagai enzim. Tubuh orang dewasa
mengandung 80 mg tembaga, dengan kisaran 50-120 mg. Di jaringan, banyaknya adalah
kurang dari 1 ug/g (berat kering) di banyak organ tubuh sampai lebih besar dari 10 ug/g (berat
kering) pada hati dan otak. Pada bayi, konsentrasi tembaga kira kira 6-10 kali lebih besar pada
hati dibandingkan orang dewasa, digunakan untuk simpanan tembaga karena kandungan
tembaga dari ASI relatif sedikit. Tembaga di darah didistribusi di eritrosit dan plasma. Dalam
eritrosit, kebanyakan tembaga (60%) terdapat dalam bentuk „copper-zinc metalloenzyme
superoxide dismutase‟ sedangkan 40% nya terikat dalam protein lain dan asam amino. Total
tembaga di eritrosit adalah sekitar 0,9-1,0 ug/ml butir darah merah. Di plasma 93% tembaga

133
terikat pada enzim ceruloplasmin, yang mempunyai tugas untuk mobilisasi besi dengan cara
menjaga oxidized iron ditransport ke dalam transferin. Sisa tembaga dalam plasma itu (7%)
terikat kuat pada albumin dan asam amino dan kandungan transport tembaga memungkinkan
bereaksi dengan protein reseptor melalui proses difusi. Pada orang yang sehat, banyaknya
tembaga di plasma adalah 0,8-1,2 ug/ml tidak dipengaruhi oleh diet. Rata rata nilai tembaga
pada wanita 10 kali lebih tinggi dari pada pria.

2. Fungsi

Meskipun tembaga terdapat pada organ tubuh, tembaga juga merupakan komponen
penting dari beberapa enzim, juga membantu pembentukan hemoglobin, membantu transport
besi ke sumsum tulang belakang untuk pembentukan sel darah merah, dan berpartisipasi
dalam produksi energi.

Fungsi tembaga adalah : i) sangat penting dalam pembentukan hemoglobin dan sel
darah merah, ii) merupakan komponen enzim iii) berperan dalam penyembuhan luka, dan iv)
secara metabolisme dibutuhkan untuk melepas energi.

3. Sumber Pangan

Sumber tembaga dalam makanan adalah hati, kerang, tiram, kacang-kacangan, padi-
padian, coklat (kakao) dan Air Susu Ibu (ASI).

4. Efek Kelebihan dan Kekurangan

Kekurangan tembaga dapat menyebabkan hipokromik anemia, hipopigmentasi rambut


dan kulit, pembentukan tulang yang tidak normal dengan osteoporosis dan mudah patah, tidak
normalnya pembuluh darah vaskular, dan rambut yang kaku/lurus. Kelebihan tembaga dapat
menyebabkan muntah dan diare.

5. Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan

Bentuk tembaga yang larut diserap dalam usus dengan efisiensi 40-60%.
Bioavailabilitas tembaga dipengaruhi oleh status tembaga seseorang dan asupan protein.
Status tembaga yang rendah akan menyebabkan penyerapan tembaga yang sangat efisien
(meningkat), begitu pula sebaliknya. Konsumsi protein 100-150 g per hari akan membantu
penyerapan tembaga dalam usus. Faktor yang menghambat penyerapan tembaga di lumen
usus dan menurunkan bioavailabilitasnya adalah menurunkan kelarutannya intraluminal atau
disebabkan adanya interaksi kompetitif dengan tembaga. Yang menurunkan kelarutan
intraluminal tembaga adalah adanya bentuk kimia tembaga saat memasuki lumen usus
sehingga dapat menurunkan penyerapan tembaga, seperti tembaga karbonat hanya dapat
diserap setelah bereaksi dengan asam dalam lambung. Bentuk ikatan tembaga dengan sulfat
dan nitrat, mudah diserap. Bentuk kimia tembaga yang rendah diserap adalah tembaga
oksida, sedangkan yang sama sekali tidak dapat diserap adalah dalam bentuk ikatan dengan
sulfida atau ikatan tembaga kompleks seperti tembaga porpirin.

Interaksi tembaga dengan mineral lain dapat menurunkan penyerapan tembaga apabila
zat lain itu dikonsumsi berlebih, seperti vitamin C (>1500 mg/hari), kalsium dan fosfor (>2
gram/hari), serat (>50 g/hari), gula (>35 % dari energi/hari), penggunaan obat antasida yang

134
berlebihan, besi (pada anak anak apabila asupan lebih dari 10 mg/hari), begitu juga konsumsi
seng (>100 mg/hari), dan kalsium. Yang membantu penyerapan tembaga adalah asupan
protein (>100 gram/hari). Mengenai pengaruh interaksi fitat-serat-tembaga yang dapat
menurunkan penyerapan tembaga perlu dievaluasi lebih dalam.

6. Rekomendasi Kecukupan Tembaga

Asupan tembaga dari diet yang berisi 0,7-1,0 mg tembaga/hari pada orang dewasa
selama paling sedikit 4 minggu dapat menyebabkan kekurangan tembaga dan berakibat
menurunkan kadar tembaga di plasma, menurunkan ceruloplasmin dan aktifitas „copper- -
zinc-eritrosit-superoxide-dismutase‟, meningkatkan „low density lipoprotein cholesterol‟,
menurunkan „high density lipoprotein cholesterol‟, „cardiac arhythmia‟, ketidak-normalan
grafik elektrokardio dan meningkatnya tekanan darah. Kebutuhan untuk orang dewasa dapat
dievaluasi dari beberapa penelitian tentang keseimbangan tembaga yang menerima makanan
masuk ke intravena. Studi lain menunjukkan bahwa pemberian tembaga melalui makanan
parenteral 0,3 mg/hari sudah cukup untuk menjaga keseimbangan tembaga pada orang dewasa
dengan berat badan 70 kg. Apabila diperkirakan efisiensi penyerapan tembaga adalah 40%,
maka diperlukan tembaga dari makanan sebesar 0,75 mg. Dari data biokimia dan klinis ini
dapat disarankan bahwa kebutuhan rata rata basal tembaga orang dewasa adalah 0,6-0,75
mg/hari, masing masing untuk wanita dan pria. Dengan penambahan 15% dari kebutuhan
tembaga basal, maka normatif kebutuhan tembaga untuk wanita dan pria menjadi 0.7-0.8
mg/hari. Adanya penambahan 15% dimaksudkan untuk menjamin pemenuhan penyerapan
tembaga dan untuk penyimpanan tembaga. Studi oleh Turnlund, dkk menunjukkan bahwa
penambahan 0,8 mg/hari pada laki laki dilaporkan melebihi kebutuhan.

Pendekatan kebutuhan didasarkan pada koefisien variasi (CV) sebesar 15%, sehingga
RDA nya dihitung dari EAR orang dewasa ditambah 2 kali CV, dengan demikian mengambil
dari IOM (2006) RDA nya adalah sebagai berikut.

a) Bayi 0-11 bulan

Untuk bayi usia 0-6 bulan, RDA tembaga disesuaikan dengan kandungan tembaga pada ASI,
yaitu 200 ug sehari. Sedangkan untuk usia 7-11 bulan, tembaga didapat dari ASI dan MPASI,
kecukupannya adalah 220 ug/hari, yaitu dari ASI diperkirakan 100 ug/hari (menurun
dibanding kelompok umur sebelumnya) dan tambahan dari MPASI yaitu 120 ug dalam sehari.

b) Anak 1-3 tahun

EAR untuk tembaga anak 1-3 tahun adalah berdasarkan perkirakan yaitu 260 ug/hari, bila
dikalikan dengan berat badan rujukan adalah 13 kg, maka RDA nya adalah EAR+ 2 CV yang
dapat memenuhi 95% kebutuhan seseorang dalam kelompok umurnya, atau kurang lebih
130% dari EAR, maka RDA nya adalah 338 ug/hari atau +340 ug/hari.

c) Anak 4-8 tahun

EAR untuk tembaga pada anak 4-8 tahun adalah 340 ug/hari. Dengan jalan yang sama seperti
yang ada pada umur 1-3 tahun, maka RDA nya dihitung EAR + 2 CV maka RDA nya adalah
440 ug/hari

135
d) Anak 9-13 tahun

EAR untuk tembaga pada laki laki atau perempuan adalah 540 ug/hari. Dengan jalan yang
sama seperti yang tertera pada umur 1-3 tahun, maka RDA nya dihitung EAR + 2 CV, dengan
demikian RDA nya adalah: 700 ug/hari. Namun karena pembagian kelompok umur yang
tidak sama, maka dilakukan rata rata sehingga hasilnya adalah 570 ug/hari.

e) Remaja 10-18 tahun

Kecukupan tembaga untuk remaja usia 10-12 tahun adalah 700 ug/hari. Karena berada pada
batasan umur 9-13 tahun, maka diambil 700 ug/hari seperti RDA pada IOM.
Kecukupan tembaga ntuk remaja 14-18 tahun adalah 685 ug/hari. Karena kelompok umur 13-
15 tahun berada pada antara kelompok umur diatasnya, maka diambil rata ratanya menjadi
795 ug/hari atau + 800 ug/hari. Sedangkan untuk kelompok umur 16-18 tahun RDA nya
adalah 890 ug/hari.

f) Dewasa 19 keatas

Dengan pendekatan yang sama dengan umur sebelumnya, memperhatikan EAR yaitu 700
ug/hari, maka RDA dengan 2 CV (15%) atau 130% dari EAR, sehingga RDA tembaga
adalah sebagai berikut:

RDA untuk dewasa laki laki adalah: 19-49 tahun = 900 ug/hari, 50-64 tahun = 900 ug/hari
65-80 tahun = 900 ug/hari, >80 tahun = 900 ug/hari

RDA untuk dewasa perempuan adalah: 19-49 tahun = 900 ug/hari, 50-64 tahun = 900 ug/hari
65-80 tahun = 900 ug/hari, >80 tahun = 900 ug/hari

g) Kehamilan dan Menyusui

Selama kehamilan: janin umur penuh (9 bulan) mengandung 13,7 mg tembaga, ditambah
dengan tembaga yang berada di cairan amnion dan jaringan ibu yaitu sebesar 4,6 mg,
sehingga 18 mg tembaga diperlukan untuk janin. Dengan demikian saat hamil diperlukan
tambahan kebutuhan sebesar 67 ug/hari yang berasal dari makanan yang semuanya dapat
diserap. Apabila diet mengandung tembaga dengan bioavailabilitas yang lebih rendah yaitu
sekitar 60-70%, maka kira-kira 100 ug tembaga sehari diperlukan sebagai tambahan selama
kehamilan. Dengan demikian kebutuhan sebelum hamil ditambah dengan 100 ug sehari
menjadi 1000 ug sehari adalah RDA tembaga saat hamil.

Selama menyusui: tembaga yang diserap dalam ASI adalah 200 ug/hari, bila penyerapan
makanan (bioavailabilitas) adalah 65-70 persen, maka koreksi tambahan tembaga menjadi
300 ug/hari harus dikonsumsi dari EAR-nya. EAR ibu menyusui usia 14-18 tahun adalah 985
ug/hari, pada usia 19-50 tahun adalah 1000 ug/hari, sehingga RDA-nya kurang lebih menjadi
1300 ug/hari dari usia 14 tahun sampai dengan 50 tahun.

Tabel 4 menyajikan rekomendasi angka kecukupan tembaga yang ditetapkan oleh


IOM 2006, NRI Australia dan New Zealand, dan WNPG 2012. Rekomendasi angka
kecukupan tembaga pada WNPG 2004 belum ada.

136
Tabel 4. Rekomendasi Angka Kecukupan Tembaga sehari dari IOM2006,
NRI Australia dan New Zealand, dan WNPG 2012

Kelompok umur IOM 2006*) NRI Aus**) AK Cu 2012


(mcg) (mcg) (mcg)
Bayi/Anak
0- 6 bulan 200 200 200
7- 11 bulan 220 220 220
1- 3 tahun 340 700 340
4- 6 tahun 440 1000 440
7- 9 tahun 440 1000 570
Laki-laki
10- 12 tahun 700 1300 700
13- 15 tahun 890 1500 800
16- 18 tahun 890 1500 890
19- 29 tahun 900 1700 900
30- 49 tahun 900 1700 900
65-79 tahun 900 1700 900
80+ tahun 900 900
Perempuan
10- 12 tahun 700 1200 700
13- 15 tahun 890 1200 800
16- 18 tahun 890 1200 890
19- 29 tahun 900 1200 900
30- 49 tahun 900 1200 900
65-79 tahun 900 1200 900
80+ tahun 900 1200 900
Hamil (+an)
Trimester 1 1000 1300 +100
Trimester 2 1000 1300 +100
Trimester 3 1000 1300 +100
Menyusui (+an)
6 bulan pertama 1300 1500 +400
6 bulan kedua 1300 1500 +400
*) berdasarkan EAR =Estimated Average Requirement ;
**) NRI=nutrient reference intake Austraia dan New Zealand

7. Riset yang dibutuhkan pada masa datang

a) Pengaruh tembaga pada profil lemak dan kesehatan jantung merupakan sumbangan dalam
membantu menjelaskan bagaimana asupan tembaga mempengaruhi metabolisme lemak.
b) Pengaruh pemberian tembaga pada keseimbangan seng dan besi, sehingga dapat
dipastikan rasio yang tepat antara tembaga, seng dan besi agar dapat dimanfaatkan tubuh
dengan baik.

E. KROMIUM (Cr)

1. Pendahuluan

Mineral kromium sangat penting untuk menguatkan kerja insulin sehingga


mempengaruhi metabolisme kerja karbohidrat, protein dan lemak. Kadar kromium seseorang
tergantung pada umur, semakin tua semakin menurun, kecuali di paru-paru tempat

137
berakumulasinya kromium. Laporan Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menunjukkan bahwa
orang Indonesia berusia diatas 15 tahun yang mengalami gangguan toleransi terhadap
glukosa berdasarkan pemeriksaan gula darah di kota adalah 10,2 persen sedangkan di
pedesaan adalah 5,7 persen. Bila dibandingkan dengan prevalensi di Kota (Jakarta) pada
tahun 1992 yang dilaporkan sebesar 5,7 persen, maka prevalensi Diabetes Mellitus
mengalami peningkatan menjadi dua kalinya selama kurun waktu 15 tahun. Data dari
beberapa negara di ASEAN berikut menunjukkan besar prevalensi Diabetes Mellitus: Kota
Ho Chi Minh, Vietnam tahun 1992 tercatat 2,5 persen, Malaysia tahun 1997 diperkirakan
lebih dari 8%, di daerah pedesaan Thailand tahun 1995 pada penduduk usia 30-74 tahun
tercatat 11,9% dinyatakan Diebetes Mellitus. Dengan gambaran ini, maka sebelum tahun
2000, Indonesia merupakan negara dengan prevalensi Diabetes Mellitus terbesar setelah
Thailand, Singapore, dan Malaysia.

2. Fungsi

Mineral ini mempunyai fungsi biokimia yang mempengaruhi kemampuan reseptor


insulin berinteraksi dengan insulin. Dengan berbagai percobaan, disimpulkan bahwa kromium
mengatur sintesa molekul yang menguatkan/mengoptimalkan kerja insulin.

3. Sumber

Sumber kromium dalam makanan yang sangat baik adalah daging, minyak sayur,
jamur, kacang-kacangan, padi-padian.

4. Efek Kekurangan dan Kelebihan

Kekurangan kromium dapat menyebabkan terganggunya metabolisme glukosa. Pada


anak yang menderita kekurangan protein dan energi sangat rawan untuk kekurangan
kromium. Kelebihan kromium jarang terjadi. Kelebihan kromium umumnya terjadi di daerah
industri yang konsentrasi kromiumnya tinggi di udara dan kontak dengan kulit sangat sering.

5. Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan

Kromium disebut juga faktor toleran glukosa mempunyai bentuk yang aktif yang
disebut trivalen kromium. Walaupun penyerapan kromium belum banyak diketahui tetapi
penyerapannya melibatkan beberapa proses dan bukan difusi sederhana. Faktor diet yang
mengandung oksalat, tinggi besi dan asupan tinggi karbohidrat sederhana akan menurunkan
bioavalabilitas dari kromium. Adanya vitamin C akan dapat membantu penyerapan kromium.
Fitat dapat menurunkan penyerapan kromium. Namun kromium dapat berinteraksi dengan
besi dengan mempengaruhi keterikatan besi dengan transferin dapat menghambat
metabolisme besi dan simpanannya.
6. Rekomendasi Kecukupan Kromium

Untuk menghitung RDA kromium, AI (adequate intake) pada orang dewasa (19-30
tahun) digunakan karena tidak tersedianya data asupan kromium pada anak anak. AI yang
dipakai sebagai penentuan kecukupan kromium didasarkan pada jumlah total energi yang
diperlukan sesuai dengan kelompok umur. Rata-rata asupan kromium dari diet makanan yang
seimbang didapat 13,4 + 1,1 ug/1000 Kalori pada orang dewasa. Pada usia 1-18 tahun, tidak

138
terdapat data Estimated Average Requirement (EAR) karena itu AI ditetapkan. Namun karena
data asupan kromium juga nihil untuk menetapkan AI, maka perhitungan kecukupannya
diambil dari pendekatan ekstrapolasi dari kelompok dewasa. Pada kelompok dewasa, berat
badan digunakan sebagai faktor ekstrapolasi. Pada usia 19 – lebih dari 70 tahun didapatkan
dari rata rata asupan kromium dari bahan makanan yang dikonsumsi per 1000 Kalori dan rata
rata asupan energi.

Pada kehamilan dibawah usia 19 tahun didapat dari perhitungan ekstrapolasi wanita
muda berdasarkan berat badan, sedangkan pada usia 19 tahun sampai 50 tahun, didapat
dengan perhitungan ekstrapolasi wanita dewasa berdasarkan berat badan.

a) Bayi 0-11 bulan

Pendekatan RDA adalah sesuai dengan kandungan kromium dalam Air Susu Ibu (ASI),
sedangkan pada usia 7-12 bulan, kromium diperkirakan berasal dari ASI yang kandungan
kromium menurun dari Makanan Pendamping ASI (MPASI).
Kecukupan untuk bayi 0-6 bulan, didasarkan pada banyaknya kandungan kromium pada ASI
yaitu sekitar 0,2 ug/ hari. Sedangkan untuk bayi 7-11 bulan, RDA-nya adalah 5,5 ug/hari
yang didapat dari ASI dan MPASI (IOM, 2006).

b) Anak 1-9 tahun

Kecukupan kromium untuk anak umur 1-3 tahun: 11 ug/hari, anak umur 4-6 tahun: 15
ug/hari, dan anak umur 7-9 tahun: 20 ug/hari (merupakan rata-rata karena pembagian umur
tidak sama)
c) Remaja 10-18 tahun

(1) Laki laki


Kecukupan kromium untuk anak laki-laki 10-12 tahun: 25 ug/hari, untuk remaja laki-laki
umur 13-15 tahun: 30 ug/hari (rata-rata), dan untuk remaja laki-lakiumur 16-18 tahun: 35
ug/hari
(2) Perempuan
Kecukupan kromium untuk anak perempuan 10-12 tahun: 21 ug/hari, untuk remaja
perempuan 13-15 tahun: 22,5 ug/hari (rata-rata), dan untuk remaja perempuan 16-18 tahun:
24 ug/hari

d) Dewasa 19- 29 tahun

Bila asupan kromium adalah 13,4 ug untuk setiap 1000 Kalori, maka kebutuhan orang dewasa
laki-laki sebesar 2725 Kalori akan mencapai RDA 36,5 ug/hari dan wanita pada usia yang
sama adalah 2250 Kalori akan menghasilkan + 25 ug/hari . Pada dewasa usia 30-49 tahun,
laki laki RDA energinya adalah 2625 Kalori, sehingga kecukupan kromium adalah 35,2
ug/hari dibulatkan kebawah menjadi 35 ug/hari, sedangkan pada usia yang sama untuk
perempuan adalah 2150 Kalori mempunyai kecukupan sebesar 28,8 ug/hari atau dibulatkan
kebawah menjadi 25 ug/hari.

139
e) Umur 50 tahun keatas

Median asupan energi untuk dewasa tua berusia 50-64 tahun laki laki dan perempuan adalah
2325 Kalori/hari dan 1900 Kalori/ hari. Usia 65-79 tahun laki laki dan perempuan adalah
masing masing 1900 dan 1550 Kalori. Pada usia 80 tahun dan lebih tua mempunyai
kecukupan energi untuk laki-laki sebesar 1525 Kalori dan untuk perempuan adalah 1425
Kalori. Dengan memperhatikan kandungan kromium dari makanan yang seimbang
mengandung 13.4 ug per 1000 Kalori, maka kecukupan kromium untuk usia 50-64 tahun, 65-
79 tahun dan usia 80 tahun ke atas pada laki laki adalah masing masing di rata-rata menjadi
31,2 ug/hari, dibulatkan menjadi 30 ug/hari. Untuk perempuan usia 50-64 tahun, 65-79 tahun
dan usia 80 tahun dan diatas usia 80 tahun, kecukupan kromiumnya menjadi masing masing
di rata-rata, menjadi 20 ug/hari

f) Kehamilan dan Menyusui

Dengan memperkirakan pertambahan berat badan selama kehamilan yaitu sebesar 16 kg


(IOM, 2001) sedangkan di Indonesia rata rata adalah 12 kg (sebelum hamil beratnya antara 46
kg untuk usia 13-15 tahun, 16-18 tahun beratnya 50 kg, dan 19-29 tahun beratnya 54 kg, 30-
50 tahun berat badannya adalah 55 kg) maka dengan ekstrapolasi didapat AKG kromium
masing masing umur adalah sebagai berikut. Untuk ibu hamil umur 13-15 tahun = 28,4
ug/hari (58/46*22,5 ug/hari), umur 16-18 tahun = 29,7 ug/hari (62/50*24 ug/hari), umur 19-
29 tahun = 37,3 ug/hari (66/54*30,5 ug/hari), dan umur 30-49 tahun = 35,1 ug/hari
(67/55*28,8 ug/hari)

Bila dirata-rata, maka ibu hamil memerlukan 34,2 ug/hari. Dengan mengambil nilai paling
tinggi dari wanita sebelum hamil pada rentang umur 13-29 tahun yaitu 30,5 ug, maka
penambahan saat kehamilan menjadi ditambah 3,7 ug/hari atau dibulatkan kebawah agar
mudah diingat menjadi 3,5 ug.

Sedangkan saat menyusui, dibutuhkan kromium untuk mengganti kromium dalam ASI yang
dikeluarkan saat menyusui, yaitu sekitar 0,2 ug/hari. Bila penyerapannya adalah 1%, maka
dibutuhkan tambahan 20 ug/hari harus ada dalam makanan disamping kebutuhan saat tidak
menyusui.

Tabel 5 menyajikan rekomendasi angka kecukupan kromium yang ditetapkan oleh IOM 2006,
NRI Australia dan New Zealand, dan WNPG 2012. Rekomendasi angka kecukupan tembaga
pada WNPG 2004 belum ada.

Tabel 5. Rekomendasi Angka Kecukupan Kromium Sehari dari IOM 2001

140
Kelompok umur NRI Aus* IOM 2006* AK Cr 2012
(mcg) (mcg) (mcg)
Bayi/Anak
0- 6 bulan 0,2 0,2 -
7-11 bulan 5,5 5,5 6
1- 3 tahun 11 11 11
4- 6 tahun 15 15 15
7- 9 tahun 15 15 20
Laki-laki
10- 12 tahun 25 25 25
13- 15 tahun 35 30 30
16- 18 tahun 35 35 35
19- 29 tahun 35 25 35
30- 49 tahun 35 35 35
50- 64 tahun 35 30 30
65- 79 tahun 35 30 30
80+ tahun 35 30 30
Perempuan
10- 12 tahun 21 21 21
13- 15 tahun 24 24 22
16- 18 tahun 25 24 24
19- 29 tahun 25 25 25
30- 49 tahun 25 25 25
50- 64 tahun 25 20 20
65-79 tahun 25 20 20
80+ tahun 25 20 20
Hamil (+an)
Trimester 1 +5 +5 +5
Trimester 2 +5 +5 +5
Trimester 3 +5 +5 +5
Menyusui (+an)
6 bulan pertama +15 +20 +20
6 bulan kedua +15 +20 +20
*berdasarkan Adequate Intake=AI; NRI=nutrient reference intake Australia dan New Zealand

7. Riset yang dibutuhkan pada masa datang

a) Karena makin meningkatnya penderita Diabetes Melitus (DM) maka penelitian tentang
manfaat pemberian kromium pada penderita DM untuk mengaktifkan kerja insulin perlu
dilakukan.
b) Studi mengenai asupan kromium dari pangan orang Indonesia dari berbagai kelompok
umur.
c) Perlu dilakukan analisa kromium pada makanan yang berada di Indonesia, sehingga dapat
diketahui konsumsi kromium dari konsumsi pangan sehari-hari sehingga dapat digunakan
untuk menghitung angka kecukupan mineral umumnya dan kromium khususnya.

141
F. BESI (Fe)

Besi ada di hampir semua bentuk makanan dan minuman serta wadah yang digunakan
baik untuk menyimpan maupun untuk tempat makanan. Dalam bentuk padat, besi sebagai
metal atau senyawa besi. Dalam larutan, besi ada dalam bentu ferro dan bentuk ferri.

Dalam bentuk senyawa dengan protein membentuk hemoglobin sebagai pembawa


oksigen dalam darah. Sekitar 85% besi dalam tubuh ada dalam senyawa dengan protein dan
sekitar 5% ada dalam protein otot juga ada dalam sel. Semua senyawa itu sangat vital untuk
pernafasan sel yaitu ketika oksigen dan karbon dioksida bertukar. Sisanya digunakan dalam
enzim. Besi dapat disimpan sementara dalam suatu bentuk larut protein plasma atau bentuk
tak larut dalam hati.

1. Fungsi
Fungsi besi dalam senyawa besi sebagai hemoglobin, myoglobin, enzim yang
diperlukan dalam fungsi metabolisme. Juga mengangkut dan menyimpan oksigen,
mengangkut elektron mitokondria dan sintesis DNA. Lebih 80% besi ada dalam hemoglobin.
Simpanan besi ada di hati, sumsum tulang yaitu sebagai ferritin dan hemosiderin. Jumlah besi
dalam tubuh bervariasi dari 0 – 1000 mg dimana jumlah pada wanita lebih rendah dari pria
(IOM 2001).
2. Sumber
Daging, jeroan, ikan dan unggas mengandung tinggi besi heme. Sumber besi non-heme
adalah dari nabati kedele, kacangan, sayuran daun hijau dan rumput laut. Besi dari sumber
nabati (non-heme) bioavailabilitasnya lebih rendah dibanding heme yang terdapat dalam besi
dari sumber hewani (Gibson 1999, Gibson 2000).

3. Efek Kekurangan dan Kelebihan


Kekurangan besi menyebabkan anemia gizi besi yang ditandai dengan kulit pucat,
lemah/letih, dan nafasnya pendek akibat kekurangan oksigen. Namun demikian, tidak semua
anemia bereaksi terhadap tambahan asupan besi baik dalam bentuk tablet maupun dari
makanan. Anemia menurunkan kinerja fisik, hambatan perkembangan dan menurunkan
kognitif. Selain itu juga dapat menurunkan daya tahan tubuh (IOM 2001).
Kelebihan besi dapat menjadi fatal pada penderita Parkinson, hemosiderosis dan
talasemia. Suplemen besi yang berlebihan ditambah dengan rendahnya asupan protein dari
makanan dapat menyebabkan kelebihan besi. Gejala dari kelebihan besi, umumnya pada
orang tua, menyebabkan kulit menjadi keputihan, penyimpanan besi pada hati, jantung,
pankreas dan paru-paru, pening, penurunan berat badan dan kelelahan.

142
4. Faktor yang mempengaruhi Kebutuhan
Faktor yang mempengaruhi kebutuhan besi adalah: keasaman lambung dan
bioavailabilitas termasuk pemacu dan penghambat penyerapan besi nonheme.
a) Keasaman lambung
Menurunnya keasaman lambung karena berbagai sebab, misalnya: konsumsi antasida
berlebihan, dapat menghambat penyerapan besi.
b) Bioavailabilitas
Vitamin C dan asam organik lain merupakan pemacu penyerapan besi nonheme. Sedangkan
fitat, polyfenol, protein nabati dan kalsium merupakan penghambat penyerapan besi nonheme
(IOM 2001).
Besi yang berasal dari sumber hewani (heme) dapat diserap (30%) lebih baik dibanding
yang berasal dari sumber nabati (5%). Sumber heme (ikan, ayam dan daging) sendiri
mengandung non heme (60%) dan heme (40%). Konsumsi heme mempunyai keuntungan
ganda, yakni selain besinya mudah diserap (23%) dibanding besi dari non heme (2-20%),
heme juga membantu penyerapan non heme. Adanya asam fitat, asam oksalat dan serat
berpengaruh negatif terhadap penyerapan besi. Sedangkan vitamin C akan meningkatkan
penyerapan besi. Perhitungan perkiraan penyerapan besi dapat didasarkan pola konsumsi
makanan yaitu : i) penyerapan besi tinggi (15%), ii) penyerapan besi sedang (10%) dan iii)
penyerapan besi rendah (5%). Pada menu makanan yang porsi sumber hewaninya besar maka
penyerapan besi menjadi maksimal. Sebaliknya menu makanan yang sebagian besar terdiri
dari sumber nabati, penyerapan besi menjadi minimal (Gibson 1999, MacPhail 2000, IOM
2001).
Penyerapan besi akan menurun bila konsumsi vitamin C nya rendah dan makanan
sumber fitat tinggi. Jenis besi (heme dan non heme) akan sangat berpengaruh menyerapan
besi dan interaksinya dengan mineral lain khususnya seng. Selain itu, status besi juga akan
mempengaruhi penyerapan besi seseorang. Tabel 6 memperlihatkan perkiraan penyerapan
besi dari sumber non heme dengan memperhatikan konsumsi besi dari hewani dan vitamin C
nya.
Tabel 6. Bioavailabilitas Sumber Besi Non Heme pada Non-Anemia dengan Konsumsi Daging, Ikan dan
Unggas dan Asam Askorbat

Asam Askorbat Protein dari Unggas, Ikan/Hasil Laut dan Daging (g/100 Kcal)
(mg/1000 Kcal) <9 9-27 >27
<35 5% 10% 15%
35-105 10% 15% 15%
>105 15% 15% 15%
Catatan: untuk penderita anemia (kekurangan besi) ditambah 50%.
Sumber : Gibson, Rosalind dan Ferguson E. 1999

143
5. Rekomendasi Kecukupan Besi

Penetapan kecukupan besi untuk bayi 0 – 6 bulan adalah didasarkan pada AI. AI bayi
0-6 bulan ditetapkan berdasarkan suplai besi dari bayi ASI eksklusif. Rata-rata kadar besi
dalam ASI 0-6 bulan adalah 0,35 mg/L. Kadar besi dalam susu sapi bervariasi antara 0,2 –
0,3 mg/L.

Penetapan kecukupan besi mulai bayi umur 7 bulan berdasarkan RDA. FAO/WHO
maupun IOM menetapkan kecukupan besi dengan model perhitungan, yaitu kebutuhan besi
disajikan sebagai angka median karena distribusi kurvanya tidak normal. Demikian sehingga
EAR adalah median kebutuhan besi yang meliputi: kehilangan basal, penambahan massa
hemoglobin, besi jaringan dan besi simpanan. Komponen untuk wanita ditambah kehilangan
besi karena menstruasi. RDA ditetapkan pada tingkat 97,5%. Asumsi untuk tingkat
penyerapan besi ditetapkan 8,5% karena menu makanan di Indonesia umumnya mengandung
tinggi zat yang menghambat penyerapan besi. Tingkat penyerapan besi 8,5% juga digunakan
untuk menetapkan kecukupan besi dalam FNRI. Sedangkan untuk wanita hamil, karena lebih
efisien, maka menggunakan tingkat penyerapan 12%.

a) Bayi 0-11 bulan


AI besi untuk bayi 0-6 bulan didasarkan pada asupan besi dari ASI sekitar 750 ml sehari yaitu
0.27 mg/hari.
Kecukupan besi untuk bayi 7 –12 bulan didasarkan pada EAR 7,2 mg/hari. Karena pada
umur ini umumnya masih mendapat ASI maka tingkat penyerapan digunakan 10%.
Demikian maka kecukupan besi bayi 7-12 bulan ditetapkan 10,0 mg/hari.

b)Anak 1-3 tahun


Untuk anak 1 – 3 tahun, didasarkan pada median kebutuhan besi 4,6 mg/hari untuk mencakup
97.5% dan penyerapan 8,5% maka kecukupan besi adalah 7.0 mg/hari.

c) Anak 4-6 tahun


Untuk anak umur 4 – 6 tahun, median kebutuhan besi adalah 5,0 mg sehari maka diperoleh
kecukupan besi 8,0 mg/hari.

d) Anak 7-9 tahun


Untuk kelompok umur 7 – 9 tahun, dihitung dengan berdasarkan EAR 7,1 mg/hari sehingga
diperoleh angka kecukupan besi 10,0 mg sehari.

e) Remaja 10-12 tahun


Untuk remaja pria 10-12 tahun, kecukupan besi adalah 13 mg/hari berdasarkan median
kebutuhan besi 11,7 mg/hari. Sedangkan kecukupan besi untuk remaja wanita ditetapkan 14
mg/hari berdasarkan EAR 12,0 mg/hari.

f) Remaja 13-15 tahun


Kecukupan besi pria 13-15 tahun, didasarkan pada EAR 15,0 mg/hari, adalah 19 mg/hari.
Sedangkan kecukupan besi pada wanita 13 – 15 tahun, didasarkan pada EAR 14,4 mg/hari,
adalah 26 mg/hari.

144
g) Remaja 16-18 tahun
Kecukupan besi untuk pria umur 16 – 18 tahun, perhitungan didasarkan pada EAR 10,5
mg/hari, adalah 13 mg/hari. Sedangkan untuk wanita 16 – 18 tahun, perhitungan didasarkan
pada EAR 16.2 mg/hari sehingga diperoleh angka kecukupan besi 26,0 mg/hari. Tingkat
penyerapan besi pada kelompok ini dianggap lebih efisien sehingga digunakan 10%.

h) Dewasa 19 tahun keatas


Untuk kelompok pria diatas 18 tahun, kecukupan besi adalah 13 mg/hari yang didasarkan
pada EAR 10,5 mg/hari. Sementara pada kelompok wanita diatas 18 tahun, kecukupan besi
adalah 26 mg/hari yang didasarkan pada EAR 14,6 dan tingkat penyerapan 10%. Untuk
wanita menopause, karena tidak ada lagi kehilangan besi akibat menstruasi sehingga
kecukupan besi adalah 12 mg/hari.

Model perhitungan kecukupan besi untuk laki-laki (anak, remaja dan dewasa) ditunjukkan
pada Tabel 7. Model perhitungan kecukupan besi untuk laki-laki (anak, remaja dan dewasa)
ditunjukkan pada Tabel 8.

i) Kehamilan
Karena kebutuhan besi selama masa kehamilan sangat tinggi, FAO/WHO menganjurkan agar
wanita hamil, khususnya trimester 2 dan 3, mendapatkan tambahan (pil) besi dengan dosis
100 mg/hari. Selama masa kehamilan (280 hari) terjadi kehilangan besi basal 250 mg,
kebutuhan janin dan plasenta 315 mg dan kebutuhan untuk meningkatkan massa hemoglobin
(termasuk simpanan) 500 mg atau total sekitar 1.1 gram. Pada trimester 1, belum ada
kebutuhan yang meningkat drastis sehingga kecukupan besi pada trimester 1 sama dengan
kecukupan pada wanita dewasa yang masih menstruasi yaitu 26 mg/hari. Pada saat
melahirkan ada kehilangan besi sekitar 250 mg sehingga sebanyak 250 mg masih tersimpan.
Jika ditambah kebutuhan untuk janin dan plasenta 315 mg maka diperlukan besi sekitar 550
mg. Jumlah ini harus dipenuhi selama trimester 2 dan 3 (192 hari) maka diperlukan tambahan
besi rata-rata 2,9 mg/hari atau 2,7 mg/hari selama trimester 2 dan 3,1 mg/hari selama
trimester 3. Median kehilangan besi basal adalah 0,8 mg/hari (55 kg x 0,014 mg/kg/hari).
Dengan tingkat penyerapan 10%, maka EAR trimester 2 adalah 35 mg/hari dan EAR trimester
3 adalah 39 mg/hari. Demikian maka RDA trimester 2 adalah 42 mg/hari dan trimester 3
adalah 47 mg/hari. Tingkat penyerapan besi selama masa kehamilan sangat efisien (ditetapkan
12%) sehingga RDA yang telah disesuaikan adalah 35 mg/hari untuk trimester 2 dan 39
mg/hari.

j) Menyusui
Masa menyusui, minimal 3 bulan pertama tidak ada kehilangan besi akibat menstruasi dan
setelah 6 bulan dipastikan sudah mendapatkan menstruasi lagi. Kecukupan besi selama masa
menyusui pada 6 bulan pertama walaupun tidak ada kehilangan besi akibat menstruasi tetapi
ada kebutuhan untuk mempertahankan kualitas besi ASI. Oleh sebab itu, kecukupan besinya
adalah 26 mg/hari. Sedangkan pada 6 bulan kedua menyusui, sudah kembali ke siklus wanita
normal dan ada kebutuhan besi untuk ASI walaupun intensitas menyusui sudah menurun.
Oleh sebab itu, kecukupan besinya adalah 27 mg/hari.
Model perhitungan kecukupan besi untuk selama kehamilan/menyusui ditunjukkan pada
Tabel 9.

Tabel 10 menyajikan AKG besi yang ditetapkan oleh WNPG 1998, FNRI 2002, IOM 2001
dan FAO/WHO 2001. AKG besi WNPG lebih rendah dari FNRI.

145
Tabel 7. Model Perhitungan Kecukupan Besi Sehari untuk Anak, Remaja dan Dewasa Laki-laki

Kelompok Umur Kebutuhan Besi (mg/hari)


EAR RDA RDA adjusted
Bioavailabilitas Berat badan
8.5%
Anak
7 – 11 bulan 7,2 9,3 9,3 *) 10
1 – 3 tahun 4,6 5,8 7,0 7
4 – 6 tahun 5,0 6,3 7,5 8
7 – 9 tahun 7,1 8,8 10,3 10
Remaja dan Dewasa Pria
10 – 12 tahun 11,7 14,6 17,2 13
13 – 15 tahun 15,0 18,8 22,1 19
16 – 18 tahun 10,5 13,7 16,1 13
Dewasa 10,5 13,7 16,1 13
Sumber: FAO/WHO, 2001 (dimodifikasi bioavailabilitas 10%)
Catatan: Kebutuhan terdiri dari: kehilangan basal, besi hemoglobin, jaringan dan simpanan
*)
Bioavailabilitas 10% karena masih mendapat ASI

Tabel 8. Model Perhitungan Kecukupan Besi Sehari untuk Remaja dan Dewasa Perempuan

Kelompok Umur Kebutuhan Besi (mg)


EAR RDA RDA adjusted
Bioavailabilitas 8.5% Berat badan
Remaja & Dewasa Wanita
10 – 12 tahun 12,0 14,0 16,5 14
13 – 15 tahun 14,4 23,3 27,4 26
16 – 18 tahun 16,2 31,0 31,0 *) 26
Dewasa Menstruasi 14,6 29,4 29,4 *) 26
Menopause 8,7 11,3 13,0 12
Sumber: FAO/WHO, 2001 (dimodifikasi bioavailabilitas 10%)
Catatan: Kebutuhan adalah: kehilangan basal, besi hemoglobin, jaringan, simpanan dan menstruasi
*)
Bioavailabilitas 10% karena penyerapan besi lebih efisien

Tabel 9. Model perhitungan kecukupan besi sehari untuk selama hamil/menyusui

Wanita Hamil/Menyusui Kebutuhan Besi (mg/hari)


EAR RDA Bioavailabilitas 12% *)
Trimester 2 35 42 35
Trimester 3 39 47 39
Menyusui 32 38 32
Sumber: FAO/WHO, 2001 (dimodifikasi bioavailabilitas 10%)
Catatan: Kebutuhan adalah: kehilangan basal, besi hemoglobin, jaringan, simpanan dan menstruasi
*)
Bioavailabilitas 12% karena penyerapan besi lebih efisien

146
Tabel 10. Rekomendasi Angka Kecukupan Besi sehari dari FNRI 2002, IOM 2001 dan FAO/WHO 2001,
WNPG 2004 dan WNPG 2012

Kelompok FNRI IOM 2001 *) FAO/WHO 2001 **) WNPG AK Fe 2012


umur 2002 (mg) UL (mg) 2004§) (mg)
(mg) RDA/AI UL 15% 12% 10% 5% (mg)
Bayi/Anak
***) ***) ***) ***)
0- 6 bulan 0.38 0.27 40 0.5 -
+) +) +)
7- 11 bulan 10 11 40 6 8 9 19+) 7 7
1- 3 tahun 8 7 (1-3) 40 4 5 6 13 8 8
4- 6 tahun 9 10 (4-8) 40 4 5 6 13 9 9
7- 9 tahun 11 6 7 9 18 10 10
Laki-laki
10- 12 tahun 13 8 (9-13) 40 10 (10-14) 12 15 29 13 13
13- 15 tahun 20 11 (14-18) 45 12 (15-18) 16 19 38 19 19
16- 18 tahun 14 (16-18) 8 (19-30) 45 9 (19-65) 11 14 27 15 15
19- 29 tahun 12 (19-29) 8 (31-50) 45 9 (65+) 11 14 27 13 13
30- 49 tahun 12 (30-49) 8 (50-70) 45 13 13
50- 64 tahun 12 (50-64) 8 (>70) 45 13 13
65- 79 tahun 12 (65+) 13 13
80+ tahun 13 13
Perempuan
10- 12 tahun 19 8 (9-13) 40 9 (10-14)++) 12 14 28 20 20
22 (10-14)
28 33 65
13- 15 tahun 21 15 (14-18) 45 21 (15-18) 26 31 62 26 26
16- 18 tahun 27 (16-18) 18 (19-30) 45 20 (19-50) 24 29 59 26 26
pre
menopause
20- 29 tahun 27 (19-29) 18 (31-50) 45 8 (51-65) 9 11 23 26 26
Menopause
30- 49 tahun 27 (30-49) 8 (50-70) 45 8 (65+) 9 11 23 26 26
50- 64 tahun 27 (50-64) 8 (>70) 45 12 12
65- 79 tahun 12 12
80+ tahun 12 12
Hamil (+an) 10 (65+)
Trimester 1 27 (tr 1) 27 (<18) 45 @ @ @ @ +0 +0
Trimester 2 34 (tr 2) 27 (19-30) 45 @ @ @ @ +9 +9
Trimester 3 38 (tr 3) 27 (31-50) 45 @ @ @ @ +13 +13
Menyusui (+an)
6 bulan pertama 27 (0-6 bl) 10 (<18) 45 32 (0-3 bl) 40 48 95 +6 +6
6 bulan kedua 30 (7-12 bl) 9 (19-30) 45 32 (4-6 bl) 40 48 95 +8 +8
9 (31-50) 45 32 (7-12 bl) 40 48 95
Catatan:
WNPG=Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (Indonesia), FNRI=Food and Nutrition Research Institute
(Filipina), IOM=Institute of Medicine (Amerika Serikat), FAO/WHO=Food and Agriculture Organization/World
Health Organization
*)
RDA berasumsi 75% besi adalah dari sumber besi heme. Buah, sayuran dan makanan yang difortifikasi besi
adalah sumber besi non-heme, daging dan unggas adalah sumber besi heme.
**)
Penyerapan besi dapat ditingkatkan jika makanannya mengandung minimum 25 mg vitamin C. Ini terutama
jika makanannya mengandung penghambat penyerapan besi seperti fitat dan tannin
***)
Simpanan besi neonatal cukup untuk 6 bulan pertama pada bayi lahir berat normal. Bayi premature dan bayi
lahir berat rendah membutuhkan tambahan besi
+)
Bio-availability periode ini sangat bervariasi
@ Dianjurkan mendapat suplemen tablet besi. Ibu hamil non-anemia 100 mg besi/hari setelah umur kehamilan 3
bulan cukup. Ibu hamil anemia dosisnya dapat lebih tinggi
Angka di dalam tanda kurung adalah kelompok umur
§)
Kartono D dan Moesijanti 2004

147
G. IODIUM (I)

Iodium adalah mineral penting untuk sistem reproduksi disamping untuk produksi
hormon tiroid yaitu hormon yang dibutuhkan untuk perkembangan dan pertumbuhan saraf
otot pusat, pertumbuhan tulang, perkembangan fungsi otak dan sebagian besar metabolisme
sel tubuh kecuali sel otak. Iodium juga dibutuhkan untuk sel darah merah dan pernafasan sel
serta menjaga keseimbangan metabolisme tubuh.

Tubuh yang sehat mengandung 15-20 mg iodium, yaitu 70-80% ada di kelenjar
gondok dalam bentuk thyroglobulin. Sisanya di kelenjar air liur, kelenjar lambung, jaringan
dan sebagian kecil beredar di seluruh tubuh.

Berdasarkan bukti baru dan pelajaran dalam dekade terakhir, tampak bahwa kelompok
yang paling rentan - wanita hamil dan menyusui, dan anak-anak kurang dari dua tahun -
mungkin tidak cukup ditutupi oleh garam beryodium yang USI tidak sepenuhnya
dilaksanakan. Situasi ini dapat membahayakan perkembangan otak yang optimal bagi janin
dan anak.

Aktifitas tiroid mengalami serangkaian metabolisme perubahan selama kehamilan dan


menyusui. Salah satu faktor yang terlibat dalam perubahan adalah kebutuhan peningkatan
iodium pada ibu karena transfer tiroksin (T4) dan iodida dari ibu ke janin selama kehamilan
dan hilangnya iodida dalam ASI selama masa menyusui. Kedua proses yang diperlukan untuk
memastikan perkembangan otak normal dan pencegahan keterbelakangan mental di
keturunannya.

1. Fungsi
Iodium merupakan bahan penting dari hormon tiroid: tiroksin dan triiodotironin.
Hormon itu diperlukan untuk pengaturan suhu tubuh, sintesa protein, reproduksi,
pertumbuhan dan perkembangan serta fungsi neuromuskular.
2. Sumber
Umumnya bahan makanan sumber hewani seperti ikan dan kerang mengandung tinggi
iodium. Bahan makanan sumber nabati yang mengandung tinggi iodium adalah rumput laut.
3. Efek Kekurangan dan Kelebihan
Kekurangan iodium pada usia sangat dini berdampak pada terhambatnya pertumbuhan
dan perkembangan terutama otak. Kekurangan iodium juga dapat menyebabkan tekanan
darah rendah dan gerakan menjadi lamban. Tanda yang umum diketahui dari kekurangan
iodium adalah gondok.
Kelebihan iodium meningkatkan risiko iodine induced hyperthyroidism. Juga dapat
menyebabkan tirotoksikosis terutama pada orang yang kekurangan iodium kemudian
mendapatkan asupan iodium tinggi (FAO/WHO/IAEA 1996, IOM 2001).

148
4. Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan
Faktor ang mempengaruhi kebutuhan iodium adalah bioavailabilitas, zat goitrogenik dan
faktor lain.
a) Bioavailabilitas
Bioavailabilitas iodium lebih dari 90%. Jika tiroksin diberikan secara oral,
bioavailabilitasnya mencapai 75%.
b) Zat goitrogenik
Beberapa bahan makanan mengandung goitrogenik yaitu zat yang menghambat produksi
ataupun penggunaan hormon tiroid. Contohnya: singkong yang mengandung tiosianat yang
mencegah pemanfaatan iodium. Keberadaan zat goitrogenik akan menjadi nyata jika terjadi
kekurangan iodium. Kekurangan vitamin A, selenium ataupun besi akan memperparah
pengaruh kekurangan iodium (Thomson 2000, IOM 2001).
c) Faktor lain
Bahan yang mengandung tinggi iodium dapat mengganggu fungsi tiroid. Ini termasuk obat
tertentu, pewarna makanan, pembersih kulit dan gigi.

5. Rekomendasi Kecukupan Iodium

Penetapan kecukupan iodium untuk bayi 0 – 12 bulan adalah didasarkan pada AI.
Sedangkan mulai umur 1 tahun ditetapkan berdasarkan pada RDA. Asupan iodium untuk
bayi 0-6 bulan didasarkan pada asupan iodium dari ASI sedangkan umur 7-12 bulan selain
dari ASI juga dari makanan pendamping ASI. Kadar iodium dalam ASI dipengaruhi oleh
asupan iodium ibu selama menyusui.

a) Bayi 0-11 bulan


Bayi pada umur 0-12 bulan yang lahir cukup bulan, berdasarkan FAO/WHO, rata-rata
kebutuhan iodium 15 g/kg sehari. Jika berat badan 6 kg, maka pengeluaran menjadi 90
g/hari. Oleh sebab itu, asupan 90 g/hari adalah kecukupan iodium untuk bayi 0-12 bulan.
Untuk bayi yang lahir dengan berat rendah diperlukan iodium lebih yaitu sekitar 150 g/hari.

b) Anak 1-3 tahun


Untuk anak 1 – 3 tahun, berdasarkan kebutuhan iodium 6 g per kg berat badan per hari
dengan berat badan 13 kg, maka kecukupan iodium 72 g/hari.

c) Anak 4-6 tahun


Untuk anak umur 4 – 6 tahun, dengan kebutuhan iodium 6 g/kg/hari dan berat badan 19 kg,
kecukupan iodium adalah 78 g sehari.

d) Anak 7-9 tahun


Untuk umur 7-9 tahun, dengan berat badan 27 kg dan tingkat kebutuhan iodium 4 g/kg/hari,
maka kecukupan iodium untuk kelompok umur ini adalah 108 g/hari.

149
e) Remaja 10-12 tahun
Untuk laki-laki dan perempuan umur 10 – 12 tahun, kebutuhan iodium 4 g/kg sehari dan
berat badan 34 kg dan 36 kg, kecukupan iodium adalah 120 g/hari .

e) Umur 12 tahun keatas


Untuk kelompok umur diatas 12 tahun, kebutuhan iodium dihitung 2 g/kg/hari, maka
kecukupan iodium untuk pria maupun wanita adalah 136 g/hari dan 144 ug/hari.

f) Kehamilan dan Menyusui


Selama masa kehamilan perlu penambahan 70 µg sehari dari kecukupan sedangkan selama
masa menyusui perlu penambahan 100 µg sehari.

Tabel 11 menyajikan AKG iodium yang ditetapkan oleh FNRI 2002, IOM 2001, FAO/WHO
2001, WNPG 2004 dan WNPG 2012.

150
Tabel 11. Rekomendasi Angka Kecukupan Iodium sehari dari FNRI 2002, IOM 2001, FAO/WHO 2001,
WNPG 2004 dan WNPG 2012

Kelompok FNRI 2002 IOM 2001 *) (mcg) FAO/WHO 2001 **) WNPG 2004§) AK I 2012
umur (mcg) RDA/AI UL (mcg) (mcg) (mcg)
Bayi/Anak
0-6 bulan 90 110 - 30 (g/kg/hr) prematur 90 90
15 (g/kg/hr)
7-11 bulan 90 130 - 90+) 120 120
1-3 tahun 90 90 (1-3) 200 75 120 120
4-6 tahun 120 90 (4-8) 200 110 120 120
7-9 tahun 120 100 120 120
Laki-laki
10-12 tahun 120 120 (9-13) 600 135 (10-11), 110 120 120
13-15 tahun 150 150 (14-18) 900 130(12+)
(19-65) 150 150
16-18 tahun 150 (16-18) 150 (19-30) 1100 150 150
19-29 tahun 150 (19-29) 150 (31-50) 1100 150 150
30-49 tahun 150 (30-49) 150 (50-70) 1100 150 150
50-64 tahun 150 (50-64) 150 (>70) 1100 150 150
65-79 tahun 150 (65+) 130 (65+) 150 150
80+ tahun 150 150
Perempuan
10-12 tahun 120 120 (9-13) 600 140 (10-11)‟ 100 120 120
13-15 tahun 150 150 (14-18) 900 (12+) pre-
150+) (19-50) 150 150
16-18 tahun 150 (16-18) 150 (19-30) 1100 menopause
110 (51-65) 150 150
19-29 tahun 150 (19-29) 150 (31-50) 1100 menopause
110 (65+) 150 150
30-49 tahun 150 (30-49) 150 (50-70) 1100 150 150
50-64 tahun 150 (50-64) 150 (>70) 1100 150 150
65-79 tahun 150 (65+) 150 150
80+ tahun 150 150
Hamil (+an)
Trimester 1 200 (tr 1) 220 (<18) 900 250 (tr 1)+) +50 +70
Trimester 2 200 (tr 2) 220 (19-30) 1100 250 (tr 2) +) +50 +70
Trimester 3 200 (tr 3) 220 (31-50) 1100 250 (tr 3) +) +50 +70
Menyusui (+an)
(+an)
6 bln pertama 200 (0-6 bl) 290 (<18) 900 250 (0-3 bl) +) +50 +100
6 bln kedua 200 (7-12 290 (19-30) 1100 250 (4-6 bl) +) +50 +100
bl) 290 (31-50) 1100 250 (7-12 bl) +)
Catatan:
WNPG=Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (Indonesia), FNRI=Food and Nutrition Research Institute (Filipina),
IOM=Institute of Medicine (Amerika Serikat), FAO/WHO=Food and Agriculture Organization/World Health Organization
*) Recommended Dietary Allowance (RDA) dengan angka tebal, Adequate Intakes (AI) dengan angka biasa, UL= Tolerable
Upper Intake Level
**) Diungkapkan dalam per kg berat badan: bayi prematur: 30 g/kg/hr, bayi 0-12 bl: 19 g/kg/hr, anak 1-6 th: 6 g/kg/hr,
nak 7-11 th: 4 g/kg/hr, remaja dan dewasa 12+ th: 2 g/kg/hr, ibu hamil/menyusui 3.5 g/kg/hr. Angka di dalam tanda
kurung adalah kelompok umur
§)
Kartono D dan Mosesijanti 2004

151
H. SENG (Zn)

Seng adalah mineral mikro esensial baik pada manusia, hewan maupun tanaman.
Dalam tubuh, tersebar pada lebih dari 200 enzim metal yang bertanggung jawab pada
berbagai proses metabolisme. Seng merupakan unsur vital untuk sintesa DNA dan RNA.
Mineral ini diperlukan dalam pembentukan jaringan mata sehingga dapat tetap melihat di
kegelapan, pembentukan sel darah putih dalam sistem kekebalan tubuh, fungsi lambung,
kesehatan kulit, pertumbuhan dan fungsi sistem reproduksi, pertumbuhan janin dan sistem
pusat saraf. Seng juga membantu dalam aktifitas fungsi kekebalan tubuh.

Total seng dalam tubuh adalah sekitar 2 gram yang dapat ditemukan pada jaringan
seperti pankreas, hati, ginjal, paru, otot, tulang, mata, kelenjar endokrin dan sperma akan
tetapi jumlah terbesar seng tubuh ditemukan pada otot dan tulang (60%). Koroid mata dan
kelenjar prostat adalah jaringan tubuh dengan konsentrasi seng terbesar.

1. Fungsi
Seng mempunyai berbagai peran sebagai komponen dalam banyak enzim. Juga dalam
sintesa protein, metabolisme hidrat arang dan energi serta asam nukleat. Dengan demikian
seng esensial untuk pertumbuhan, pematangan seks, fungsi kognitif dan imun serta
reproduksi.
2. Sumber
Ikan terutama kerang dan daging mengandung tinggi seng. Dari tumbuhan, serealia
merupakan sumber seng. Seng dari sumber nabati umumnya rendah dibanding sumber hewani
(Hotz 2004).
3. Efek Kekurangan dan Kelebihan
Kekurangan seng menyebabkan kekurangan tembaga, hambatan pertumbuhan,
hambatan perkembangan dan pertumbuhan alat seks serta fisik, anemia, kurang nafsu makan,
rendah daya tahan terhadap infeksi.
Kelebihan seng menyebabkan gejala yang mirip dengan kekurangan seng yaitu
menurunnya status tembaga, anemia dan imunitas. Seng yang berlebihan juga dapat
menyebabkan gangguan saraf dan kelemahan otot (Gibson 2000).

4. Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan


Faktor yang mempengaruhi kebutuhan seng adalah: bioavailabilitas, keberadaan zat gizi
lain, komponen makanan lainnya.
a) Bioavailabilitas
Keadaan saluran pencernakan mempengaruhi efisiensi penyerapan seng. Pengaruh ini terjadi
melalui 2 (dua) proses pengaturan yaitu penyerapan eksogenus seng dan penyerapan kembali
endogenus seng. Bioavailabilitas yang rendah seng yang diserap adalah 15%; yang moderate
adalah 30-35 %; dan yang tinggi penyerapan seng berkisar antara 50-55%. Seperti juga pada
besi, penyerapan seng didasarkan pada sumber pangan yang dikonsumsi. Makanan yang

152
mengandung rendah serat serealia, rendah fitat, ratio fitat: seng <5, proteinnya cukup dalam
jumlah dan berasal dari hewani mempunyai bioavailabilitas seng yang tinggi (absorpsi seng
sekitar 50-55%). Bila makanan bercampur dengan protein dari ternak atau ikan, termasuk
dalam mengkonsumsi laktoovovegetarian, ovovegetarian, atau vegan, fitat : seng berada pada
kisaran 5-15 maka perkiraan penyerapan seng adalah menengah (absorpsi seng sekitar 30-
35%). Penyerapan seng menjadi rendah (15%) biola konsumsi serealia besar dan konsumsi
protein hewani sangat sedikit dan konsumsi protein dari tumbuhan yang banyak mengandung
fitat cukup besar, perbandingan fitat : seng adalah diatas 15, dan konsumsi garam kalsium
inorganik yang tinggi (Gibson 2000, FAO/WHO 2001).
b) Interaksi zat gizi
Adanya besi menurunkan penyerapan seng. Kalsium dan fosfor juga menghambat
penyerapan seng. Ada indikasi bahwa tembaga juga mempunyai pengauh negatif terhadap
penyerapan seng. Sebaliknya penyerapan folate menjadi kurang efisien jika asupan seng
rendah. Zat yang menghambat penyerapan seng adalah fitat terutama dalam bentuk inositol
hexaposphat, serat dapat menghambat penyerapan seng. Kalsium juga dapat menyebabkan
terganggunya penyerapan seng. Bersama sama dengan fitat, kalsium akan dapat lebih
menghambat penyerapan seng. Perbandingan antara hasil perkalian kalsium dan fitat dibagi
seng (Ca X fitat/Zn) dari makanan yang melebihi 150 mmol/1000 kilo kalori akan
menurunkan jumlah seng yang diserap hingga 25% (IOM 2001). Zat yang kemungkinan
dapat membantu penyerapan seng adalah konsumsi protein daging terutama karena adanya
kandungan histidinnya; asam sitrat; asam malat, asam tartarat dan asam laktat.
5. Rekomendasi Kecukupan Seng

Penetapan kecukupan seng untuk bayi 0–6 bulan adalah didasarkan pada AI.
Sedangkan mulai bayi umur 7 bulan ditetapkan berdasarkan RDA. AI ditetapkan berdasarkan
suplai seng pada bayi yang mendapatkan ASI eksklusif. Kadar seng dalam ASI menurun dari
4 mg/L pada minggu ke-2 menyusui menjadi 1,2 mg/L pada bulan ke-6. Asupan seng dari
ASI adalah sekitar 2.3 mg/hari pada minggu ke-2 dan menjadi hanya sekitar 1 mg/hari pada
bulan ke-3. Penetapan kecukupan seng untuk umur 7 bulan keatas didasarkan EAR dengan
koefisien variasi 25% sesuai rekomendasi FAO/WHO atau RDA= EAR x 1.5 dan dengan
bioavailabilitas sedang yaitu 30%.

a) Bayi 0-11 bulan


AI seng untuk bayi 0-6 bulan, didasarkan pada perkiraan ekskresi seng dalam ASI yaitu 1.4
mg/hari. Kecukupan seng untuk bayi 7 –12 bulan dengan berat badan 8 kg, didasarkan pada
kebutuhan rata-rata normatif individu untuk seng 0,31 mg/kg/hari maka kecukupan seng
untuk bayi 7 – 11 bulan ditetapkan 4 mg/hari.

b) Anak 1-3 tahun


Untuk anak 1 – 3 tahun, didasarkan pada kebutuhan rata-rata normatif 0,23 mg/kg/hari dan
berat badan 13 kg, kecukupan seng adalah 4 mg/hari.

c) Anak 4-6 tahun


Untuk anak umur 4 – 6 tahun, didasarkan kebutuhan 0,19 mg/kg/hari dan berat badan 19 kg
sehingga kecukupan seng adalah 5 mg/hari.

153
d) Anak 7-9 tahun
Untuk umur 7-9 tahun, didasarkan kebutuhan 0,15 mg/kg/hari dan berat badan 27 kg sehingga
kecukupan seng 11 mg/hari.

e) Remaja 10-12 tahun


Untuk pria umur 10 – 12 tahun, dengan kebutuhan seng 0,13 mg/kg/hari dan berat badan 34
kg maka kecukupan seng, dengan memperhatikan penyerapannya, adalah 14 mg/hari.
Sedangkan untuk wanita 10-12 tahun kebutuhan seng 0,11 mg/kg/hari dengan berat badan 36
kg maka kecukupan seng, dengan memperhatikan penyerapannya adalah 13 mg/hari.

f) Remaja 13-15 tahun


Untuk pria remaja 13-15 tahun, kebutuhan seng 0,11 mg/kg/hari dan berat badan 46 kg, maka
kecukupan seng adalah 18 mg/hari sedangkan untuk wanita dengan kebutuhan 0,12
mg/kg/hari dan berat badan 46 kg, maka kecukupan seng, dengan memperhatikan
penyerapannya adalah 16 mg/hari.

g) Remaja 16-18 tahun


Kecukupan seng pada pria 16-18 tahun, didasarkan pada kebutuhan 0,10 mg/kg/hari dan berat
badan 56 kg, adalah 18 mg/hari sedangkan pada wanita, didasarkan kebutuhan seng 0,09
mg/kg/hari dan berat badan 50 kg, adalah 14 mg/hari.

h) Dewasa 19-29 tahun


Kecukupan seng untuk pria umur 19-29 tahun, kebutuhan seng 0,07 mg/kg/hari dan berat
badan 60 kg, adalah 13 mg/hari sedangkan untuk wanita, kebutuhan 0,06 mg/kg/hari dengan
berat badan 54 kg, adalah 10 mg/hari.

i) Dewasa diatas 30 tahun


Untuk pria diatas 30 tahun, kebutuhan seng 0,07 mg/kg/hari dan berat badan 62 kg maka
kecukupan seng adalah 13 mg/hari. Sedangkan untuk wanita diatas 30 tahun, kebutuhan seng
0,06 mg/kg/hari dan berat badan 55 kg maka kecukupan seng adalah 10 mg/hari.

j) Kehamilan
Jumlah total seng yang dibutuhkan selama kehamilan, menurut FAO/WHO, adalah 100 mg.
Dengan asumsi bioavailabilitas seng kategori sedang, kebutuhan itu dapat dipenuhi secara
bertahap setiap trimester. FAO/WHO menambahkan 0,6 mg/hari pada trimester 1; 2,1
mg/hari pada trimester 2 dan 5,1 mg/hari pada trimester 3 dari kecukupan wanita dewasa
tidak hamil. Demikian maka tambahan kecukupan seng pada trimester 1, 2 dan 3 adalah 2
mg/hari, 4 mg/hari dan 6 mg/hari.

k) Menyusui
Selama masa menyusui, kebutuhan seng bertambah karena ekskresi seng dalam ASI. Kadar
seng dalam ASI turun secara bertahap yaitu tinggi pada awal menyusui dan rendah beberapa
bulan kemudian. Dengan asumsi bioavailabilitas kategori sedang, FAO/WHO menambahkan
kecukupan seng sekitar 4,5 mg/hari selama masa menyusui. Demikian sehingga penambahan
kecukupan seng masa menyusui adalah 5 mg/hari.

Tabel 12 menyajikan AKG seng yang ditetapkan oleh FNRI 2002, IOM 2001, FAO/WHO
2001, WNPG 2004 dan WNPG 2012.

154
Tabel 12. Rekomendasi Angka Kecukupan Seng Sehari dari FNRI 2002, IOM 2001, FAO/WHO 2001, WNPG
2004 dan WNPG 2012

Kelompok FNRI IOM 2001 *) FAO/WHO 2001 (mg) WNPG AK Zn 2012


umur 2002 (mg) Bioavailabilitas seng 2004§) (mg)
(mg) RDA/AI UL Tinggi Sedang Rendah (mg)

Bayi/Anak
0- 6 bulan 1,4 2 1,1 **) 2,8 ***) 6,6 +) 1,3 -
7- 11 bulan 4,2 3 4 0,8 *)
4,1 ++) 8,3 ++) 7,9 3
2,5 ++)
1- 3 tahun 4,5 3 (1-3) 5 2,4 4,1 8,4 8,3 4
4 - 6 tahun 5,4 5 (4-8) 7 3,1 5,1 10,3 10,3 5
7 - 9 tahun 5,4 3,3 5,6 11,3 11,3 11
Laki-laki
10- 12 tahun 6,8 8 (9-13) 23 5,7 (10-18) 9,7 19,2 14,0 14
13- 15 tahun 9,0 11 (14-18) 34 4,2 (19-65) 7,0 14,0 18,2 18
16- 19 tahun 8,9 (16-18) 11 (19-30) 40 4,2 (65+) 7,0 14,0 16,9 17
20- 29 tahun 6,4 (19-29) 11 (31-50) 40 13,0 13
30- 49 tahun 6,4 (30-49) 11 (50-70) 40 13,4 13
50- 64 tahun 6,4 (50-64) 11 (>70) 40 13,4 13
65- 79 tahun 6,4 (65+) 13,4 13
80+ tahun 13,3 13
Perempuan
10- 12 tahun 6,0 8 (9-13) 23 4,6 (10-18) 7,8 15,5 12,9 13
13- 15 tahun 7,9 9 (14-18) 34 3,0 (19-50) 4,9 9,8 15,8 16
pre-menopause
16- 19 tahun 7,0 (16-18) 8 (19-30) 40 3,0 (51-65) 4,9 9,8 14,0 14
menopause
20- 29 tahun 4,5 (19-29) 8 (31-50) 40 3,0 (65+) 4,9 9,8 9,3 10
30- 49 tahun 4,5 (30-49) 8 (50-70) 40 9,8 10
50- 64 tahun 4,5 (50-64) 8 (>70) 40 9,8 10
65- 79 tahun 4,5 (65+) 9,8 10
80+ tahun 9,8 10
Hamil (+an)
Trimester 1 5,1 (tr 1) 12 (<18) 34 3,4 (tr 1) 5,5 11,0 +1,2 +2
Trimester 2 6,6 (tr 2) 11 (19-30) 40 4,2 (tr 2) 7,0 14,0 +4,2 +4
Trimester 3 9,6 (tr 3) 11 (31-50) 40 6,0 (tr 3) 10,0 20,0 +10,2 +10
Menyusui (+an)
6 bulan pertama 11,5 (0-6 bl) 13 (<18) 34 5,8 (0-3 bl) 9,5 19,0 +4,5 +5
6 bulan kedua 11,5 (7-12 bl) 12 (19-30) 40 5,3 (0-3 bl) 8,8 17,5 +4,5 +5
12 (31-50) 40 4,3 (0-3 bl) 7,2 14,4
Catatan:
WNPG=Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (Indonesia), FNRI=Food and Nutrition Resaerch Institute
(Filipina), IOM=Institute of Medicine (Amerika Serikat), FAO/WHO=Food and Agriculture Organization/World
Health Organization
*) Recommended Dietary Allowance (RDA) dengan angka tebal, Adequate Intakes (AI) dengan angka biasa,
UL= Tolerable Upper Intake Level
**) Bayi dengan ASI eksklusif
***) Bayi yang diberi susu formula, seng bioavailabilitas sedang
+
) Bayi yang diberi susu formula, seng bioavailabiltas rendah karena mengkonsumsi serealia yang tinggi fitat dan
formula dengan sumber protein sayuran
++
) Tidak berlaku untuk bayi dengan ASI eksklusif
Angka di dalam tanda kurung adalah kelompok umur
§)
Kartono D and Moesijanti 2004

155
I. SELENIUM (Se)

Selenium dibutuhkan untuk memecahkan lemak dan kimia tubuh lainnya. Dalam
jaringan hewan, sebagian besar selenium adalah dalam bentuk selenometionin atau
selenosistein. Selenometionin mempunyai fungsi seperti metionin namun masih ada pro-
kontra tentang fungsi selenosistein apakah dapat menggantikan fungsi sistein.

Secara umum, fungsi selenium mirip dengan belerang sehingga dapat mengganti
belerang pada asam amino seperti metionin, sistein dan sistin. Tubuh mengandung sekitar 15
mg selenium. Perkembangan terakhir berkesimpulan bahwa selenium bersama dengan
vitamin C, vitamin E,  karoten dan karotenoid merupakan antioksidan. Dalam bentuk
selenoprotein, selenium berperan sebagai ko-faktor enzim antioksidan.

1. Fungsi
Selenium mempunyai fungsi untuk pertahanan terhadap stres dan pengaturan kerja
hormon tiroid, dan status reduksi dan oksidasi vitamin C serta molekul lain. Juga sebagai
cofaktor untuk glutation proksidase (GPX) menetralisir higrogen peroksida. Peroksida ini,
radikal bebas, jika tidak dinetralisir dapat merusak membran sel.
2. Sumber
Selenium banyak terdapat dalam ikan, daging, telur, jeroan dan kerang. Padian dan
bijian juga mengandung banyak selenium.
3. Efek Kekurangan dan Kelebihan
Kekurangan selenium menyebabkan penyakit Keshan yang banyak terjadi di Cina. Ciri
penyakitnya: cepat lelah walau hanya dengan aktivitas ringan dan hilang nafsu makan. Selain
itu, kekurangan selenium dapat menimbulkan penyakit „Kashin Beck‟ yang banyak terjadi di
Cina dan negera yang dahulu dinamai Uni Soviet. Pada tahap yang lebih jauh, dapat terjadi
pembengkakan dan perubahan bentuk dari sendi tulang. Hasil penelitian terakhir
menunjukkan bahwa kekurangan selenium dapat menyebabkan menurunnya enzym
5‟deiodinase yang bertanggung jawab pada pembentukan T3 (triiodothyronone) dari
T4(thyroxine). Inilah hubungan yang nyata antara iodine dan selenium.
Kelebihan selenium menyebabkan keracunan selenium atau selenosis. Gejala selenosis
mual, muntah, cepat lelah, rambut rontok juga kuku menjadi tubuh abnormal. Selenosis juga
menyebabkan hambatan pada sintesa protein. Pada beberapa kasus dilaporkan bahwa
kelebihan selenium dapat menyebabkan gangguan pada kulit (merah, panas) dan gangguan
sistem syaraf (paralysis, hemiplegia dan paresthesis).
4. Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan
Faktor yang mempengaruhi kebutuhan selenium adalah bioavailabilitas dan jenis
kelamin.

156
a) Bioavailabilitas
Selenium dalam makanan umumnya mempunyai bioavailabilitas tinggi. Bioavailabilitas
selenium dalam bentuk selenomethionine mencapai 90% (Thomson 2000, IOM 2000).
b) Jenis kelamin
Wanita usia subur lmempunyai risiko kekurangan selenium dibanding pria.

5. Rekomendasi Kecukupan Selenium

Penetapan kecukupan selenium untuk bayi 0 – 12 bulan adalah didasarkan pada AI.
Sedangkan mulai umur 1 tahun ditetapkan berdasarkan RDA.

Kandungan selenium tertinggi dari ASI adalah dalam kolostrum 30 – 80 g/L.


Sedangkan selenium pada ASI 1 minggu adalah 18-29 g/L. Menurut FAO/WHO, rata-rata
kandungan selenium ASI adalah 18,5 g/L. Kadar selenium dalam ASI bervariasi tergantung
dari asupan selenium ibu.

a) Bayi 0-11 bulan


AI selenium untuk bayi 0-6 bulan didasarkan pada asupan selenium dari ASI yaitu
FAO/WHO telah menetapkan efisiensinya 80% dan koefisien variasi 12,5%. Asupan 6
g/hari harus diperoleh dari ASI untuk bayi 0-6 bulan.
Untuk bayi 7 –11 bulan ditetapkan 10 g selenium sehari akan dapat memenuhi
kecukupannya.

b) Anak 1-3 tahun


Untuk anak 1 – 3 tahun, ditetapkan EAR sebesar 14 g/hari sehingga RDA 17 g/L.

c) Anak 4-9 tahun


Untuk anak umur 4 – 9 tahun, ditetapkan EAR sebesar 16 g/L sehingga kecukupan selenium
adalah 20 g sehari.

d) Remaja 10-12 tahun.


Untuk kelompok umur 10 – 12 tahun, ditetapkan EAR sebesar 16 g/L sehingga kecukupan
selenium adalah perkiraan rata-rata kecukupan selenium adalah 20 g/hari.

e) Umur 13 tahun keatas


Untuk kelompok umur 13 keatas pria, kecukupan selenium ditetapkan sebesar 34 g/hari
sedangkan kecukupan untuk wanita adalah 26 g/hari dibulatkan menjadi 30 g/hari.

f) Kehamilan
Selama masa kehamilan diperlukan tambahan kebutuhan selenium sekitar 4 g/hari. Dengan
demikian, kecukupan selenium selama masa kehamilan adalah 35 g/hari.

g) Menyusui
Selama masa menyusui, diperlukan tambahan selenium 10 g/hari sehingga kecukupan
selenium adalah 40 g/hari.

157
Tabel 13 menyajikan AKG selenium yang ditetapkan oleh FNRI 2002, IOM 2000,
FAO/WHO 2001, WNPG 2004 dan WNPG 2012.

Table 13. Rekomendasi Angka Kecukupan Selenium sehari dari WNPG 98, FNRI 2002,
IOM 2000, FAO/WHO 2001, WNPG 2004 dan WNPG 2012

Kelompok FNRI 2002 IOM 2000 *) (mcg) FAO/WHO 2001 WNPG 2004§) AK Se 2012
umur (mcg) RDA/AI UL (mcg) (mcg) (mcg)
Bayi/Anak
0- 6 bulan 6 15 45 6 5 5
7- 11 bulan 10 20 60 10 10 10
1- 3 tahun 18 20 (1-3) 90 17 17 17
4- 6 tahun 22 30 (4-8) 150 21 20 20
7- 9 tahun 20 21 20 20
Laki-laki
10- 12 tahun 21 40 (9-13) 280 34 (10-18) 20 20
13- 15 tahun 31 55 (14-18) 400 34 (19-65) 30 30
16- 19 tahun 36 (16-18) 55 (19-30) 400 34 (65+) 30 30
20- 29 tahun 31 (19-29) 400 30 30
30- 49 tahun 31 (30-49) 55 (31-50) 400 30 30
50- 64 tahun 31 (50-64) 55 (50-70) 400 30 30
65- 79 tahun 31 (65+) 55 (>70) 30 30
80+ tahun 30 30
Perempuan
10- 12 tahun 21 40 (9-13) 280 26 (10-18) 20 20
13- 15 tahun 31 55 (14-18) 400 26 (19-50) 30 30
pre-menopause
16- 19 tahun 36 (16-18) 55 (19-30) 400 26 (51-65) 30 30
Menopause
20- 29 tahun 31 (19-29) 400 26 (65+) 30 30
30- 49 tahun 31 (30-49) 55 (31-50) 400 30 30
50- 64 tahun 31 (50-64) 55 (50-70) 400 30 30
65- 79 tahun 31 (65+) 55 (>70) 30 30
80+ tahun 30 30
Hamil (+an)
Trimester 1 35 (tr 1) 60 (<18) 400 +5 +5
Trimester 2 35 (tr 2) 60 (19-30) 400 28 (tr 2) +5 +5
Trimester 3 35 (tr 3) 60 (31-50) 400 30 (tr 3) +5 +5
Menyusui (+an)
6 bulan pertama 40 (0-6 bl) 70 (<18) 400 35 (0-3 bl) +10 +10
6 bulan kedua 40 (7-12 bl) 70 (19-30) 400 35 (4-6 bl) +10 +10
70 (31-50) 400 42 (7-12 bl)
Catatan:
WNPG=Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (Indonesia), FNRI=Food and Nutrition Research Institute
(Filipina), IOM=Institute of Medicine (Amerika Serikat), FAO/WHO=Food and Agriculture Organization/World
Health Organization
*) Recommended Dietary Allowance (RDA) dengan angka tebal, Adequate Intakes (AI) dengan angka biasa,
UL= Tolerable Upper Intake Level
Angka di dalam tanda kurung adalah kelompok umur
§)
Kartono D and Moesijanti 2004

158
J. MANGAN (Mn)

Mangan merupakan mineral mikro yang memainkan peran penting dalam tubuh
termasuk fungsi sistem saraf, pembentukan tulang dan pemeliharaan sistem reproduksi.
Mangan juga berperan dalam metabolisme asam amino, lemak dan karbohidrat. Mangan
berfungsi sebagai aktifator dan bagian dari beberapa enzim, seperti enzim hdrolase, kinase,
dekarboksilase dan transferase. Tubuh dewasa mengandung sekitar 10 – 20 mg mangan yang
tersebar di jaringan hati, ginjal, pankreas dan tulang. Mangan dalam jumlah terbanyak (25%)
ada dalam tulang.

1. Fungsi
Mangan berperan sebagai katalis berbagai enzim yang diperlukan dalam metabolisme
glukosa, protein dan lemak. Mangan terlibat dalam pembentukan tulang juga dalam enzim
untuk metabolisme asam amino, kolesterol dan hidrat arang. Juga berperan dalam
pembentukan urea sebagai bagian dari enzim arginase, meningkatkan penyimpanan vitamin
B1.
2. Sumber
Bahan makanan sumber mangan yang baik adalah sumber nabati terutama serealia yang
mengandung 10 – 100 mg/kg. Sumber lain adalah kacangan, beras, padian lain dan sayuran
daun. ASI, terutama kolostrum, juga mengandung tinggi mangan. Teh kaya akan mangan.

3. Efek Kekurangan dan Kelebihan


Kekurangan mangan menyebabkan hambatan pertumbuhan, gangguan fungsi
reproduksi, gangguan metabolisme lemak dan hidrat arang. Pada binatang percobaan
kekurangan mangan menyebabkan kehilangan berat badan, kurang nafsu makan,
hipokolesterolemia, perubahan warna dan gangguan pertumbuhan rambut dan kuku.
Kelebihan mangan, manganisme, ditemui pada pekerja tambang ataupun industri.
Gejala manganisme adalah lemah, anoreksia, pegal otot, tidak beremosi dan pergerakan badan
lamban. Juga menyebabkan kram dan gangguan berbicara (FAO/WHO/IAEA 1996).
4. Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan
Faktor yang mempengaruhi kebutuhan mangan adalah bioavailabilitas dan jenis
kelamin.
a) Bioavailabilitas
Kalsium, besi dan fosfor berpengaruh negatif terhadap penyerapan dan retensi mangan.
Kadar ferritin rendah berhubungan dengan meningkatnya penyerapan mangan. Keberadaan
fitat juga mengurangi efisiensi penyerapan mangan. Penyerapan mangan hanya sekitar 1%
(IOM 2001).

159
b) Jenis kelamin
Wanita mempunyai kemampuan menyerap mangan lebih baik dibanding pria yang
kemungkinan besar berhubungan dengan status besi. Kadar ferritin pada pria lebih tinggi
dibanding wanita kemungkinan menjadi penyebab rendahnya penyerapan mangan pada pria.

5. Rekomendasi Kecukupan Mangan

Penetapan kecukupan mangan, semua kelompok umur, oleh IOM didasarkan pada AI
dan bukan pada RDA. AI mangan pada bayi 0-6 bulan mencerminkan rata-rata asupan
mangan bayi ASI eksklusif selama 6 bulan pertama dari kehidupannya. Tidak ditemukan
kasus kekurangan mangan pada bayi lahir cukup bulan yang mendapat ASI eksklusif.
Penyerapan mangan dari ASI sekitar 8% sedangkan dari MP-ASI berbasis kedele sekitar 1%
dan MP-ASI berbasis susu sapi 3%. Kadar mangan dalam susu sapi (20-50 g/L) jauh lebih
tinggi dibanding dalam ASI. Total ekskresi mangan pada bayi 0-3 bulan adalah 1,9 g/hari
dan 16 g/ hari pada bayi 4-6 bulan.

a) Bayi 0-6 bulan


Untuk bayi 0-6 bulan, AI mangan ditetapkan berdasarkan rata-rata asupan mangan dari ASI
yaitu 4 g/L atau asupan 3 g sehari. Sehingga asupan 0,003 mg mangan sehari dianggap
cukup untuk bayi 0 – 6 bulan.

b) Bayi 7–11 bulan


AI selenium ditetapkan berdasarkan perkiraan rata-rata asupan selenium dari MP-ASI 80
g/kg berat badan. Dengan berat badan 8 kg, asupan mangan menjadi 640 g/hari. Oleh
sebab itu, kecukupan mangan bayi 7-12 bulan adalah 0,6 mg/hari.

c)Anak 1-3 tahun


Untuk kelompok umur 1 – 3 tahun, AI mangan ditetapkan berdasarkan median asupan
mangan sehari yaitu 1,2 mg/hari.

d) Anak 4-6 tahun


Pada kelompok umur 4 – 6 tahun, AI ditetapkan 1,5 mg/hari berdasarkan median asupan
mangan 1,48 mg/hari.

e)Anak 7-9 tahun


Untuk umur 7-9 tahun, AI mangan adalah 1,7 mg/hari.

f) Remaja 10-12 tahun


Pada remaja pria 10 – 12 tahun, kecukupan mangan adalah 1,9 mg/hari dan pada wanita 1,6
mg/hari.

g) Remaja 13-18 tahun


Pada pria umur 13 – 18 tahun, kecukupan mangan ditetapkan sebesar 2.2 mg/hari. Pada
wanita umur 13 – 18 tahun, kecukupan mangan adalah 1,6 mg/hari.

160
h) Diatas 18 tahun
Kecukupan mangan untuk pria diatas 18 tahun adalah 2,3 mg/hari sedangkan untuk wanita
adalah 1,8 mg/hari.

i) Kehamilan
AI mangan selama masa kehamilan adalah 2 mg/hari.

j) Menyusui
Belum ada bukti kuat bahwa selama menyusui perlu tambahan mangan. AI mangan selama
masa menyusui ditetapkan 2,6 mg/hari berdasarkan median asupan mangan 2,56 mg/hari.

Tabel 14 menyajikan AKG mangan yang ditetapkan oleh FNRI 2002, IOM 2001, WNPG
2004 dan WNPG 2012.

Tabel 14. Rekomendasi Angka Kecukupan Mangan sehari dari FNRI 2002, IOM 2001, WNPG 2004
dan WNPG 2012

Kelompok umur FNRI 2002 IOM 2001*) (mg) WNPG 2004§) AK Mn 2012
(mg) RDA/AI UL (mg) (mg)
Bayi/Anak
0- 6 bulan 0.003 0,003 - 0,003 -
7- 11 bulan 0,6 0,6 - 0,6 0,6
1- 3 tahun 1,2 1,2 (1-3) 2 1,2 1,2
4- 6 tahun 1,5 1,5 (4-8) 3 1,5 1,5
7- 9 tahun 1,7 1,7 1,7
Laki-laki
10- 12 tahun 1,9 1,9 (9-13) 6 1,9 1,9
13- 15 tahun 2,2 2,2 (14-18) 9 2,2 2,2
16- 19 tahun 2,2 (16-18) 2,3 (19-30) 11 2,3 2,3
20- 29 tahun 2,3 (19-29) 11 2,3 2,3
30- 49 tahun 2,3 (30-49) 2,3 (31-50) 11 2,3 2,3
50- 64 tahun 2,3 (50-64) 2,3 (50-70) 11 2,3 2,3
65- 79 tahun 2,3 (65+) 2,3 (>70) 11 2,3 2,3
80+ tahun 2,3 2,3
Perempuan
10- 12 tahun 1,6 1,6 (9-13) 6 1,6 1,6
13- 15 tahun 1,6 1,6 (14-18) 9 1,6 1,6
16- 19 tahun 1,6 (16-18) 1,8 (19-30) 11 1,6 1,6
20- 29 tahun 1,8 (19-29) 11 1,8 1,8
30- 49 tahun 1,8 (30-49) 1,8 (31-50) 11 1,8 1,8
50- 64 tahun 1,8 (50-64) 1,8 (50-70) 11 1,8 1,8
65- 79 tahun 1,8 (65+) 1,8 (>70) 11 1,8 1,8
80+ tahun 1,8 1,8
Hamil (+an)
Trimester 1 2,0 (tr 1) 2,0 (<18) 9 +02 +0,2
Trimester 2 2,0 (tr 2) 2,0 (19-30) 11 +02 +0,2
Trimester 3 2,0 (tr 3) 2,0 (31-50) 11 +02 +0,2
Menyusui (+an)
6 bulan pertama 2,6 (0-6 bl) 2,6 (<18) 9 +08 +0,8
6 bulan kedua 2,6 (7-12 bl) 2,6 (19-30) 11 +08 +0,8
2,6 (31-50) 11
Catatan:
FNRI=Food and Nutrition Research Institute (Filipina), IOM=Institute of Medicine (Amerika Serikat)
1)
Belum ada rekomendasi kecukupan untuk magnesium dari FAO/WHO maupun WNPG

161
*)
Recommended Dietary Allowance (RDA) dengan angka tebal, Adequate Intakes (AI) dengan angka biasa,
UL= Tolerable Upper Intake Level
Angka di dalam tanda kurung adalah kelompok umur
§)
Kartono D and Moesijanti 2004

K. FLUOR (F)

Fluor adalah bentuk ionik dari fluorin yang diperlukan tubuh agar tulang dan gigi
menjadi kuat. Fungsi utamanya adalah mencegah karies gigi. Sekitar 50% fluorida dari
makanan dapat diserap. Asupan kalsium yang rendah akan meningkatkan penyerapan fluorida
hingga mencapai 80%.

1. Fungsi
Fungsi fluor yang penting adalah: i) meningkatkan ketahanan dan memperbaiki
kerusakan lapisan gigi, ii) mencegah pembentukan plak pada gigi, iii) merangsang
pembentukan tulang baru.
2. Sumber
Kebanyakan bahan makanan mengandung fluor. Minuman seperti air mineral, teh,
formula bayi, dan makanan yang diawetkan seperti hasil olah dari unggas, ikan dan tepung
serealia adalah sumber yang baik dari fluor.
3. Efek Kekurangan dan Kelebihan
Kekurangan fluor jarang sekali ditemukan namun bila terjadi maka menyebabkan karies
gigi dan jumlah gigi yang tumbuh tidak mencapai jumlah yang seharusnya.
Kelebihan fluor menyebabkan meningkatnya pengeluaran protein dan hormon,
terjadinya kerusakan gigi (fluorosis).
4. Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan
Faktor yang mempengaruhi kebutuhan fluor adalah bioavailabilitas dan keberadaan zat
gizi lain.
a) Bioavailabilitas
Bioavailabilitas fluor adalah tinggi. Jika dalam bentuk natrium fluorida penyerapan
mendekati sempurna. Tetapi jika dengan susu atau makanan yang mengandung tinggi
kalsium tingkat penyerapan hanya sekitar 25%. Penyerapan fluor dari pasta gigi mendekati
100% (FAO/WHO/IAEA 1996, IOM 1997).
b) Interaksi zat gizi
Makanan tinggi kalsium akan meningkatkan ekskresi fluor. Bahkan ekskresi fluor dapat
melebihi asupannya.

162
5. Rekomendasi Kecukupan Fluor

Penetapan kecukupan fluor, untuk semua kelompok umur, yang dilakukan oleh IOM
didasarkan pada AI dan bukan pada RDA.

a) Bayi 0 – 11 bulan
Didasarkan pada bayi yang mendapatkan ASI yaitu asupan fluor rata-rata 0,01 mg fluor
sehari. Tidak ada tanda kekurangan fluor pada bayi yang mendapatkan asupan 0,01 mg/hari
sehingga jumlah itu dianggap dapat memenuhi kecukupan fluor untuk 6 bulan pertama.
Untuk bayi 7–11 bulan rata-rata asupan fluornya 0,05 mg per kilogram berat badan sehari.
Demikian sehingga asupan 0.5 mg sehari dapat memenuhi kecukupan fluor sehari.

Untuk umur diatas 1 tahun, kecukupan fluor didasarkan pada AI dan berat badan. AI
untuk fluor adalah 0,05 mg/kg/hari.

b)Anak 1-3 tahun


Untuk anak umur 1-3 tahun, dengan berat badan 13 kg, maka kecukupan fluor adalah 0,6
mg/hari.

c) Anak 4-6 tahun.


Untuk kelompok umur 4 – 6 tahun, dengan berat badan 19 kg, kecukupan fluor adalah 0,9
mg/hari.

d) Anak 7-9 tahun


Kecukupan fluor untuk kelompok 7 – 9 tahun, dengan berat badan 27 kg, adalah 1.2 mg/hari.

e) Remaja 10-12 tahun


Untuk pria umur 10 – 12 tahun, berat badan 34 kg, kecukupan fluor adalah 1,7 mg/hari
sedangkan kecukupan untuk wanita, berat badan 36 kg, adalah 1,9 mg/hari.

f) Remaja 13-15 tahun


Untuk pria umur 13-15 tahun dengan berat badan 46 kg, kecukupan fluor adalah 2,4 mg/hari
sedangkan untuk wanita, dengan berat badan 46 kg, adalah 2,4 mg/hari.

g) Remaja 16-18 tahun


Untuk pria kelompok umur 16-18 tahun, berat badan 56 kg, kecukupan fluor adalah 2,7
mg/hari sedangkan untuk wanita, berat badan 54 kg, adalah 2,5 mg/hari.

h) Dewasa 19-29 tahun


Untuk pria umur 19-29 tahun dengan berat badan 62 kg, kecukupan fluor adalah 3.1 mg/hari
sedangkan untuk wanita dengan berat badan 52 kg, kecukupan fluor adalah 2,7 mg/hari.

i) Dewasa diatas 30
Untuk kelompok umur diatas 29 tahun, pria 62 kg dan wanita 55 kg, kecukupan fluor adalah
3,1 mg/hari dan 2,7 mg/hari.

163
j) Kehamilan dan Menyusui
Belum ada bukti yang kuat bahwa fluor diperlukan lebih banyak selama masa kehamilan
ataupun menyusui. Oleh sebab itu, tambahan kecukupan fluor selama masa kehamilan dan
menyusui tidak dianjurkan.

Tabel 15 menyajikan AKG fluor yang ditetapkan oleh FNRI 2002, IOM 1997, WNPG 2004
dan WNPG 2012.

Tabel 15. Rekomendasi Angka Kecukupan Fluor Sehari dari FNRI 2002, IOM 1997, WNPG 2004 dan
WNPG 2012

Kelompok umur FNRI 2002 IOM 1997 *) (mg) WNPG 2004§) AK F 2012
(mg) RDA/AI UL (mg) (mg)

Bayi/Anak
0- 6 bulan 0,01 0,01 0,7 0,01 -
7- 11 bulan 0,5 0,5 0,9 0,4 0,4
1 - 3 tahun 0,7 0,7 (1-3) 1,3 0,6 0,6
4 - 6 tahun 1,0 1 (4-8) 2,2 0,9 0,9
7 - 9 tahun 1,2 1,2 1,2
Laki-laki
10- 12 tahun 1,7 2 (9-13) 10 1,7 1,7
13- 15 tahun 2,5 3 (14-18) 10 2,4 2,4
16- 19 tahun 2,9 (16-18) 4 (19-30) 10 2,7 2,7
20- 29 tahun 3,0 (19-29) 4 (31-50) 10 3,0 3,0
30- 49 tahun 3,0 (30-49) 4 (50-70) 10 3,1 3,1
50- 64 tahun 3,0 (50-64) 4 (>70) 10 3,1 3,1
65- 79 tahun 3,0 (65+) 3,1 3,1
80+ tahun 3,1 3,1
Perempuan
10- 12 tahun 1,8 2 (9-13) 10 1,9 1,9
13- 15 tahun 2,5 3 (14-18) 10 2,4 2,4
16- 19 tahun 2,5 (16-18) 3 (19-30) 10 2,5 2,5
20- 29 tahun 2,5 (19-29) 3 (31-50) 10 2,5 2,5
30- 49 tahun 2,5 (30-49) 3 (50-70) 10 2,7 2,7
50- 64 tahun 2,5 (50-64) 3 (>70) 10 2,7 2,7
65- 80 tahun 2,5 (65+) 2,7 2,7
80+ tahun 2,7 2,7
Hamil (+an)
Trimester 1 2,5 (tr 1) 3 (<18) 10 +0 +0
Trimester 2 2,5 (tr 2) 3 (19-30) 10 +0 +0
Trimester 3 2,5 (tr 3) 3 (31-50) 10 +0 +0
Menyusui (+an)
6 bulan pertama 2,5 (0-6 bl) 3 (<18) 10 +0 +0
6 bulan kedua 2,5 (7-12 bl) 3 (19-30) 10 +0 +0
3 (31-50) 10 +0 +0
Catatan:
FNRI=Food and Nutrition Research Institute (Filipina), IOM=Institute of Medicine (Amerika Serikat)
1)
Belum ada rekomendasi kecukupan untuk magnesium dari FAO/WHO maupun WNPG
*)
Recommended Dietary Allowance (RDA) dengan angka tebal, Adequate Intakes (AI) dengan angka biasa,
UL= Tolerable Upper Intake Level
Angka di dalam tanda kurung adalah kelompok umur

164
L. NATRIUM (Na)

1. Fungsi

Natrium adalah kation yang dominan dalam mempertahankan volume cairan


ekstraselular. Volume cairan ekstraselular diatur dengan cara mengatur osmose cairan yaitu
mengatur kadar natrium (Na) dan klor (Cl). Mekanisme pengaturan volume cairan
ekstraselular disebut homeostasis dan prosesnya terjadi bila ada perubahan kadar natrium dan
klor, dibantu oleh hormon-hormon renin, angiotensin, aldosteron dan adanya perubahan-
perubahan ion dalam sel. Bila kadar natrium cairan ekstraselular menurun maka air akan
dieksresi ginjal lebih banyak sehingga kadar natrium dan klor kembali pada keadaan basal.
Bila kadar natrium dan klor naik maka akan terjadi reabsorpsi air oleh ginjal sehingga jumlah
urine turun dan kadar natrium dan klor kembali pada keadaan basal. Natrium juga berfungsi
mengatur keseimbangan asam dan basa. Natrium berperanan pada pengaturan tekanan darah
karena kenaikan kadar natrium merangsang sekresi renin dan mengakibatkan penyempitan
pembuluh darah perifer. Keadaan ini mengakibatkan tekanan darah meningkat walaupun
masih dalam batas normal.

2. Rekomendasi Kecukupan Natrium

a) Bayi 0 - 6 bulan
Rata-rata konsumsi natrium dari ASI

b) Bayi 7 - 12 bulan
Rata-rata konsumsi natrium dari ASI ditambah MPASI

c) Anak dan remaja 1 - 18 tahun


Ekstrapolasi dewasa AI berdasarkan median asupan energi

d) Dewasa 19- 50 tahun


Tingkat asupan untuk memenuhi kekurangan sehari-hari dan mempertahankan fungsi normal

e) Umur 50 tahun keatas


Ekstrapolasi dari orang dewasa muda berdasarkan median asupan energi

Tabel 16 menyajikan AKG natrium yang ditetapkan oleh FNRI 2002, IOM 2006, NRI 2006
dan WNPG 2012.

165
Tabel 16. Rekomendasi Angka Kecukupan Natrium sehari dari NRI 2006, IOM 2006 dan WNPG 2012

Kelompok FNRI 2002 NRI 2006* IOM 2006* AK Na 2012


Umur (mg) (mg) (mg) (mg)
Bayi/Anak
0- 6 bulan 120 120 120 120
7- 11 bulan 200 170 370 200
1- 3 tahun 250 200-400 1000 1000
4- 6 tahun 300 300-600 1200 1200
7- 9 tahun 400 300-600 1200 1200
Laki-laki
10- 12 tahun 500 400-800 1500 1500
13- 15 tahun 500 460-920 1500 1500
16- 18 tahun 500 460-920 1500 1500
19- 29 tahun 500 460-920 1500 1500
30- 49 tahun 500 460-920 1300 1500
50-64 tahun 500 460-920 1200 1300
65-79 tahun 500 460-920 1200 1200
80+ tahun 500 460-920 1200 1200
Perempuan
10- 12 tahun 500 400-800 1500 1500
13- 15 tahun 500 460-920 1500 1500
16- 18 tahun 500 460-920 1500 1500
19- 29 tahun 500 460-920 1500 1500
30- 49 tahun 500 460-920 1300 1500
50- 64 tahun 500 460-920 1200 1300
65-79 tahun 500 460-920 1200 1200
80+ tahun 500 460-920 1200 1200
Hamil (+an)
Trimester 1 +0 +0 +0
Trimester 2 +0 +0 +0
Trimester 3 +0 +0 +0
Menyusui (+an)
6 bulan pertama +0 +0 +0
6 bulan kedua +0 +0 +0
FNRI= Food and Nutrition Research Institute (Filipina)
*berdasarkan Adequate Intake=AI; NRI=nutrient reference intake Australia dan Selandia Baru

M. KALIUM (K)

1. Fungsi

Merupakan kation utama dalam sel. Berfungsi mempertahankan tekanan osmose


dalam cairan sel, setara dengan tekanan osmose cairan ekstraselular. Penurunan kadar kalium
(K) dalam sel mengakibatkan turunnya fungsi eksitasi sel, irama jantung abnormal,
kelemahan otot, dan gangguan syaraf. Kadar kalium tubuh yang beredar 45 meq/kg. Kadar
kalium serum normal adalah 3.1-4.5 mg/l. Bila kadar kalium serum turun di bawah 3 meq/l
akan terjadi gangguan jantung. Bila kadarnya meningkat 7-8 meq/l seperti pada penderita
gagal ginjal kronis, akan mengakibatkan otot jantung tidak bekerja dengan baik, bahkan
terjadi gagal jantung.

166
2. Rekomendasi Kecukupan Kalium

a) Bayi 0 -6 bulan
Konsumsi melalui rata-rata dari ASI

b) Bayi 7- 12 bulan
Rata-rata konsumsi dari ASI dan suplemen

c) Anak dan remaja 1 - 18 tahun


Ekstrapolasi dewasa AI berdasarkan asupan energi

d) Dewasa 19 tahun keatas


untuk menurunkan tekanan darah, mengurangi tingkat sensitifitas garam, dan meminimalkan
risiko batu ginjal pada orang dewasa

e) Kehamilan
Umur kurang dari 18 tahun hingga umur 50 tahun, kecukupan kalium adalah sesuai dengan
umur
f) Menyusui
Umur kurang dari 18 tahun hingga umur 50 tahun, kecukupan kalium adalah sesuai dengan
umur ditambah jumlah rata-rata diperkirakan kalium dalam ASI selama 6 bulan pertama (0,4
g / hari)

Tabel 17 menyajikan AKG mangan yang ditetapkan oleh FNRI 2002, IOM 2006, NRI 2006
dan WNPG 2012.

167
Tabel 17. Rekomendasi Angka Kecukupan Kalium sehari dari NRI 2006, IOM 2001 dan WNPG 2012

Kelompok umur FNRI 2002 NRI 2006* IOM 2006* AK K 2012


(mg) (mg) (mg) (mg)
Bayi/Anak
0- 6 bulan 500 400 400 500
7- 11 bulan 700 700 700 700
1- 3 tahun 1000 2000 3000 3000
4- 6 tahun 1400 2300 3800 3800
7- 9 tahun 1600 2300 4500 4500
Laki-laki
10- 12 tahun 2000 3000 4500 4500
13- 15 tahun 2000 3000 4700 4700
16- 18 tahun 2000 3600 4700 4700
19- 29 tahun 2000 3800 4700 4700
30- 49 tahun 2000 3800 4700 4700
50-64 tahun 2000 3800 4700 4700
65-79 tahun 2000 3800 4700 4700
80+ tahun 2000 3800 4700 4700
Perempuan
10- 12 tahun 2000 2500 4500 4500
13- 15 tahun 2000 2600 4500 4700
16- 18 tahun 2000 2600 4700 4700
19- 29 tahun 2000 2800 4700 4700
30- 49 tahun 2000 2800 4700 4700
50-64 tahun 2000 2800 4700 4700
65-79 tahun 2000 2800 4700 4700
80+ tahun 2000 2800 4700 4700
Hamil (+an)
Trimester 1 +0 +0 +0
Trimester 2 +0 +0 +0
Trimester 3 +0 +0 +0
Menyusui (+an)
6 bulan pertama +400 +0 +400
6 bulan kedua +400 +0 +400
FNRI= Food and Nutrition Research Institute (Filipina)
*berdasarkan Adequate Intake=AI; NRI=nutrient reference intake Australia dan Selandia Baru

168
DAFTAR PUSTAKA

1. Food and Nutrition Research Institute. (2002). “Recommended Energy and Nutrient Intakes”
Philipines: Department of Science and Technology.
2. Food and Agriculture Organization of the United Nations/World Health Organization
(FAO/WHO). (2001). “Human vitamin and mineral requirements”. Report of a Joint
FAO/WHO Expert Consultation. Rome : FAO, Food and Nutrition Division.
3. Gibson R. (2000). “Ultratrace elements”. In: Essentials of Human Nutrition. New York: Oxford
University Press.
4. Gibson, R. dan E. Ferguson. (1999). “An interactive 24-hour recall for assessing the adequacy of
iron and zinc intakes in developing countries”. Washington DC: ILSI Press.
5. Goulding, A. (2000). “Major minerals: calcium and magnesium”. In: Essentials of Human
Nutrition (eds. Jim Mann and Stewart Truswell). New York: Oxford University Press.
6. Institute of Medicine, Food and Nutrition Board (IOM-FNB). (1997). “Dietary Reference Intakes
for calcium, phosphorous, magnesium, vitamin D and fluoride”. Washington DC: National
Academy Press.
7. Institute of Medicine, Food and Nutrition Board (IOM-FNB). (2000). “Dietary Reference Intakes
for vitamin C, vitamin E, selenium, and carotenoids”. Washington : National Academy Press.
8. Institute of Medicine, Food and Nutrition Board (IOM-FNB). (2001). “Dietary Reference Intakes
for vitamin A, vitamin K, arsenic, boron, chromium, copper, iodine, iron, manganese,
molybdenum, nickel, silicon, vanadium, and zinc”. Washington : National Academy Press.
9. Jalal F. dan Sumali M.A. (1998). “Gizi dan kualitas hidup: Agenda perumusan program gizi
Repelita VII untuk mendukung pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas”.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VI, 17-20 Februari 1998. Jakarta: Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
10. MacPhail, P. (2000). “Iron”. In: Essentials of Human Nutrition (eds. Mann J. and S. Truswell).
New York: Oxford University Press.
11. Muhilal, Jalal F. dan Hardinsyah. 1998. “Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan”. Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VI, 17-20 Februari 1998. Jakarta : Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
12. Muhilal, Idrus Jus‟at, Jalal Fasli dan Ig Tarwotjo. (1993). “Angka Kecukupan Gizi yang
dianjurkan”. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) V, 20 - 22 April 1993. Jakarta :
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
13. National Research Council. (1989). “Recommended Dietary Allowances”. 10th edition.
Washington DC: National Academy Press. Food and Nutrition Board.
14. Nesheim, MC. (1998). “The use and misuse of RDAs and Dietary Guidelines”. Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VI, 17-20 Februari 1998. Jakarta : Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
15. Samman, S. (2000). “Zinc”. In: Essentials of Human Nutrition (eds. Mann J. and S. Truswell).
New York: Oxford University Press.
16. Thomson, C. (2000). “Iodine”. In: Essentials of Human Nutrition (eds. Mann J. and S.Truswell).
New York: Oxford University Press. .
17. Thomson, C. (2000). “Selenium”. In: Essentials of Human Nutrition (eds. Mann J. and
S.Truswell). New York: Oxford University Press
18. Whitney, E.N. dan Rolfes. S.R. (1999). “Understading nutrition”. 8th edition. Belmont, CA:
Wadsworth Publishing Company.
19. World Health Organization/Food and Agriculture Organization/International Atomic and Energy
Agency. (1996). “Trace elements in human nutrition and health”. Geneva : WHO.
20. Indonesia, Kementerian Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2010).
“Laporan Riset Kesehatan Dasar 2010”. Jakarta: Badan Litbangkes, Kemenkes R.I
21. Indonesia, Kementerian Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2007).
“Laporan Riset Kesehatan Dasar 2007”. Jakarta: Badan Litbangkes, Kemenkes R.I

169
22. Institute of Medicine of the National Academies. Food and Nutrition Board (IOM-FNB). (2006).
“Dietary Reference Intake for calcium, phosphorus, magnesium, copper, chromium”. Washington:
National Academies Press..
23. Lutz, C. dan Przytulski, K. (2011). “Nutrition and diet therapy”. 5th ed. Phyladelphia : FA Davis
Company.
24. National Research Council. (1989). “Recommended Dietary Allowances”. 10th edition.
Washington DC: National Academy Press, Food and Nutrition Board,
25. National Health and Medical Research Council. Departemet of Health and Ageing. (2005).
“Nutrient Reference Values for Australian and New Zealand (including Recomended Dietary
Intake)”. Commonwealth of Australia: National Health and Medical Research Council.
26. Roth, R. A. dan Twonsend, C. E. (2003). “Nutrition and diet therapy”. 8th ed. Thomson and
Delmar Learning
27. Expert Group on Vitamins and Minerals. (2003). “Safe upper levels for vitamins and mineral. UK:
Food Standard Agency
28. Soekatri, M. dan Kartono, D. (2004). “Angka Kecukupan Mineral: Kalsium, fosfor, magnesium,
fluorida”. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, 17-19 Mei 2004. Jakarta: Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia
29. Kartono, D. dan Soekatri, M. (2004). Angka Kecukupan Mineral: Besi, iodium, seng, mangan,
selenium. Widyakarya Pangan dan Gizi VIII, 17-19 Mei, 2004. Jakarta: Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia
30. Whitney, E.N. dan Rolfes. S.R. (1999). “Understanding nutrition”. 8th Edition. Belmonth, CA :
Wadsworth Publishing Company,
31. World Health Organization/Food and Agriculture Organization/International Atomic and Energy
Agency (FAO/WHO/IAEA). (1996). “Trace elements in human nutrition and health”. Geneva.:
WHO
32. Hardinsyah, Riyadi H. dan Napitupulu, V. (2012). “Kecukupan Energi, Protein, Lemak dan
Karbohidrat”. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) IX, 20-21 November 2012.
Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

170
PENGEMBANGAN DAFTAR KOMPOSISI PANGAN INDONESIA
Rimbawan1, Komari2, dan Anna V. R. Mauludyani1
1
Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB
2
Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Balitbangkes, Kemenkes RI

Jalan Lingkar Akademik, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680


E-mail: rimbawan62@yahoo.com

Abstrak

Informasi mengenai komposisi zat gizi pangan sangat diperlukan untuk penilaian tingkat
kecukupan gizi, penyusunan menu, pendidikan gizi dan perencanaan kebijakan pangan dan
gizi. Daftar Komposisi Pangan Indonesia (DKPI) adalah sebuah database yang berisikan
komposisi dan kandungan zat gizi yang terkandung dalam suatu pangan dan merupakan
instrumen dasar dalam penilaian konsumsi zat gizi, baik pada individu maupun masyarakat.
Oleh karena itu, tinjauan tentang kelengkapan data yang disajikan dalam DKPI perlu terus
dilakukan mengingat sampai saat ini informasi yang tersedia di Indonesia masih relatif
terbatas.

Keberadaan DKPI di Indonesia sudah berlangsung cukup lama. Bermula dari tahun 1953
ketika Lembaga Makanan Rakjat menerbitkan Daftar Bahan-bahan Makanan sampai dengan
tahun 2001 Puslitbang Gizi Depkes RI menerbitkan Komposisi Zat Gizi Makanan Indonesia,
telah dikeluarkan 10 (sepuluh) jenis penerbitan DKPI yang selanjutnya dikompilasikan ke
dalam Tabel Komposisi Pangan Indonesia pada tahun 2008 oleh PERSAGI. Daftar pada
terbitan terakhir ini memuat 296 jenis pangan dengan komposisi yang meliputi air, energi,
protein, lemak, karbohidrat, serat, abu, kalsium, pospor, besi, natrium, kalium, tembaga,
seng, retinol, beta karoten, karoten total, tiamin, riboflavin, niasin, dan vitamin C. Apabila
dibandingkan dengan beberapa negara lain di ASEAN, seperti Singapura, Malaysia, Thailand,
Vietnam, dan Filipina, maka keberadaan DKPI Indonesia masih yang terendah baik dari
jumlah jenis pangan maupun jenis zat gizi yang disajikan. Sebagai contoh, Singapura telah
memiliki DKPI yang memuat 3500 jenis pangan dan zat gizi lain seperti asam lemak,
kolesterol, gula dan pati, serta serat pangan. Keterlibatan Indonesia dalam jaringan
Association of Southeast Asian Network of Food Data Systems (ASEANFOODS) juga belum
maksimal.
Memperhatikan kondisi DKPI yang ada di Indonesia saat ini maka dirasakan sangat perlu
untuk dikembangkan. Prioritas seharusnya diberikan untuk segera menyelesaikan penyusunan
database pangan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia. Teknik sampling yang tepat dan
metode analisis yang sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) harus
diperhatikan. Konversi perhitungan komposisi zat gizi akibat pengolahan dan penyimpanan
perlu mendapat perhatian.
Mengingat kemungkinan adanya berbagai kendala untuk menyusun DKPI yang lengkap
dalam waktu yang relatif singkat, maka beberapa pertimbangan perlu dilakukan. Kerjasama
yang melibatkan berbagai stakeholders dan shareholders perlu dioptimalkan untuk
membiayai dan melaksanakan pekerjaan analisis pangan di laboratorium. Koordinasi antar
insitusi dan standarisasi metoda analisis laboratorium serta keberadaan laboratorium yang
tersertifikasi merupakan faktor yang akan menentukan kualitas data yang akan dihasilkan.
Untuk menghindari jumlah dan jenis pangan yang sangat banyak, pemilihan jumlah pangan

171
yang akan dianalisis perlu mempertimbangkan keberadaan suatu pangan apakah sebagai
pangan utama (major) atau pangan minor. Apabila prosedur penetapan kadar zat gizi dinilai
layak dan benar serta memenuhi norma akademik yang berlaku, maka penggunaan data yang
sudah tersedia di berbagai institusi yang melaksanakan program penelitian dan pengembangan
(borrowing) dapat pula dilakukan. Apabila memungkinkan maka keberadaan komponen
pangan yang menunjang fungsi gizi seperti fitosterol dan zat antioksidan dapat pula
dipertimbangkan.
Untuk segera mewujudkan keberadaan DKPI Indonesia yang lebih menggambarkan
keberagaman pangan dan kecukupan gizi masyarakat di Indonesia maka berbagai langkah
nyata harus segera dilakukan. Diperlukan adanya keputusan politik pemerintah yang tegas,
pendelegasian tugas yang jelas, penyusunan “roadmap” yang terstruktur, dukungan dana
yang pasti, keberadaan laboratorium dan jaringan antar laboratorium yang efektif, serta
pengembangan sumberdaya manusia yang menguasai keilmuan penyusunan komposisi zat
gizi pangan secara berkesinambungan.

Kata kunci
komposisi, zat gizi, pangan

172
Abstract

Information about composition of nutrients in food is urgently needed to assess the nutrients
requirement level, menu arrangement, nutrition education, and for planning in food and
nutrition policies. Indonesian Food composition table (DKPI) is a database consists of
composition and nutrient contents in a food and it is a basic instrument to assess nutrients
intake, either in community or individual level. Therefore, review about the data completeness
in Food Composition table should always be done, because up to now the present information
in Indonesia is relatively limited. The existence of DKPI has been run for quite long period.
In 1953, National Board of food for people published the first food composition table that has
been used up to 2001. The Centre of nutrition and food Research and Development , ministry
of health published The Indonesian Composition of nutrients of food, it has been produced
about 10 books like DKPI and later being compiled in Indonesian food Composition Table in
2008 by Indonesian Nutrition Association (PERSAGI). The latest publication contains 286
kind of foods with the composition of water, energy, protein, fat, carbohydrate, fiber, ash,
calcium, phosphor, iron, natrium, kalium, copper, zinc, retinol, betha carotene, total carotene,
thiamin, riboflavin, niacin, and vitamin C. Comparing with other ASEAN countries, such as
Singapore, Malaysia, Thailand, Vietnam, and Philipphine, DKPI is still the lowest in regard to
the number of food and the nutrients mentioned.
Considering the DKPI to other countries, it is urgently needed to develop more complete
DKPI. The priority should be done to create a food database especially for foods which are
frequently consumed by Indonesian. The accuracy of sampling technique and current
appropriate analysis methods that correspond to the development of the science and
technology should be considered. The conversion calculation of nutrient composition during
processing and storage should be taken into account.
Realizing that to develop a complete DKPI and relatively short period may have difficulties,
some suggestions have been submitted. Collaboration between stakeholders and shareholders
is needed to be optimalized to fund and do the food analysis in Laboratory. It is needed
coordination among institutions involved and standardized analysis methods as well as
certified laboratory are determining factors to produce high quality data. The priority should
be done especially to the main foods and minor food. In addition, the data which are available
and scientifically approved can be taken (borrowing). Other contents in DKPI which support
nutrition function such as phitosterol and antioxidant substances may consider to be included.
In order to actualize DKPI as described above, some actions should be done; It is needed to
do a strict political decision by government, delegate a clear job, arrange structural roadmap,
certainty of finance support, effective multi-stream laboratories and improvement of human
resources in the area of nutrients composition of foods with sustainable way.

Key words
composition, nutrients, food

173
Pendahuluan

Daftar Komposisi Pangan Indonesia (DKPI) atau yang lazim diketahui sebagai Daftar
Komposisi Bahan Makanan (DKBM) adalah sebuah database yang berisikan komposisi dan
kandungan zat gizi yang terkandung dalam suatu pangan yang biasanya dibuat oleh suatu
negara, dan berisikan data tentang energi, zat-zat gizi dan komponen penting yang terdapat
dalam pangan. Angka tersebut diperoleh berdasarkan analisis laboratorium atau diestimasi
dari data lain yang sesuai. Secara umum, informasi mengenai komposisi zat gizi pangan
digunakan untuk memperkirakan/membandingkan kandungan zat gizi dari berbagai pangan
dan mengidentifikasi sumber zat gizi tertentu. Informasi tersebut juga sangat diperlukan
sebagai instrumen dasar dalam penilaian konsumsi zat gizi, baik pada individu maupun
masyarakat (Elmadfa & Meyer, 2010). Dalam hal gizi klinik, informasi tersebut digunakan
untuk menyusun menu khusus pasien berpenyakit tertentu dan memberikan informasi pada
pasien. Bagi sebuah penelitian, informasi mengenai komposisi zat gizi bermanfaat untuk
menilai pengaruh konsumsi pangan terhadap kesehatan. Dalam hal kesehatan masyarakat,
informasi tersebut digunakan untuk memonitor ketersediaan pangan dan zat gizi,
menyediakan informasi dan materi edukasi bagi konsumen. Bagi industri pangan, informasi
tersebut berguna untuk pelabelan pangan dan penyusunan klaim zat gizi, pengembangan dan
formulasi produk, dan pemasaran produk pangan (Williamson, 2006). Tanpa adanya
informasi mengenai komposisi zat gizi, Pedoman Gizi Seimbang (PGS) hingga Neraca Bahan
Makanan (NBM) tidak dapat disusun. DKPI juga diperlukan untuk perencanaan kebijakan
pangan dan gizi termasuk proyeksi kebutuhan pangan di masa yang akan datang.

Mengingat pentingnya DKPI, beberapa lembaga telah mengembangkan dan mengkompilasi


data komposisi zat gizi pangan dan program komputer yang menyajikan data DKPI. FAO
melalui INFOODS (The International Network of Food Data Systems) mengkompilasi sejenis
DKPI dari berbagai negara di dunia dalam International Food Composition Tables Directory.
Kegiatan yang telah dilakukan sejak bulan September 1988 tersebut didukung oleh database
dari berbagai wilayah regional, termasuk Asia Tenggara melalui dibentuknya ASEANFOODS
(The Association of Southeast Asian Network of Food Data Systems). ASEANFOODS
didirikan pada tahun 1986 oleh 6 negara, yaitu Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia,
Filipina, Singapura, dan Thailand. Vietnam ikut serta menjadi anggota pada tahun 1996,
dilanjutkan dengan Kamboja, Myanmar, dan Laos pada tahun 2001. Dalam rangka
mengkoordinasikan kegiatan masing-masing negara anggota, Institute of Nutrition, University
of Mahidol (INMU) ditunjuk sebagai pusat regional ASEANFOODS sejak tahun 1986 and
juga sebagai pusat database regional INFOODS sejak tahun 1991. Tujuan utama jaringan ini
adalah untuk mempromosikan dan mendukung perkembangan database komposisi pangan
masing-masing negara dan regional, dan memastikan database tersebut terjaga dengan standar
yang tinggi serta dapat diakses oleh pengguna, baik di wilayah ASEAN maupun di wilayah
regional lain. Jaringan ini didedikasikan agar dapat berkontribusi bagi keberlanjutan ilmu
pengetahuan menuju perbaikan ketahanan pangan dan gizi serta pencapaian konsumsi yang
berkelanjutan.

Berdasarkan laporan Workshop ASEANFOODS 2011, anggota ASEANFOODS menyetujui


bahwa program kompilasi yang diciptakan oleh FAO/INFOODS berisi seluruh informasi
yang diperlukan sebagai kompilasi data yang berkualitas (Institute of Nutrition, 2011).
Kompilasi tersebut dapat digunakan sebagai model bagi kompilasi database komposisi pangan
(sejenis DKPI) masing-masing negara di masa yang akan datang, namun belum dapat
digunakan pada DKPI yang lalu atau yang saat ini sedang berlaku karena tidak terdapat

174
informasi mengenai program tersebut. Selain itu, program tersebut juga memiliki jumlah sel
(baris dan kolom) yang terbatas.

Dalam workshop tersebut, INFOODS merekomendasikan bahwa anggota regional dan


masing-masing negara mengumpulkan data “pati dan gula” untuk memperoleh jumlah
karbohidrat suatu pangan yang lebih akurat. Jika “total karbohidrat dihitung dengan by
difference” dilanjutkan untuk digunakan, Dr. Ruth Charrondiere (INFOODS) menyarankan
“karbohidrat” dihitung dengan “tanpa serat makanan” dengan menggunakan metode sudah
terstandarisasi. Peserta dari Filipina dan Thailand menginformasikan bahwa untuk pelabelan
gizi, berdasarkan peraturan US FDA dan Thai FDA, “total karbohidrat dihitung dengan by
difference (dengan serat makanan)” harus digunakan. Makalah ini disusun dengan tujuan
untuk memberikan pertimbangan ilmiah sebagai dasar pemikiran dalam pengembangan Daftar
Komposisi Pangan Indonesia (DKPI).

Perkembangan DKPI di Indonesia

Keberadaan DKPI di Indonesia sudah berlangsung cukup lama. DKPI yang awalnya bernama
Daftar Analisa Bahan-Bahan Makanan disusun pertama kali pada tahun 1953 oleh Lembaga
Makanan Rakjat di bawah Kementerian Kesehatan (Visser dan Pol, 1953). Daftar tersebut
berisi kandungan energi dalam satuan gram dan 9 komponen zat gizi, yaitu protein, hidrat
arang (karbohidrat), kalsium, fosfor, besi, vitamin A, vitamin B1, vitamin C, dan air per 100
gram bahan makanan yang dapat dimakan (edible portion). Bahan makanan yang terdapat
dalam daftar tersebut berjumlah 353 dan disusun berdasarkan abjad. Walaupun demikian, data
komposisi dalam daftar tersebut diperoleh dari berbagai sumber di berbagai negara, belum
melalui analisis bahan makanan secara langsung. Selanjutnya, Lembaga Makanan Rakjat
menerbitkan daftar selanjutnya pada tahun 1958 dengan penambahan jumlah makanan
menjadi 371 (Lembaga Makanan Rakjat, 1958). Pada tahun 1960, Lembaga Makanan Rakjat
kembali menerbitkan DKPI dengan beberapa perubahan, yaitu 1) Nilai Kalori diperoleh dari
penjumlahan protein (g), lemak (g) dan hidrat arang (g) dengan menggunakan faktor Atwater,
yaitu 4, 9 dan 4 untuk masing-masing zat gizi tersebut; 2) Bahan makanan digolongkan
berdasarkan sumber zat gizi (sumber hidrat arang, sumber vitamin dan garam, sumber protein
dan lemak serta lain-lain); dan 3) Hidrat arang ditentukan dengan nilai cerna (Lembaga
Makanan Rakjat, 1958).

Daftar Analisa Bahan Makanan yang diterbitkan pada tahun 1964 (Nio & Hong, 1964) telah
berisi perhitungan karbohidrat dengan menggunakan “by difference”, yaitu dengan cara
mengurangi 100 dengan kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak. Penggolongan
bahan makanan juga mengalami perubahan, yaitu sesuai dengan daftar bahan makanan
internasional. Pada daftar tersebut, daftar analisa bahan makanan negara lain, terutama yg
iklimnya hampir sama dengan Indonesia, seperti Hawaii dan Filipina, digunakan sebagai
sumber data DKPI Indonesia. Selain itu, kadar asam amino esensial (tryptophan, threonine,
isoleucine, leucine, lysine, methionine, cystine, phenylalanine, valine) dari beberapa
penelitian di Indonesia juga telah dicantumkan dalam daftar tersebut.

Nama Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) mulai digunakan pada tahun 1967, 1972,
1979 dan 1981 (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1967;1972; 1979; 1981) melalui
daftar yang diterbitkan Bhratara Karya Aksara, Jakarta. Walaupun demikian, belum ada
perubahan besar dari daftar sebelumnya kecuali penambahan jumlah pangan yang tercakup,
yaitu 415 pangan. Pada tahun 1990, selain pangan alami dan terolah, DKPI telah meliputi

175
makanan siap santap, seperti keripik singkong dan telur ayam dadar. Daftar tersebut juga
sudah dilengkapi beberapa komposisi lain, yaitu:1) riboflavin dan niasin beberapa pangan, 2)
asam amino esensial (isoleusin, leusin, lisin, metionin, sistin, fenilalanin, tirosin, treonin,
triptofan, valin, asam amino esensial total, skor asam amino, asam amino pembatas), dan 3)
asam amino tidak esensial (arginin, histidin, alanin, asam aspartat, asam glutamate, glisin,
prolin, serin, asam amino tidak esensial total). Walaupun demikian, sejak 1960 hingga 1990,
data komposisi, baik jenis makanan maupun jenis zat gizi hampir tidak mengalami
penambahan (Mahmud et al., 1990).

Pada tahun 1990, disusun buku Pedoman Analisis Zat Gizi oleh Dr. Dewi Sabita Slamet, Dr.
Mien K. Mahmud, Dr. Muhilal, Dr. Ir. Dedi Fardiaz, J.P. Simarmata, MSc yang diterbitkan
oleh Direktorat Bina Gizi Masyarakat dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi,
Departemen Kesehatan RI. Buku tersebut memberi panduan mengenai cara analisis zat gizi,
meliputi proksimat (air, abu, lemak, protein, serat kasar, serat makanan total, karbohidrat),
mineral, vitamin, dan asam-asam, hingga zat anti gizi (asam fitat, asam oksalat, tanin, anti
tripsin).

Selain Departemen Kesehatan, DKPI juga disusun oleh Fakultas Kedokteran, Universitas
Indonesia pada tahun 1992 (Nio, 1992). Daftar ini memuat komposisi zat gizi dan jenis
makanan yang sama dengan DKPI tahun 1990 yang dibuat Departemen Kesehatan.
Perbedaannya hanya pada penggunaan satuan untuk vitamin A yang sebelumnya
menggunakan IU berubah menjadi mcg dengan vitamin A yang disetarakan dengan retinol.
DKPI yang disusun pada tahun 1995 telah dilengkapi dengan komposisi zat gizi makanan siap
santap Indonesia dan siap santap luar negeri (fast food) serta makanan produk industri
(makanan bayi, makanan anak, makanan ibu hamil dan menyusui). DKPI tersebut juga
memiliki jenis pangan yang lebih banyak dari sebelumnya (Mukrie et al, 1995).

Riset Unggulan Terpadu mengenai “Penelitian Komposisi Zat Gizi Makanan Untuk
Menunjang Penanganan Masalah Gizi Ganda” dengan peneliti utama Dr. Mien Karmini
Mahmud dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi Bogor dilakukan pada tahun 1997.
Penelitian yang dilakukan di 12 provinsi di luar pulau Jawa (NAD, Jambi, Bengkulu,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Selatan, NTB, Maluku, Irian Jaya, dan Timor Timur) dengan 390 contoh makanan tersebut
menjadi dasar pembuatan DKPI tahun 2001. DKPI yang disusun pada tahun 2001 telah
dilengkapi dengan kandungan natrium, kalium, tembaga, dan seng (Karmini et al.,
2001).Pengelompokan makanan telah dibuat sesuai buku komposisi zat gizi makanan
ASEAN, yaitu penggolongan suatu makanan menurut penggunaannya atau menurut
kelompok besarnya.Daftar tersebut disajikan dalam 3 kelompok, yaitu makanan mentah dan
masak, makanan terolah, dan masakan.

Berbagai komposisi yang terdapat pada 12 daftar yang diterbitkan sebelumnya selanjutnya
dikompilasikan ke dalam Tabel Komposisi Pangan Indonesia pada tahun 2008 oleh
PERSAGI (Mahmud et al., 2008). Daftar pada terbitan terakhir ini memuat 296 jenis pangan
dengan komposisi yang meliputi air, energi, protein, lemak, karbohidrat, serat, abu, kalsium,
pospor, besi natrium, kalium, tembaga, seng, retinol, beta karoten, karoten total, tiamin
riboflavin, niasin dan vitamin C.

176
Perkembangan DKPI di Berbagai Negara

Sejak 2002, hanya Singapura (2003) dan Vietnam (2007) yang telah mempublikasi DKPI
baru. Negara-negara yang lain masih menggunakan daftar versi sebelumnya yang dipublikasi
pada periode tahun 1997-1999 dan sedang memperbaiki, memperbarui sehingga direncanakan
untuk memiliki DKPI baru pada tahun 2013. Di Myanmar, dua versi DKPI telah dipublikasi,
yaitu pada tahun 1994 dan versi revisi pada tahun 2002. Nama kelompok pangan bervariasi
tiap daftar dan jumlah kelompok pangan bervariasi dari 13 (Myanmar) hingga 17 (Filipina).

Seluruh DKPI berisi data komposisi proksimat, beberapa vitamin dan zat gizi makro dan zat
gizi mikro. DKPI Myanmar belum memiliki data kandungan abu dan serat makanan.DKPI
Malaysia dan Vietnam memiliki data serat kasar. Beberapa jenis pangan di dalam DKPI
Filipina memiliki data keduanya (data serat makanan diperoleh dari pustaka lokal dan daftar
negara lain). Data serat makanan selanjutnya akan dimasukkan dalam versi terbaru DKPI
negara-negara tersebut. Hanya Singapura yang memperoleh data karbohidrat dari “pati +
gula”; yang lain – Myanmar, Filipina, Thailand – menghitung karbohidrat dengan by
difference yang mengikutsertakan serat makanan. Malaysia dan Vietnam (terdapat serat kasar
dalam daftarnya) menghitung karbohidrat dengan “by difference” namun tanpa serat kasar.
DKPI Malaysia, Singapura, Thailand dan Vietnam memiliki data asam lemak, kolesterol dan
gula. DKPI Malaysia, Thailand (data dari Divisi Gizi, Kementerian Kesehatan Masyarakat)
dan Vietnam memiliki data beberapa asam lemak. Jumlah jenis zat gizi pada tiap database
bervariasi dari 13 (Myanmar) hingga 85 (Vietnam). Tidak semua DKPI Myanmar, Singapura
dan Vietnam berasal dari hasil analisis; beberapa merupakan data pinjaman (borrowing) atau
hasil perhitungan.DKPI Malaysia, Thailand dan hampir semua (kecuali serat makanan) dari
DKPI Filipina berasal dari hasil analisis langsung, kecuali energi, protein (berdasarkan total
nitrogen), karbohidrat dan retinol equivalent, yang diperoleh dengan menggunakan faktor
konversi.

Beberapa negara di ASEAN juga sudah mempunyai program manajamen database seperti
NutriCal (Malaysia), FOCOS (Singapura), dan INMUCAL (Thailand). Program tersebut
mengizinkan pengguna untuk mengakses database DKPI yang paling terbaru melalui internet.

Pentingnya Pengembangan DKPI Indonesia

Apabila dibandingkan dengan beberapa Negara lain Negara lain di ASEAN seperti Singapura,
Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina, maka keberadaan DKPI Indonesia masih yang
terendah baik dari jumlah jenis pangan maupun jenis zat gizi yang disajikan. Sebagai contoh,
Singapura telah memiliki DKPI yang memuat 3500 jenis pangan dan zat gizi lain seperti asam
lemak, kolesterol, gula dan pati, serta serat pangan. Thailand memiliki DKPI terbaru yang
dikeluarkan pada tahun 2002 yang mencakup 13 kelompok makanan dan 3794 jenis makanan.
Kandungan kolesterol, 21 asam lemak, asam lemak jenuh dan gula sudah ditambahkan dalam
daftar tersebut.Edisi paling akhir dari DKPI Filipina yang dikeluarkan pada tahun 1997 sudah
mencakup 1541 jenis makanan dan 17 komponen makanan termasuk serat kasar dan serat
makanan.Keterlibatan Indonesia dalam jaringan Association of Southeast Asian Network of
Food Data Systems (ASEANFOODS) juga belum maksimal.

Memperhatikan kondisi DKPI yang ada di Indonesia saat ini, maka dirasakan sangat perlu
untuk dikembangkan. Prioritas seharusnya diberikan untuk segera menyelesaikan penyusunan
database pangan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia. Teknik sampling yang tepat dan

177
metode analisis yang sesuai dengan kemajuan Iptek harus diperhatikan.Konversi perhitungan
komposisi zat gizi akibat pengolahan dan penyimpanan perlu mendapat perhatian.

Mengingat kemungkinan adanya berbagai kendala untuk menyusun DKPI yang lengkap
dalam waktu yang relatif singkat, maka beberapa pertimbangan perlu dilakukan. Kerjasama
yang melibatkan berbagai stakeholders dan shareholders perlu dioptimalkan untuk
membiayai dan melaksanakan pekerjaan analisis pangan di laboratorium. Koordinasi antar
insitusi dan standarisasi metoda analisis laboratorium merupakan faktor yang akan
menentukan kualitas data yang akan dihasilkan. Untuk menghindari jumlah dan jenis pangan
yang sangat banyak, pemilihan jumlah pangan yang akan dianalisis perlu mempertimbangkan
keberadaan suatu pangan apakah sebagai pangan utama (major) atau pangan minor. Apabila
prosedur penetapan kadar zat gizi dinilai layak dan benar, serta memenuhi norma akademik yang
berlaku maka penggunaan data yang sudah tersedia di berbagai institusi yang melaksanakan
program penelitian dan pengembangan (borrowing) dapat pula dilakukan. Apabila
memungkinkan maka keberadaan komponen pangan yang menunjang fungsi gizi seperti
fitosterol dan zat antioksidan dapat pula dipertimbangkan.

Untuk segera mewujudkan keberadaan DKPI Indonesia yang lebih menggambarkan


keberagaman pangan dan kecukupan gizi masyarakat di Indonesia maka berbagai langkah
nyata harus segera dilakukan. Diperlukan adanya keputusan politik pemerintah yang tegas,
pendelegasian tugas yang jelas, penyusunan “roadmap” yang terstruktur, dukungan dana
yang pasti, program manajemen database pangan yang baik, keberadaan laboratorium dan
jaringan antar laboratorium yang efektif, serta pengembangan sumberdaya manusia yang
menguasai keilmuan penyusunan komposisi zat gizi pangan secara berkesinambungan.
Penyebutan nama untuk data komposisi pangan/zat gizi yang digunakan di Indonesia juga
perlu disepakati bersama mengingat penggunaan kata “tabel/daftar/data” serta kata “bahan
makanan/makanan/pangan/zat gizi” sering memberikan arti pemahaman yang berbeda.

Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan

Informasi mengenai komposisi zat gizi pangan sangat diperlukan untuk penilaian tingkat
kecukupan gizi, penyusunan menu, pendidikan gizi dan perencanaan kebijakan pangan dan
gizi. Apabila dibandingkan dengan beberapa negara lain di ASEAN, seperti Singapura,
Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina, maka keberadaan DKPI Indonesia masih yang
terendah baik dari jumlah dan jenis pangan maupun jenis zat gizi yang disajikan.

Saran

Untuk segera mewujudkan keberadaan DKPI, diperlukan adanya keputusan politik


pemerintah yang tegas, pendelegasian tugas yang jelas, penyusunan “roadmap” yang
terstruktur, dukungan dana yang pasti, program manajemen database pangan yang baik,
keberadaan laboratorium dan jaringan antar laboratorium yang efektif, serta pengembangan
sumberdaya manusia yang menguasai keilmuan penyusunan komposisi zat gizi pangan secara
berkesinambungan.

178
Daftar Pustaka
1. Departemen Kesehatan. (1981) . “Daftar Komposisi Bahan Makanan”. Jakarta : Bhratara Karya Aksara.
2. ___________________. (2001). “Komposisi Zat Gizi Makanan Indonesia”. Jakarta : Pusat Penelitian dan
Pengembangan Gizi, Departemen Kesehatan RI.
3. Elmadfa, I & Meyer, AL. (2010). “Importance of Food Composition Data to Nutrition and Public Health”.
Eur J Clin Nutr, 64 Suppl 3, S4-7
4. Institute of Nutrition. (2011). “Report of ASEANFOODS Workshop 2011 : INFOODS Training and
ASEANFOODS Activities”, 18-21 July 2011, Institute of Nutrition Mahidol University, Bangkok, Thailand.
5. Lembaga Makanan Rakjat. (1958). “Daftar Analisa Bahan-Bahan Makanan”. Jakarta : Lembaga Makanan
Rakjat, Kementerian Kesehatan RI.
6. ______________________. (1960). “Daftar Analisa Bahan Makanan”. Jakarta : Lembaga Makanan Rakjat,
Kementerian Kesehatan RI.
7. Mahmud MK, Slamet DS, Apriyantono RR, Hermana. (1990). “Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia”.
Jakarta : Direktorat Bina Gizi Masyarakat dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi, Departemen
Kesehatan RI.
8. Mahmud MK, Zulfianto NA. (2008). “Tabel Komposisi Pangan Indonesia”. Jakarta : Elex Media
Komputindo.
9. Mukrie NA, Chatidjah S, Masoara S, Alhabsyi A, Djasmidar AT, Bernadus HA, Mahmud MK, Hermana,
Slamet DS, Apriyantono RR, Soemodiharjo S, Muhtadi D. (1995). “Daftar Komposisi Zat Gizi Pangan
Indonesia”. Jakarta : Direktorat Bina Gizi Masyarakat dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi,
Departemen Kesehatan RI.
10. Nio OK, Hong LG. (1964). “Daftar Analisa Bahan Makanan”. Jakart a: Lembaga Makanan Rakjat,
Kementerian Kesehatan RI.
11. Nio OK. (1992). “Daftar Analisis Bahan Makanan”. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
12. Visser JWB & Pol Avd. (1953). “Daftar Analisa Bahan-Bahan Makanan”. Jakarta : Lembaga Makanan
Rakjat.
13. Williamson, C. (2006). “Synthesis report No 2: The Different Uses of Food Composition Databases”.
British Nutrition Foundation, European Food Information Resource Consortium (EuroFIR).

179
LAMPIRAN - Tabel 1. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak, Karbohidrat, Serat dan Air yang dianjurkan untuk orang Indonesia (per orang per hari)

Kelompok umur BB TB Energi Protein Lemak Karbohidrat Serat Air


(kg) (cm) (kkal) (g) (g) (g) (g) (mL)
Total n-6 n-3
Bayi/Anak
0 – 6 bulan 6 61 550 12 34 4,4 0,5 58 0 -
7 – 11 bulan 9 71 725 18 36 4,4 0,5 82 10 800
1-3 tahun 13 91 1125 26 44 7,0 0,7 155 16 1200
4-6 tahun 19 112 1600 35 62 10,0 0,9 220 22 1500
7-9 tahun 27 130 1850 49 72 10,0 0,9 254 26 1900
Laki-laki
10-12 tahun 34 142 2100 56 70 12,0 1,2 289 30 1800
13-15 tahun 46 158 2475 72 83 16,0 1,6 340 35 2000
16-18 tahun 56 165 2675 66 89 16,0 1,6 368 37 2200
19-29 tahun 60 168 2725 62 91 17,0 1,6 375 38 2500
30-49 tahun 62 168 2625 65 73 17,0 1,6 394 38 2600
50-64 tahun 62 168 2325 65 65 14,0 1,6 349 33 2600
65-80 tahun 60 168 1900 62 53 14,0 1,6 309 27 1900

180
80+ tahun 58 168 1525 60 42 14,0 1,6 248 22 1600
Perempuan
10-12 tahun 36 145 2000 60 67 10,0 1,0 275 28 1800
13-15 tahun 46 155 2125 69 71 11,0 1,1 292 30 2000
16-18 tahun 50 158 2125 59 71 11,0 1,1 292 30 2100
19-29 tahun 54 159 2250 56 75 12,0 1,1 309 32 2300
30-49 tahun 55 159 2150 57 60 12,0 1,1 323 30 2300
50-64 tahun 55 159 1900 57 53 11,0 1,1 285 28 2300
65-80 tahun 54 159 1550 56 43 11,0 1,1 252 22 1600
80+ tahun 53 159 1425 55 40 11,0 1,1 232 20 1500
Hamil (+an)
Trimester 1 +180 +20 +6 +2,0 +0,3 +25 +3 +300
Trimester 2 +300 +20 +10 +2,0 +0,3 +40 +4 +300
Trimester 3 +300 +20 +10 +2,0 +0,3 +40 +4 +300
Menyusui (+an)
6 bln pertama +330 +20 +11 +2,0 +0,2 +45 +5 +800
6 bln kedua +400 +20 +13 +2,0 +0,2 +55 +6 +650
Catatan: BB dan TB adalah nilai median berat dan tinggi badan orang Indonesia dengan status gizi normal berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 dan 2010. Angka ini
dicantumkan agar AKG dapat disesuaikan dengan kondisi berat dan tinggi badan kelompok yang bersangkutan
Tabel 2. Angka Kecukupan Vitamin yang dianjurkan untuk orang Indonesia (per orang per hari)

Kelompok umur Vitamin Vitamin Vitamin Vitamin Vitamin Vitamin Vitamin Vitamin B5 Vitamin Folat Vitamin Biotin Kolin Vitamin
A D E K B1 B2 B3 (Pantotenat B6 (mcg) B12 (mcg) (mg) C
(mcg) (mcg) (mg) (mcg) (mg) (mg) (mg) ) (mg) (mg) (mcg) (mg)
Bayi/Anak
0 – 6 bulan 375 5 4 5 0,3 0,3 2 1,7 0,1 65 0,4 5 125 40
7 – 11 bulan 400 5 5 10 0,4 0,4 4 1,8 0,3 80 0,5 6 150 50
1-3 tahun 400 15 6 15 0,6 0,7 6 2,0 0,5 160 0,9 8 200 40
4-6 tahun 450 15 7 20 0,8 1,0 9 2,0 0,6 200 1,2 12 250 45
7-9 tahun 500 15 7 25 0,9 1,1 10 3,0 1,0 300 1,2 12 375 45
Laki-laki
10-12 tahun 600 15 11 35 1,1 1,3 12 4,0 1,3 400 1,8 20 375 50
13-15 tahun 600 15 12 55 1,2 1,5 14 5,0 1,3 400 2,4 25 550 75
16-18 tahun 600 15 15 55 1,3 1,6 15 5,0 1,3 400 2,4 30 550 90
19-29 tahun 600 15 15 65 1,4 1,6 15 5,0 1,3 400 2,4 30 550 90
30-49 tahun 600 15 15 65 1,3 1,6 14 5,0 1,3 400 2,4 30 550 90
50-64 tahun 600 15 15 65 1,2 1,4 13 5,0 1,7 400 2,4 30 550 90
65-80 tahun 600 20 15 65 1,0 1,1 10 5,0 1,7 400 2,4 30 550 90

181
80+ tahun 600 20 15 65 0.8 0,9 8 5,0 1,7 400 2,4 30 550 90
Perempuan
10-12 tahun 600 15 11 35 1,0 1,2 11 4,0 1,2 400 1,8 20 375 50
13-15 tahun 600 15 15 55 1,1 1,3 12 5,0 1,2 400 2,4 25 400 65
16-18 tahun 600 15 15 55 1,1 1,3 12 5,0 1,2 400 2,4 30 425 75
19-29 tahun 500 15 15 55 1,1 1,4 12 5,0 1,3 400 2,4 30 425 75
30-49 tahun 500 15 15 55 1,1 1,3 12 5,0 1,3 400 2,4 30 425 75
50-64 tahun 500 15 15 55 1.0 1,1 10 5,0 1,5 400 2,4 30 425 75
65-80 tahun 500 20 15 55 0,8 0,9 9 5,0 1,5 400 2,4 30 425 75
80+ tahun 500 20 15 55 0,7 0,9 8 5,0 1,5 400 2,4 30 425 75
Hamil (+an)
Trimester 1 +300 +0 +0 +0 +0,3 +0,3 +4 +1,0 +0,4 +200 +0,2 +0 +25 +10
Trimester 2 +300 +0 +0 +0 +0,3 +0,3 +4 +1,0 +0,4 +200 +0,2 +0 +25 +10
Trimester 3 +350 +0 +0 +0 +0,3 +0,3 +4 +1,0 +0,4 +200 +0,2 +0 +25 +10
Menyusui (+an)
6 bln pertama +350 +0 +4 +0 +0,3 +0,4 +3 +2,0 +0,5 +100 +0,4 +5 +75 +25
6 bln kedua +350 +0 +4 +0 +0,3 +0,4 +3 +2,0 +0,5 +100 +0,4 +5 +75 +25
Tabel 3. Angka Kecukupan Mineral yang dianjurkan untuk orang Indonesia (per orang per hari)

Kelompok umur Kalsium Fosfor Magnesium Natrium Kalium Mangan Tembaga Kromium Besi Iodium Seng Selenium Fluor
(mg) (mg) (mg) (mg) (mg) (mg) (mcg) (mcg) (mg) (mcg) (mg) (mcg) (mg)
Bayi/Anak
0 – 6 bulan 200 100 30 120 500 - 200 - - 90 - 5 -
7 – 11 bulan 250 250 55 200 700 0,6 220 6 7 120 3 10 0.4
1-3 tahun 650 500 60 1000 3000 1,2 340 11 8 120 4 17 0.6
4-6 tahun 1000 500 95 1200 3800 1,5 440 15 9 120 5 20 0.9
7-9 tahun 1000 500 120 1200 4500 1,7 570 20 10 120 11 20 1.2
Laki-laki
10-12 tahun 1200 1200 150 1500 4500 1,9 700 25 13 120 14 20 1.7
13-15 tahun 1200 1200 200 1500 4700 2,2 800 30 19 150 18 30 2.4
16-18 tahun 1200 1200 250 1500 4700 2,3 890 35 15 150 17 30 2.7
19-29 tahun 1100 700 350 1500 4700 2,3 900 35 13 150 13 30 3.0
30-49 tahun 1000 700 350 1500 4700 2,3 900 35 13 150 13 30 3.1
50-64 tahun 1000 700 350 1300 4700 2,3 900 30 13 150 13 30 3.1

182
65-80 tahun 1000 700 350 1200 4700 2,3 900 30 13 150 13 30 3.1
80+ tahun 1000 700 350 1200 4700 2,3 900 30 13 150 13 30 3.1
Perempuan
10-12 tahun 1200 1200 155 1500 4500 1,6 700 21 20 120 13 20 1.9
13-15 tahun 1200 1200 200 1500 4500 1,6 800 22 26 150 16 30 2.4
16-18 tahun 1200 1200 220 1500 4700 1,6 890 24 26 150 14 30 2.5
19-29 tahun 1100 700 310 1500 4700 1,8 900 25 26 150 10 30 2.5
30-49 tahun 1000 700 320 1500 4700 1,8 900 25 26 150 10 30 2.7
50-64 tahun 1000 700 320 1300 4700 1,8 900 20 12 150 10 30 2.7
65-80 tahun 1000 700 320 1200 4700 1,8 900 20 12 150 10 30 2.7
80+ tahun 1000 700 320 1200 4700 1,8 900 20 12 150 10 30 2.7
Hamil (+an)
Trimester 1 +200 +0 +40 +0 +0 +0,2 +100 +5 +0 +70 +2 +5 +0
Trimester 2 +200 +0 +40 +0 +0 +0,2 +100 +5 +9 +70 +4 +5 +0
Trimester 3 +200 +0 +40 +0 +0 +0,2 +100 +5 +13 +70 +10 +5 +0
Menyusui (+an)
6 bln pertama +200 +0 +0 +0 +400 +0,8 +400 +20 +6 +100 +5 +10 +0
6 bln kedua +200 +0 +0 +0 +400 +0,8 +400 +20 +8 +100 +5 +10 +0

Vous aimerez peut-être aussi