Vous êtes sur la page 1sur 23

A

STIKes FALETEHAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA


PENYAKIT SLE

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas


mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah IV

disusun oleh :

1. SAMSUL ROHMAN (1018032077)


2. M. FAJAR ARIFULLAH (10180320)
3. DIKI SETIAWAN
4. MESSA SULFI

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN FALETEHAN
SERANG BANTEN
Maret 2019

1
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem kekebalan tubuh ( Imunitas ) adalah suatu organ komplek yang
memproduksi sel-sel yang khusus yang dibedakan dengan sistem peredaran
darah dari sel darah merah, tetapi bekerja sama dalam melawan infeksi
penyakit ataupun masuknya benda asing kedalam tubuh. Semua sel imun
mempunyai bentuk dan jenis sangat bervariasi dan bersirkulasi dalam sistem
imun dan diproduksi oleh sumsum tulang. Sedangkan kelenjar limfe adalah
kelenjar yang dihubungkan satu sama lain oleh saluran limfe yang merupakan
titik pertemuan dari sel-sel sistem imun yang mempertahankan diri dari benda
asing yang masuk kedalam tubuh. Mikroorganisme yang menyerang tubuh
kita dapat berupa bakteri, virus, jamur ataupun bahan kimia.Respon tubuh
terhadap imun pada dasarnya berupa proses pengenalan dan eliminasi. Jika
salah satu atau kedua proses ini terganggu maka akan terjadi gangguan
patologis.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi sistem imun?
2. Apa definisi dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven Johnson
Syndrome?
3. Bagaimana etiologi dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven
Johnson Syndrome?
4. Bagaimana patofisiologi dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven
Johnson Syndrome?
5. Apa manifestasi klinis dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven
Johnson Syndrome?
6. Apa klasifikasi dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven Johnson
Syndrome?
7. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas,
dan Steven Johnson Syndrome?
8. Bagaimana evaluasi dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven
Johnson Syndrome?
9. Bagaimana penatalaksanaan dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan
Steven Johnson Syndrome?

2
10. Bagaimana komplikasi dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan Steven
Johnson Syndrome?
11. Bagaimana asuhan keperawatan dari SLE, Reaksi Hipersensitivitas, dan
Steven Johnson Syndrome?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa sebagai calon perawat yang professional diharapkan
mengerti dan memahami penyakit imunologi SLE, Reaksi
Hipersensitivitas dan Steven Johnson Syndrome serta mampu
memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem
imunologis dengan tepat.
1.3.2 Tujuan Khusus
Mengetahui anatomi, definisi, etiologi, klasifikasi, manifestasi klinis,
pemeriksaan diagnostic, penatalaksanaan, komplikasi dan asuhan
keperawatan yang tepat untuk gangguan sistem imunologis.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Sistem Imun

3
Imunologi adalah suatu ilmu yang mempelajari antigen, antibody, dan
fungsi pertahanan tubuh penjamu yang diperantarai oleh sel, terutama
berhubungan imunitas terhadap penyakit, reaksi biologis hipersensitif, alergi
dan penolakan jaringan.
Sistem imun adalah sistem pertahanan manusia sebagai perlindungan
terhadap infeksi dari makromolekul asing atau serangan organism, termasuk
virus, bakteri, protozoa dan parasit. Sistem kekebalan juga berperan dalam
perlawanan terhadap protein tubuh molekul lain seperti yang terjadi pada
autoimunitas dan melawan sel yang teraberasi menjadi tumor
Letak sistem imun

Fungsi sistem imun


1. Sumsum
Semua sel sistem kekebalan tubuh berasal dari sel-sel induk dalam
sumsum tulang. Sumsum tulang adalah tempat asal sel darah merah, sel
darah putih, (termasuk limfosit dan makrofag) dan platelet. Sel-sel dari
sistem kekebalan tubuh juga terdapat di tempat lain.
2. Thymus
Glandula thymus memproduksi dan mematurasi/mematangkan T limfosit
yang kemudian bergerak ke jaringan limfatik yang lain, dimana T limfosit
dapat berrespon terhadap benda asing. Thymus mensekresi 2 hormon

4
thymopoetin dan thymosin yang menstimulasi perkembangan dan aktivitas
T limfosit.
a. Limfosit T sitotoksik
Limfosit yang berperan dan imunitas yang diperantarai sel. Sel T
sitotoksik memonitor sel di dalam tubuh dan menjadi aktif bila
menjumpai sel dengan antigen permukaan yang abnormal. Bila telah
aktif sel T sitotoksik menghancurkan sel abnormal.
b. Limfosit T helper
Limfosit yang dapat meningkatkan respon sistem imun normal. Ketika
distimulasi oleh antigen presenting sel seperti makrofag, T helper
melepas faktor yang menstimulasi proliferasi sel B limfosit.
c. Limfosit B
Tipe sel darah putih atau leukosit penting untuk imunitas yang
diperantarai antibody/humoral. Ketika di stimulasi oleh antigen
spesifik limfosit B akan berubah menjadi sel memori dan sel plasma
yang memproduksi antibody.
d. Sel plasma
Klon limfosit dari sel B yang terstimulasi. Plasma sel berbeda dari
limfosit lain, memiliki reticulum endoplamik kasar dalam jumlah yang
banyak, aktif memproduksi antibody.
3. Getah bening
Kelenjar getah bening berbentuk kacang kecil terbaring di sepanjang
perlanan limfatik. Terkumpul dalam situs tertentu seperti leher, axillae,
selangkangan, dan para-aorta daerah.
4. Nodus limfatikus
Nodus limfatikus (limfonodi) terletak sepanjang sistem limfatik. Nodus
limfatikus mengandung limfosit dalam jumlah banyak dan makrofag yang
berperan melawan mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh. Limfe
bergerak melalui sinus, sel fagosit menghilangkan benda asing. Pusat
germinal merupakan produksi limfosit.
5. Tonsil
Tonsil adalah sekumpulan besar limfonodi terletak pada rongga mulut dan
nasofaring. Tiga kelompok tonsil adalah tonsil palatine, tonsil lingual dan
tonsil pharyngeal.
6. Limpa/spleen
Limpa mendeteksi dan merespon terhadap benda asing dalam darah,
merusak eritrosit dan sebagi penyimpan darah. Parenkim limpa terdiri dari
2 tipe jaringan yaitu pulpa merah dan pulpa putih.

5
a. Pulpa merah terdiri dari sinus dan di dalamnya terisi eritrosit.
b. Pulpa putih terdiri dari limfosit dan makrofag.
Benda asing di dalam darah yang melalui pulpa putih dapat menstimulasi
limfosit.

2.2 SLE (Systemic Lupus Erythematosus)

2.2.1 Definisi

Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah suatu penyakit


inflamasi autoimun pada jaringan penyambung yang dapat mencakup
ruam kulit, nyeri sendi, dan keletihan. Penyakit ini lebih sering terjadi
pada wanita daripada pria dengan faktor 10:1. Androgen mengurangi
gejala SLE, dan estrogen memperburuk keadaan tersebut. Gejala
memburuk selama fase luteal siklus menstruasi, namun tidak
dipengaruhi pada derajat yang besar oleh kehamilan (Elizabeth, 2009).

Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit vaskuler


kolagen (suatu penyakit autoimun). Ini berarti tubuh manusia
menghasilkan antibody terhadap organ tubuhnya sendiri, yang dapat
merusak organ tersebut dan fungsinya. Lupus dapat menyerang banyak
bagian tubuh termasuk sendi, ginjal, paru-paru serta jantung (Glade,
1999).

SLE (systemic lupus erythematosus) adalah sejenis rema jaringan


yang bercirikan nyeri sendi (artralgia), demam, malaise umum dan
erythema dengan pola berbentuk kupu-kupu khas di pipi muka. Darah
mengandung antibody beredar terhadap IgG dan imunokompleks, yakni
kompleks antigen-antibodi-komplemen yang dapat mengendap dan
mengakibatkan radang pembuluh darah (vaskulitis) dan radang ginjal.
Sama dengan rematik, SLE juga merupakan penyakit autoimun, teteapii
jauh lebih jarang terjadi dan terutama timbul pada wanita. Sebabnya
tidak diketahui, penanganannya dengan kortikosteroida atau secara
alternative dengan sediaan enzim (papain 200 mg+bromelain 110
mg+pankreatin 100 mg+vitamin E 10 mg) 2 dd 1 kapsul (Tan&Kirana,
2007).

6
Suatu peradangan kronis jaringan ikat mengenai sendi, ginjal,
selaput serosa permukaan, dan dinding pembuluh darah yang belum jelas
penyebabnya. Peradangan kronis ini mengenai perempuan muda dan
anak-anak. 90% penderita penyekit SLE adalah perempuan.

Obat yang digunakan pada SLE mencakup agens sitotoksik,


seperti siklofosfamida. Konseling prakehamilan dapat membantu
menentukan terapi yang aman digunakan baik pada kehamilan maupun
menyusui.

2.2.2 Etiologi

Antibody anti Ro dan anti La dapat menyebabkan sindrom lupus


neonates dengan melinttasi plasenta. Sindrom ini dapat bermanifestasi
sebagai lesi kulit atau blok jantung congenital.

Faktor genetic mempunyai peranan yang sangat penting dalam


kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10%-20% pasien SLE
mempunyai kerabat dekat yang menderita SLE. Penelitian terakhir
menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antaral ain haptolip
MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang
berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu yaitu Crq,
Cir, Cis, C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengode reseptor sel T,
immunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003).

Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar


UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga
menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta
menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi
oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mampunyai
gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat
banyak terakumulas di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat
untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini di respon sebagai benda
asing tersebut (Herfindal et al., 2000). Makanan sepertiwijen (alfafa
sprouts) yang mengandung asam aino L-cannavine dapat mengurangi

7
respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE
(Delafuente, 2002). Selain itu infeksi virus dan bakteri juga
menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme
menyebabkan peningkatan antibody entiviral sehingga mengaktivasi sel
B limfosit nonspesifik yang yang akan memicu terjadinya SLE
(Herfindal et al., 2000).

2.2.3 Patofisiologi

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang


menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor
genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang
biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya
matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin,
prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut
terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.

Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut : adanya


satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang
mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong
abnormal terhadap sel TCD 4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel
T terhadap sel-antigen. Sebagai akibatnya munculah sel T autoreaktif
yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik
yangmemproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Ujud
pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk
didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam
infeksi.

Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen


yang terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi

8
DNA, protein histon dan non histon.Kebanyakan diantaranya dalam
keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau
kompleks protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA).
Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan
merupakan komponen integral semua jenis sel.Antibodi ini secara
bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya
yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam
sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada
SLE terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar
yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan
penurun

Uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini


memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem
fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada
berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen
pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen
yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi
radang inilah yangmenyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ
atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus
koroideus, kulit dan sebagainya. Bagian yang penting dalam
patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam
keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang
resisten.

2.2.4 Epidemiologi

Keadaan ini susah didiagnosis. Lupus terjadi kira-kira 1 dari 700


wanita berumur 15-64 tahun. Pada wanita kulit hitam, lupus terjadi
pada 1 dari 254 wanita. Lupus lebih sering menyerang wanita daripada
pria, khususnya wanita berusia 20 dan 40 tahun. Tidak ada obat untuk
lupus. Pengobatan bersifat individual dan biasanya berupa minum
steroid. Ada baiknya tidak hamil ketika anda mengalami serangan

9
lupus. Wanita penderita lupus berisiko tinggi mengalami keguguran.
Juga risiko lahir mati, yang memerlukan perawatan ekstra selama
kehamilan.

Bayi-bayi yang lahir dari lupus dapat terkena ruam. Mereka juga
mengalami blok jantung dan defek jantung. Bayi-bayi ini mungkin
lahir premature atau mengalami keterlambatan pertumbuhan
intrauterine.

2.2.5 Manifestasi klinis

Keluhan dan gejala: gambaran klinik SLE sangat bervariasi antara


satu pasien dengan pasien SLE lainnya. Gejala terjadi dimulai dengan
timbulnya demam akibat adanya satu infeksi. Gejalanya hilang-hilang
timbul selama berbulan-bulan dan bertaun-tahun yang diselingi demam
dan badan lemah.

Keluhan penderita SLE yang lainnya adalah sakit kepala, kejang


epilepsy, dan gangguan kejiwaan sering merupakan keluhan awal.

1. Gejala pada persendian


Mulai dari keluhna nyeri pad abanyak persendian yang
hilang-hilang timbul sampai keluhan nyeri sendi yang akut,
merupakan keluhan awal pada 90% penderita SLE. Dalam
keadaan SLE berlangsung lama, terjadi erosi sendi tulang
telapak kaki. Namun demikian, kebayakan SLE yang
menyerang banyak sendi, tidak memperlihatkan kerusakan
sendi.
2. Gejala pada kulit
Yang khas disebut gambaran kemerahan kulit pipi
berbentuk kupu-kupu yang disebut butterfly erithema. Lesi
kulit berbentuk makulo papul pad kulit muka samapi ke
leherdan bahu lesi kulit ini jarang yang melepuh atau
menjadi borok. Tetapi lesi pada rahang atas pada pertemuan
bagian lunak dan bagian keras, pada daerah pipi bagian
dalam dan bagian depan rongga hidung, bisa terjadi.

10
Rambut rontok pada bebrapa daerah kulit kepala
(generalize focal alopecia) terjadi pada fase aktif SLE.
Timbul bintik-bintik merah pendarahan (purpura) karena sel
pebeku darah turun (trombositopeni). Penderita mengeluh
silau pada sinar yang terang (photophobi). Bebrapa
penderita SLE memperlihatlan gejala pleuritis yang hilang
timbul (recurrent) yaitu peradangan dinding dada dan
selaput paru hingga penderita mengeluhkan sakit dada,
tetapi tidak ada efusi cairan pada rongga paru.
Pada keadaan lebih berat, bisa terjadi perdarahan paru dan
mengancam kehidupan (fatal). Peradangan selaput
pembungkus jantung (pericarditis) sering terjadi pada
penderita SLE. Peradangan pembuluh darah jantung
(coronary arteri vasculitis) atauotot jantung megalami
fibrosis (fibrosing myocarditis). Timbul pembengkakan
elenjar limfe di seluruh tubuh terutamapadapenderita anak-
anak dan dewasa muda (umur 20 tahunan). Pembesaran
limfe terjadi pada 10% penderita SLE.
3. Gejala gangguan saraf pusat
Keluhan sakit kepala, perubahan kepribadian, stroke,
kejang epilepsy, psikosis, gangguan organic pada otak
4. Gangguan ginjal
Bisa ringan dan tanpa gejala, sampai gangguan yang
progresif dan mematikan. Gejala yang serign ditemukan
pada pemeriksaan laboratorium air seni, terdapat protein
(proteinuria). Secara patologi terdapat kelainan pada injal,
peradangan glomerulus jinak, sampai yang peradangan
membrane yang luas (diffuse membrane prliferatif
glomerulopritis).
Sindroma menghancurkan darha sendiri pada stadium akut
SLE (Acute lupus homo pagosotik syndrome). Pada
keadaan ini sumsum tulang mengalami proliferasi yang
terlihat pada pemeriksaan darah tepi, banyak terlihat sel

11
histosit. Untuk mengatasi kelainan ini, biasanya penderita
berespons baik terhadap pemberian obat kortkosteroid.

2.2.6.Klasifikasi SLE

Subcommitte for Systemic Lupus Erythematosus Criteria of the


American Rheumatism Association Diagnostic and Therapeutic Criteria
Committee tahun 1982 merevisi kriteria untuk klasifikasi SLE.

Subkomite ini mengajukan diagnosis SLE jika terdapat empat di


antara 11 kriteria berikut beruntun atau secara stimultan, selama satu
interval observasi:

1. Ruam di bagian malar wajah


2. Ruam berbentuk discoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulkus di mulut
5. Arthritis
6. Setositis (pleuritis, perikarditis)
7. Gangguan ginjal
8. Gangguan neurologis (kejang atau psikosis)
9. Gangguan hematologis (anemia hemolitik, leucopenia,
trombositopenia)
10. Gangguan imunologi
11. Antibody nuclear

R. Leonard mengusulkan jembatan keledai barikut untuk mengingat


kriteria diagnosis SLE: A Rash Points MD. Arthritis Renal disease
(penyakit ginjal), ANA Serositis, Haematological disorders,
Photosensitivitas, Oral ulcers (ulkus di mulut), Immunological disorder,
Neurological disorder, Malar rash, Discoid rash Ann Rheum Dis 2001.

2.2.7 Pemeriksaan penunjang

SLE merupakan suatu penyakit autoimun pada jaringan ikat yang


menunjukkan berbagai manifestasi, paling sering berupa arthritis. Dapat
juga timbul manifestasi di kulit, ginjal, dan neurologis. Penyakit ini
ditandai dengan adanya periode aktivitas (ruam) dan remisi. SLE
ditegakkan atas dasar gambaran klinis disertai dengan penanda serologis,

12
khususnya beberapa autoantibodi; yang paling sering digunakan adalah
antinukelar antibody (ANA, tetapi antibody ini juga dapat ditemukan
pada wanita yang tidak menderita SLE. Antibody yang kurang spesifik
adalah antidouble standed DNA antibody (anti DNA), pengukurannya
bermanfaat untuk menilai ruam pada lupu. Anti-Ro, anti-La dan antibody
antifosfolipid penting untuk diukur karena meningkatkna risiko pada
kehamilan. Penatalaksanaan SLE harus dilaksanakan secara
multidisiplin. Periode aktivitas penyakit dapat sulit untuk didiagnosis.
Keterlibatan ginjal sering kali disalahartikan dengan pre-eklamsia, tetapi
temuan adanya peningkatan titer antibody anti DNA serta penurunan
tingkat komplemen membantu mengarahkan pada ruam.

Antibody fosfolipid dapat timbul tanpa SLE tetapi menandakan


peningkatan risiko keguguran.

Temuan pada pemeriksaan laboratorium

1. Tes fluorensi untuk menentukan antinuclear antobodi (ANA), positif


dengan titer tinggi pada 98% penderita SLE
2. Pemeriksaan DMA double stranded lebih spesifik untuk menentukan
SLE
3. Bila titer antidobel stranded tinggi, spesifik untuk diagnose SLE
4. Tes sifilis bisa positif paslu pada pemeriksaan SLE
5. Pemeriksaan zat antifosfolipid antigen (seperti antikardiolipin
antibody) berhubungan untuk mennetukan adanya thrombosis pada
pembuluh arteri atau pembuluh vena atau pada abortus spontan, bayi
meninggal dalam kandungan, dan trombositopeni.

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada penderita SLE atau


Lupus meliputi darah lengkap, laju sedimentasi darah, antibody
antinuklir (ANA), anti-AND, SLE, CRP, analisa urine, komplemen 3 dan
4. Pada pemeriksaan diagnostic yang dilakukan adalah biopsy ginjal.

2.2.8 Evaluasi diagnostic

13
Diagnosis dibuat berdasarkan pada riwayat komplet dan analisis
pemeriksaan darah; tidak ada satu pemeriksaan laboratorium yang
menguatkan SLE.

2.2.9 Penatalaksanaan

Pengobatan termasuk penatalaksanaan penyakit akut dan kronis:

1. Mencegah penurunan progresif fungsi organ, mengurangi


kemungkinan penyakit akut, meminimalkan penyakit yang
berhubungan dengan kecacatan, dan mencegah komplikasi dari
terapi yang diberikan
2. Gunakan obat-obat antinflamasi nonsteroid (NSAID) dengan
kortikosteroid untuk meminimalkan kebutuhan kortikosteroid
3. Gunakan kortikosteroid topical untuk manifestasi kutan akut
4. Gunakan pemberian bolus IV sebagai alternative untuk penggunaan
dosis oral tinggi tradisional
5. Atasi manifestasi kutan, mukuloskeletal, dan sistemik ringan
dengan obat-obat antimalaria
6. Preparat imunosupresif (percobaan) diberikan untuk bentuk SLE
yang serius
2.2.10 Komplikasi
1. Ginjal
Sebagian besar penderita menunjukkan adanya panimbunan protein
di dalam sel-sel ginjal tetapi hanya 50% yang menderita nefritis
lupus (peradangan ginjal yang menetap). Pada akhirnya bisa terjadi
gagal ginjal sehingga penderita perlu menjalani dialisa atau
pencangkokkan ginjal.
2. Sistem Saraf
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Komplikas
yang paling sering ditemukan adalah disfungsi mental yang
sifatnya ringan, tetapi kelainan bisa terjadi pada bagianmanapun
dari otak, korda spinalis, maupun sistem saraf. Kejang, psikosa,

14
sindroma otak organic dan sakit kepala merupakan beberapa
kelainan sistem saraf yang bisa terjadi
3. Penggumpalan Darah
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa
terbentuk bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa
menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlha trombosit berkurang
dan tubuh membentuk antibody yang melawan faktor pembekuan
darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti.
4. Kardiovaskuler
Peradangan berbagai bagian jantung seperti perikarditis,
endokarditis maupun mikarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa
terjadi sebagai akibat dari keadaan tersebut.
5. Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan
efusi pleura (penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya).
Akibatnya dari keadaan tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak
napas.
6. Otot dan kerangka tubuh

Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan


kebanyakan menderita arthritis. Persendian yang sering terkena
adalah persendia pada jari tangan, tangan, pergelangantangan dan
lutut. Kematian jaringan pada tulang panggul dan bahu sering
merupakan penyebab dari nyeri di daerah tersebut

7. Kulit
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu di tulang pipi dan
pangkal hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika
terkena sinar matahari.

2.2.11 Asuhan Keperawatan


Kasus:
Seorang perempuan bernama Ny. Y usia 35 tahun datang ke UGD
dengan keluhan merasa tidak nyaman dengan kulit memerah pada
daerah pipi dan leher, awalnya kecil namun setelah satu minggu
ukuran tersebut bertambah lebar, demam, nyeri, dan terasa kaku
seluruh persendian terutama pagi hari dan kurang nafsu makan. Pada

15
pemeriksaan fisik diperoleh ruam pada pipi dengan batas tegas,
peradangan pada siku, lesi pada daerah leher, malaise. Klien
mengatakan terdapat bberapa sariawan pada mukosa mulut. Klien
ketika bertemu dengan orang lain selalu menunduk dan menutupi
wajahnya dengan masker. Tekanan darah 110/80 mmHg, RR

20x/menit, nadi 90x/menit, suhu 38,5 , Hb 11gr/dl, WBC

15.000/mm3.

a. Pengkajian
1) Identitas klien
Nama : Ny. Y
Usia : 35 tahun
Alamat : Surabaya
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
Status : menikah

2) Keluhan utama
Klien mengeluhkan nyeri pada sendi serta kekakuan kaki dan
tangan, saat beraktivitas klien merasa mudah lelah, klien merasa
demam. Pipi dan leher memerah serta nyeri pada bagian yang
memerah.

3) Riwayat penyakit sekarang


Klien datang ke UGD dengan keluhan merasa tidak nyaman
dengan kulit memerah pada daerah pipi dan leher, awalnya
lebarnya kecil namun setelah satu minggu lebarnya bertambah
besar, demam, nyeri dan terasa kaku seluruh persendian utamanya
pada pagi hari dan berkurang nafsu makan karena ada sariawan.

4) Riwayat penyakit dahulu


Tidak ada

5) Riwayat penyakit keluarga


Tidak ada

6) Pemeriksaan fisik
a) TTV
TD : 110/80 mmHg

16
RR : 20x/menit
S : 38,5
N : 90x/menit

b) Pemeriksaan fisik per sistem


B1 (Breath)
RR 20x/menit, napas dalam terlihat seperti menahan nyeri

B2 (Blood)

TD 110/80 mmHg

Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi


papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan,
siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral
tangan dan berlanjut nekrosis.

B3 (Brain)

Gangguan psikologis

B4 (Bladder)
Tidak ada

B5 (Bowel)

Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.

B6 (Bone)

Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika


bergerak, rasa kaku pada pagi hari. Lesi akut pada kulit yang
terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal
hidung serta pipi.

7) Pemeriksaan penunjang
a) Tes fluorensi untuk menentukan antinuclear antobodi (ANA),
positif dengan titer tinggi pada 98% penderita SLE
b) Pemeriksaan DMA double stranded lebih spesifik untuk
menentukan SLE

17
c) Bila titer antidobel stranded tinggi, spesifik untuk diagnose
SLE
d) Tes sifilis bisa positif paslu pada pemeriksaan SLE
e) Pemeriksaan zat antifosfolipid antigen (seperti antikardiolipin
antibody) berhubungan untuk mennetukan adanya thrombosis
pada pembuluh arteri atau pembuluh vena atau pada abortus
spontan, bayi meninggal dalam kandungan, dan
trombositopeni.

b. Analisis data

Data Etiologi Masalah


Keperawatan
Ds: Genetic, lingkungan, Nyeri Kronis
Nyeri pada sendi
hormone, obat
dan bagian yang
tertentu
mengalami ↓
Produksi autoimun
kemerahan
Do: berlebih
Klien terlihat ↓
Autoimun menyerang
menahan nyeri
organ tubuh
TD 110/80 mmHg

RR 20x/menit SLE

S 38,5 Kerusakan jaringan

N 90x/menit Nyeri kronis
Skala nyeri : 6

Ds: Genetic, lingkungan, Gangguan integritas


Nyeri pada sendi
hormone, obat kulit
dan bagian yang
tertentu
mengalami ↓
Produksi autoimun
kemerahan
Do: berlebih

TD 110/80 mmHg
Autoimun menyerang
RR 20x/menit
organ tubuh

18
S 38,5 SLE

menyerang kulit
N 90x/menit ↓
Kulit kering dan Gangguan integritas
kemerahan kulit

c. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri kronis berhubungan dengan ketidakmampuan fisik-
psikososial kronis (metastase kanker, injuri neurologis, arthritis)
2. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan deficit imunologi

d. Intervensi

No. Dx. keperawatan NOC NIC AKTIVITAS

1. Nyeri kronis Setelah dilakukan Manajement nyeri Observasi :


tindakan keperawatan 1. Identifikasi
selama 1 x 24 jam nyeri skala nyeri
kronis dapat teratasi 2. Identifikasi
dengan keriteria hasil : faktor yang
1. Sekala nyeri memperberat
berkurang / nyeri rasa nyeri
hilang 3. Identifikasi
2. Ttv dalam batas pengetahuan
normal tentang nyeri
3. Pasien merasa Terapeutik :
nyaman 1. Berikan terapi
komplementer
untuk
mengurangi rasa
nyeri
Edukasi :
1. Informasikan
penggunaan
analgetik
Kolaborasi :
1. Kolaborasi

19
pemberian
analgetik bila
perlu

2. Gangguan Setelah dilakukan Perawatan Observasi :


tindakan keperawatan integritas kulit 1. Identifkasi
integritas kulit
selama 1 x 24 jam penyebab
gangguan integritas gangguan
kulit dapat teratasi integritas kulit
dengan keriteria hasil : Terapeutik :
1. Tidak ada tanda 1. Ubah posisi tiap
tanda infeksi 2 jam jika tirah
2. Perfusi jaringan baring
normal Edukasi :
3. Ttv dalam batas 1. Anjurkan mandi
normal dan
menggunakan
sabun
secukupnya

e. Implementasi dan evaluasi

No Diagnose Implementasi Evaluasi

1 Nyeri kronis  mengidentifikasi skala S : klien mengatakan nyeri


berhubungan nyeri berkurang, klien merasa
dengan R/ skala nyeri 7 nyaman
ketidakmampuan  mengidentifikasi
fisik-psikososial faktor yang
kronis memperberat rasa O: skala nyeri 7
(metastase nyeri
kanker, injuri R/ rasa nyeri akibat
neurologis, proses penyakit A : masalah belum teratasi
arthritis)  mengidentifikasi
pengetahuan tentang

20
nyeri
R/ klien dapat
P : intervensi management
mengetahui tentang
nyeri dilanjutkan
rasa nyeri
 memberikan terapi
komplementer untuk
mengurangi rasa nyeri
R/ klien melakukan
teknik relaksasi nafas
dalam
 menginformasikan
penggunaan analgetik
R/ diberikan anti nyeri
 kolaborasi pemberian
analgetik
2 Gangguan  Identifkasi penyebab S : klien mengatakan
integritas kulit gangguan integritas merasa nyaman
kulit
 Ubah posisi tiap 2 jam
jika tirah baring O: tidak terdapat tanda-
 Anjurkan mandi dan tanda infeksi
menggunakan sabun
TD 110/80 mmHg
secukupnya
RR 20x/menit

A : masalah belum teratasi

P : intervensi dilanjutkan

21
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

4.2 Saran

22
DAFTAR PUSTAKA

T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.

T. P. (2018). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.

23

Vous aimerez peut-être aussi