Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
2. Objektif:
PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Vitalis
C. Status Mental
1. Deskripsi Umum : pasien seorang pria 59 tahun berpenampilan fisik sesuai usia, kulit sawo
matang dengan postur tubuh sedang, tampak terawat. Kesadaran jernih, kontak dengan pasien
dapat dipertahankan.
2. kontak : (+) verbal, relevan, lancar
3. kesadaran : Compos mentisorientasi tempat waktu orang baik
4. mood/afek : Sesuai
5. proses pikir : Sesuai
6. Bentuk pikiran : Realistik
7. Proses pikiran : Hendaya bahasa (-), asosiasi longgar (-), flight of idea (-)
8. Isi pikiran : Baik, waham (-)
9. Persepsi : Halusinasi (-) derealisasi (-)
10. Fungsi kognitif : Normal
11. Psikomotor : Baik
12. Impuls : Baik
13. Daya nilai : Baik
14. Tilikan :6
15. Realibilitas : Dapat dipercaya
3. Diagnosa
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisis didapatkan pasien dengan :
Axis I : F.50.0 Insomnia non organik
Axis II : Ciri kepribadian terbuka
Axis III : Riwayat Hipertensi grade 1 terkontrol dengan obat
Axis IV : Keuangan dan keluarga
Axis V : GAF 91-80
4. Terapi
Alprazolam 0,5 mg 1x1 (0 – 0 – 1)
Pengobatann non farmakologi
5. Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad functionam : bonam
Ad sanatiam : bonam
TINJAUAN PUSTAKA
Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan beredarnya waktu dalam
siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola dunia disebut sebagai irama sirkadian1,4. Tidur tidak
dapat diartikan sebagai menifestasi proses deaktivasi Sistem Saraf Pusat. Saat tidur, susunan saraf pusat
masih bekerja dimana neuron-neuron di substansia retikularis ventral batang otak melakukan
sinkronisasi.
Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi terletak pada substansia
ventrikulo retikularis batang otak yang disebut sebagai pusat tidur (sleep center). Bagian susunan saraf
pusat yang menghilangkan sinkronisasi/desinkronisasi terdapat pada bagian rostral batang otak disebut
sebagai pusat penggugah (arousal center).
Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu diikuti oleh fase REM.
Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi secara bergantian antara 4-6 kali siklus
semalam.
Tidur NREM yang meliputi 75% dari keseluruhan waktu tidur, dibagi dalam empat stadium,
antara lain:
1. Stadium 1, berlangsung selama 5% dari keseluruhan waktu tidur. Stadium ini dianggap stadium
tidur paling ringan. EEG menggambarkan gambaran kumparan tidur yang khas, bervoltase
rendah, dengan frekuensi 3 sampai 7 siklus perdetik, yang disebut gelombang teta.
2. Stadium 2, berlangsung paling lama, yaitu 45% dari keseluruhan waktu tidur. EEG
menggambarkan gelombang yang berbentuk pilin (spindle shaped) yang sering dengan frekuensi
12 sampai 14 siklus perdetik, lambat, dan trifasik yang dikenal sebagai kompleks K. Pada stadium
ini, orang dapat dibangunkan dengan mudah.
3. Stadium 3, berlangsung 12% dari keseluruhan waktu tidur. EEG menggambarkan gelombang
bervoltase tinggi dengan frekuensi 0,5 hingga 2,5 siklus perdetik, yaitu gelombang delta. Orang
tidur dengan sangat nyenyak, sehingga sukar dibangunkan.
4. Stadium 4, berlangsung 13% dari keseluruhan waktu tidur. Gambaran EEG hampir sama dengan
stadium 3 dengan perbedaan kuantitatif pada jumlah gelombang delta. Stadium 3 dan 4 juga
dikenal dengan nama tidur dalam, atau delta sleep, atau Slow Wave Sleep (SWS).
Sedangkan tidur REM meliputi 25% dari keseluruhan waktu tidur. Tidak dibagi-bagi dalam
stadium seperti dalm tidur NREM1,4.
Menurut DSM-IV, Insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam hal kesulitan untuk memulai
atau mempertahankan tidur atau tidur non-restoratif yang berlangsung setidaknya satu bulan dan
menyebabkan gangguan signifikan atau gangguan dalam fungsi individu. The International
Classification of Diseases mendefinisikan Insomnia sebagai kesulitan memulai atau mempertahankan
tidur yang terjadi minimal 3 malam/minggu selama minimal satu bulan. Menurut The International
Classification of Sleep Disorders, insomnia adalah kesulitan tidur yang terjadi hampir setiap malam,
disertai rasa tidak nyaman setelah episode tidur tersebut. Jadi, Insomnia adalah gejala kelainan dalam
tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk
melakukannya. Insomnia bukan suatu penyakit, tetapi merupakan suatu gejala yang memiliki berbagai
penyebab, seperti kelainan emosional, kelainan fisik dan pemakaian obat-obatan. Insomnia dapat
mempengaruhi tidak hanya tingkat energi dan suasana hati tetapi juga kesehatan, kinerja dan kualitas
hidup.
a. Insomnia Primer
Insomnia primer ini mempunyai faktor penyebab yang jelas. insomnia atau susah tidur ini
dapat mempengaruhi sekitar 3 dari 10 orang yang menderita insomnia. Pola tidur, kebiasaan
sebelum tidur dan lingkungan tempat tidur seringkali menjadi penyebab dari jenis insomnia
primer ini.
b. Insomnia Sekunder
Insomnia sekunder biasanya terjadi akibat efek dari hal lain, misalnya kondisi medis.
Masalah psikologi seperti perasaan bersedih, depresi dan dementia dapat menyebabkan terjadinya
insomnia sekunder ini pada 5 dari 10 orang. Selain itu masalah fisik seperti penyakit arthritis,
diabetes dan rasa nyeri juga dapat menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini dan biasanya
mempengaruhi 1 dari 10 orang yang menderita insomnia atau susah tidur. Insomnia sekunder
juga dapat disebabkan oleh efek samping dari obat-obatan yang diminum untuk suatu penyakit
tertentu, penggunaan obat-obatan yang terlarang ataupun penyalahgunaan alkohol. Faktor ini
dapat mempengaruhi 1-2 dari 10 orang yang menderita insomnia.
a. Acute insomnia
b. Psychophysiologic insomnia
c. Paradoxical insomnia (sleep-state misperception)
d. Idiopathic insomnia
e. Insomnia due to mental disorder
f. Inadequate sleep hygiene
g. Behavioral insomnia of childhood
h. Insomnia due to drug or substance
i. Insomnia due to medical condition
j. Insomnia not due to substance or known physiologic condition,
unspecified (nonorganic)
8
k. Physiologic insomnia, unspecified (organic)
a. Stres
Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan sekolah, atau keluarga dapat membuat pikiran
menjadi aktif di malam hari, sehingga sulit untuk tidur. Peristiwa kehidupan yang penuh stres,
seperti kematian atau penyakit dari orang yang dicintai, perceraian atau kehilangan pekerjaan,
dapat menyebabkan insomnia.
b. Kecemasan dan depresi
Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan kimia dalam otak atau karena kekhawatiran
yang menyertai depresi.
c. Obat-obatan
Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur, termasuk beberapa antidepresan, obat
jantung dan tekanan darah, obat alergi, stimulan (seperti Ritalin) dan kortikosteroid.
d. Kafein, nikotin dan alkohol. Kopi, teh, cola dan minuman yang mengandung kafein adalah
stimulan yang terkenal. Nikotin merupakan stimulan yang dapat menyebabkan insomnia. Alkohol
adalah obat penenang yang dapat membantu seseorang jatuh tertidur, tetapi mencegah tahap lebih
dalam tidur dan sering menyebabkan terbangun di tengah malam.
e. Kondisi Medis
Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan bernapas dan sering buang air kecil,
kemungkinan mereka untuk mengalami insomnia lebih besar dibandingkan mereka yang tanpa
gejala tersebut. Kondisi ini dikaitkan dengan insomnia akibat artritis, kanker, gagal jantung,
penyakit paru-paru, gastroesophageal reflux disease (GERD), stroke, penyakit Parkinson dan
penyakit Alzheimer.
f. Perubahan lingkungan atau jadwal kerja
Kelelahan akibat perjalanan jauh atau pergeseran waktu kerja dapat menyebabkan
terganggunya irama sirkadian tubuh, sehingga sulit untuk tidur. Ritme sirkadian bertindak sebagai
jam internal, mengatur siklus tidur-bangun, metabolisme, dan suhu tubuh.
g. 'Belajar' insomnia
Hal ini dapat terjadi ketika Anda khawatir berlebihan tentang tidak bisa tidur dengan baik
dan berusaha terlalu keras untuk jatuh tertidur. Kebanyakan orang dengan kondisi ini tidur lebih
baik ketika mereka berada jauh dari lingkungan tidur yang biasa atau ketika mereka tidak
mencoba untuk tidur, seperti ketika mereka menonton TV atau membaca3,8.
Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi resiko insomnia
meningkat jika terjadi pada :
1. Wanita
Perempuan lebih mungkin mengalami insomnia. Perubahan hormon selama siklus
menstruasi dan menopause mungkin memainkan peran. Selama menopause, sering berkeringat
pada malam hari dan hot flashes sering mengganggu tidur.
2. Usia lebih dari 60 tahun
Karena terjadi perubahan dalam pola tidur, insomnia meningkat sejalan dengan usia.
3. Memiliki gangguan kesehatan mental
Banyak gangguan, termasuk depresi, kecemasan, gangguan bipolar dan post-traumatic
stress disorder, mengganggu tidur.
4. Stres
Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress jangka panjang seperti kematian
orang yang dikasihi atau perceraian, dapat menyebabkan insomnia kronis. Menjadi miskin atau
pengangguran juga meningkatkan risiko terjadinya insomnia.
5. Perjalanan jauh (Jet lag) dan Perubahan jadwal kerja
Bekerja di malam hari sering meningkatkan resiko insomnia.1,4
2.7 Diagnosis
Untuk mendiagnosis insomnia, dilakukan penilaian terhadap:
1. Non Farmakoterapi
a. Terapi Tingkah Laku
Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang baru dan mengajarkan
cara untuk menyamankan suasana tidur. Terapi tingkah laku ini umumnya direkomendasikan
sebagai terapi tahap pertama untuk penderita insomnia.
3. Terapi kognitif.
Meliputi merubah pola pikir dari kekhawatiran tidak tidur dengan pemikiran yang
positif. Terapi kognitif dapat dilakukan pada konseling tatap muka atau dalam grup.
4. Kontrol stimulus
Terapi ini dimaksudakan untuk membatasi waktu yang dihabiskan untuk
beraktivitas.
5. Restriksi Tidur.
Terapi ini dimaksudkan untuk mengurangi waktu yang dihabiskan di tempat tidur
yang dapat membuat lelah pada malam berikutnya3,5.
b. Gaya hidup dan pengobatan di rumah
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia :
Pengaturan Dosis
Efek samping dapat terjadi sehubungan dengan farmakokinetik obat anti-insomnia (waktu
paruh) :
- Waktu paruh singkat, seperti Triazolam (sekitar 4 jam). Gejala rebound lebih berat pada pagi
harinya dan dapat sampai menjadi panik.
- Waktu paruh sedang, seperti Estazolam gejala rebound lebih ringan.
- Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam menimbulkan gejala “hang over” pada pagi harinya
dan juga “intensifying daytime sleepiness”.
Penggunaan lama obat anti-insomnia golongan benzodiazepine dapat terjadi “disinhibiting
effect” yang menyebabkan “rage reaction”.
Interaksi obat
- Obat anti-insomnia + CNS Depressants (alkohol dll) menimbulkan potensiasi efek supresi
SSP yang dapat menyebabkan “oversedation and respiratory failure”.
- Obat golongan benzodiazepine tidak menginduksi hepatic microsomal enzyme atau “produce
protein binding displacement” sehingga jarang menimbulkan interaksi obat atau dengan
kondisi medik tertentu.
- Overdosis jarang menimbulkan kematian, tetapi bila disertai alkohol atau “CNS Depressant”
lain, resiko kematian akan meningkat.
Perhatian Khusus
- Kontraindikasi :
o Sleep apneu syndrome
o Congestive Heart Failure
o Chronic Respiratory Disease
- Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko menimbulkan “teratogenic
effect” (e.g.cleft-palate abnormalities) khususnya pada trimester pertama. Juga
benzodiazepine dieksresikan melalui ASI, berefek pada bayi (penekanan fungsi SSP)1,3,7.
2.9 Komplikasi
Tidur sama pentingnya dengan makanan yang sehat dan olahraga yang teratur. Insomnia dapat
mengganggu kesehatan mental dan fisik.
Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada gangguan lain seperti
depresi. Lebih buruk jika gangguan ini disertai skizophrenia.
Peserta, Pendamping,