Vous êtes sur la page 1sur 41

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN

STABILISASI HARGA BAWANG MERAH


DAN CABAI MERAH

Oleh:
Bambang Sayaka
Kurnia Suci Indraningsih
Arief Iswariyadi
Amar K. Zakaria

PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN


BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN
2014
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Komoditas bawang merah dan cabai merah diproduksi dalam jumlah memadai
dibandingkan permintaan yang ada. Bawang merah sebagian besar diproduksi di
dataran rendah, sedangkan cabai merah diproduksi sebagain besar diataran menegah
hingga dataran tinggi. Produksi berlimpah kedua komoditas tersebut pada musim
panen menyebabkan harga turun di tingkat petani maupun eceran. Pada luar musim
panen menyebabkan harga melonjak sangat tinggi. Fluktuasi harga ini antar lain
dipicu oleh pola produksi yang hampir bersamaan pada musim panen disebagian
besar daerah penghasil kedua komoditas ini. Kelebihan suplai ketika panen raya tidak
diatasi melalui eskpor atau pengolahan. Penduduk umumnya mengkonsumsi kedua
komoditas ini dalam bentuk segar.
Harga bawang merah secara nasional selama periode Oktober 2012 hingga
Oktober 2013 memiliki keragaman 45,94 persen. Keragaman harga antar wilayah
pada periode yang sama adalah 23,36 persen (Kementerian Perdagangan, 2013).
Fluktuasi harga cabai terjadi antar waktu maupun antar daerah. Misalnya, menurut
laporan Kementerian Perdagangan (2012) sejak Desember 2011 hingga Desember
2012 harga cabai secara nasional cenderung berfluktuasi dengan koefisien
keragaman harga sebesar 15,52 persen. Fluktuasi harga cabai antar wilayah pada
periode yang sama adalah 34,29 persen.
Permentan No. 86/2013 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura
(RIPH) dan Permendag No. 16/2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura
(KIPH) mengatur tentang stabilisasi harga bawang merah dan cabai merah, yaitu
dengan penetapan harga referensi. Referensi harga cabai dan bawang merah
ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri
Nomor 118/PDN/KEP10/2013 tentang Penetapan Harga Referensi Produk Hortikultura
pada tanggal 3 Oktober 2013. Harga referensi bawang merah adalah sebesar Rp
25.700 per kg dengan memperhitungkan biaya balik modal atau break even point
(BEP) ditambah keuntungan 40 persen. Harga referensi cabai merah dan cabai
1
keriting ditetapkan sebesar Rp 26.300 per kg. Harga referensi cabai rawit adalah Rp
28.000 per kg. Impor bawang merah, cabai merah, cabai keriting, dan cabai rawit
akan diijinkan jika harga eceran sudah melampaui harga referensi masing-masing.
Referensi harga bawang merah dan cabai merupakan upaya untuk melindungi
konsumen, yaitu jika harga dianggap terlalu mahal maka diijinkan impor untuk
menekan harga di pasar domestik. Hal ini bisa dimengerti karena pada bulan-bulan
tertentu harga bawang merah maupun cabai merah di pasar dalam negeri menjadi
sangat mahal dan membebani konsumen. Sebaliknya, jika harga kedua komoditas di
pasar domestik terlalu rendah dan merugikan petani, tidak ada upaya pemerintah
untuk mengatasi hal ini. Seharusnya pemerintah bersikap adil dengan upaya
melindungi petani sehingga usahatani menguntungkan tetapi tidak membebani
konsumen.
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis fluktuasi harga bawang merah dan
cabai merah serta mengusulkan cara-cara untuk menstabilkan harga kedua
komoditas tersebut. Diharapkan upaya yang ditempuh pemerintah dalam
menstabilkan harga bukan penyelesaian jangka pendek tetapi jangka panjang dan
berkelanjutan.

Tujuan
Secara umum kajian ini untuk menganalisis cara melakukan stabilisasi harga
bawang merah dan cabai merah. Secara khusus kajian ini akan melakukan: (a)
analisis kebijakan pengendalian harga cabai dan bawang merah; (b) analisis harga
bawang merah dan cabai merah di tingkat produsen dan konsumen; (b) analisis
suplai bawang merah dan cabai merah dari dalam negeri; (c) kajian permintaan
domestik untuk bawang merah dan cabai merah; (d) usulan kebijakan untuk
stabilisasi harga bawang merah dan cabai merah.

2
METODOLOGI

Data yang digunakan dalam kajian ini berasal dari berbagi sumber, yaitu lain
Badan Pusat Statistik (BPS), Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil pertanian
(P2HP), dan Kementerian Perdagangan. Disamping itu informasi tentang perilaku
harga kedua komoditas tersebut juga diperoleh dari petani, pedagang, pengecer, dan
Dinas Pertanian di Provinsi maupun Kabupaten.
Penelitian dilakukan di Provinsi Jawa Barat (Kabupaten Garut untuk cabai
merah dan Kabupaten Majalengka untuk bawang merah) untuk mendapatkan
informasi langsung. Data sekunder tentang harga dan produksi bawang merah dan
cabai merah akan dikumpulkan dari berbagai instansi di Jakarta dan daerah
penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kebijakan Pemerintah untuk Pengendalian Harga Cabai dan Bawang Merah

Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 47/OT.140/4/2013 tentang


Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) diterbitkan sebagai penyempurnaan
Permentan sebelumnya (No.60/OT.140/9/2012). Permentan No. 60/2012 direvisi
karena ada berbagai klausul yang bertentangan dengan aturan WTO. Permentan
60/2012 secara eksplisit tidak menyebut untuk melindungi kepentingan nasional,
khususnya petani hortikultura, tetapi untuk memberi kepastian layanan bagi calon
importir produk hortikultura (Pasal 2 dan 3). Pasal 7 (a), (b), (c), (d), dan (e) tentang
impor yang dikaitkan dengan produksi produk sejenis di dalam negeri, konsumsi
domestik, ketersedian produk di dalam negeri, potensi mendistorsi pasar, dan waktu
panen. Alasan perubahan pasal-pasal tersebut adalah pada WTO Agreement on
Agriculture, Article 4 (1 & 2): semua impor (akses pasar) tidak boleh dilarang,
pembatasan impor harus menggunakan hambatan tarif atau tariff barrier (pajak
impor). Impor bisa dilarang jika ada pertimbangan Sanitary and Phytosanitary, Anti-
Dumping, Tariff Rate Quota (TRQ), dan Special Safeguard (SSG). Disamping itu TRQ

3
(tariff rate quota), yaitu tarif berbeda diatas 3-5 persen dari konsumsi nasional untuk
Indonesia, hanya berlaku untuk beras dan susu. SSG hanya berlaku untuk susu dan
cengkeh (12 pos tarif untuk susu dan 1 pos tarif untuk cengkeh). SSG bisa
diberlakukan jika terjadi distorsi pasar domestik (injury) karena volume impor produk
tersebut sangat banyak sehingga menekan harga produk sejenis di dalam negeri dan
secara ekonomi merugikan petani.
Permentan No. 47/2013 direvisi lagi pada tanggal 30 Agustus 2013 menjadi
Permentan No. 86/2013. RIPH yang baru ini memuat keputusan yang sama dengan
RIPH sebelumnya tentang jenis sayur dan buah yang impornya diatur, yaitu 5 jenis
sayuran (kentang, bawang merah, bawang bombay, wortel, cabai) dan 10 jenis buah
(pisang, nanas, mangga, jeruk, anggur, melon, pepaya, durian, apel, dan lengkeng).
Perbedaan RIPH yang baru dengan sebelumnya adalah adanya penetapan harga
referensi untuk impor cabai dan bawang merah yang akan ditetapkan oleh Menteri
Perdagangan (pasal 5 ayat 4). Referensi harga cabai dan bawang merah ditetapkan
berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Nomor
118/PDN/KEP10/2013 tentang Penetapan Harga Referensi Produk Hortikultura pada
tanggal 3 Oktober 2013.
Secara spesifik penentuan harga refenrensi untuk cabai dan bawnag merah
adalah dnegan pertimbagan sebagai berikut:
a. Dalam menjaga stabilisasi pasokan dan harga produk hortikultura (bawang
merah, cabai merah besar/keriting, dan cabai rawit merah), pemerintah
menetapkan kebijakan Harga Referensi, sebagaimana diatur dalam Permendag
No. 16/2013 Jo Permendag No. 47/2013.
b. Harga Referensi Produk Hortikultura merupakan harga acuan impor untuk
menjaga stabilitas pasokan dan harga di konsumen pada tingkat wajar dengan
tetap mempertimbangkan kepentingan petani.
c. Melalui Keputusan Dirjen PDN No. 118/PDK/KEP/10/2013 tanggal 3 Oktober
2013, Harga Referensi bawang merah, cabai merah besar/keriting, dan cabai

4
rawit merah ditetapkan masing-masing sebesar Rp 25.700/kg,
Rp 26.300/ kg, dan Rp 28.000/kg.

Harga referensi ini sejak ditetapkan hingga akhir tahun 2014 belum pernah
direvisi mengingat masih relevan. Walaupun demikian harga ini adalah untuk
melindungi konsumen yaitu akan dilakukan impor jika harga relatif tinggi. Jika harga
terlalu rendah sama sekali petani tidak mendapat perlindungan sehingga kadang-
kadang terjadi kerugian karena harga jual petani lebih rendah dari biaya produksi.
Bersamaan dengan peraturan ini, pengaturan tempat pendaratan buah dan
sayuran impor sesuai dengan Permentan No. 42/OT.140/6/2012 mulai berlaku pada
19 Juni 2012 di empat pelabuhan laut utama dan satu bandara internasional.
Keadaan ini di satu pihak akan semakin menyulitkan importir dengan konsekuensi
kegiatan ekonomi dan bisnisnya, namun di pihak lain pemerintah akan lebih mudah
melakukan pengendalian. Disamping itu juga ditetapkan Peraturan Menteri Pertanian
Nomor: 43/ Permentan/Ot.140/6/2012 tentang tindakan karantina tumbuhan untuk
pemasukan sayuran umbi lapis segar ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia,
Juni 2012.
Permentan No. 42/OT.140/6/2012 tentang tindakan karantina tumbuhan
mengatur pemasukan buah dan sayuran buah segar kedalam wilayah Republik
Indonesia. Hal ini memberikan keleluasaan kepada petugas karantina pertanian
melakukan pemeriksaan kesehatan barang/produk buah segar impor terkait infestasi
lalat buah, termasuk pemeriksaan atas pemenuhan persyaratan administratif
(kelengkapan dokumen). Diantara aspek yang menonjol dalam peraturan ini adalah
ketentuan tentang pelabuhan/tempat masuknya buah impor, yakni pelabuhan laut
Belawan (Medan), Tanjung Perak (Surabaya), Soekarno-Hatta (Makassar), dan
pelabuhan udara Soekarno-Hatta (Jakarta). Pelabuhan lain yang memungkinkan
untuk impor buah segar adalah adalah kawasan perdagangan bebas Batam, Bintan,
dan Karimun. Peraturan ini lebih banyak memuat ketentuan tindakan terhadap
Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) dengan maksud pencegahan
masuknya dan tersebarnya hama lalat buah di dalam negeri. Dalam kaitan ini, harus

5
diakui bahwa petani buah Indonesia sudah sejak lama mengalami serangan hama
lalat buah, seperti petani buah jeruk di wilayah Tanah Karo, Sumatera Utara. Dengan
kenyataan ini, peraturan yang mengharuskan impor buah dari negara yang bebas
infestasi lalat buah menjadi tidak relevan karena petani buah di dalam negeri masih
berjuang mengendalikannya.
Pelabuhan Tanjung Priok hanya bisa diakses oleh negara-negara yang
memperoleh MRA (mutual recognition agreement) dari Pemerintah Indonesia, yaitu
Kanada, Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru. Akhir-ahkir ini sebagain besar
impor buah yang semula melalui Tanjung Priok dimasukkan ke Tanjung Perak karena
sebagian besar konsumen buah impor di Jawa. Walaupun demikian biaya pemasaran
untuk daerah Jakarta dan sekitarnya menjadi lebih mahal. Sejak penetapan
Pelabuhan Impor untuk produk hortikultura, Pemerintah memberlakukan
pengecualian untuk produk hortikultura dari negara-negara tertentu untuk dapat
masuk melalui Pleabuhan tanjung Priok. Semula hanya empat negara yang mendapat
pengecualian melalui Mutual Recognition Agreement (MRA), yaiu Amerika Serikat,
Kanada, Selandia Baru dan Australia. Hingga tahun 2014 jumlah negara yang
memperoleh eksportir produk hortikulkutra yang memperoleh MRA bertambah
banyak dengan jensis-jenis produk teritama buah-buahan, yaitu:
a) Amerika (USA) semua komoditi hortikultura
b) Australia, semua komoditi hortikultura
c) Canada, semua komoditi hortikultura
d) New Zealand/Selandia Baru, semua komoditi hortikultura
e) Belanda (Zeeland dan Flevoland) komoditi bawang bombay
f) Perancis (daerah Anger Provinsi Pays De Loire) komoditi apel
g) Pakistan (daerah Sargoda Provinsi Punjab) komoditi jeruk kinnow

Harga Bawang Merah Dan Cabai Merah di Tingkat Produsen dan Konsumen
Harga eceran cabai merah rata-rata mulai naik sejak diberlakukan pengaturan
impor tahun 2013. Pada tahun 20111 dan 2012 rata-rata harga eceran cabai merah
Rp 23.000 dan Rp 22.600 per kg, kemudian naik menjadi Rp 30.100 per kg pada
6
tahun 2013. Selanjutnya hingga Agustus 2014 rata-rata harga cabai merah kembali
menjadi Rp 23.300/ per kg (Tabel 1).

Tabel 1. Harga Produsen, Grosir, dan Eceran Cabe Merah, 2011-2014 (Rp/kg)
2011 2012
Bulan
Produsen Grosir Eceran Produsen Grosir Eceran
Jan 22,074 30,329 40,362 16,033 26,568 27,569
Peb 16,536 24,348 34,382 9,888 17,217 20,695
Mar 13,638 16,087 25,271 11,804 18,757 21,634
April 7,921 12,279 18,968 10,218 16,069 23,143
Mei 6,540 9,477 16,146 10,255 16,602 22,306
Juni 4,707 7,757 15,314 14,080 22,283 27,224
Juli 4,828 7,634 15,314 12,531 20,680 27,224
Agsts 6,170 9,094 15,465 10,963 16,920 23,623
Sept 8,830 14,503 19,007 11,019 15,240 19,449
Okt 12,292 19,100 21,761 11,095 17,668 20,675
Nov 18,196 22,220 25,440 8,495 14,365 18,451
Des 19,953 25,550 28,968 7,236 13,750 19,163
Rata-rata 11,807 16,531 23,033 11,135 18,010 22,596
Sumber: Ditjen P2HP (2014)

Tabel 1. Lanjutan
2013 2014
Bulan
Produsen Grosir Eceran Produsen Grosir Eceran
Jan 13,735 19,364 22,406 24,617 29,989 32,069
Peb 13,381 19,064 25,991 18,199 23,504 27,263
Mar 13,715 19,401 26,731 14,441 19,891 26,114
April 12,592 17,667 24,819 8,929 17,316 24,187
Mei 14,541 20,404 28,543 7,246 11,197 19,903
Juni 24,313 27,110 33,372 6,730 9,525 18,669
Juli 19,730 26,550 35,911 6,421 10,210 19,538
Agsts 15,017 22,400 33,285 7,783 11,762 19,320
Sept 16,328 21,083 29,052
Okt 26,019 30,249 36,130
Nov 22,269 29,003 32,036
Des 22,214 26,546 33,034
Rata-rata 17,821 23,237 30,109 11,796 16,674 23,383
Sumber: Ditjen P2HP (2014)

7
Tingkat keuntungan atau marjin yang diperoleh pedagang besar dan pedagang
pengecer bervariasi antar tahun. Pedagang besar (grosir) memperoleh marjin sebesar
45, 63, 33, dan 49 persen selama tahun 2011, 2012, 2013, dan 2014 dari pembelian
di tingkat petani. Sedangkan pedagang pengecer memperoleh marjin sebesar 50, 27,
31 dan 53 persen selama periode yang sama (Tabel 2).

Tabel 2. Marjin yang Diperoleh Grosir dan Pedagang Eceran Cabe Merah, 2011-2014
2011 2012 2013 2014
Bulan
Grosir Eceran Grosir Eceran Grosir Eceran Grosir Eceran
Jan 0.37 0.33 0.66 0.04 0.41 0.16 0.22 0.07
Peb 0.47 0.41 0.74 0.20 0.42 0.36 0.29 0.16
Mar 0.18 0.57 0.59 0.15 0.41 0.38 0.38 0.31
April 0.55 0.54 0.57 0.44 0.40 0.40 0.94 0.40
Mei 0.45 0.70 0.62 0.34 0.40 0.40 0.55 0.78
Juni 0.65 0.97 0.58 0.22 0.12 0.23 0.42 0.96
Juli 0.58 1.01 0.65 0.32 0.35 0.35 0.59 0.91
Agsts 0.47 0.70 0.54 0.40 0.49 0.49 0.51 0.64
Sept 0.64 0.31 0.38 0.28 0.29 0.38
Okt 0.55 0.14 0.59 0.17 0.16 0.19
Nov 0.22 0.14 0.69 0.28 0.30 0.10
Des 0.28 0.13 0.90 0.39 0.20 0.24
Rata-rata 0.45 0.50 0.63 0.27 0.33 0.31 0.49 0.53
Sumber: Ditjen P2HP (2014), diolah

Harga eceran cabai keriting rata-rata sebesar Rp 24.000 dan Rp 23.200 selama
tahun 2011 dan 2012. Pada tahun 2013 dan 2014 rata-rata harga eceran cabai
keriting sebesar Rp 29.800 dan Rp 22.900 per kg (Tabel 3).

8
Tabel 3. Harga Produsen, Grosir, dan Eceran Cabe Keriting, 2011-2014 (Rp/kg)
2011 2012
Bulan
Produsen Grosir Eceran Produsen Grosir Eceran
Jan 32,877 39,497 42,231 20,163 27,841 30,857
Peb 25,196 34,407 37,642 8,410 14,842 22,074
Mar 16,121 18,824 27,796 10,522 13,971 22,185
April 7,351 11,247 19,306 10,980 14,763 24,674
Mei 4,551 9,706 16,149 11,079 14,999 23,075
Juni 3,763 6,485 14,946 15,693 24,520 27,330
Juli 4,122 7,599 14,946 14,059 21,556 27,330
Agsts 5,558 8,188 14,473 10,619 18,908 24,111
Sept 9,756 16,540 18,661 8,012 15,301 19,031
Okt 14,759 20,213 23,289 10,493 16,495 20,302
Nov 19,573 24,352 27,662 8,087 13,395 18,944
Des 25,417 27,775 30,766 7,005 11,342 18,918
Rata-rata 14,087 18,736 23,989 11,260 17,328 23,236
Sumber: Ditjen P2HP (2014)

Tabel 3. Lanjutan
2013 2014
Bulan
Produsen Grosir Eceran Produsen Grosir Eceran
Jan 12,307 17,335 22,797 23,251 30,712 32,955
Peb 12,639 20,210 26,932 16,289 21,619 27,393
Mar 12,818 17,194 27,613 13,898 16,718 25,122
April 12,700 16,069 25,797 7,208 11,881 22,860
Mei 16,737 26,879 29,513 4,939 12,094 19,353
Juni 23,822 31,949 33,405 4,106 10,366 17,719
Juli 21,337 31,315 35,525 4,225 11,295 18,023
Agsts 15,340 22,863 29,918 5,272 12,304 20,052
Sept 15,296 21,063 26,933
Okt 28,079 34,944 35,855
Nov 25,464 32,044 32,575
Des 18,765 26,332 30,210
Rata-rata 17,942 24,850 29,756 9,899 15,874 22,934
Sumber: Ditjen P2HP (2014)

Marjin pedagang besar cabai keriting rata-rata lebih tinggi dari marjin
pedagang eceran. Pada tahun 2011 hingga 2014 marjin pedagang besar antar 40
hingga 93 persen. Sementara itu pada periode yang sama pedagang eceran
mendapat marjin berkisar dari 24 hingga 54 persen (Tabel 4).

9
Tabel 4. Marjin yang Diperoleh Grosir dan Pedagang Eceran Cabe Keriting, 2011-2014
2011 2012 2013 2014
Bulan
Grosir Eceran Grosir Eceran Grosir Eceran Grosir Eceran
Jan 0.20 0.07 0.38 0.11 0.41 0.32 0.32 0.07
Peb 0.37 0.09 0.76 0.49 0.60 0.33 0.33 0.27
Mar 0.17 0.48 0.33 0.59 0.34 0.61 0.20 0.50
April 0.53 0.72 0.34 0.67 0.27 0.61 0.65 0.92
Mei 1.13 0.66 0.35 0.54 0.61 0.10 1.45 0.60
Juni 0.72 1.30 0.56 0.11 0.34 0.05 1.52 0.71
Juli 0.84 0.97 0.53 0.27 0.47 0.13 1.67 0.60
Agsts 0.47 0.77 0.78 0.28 0.49 0.31 1.33 0.63
Sept 0.70 0.13 0.91 0.24 0.38 0.28
Okt 0.37 0.15 0.57 0.23 0.24 0.03
Nov 0.24 0.14 0.66 0.41 0.26 0.02
Des 0.09 0.11 0.62 0.67 0.40 0.15
Rata-rata 0.49 0.47 0.57 0.38 0.40 0.24 0.93 0.54
Sumber: Ditjen P2HP (2014), diolah

Harga eceran bawang merah rata-rata mulai meningkat sejak diberlakukan


pengaturan impor seperti pada komoditas cabai. Pada tahun 2011 dan 2012 harga
rata-rata bawang merah adalah Rp 18.800 dan Rp 14.400 per kilogram. Pada tahun
2013 dan 2014 harga eceran bawang merah menjadi Rp 34.300 dan Rp 24.000 per
kg (Tabel 5).

10
Tabel 5. Harga Produsen, Grosir, dan Eceran Bawang Merah, 2011-2014 (Rp/kg)
2011 2012
Bulan
Produsen Grosir Eceran Produsen Grosir Eceran
Jan 14,715 19,472 24,056 3,983 8,515 12,584
Peb 15,275 19,162 24,710 4,679 8,873 12,586
Mar 13,450 16,868 24,214 4,990 8,884 12,657
April 8,794 11,135 19,424 6,044 9,350 13,909
Mei 10,320 11,927 18,401 8,767 12,256 16,260
Juni 11,488 14,651 19,943 8,988 13,006 17,684
Juli 11,871 14,287 19,943 7,814 10,458 17,684
Agsts 7,173 9,778 17,672 7,359 9,363 13,449
Sept 6,873 10,224 15,672 6,411 8,992 12,783
Okt 6,325 10,505 14,643 6,737 9,102 12,150
Nov 5,261 9,895 14,065 9,121 11,184 14,271
Des 4,286 8,749 13,388 9,638 11,917 16,507
Rata-rata 9,652 13,054 18,844 7,044 10,158 14,377
Sumber: Ditjen P2HP (2014)

Tabel 5. Lanjutan
2013 2014
Bulan
Produsen Grosir Eceran Produsen Grosir Eceran
Jan 9,911 14,931 20,305 10,049 18,928 29,022
Peb 12,307 17,475 22,589 7,315 14,598 21,528
Mar 26,497 32,060 36,315 9,399 14,588 20,982
April 26,403 34,828 41,562 9,806 14,203 21,238
Mei 21,189 26,032 31,362 11,065 16,339 22,800
Juni 15,052 23,270 29,456 13,756 17,749 25,608
Juli 22,508 40,840 49,207 13,766 18,147 27,284
Agsts 21,236 37,940 60,549 10,815 17,109 23,689
Sept 13,496 21,030 33,873
Okt 13,428 19,258 26,212
Nov 14,643 22,938 29,184
Des 13,811 23,086 31,467
Rata-rata 17,540 26,141 34,340 10,746 16,458 24,019
Sumber: Ditjen P2HP (2014)

Marjin pedagang besar bawang merah meningkat sejak 2011 hingga 2014,
yaitu dari 43 menjadi 57 persen. Pada periode yang sama marjin pedagang eceran
bawang merah berfluktuasi dari 47 menjadi 46 persen (Tabel 6).

11
Tabel 6. Marjin yang Diperoleh Grosir dan Pedagang Eceran Bawang Merah, 2011-2014
2011 2012 2013 2014
Bulan
Grosir Eceran Grosir Eceran Grosir Eceran Grosir Eceran
Jan 0.32 0.24 1.14 0.48 0.51 0.36 0.88 0.53
Peb 0.25 0.29 0.90 0.42 0.42 0.29 1.00 0.47
Mar 0.25 0.44 0.78 0.42 0.21 0.13 0.55 0.44
April 0.27 0.74 0.55 0.49 0.32 0.19 0.45 0.50
Mei 0.16 0.54 0.40 0.33 0.23 0.20 0.48 0.40
Juni 0.28 0.36 0.45 0.36 0.55 0.27 0.29 0.44
Juli 0.20 0.40 0.34 0.69 0.81 0.20 0.32 0.50
Agsts 0.36 0.81 0.27 0.44 0.79 0.60 0.58 0.38
Sept 0.49 0.53 0.40 0.42 0.56 0.61
Okt 0.66 0.39 0.35 0.33 0.43 0.36
Nov 0.88 0.42 0.23 0.28 0.57 0.27
Des 1.04 0.53 0.24 0.39 0.67 0.36
Rata-rata 0.43 0.47 0.50 0.42 0.51 0.32 0.57 0.46
Sumber: Ditjen P2HP (2014), diolah

Suplai Bawang Merah dan Cabai Merah dari Produksi Domestik dan Impor
Dari analisis data yang dilakukan oleh Rachmat dkk (2014) diperoleh pola
puncak panen dan periode kekurang produksi dalam negeri untuk komoditas bawang
merah dan cabai (Tabel 7). Bawang merah mengalami puncak musim panen antara
bulan Juni hingga Agustus. Produksi bawang merah sangat sedikit dan persediaan
cenderung defisit antar bulan Februari dan Maret. Dengan demikian impor bawang
merah disarankan pada bulan Februari dan Maret dan jika memungkinkan ekspor
bawnag merah antra Juni hingga Agustus.
Musim puncak panen cabai terjadi antara April hingga Juli dan panen relatif
sedikit serta cenderung deficit pada November hingga Januari. Impor cabai
disarankan pada bulan November hingga Januari. Sementara itu impor cabai tidak
disarankan antara April hingga Juli.

Tabel 7. Periode Panen Puncak dan Kekurangan Produksi Cabai dan Bawang Merah

Komoditi Puncak Panen Waktu Produksi Rendah dan Defisit


Bawang merah Juni, Juli, Agustus Februari - Maret
Cabai April, Mei, Juni, Juli November- Desember-Januari- Februari
Sumber: Rachmat dkk (2014)

12
Permintaan Domestik Untuk Bawang Merah dan Cabai Merah;
Produksi bawang merah pada tahun 20111 sebesar 893.000 ton dan
meningkat menjadi 1.010.000 ton pada tahun 2013. Pada periode yang bersamaan
impor bawang merah turun dari 156.380 ton menjadi 96.140 ton (Tabel 8).
Sementara itu ekspor bawang merah dalam bentuk olahan berlangsung dan dalam
volume relatif kecil. Kemandirian bawang merah naik dari 90,38 persen manjdi 99,72
persen.
Selama periode 2011 hingga 2013 produksi cabai merah naik dari 1.440.000
ton menjadi 1.726.000 ton. Impor cabai pada periode tersebut turun dari 5.340 ton
menjadi 290 ton. Kemandirian cabai naik dari 90 persen menjadi 93,91 persen.

Tabel 8. Produksi, Ekspor, Impor, dan Ketersediaan Bawang Merah dan Cabai, 2011
dan 2013

Produksi Ekspor Impor Ketersediaan Kemandirian


Tahun Komoditi
(000 Ton) (000 Ton) (000 Ton) (000 Ton) (%)

2011 Bawang Merah 893 13.79 156.38 1035.59 90.38


Cabai 1440 0.73 5.34 1444.61 90.00
2013 Bawang Merah 1010 4.98 96.14 1101,16 99.72
Cabai 1726 0.35 0.29 1725.94 93.91

Usulan Kebijakan Untuk Stabilisasi Harga Bawang Merah Dan Cabai Merah

1. Peran Pemerintah Daerah dalam Upaya Stabilisasi Harga Cabai Merah


dan Bawang Merah
Pengaturan Pola Tanam
Kebijakan perencanaan tanam dari Pusat untuk komoditas yang
mempengaruhi inflasi, termasuk cabai merah dan bawang merah. Dinas Pertanian
Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat juga mempunyai perencanaan tanam yang
tercantum dalam Rencana Strategis, tetapi angkanya lebih rendah dibanding Pusat
(diperoleh dari trend angka tetap). Sosialisasi perencanaan tanam dilakukan di

13
tingkat provinsi untuk petugas Dinas dari kabupaten, dan secara berjenjang petugas
Dinas dari kabupaten yang melakukan sosialisasi kepada para penyuluh untuk
disosialisasikan lebih lanjut kepada para petani. Pengaturan pola tanam kepada
petani hanya sebatas himbauan, karena petani tidak diberi fasilitas (seperti saprodi).
Petani akan melakukan pola tanam anjuran kalau disertai dukungan bantuan.
Petani yang menanam cabai secara monokultur dalam satu tahun dapat tiga
kali tanam, namun kebanyakan petani menanam cabai secara tumpangsari dengan
sayuran lain, seperti sawi putih, kubis, tomat, kentang, ataupun kacang merah.
Untuk lahan sawah, petani menanam cabai setelah tanam padi. Produksi cabai merah
keriting: 4-8 ons/pohon atau 10 ton/ha, sedangkan produksi cabai merah besar: 8-12
ons/pohon atau 16 ton/ha. Populasi cabai dalam 1,0 ha mencapai 20 ribu pohon.
Salah satu faktor yang mempengaruhi fluktuasi harga cabai merah dan bawah
merah adalah adanya petani “dadakan” yang menanam komoditas tersebut. Program
Pusat (Drektorat Pengembangan Budidaya) berupa pengembangan kawasan, tahun
2015 sudah ada keterpaduan antara produksi dan pengolahan, dengan bantuan alat
pengolahan dari Ditjen P2HP. Pengolahan cabai merah berupa saos, abon cabai, dan
bubuk cabai, sedangkan bawang merah berupa bawang goreng. Pengolahan abon
cabai dan bubuk cabai dilakukan oleh industri skala kecil (rumah tangga), sedangkan
saos dilakukan oleh industri skala sedang-besar.
Permasalahan pemasaran masih menjadi kendala bagi para petani produsen,
rantai pemasaran yang panjang, kondisi infrastruktur pedesaan yang kurang
memadai seperti ketersediaan informasi pasar, sarana pemasaran dan sistem
pemasaran yang belum adil terkait dengan keterbatasan modal menyebabkan banyak
petani yang terikat dalam sistem ijon sehingga melemahkan posisi tawar petani. Di
samping itu kemampuan petani terbatas dalam menyimpan produknya sehingga
seringkali hasil panen dijual segera setelah panen. Kondisi tersebut diperburuk
dengan membanjirnya produk impor di pasar domestik akibat liberalisasi
perdagangan. Selain itu upaya pemerintah dalam memberikan jaminan harga

14
terkendala oleh kemampuan pendanaan. Cabai merah dan bawang merah dinilai
perlu untuk mendapatkan perlindungan harga dari Pemerintah.

Pemasaran Cabai Merah dan Bawang Merah Melalui Sub Terminal


Agribisnis
Kebijakan Dinas TPH Kabupaten Garut adalah: (1) Meningkatkan kemampuan
aparatur pertanian baik teknis maupun administrasi; (2) Meningkatkan peran dan
kemampuan usaha petani tanaman pangan dan hortikultura; (3) Penguatan akses
petani terhadap iptek, pasar, dan permodalan bunga rendah; dan (4)
Mengembangkan pasar produksi pertanian tanaman pangan dan hortikultura.
Wilayah sentra cabai: Kecamatan Cikajang, Cisurupan, Samarang, Tarogong Kidul.
Petani terkendala oleh waktu tanam, sehingga berpengaruh terhadap harga. Saat ini
luas tanam cabai merah di Kabupaten Garut mencapai 4.000 ha, seharusnya bisa
dikendalikan pada luasan 1.500 ha. Upaya yang sudah dilakukan Dinas TPH
Kabupaten Garut adalah sosialisasi di tingkat kabupaten dan kecamatan dengan
peserta petani skala besar yang mempunyai luasan lahan > 3,0 ha (sekitar 5% dari
total petani), sehingga tidak mencakup semua petani. Pengaturan pola tanam dalam
implementasinya relatif sulit. Penanaman cabai keriting sudah hampir di seluruh
kecamatan, karena petani menilai bahwa cabai sangat prospektif, dalam waktu satu
tahun diperoleh satu kali keuntungan yang sangat besar.
Semua program dari Ditjen terkait (Pusat) turun ke Dinas TPH, dalam
pelaksanaan di lapangan melibatkan penyuluh yang menginduk di Badan Pelaksanaan
Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP4K), dan koordinasi antara
Dinas TPH dengan BP4K relatif sulit. Di tingkat kecamatan koordinasi antara Balai
Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP3K) dengan Unit Pelaksana
Teknis Dinas (UPTD) kurang berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan: (1) Kondisi
sosial penyuluh ataupun mantri tani, seperti faktor senioritas menjadi kendala untuk
menjalin kerjasama yang harmonis; (2) Pengawasan dari seluruh unit kerja yang
lemah; (3) Ketidakterbukaan tentang anggaran kegiatan/program.

15
Upaya Dinas TPH untuk menjaga stabilisasi harga cabai merah dengan cara
pengaturan pola tanam dan mendorong petani agar memasarkan cabai keriting di
Sub Terminal Agribisnis (STA) sebagai jembatan antara produsen dan konsumen
yang memperpendek rantai pemasaran. STA memasok produk ke pasar lokal, pasar
induk (Jakarta, Bandung, Bekasi), dan antar pulau (Bangka Belitung, Kalimantan),
serta membangun kemitraan dengan PT. Indofood dan PT. ABC. Saat ini STA
terkendala dengan ketersediaan modal, selain itu bagi petani yang menjual
produknya ke STA perlu biaya transportasi yang tinggi, karena jarak antara lahan
petani dengan STA tergolong jauh.
STA menjadi salah satu indikator dari fungsi dinas sebagai fasilitator bagi
petani dengan pihak-pihak luar, setelah 2 (dua) tahun mengalami stagnasi maka
pada tahun 2007 STA memulai penataan kembali dengan persiapan dan
pembentukan kepengurusan yang baru. Pada tahap persiapan revitalisasi STA
kegiatan-kegiatan yang dilakukan berupa penyusunan Rencana Strategis STA beserta
rencana bisnisnya dan penyiapan sistem kelembagaan STA yang memungkinkan
melayani kebutuhan pelaku agribisnis sebagai lembaga pelayanan ( service provider).
Kegiatan transaksi di STA baru dimulai kembali pada pertengahan November
2007 oleh pengelola yang baru hasil restrukturisasi STA. Hasil yang telah dicapai
adalah sebagai berikut: (1) STA telah memiliki rencana strategis, rencana bisnis dan
standar operasi dan prosedur (SOP) untuk penanganan beberapa komoditas utama;
(2) Dimulainya transaksi antar pulau; (3) Dimulainya transaksi pasokan untuk pasar
ekslusif (Carefore, Makro, Superindo); (4) Terciptanya permintaan-permintaan
komoditas agribisnis baik tingkat lokal, antar pulau maupun ekspor; (5) Mulai
terbangunnya hubungan-hubungan yang lebih kuat dan lebih sinergis antara STA
dengan stakehoulders, (6) Terbangunnya komitmen dari mitra STA untuk
peningkatan usaha dan peningkatan sarana seperti pembangunan sentra rumah
pengemasan (packing house). Realisasi produksi sayuran di Kabupaten Garut pada
tahun 2013 mencapai 924.393 ton atau 144,8 persen dari sasaran produksi Tahun

16
2013 sebesar 638.753 ton. Apabila dibandingkan dengan pencapaian pada Tahun
2012 mencapai 707.898 ton, terjadi peningkatan sebesar 30,6 persen (221.850 ton).

Pengembangan Kelembagaan Petani

Dalam upaya peningkatan nilai tambah hasil pertanian dan daya saing di
Kabupaten Garut, maka kebijakan yang ditetapkan adalah: (1) Menata dan
memantapkan agribisnis tanaman pangan dan hortikultura secara berkelanjutan; (2)
Pembangunan sentra-sentra pupuk organik berbasis kelompok tani; (3)
Pengembangan industri hilir pertanian di pedesaan yang berbasis kelompok tani; (4)
Penguatan akses petani terhadap iptek, pasar dan permodalan bunga rendah; dan
(5) Mengembangkan pasar industri pertanian tanaman pangan dan hortikultura.
Peningkatan peran sektor pertanian baik tanaman pangan, hortikultura bagi
pendapatan daerah antara lain dengan memperluas pemasaran baik lokal, regional
maupun melalui ekspor ke negara lain melalui promosi dan kerjasama (kemitraan).
Dengan adanya kegiatan tersebut diharapkan posisi permintaan akan komoditi hasil
pertanian lebih meningkat. Berkembangnya kegiatan agribisnis di berbagai daerah
sentra, perlu mendapat dukungan dari segi sarana, prasarana, dan kelembagaan
ekonominya. Pengembangan kemitraan yang telah dilakukan sejak beberapa tahun
yang lalu, mengalami perkembangan-perkembangan yang cukup memuaskan namun
harus tetap ditingkatkan.
Pasar Tani Kabupaten Garut bernama Pasar Tani “Mukti Rahayu” dan dalam
pelaksanaannya dilaksanakan oleh Asosiasi Pasar Tani (Aspartan) Mukti Rahayu.
Aspartan Mukti Rahayu Kabupaten Garut didirikan pada tanggal 25 Mei 2009, yang
beranggotakan petani/kelompok tani baik kelompok tani sayuran maupun kelompok
pengolah. Pasar Tani Kabupaten Garut selama ini dilaksanakan dengan menggunakan
tenda yang bisa di bongkar pasang. Pasar tani dilaksanakan rutin sebulan sekali
dengan tempat berpindah-pindah diantaranya adalah di Alun-alun Garut (Otista),
Lapang Gelora Merdeka (Kherkhof), Pendopo dan halaman Dinas Tanaman Pangan
dan Hortikultura Kabupaten Garut. Asosiasi Pasar Tani (Aspartan) Mukti Rahayu juga

17
aktif dalam Gelar Pasar Jawa Barat, yang dilaksanakan di Gedung Sate Bandung
setiap bulannya.
Pada Tahun 2011, Asosiasi Pasar Tani (Aspartan) Mukti Rahayu mendapatkan
bantuan dari Pemerintah Pusat melalui Kementrian Pertanian Ditjen P2HP yaitu
bantuan membuat Outlet Pasar Tani, yang bertempat di Jalan Pembangunan
Simpang Lima Garut. Fungsi Pasar Tani antara lain adalah: (1) Menampung dan
memasarkan produk-produk pasar tani yang di jual secara langsung kepada
konsumen (meningkatkan akses pasar petani); (2) Menyediakan sarana pemasaran
hasil pertanian bagi petani; (3) Sebagai upaya pemberdayaan dan pengembangan
pasar yang berwawasan agribisnis; (4) Meningkatkan kemandirian dan kerjasama di
antara anggota pasar tani; (5) Menyediakan sarana pemasaran sebagai ajang
promosi penumbuhan image cinta produk Indonesia dan pengembangan pasar
produk pertanian khususnya produk unggulan Kabupaten Garut.
Kegiatan Pengembangan Kawasan cabai berbasis pertanian berkelanjutan.
dengan anggaran Rp 200 juta realisasi Rp 191,9 juta atau sebesar 96 persen.
Keluaran kegiatan ini adalah terselenggaranya administrasi kegiatan, terlaksananya
pengadaan benih cabai, terlaksananya pengadaan pupuk kandang, terlaksananya
pengadaan kapur pertanian, terlaksananya NPK Phonska, terlaksananya pengadaan
fungisida, terlaksananya pengadaan ajir, terlaksananya pengadaan mulsa plastik.
Hasil dari kegiatan ini adalah lancarnya administrasi kegiatan 1 paket, tersedianya
benih cabai 800 sachet, tersedianya pupuk kandang 800 ribu kg, tersedianya kapur
pertanian 8 ribu kg, tersedianya NPK Phonska 1200 kg, tersedianya fungisida,
tersedianya ajir 100 ribu batang, tersedianya mulsa plastik 40 roll.
Kegiatan Pengembangan Komoditas cabai keriting dengan anggaran Rp 50 juta
realisasi Rp 47,805 juta. Sasaran kegiatan ini adalah kelompok petani cabai keriting.
Keluaran kegiatan ini adalah terselenggaranya administrasi kegiatan, terlaksananya
pengadaan benih cabai keriting, terlaksananya pengadaan pupuk kandang,
terlaksananya pengadaan budidaya cabai keriting. Hasil kegiatan ini adalah
terwujudnya pengembangan cabai keriting 2,0 ha. Kegiatan Pengembangan

18
Pengolahan Hasil Pertanian yang bersumber dari dana Tugas Pembantuan APBN
Tahun 2013 sebesar Rp 728,9 juta terealiasi sebesar Rp 717 juta atau sebesar 99,2
persen, yang dipergunakan untuk revitalisasi penggilingan padi sebanyak 2 paket dan
fasilitasi agroindutri hortikultura (cabai) sebanyak 1 paket. Sasaran kegiatan adalah
meningkatnya unit usaha pengolahan hasil tanaman pangan dan hortikultura. Lokasi
fasilitasi agroindustri hortikultura (cabai) tersebar di Kelompok Tani Mulyasari Desa
Talaga Kecamatan Pasirwangi dan Koperasi STA Intan Agro Mandiri Desa Karyajaya
Kecamatan Bayongbong.
Beberapa rantai pemasaran cabai (merah keriting, merah besar, dan rawit):
1) Petani → Pedagang Pengumpul → Pedagang antar Daerah → Pedagang Pasar
Induk → Pedagang Pengecer
2) Petani → Pedagang Pengumpul → Pedagang antar Pulau → Grosir → Pedagang
Pengecer
3) Petani → Pedagang Pengumpul → Pedagang Pengecer (di daerah sentra)
4) Petani → Pedagang Pengecer (di daerah sentra)
Grosir cabai merah: Batam, Bangka, Pekan Baru, Padang, dan Kuala Tungkal.
Untuk pedagang antar pulau kalau harga cabai merah tinggi, tidak
mengirimkan barang, karena lebih menguntungkan jika cabai merah dijual di pasar
induk. Keuntungan paling besar bagi pedagang antar pulau bila harga cabai merah
rendah, baru dikirimkan ke antar pulau seperti Sumatera dan Kalimantan. Tingkat
keuntungan yang diperoleh pedagang antar pulau dapat mencapai 60 persen. Petani
yang masih tergantung pinjaman modal dari pedagang pengumpul sekitar 20 persen,
dan cabai yang dihasilkan petani dijual ke pedagang tersebut dengan harga yang
diterima petani di bawah harga pasar. Petani yang tidak mempunyai ikatan pinjaman,
juga menjual cabai ke pedagang pengumpul, karena akses jalan dari lahan petani ke
pasar termasuk sulit (dari wilayah dataran tinggi pegunungan), biaya transportasi
mahal dengan tingkat produksi yang relatif kecil.
Klaster cabai Garut dibentuk pada tahun 2011 atas inisiasi Dinas TPH, Bank
Indonesia, dan Pisisi UNPAD (LSM), dengan tujuan pasarnya: ekspor, pasar modern/

19
swalayan, pabrikan/industri, persyaratan: spesifikasi cabai dan kontinyuitas.
Persyaratan cabai yang dijual ke pabrik/industri: warna merah sempurna, pedas, dan
tidak cacat, sedangkan untuk swalayan yang menjadi persyaratan hanya ukuran
cabai. Klaster cabai merah beranggotakan 40 orang, namun yang aktif hanya 26
orang dengan cakupan wilayah mencapai 9 Kecamatan: Cigedug, Cikajang,
Cisurupan, Bayongbong, Sukaresmi, Pasirwangi, Sucinagara (7 kecamatan termasuk
wilayah dataran tinggi, kaki Gunung Cikurai), sedangkan Cibatu dan Leles termasuk
dataran menengah.
Pada tahun 2009 Gapoktan Intan Buana Cikurai telah bekerjasama dengan PT.
Indofood. Tahun 2011 Koperasi Cagarit (cabai Garut rawit) telah bekerjasama
dengan PT. ABC, kontrak dilakukan selama satu tahun dengan harga cabai tetap.
Jika harga di pasar mengalami kenaikan atau lebih tinggi daripada harga yang telah
disepakati dalam kontrak, maka PT. ABC akan memberikan kompensasi kenaikan
harga setelah beberapa hari kemudian. Misal harga cabai ditetapkan dalam kontrak
Rp 10 ribu, di pasar terjadi kenaikan harga hingga mencapai Rp 20 ribu, selisih harga
diambil nilai tengahnya, sehingga kompensasi harga ada penambahan Rp 5 ribu, dan
harga yang diterima petani Rp 12,5 ribu. PT. Indofood maupun PT. ABC
menempatkan Agronomist di lokasi petani untuk melakukan pembinaan teknik
budidaya cabai. Pada tahun 2013 akhir setelah Hari Raya, Koperasi Cagarit tidak ada
lagi kontrak dengan PT. ABC, karena harga cabai di pasaran mahal, sehingga petani
tidak mau menjual cabai dengan sistem kontrak.
Asosiasi Pasar Tani Mukti Rahayu Kabupaten Garut berdiri pada tahun 2011
yang beranggotakan petani, pedagang, dan pengolah, dengan tujuan memperpendek
rantai pemasaran, produk yang diperdagangkan seluruh komoditas pertanian
(termasuk ternak dan produk olahan pertanian). Asosiasi mempunyai outlet yang
bertempat di Simpang Lima Garut, dengan bangunan permanen. Outlet merupakan
binaan Ditjen P2HP (seluruh Indonesia terdapat beberapa outlet), sejak bulan Maret
2014 outlet tersebut direhab, sehingga tidak ada kegiatan. Lahan outlet dan rehab
bangunan didanai dari Pemda Garut. Kegiatan outlet sebelum direhab adalah menjual

20
hasil pertanian seperti sayuran segar dan produk olahan (dodol, keripik) di Lapangan
Gasibu Bandung dalam satu bulan sekali setiap hari Jumat, dengan harga jual 20
persen di bawah harga pasar.
Outlet setelah direhab akan dikelola dengan manajemen profesional, yang
menggaji seorang manajer dan 2 orang tenaga pelayan. Outlet akan mendapat
bantuan alat-alat dari Dinas TPH Kabupaten Garut, sedangkan modal kerja
direncanakan dari pengurus. Tauke atau bandar memberikan pinjaman modal kepada
petani untuk semua kebutuhan, tidak hanya untuk pembelian saprodi tetapi juga
untuk membuat rumah, biaya anak sekolah dengan bunga 5 persen/bulan, sebagian
pedagang lainnya mengenakan bunga sebesar 1,5-2 persen. Di kecamatan terdapat
1-2 orang tauke/bandar dan terdapat 30 persen petani yang memiliki lahan luas (>
3,0 ha) tergantung pada tauke/bandar.
Petani selalu menanam cabai merah keriting dan rawit dengan sistem tumpang
sari, untuk meminimalkan risiko, sedangkan cabai merah besar ditanam dengan
sistem monokultur. Petani yang menanam cabai di MK dan panen di MH akan
mendapatkan nilai jual yang tinggi, karena hanya petani tertentu yang bisa menanam
di MK, yang terkendala dengan ketersediaan air. Pada komoditas cabai tidak ada
pengaturan pola tanam. Petani sulit diatur pola tanamnya, walaupun oleh pemilik
modal yang memberikan pinjaman modal.
Harga jual dinilai layak oleh petani pada kisaran Rp 10-15 ribu/kg, biaya
produksi rawit monokultur sebesar Rp 90 juta/ha atau Rp 4,5 ribu/pohon (termasuk
biaya sewa lahan), sedangkan cabai merah keriting sebesar Rp 60 juta/ha. Biaya
sewa lahan berkisar antara Rp 5-15 juta/ha/tahun. Biaya saprodi mencapai 40 persen
dari total biaya produksi (harga bibit cabai Rp 150), sedangkan 60 persen lainnya
digunakan untuk biaya tenaga kerja.
Pada kondisi normal produksi rawit mencapai 15 ton/ha, sedangkan cabai
merah keriting mencapai 12 ton/ha. Keuntungan yang diperoleh pedagang
pengumpul Rp 1.000-2.000/kg jika harga cabai Rp 10-20 ribu; Rp 3.000-5.000/kg jika
harga cabai > Rp 20 ribu. Pembayaran yang diterima petani dari pedagang pengum-

21
pul 3 hari setelah barang diambil, sedangkan dari PT. Indofood 10 hari kemudian,
dari PT. ABC sekitar 3 minggu-1 bulan.
Ongkos angkut cabai dari Garut ke Pasar Induk Kramat Jati Jakarta per truk (6
ton) sebesar Rp 1,5 juta, biaya bongkar muat Rp 500 ribu, biaya meal (uang “suap”
di jalan) sebesar Rp 500 ribu/colt engkel. Jika pedagang pengumpul membeli cabai di
tingkat petani seharga Rp 10 ribu, maka cabai dijual dengan harga Rp 15 ribu dengan
memperhitungkan biaya susut dan sortir sebesar 5 persen jika dijual ke pasar, bila
cabai dijual ke industri maka biaya susut dan sortir jauh lebih tinggi, yaitu mencapai
30 persen. Harga cabai diperkirakan petani akan mencapai harga sangat tinggi (> Rp
70 ribu/kg) setiap 4 tahun sekali atau pada waktu petani menanam di MK. Hasil
analisis biaya dan pendapatan usahatani cabai di Kabupaten Garut dan bawang
merah di Kabupaten Majalengka saat ini relatif menguntungkan (Tabel 9, 10, 11 dan
12). Walaupun demikian petani akan mendapatkan keuntungan lebih tinggi jika
Pemerinath daerah ikut aktif berperan.

22
Tabel 9. Analisis Usahatani Cabai Merah Keriting di Kabupaten Garut, 2014

No. Uraian Satuan Harga/Satuan Volume Nilai Harga

1 Penerimaan

Penjualan Hasil Kg 9.000 12.000 108.000.000

2 Pengeluaran

a SARANA PRODUKSI

Benih/Bibit gram 11.000 2.200.000


200

Pupuk Organik Kg 450 20.000 9.000.000

Pupuk Buatan Kg 2.500 1.750 4.375.000

Pestisida kg/L 290.000 40 11.600.000

Jumlah (a) 27.175.000

TENAGA KERJA

Pengolahan Tanah HOK 20.000 250 5.000.000

Penanaman/nyulam HOK 20.000 80 1.600.000


b
Pemeliharaan HOK 20.000 495 9.900.000

Pemanenan HOK 20.000 200 4.000.000

Jumlah (b) 20.500.000

PERALATAN

Hand Sprayer Biaya

Power Splayer penyusutan 600.000

Pompa Air

c DrumPlastik/Tali

Lanjaran/Tali 125 20.000 2.500.000

Mulsa Rool 420.000 12 5.040.000

Tali Rapia

Jumlah (c) 8.140.000

23
No. Uraian Satuan Harga/Satuan Volume Nilai Harga

BIAYA LAINNYA

d Sewa Tanah 1ha 2.000.000

Jumlah (d) 2.000.000

JUMLAH PENGELUARAN (A+B+C+D ) 57.815.000

3 Keuntungan

Keuntungan (v=1-2 ) 50.185.000

R/C Rasio = (1/2 ) 1.86

B/C Rasio = (u/2 ) 0.86

Keuntungan Per Bulan u/6 8.364.166

Keuntungan Per Kg 9000-4817 4183

24
Tabel 10. Analisis Usahatani Cabai Merah Besar di Kabupaten Garut, 2014

No. Uraian Satuan Harga/Satuan Volume Nilai Harga

1 Penerimaan

Penjualan Hasil Kg 7.000 18.000 126.000.000

2 Pengeluaran

a SARANA PRODUKSI

Benih/Bibit gram 11.000 2.200.000


200

Pupuk Organik Kg 450 20.000 9.000.000

Pupuk Buatan Kg 2.500 1.750 4.375.000

Pestisida kg/L 290.000 50 14.500.000

Jumlah (a) 30.075.000

TENAGA KERJA

Pengolahan Tanah HOK 20.000 250 5.000.000

Penanaman/nyulam HOK 20.000 80 1.600.000


b
Pemeliharaan HOK 20.000 495 9.900.000

Pemanenan HOK 20.000 200 4.000.000

Jumlah (b) 20.500.000

PERALATAN

Hand Sprayer Biaya

Power Splayer penyusutan 600.000

Pompa Air
c DrumPlastik/Tali

Lanjaran/Tali 125 20.000 2.500.000

Mulsa Rool 420.000 12 5.040.000

Tali Rapia

Jumlah (c) 8.140.000

25
No. Uraian Satuan Harga/Satuan Volume Nilai Harga

BIAYA LAINNYA

d Sewa Tanah 1ha 2.000.000

Jumlah (d) 2.000.000

JUMLAH PENGELUARAN (A+B+C+D ) 60.715.000

3 Keuntungan

Keuntungan (v=1-2 ) 65.285.000

R/C Rasio = (1/2 ) 2.09

B/C Rasio = (u/2 ) 1.09

Keuntungan Per Bulan u/6 10.880.000

Keuntungan Per Kg 7000-3373 3627

26
Tabel 11. Analisis Usahatani Cabai Rawit di Kabupaten Garut, 2014

No. Uraian Satuan Harga/Satuan Volume Nilai Harga

1 Penerimaan

Penjualan Hasil Kg 11.000 18.000 180.000.000

2 Pengeluaran

a SARANA PRODUKSI

Benih/Bibit perpohon 150 3.000.000


20.000

Pupuk Organik Kg 450 20.000 9.000.000

Pupuk Buatan Kg 2.500 1.750 4.375.000

Pestisida kg/L 290.000 20 5.800.000

Jumlah (a) 22.175.000

TENAGA KERJA

Pengolahan Tanah HOK 20.000 250 5.000.000

Penanaman/nyulam HOK 20.000 80 1.600.000


b
Pemeliharaan HOK 20.000 400 8.000.000

Pemanenan HOK 20.000 300 6.000.000

Jumlah (b) 20.600.000

PERALATAN

Hand Sprayer Biaya

Power Splayer penyusutan 600.000

Pompa Air
c DrumPlastik/Tali

Lanjaran/Tali 100 20.000 2.000.000

Mulsa Rool 420.000 12 5.040.000

Tali Rapia

Jumlah (c) 7.640.000

27
No. Uraian Satuan Harga/Satuan Volume Nilai Harga

BIAYA LAINNYA

d Sewa Tanah 1ha 4.000.000

Jumlah (d) 4.000.000

JUMLAH PENGELUARAN (A+B+C+D ) 54.415.000

3 Keuntungan

Keuntungan (v=1-2 ) 125.585.000

R/C Rasio = (1/2 ) 3.30

B/C Rasio = (u/2 ) 2.30

Keuntungan Per Bulan U/12 bln 10.465.416

17000-
Keuntungan Per Kg 13.977
3023

Tabel 12. Analisis Usahatani Bawang Merah di Kabupaten


Majalengka, 2014

No. Uraian Kegiatan Satuan Volume Nilai (Rp)


I. Biaya usahatani
1.1 Pengolahan tanah

a. Mencangkul/bajak HOK 32 1,600,000

b. Kedangan HOK 24 1,200,000

c. Saluran air HOK 12 600,000


1.2 Sarana produksi

a. Bibit kg 600 1,800,000

b. Pupuk: Urea kg 400 480,000

SP-36 kg 200 400,000

NPK kg 200 550,000

c. Pupuk kandang karung 80 1,600,000

d. Pestisida lt/kg 12.4 912,000


28
1.3 Pemeliharaan Pertanaman

a. Penyiangan HOK 32 1,600,000

b. Pempukan HOK 24 1,200,000

c. Pengairan HOK 16 800,000

d. Penyemprotan HOK 30 1,500,000


1.4 Panen dan pasca panen

a. Panen HOK 50 2,500,000

b. Pasca panen HOK 30 1,500,000

1.5 Sewa lahan 6,000,000

Total biaya 24,242,000

II Pendapatan

Produksi bawang merah kg 6,600 52,800,000

III Keuntungan 28,558,000

2. Kebijakan yang Perlu Diperbaiki

i. Peningkatan Produksi Hortikultura Bermutu

Agar dapat mengambil manfaat dari masuknya Indonesia dalam pasar


global yang liberal, maka Indonesia harus memacu diri meningkatkan produksi
hortikultura yang bermutu dan berdaya saing. Saat ini impor produk hortikultura
cenderung terus meningkat terutama disebabkan oleh kurangnya pasokan
produksi bermutu dari dalam negeri. Untuk mendukung terbangunnya sistem
produksi yang menghasilkan produksi berkualitas perlu didukung dengan
penerapan GAP spesifik lokasi. Dengan penerapan GAP dimungkinkan
dilakukannya peningkatan produktivitas dan mutu sesuai permintaan pasar dan
konsumen.

29
ii. Perbaikan Sistem Tataniaga/Distribusi

Sejalan dengan sistem panen diatas, maka diperlukan perbaikan sistem


tataniaga dan distribusi yang menjamin dihasilkannya produk hortikultura
berkualitas. Diperlukan keterkaitan antara setiap sub sistem terutama antara
produksi dengan pasar dan konsumen dengan pendekatan Pengelolaan Rantai
Pasokan (Supply Chain Management -SCM). Dengan pendekatan SCM maka
peningkatan daya saing dimungkinkan dapat dilakukan disetiap sistem
mencakup produktivitas, kualitas produk, pengemasan, pemberian merk,
efisiensi, transportasi, informasi, sertifikasi, penguatan kelembagaan dan
penciptaan inovasi secara kontinyu dan sistematik.

iii. Perbaikan Sistem Logistik dan Pasca Panen


Upaya pemerintah untuk mendorong kearah itu telah dilakukan dengan
diperkenalkannya Sistem Resi Gudang (SRG), melalui penetapan UU Nomor
9/2006 tentang SRG disahkan dan direvisi menjadi UU Nomor 9/2011. SRG
merupakan salah satu instrumen penting dan efektif dalam sistem pembiayaan
perdagangan. SRG dapat memfasilitasi pemberian pembiayaan kepada pelaku
usaha dengan agunan inventori (komoditas yang disimpan di gudang) yang
dimiliki pelaku usaha, terutama kolompok tani dan UKM. Resi gudang diterbitkan
oleh Pengelola Gudang dan dapat dijadikan agunan sepenuhnya tanpa
dipersyaratkan adanya agunan lainnya. Dalam hal ini, pelaku usaha dapat
menjaminkan resi gudang untuk memperoleh modal kerja dan kebutuhan
pembiayaan.

iv. Pengaturan Waktu Impor


Pengaturan waktu impor dilakukan agar masuknya impor terjadi pada
saat pasokan dalam negeri berkuran karena produksi dalam negeri pada
kondisi rendah atau tidak bersamaan dengan waktu puncak produksi dalam
negeri. Secara umum produksi Produksi bawang merah menyebar antar
waktu, namun puncak produksi terjadi di bulan Juli sampai Agustus. Di luar

30
bulan – bulan tersebut setiap tahunnya mengalami defisit di bulan Februari –
bulan Maret, kecuali di tahun 2013 produksi bawang merah relatif surplus.
Untuk produksi cabai merah, produksi relatif tinggi terjadi pada bulan April
sampai Juli dan produksi relatif paling sedikit terjadi di bulan Oktober,
November, Desember, Januari dan Februari

v. Pengaturan Pelabuhan Masuk Impor

Pengurangan pelabuhan masuk merupakan salah satu hambatan


perdagangan non tariff. Pada bulan September 2012 pemerintah menetapkan
kebijakan pembatasan pintu masuk untuk produk hortikultura yang mulai
berlaku sejak tanggal 28 September 2012. Dengan ketetapan ini pemerintah
akan menutup beberapa pelabuhan impor untuk produk hortikultura, sehingga
impor hanya boleh masuk ke wilayah pabean Indonesia melalui empat pintu
masuk, yaitu Pelabuhan Belawan, Tanjung Perak, Makassar dan Bandara
Soekarno-Hatta. Berdasarkan peraturan ini, akan ada beberapa ketentuan lain
mengenai impor hortikultura, terutama yang terkait dengan kesehatan dan
lingkungan.

Tujuannya adalah melindungi kepentingan konsumen, terutama dalam


hal pengendalian masuknya hama penyakit. Selanjutnya kebijakan ini
diharapkan akan dapat memberikan manfaat bagi perekonomian nasional,
terutama bagi masyarakat umum sebagai konsumen dan petani sebagai
produsen. Kebijakan pembatasan pintu masuk produk hortikultura sering
diasosiasikan dengan pembatasan impor hortikultura, sebab implementasi
kebijakan ini hampir bisa dipastikan akan mengurangi jumlah impor
hortikultura. Kebijakan ini diharapkan juga dapat merangsang produsen
domestik untuk meningkatkan produksinya. Dengan kebijakan ini pendapatan
dan kesejahtaraan petani hortikultura sebagai produsen dalam negeri
diharapkan akan meningkat. Namun di sisi lain, kebijakan ini dapat juga
mengurangi ketersediaan produk hortikultura yang belum sepenuhnya bisa

31
terpenuhi dari dalam negeri dan dampak peningkatan inflasi yang mungkin
akan diakibatkannya. Kebijakan pembatasan pintu masuk impor produk
hortikultura bisa dikategorikan sebagai kebijakan non-tarif (non tariff policy),
karena implementasinya diharapkan akan mampu mengurangi komoditas
impor yang disasar tanpa menggunakan instrumen tarif. Pelabuhan bebas
yang termasuk dalam area perdagangan bebas seperti Batam dan Karimun
perlu diawasai secara ketat. Impor cabai dan bawang merah dalam jumlah
relatif besar merupakan modus penyelundupan ke daerah lain yang
seharusnya tidak boleh terjadi.

vi. Harga Referensi

Kebijakan pengendalian impor yang dilakukan saat ini terutama untuk


bawang merah dan cabai adalah penerapan harga referensi. Kebijakan harga
referensi mempunyai arti bahwa impor hanya dapat dilakukan pada saat harga
di pasar domestik melebihi harga referensi. Mekanismenya tergantung pada
pilihan referensi harga tetap (Fix Reference Price) atau harga rata-rata
bergerak (Moving Average Reference Price). Sejak 2013. impor cabai dan
bawang merah diatur melalui harga referensi. Perdagangan atau impor
komoditas hortikultura (Cabai dan Bawang Merah) akan terjadi pada saat
harga di pasar domestik berada pada tingkat 15% di atas harga referensi.
Selanjutnya perdagangan harus dihentikan pada saat harga di tingkat eceran
sudah menurun sampai pada tingkat referensi harga dan kegiatan impor
selanjutnya akan menggunakan harga referensi yang baru. Walaupun
demikian larangan impor cabai segar pada semester 2 tahun 2014 membuat
harga eceran cabai terlau tinggi.

vii. Penerapan Kuota


Quota import adalah “non-tariff trade barrier” yang dimaksudkan untuk
membatasi volume import dari komoditas tertentu. Dengan cara membatasi
import, kebijakan quota dapat digunakan untuk menstabilkan harga di atas

32
harga dunia untuk melindungi produk domestik. Pemasok atau petani
hortikultura akan menerima keuntungan dari harga yang tinggi. Kebijakan
quota impor ini diharapkan dapat memberikan perlindungan kepada industri
domestik dan juga tidak memberatkan konsumen. Importir dapat membeli
produk pada tingkat harga yang murah di pasar dunia dan menjualnya dengan
harga yang mahal di pasar domestik. Oleh karena itu quota sebetulnya hak
dari pemerintah Indonesia yang dialokasikan kepada pemerintah negara
eksportir. Biaya yang diakibatkan oleh quota impor akan ditanggung oleh
konsumen dari produk yang terkena quota impor. Pada 2012 Indonesia
mengimplementasikan rejim quota impor untuk produk hortikultura. Tujuan
utama dari kebijakan ini adalah untuk menstimulant agar Indonesia dapat
mencapai self-sufficient untuk produk hortikultura. Penetapan volume impor
adalah dari selisih antara konsumsi dan produksi, kecuali cabai merah dan
bawang merah, yang sekarang menggunakan harga referensi. Penentuan
harga referensi untuk cabai dan bawang merah adalah harga di tingkat petani
(biaya produksi ditambah 40% keuntungan) dikalikan dengan rasio harga
eceran terhadap harga petani selama 3 tahun terakhir.

viii. Tarif-Optimal / Pajak Impor


Tarif adalah kebijakan perdagangan yang paling sederhana, yaitu pajak
yang dikenakan pada barang yang diimpor. Tujuan utama dari penerapan tarif
adalah melindungi produsen–produsen domestik dari harga rendah sebagai
akibat dari kompetisi impor. Penerapan tarif terhadap barang-barang impor
akan meningkatan harga yang diterima produsen domestik. Alasan mengapa
tarif lebih baik dibandingkan dengan kebijakan lainnya adalah karena tarif
dapat menjadi penerimaan Negara.
Berdasarkan Schedule XXI-WTO produk hortikultura memiliki bound
tariff sekitar 40-60%. Dengan demikian masih diperkenankan untuk
menetapkan applied tariff di bawah bound tariff yang telah ditentukan.
Walaupun tiap negara diperkenankan menerapkan applied tariff maximum

33
sama dengan bound tariff, namun dengan pertimbangan beberapa hal antara
lain daya beli masyarakat Indonesia, maka pada tahun 1998 Pemerintah
Indonesia menerapkan tarif impor yang jauh dibawah bound tariff dengan
kisaran antara 0%-5%. Bila dibandingkan dengan applied tariff beberapa
tahun sebelumnya yang berkisar antara 5%-10%, maka terlihat bahwa mulai
tahun 1998 applied tariff yang diterapkan di Indonesia khususnya untuk
produk pertanian sangatlah kecil. Masih terlihat ada perbedaan yang besar
antara bound tariff dan applied tariff.
Pengertian konsep tarif optimal dalam teori perdagangan internasional
adalah tingkat tarif yang dapat memaksimumkan manfaat neto yang
bersumber dari meningkatnya nilai tukar perdagangan di negara yang
memberlakukan tarif, sehingga dapat mengimbangi dampak negatif yang
diakibatkan oleh berkurangnya volume perdagangan yang diakibatkan
pemberlakuan tarif. Namun demikian dalam studi ini hanya dihitung tarif
optimal sebagai tarif bea masuk yang dikenakan dan diharapkan menjamin
tingkat harga tertentu di pasar domestik (harga eceran dan harga jual petani),
dan dapat menghasilkan keuntungan petani yang layak. Saat ini penerapan
tarif diberlakukan untuk semua komoditi sebesar 5 %. penerapan tarif optimal
dapat dilakukan pada komoditi bawang merah, cabai merah. Saat ini tingkat
keuntungan petani baang merah sebasar 24,19 %, dan untuk menjamin
pencapaian tingkat keuntungan petani bawang merah sebesar 30 % maka
impor bawang merah dapat dikenakan tarif impor sebesar 25,2 %. Demikian
seterusnya apabila ditargetkan terjadinya peningkatan keuntungan petani
maka dapat dilakukan peningkatan penerapan tarif impor.
Penerapan tariff impor pada cabai hanya direkomendasikan apabila
diinginkan tingkat keuntungan petani diatas 50 persen. Cakupan pengaturan
berdasarkan jumlah, referensi harga, waktu /musim dan pengaturan
pelabuhan agar lebih transparan untuk mengurangi pemburuan rente yang
tidak perlu sehingga sistem yang fully on-line perlu terus ditingkatkan dan

34
diperketat. Untuk itu diperlukan penguatan data yang lebih baik dan terkini
ditingkat nasional dan regional. Instrumen anti dumping, safeguard dan tarif
MFN dapat digunakan untuk pengaturan impor. Instrumen lain selain harga
yang dapat memberikan insentif kepada petani juga perlu diperhatikan
terutama yang masuk dalam Green Box. Selain pengaturan impor maka
langkah untuk terus meningkatkan ekspor juga tidak kalah penting. WTO tidak
melarang pengaturan impor disuatu negara namun harus diperhatikan
instrumen apa yang akan digunakan yang tidak merugikan negara lain dan
sesuai dengan aturan-aturan dalam WTO.

KESIMPULAN DAN SARAN KEBIJAKAN

Pengendalian harga cabai dan bawang merah sangat penting untuk dilakukan
mengingat komoditas ini sangat strategis dalam hal pengendalian inflasi, pemenuhan
kebutuhan konsumsi masyarakat dan peningkatan pendapatan petani. Berbagai
upaya telah dilakukan pemerintah antara lain melalui pengaturan impor produk
hortikultura.
Pengaturan pola tanam kedua jenis komoditas oleh pemerintah pusat
bekerjasama denga pemerintah daerah tempat sentra produksi cabai dan bawang
merah akan dapat mengurangi produksi berlebihan pada musim panen. Dismaping itu
perlu diupayakan penanaman di luar musim di daerah potensial produksi cabai dan
bawang merah agar defisit kedua komoditas tidak terlalu besar. Bantuan teknis
berupa pendampingan, penyuluhan dan bantuan modal dalam bentuk kredit lunak
sangat bermanfaat. Fasilitasi pemasaran dengan sistem kemitraan akan menjamin
harga di tingkat petani khususnya selama panen raya.
Peningkatan produk berkualitas agar harga jual lebih baik dan lebih disukai
konsumen, bahkan untuk pasar global, akan menguntungkan petani. Perbaikan
sistem tata niaga atau distribusi dengan menerapkan supply chain management akan
membuat agribisnis kedua jenis komoditas menjadi lebih efisien. Perbaikan logistik
dan pasca panen memungkinkan kedua komoditas tersedia bagi konsumen tepat

35
waktu dan bahkan dapat disalurkan di luar musim panen. Pengaturan waktu impor
diperlukan agar harga di dalam negeri tidak terlalu rendah ketika musim panen
sehingga merugikan kosnumen. Demikian juga pengaturan waktu impor agar dapat
dilakukan ketika persediaan dalam negeri menipis agar konsumen tidak dirugikan
karena harga yang terlalu tinggi. Pengaturan impor tidak harus dilakukan setiap enam
bulan tetapi bisa lebih sering sesuai kebutuhan.
Pengaturan pelabuhan impor dapat mengendalikan harga impor agar tidak
terlalu murah sehingga merugikan petani. Pelabuhan impor yang telah ditetapkan,
khususnya Pelabuhan Belawan Medan dan Pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar
supaya lebih dioptimalkan. Pada saat yang bersamaan impor melalui daerah
perdagangan bebas harus diminimalkan. Disamping itu MRA perlu ditinjau kembali
karena pemberian MRA dilakukan tiap dua tahun. Semakin banyak negara yang
diperbolehkan impor melalui Pelabuhan Tanjung Priok akan cenderung merugikan
petani. Harga refererensi untuk impor hendaknya dipatuhi terutama selama
persediaan di dalam negeri menipis sehingga harga eceran tidak terlalu tinggi yang
menimbulkan kerugian bagi konsumen dan mendorong inflasi. Kuota impor sebaiknya
diterapkan secara transparan sehingga semakin banyak importir yang terlibat
sehingga tidak menyebabkan monopoli impor yang akan merugikan konsumen dan
produsen di dalam negeri. Tarif bawang merah masih dinaikkan agar kepentingan
petani lebh terlindungi tetapi tidak merugikan konsumen. Tariff impor cabai tidak
perlu dinaikkan karena keuntungan petani cabai sudah relatif tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2014. Kompilasi


Laporan Mingguan Harga Produk Pertanian. Jakarta.
Kementerian Perdagangan. 2012. Tinjauan Pasar Cabai. Edisi Cabai/Desember/2012.
Jakarta.
Kementerian Perdagangan. 2013. Tinjauan Pasar Bawang Merah. Edisi Bawang
Merah/Okt/2013. Jakarta.

36
Kementerian Perdagangan. 2013. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16/M-
Dag/4/2013 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura. Jakarta.
Kementerian Perdagangan. 2014. Sistem Pemantauan Pasar Kebutuhan Pokok
(SP2KP). Jakarta.
Kementerian Pertanian. 2013. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 86/Permentan/
OT.140/8/2013 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura. Jakarta.
Rachmat, M., B. Sayaka, H. Mayrowani, R. Kustiari, V. Darwis dan C. Muslim. 2014.
Kajian Kebijakan Pengendalian Impor Produk Hortikultura. Laporan Teknis. Pusat
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

37
LAMPIRAN 1. Peta Perdagangan cabai antar Wilayah

 Peta perdagangan cabai antar wilayah


a. Daerah sentra produksi cabai:
 Garut, Ciamis, Majalengka : menyumbang 60% produksi Jabar
 Purworejo, Magelang : menyumbang 60% produksi Jateng
 Blitar/Kediri : menyumbang 30% produksi Jatim
 Banyuwangi : menyumbang 30%-40% produksi Jatim
Seluruhnya memproduksi cabai merah besar (CB), cabai merah keriting
(CK) dan cabai rawit merah (CR), kecuali banyuwangi hanya CB dan CR.

b. Peta distribusi cabai:


 Garut, Ciamis, Majalengka  Jakarta
 Purworejo, Magelang  Jakarta
 Blitar/Kediri  Surabaya
 Banyuwangi  Surabaya
 Lampung  wilayah Sumatera, terutama Sumbar
 NTB (insidentil)  Jakarta, Surabaya, dan NTT
 Jakarta  Batam dan Pontianak

PETA DISTRIBUSI CABE

Batam
Sumatera
Barat Papua
Pontianak Balikpapan

Banjarmasin

Jakarta

Magelang Surabaya
Lampung

Daerah Produsen

Garut Daerah Konsumen


Purworejo
Ciamis Blitar/ Banyuwangi
Kediri NTT Daerah Konsumen dan Transit
Majalengka NTB
Alur Distribusi

 Surabaya  Banjarmasin, Balikpapan, dan Papua

38
Tabel Lampiran 1. Rata-rata Harga Eceran Cabe Keriting, 2011-2014 (Rp/kg)
Bulan 2011 2012 2013 2014 Rata-rata
Jan 42,231 30,857 22,797 32,961 32,211
Feb 37,642 22,074 26,932 27,392 28,510
Mar 27,796 22,185 27,613 25,162 25,689
Apr 19,306 24,674 25,797 22,953 23,182
Mei 16,149 23,075 29,513 19,447 22,046
Jun 14,946 27,330 33,405 17,698 23,345
Jul 14,946 27,330 35,525 17,758 23,890
Ags 14,473 24,111 29,918 20,200 22,175
Sep 18,661 19,031 26,933 23,062 21,922
Okt 23,289 20,302 35,855 32,763 28,052
Nov 27,662 18,944 32,575 50,125 32,326
Dec 30,766 18,918 32,669 70,237 38,147
Sumber: Kementerian Perdagangan (2014), data diolah

Tabel Lampiran 2. Rata-rata Harga Eceran Cabe Merah, 2011-2014 (Rp/kg)


Bulan 2011 2012 2013 2014 Rata-rata
Jan 40,362 27,569 22,406 31,825 30,541
Feb 34,382 20,695 25,991 27,262 27,082
Mar 25,271 21,634 26,731 26,150 24,946
Apr 18,968 23,143 24,819 24,224 22,788
Mei 16,146 22,306 28,543 20,026 21,755
Jun 15,314 27,224 33,372 18,682 23,648
Jul 15,314 27,224 35,911 19,069 24,379
Ags 15,465 23,623 33,285 19,358 22,933
Sep 19,007 19,449 29,052 22,688 22,549
Okt 21,761 20,675 36,130 30,965 27,383
Nov 25,440 18,451 32,036 46,470 30,599
Dec 28,968 19,163 33,034 70,755 37,980
Sumber: Kementerian Perdagangan (2014), data diolah

39
Tabel Lampiran 3. Rata-rata Harga Eceran Bawang Merah, 2011-2014 (Rp/kg)
Bulan 2011 2012 2013 2014 Rata-rata
Jan 24,056 12,584 20,305 29,296 21,561
Feb 24,710 12,586 22,589 21,490 20,344
Mar 24,214 12,657 36,315 20,987 23,543
Apr 19,424 13,909 41,562 21,220 24,029
Mei 18,401 16,260 31,362 22,628 22,163
Jun 19,943 17,684 29,456 25,815 23,224
Jul 19,943 17,684 49,207 27,129 28,491
Ags 17,672 13,449 60,549 23,087 28,689
Sep 15,672 12,783 33,873 19,978 20,576
Okt 14,643 12,150 26,212 19,896 18,225
Nov 14,065 14,271 29,184 19,255 19,194
Dec 13,388 16,507 31,467 19,637 20,250
Sumber: Kementerian Perdagangan (2014), data diolah

40

Vous aimerez peut-être aussi