Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Nyeri akut abdomen adalah suatu kegawatan abdomen yang sering dikeluhkan
dan menjadi alasan utama pasien datang ke dokter. Tetapi, nyeri abdomen yang
dijadikan sebagai keluhan utama masih memberikan banyak kemungkinan
diagnosis karena nyeri dapat berasal baik dari organ dalam abdomen (nyeri
viseral) maupun dari lapisan dinding abdomennya (nyeri somatik). Nyeri akut
abdomen yang timbul bisa tiba-tiba atau sudah berlangsung lama. Namun,
penentuan lokasi dari nyeri abdomen mampu membantu dokter untuk
mengarahkan lokasi pada organ yang menyebabkan nyeri tersebut, walaupun
nyeri yang dirasakan mungkin akibat dari penjalaran organ lain. Salah satu lokasi
nyeri abdomen yang paling sering terjadi yaitu pada titik Mc Burney.1
Nyeri pada titik ini mengarah pada infeksi di apendiks (apendisitis).
Apendisitis adalah penyakit pada bedah mayor yang paling sering terjadi dan
biasanya sebagian besar dialami oleh para remaja dan dewasa muda. Dalam kasus
ringan, apendisitis dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus
memerlukan laparotomi dengan penyingkiran apendiks yang terinfeksi. Bila tidak
terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock
ketika apendiks yang terinfeksi mengalami perforasi.2
Menurut survei WHO, angka mortalitas peritonitis mencapai 5,9 juta per tahun
dengan angka kematian 9661 ribu orang meninggal. Di Indonesia sampai saat ini
peritonitis masih menjadi masalah yang besar dengan angka mortalitas dan
morbiditas yang tinggi. Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh
infeksi pada selaput organ perut (peritonieum). Peritoneum adalah selaput tipis
dan jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam.
Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan
patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu
kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan bakterisemia atau sepsis.3
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi
akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis,
1
salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi
post operasi, iritasi kimiawi, ataudari luka tembus abdomen. Pada keadaan
normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi kecil-
kecilan); kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi yang
menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-
faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.4
Berdasarkan pada keadaan tingginya insidensi dan komplikasi yang terjadi
akibat apendisitis tersebut menjadi dasar penulis untuk mengulas lebih dalam
mengenai apendisitis serta penatalaksanaanya. Pada tulisan ini akan disajikan
kasus seorang laki-laki dengan diagnosa peritontis et causa appendisitis perforasi,
yang mendapatkan perawatan rawat inap di RSUD Raden Mattaher Provinsi
Jambi.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 ANAMNESIS
Keluhan utama:
Pasien datang dengan keluhan nyeri di seluruh bagian perut sejak 2 hari yang
lalu SMRS.
3
- Riwayat DM : Disangkal
STATUS GENERALISATA
Kulit
Warna : Sawo matang Suhu : 36,8ºC
Efloresensi : (-) Turgor : Baik
Pigmentasi : Dalam batas normal Ikterus : (-)
Jar. Parut : (-)
Edema : (-)
Rambut : Rambut tumbuh merata
Kelenjar
Pembesaran Kel. Submandibula : (-)
Jugularis Superior : (-)
Submental : (-)
Jugularis Interna : (-)
Kepala
Bentuk kepala : Normocephali
4
Ekspresi muka : Tampak sakit sedang
Simetris muka : Simetris
Rambut : Tampak hitam tumbuh merata
Perdarahan temporal : (-)
Nyeri tekan syaraf : (-)
Mata
Exophthalmus/endopthalmus : (-/-)
Edema palpebra : (-/-)
Conjungtiva anemis : (-/-)
Sklera Ikterik : (-/-)
Pupil : Isokor (+/+)
Lensa : Tidak keruh
Reflek cahaya : (+/+)
Gerakan bola mata : Baik kesegala arah
Hidung
Bentuk : Normal Selaput lendir : normal
Septum : Deviasi (-) Penumbatan : (-)
Sekret : (-) Perdarahan : (-)
Mulut
Bibir : Sianosis (-)
Gigi geligi : Dbn
Gusi : Berdarah (-)
Lidah : Tremor (-)
Bau pernafasan : Dbn
Leher
Kelenjar getah bening : Pembesaran (-)
Kelenjar tiroid : Pembesaran (-)
5
Tekanan vena jugularis : (5-2) cm H2O
Thorax
Bentuk : Simetris
Paru-paru
Inspeksi : Pernafasan simetris
Palpasi : Fremitus taktil normal, nyeri tekan (-), krepitasi (-)
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Vesikuler, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba 2 jari di ICS V linea
midclavicula sinistra
Perkusi batas jantung
Kanan : ICS III Linea parasternalis dekstra
Kiri : ICS V Linea midklavikularis sinistra
Atas : ICS II Linea parasternalis sinistra
Pinggang jantung : ICS III Linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Cembung, distensi abdomen,sikatrik (-), massa (-),
bekas operasi (-)
Palpasi : Nyeri tekan seluruh lapangan abdomen (+), nyeri
lepas (+), tegang, hepar dan lien tidak teraba, Rovsing sign (+),
Psoas sign (-), obturator sign (+).
Perkusi : Hipertimpani (+), nyeri ketuk (+) di seluruh
lapangan abdomen
Auskultasi : Bising usus menurun
Genetalia Eksterna
Dalam batas normal
6
Ekstremitas atas
Gerakan : Dbn Nyeri sendi : (-)
Akral : Hangat, CRT < 2 detik Edema : (-)
Extremitas bawah
Gerakan : Dbn Nyeri sendi : (-)
Akral : Hangat, CRT < 2 detik Edema : (-)
7
2.6 Diagnosis Banding
- Gastroenteritis
- Hipoalbumin
- Akut abdomen
- Limfadenitis mesenterika
- Demam dengue
- Ulkus peptikum perforasi
- Kehamilan ektopik
- Pelvic inflammatory disease
2.7 Penatalaksanaan
- IVFD RL 20 ttm
- Paracetamol infus
- Inj. Ranitidine 2x1 amp
- Inj. Ceftriaxone 1x2 1x2 amp
- Pasang kateter dan NGT
2.9 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad santionam : dubia ad bonam
8
TGl S O A P
14/03/18 Pasien mengeluhkan KU : Tampak Abdomen Suspect - IVFD RL 20 ttm
nyeri perut (+) mual kesakitan I: distensi (+) appendisitis akut - Paracetamol infus
(+) muntah (-) GCS : E4V5M6 A: BU (+) ↓ - Inj. Ceftriaxone 1g/50ml
demam (+) TD : 110/70 P: NT(+) seluruh - Inj. Ranitidine 25mg/ml
N: 81 x/mnt lapang perut, mc - Pasang kateter dan NGT
RR : 23 x/mnt burney(+) - Ajukan USG
T : 36,8⁰C P: Hipertimpani
16/03/18 Nyeri perut (+) KU : Tampak Abdomen Suspect Ajukan operasi cito
kesakitan I : Distensi (+) appendisitis akut emergency, hasil USG
GCS : E4V5M6 A : BU (+) menunjukkan adanya
TD : 110/60 melemah appendisitis.
N: 88 kpm P : Timpani
RR : 22 kpm P : NT (+) seluruh
T : 36,2⁰C lapang perut
17/03/18 Lemah post op hari KU : Tampak Drain ± 20cc Peritonitis et - IVFD RL 20 ttm
pertama lemah, GCS 15 causa appendisitis - Inj. Ceftriaxone 1g/50ml
9
perforasi - Inj. Ranitidine 25mg/ml
- Inj. Ketorolac 1
amp/kolf
19/03/18 Nyeri perut KU : Mulai Bising usus (+) Peritonitis et - IVFD RL 20 ttm
berkurang, lemah membaik, GCS 15 nyeri tekan (-) causa appendisitis - Inj. Ceftriaxone 1g/50ml
post op hari ketiga perforasi - Inj. Ranitidine 25mg/ml
- Inj. Ketorolac 1
amp/kolf
20/03/18 Nyeri perut KU: Membaik, Bising usus (+) Peritonitis et - Inj. Ceftriaxone 1g/50ml
berkurang, lemah GCS 15 nyeri tekan (-) causa appendisitis - Inj. Ranitidine 25mg/ml
post op hari BAB (+) perforasi - Inj. Ketorolac 1
keempat amp/kolf
- Rawat jalan
10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.2.Peritonitis
3.2.1. Anatomi Peritonitum
Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks. Di
bagian belakang struktur ini melekat pada tulang belakang sebelah atas pada iga,
dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri dari berbagai
lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kutis dan sub kutis,
lemak sub kutan dan facies superfisial (facies skarpa), kemudian ketiga otot
dinding perut m.obliquus abdominis eksterna, m. obliquus abdominis internus dan
m. Transversum abdominis, dan akhirnya lapis preperitonium dan peritonium,
yaitu fascia transversalis, lemak preperitonial dan peritonium. Otot di bagian
depan tengah terdiri dari sepasang otot rektus abdominis dengan fascianya yang di
garis tengah dipisahkan oleh linea alba.5,6
Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut.
Integritas lapisan muskulo-aponeurosis dinding perut sangat penting untuk
mencegah terjadilah hernia bawaan, dapatan, maupun iatrogenik. Fungsi lain otot
dinding perut adalah pada pernafasan juga pada proses berkemih dan buang air
besar dengan meninggikan tekanan intra abdominal. Perdarahan dinding perut
berasal dari beberapa arah, dari kraniodorsal diperoleh perdarahan dari cabang aa.
Intercostalis VI – XII dan a. epigastrika superior. Dan dari kaudal terdapat a.
11
iliaca a. sircumfleksa superfisialis, a. pudenda eksterna dan a.epigastrika inferior.
Kekayaan vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal maupun
vertikal tanpa menimbulkan gangguan perdarahan. Persarafan dinding perut di
persyarafi secara segmental oleh n.thorakalis VI – XII dan n. lumbalis I.
Peritoneum viserale yang menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem
saraf autonom dan tidak peka terhadap rabaan atau pemotongan. Dengan demikian
sayatan atau penjahitan pada usus dapat dilakukan tanpa dirasakan oleh pasien.
Akan tetapi bila dilakukan tarikan atau regangan organ, atau terjadi kontraksi
yang berlebihan pada otot yang menyebabkan iskemia misalnya pada kolik atau
radang seperti apendisitis, maka akan timbul nyeri. Pasien yang merasakan nyeri
viseral biasanya tidak dapat menunjuk dengan tepat letak nyeri sehingga biasanya
ia menggunakan seluruh telapak tangannya untuk menujuk daerah yang nyeri.
Peritoneum parietale dipersarafi oleh saraf tepi, sehingga nyeri dapat
timbul karena adanya rangsang yang berupa rabaan, tekanan, atau proses radang.
Nyeri dirasakan seperti seperti ditusuk atau disayat, dan pasien dapat
menunjukkan dengan tepat lokasi nyeri.
3.2.2. Definisi
Peritonitis adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum, fibrin, sel–sel,
dan pus, biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada
abdomen, muntah, dan demam peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi
pada peritoneum.6,7,8
12
Penyebabnya dapat tebagi 2, yaitu9
a. Bakterial : Bacteroides, E.Coli, Streptococus, Pneumococus, proteus,
kelompok Enterobacter-Klebsiella, Mycobacterium Tuberculosa.
b. Kimiawi : Getah lambung, dan pankreas, empedu, darah, urin, benda asing
(talk, tepung).
3.1.3.2. Epidemiologi
Data mengenai tingkat insidensi peritonitis sangat terbatas, namun yang pasti
diketahui adalah diantara seluruh jenis peritonitis, peritonitis sekunder merupakan
peritonitis yang paling sering ditemukan dalam praktik klinik. Hampir 80% kasus
peritonitis disebabkan oleh nekrosis dari traktus gastrointestinal. Penyebab umum
dari peritonitis sekunder, antara lain appendicitis perforasi, perforasi ulkus
peptikum (gaster atau duodenum), perforasi kolon karena diverticulitis, volvulus,
atau keganasan, dan strangulasi dari usus halus. Terdapat perbedaan etiologi
peritonitis sekunder pada negara berkembang (berpendapatan rendah) dengan
negara maju. Pada negara berpendapatan rendah, etiologi peritonitis sekunder
yang paling umum, antara lain appendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum,
dan perforasi tifoid. Sedangkan, di negara-negara barat appendisitis perforasi tetap
merupakan penyebab utama peritonitis sekunder, diikuti dengan perforasi kolon
akibat divertikulitis. Tingkat insidensi peritonitis pascaoperatif bervariasi antara
1%-20% pada pasien yang menjalani laparatomi.10,11
3.2.4. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa,
yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi
infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat
menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi
usus.8
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,
13
maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti
misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga
membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena
tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit
oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.1
Peritonitis dapat terjadi secara terlokalisasi, difus, atau generalisata. Pada
peritonitis lokal dapat terjadi karena adanya daya tahan tubuh yang kuat serta
mekanisme pertahanan tubuh dengan melokalisir sumber peritonitis dengan
omentum dan usus. Pada peritonitis yang tidak terlokalisir dapat terjadi peritonitis
difus, kemudian menjadi peritonitis generalisata dan terjadi perlengketan organ-
organ intra abdominal dan lapisan peritoneum viseral dan parietal.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler
organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum
dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem
dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia.
Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada,
serta muntah. Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih
lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh
menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.5 Bila bahan yang menginfeksi
tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul
peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik
berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan
meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara
lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya
pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.1
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena
fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi
14
mukosa mengalami bendungan, makin lama mukus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena
sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark
dinding apendiks yang diikutidengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks
sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik
lokal maupun general.
3.2.5. Klasifikasi
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat di klasifikasikan sebagai berikut1,12
a. Peritonitis bakterial primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada
cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen.
Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau
Pneumococus.
Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Spesifik : misalnya Tuberculosis
2. Non spesifik : misalnya Pneumonia non Tuberculosis dan Tonsilitis
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi,
keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi. Kelompok resiko tinggi
adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus
sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.
15
infeksi. Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat
memperberat suatu peritonitis.
Kuman dapat berasal dari:
Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam
cavum peritoneal
Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan
oleh bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari usus
Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya
appendisitis.
c. Peritonitis tersier
Peritonitis ini misalnya pada peritonitis yang disebabkan oleh jamur dan
peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan. Merupakan peritonitis
yang disebabkan oleh iritan langsung, seperti misalnya empedu, getah lambung,
getah pankreas, dan urine.
16
3.2.7. Diagnosis
Diagnosis dari peritonitis dapat ditegakkan dengan adanya gambaran klinis,
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis.
a. Gambaran klinis
Gambaran klinisnya tergantung pada luas peritonitis, berat peritonitis dan
jenis organismenya. Peritonitis dapat lokal, menyebar, atau umum. Gambaran
klinis yang biasa terjadi pada peritonitis bakterial primer yaitu adanya nyeri
abdomen, demam, nyeri lepas, nyeri tekan dan bising usus yang menurun atau
menghilang. Sedangkan gambaran klinis pada peritonitis bakterial sekunder yaitu
adanya nyeri abdominal yang akut, nyeri ini tiba-tiba, hebat, dan pada penderita
apendisitis, nyerinya mula-mula dikarenakan penyebab utamanya, dan kemudian
menyebar secara gradual dari fokus infeksi. Selain nyeri, pasien biasanya
menunjukkan gejala dan tanda lain yaitu nausea,vomitus, syok (hipovolemik,
septik, dan neurogenik), demam, distensi abdominal, nyeri tekan abdomen dan
rigiditas yang lokal, difus atau umum, dan secara klasik bising usus melemah atau
menghilang. Gambaran klinis untuk peritonitis non bakterial akut sama dengan
peritonitis bakterial.4
b. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis, hematokrit
yang meningkat dan asidosis metabolik. Hitung leukosit dapat menunjukkan
adanya proses peradangan.
c. Pemeriksaan radiologis
Usus halus dan usus besar berdilatasi. Udara bebas dapat terlihat pada kasus-
kasus perforasi.1,3
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk
pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut.
Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :
17
1. Tiduran telentang ( supine ), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior (AP). Posisi tidur untuk melihat distribusi usus,
preperitonial fat, dan ada tidaknya penjalaran.
2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan
sinar horizontal proyeksi AP.
3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar
horizontal, proyeksi AP. Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai
kaset film yang dapat mencakup seluruh abdomen beserta dindingnya.
Perlu disiapkan ukuran kaset dan film ukuran 35 x 43 cm.3 Posisi untuk
melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus. Dari air fluid level
dapat diduga gangguan pasase usus.
3.2.8. Tatalaksana
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang
dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi
saluran cerna dengan pemasangan nasogastriktube (NGT) dan intestinal,
pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila
mungkin mengalirkan nanah keluar dan pemberian analgetik untuk
menghilangkan nyeri.1,6,14
Hampir semua penyebab peritonitis memerlukan tindakan pembedahan
(laparotomi eksplorasi). Pembedahan dilakukan bertujuan untuk :
1. Mengeliminasi sumber infeksi
2. Mengurangi kontaminasi bakteri pada cavum peritoneal
3. Pencegahan infeksi intra abdomen berkelanjutan
3.2.9. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana
komplikasi tersebut dapat dibagi, yaitu :4
a. Komplikasi dini
Septikemia dan syok septic
Syok hipovolemik
18
Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan
kegagalan multi system
Abses residual intraperitoneal
Abses hepar
b. Komplikasi lanjut
Adhesi
Obstruksi intestinal rekuren
3.3.Appendisitis
3.3.1. Anatomi dan Fisiologi
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm dan
berpangkal di sekum. Lumennya menyempit di bagian proksimal dan melebar di
bagian distal. Namun demikian pada bayi apendiks berbentuk kerucut, lebar pada
pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya.
Apendiks terletak di ileosekum dan merupakan pertemuan ketiga tinea koli.
Untuk mencarinya cukup dicari pertemuan 2 tinea tersebut. Didekatnya terdapat
valvula Bauhini. Apendiks juga dapat terbentang retrocaecal, retroileal, dan
pelvic. Apendiks menerima aliran darah dari cabang apendikuler dari
a.ileocoelica. Arteri ini berasal dari ileum terminalis superior memasuki
mesoapendiks dekat dasar apendiks. Cabang arteri kecil berjalan melalui a. caecal.
Sistem limfe apendiks berjalan menuju nodus limfatik yang terbentang sepanjang
ileocoelica.
Persarafan apendiks berasal dari persarafan simpatis yang berasal dari plexus
mesenterikal superior (T10-L1), dan parasimpatis yang aferennya berasal dari
n.vagus. Meskipun fungsi apendiks sampai saat ini tidak jelas, tetapi mukosa
apendiks seperti mukosa lainnya mampu menghasilkan sekresi cairan, musin, dan
enzim proteolitik.
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated
Lymphoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks,
ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.
Namun demikian pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun karena
19
jumlah kelenjar limfe disini sedikit sekali jika dibandingkan jumlahnya di saluran
cerna atau di seluruh tubuh.15
20
3.3.2. Etiologi dan Epidemiologi
Apendisitis merupakan infeksi bakteri. Faktor-faktor yang dapat menjadi
pencetus apendisitis:
1. Obsruksi lumen apendiks : Obstruksi ini akan menyebabkan distensi pada
apendiks karena terkumpulnya cairan intraluminal. Obstruksi ini dapat
disebabkan oleh :
- Masuknya fekalit
- Kerusakan mukosa dan adanya tumor
- Terdapat bekuan darah
- Sumbatan oleh cacing ascaris
- Pengendapan barium di pemeriksaan x-ray sebelumnya.
2. Anatomi apendiks
- Apendiks merupakan bagian dari sekum secara embriologis.
Karena itu ada hubungan mikroorganisme antar keduanya.
- Sirkulasi dari cabang ileocoelica saja (satu arah) sehingga bila ada
bagian yang buntu maka begian yang terletak dibawahnya akan
mati.
- Apendiks merupakan tabung yang ujungnya buntu pada satu tempat
dan satu tempat lagi ada valvula atau klep dan lumennya relatif
kecil, tapi memproduksi mucus. Kalau ada obstruksi → mucus
tetap diproduksi → Tekanan akan meningkat → pecah→ nekrosis.
21
- Ras dan makanan. Lebih banyak pada orang barat, makan daging
→ kemungkinannya lebih besar.
3. Konstipasi dan pemakaian laksatif
Flora usus normal apatogen menjadi patogen.
4. Fokal infeksi dari tempat lain yang manjalar secara hematogen.
3.3.3. Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian
proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa
appendiks yang distensi. Obstruksi tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi
mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen appendiks normal hanya
sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen
sekitar 60 cmH2O. Manusia merupakan salah satu dari sedikit makhluk hidup
yang dapat mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga
menjadi gangrene atau terjadi perforasi.
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan appendiks mengalami
hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri.
Infeksi menyebabkan pembengkakan appendiks bertambah (edema) dan semakin
iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding appendiks).
Pada saat inilah terjadi appendiks akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
22
Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut
dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan appendiks
supuratif akut.
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding appendiks yang
diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan appendiks gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi appendiks perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan
akan bergerak kearah appendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut
infiltrate apendikularis. Peradangan appendiks tersebut dapat menjadi abses atau
menghilang.
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi appendiks yang dimulai
dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding appendiks dalam waktu 24-48
jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses
radang dengan menutup appendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa
sehingga terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis
jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses,
appendiks akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk
selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.1
Proses inflamasi lambat laun melibatkan serosa appendiks dan peritoneum
parietale pada regio tersebut sehingga nyeri dirasa berpindah ke kanan bawah.
Pada distensi yang hebat, daerah dengan suplai darah terburuk akan lebih
menderita sehingga akan terjadi infark. Distensi, invasi bakteri, kelainan vaksular
dan infark dapat menyebabkan terjadinya perforasi. Akan tetapi, proses tersebut
tidak selalu terjadi, pada beberapa kasus dapat sembuh spontan.
23
Infeksi di mukosa
Sembuh Perforasi
Peritonitis
3.3.4. Diagnosis
a. Anamnesis
Gejala klasik dari appendisitis adalah nyeri samar-samar atau tumpul yang
merupakan nyeri visceral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan
sering disertai dengan mual muntah, penurunan nafsu makan. Dalam beberapa
jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah titik McBurney.
24
b. Pemeriksaan Fisik
Tanda vital tidak berubah terlalu mencolok pada appendisitis. Kenaikan suhu
jarang lebih dari 1°C, tetapi perbedaan suhu rektal dan aksilar lebih dari 1°C, nadi
normal atau naik sedikit. Perubahan tanda vital yang mencolok menunjukkan
terjadinya komplikasi atau diagnosa lain.
Pasien lebih memilih tidur terlentang atau miring ke kanan, dan pergerakan
sangat minim karena dapat mencetuskan nyeri. Kadang sudah terlihat waktu
penderita berjalan sambil bungkuk dan memegang perut kanan bawah. Penderita
tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik.
Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan
perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler.
Pada palpasi didapatkan nyeri terbatas pada iliaka kanan, bisa disertai nyeri
lepas. Defence muscular menunjukan adanya tanda rangsangan peritoneum
parietal, hal ini berarti proses peradangan sudah mengenai peritoneum. Palpasi
dimulai dari kuadran kiri bawah yang dilanjutkan ke kuadran kiri atas, kuadran
kanan atau dan diakhiri dengan pemeriksaan kuadran kanan bawah.
Beberapa test yang dapat dilakukan untuk pasien yang dicurigai appendisitis,
tetapi perlu diingat bahwa uji-uji tersebut tidak selalu positif pada semua kasus
karena seringkali tergantung dari letak appendiks.
a. Mc. Burney’s Sign
Dengan penekanan ujung jari pada regio iliaka kanan didapatkan nyeri tekan
positif, maksimum pada titik Mc. Burney.
b. Blumbeg’s Sign
Dengan menekan pelan-pelan sisi kiri abdomen kemudian dilepaskan secara
tiba-tiba, penderita merasa nyeri di daerah appendiks.
c. Rovsing’s Sign
Nyeri dijalarkan ke bagian kuadran kanan bawah sewaktu dilakukan
penekanan di daerah kuadran kiri bawah.
25
d. Tenhorn Sign
Pada penderita laki-laki bila testis ditarik pelan-pelan maka akan timbul nyeri
sebab testis ada hubungan dengan peritoneum.
e. Psoas Sign (untuk appendisitis retroperitoneal)
Bila appendiks berdekatan dengan M. psoas, gerakan M. psoas akan
menimbulkan nyeri. Tes dilakukan dengan rangsangan M. psoas lewat
hiperekstensi atau fleksi aktif.
f. Obturator Sign
Biasanya positif pada appendisistis dengan appendiks letak pelvika dilakukan
dengan cara penderita tidur terlentang, tungkai kanan difleksi ke atas,
pemeriksa mamutar sendi panggul ke dalam (endorotasi) untuk meregangkan
M. obturator internus, jika terasa nyeri daerah apendiks berarti positif.
26
Yang dinilai Skor
Gejala Nyeri fossa iliaca dextra 1
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Laboratorium Leukositosis 2
Neutrofil bergeser ke kiri 1
Interpretasi:
Skor 1-4 : Tidak dipertimbangkan mengalami apendisitis akut
Skor 5-6 : Dipertimbangkan apendisitis akut, tapi tidak perlu operasi segera
Skor 7-8 : Dipertimbangkan mengalami apendistis akut
Skor 9-10 : Hampir definitif mengalami apendisitis akut dan dibutuhkan
tindakan bedah
Berikut ini adalah beberapa kriteria dalam Ohman score untuk menegakkan
diagnosis Appendicitis:
Variabel yang dinilai Skor yang dinilai
Skor total 16
27
Interpretasi:
Skor < 6 : Jarang appendicitis
Skor 6-11.5 : Kemungkinan appendicitis (Monitoring)
Skor > 11.5 : Appendisitis sangat sering
Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
1. Pemeriksaan darah
2. Pemeriksaan urin
b. Radiologis
1. Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fekalit sebagai penyebab appendisitis.
Gambaran appendikolit pada foto polos abdomen, caecum yang distensi
merupakan kunci diagnosa appendisitis. Selain itu, dapat dilihat tanda-
tanda peritonitis. Kebanyakan kasus appendisitis akut didiagnosa tanpa
28
memperlihatkan kelainan radiologi. Foto polos bisa memperlihatkan
densitas jaringan lunak dalam kuadran kanan bawah, bayangan psoas
kanan abnormal, gas dalam lumen appendiks dan ileus lebih menonjol.
Foto pada keadaan berbaring bermanfaat dalam mengevaluasi keadaan-
keadaan patologi yang meniru appendisitis akut. Contohnya udara bebas
intraperitoneum yang mendokumentasi perforasi berongga seperti
duodenum atau kolon. Kelainan berupa radioopaque, benda asing serta
batas udara cairan di dalam usus yang menunjukkan obstruksi usus.
Sebaiknya dilakukan BNO dalam 3 posisi. Pemeriksaan ini dilakukan
terutama pada anak-anak.
2. Barium enema
Suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui
anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari
appendisitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan
diagnosis banding.
Enema barium mungkin membantu dalam diagnosa appendisitis pada
beberapa pasien, terutama pada anak-anak dimana diagnosa berdasarkan
pemeriksaan fisik tidak jelas dan operasi bisa sangat merugikan. Pengisian
penuh pada appendiks dan tidak terdapat perubahan pada mukosa lumen
appendiks bisa menyingkirkan kemungkinan appendisitis. Tetapi jika
29
terdapat tanda patognomonik appendisitis pada barium enema seperti
appendiks yang tidak terisi, adanya massa di medial dan bawah lumen
caecum yang mempengaruhi irregularitas lumen appendiks maka diagnosa
bisa ditegakkan.
3. Appendikogram
Untuk lihat apendisitis kronis
4. USG abdomen
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan
USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses.
Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding
seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya
(Tampak atas) ultrasound pada bagian kanan bawah perut (tampak kiri,
noncompress/tidak ada kepadatan; tampak kanan, compresses/adanya kepadatan)
menunjukan dinding yang tebal, struktur noncompresibel tubular (inflamasi apendiks)
dengan bayangan apendikolith (tanda panah)
30
(Tampak bawah) gambar longitudinal ultrasound yang menunjukan dinding yang tebal
dari inflamasi apendiks dan apendikolith (tanda panah) serta pengumpulan cairan
periappendiceal.
5. CT-Scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendicitis. Selain itu juga dapat
menunjukkan komplikasi dari appendicitis seperti bila terjadi abses. CT-
Scan mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100%
dan 96-97%, serta akurasi 94-100%. CT-Scan sangat baik untuk
mendeteksi apendiks dengan abses atau flegmon.
3.3.5. Tatalaksana
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-
satunya pilihan yang baik adalah appendektomi. Pada appendisitis tanpa
komplikasi, biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada appendisitis
gangrenosa atau appendisitis perforata.
Apendektomi bisa dilakukan seacra terbuka atau laparoskopi. Bila
apendektomi terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih oleh ahli bedah.
Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas, sebaiknya dilakukan observasi
terlebih dahulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi dapat dilakukan bila
dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskop, tindakan
31
laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan
dilakukan operasi atau tidak.1
3.3.6. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi. Baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami
perdindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum,
dan lekuk usus halus.2
Komplikasi apendisitis akut diantaranya :
- Apendisitis abses
- Apendisitis perforata
- Apendisitis kronis
3.3.7. Prognosis
Prognosis untuk appendisitis adalah bonam. Angka kematian akibat
appendisitis di Amerika Serikat telah menurun dari 9,9 per 100.000 pada tahun
1939 menjadi 0,2 per 100.000 pada tahun 1986. Hal ini disebabkan oleh karena
diagnosis dini dan penatalaksanaan yang baik, adanya antibiotik yang baik, cairan
intravena, tersedianya darah dan terapi yang tepat sebelum terjadinya perforasi.
Hal-hal lain yang mempengaruhi tinggi rendahnya angka kematian akibat
appendisitis adalah umur pasien dan terjadinya perforasi. Pada orang tua dengan
komplikasi perforasi maka angka kematiannya menjadi jauh lebih tinggi
dbandingkan dengan orang muda tanpa perforasi.4
32
BAB IV
ANALISA KASUS
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada seluruh bagian perut. Setelah
dilakukan anamnesis lebih lengkap, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang maka pasien ini di diagnosis peritonitis et causa appendisitis
perforasi.
Diagnosa itu sendiri bisa ditegakkan berdasarkan hasil temuan klinis yang
didapat pada anamnesis pasien, lalu temuan yang ditemukan pada
pemeriksaan fisik serta hasil lain yang mendukung dari pemeriksaan
penunjang.
Anamnesis
Berdasarkan anamnesis gejala yang didapatkan pada pasien ini adalah
nyeri pada seluruh lapang perut, nyeri terasa tertusuk-tusuk, terus-menerus dan
bertambah nyeri jika sedang batuk, pasien mengeluhkan sulit BAB, sedangkan
BAK lancar, nafsu makan menurun, pasien pernah di pijat dengan dukun pijat,
mual (+), muntah (-).
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik status lokalis di regio abdomen terlihat distensi
abdomen, ketika di palpasi terdapat nyeri tekan dan nyeri lepas pada seluruh
bagian perut, terjadi peningkatan suhu tubuh pasien, pada aukustasi bunyi
bising usus menurun, saat di perkusi terdapat suara hipertimpani di bagian
perut, nyeri ketuk (+).
Pemeriksaan Penunjang
Terjadi peningkatan dari WBC yaitu 12.300, pada pemeriksaan USG
memberikan kesan appendisitis akut.
Diagnosa
Diagnosa pada pasien ini adalah peritonitis et causa appendisitis perforasi
Tatalaksana
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan
satu-satunya pilihan yang baik adalah tindakan bedah. Pada penderita yang
diagnosisnya tidak jelas, sebaiknya dilakukan observasi terlebih dahulu.
33
Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi dapat dilakukan bila dalam
observasi masih terdapat keraguan. Penangan pada pasien ini selama observasi
yaitu dipasang NGT, kateter, rehidrasi dengan Ringer Lactat dan pemberian
antibiotik.
Pre Op
- IVFD RL 20 ttm
- Paracetamol infus
- Inj. Ceftriaxone 1g/50ml
- Inj. Ranitidine 25mg/ml
- Pasang kateter dan NGT
- Ajukan USG
Operasi
- Laparotomi eksplorasi
- Appendektomi
Post Op
- Inj. Ceftriaxone 1g/50ml
- Inj. Ranitidine 2x ½ ampul
- Metronidazole 4x200mg
- PCT 2X500mg
- Rawat jalan
34
BAB V
KESIMPULAN
35
DAFTAR PUSTAKA
36
14. Doherty, Gerard. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis &
Treatment 12ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2006.
15. Guyton A.C. and J.E. Hall 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Edisi 9. Jakarta: EGC
37