Vous êtes sur la page 1sur 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penjelasan dari individu dengan gejala atau gangguan autisme telah ada

sejak sekitar abad 18, namun titik kritis dalam sejarah keilmuan gangguan autisme

adalah pada tahun 1943, ketika Leo Kanner mempublikasikan Autistic

Disturbances of Affective Conduct, yaitu sebuah tulisan yang menggambarkan

gejala dari 11 anak yang menampilkan perilaku serupa yang sebelumnya belum

pernah dikenal. Pola gejala ini membentuk gambaran klinis dengan karakteristik

yang berbeda dari literatur medis yang ada sebelumnya sehingga kemudian diakui

sebagai suatu temuan sindrom klinis yang baru. Gambaran klinis yang didapat

tersebut berupa gangguan dalam berbicara, kesulitan berbicara, echolalia, perilaku

serupa yang berulang-ulang, mayoritas adalah laki-laki (perempuan hanya 3

anak), makrosefali pada 5 anak, dan kesemua anak pada kelompok tersebut

memiliki ketidakmampuan bawaan untuk membina kontak afektif dengan orang

lain (Lubetsky 2011).

Setelah lebih dari 70 tahun sejak diajukannya istilah autisme untuk

pertama kali oleh Leo Kanner, diagnosis sindrom atau gejala autisme sampai saat

ini telah mengalami revisi beberapa kali. Saat ini gangguan autisme dikenal

dengan istilah autism spectrum disorder (ASD) atau gangguan spektrum autisme

yaitu suatu disabilitas perkembangan yang terjadi seumur hidup yang mencakup

defisit dan keterbatasan dalam komunikasi dan interaksi sosial, pola berulang dari

perilaku, minat, atau aktivitas. Kriteria diagnosis gangguan autisme terbaru saat

1
2

ini sejak dikeluarkannya The Diagnostic and Statistical Manual of Mental

Disorders, Fifth Edition (DSM-5) pada Mei 2013 masuk dalam ASD (American

Psychiatric Association, 2013; Ozkaya, 2013).

Diagnosis ASD saat ini menyatukan beberapa diagnosis gangguan yang

pada The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Text Revision

(DSM-4-TR) tahun 2000 masuk dalam Gangguan Perkembangan Pervasif yang

terdiri dari gangguan autis, sindrom Asperger, gangguan perkembangan pervasif

yang tidak spesifik, dan gangguan disintegrasi pada masa kanak-kanak. Alasan

mendasar dibalik revisi kriteria diagnosis ini adalah konsep gangguan autisme

lebih baik dikonsepkan sebagai suatu spektrum yang termasuk didalamnya

individu dengan gejala yang bervariasi mulai dari ringan sampai berat. Tujuannya

adalah untuk meningkatkan spesifisitas diagnosis dengan menggunakan 1 kriteria

diagnosis beserta derajat beratnya gejala dibandingkan dengan membedakannya

menjadi beberapa subtipe (Ozkaya, 2013). Perluasan atau perubahan kriteria

diagnosis diperkirakan sebagai salah satu penyebab tinggi dan meningkatnya

prevalensi ASD di dunia selain meningkatnya kewaspadaan, metode identifikasi

dan penyaringan yang lebih baik, ketersediaan pelayanan yang lebih baik, dan

pelaporan kasus yang makin membaik (Rice et al., 2012; WHO, 2013).

Saat ini ASD merupakan salah satu dari gangguan neurodevelopmental

yang sering terjadi (Tchaconas, 2013). Prevalensi median global ASD adalah

62/10.000 atau 1 dari 160 anak menderita ASD (WHO, 2013). Prevalensi ASD

predominan terjadi pada laki-laki dengan perbandingan dengan wanita adalah 2,7-

15,7:1 (Fombonne, 2009).


3

Menurut World Health Organization (WHO) berdasarkan studi

epidemiologi, dalam 5 tahun terakhir telah terjadi peningkatan prevalensi ASD di

seluruh dunia (WHO, 2013). The Centers for Disease Control and Prevention

(CDC) pada tahun 2014 mengestimasi bahwa 1 dari 68 anak di Amerika Serikat

menderita ASD (atau 14,7 per 1000 anak berusia 8 tahun) dimana telah terjadi

peningkatan sekitar 30% dari estimasi sebelumnya yang dilaporkan pada tahun

2012 yaitu 1 dari 88 anak (11,3 per 1000 anak berusia 8 tahun) (CDC, 2014).

Prevalensi rata-rata ASD di Asia sebelum tahun 1980 adalah sekitar 1.9/10,000,

sedangkan setelah tahun 1980 sampai 2009 adalah 14.8/10,000. Prevalensi median

ASD pada anak berusia 2-6 tahun di Cina di atas tahun 2000 adalah 10.3/10,000.

Prevalensi ASD sebenarnya di Asia saat ini diperkirakan lebih tinggi dari

perkiraan sebelumnya (Sun, 2009). Suatu studi yang dilakukan di Hongkong

terhadap lebih dari 5000 anak pada tahun 1986 sampai 2005 didapatkan

prevalensi ASD 16,1 per 10.000 anak yang berusia kurang dari 15 tahun (Wong,

2008).

Sampai saat ini belum ada studi mengenai prevalensi ASD di Indonesia.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2010, Direktur Bina Kesehatan Jiwa

Kementerian Kesehatan memperkirakan terdapat 112.000 anak di Indonesia

menyandang autisme, pada rentang usia sekitar 5-19 tahun (Republika online,

2013).

Autism spectrum disorder (ASD) bukan suatu gangguan yang bersifat

tunggal, namun berupa spektrum dari beberapa gangguan, dicirikan dengan

didapatinya: (1) defisit dalam komunikasi sosial dan interaksi sosial, (2) perilaku,
4

minat dan aktifitas repetitif yang terbatas. Gejala tersebut muncul sejak awal masa

kanak-kanak dan membatasi atau mengganggu fungsional harian (Brasic, 2014;

American Psychiatric Association, 2013). Setiap individu dengan ASD memiliki

gangguan tersebut, tapi dengan derajat disabilitas dan kombinasi gejala yang

bervariasi (American Psychiatric Association, 2013).

Gangguan atau defisit dalam interaksi sosial pada ASD ditandai dengan

adanya gangguan pada penggunaan komunikasi nonverbal untuk mengatur

interaksi sosial, gangguan hubungan dalam kelompok, berbagi minat atau

keberhasilan, dan gangguan/timbal balik sosial emosional, termasuk juga

kesulitan untuk memulai, mempertahankan, dan mengakhiri interaksi sosial,

memahami pikiran dan perasaan orang lain, dan memahami dampak dari perilaku

seseorang pada orang lain. Defisit dalam komunikasi sosial pada ASD ditandai

dengan gangguan perkembangan atau miskin dalam bahasa, gangguan memulai

atau mempertahankan percakapan, stereotip atau penggunaan kata atau bahasa

yang berulang-ulang dan kurang bervariasi (Bhatia et al., 2010; Gabriels, 2007).

Gangguan pada perilaku, minat, dan aktivitas yang repetitif dan terbatas

mencakup berbagai fenomena perilaku termasuk gerakan tubuh stereotip dan

berulang-ulang, perilaku kompulsif atau rutinitas atau ritual, desakan lingkungan

dan rutinitas yang sama, minat yang sempit dan terbatas dan perilaku yang

merugikan diri sendiri (Gabriels, 2007).

Gangguan mental/psikiatri lainnya sering terjadi atau dapat menyertai anak

dengan ASD dan dapat terjadi multipel (lebih dari 1 gangguan) pada 1 individu

(Simonoff et al., 2008). Depresi, ansietas, gangguan bipolar, attention-deficit /


5

hyperactivity disorder (ADHD), gangguan obsesif kompulsif dan psikosis adalah

beberapa komorbititas yang dapat terjadi pada individu dengan ASD. Beberapa

kondisi komorbiditas seperti depresi lebih mudah dibedakan dari gambaran inti

ASD dibandingkan komorbiditas yang lain (seperti ADHD dan gangguan obsesif

kompulsif). Kondisi ini merupakan tantangan bagi klinisi untuk mengenali atau

menentukan arah intervensi yang tepat (misalnya penggunaan obat psikotropika,

terapi perilaku atau keduanya) (Gabriels, 2007).

Diluar gangguan mental/psikiatri yang dialaminya, ternyata beberapa anak

dengan ASD memiliki kemampuan atau kelebihan yang luar biasa atau sering

juga disebut dengan savant skill/syndrome. Sekitar 1 dari 10 anak dengan ASD

memiliki savant skill dengan derajat yang bervariasi. Savant skill adalah suatu

kondisi dimana penyandang gangguan mental serius dimana salah satunya

termasuk ASD memiliki kecerdasan atau keahlian tertentu dalam bidang lain yang

harusnya tidak sesuai dengan gangguan mental yang dimilikinya (Treffert, 2009).

Meskipun savant skill dapat juga terjadi pada selain ASD namun savant skill yang

luar biasa cerdas dan berbakat paling banyak dilaporkan terjadi pada ASD

(Howlin et al., 2009). Savant skill biasanya secara umum terbagi dalam 5 kategori

yaitu: musik (biasanya berupa memainkan alat musik dengan nada yang sempurna

seperti piano atau menguasai beberapa alat musik sekaligus); seni (biasanya

berupa menggambar, melukis, dan seni pahat); kemampuan menghitung kalender

(kemampuan yang dianggap aneh pada orang normal); matematika (termasuk

menghitung cepat, menghitung bilangan prima tanpa memiliki kemampuan dalam

kemampuan aritmatika sederhana lainnya); dan keterampilan mekanik atau spasial


6

(termasuk kemampuan untuk mengukur jarak secara tepat tanpa manfaat

instrumen, kemampuan untuk membangun model yang kompleks atau struktur

dengan akurasi telaten atau penguasaan pembuatan peta dan menemukan arah)

(Treffert, 2009). Hiperlexia yaitu berupa kemampuan mambaca kata-kata tertulis

di usia dini tanpa mendapatkan pelatihan/pelajaran formal sebelumnya meskipun

kejadiannya jarang dilaporkan juga dapat terjadi pada anak dengan ASD

(Grigorenko et at., 2002; Guiterrez 2006).

Gambaran gejala inti pada ASD, gangguan mental/psikiatri komorbid yang

dapat menyertainya dan savant skill dapat mencerminkan performa mental yang

ada pada anak dengan ASD. Performa mental pada anak ASD ini memiliki

rentang variasi yang cukup luas.

Gangguan kognitif yang terjadi pada masa perkembangan atau pada anak-

anak disebut juga dengan istilah disabilitas intelektual atau defisit kognitif

(Tynan, 2014; American Pschyatric Association, 2013). Berdasarkan kriteria

diagnosis pada DSM V disabilitas intelektual ditegakkan berdasarkan adanya

defisit fungsi intelektual (yang ditegakkan berdasarkan penilaian klinis

individual dan tes IQ) dan defisit dari fungsi adaptif sehingga defisit tersebut

membatasi fungsi dalam satu atau lebih kegiatan kehidupan sehari-hari, seperti

komunikasi, partisipasi sosial, dan hidup mandiri (American Psychiatric

Association, 2013). Adanya kesulitan dalam komunikasi menyebabkan evaluasi

fungsi kognitif pada anak autis menjadi sulit. Evaluasi dari berhasil atau

gagalnya tes menjadi sulit karena kegagalan dapat terjadi akibat respon yang

salah, menolak untuk memberikan respon, membutuhkan asisten, atau


7

kurangnya kemampuan mendemostrasikan pengetahuan yang dimiliki (Eagle,

202;Wells et al., 2009). Evaluasi fungsi adaptif biasanya dilakukan berdasarkan

wawancara dengan orang yang telah familiar dengan mereka yang akan

dievaluasi biasanya adalah anggota keluarga, care giver dan pendidik/guru

(Wells et al., 2009). Tidak mudah untuk melakukan evaluasi fungsi adaptif,

dibutuhkan waktu yang tidak singkat dan keahlian atau pelatihan khusus dalam

menggunakan instrumen penilaian yang ada (Reschly et al., 2002).

Pada suatu penelitian didapatkan perkiraan biaya yang diperlukan untuk

mendukung hidup individu dengan ASD dengan disabilitas intelektual seumur

hidupnya adalah 2,4 juta dolar di Amerika Serikat dan 2,2 juta dolar di Inggris.

Biaya mendukung individu dengan ASD tanpa disabilitas intelektual adalah 1.4

juta dolar di Amerika Serikat dan 1,4 juta dolar di Inggris. Salah Komponen

biaya terbesar saat masa kanak-kanak adalah biaya pendidikan khusus dan

hilangnya produktivitas orangtua. Selama masa dewasa, perawatan rumah atau

akomodasi pendukung dan hilangnya produktivitas individu memberikan

kontribusi biaya tertinggi. Biaya kesehatan yang jauh lebih tinggi untuk orang

dewasa daripada anak-anak (Buescher et al., 2014). Dengan prevalensinya yang

semakin meningkat tentunya biaya tinggi ini akan menjadi beban bagi suatu

negara atau pemerintah termasuk Indonesia.

Hal-hal yang dapat dilakukan untuk membantu individu dengan ASD

untuk mengurangi beban biaya diatas adalah membantu agar individu dengan

ASD mampu mandiri dan mampu membiayai hidup mereka sendiri atau dapat

berfungsi dalam dunia kerja. Deteksi dini dari ASD, penanganan yang segera
8

dan lebih baik, pengembangan potensi atau bakat yang dimiliki dapat dilakukan

untuk meningkatkan kemandirian individu dengan ASD (Dudley, 2014;

Grandin, 1999; Horlin et al., 2014). Mengetahui performa mental dan gangguan

kognitif anak dengan ASD diperlukan untuk melakukan semua hal tersebut.

Untuk mengevaluasi performa mental dan gangguan kognitif anak dengan

ASD secara terukur dan terstruktur tidak mudah, dibutuhkan instrumen yang

tidak sedikit, waktu pemeriksaan yang cukup panjang, konsultasi lintas tim ahli

yang mencakup ahli pediatri, neurologis, psikolog, patologis bicara dan bahasa

untuk mengambil kesimpulan. Performa mental dan gangguan kognitif anak

dengan ASD juga bisa dievaluasi secara kualitatif, yaitu berdasarkan deskripsi

orang tua atau wali dan guru.

Sampai saat ini belum banyak penelitian kualititif mengenai ASD. Sampai

saat ini penelitian kualitatif tentang performa mental dan gangguan kognitif

pada anak dengan ASD juga belum pernah dilakukan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan

beberapa masalah yaitu :

1. Prevalensi anak dengan ASD yang semakin meningkat.

2. Dibutuhkan biaya yang cukup tinggi untuk menanggung biaya hidup

individu dengan ASD terutama bagi mereka yang tidak mandiri dan

berfungsi dalam dunia kerja.


9

3. Deteksi dini gejala, penanganan yang lebih baik dan pengembangan

potensi diperlukan untuk membantu untuk meningkatkan kemandirian

anak dengan ASD.

4. Mengetahui performa mental dan gangguan kognitif anak dengan ASD

adalah hal penting untuk deteksi dini gejala, penanganan dan

pengembangan potensi anak dengan ASD.

5. Evaluasi secara terukur dan testruktur dari performa mental dan gangguan

kognitif anak dengan ASD tidak mudah. Dibutuhkan instrumen

pemeriksaan yang tidak sedikit, waktu pemeriksaan yang cukup panjang,

konsultasi lintas tim ahli yang mencakup ahli pediatri, psikiatri, psikolog,

patologis bicara dan bahasa untuk mengambil kesimpulan.

C. Pertanyaan Penelitian

Bagaimana performa mental dan gangguan kognitif anak dengan ASD di

salah satu sekolah autis di Yogyakarta.

D. Tujuan Penelitian

Mengetahui secara mendalam atau kualitatif performa mental dan

gangguan kognitif anak dengan ASD di sekolah autis Bina Anggita yang

merupakan sekolah khusus autis terbesar di Yogyakarta berdasarkan diskirpsi

orang tua atau wali dan guru.


10

E. Manfaat Penelitian

1. Memberikan sumbangan informasi kepada masyarakat tentang performa

mental dan gangguan kognitif pada anak dengan ASD yang ada di

Indonesia.

2. Membantu para klinisi dan psikolog dan dalam menangani anak autis di

Indonesia.

3. Memberi masukan pada pengelola sekolah anak berkebutuhan khusus.

4. Deteksi dini ASD bagi orang tua.

5. Sebagai awal untuk penelitian lebih lanjut.

F. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran, penelitian kualitatif mengenai performa mental

dan gangguan kognitif pada anak dengan ASD di Indonesia belum pernah

dilakukan.

Tabel 1. Keaslian Penelitian

Peneliti Judul Metode


Robertson, 2015 The Sensory Experiences of Adults with Kualitatif
Autism Spectrum Disorder: A
Qualitative Analysis
Supartini et al., Fenomena perilaku seksual anak autis di Kualitatif
2010 Yogyakarta
Ramadayanti, 2010 Perilaku Pemilihan Makanan dan Diet Kualitatif
Bebas Gluten Bebas Kasein Pada Anak
Autis
Penelitian ini Performa mental dan gangguan kognitif Kualitatif
pada anak dengan gangguan spektrum
autisme di sekolah autis di Yogyakarta

Vous aimerez peut-être aussi