Vous êtes sur la page 1sur 25

BAB I

PEDAHULUAN

1. Latar Belakang
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses secra perlahan–lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap
infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan
proses yang terus menerus berlanjut secara alamiah. Dimulai sejak lahir dan
umumnya dialami pada semua makhluk hidup.
Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan
bagian dari proses alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan
dialami oleh setiap individu. Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik
dan tingkah laku yang dapat diramalkan terjadi pada semua orang pada saat
mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Ini
merupakan suatu fenomena yang kompleks dan multi dimensional yang
dapat diobservasi di dalam satu sel dan berkembang pada keseluruhan
sistem. Walaupun hal itu terjadi pada tingkat kecepatan yang berbeda, di
dalam parameter yang cukup sempit, proses tersebut tidak tertandingi.
Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses
berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam
maupun luar tubuh. Walaupun demikian, memang harus diakui bahwa ada
berbagai penyakit yang sering menghinggapi kaum lanjut usia. Proses menua
sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai usia dewasa, misalnya
dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan jaringan
lain sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit, dan terjadi juga pada sistem
pencernaan.
Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik secara
fisik maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan
kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai
bagian dari proses penuaan yang normal, seperti berkurangnya ketajaman
panca indera, menurunnya daya tahan tubuh , lebih mudah terkena
konstipasi merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi
mereka masih harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan
sosial serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintai.
Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif pada
organisme yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel
serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami
yang disertai dengan adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun
sosial akan saling berinteraksi satu sama lain . Proses menua yang terjadi
pada lansia secara linier dapat digambarkan melalui tiga tahap yaitu,
kelemahan (impairment), keterbatasan fungsional (functional limitations),
ketidakmampuan (disability), dan keterhambatan (handicap) yang akan
dialami bersamaan dengan proses kemunduran.
Pada lansia mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun
mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan
yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari
proses penuaan yang normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera,
menurunnya daya tahan tubuh, dan adanya inkontinensia baik urine maupun
tinja merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi
mereka masih harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan
sosial serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintai.
Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering
ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin
berkisar antara 15–30% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri
yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan
bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun.
Ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin atau inkontinensia
jarang dikeluhkan oleh pasien atau keluarga karena dianggap sesuatu yang
biasa, malu atau tabu untuk diceritakan pada orang lain maupun pada dokter,
dianggap sesuatu yang wajar tidak perlu diobati. Inkontinensia urine bukan
penyakit, tetapi merupakan gejala yang menimbulkan gangguan kesehatan,
sosial, psikologi serta dapat menurunkan kualitas hidup (Rochani, 2002).
Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan
dampak yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena
pakaian basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang
tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah diri pada pasien.
Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan mempersulit
rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).

2. Tujuan
Mahasiswa mengetahui bagaimana konsep teori serta konsep asuhan
keperawatan yang tepat untuk klien inkontinensia urine pada lansia. Dan
dapat di terapkan dalam praktek pemberian asuhan keperawatan kepada
pasien.
BAB II
KONSEP MEDIS

1. Pengertian
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih
yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth,
2002).
Inkontinensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang tidak
terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan
frekuensi dan jumlahnya,yang mengakibatkan masalah social dan higienis
pendeitanya (FKUI, 2006).
Menurut International Continence Sosiety, inkontinensia urine adalah
kondisi keluarnya urin tak terkendali yg dpt didemonstrasikan secara obyektif
dan menimbulkan gangguan hygiene dan social.
Inkontinensia urine adalah pelepasan urine secara tidak terkontrol dalam
jumlah yang cukup banyak. Sehingga dapat dianggap masalah bagi
seseorang.
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing.
Inkontinensia urine merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering
ditemukan pada pasien geriatri.
Inkontinensia urine adalah ketidakampuan mengendalikan evakuasi
urine. (kamus keperawatan).

2. Klasifikasi

a) Inkontinensia Urin Akut Reversibel


Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat
pergi ke toilet sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium
teratasi maka inkontinensia urin umumnya juga akan teratasi. Setiap
kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya
inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia
persisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan
sebagainya. Resistensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi
anatomis dapat pula menyebabkan inkontinensia urin. Keadaan
inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis dan urethritis) mungkin
akan memicu inkontinensia urin. Konstipasi juga sering menyebabkan
inkontinensia akut. Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat
memicu terjadinya inkontinensia urin, seperti glukosuria atau kalsiuria.
Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat menyebabkan edema dan
nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya inkontinensia urin
nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat mencetuskan terjadinya
inkontinensia urin seperti Calcium Channel Blocker, agonist adrenergic
alfa, analgesicnarcotic, psikotropik, antikolinergik dan diuretic. Untuk
mempermudah mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible
dapat dilihat akronim di bawah ini :
 Delirium
 Restriksi mobilitas, retensi urin
 Infeksi, inflamasi, Impaksi
 Poliuria, pharmasi

b) Inkontinensia Urin Persisten


Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai
cara, meliputi anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan
praktek klinis, klasifikasi klinis lebih bermanfaat karena dapat
membantu evaluasi dan intervensi klinis. Kategori klinis meliputi :

c) Inkontinensia akibat stress


Merupakan eliminasi urine diluar keinginan melalui uretra sebagai
akibat dari peningkatan mendadak pada tekanan intra-abdomen.
seperti pada saat batuk, bersin atau berolah raga. Umumnya
disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul, merupakan
penyebab tersering inkontinensia urin pada lansia dibawah 75 tahun.
Lebih sering terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi pada laki-laki
akibat kerusakan pada sfingter urethra setelah pembedahan trans
urethral dan radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan urin pada saat
tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau
banyak.

d) Urge Incontinence
Terjadi bila pasien merasakan drongan atau keinginan untuk urinasi
tetapi tidak mampu menahannya cukup lama sebelum mecapai toilet.
Inkontinensia urin jenis ini umumnya dikaitkan dengan kontraksi
detrusor tak terkendali (detrusor overactivity). Masalah-masalah
neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia urin urgensi ini,
meliputi stroke, penyakit Parkinson, demensia dan cedera medula
spinalis. Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di toilet
setelah timbul keinginan untuk berkemih sehingga timbul peristiwa
inkontinensia urin. Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan penyebab
tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi
inkontinensia urgensi adalah hiper aktifitas detrusor dengan
kontraktilitas yang terganggu. Pasien mengalami kontraksi involunter
tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih sama sekali. Mereka
memiliki gejala seperti inkontinensia urin stress, overflow dan
obstruksi. Oleh karena itu perlu untuk mengenali kondisi tersebut
karena dapat menyerupai inkontinensia urine tipe lain sehingga
penanganannya tidak tepat.

e) Overflow Incontinence
Ditandai oleh eliminasi urine yang sering dan kadang-kadang terjadi
hampir terus-menerus terjadi. Tidak terkendalinya pengeluaran urin
dikaitkan dengan kansdung kemih tidak dapat mengosongkan isinya
secara normal dan megalami distensi yang berlebihan. Meskipun
eliminasi urine sering terjadi, kandug kemih tidak pernah kosong. Hal
ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran prostat,
faktor neurogenik pada diabetes melitus atau sclerosis multiple, yang
menyebabkan berkurang atau tidak berkontraksinya kandung kemih,
dan faktor-faktor obat-obatan. Pasien umumnya mengeluh keluarnya
sedikit urin tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh.

f) Inkontinensia urin fungsional


Merupakan inkontinensia dengan fungsi saluran kemih bagian bawah
yang utuh tetapi ada factor lain, seperti angguan kognitif berat yang
membuat pasien sulit untk mengidentifkasi perlunya miksi (demensia
alzhimer) atau gangguan fisik yang menyebabkan pasien sulit atau
tidak mungkin menjangkau toilet untuk melakukan urinasi. Memerlukan
identifikasi semua komponen tidak terkendalinya pengeluaran urine
akibat faktor-faktor di luar saluran kemih. Penyebab tersering adalah
demensia berat, masalah muskuloskeletal berat, faktor lingkungan
yang menyebabkan kesulitan unutk pergi ke kamar mandi, dan faktor
psikologis. Seringkali inkontinensia urin pada lansia muncul dengan
berbagai gejala dangan membran urodinamik lebih dari satu tipe
inkontinensia urin. Penatalaksanaan yang tepat memerlukan
identifikasi semua komponen.

3. Etiologi

a. Persalinan pervaginan
Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak
akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir,
sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine.
b. Proses menua
Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia
menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot
vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan
terjadinya inkontinensia urine. Semakin tua seseorang semakin besar
kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan
struktur kandung kemih dan otot dasar panggul.
c. Gangguan urologi (peningkatan pada produksi urine (DM))
d. Infeksi saluran kemih
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika
terjadi infeksi saluran kemih bisa menyebabkan inkontinensia urine

4. Manifestasi Klinis

a) Desakan berkemih, di sertai ketidakmampuan mencapai kamar


mandi karena telah berkemih
b) Frekuensi, dan nokturia.
c) Inkontinensia stres, dicirikan dengan keluarnya sejumlah kecil
urin ketika tertawa, bersin, melompat, batuk atau membungkuk.
d) Inkontinensia overflow, dicirikan dengan aliran urin buruk atau
melambat dan merasa menunda atau mengedan.
e) Inkontinensia fungsional, dicirikan dengan volume dan aliran urin
yang adekuat
f) Higiene buruk atau tanda- tanda infeksi
5. Patofisiologi

Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan


rangkaian koordinasi proses fisiologik berurutan yang pada dasarnya dibagi
menjadi 2 fase. Pada keadaan normal selama fase pengisian tidak terjadi
kebocoran urine, walaupun kandung kemih penuh atau tekanan intra-
abdomen meningkat seperti sewaktu batuk, meloncat-loncat atau kencing
dan peningkatan isi kandung kemih memperbesar keinginan ini. Pada
keadaan normal, dalam hal demikian pun tidak terjadi kebocoran di luar
kesadaran. Pada fase pengosongan, isi seluruh kandung kemih dikosongkan
sama sekali. Orang dewasa dapat mempercepat atau memperlambat miksi
menurut kehendaknya secara sadar, tanpa dipengaruhi kuatnya rasa ingin
kencing. Cara kerja kandung kemih yaitu sewaktu fase pengisian otot
kandung kemih tetap kendor sehingga meskipun volume kandung kemih
meningkat, tekanan di dalam kandung kemih tetap rendah. Sebaliknya otot-
otot yang merupakan mekanisme penutupan selalu dalam keadaan tegang.
Dengan demikian maka uretra tetap tertutup. Sewaktu miksi, tekanan di
dalam kandung kemih meningkat karena kontraksi aktif otot-ototnya,
sementara terjadi pengendoran mekanisme penutup di dalam uretra. Uretra
membuka dan urine memancar keluar. Ada semacam kerjasama antara otot-
otot kandung kemih dan uretra, baik semasa fase pengisian maupun sewaktu
fase pengeluaran. Pada kedua fase itu urine tidak boleh mengalir balik ke
dalam ureter (refluks).
Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan
tanpa kendali. Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada
dibawah control volunter dan disuplai oleh saraf pudenda, sedangkan otot
detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di bawah kontrol
sistem safar otonom,yang mungkin dimodulasi oleh korteks otak. Kandung
kemih terdiri atas 4 lapisan, yakni lapisan serosa, lapisan otot detrusor,
lapisan submukosa dan lapisanmukosa. Ketika otot detrusor berelaksasi,
pengisian kandung kemih terjadi dan bila otot kandung kemih berkontraksi
pengosongan kandung kemih atau proses berkemih berlangsung. otot
detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan kandung
kemih. Mekanisme detrusor meliputi otot detrusor,saraf pelvis, medula
spinalis dan pusat saraf yang mengontrol berkemih. Ketikakandung kemih
seseorang mulai terisi oleh urin, rangsangan saraf diteruskan melalui saraf
pelvis dan medula spinalis ke pusar saraf kortikal dan subkortikal. Pusat
subkortikal (pada ganglia basal dan serebelum) menyebabkan kandung
kemih berelaksasi sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang
mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian kandung kemih
berlanjut,rasa penggebungan kandung kemih disadari, dan pusat kortikal
(pada lobusfrontal), bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada
pusat kortikaldan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi
kemampuan menunda pengeluaran urin. Komponen penting dalam
mekanisme sfingter adalah hubungan urethra dengan kandung kemih dan
rongga perut. Mekanisme sfingter berkemih memerlukan agulasi yang tepat
antara urethra dan kandung kemih.Fungsi sfingter urethra normal juga
tergantung pada posisi yang tepat dari urethra sehiingga dapat meningkatkan
tekanan intra-abdomen secara efektif ditrasmisikan ke uretre. Bila uretra pada
posisi yang tepat, urin tidak akan keluar pada saat tekanan atau batuk yang
meningkatkan tekanan intra-abdomen. Mekanisme dasar proses berkemih
diatur oleh refleks-refleks yang berpusat dimedula spinalis segmen sakral
yang dikenal sebagai pusat berkemih. Pada fase pengisian kandung kemih,
terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan
penutupan leher kandung kemih, relaksasi dinding kandung kemih serta
penghambatan aktivitas parasimpatis dan mempertahankan inversisomatik
pada otot dasar panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas simpatis dan
somatik menurun, sedangkan parasimpatis meningkat sehingga terjadi
kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher kandung kemih. Proses reflek
ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks
serebri dan serebelum. Pada usia lanjut biasanya ada beberapa jenis
inkontinensia urin yaitu ada inkontinensia urin tipe stress, inkontinensia tipe
urgensi, tipe fungsional dan tipe overflow..
Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara
lain:
Fungsi sfingter yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor
bila batuk atau bersin. Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan
pelebaran kandung kemih, urine banyak dalam kandung kemih sampai
kapasitas berlebihan. Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa
perubahan pada anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain : melemahnya
otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang
salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan
air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding
kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah
menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara
lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-
obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan
kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa
karena infeksi. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urine
berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti
diabetes melitus, yang harus terus dipantau
Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi
akibat kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan,
kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi
vagina. Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat
menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama
sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar
panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan
jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine.
Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause
(50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu
saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia
urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat
operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia.
Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami
inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan
otot dasar panggul.

6. Pemeriksaan Diagnostik

a) Tes diagnostik pada inkontinensia urin


(Menurut Ouslander), tes diagnostik pada inkontinensia perlu
dilakukan untuk mengidentifikasi faktor yang potensial mengakibatkan
inkontinensia, mengidentifikasi kebutuhan klien dan menentukan tipe
inkontinensia. Mengukur sisa urine setelah berkemih, dilakukan
dengan cara :
Setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui
kateter diukur atau menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila
sisa urin > 100 cc berarti pengosongan kandung kemih tidak adekuat.
Urinalisis, dilakukan terhadap spesimen urine yang bersih untuk
mendeteksi adanya factor yang berperan terhadap terjadinya
inkontinensia urin seperti hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan
proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal
didiagnosis belum jelas. Tes lanjutan tersebut adalah :
 Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen,
creatinin, kalsium glukosa sitologi.
 Tes urodinamik adalah untuk mengetahui anatomi dan fungsi
saluran kemih bagian bawah
 Tes tekanan urethra adalah mengukur tekanan di dalam urethra
saat istirahat dan saat dinamis
 Imaging adalah tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan
bawah.

b) Pemeriksaan penunjang Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan


tanpa menggunakan alat-alat mahal. Sisa-sisa urine pasca berkemih
perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang
spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urine.
Merembesnya urin pada saatdilakukan penekanan dapat juga
dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung
kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih. Diminta
untuk batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri.
Merembesnya urin sering kali dapat dilihat. Informasi yang dapat
diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau
tidak adanya kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas
kandung kemih.

c) Laboratorium Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum


dikaji untuk menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan
poliuri.

d) Catatan berkemih (voiding record) Catatan berkemih dilakukan untuk


mengetahui pola berkemih. Catatan ini digunakan untuk mencatat
waktu dan jumlah urin saat mengalami inkontinensia urin dan
tidak inkontinensia urin, dan gejala berkaitan dengan inkontinensia
urin. Pencatatan pola berkemih tersebut dilakukan selama 1-3 hari.
Catatan tersebut dapat digunakan untuk memantau respon terapi dan
juga dapat dipakai sebagai intervensi terapeutik karena dapat
menyadarkan pasien faktor-faktor yang memicu terjadinya
inkontinensia urin pada dirinya.

7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah


mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol
inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan
pembedahan. Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai
berikut :

a) Pemanfaatan kartu catatan berkemih


Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah
urin yang keluar, baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar
karena tak tertahan, selain itu catat waktu, jumlah dan jenis minuman
yang diminum.

b) Terapi non farmakologi


Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya
inkontinensia urine, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih,
diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat
dilakukan adalah :
 Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu
berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga
frekwensi berkemih 6-7 x/hari.
 Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila
belum waktunya.
 Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu,
mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap
sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.
 Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan
sesuai dengan kebiasaan lansia.
 Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal
kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas
atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada
lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).
 Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan
otot dasar panggul secara berulang-ulang.

c) Terapi farmakologi
 Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urine adalah:
antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine
 Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu :
pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.
 Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti :
Bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk
stimulasi kontraksi, dan terapidiberikan secara singkat.

d) Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan
urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil.
Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan
pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan
terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps
pelvic (pada wanita).
Penatalaksanaan pembedahan, Ada berbagai macam tindakan
bedah yang dapat dilakukan : perbaikan vagina, suspensi kandung
kemih pada abdomen dan elevasi kolum vesika urinaria. Sfingter
artificial yang dimodifikasi dengan megunakan balon karet-silikon
sebagai mekanisme penekanan swa-regulasi dpat digunakan untuk
menutup uretra. Metode lain untuk mengontrol inkontinensia stress
adalah aplikasi stimulasi elektronik pada dasar panggul dengan
bantuan pulsa generator miniature yang dilengakapi electrode yang
dipasang pada sumbat intra-anal.

e) Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang
menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat
bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya
adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet sepertiurinal, komod dan
bedpan

f) Kateter
Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin
karenadapat menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi
pembentukanbatu. Selain kateter menetap, terdapat kateter sementara
yang merupakanalat yang secara rutin digunakan untuk
mengosongkan kandung kemih.Teknik ini digunakan pada pasien
yang tidak dapat mengosongkankandung kemih. Namun teknik ini juga
beresiko menimbulkan infeksi padasaluran kemih.

g) Alat bantu toilet


Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia
lanjutyang tidak mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat
bantu tersebutakan menolong lansia terhindar dari jatuh serta
membantu memberikankemandirian pada lansia dalam menggunakan
toilet.
h) Latihan Otot Dasar Panggul
 Posisi tidur telentang dengan kedua kaki ditekuk sehingga otot
panggul sejajar dengan lantai.
 Tahan otot panggul seperti menahan kencing selama sepuluh
hitungan atau sesanggupnya.
 Lepaskan dan relaks selama sepuluh hitungan.
 Lakukan lagi dan lepaskan lagi lebih kurang 5x latihan.
 Lakukan sebanyak 3x sehari (pagi, siang dan malam)
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan,
alamat, suku bangsa, tanggal, jam MRS, nomor registrasi, dan
diagnosa medis.
b. Riwayat kesehatan
 Riwayat kesehatan sekarang
Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang
mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan),
masukan cairan, usia/kondisi fisik, kekuatan dorongan/aliran
jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada
penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi
inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan.
 Riwayat kesehatan dahulu
Apakah klien pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya,
riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi
trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran
kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.
 Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita
penyakit serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit
bawaan atau keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.
c. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum :
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan
karena respon dari terjadinya inkontinensia
d. Pemeriksaan Sistem :
 B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis
karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah
kelainan pada perkusi.
 B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
 B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
 B4 (bladder)
Inspeksi : periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau
menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri)
dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada
lesi pada bladder, pembesaran daerah suprapubik lesi pada
meatus uretra, banyak kencing dan nyeri saat berkemih
menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang
kateter sebelumnya.
Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis,
seperti rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di
luar waktu kencing.
 B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri
tekan abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya
ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
 B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan
ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.
e. Pengkajian Psikososial
 Bersedih
 Murung
 Mudah tersinggung
 Mudah marah
 Isolasi social
 Perubahan peran

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa yang mungkin muncul pada klien inkontinensia adalah sebagai


berikut:

1. Inkonteninsia stress berhubungan dengan kelemahan otot pelvis dan


struktur dasar penyokongnya.
2. Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam
waktu yang lama.
3. Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan
akibat mengompol di depan orang lain atau takut bau urine

3. Intervensi

Diagnosa I : Inkonteninsia stress berhubungan dengan kelemahan otot pelvis

NOC :

Klien akan melaporkan suatu pengurangan / penghilangan inkonteninsia,


klien dapat menjelaskan penyebab.

NIC :
1. Kaji kebiasaan pola berkemih dan dan gunakan catatan berkemih
sehari.
2. Pertahankan catatan harian untuk mengkaji efektifitas program yang
direncanakan.
3. Observasi meatus perkemihan untuk memeriksa kebocoran saat
kandung kemih.
4. Intruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada kebocoran,
ulangi dengan posisi klien membentuk sudut 45, lanjutkan dengan
klien berdiri jika tidak ada kebocoranyang lebih dulu.
5. Pantau masukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat masukan
cairan 2000 ml, kecuali harus dibatasi.
6. Ajarkan klien untuk mengidentifikasi otot dinding pelvis dan
kekuatannya dengan latihan
7. Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan tentukan
kemungkinan perubahan obat, dosis / jadwal pemberian obat untuk
menurunkan frekuensi inkonteninsia.

Diagnosa 2 : Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas


dalam waktu yang lama.

NOC :

Berkemih dengan urine jernih tanpa ketidaknyamanan, urinalisis dalam batas


normal, kultur urine menunjukkan tidak adanya bakteri.

NIC :

1. Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien
inkontinensia, cuci daerah perineal sesegera mungkin.
2. Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari
(merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur)
dan setelah buang air besar.
3. Ikuti kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan cairan tubuh
atau darah yang terjadi (memberikan perawatan perianal,
pengososngan kantung drainse urine, penampungan spesimen urine).
Pertahankan teknik asepsis bila melakukan kateterisasi, bila
mengambil contoh urine dari kateter indwelling.
4. Ubah posisi pasien setiap 2jam dan anjurkan masukan sekurang-
kurangnya 2400 ml / hari. Bantu melakukan ambulasi sesuai dengan
kebutuhan.
5. Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine.
1. Tingkatkan masukan sari buah berri.
2. Berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine.

Diagnosa 3 : Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang


memalukan akibat mengompol di depan orang lain atau takut bau urine

NIC :

1. Yakinkan apakah konseling dilakukan dan atau perlu diversi urinaria,


diskusikan pada saat pertama.
2. Dorong pasien / orang terdekat untuk mengatakan perasaan. Akui
kenormalan perasaan marah, depresi, dan kedudukan karena
kehilangan. Diskusikan “peningkatan dan penurunan” tiap hari yang
dapat terjadi setelah pulang.
3. Perhatikan perilaku menarik diri, peningkatan ketergantungan,
manipulasi atau tidak terlibat pada asuhan.
4. Berikan kesempatan untuk pasien / orang terdekat untuk memandang
dan menyentuh stoma, gunakan kesempatan untuk memberikan tanda
positif penyembuhan, penampilan, normal, dsb.
5. Berikan kesempatan pada klien untuk menerima keadaannya melalui
partisipasi dalam perawatan diri.
6. Pertahankan pendekatan positif, selama aktivitas perawatan,
menghindari ekspresi menghina atau reaksi mendadak. Jangan
menerima ekspresi kemarahan pasien secara pribadi.
BAB IV
PENUTUP

1. KESIMPULAN
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung
kemih yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and
Suddarth, 2002).
Inkontinensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang
tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa
memperhatikan frekuensi dan jumlahnya,yang mengakibatkan
masalah social dan higienis pendeitanya (FKUI, 2006).

2. SARAN
Agar penderita inkontinensia urine tetap menjaga kebersihan
diri agar terhindar dari infeksi pada saluran kemih bagian bawah dan
tetap menjaga keseimbangan intake dan output cairan, agar tidak
terjadi deficit volum cairan.
DAFTAR PUSTAKA

FKUI. 2006. Ilmu Penyakit Dalam jilid III, Edisi IV. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Brunner & Suddarth, 2002. Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta : EGC

Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi.


Jakarta : Salemba Medika.

Darmojo B. 2009. Geriatri ilmu kesehatan usia lanjut. Edisi keempat.


Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Hariyati, Tutik S. (2000). Hubungan antara bladder retraining dengan


proses pemulihan inkontinensia urin pada pasien stoke. Diakses dari
http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=76387&loka
si=lokal pada tanggal 15 Mei 2021

Rochani. (2002). Penduduk indonesia idap inkontinensia urin. Diakses dari


http://www.pdpersi.co.id pada tanggal 15 April 2018

Uliyah, Musfiratul. 2008. Ketrampilan Dasar praktik Klinik. Jakarta :


Salemba Medika

Vous aimerez peut-être aussi