Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PEDAHULUAN
1. Latar Belakang
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses secra perlahan–lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap
infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan
proses yang terus menerus berlanjut secara alamiah. Dimulai sejak lahir dan
umumnya dialami pada semua makhluk hidup.
Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan
bagian dari proses alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan
dialami oleh setiap individu. Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik
dan tingkah laku yang dapat diramalkan terjadi pada semua orang pada saat
mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Ini
merupakan suatu fenomena yang kompleks dan multi dimensional yang
dapat diobservasi di dalam satu sel dan berkembang pada keseluruhan
sistem. Walaupun hal itu terjadi pada tingkat kecepatan yang berbeda, di
dalam parameter yang cukup sempit, proses tersebut tidak tertandingi.
Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses
berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam
maupun luar tubuh. Walaupun demikian, memang harus diakui bahwa ada
berbagai penyakit yang sering menghinggapi kaum lanjut usia. Proses menua
sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai usia dewasa, misalnya
dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan jaringan
lain sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit, dan terjadi juga pada sistem
pencernaan.
Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik secara
fisik maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan
kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai
bagian dari proses penuaan yang normal, seperti berkurangnya ketajaman
panca indera, menurunnya daya tahan tubuh , lebih mudah terkena
konstipasi merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi
mereka masih harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan
sosial serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintai.
Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif pada
organisme yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel
serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami
yang disertai dengan adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun
sosial akan saling berinteraksi satu sama lain . Proses menua yang terjadi
pada lansia secara linier dapat digambarkan melalui tiga tahap yaitu,
kelemahan (impairment), keterbatasan fungsional (functional limitations),
ketidakmampuan (disability), dan keterhambatan (handicap) yang akan
dialami bersamaan dengan proses kemunduran.
Pada lansia mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun
mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan
yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari
proses penuaan yang normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera,
menurunnya daya tahan tubuh, dan adanya inkontinensia baik urine maupun
tinja merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi
mereka masih harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan
sosial serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintai.
Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering
ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin
berkisar antara 15–30% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri
yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan
bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun.
Ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin atau inkontinensia
jarang dikeluhkan oleh pasien atau keluarga karena dianggap sesuatu yang
biasa, malu atau tabu untuk diceritakan pada orang lain maupun pada dokter,
dianggap sesuatu yang wajar tidak perlu diobati. Inkontinensia urine bukan
penyakit, tetapi merupakan gejala yang menimbulkan gangguan kesehatan,
sosial, psikologi serta dapat menurunkan kualitas hidup (Rochani, 2002).
Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan
dampak yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena
pakaian basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang
tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah diri pada pasien.
Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan mempersulit
rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).
2. Tujuan
Mahasiswa mengetahui bagaimana konsep teori serta konsep asuhan
keperawatan yang tepat untuk klien inkontinensia urine pada lansia. Dan
dapat di terapkan dalam praktek pemberian asuhan keperawatan kepada
pasien.
BAB II
KONSEP MEDIS
1. Pengertian
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih
yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth,
2002).
Inkontinensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang tidak
terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan
frekuensi dan jumlahnya,yang mengakibatkan masalah social dan higienis
pendeitanya (FKUI, 2006).
Menurut International Continence Sosiety, inkontinensia urine adalah
kondisi keluarnya urin tak terkendali yg dpt didemonstrasikan secara obyektif
dan menimbulkan gangguan hygiene dan social.
Inkontinensia urine adalah pelepasan urine secara tidak terkontrol dalam
jumlah yang cukup banyak. Sehingga dapat dianggap masalah bagi
seseorang.
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing.
Inkontinensia urine merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering
ditemukan pada pasien geriatri.
Inkontinensia urine adalah ketidakampuan mengendalikan evakuasi
urine. (kamus keperawatan).
2. Klasifikasi
d) Urge Incontinence
Terjadi bila pasien merasakan drongan atau keinginan untuk urinasi
tetapi tidak mampu menahannya cukup lama sebelum mecapai toilet.
Inkontinensia urin jenis ini umumnya dikaitkan dengan kontraksi
detrusor tak terkendali (detrusor overactivity). Masalah-masalah
neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia urin urgensi ini,
meliputi stroke, penyakit Parkinson, demensia dan cedera medula
spinalis. Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di toilet
setelah timbul keinginan untuk berkemih sehingga timbul peristiwa
inkontinensia urin. Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan penyebab
tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi
inkontinensia urgensi adalah hiper aktifitas detrusor dengan
kontraktilitas yang terganggu. Pasien mengalami kontraksi involunter
tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih sama sekali. Mereka
memiliki gejala seperti inkontinensia urin stress, overflow dan
obstruksi. Oleh karena itu perlu untuk mengenali kondisi tersebut
karena dapat menyerupai inkontinensia urine tipe lain sehingga
penanganannya tidak tepat.
e) Overflow Incontinence
Ditandai oleh eliminasi urine yang sering dan kadang-kadang terjadi
hampir terus-menerus terjadi. Tidak terkendalinya pengeluaran urin
dikaitkan dengan kansdung kemih tidak dapat mengosongkan isinya
secara normal dan megalami distensi yang berlebihan. Meskipun
eliminasi urine sering terjadi, kandug kemih tidak pernah kosong. Hal
ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran prostat,
faktor neurogenik pada diabetes melitus atau sclerosis multiple, yang
menyebabkan berkurang atau tidak berkontraksinya kandung kemih,
dan faktor-faktor obat-obatan. Pasien umumnya mengeluh keluarnya
sedikit urin tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh.
3. Etiologi
a. Persalinan pervaginan
Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak
akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir,
sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine.
b. Proses menua
Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia
menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot
vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan
terjadinya inkontinensia urine. Semakin tua seseorang semakin besar
kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan
struktur kandung kemih dan otot dasar panggul.
c. Gangguan urologi (peningkatan pada produksi urine (DM))
d. Infeksi saluran kemih
Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika
terjadi infeksi saluran kemih bisa menyebabkan inkontinensia urine
4. Manifestasi Klinis
6. Pemeriksaan Diagnostik
7. Penatalaksanaan
c) Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urine adalah:
antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine
Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu :
pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.
Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti :
Bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk
stimulasi kontraksi, dan terapidiberikan secara singkat.
d) Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan
urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil.
Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan
pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan
terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps
pelvic (pada wanita).
Penatalaksanaan pembedahan, Ada berbagai macam tindakan
bedah yang dapat dilakukan : perbaikan vagina, suspensi kandung
kemih pada abdomen dan elevasi kolum vesika urinaria. Sfingter
artificial yang dimodifikasi dengan megunakan balon karet-silikon
sebagai mekanisme penekanan swa-regulasi dpat digunakan untuk
menutup uretra. Metode lain untuk mengontrol inkontinensia stress
adalah aplikasi stimulasi elektronik pada dasar panggul dengan
bantuan pulsa generator miniature yang dilengakapi electrode yang
dipasang pada sumbat intra-anal.
e) Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang
menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat
bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya
adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet sepertiurinal, komod dan
bedpan
f) Kateter
Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin
karenadapat menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi
pembentukanbatu. Selain kateter menetap, terdapat kateter sementara
yang merupakanalat yang secara rutin digunakan untuk
mengosongkan kandung kemih.Teknik ini digunakan pada pasien
yang tidak dapat mengosongkankandung kemih. Namun teknik ini juga
beresiko menimbulkan infeksi padasaluran kemih.
1. Pengkajian
a. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan,
alamat, suku bangsa, tanggal, jam MRS, nomor registrasi, dan
diagnosa medis.
b. Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan sekarang
Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang
mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan),
masukan cairan, usia/kondisi fisik, kekuatan dorongan/aliran
jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada
penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi
inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan.
Riwayat kesehatan dahulu
Apakah klien pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya,
riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi
trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran
kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.
Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita
penyakit serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit
bawaan atau keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.
c. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum :
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan
karena respon dari terjadinya inkontinensia
d. Pemeriksaan Sistem :
B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis
karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah
kelainan pada perkusi.
B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
B4 (bladder)
Inspeksi : periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau
menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri)
dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada
lesi pada bladder, pembesaran daerah suprapubik lesi pada
meatus uretra, banyak kencing dan nyeri saat berkemih
menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang
kateter sebelumnya.
Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis,
seperti rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di
luar waktu kencing.
B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri
tekan abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya
ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan
ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.
e. Pengkajian Psikososial
Bersedih
Murung
Mudah tersinggung
Mudah marah
Isolasi social
Perubahan peran
2. Diagnosa Keperawatan
3. Intervensi
NOC :
NIC :
1. Kaji kebiasaan pola berkemih dan dan gunakan catatan berkemih
sehari.
2. Pertahankan catatan harian untuk mengkaji efektifitas program yang
direncanakan.
3. Observasi meatus perkemihan untuk memeriksa kebocoran saat
kandung kemih.
4. Intruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada kebocoran,
ulangi dengan posisi klien membentuk sudut 45, lanjutkan dengan
klien berdiri jika tidak ada kebocoranyang lebih dulu.
5. Pantau masukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat masukan
cairan 2000 ml, kecuali harus dibatasi.
6. Ajarkan klien untuk mengidentifikasi otot dinding pelvis dan
kekuatannya dengan latihan
7. Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan tentukan
kemungkinan perubahan obat, dosis / jadwal pemberian obat untuk
menurunkan frekuensi inkonteninsia.
NOC :
NIC :
1. Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien
inkontinensia, cuci daerah perineal sesegera mungkin.
2. Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari
(merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur)
dan setelah buang air besar.
3. Ikuti kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan cairan tubuh
atau darah yang terjadi (memberikan perawatan perianal,
pengososngan kantung drainse urine, penampungan spesimen urine).
Pertahankan teknik asepsis bila melakukan kateterisasi, bila
mengambil contoh urine dari kateter indwelling.
4. Ubah posisi pasien setiap 2jam dan anjurkan masukan sekurang-
kurangnya 2400 ml / hari. Bantu melakukan ambulasi sesuai dengan
kebutuhan.
5. Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine.
1. Tingkatkan masukan sari buah berri.
2. Berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine.
NIC :
1. KESIMPULAN
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung
kemih yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and
Suddarth, 2002).
Inkontinensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang
tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa
memperhatikan frekuensi dan jumlahnya,yang mengakibatkan
masalah social dan higienis pendeitanya (FKUI, 2006).
2. SARAN
Agar penderita inkontinensia urine tetap menjaga kebersihan
diri agar terhindar dari infeksi pada saluran kemih bagian bawah dan
tetap menjaga keseimbangan intake dan output cairan, agar tidak
terjadi deficit volum cairan.
DAFTAR PUSTAKA
FKUI. 2006. Ilmu Penyakit Dalam jilid III, Edisi IV. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Brunner & Suddarth, 2002. Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta : EGC