Vous êtes sur la page 1sur 13

AWAL SASTRA MELAYU-TIONGHOA DICERMINKAN OLEH SEBUAH SYAIR

IKLAN TAHUN 1886

OLEH

Kelompok 3

Nuralamsyah

Randi Pratama

Andi Agus

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR


KATA PENGANTAR

Terucap kata syukur sebagai bentuk sikap merendah kepada Allah swt, karena berkat
dan rahmat serta nikmat yang selalu tercurah sehingga semua tugas-tugas yang diberikan oleh
dosen dapat terselesaikan dengan baik sebegai pemenuhan tanggung jawab sebagai bentuk
latihan pengembangan diri dan kemampuan. Adapun tugas dengan mata kuliah teori sastra
\yang dapat diselesaikan dengan baik. Walaupun dalam penyelesainnya ada beberapa hal
yang luput dari kata sempurna selama proses dan selesainya makalah.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberi manfaat dan kemaslahatan dalam
menambah wawasan pengetahuan.

Fastabiqul khairat

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar isi

BAB I Pendahuluan

A. Latar belakang
B. Rumusan masalah
C. Tujuan penelitian

BAB II Pembahasan

A. Pengatar syair Tang Sing Sian


B. Syair iklan sebagai daftar terjemahan cetak pertama dari bahasa tionghoa
C. Gerakan penerjemahan dari bahasa tionghoa dan kegiatan sastra baru
BAB III Penutup

A. Simpulan
B. Saran

Daftar pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kasya sastra merupakan perwujudan dari hasil cipta dan rasa seseorang pada suatu
konteks problematika yang sedang dialami. Dalam proses pembuatan karya mereka
memerolehnya dari pengalaman sendiri maupun orang lain. Di Indonesia karya sastra
berkembang secara dinamis menyesuaikan zaman para sastrawan hidup di dalamnya.
Indonesia telah melalui beberapa fase secara umum yang dikatehui yaitu sastra lama, sastra
baru, dan sastra kontemporer dan tidak menutup kemungkinan akan hadir sastra milenial.
Sastra di Indonesia tidaklah langsung berdiri dan hadir di tengah-tengah masyarakat
tanda adanya pengaruh eksternal yang menjadi latar belakang perkembangan sastra di
Indonesia. Pengaruh seperti sastra dari barat tentu ada yang menjadi corak dalam sastra
Indonesia dan tentu ada pula pengaruh dari sastra oriental yang juga ikut andil dalam
perkembangan sastra Indonesia yang terkhusus di dalamnya yaitu sastra Cina.
Masyarakat Tionghoa di seluruh dunia termasuk Indonesia yang beberapa pekan lalu
merayakan Imlek atau tahun baru Cina ternyata memiliki tradisi besar dalam bidang
kesusastraan, tidak saja populernya cerita ilmu beladiri yang biasa diperagakan dalam
berbagai sinema atau sekadar cerita namun juga keberadaan sastra melayu Tionghoa
merupakan hal yang menjadi dasar cikal bakal lahirnya kesusastraan Indonesia. Warna sastra
Tionghoa dapat dilihat pada syair iklan yang berkembang di tahun 1886.
Kesusastraan Melayu-Tionghoa, berkembang di Hindia Belanda khususnya di Jawa, dan
dalam tingkatan yang lebih rendah di Malaysia, dari akhir abad ke-19 sampai tahun 1945.
Sejak saat itu kesusastraan tersebut terlupakan secara perlahan. generasi terkahir yang
menikmatinya berngsur-angsur habis, dan hbungan dengan budaya masa lalu, yang dirasakan
tidak berguna dan ketinggalan zaman. Taman bacaan terakhir yang meminjamkan kepada
pembaca karya-karya lama untuk sewa sedikit, secara harian atau mingguan, terpaksa harus
menyingkirkan buku-buku tersebut ke dalam gudang mereka; bahkan yang lain terpakasa
membuangnya agar dapat membeli koleksi baru yang sesuai dengan selera zaman (komik,
cerita silat yang sering terinspirasi oleh model dari Hongkong atau juga roman detektif).
Dalam jangka waktu dua puluh tahun kesusastraan ini boleh dikatakan menjadi langkah
kecuali dalam koleksi beberapa perpustakaan, misalnya Perpustakaan Universitas Leiden dan
terutama Perustakaan Museum Jakarta – kini Perpustakaan Nasional RI.
Namun beberapa wartawan Tionghoa peranakan telah mampu melihat peranan penting
kesusastraan ini dan memberikan perhatian kepadanya. Almarhum Kwee KEk BEng (Jakarta
1900-1975) dalam studi berbahasa Belanda yang diterbitkan dalam majaah Koloniale
Studien memberi informasi menarik dan terperinci tentang bahasa yang diguakan dan
tentang terjemahan dari bahasa Tionghoa ke dalam bahasa MElayu; tetapi kami terutama
berhutang budi kepada almarhum Nio Joe Lan (1904-1973) untuk studi yang lebih umum.
Sedini tahun 1937, ia menerbitkan artikel panjang dalam bahasa Belanda berjudul “De Indo
Chineesche Literatu” dan setelah Indonesia merdeka, ia kembali ke topic tersebut dan
mengolahnya secacra baru untuk diterbtkan sebagai buku dalam bahasa Indonesia dengan
judul Sastra Indonesia-Tionghoa (Jakarta, Gunung Agung, 1962,159 hlm.). sementara itu,
Koran mingguan sin Po (edisi bahasa Melayu) menrbitkan juga beberapa hasil studi kecil
tentang pookbahasan yang sama; baik berbentuk artikel singkat sekali tentang kesusastraan
pada umumnya, baik studi tentang riwayat hidup seorang pengarang, ataupun analisis roman
tertentu. Akhirnya pada tahun 1958, almarhum wartawan dan penulis Tio le Soei (Jakarta
1890-1974) menyoroti awal kesusastraan Melayu-Tionghoa melalui biografi pengarang
terknal Lie Kim Hok (1853-1912), yang dipandang sebagai pelopor kesusastraan tersebut.
kami sendiri pernah mendapat kesempatan menulis tentang beberapa aspek kesusastraan
tersebut dalam perkembangannya abad ke-20.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat ditarik rumusan masalah yaitu:
Bagaimanakah syair iklan menjadi bentuk perkenalan sastra Melayu-Tionghoa di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Pada rumusan masalah di atas dapat diketahui tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk
mengetahui bentuk syair iklan Tionghoa.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengantar pada Syair Iklan Ting Sam Sian

Sebuah syair iklan yang ditulis di Semarang pada tahun 1886 oleh seorang bernama Ting
Sam Sien. Teks tersebut berbentuk syair Melayu, artinya puisi yang panjangangnya tidak
terbatas dan terdiri atas bait-bait yang mengandung empat larik dan rima identic. Setiap
sajang harus mengandung empat kata atau tepatnya empat kata dasar (afiks tidak
diperhitungkan, demikian juga kata-kata tugas). Syair itu ditulis oleh seorang pedagang
dengan utjuan promosi semat-mata, uuntuk memperkenalkan kepada khalayak ramai
terjemahan roman-roman Tonghoa pada waktu itu sedang diasarkan di tokonya, seluruhnya
41. Penggunaan syair iklan bukan kasus tunggal: bentuk itu masih akan dipakai pada awal
aad ke 20.

Setelah memberi salam sesuai kebiasaan, Ting Sam Sien memperkenalkan setiap karya
satu demi satu. Dan agar pembaca dapat menentukan pilihannya, maka untuk masing-masing
buku ia biasanya memberi informasi tentang harga, sambil menandaskan bahwa harga itu
murah sekali ddan tidak boleh ditawar; juga keterangan tentang terjemahan, baik dengan
mengemukakan nama penerjemah, maupun dengan memberikan ulasan sepintas tentang isi
cerita, ataupun juga dengan mengingatkan nama-nama tokohnya yang terpenting; dan
terakhir memberikan penilaian pribadi tentang penerjemahan atau bakat penerjemahnya,
judul roman dicatat dengan transkripsi dialek Hokkien, terkadang sesuai dengan karya aslinya
dalam bahasa Tionghoa, tetapi sering dirngkaas atau bahkan diubah, sehingga menyulistkan
identifikasi. Syair yang terdiri atas 36 bait ini berjudul lengkap “Sair dari adanja oekoe Tjerita
Tjina njang soeda disalin bahasa Melajoe”. Judul itu terletak pada akhir sebuah kary
terjemahan oelh seseorang bernama Ing Kie Hoo, yang kini tersimpan di Perpustakan
Nasional RI dan berjudul: Tjerita dahoeloe kala di Negeri Tjina terpoengoet dari tjeritaan
boekoe menjanjian Tjina Song Lo di slin bahasa Melajoe rendah (P.A. van Asperen van der
Velde CO,Semarang, 1886).

B. Syair Iklan Sebagai Daftar Terjemahan Cetak Pertama dari Bahasa Tionghoa

Teks itu memiliki daya tarik ganda. Teks itu kita dapat menelusuri asal-mula kesastraan
Melayu-Tionghoa yang berbentuk cetakan, menemukan betapa besar jumlah hasil
penerjemahan roman Tionghoa ke dalam bahasa Melayu pada awal kegiatan sastra ini, dan
berarti memberikan penjelaasan baru tentang apa yang dapat disebut “ pendahulu
kesusastraan Indonesia modern”.

Orang sudah terbiasa menganggap Lie Kim Hok sebagai pelopor kesusastraan Melayu-
Tionghoa, sesudah Tio le Soei dan Nio Joe Lan. Sebagaimana akan kita lihat di bagian
selanjutnya dengan membaca syairnya,dapat dipastikan bahwa peranannya penting sekali
dengan mengadaptasi begitu banyak novel barat dan juga novel Tionghoa ke dalam bahasa
Melayu, demikian juga dengan menulis buku tata bahasa yang tujuannya membuat kodifikasi
penulisan bahasa Melayu tulis. tetapi Tig Sam Sien, dengan pengumuman tentang buku-buku
yang diual di tokonya memungkinkan kami menelusuri sekitar lima belasan nama
penerjemah di samping yang disebut di atas , yang semuanya menerbitkan karya mereka
antara tahun 1883 dan 1886, yang membuat kami memperkirakan bahwa mereka mestinya
sudah mulai menerjemahkan sekitar tahun 1880. Mengenai pembagian wilayah geografis,
kami melihat bahwa sebelas di antara mereka menerbitkan di Batavia, tiga di Semarang, dan
dua di Surabaya dan masih ada beberapa orang lagi di Sukabumi. kenyataannya bahwa
beberapa penerjemah menerbitkan karya dalam bahasa Melayu di di Jawa Tengah dan Jawa
Timur patut dicatat. Hal itu menunjukkan bahwa pada masa itu, perubahan kebahasaan terjadi
dikalangan komunitas Tionghoa di wilayah-wilayah tersebut, dan bahwa penerjemahan
roman-roman Tionghoa ke dalam bahasa Jawa, yang naskah tertuanya yangcsampai di tangan
kami berasal dari tahun 1859. Tidak mencukupi lagi untuk memuaskan publik. Alasan
perubahan kabahasaan ini mungkin perlu dicari di satu pihak dalam perubahan komposisi
kumunitas Tionghoa yang disebabkan oleh gelombang imigran terakhir yang tidak begitu
maju dalam proses jawanisasinya dan terpaksa berbicara dalam bahasa Melayu di kota-kota
dagang; di pihak lain, dalam dampak pendidikan dan misionaris Belanda. Tentang tingkatan
sosial para penerjemah, kami mengetahui bahwa beberapa orang di antara mereka adalah
saudagar biasa, seperti Poei Tjien Hie, yanglain adalah para pedagang yang juga menerjunkan
diri dalam usaha penerbitan, seperti Tjiong Hok Long (1847-1917) dan Yap Goan Ho yang
kedua-duanya membangun pecetakan di Batavia; yang lain lagi para wartawan, seperti
penulis yang menyebut dirinya hanya dengan samaran “koresponden India XX” (di Batavia)
dan Sie Hian Ling (dari Semarang); yang terakhir itu juga berfungsi sebagai “Letnan juru
bahasa Tionghoa” dan dengan Boen Sing Hoo (dari Semrang) sama-sama memiliki bakat
pengarang. Memang Sie Hiang Ling menulis beberapa roman, sedangkan Boen Sin Hoo
berusaha menggubah syair.
Jumlah besar karya terjemahan (empat puluh judul berbeda disebutkan satu per satu
dalam syair) dan jumlah halaman setiap buku (beberapa menapai lebih daripada seribu
halaman) membuktikan betapa publik haus akan bahan bacaan. Sayang kita tidak
memperoleh keterangan tentang jumlah tiras pada masa itu, demikian pula tentang jaringan
distribusi. Kanyataan bahwa ada saat yang sama beberapa terjemahan, seperti roman “tiga
kerajaan”, dapat diterbitkan bersamaan di Surabaya dan di Batavia mendorong kita untuk
memperkirakan bahwa buku-buku itu laku sekali. Pada zaman itu, sebagian besar penerbit
masih berada di tangan Belanda. Sejauh yang kami ketahui, hanya ada empat firma Tionghoa,
yan tiga berada di Goan Hong dan berkedudukan di wilayah Pasar Pinang; percetakan milik
Yap Goan Ho dan Pancoran, dan milik Oey Tjaij Hin, yang bertempat di wilayah
Tongkongan; terakhir yang didirpikan di Bogor oleh Lie Kim Hok yang hanya berlangsung
sebentar saja. karena tidak dapat hidup hanya dengan mencetak buku-buku Melayu-
Tionnghoa dan menghadapi tantangan dalam kegiatan lain karena menghadpi persingan
dengan firma-firma di Batavia, Lie Kim Hok terpaksa hars meninggalkan kegiatan itu. pada
tahun 1887, ia menjual mesin-mesin cetaknya kepada percetakan Belanda Albrecht Co yang
didirikan di Batavia yang menyerahkan stok uku dan kertas kepada pedagang Tjoe Toei Yang
(1849-1891) yang, menurut Tio le Soei, juga memiliki sebuah percatakan di wilayah Toko
Tiga, di Batavia.
Jika sekarang kita memperhatikan keselururhan hasil penerjemahan itu, ketika melihat
bahwa, selain tiga balada sentimental dalam bentuk sajak (diterjemahkan dalam bentuk prosa)
yaitu; kisah Liang Shanbo dan Zhu Yingtai, kisah Chensan, dan Wuniang, serta kisah Shang
Lu, ada sebuah horoskop menurut Zhang Tianshi sebuah buku tentang moral, Bixiao tu
“seratus ilustrasi tentang kebaktian anak” (diterbitkan serempak di Bogor dan Batavia) dan
terakhir dua kumpulan cerita; Jingu qiguan dan sebuah antologi yang tidak diketahui
judulnya, sebagian besar teks terdiri dari roman. Di antaranya, roman sejarah mendapat
tempat utama. Di samping San Guo atau “roman Tiga Kerajaan” terlihat sejumlah kisah yang
menelusuri, terkadang dengan mengadaptasinya, episode-episode terpenting dari sejrah
Tiongkok. Namun, roman-roman yang sering tidak begitu dikenal oleh pakar sinologi barat
dan bahkan sering tidak begitu dikenal oleh para cendekiawan Tionghoa, sampai sekarang
etap merupakan bahan bacaan bagi beberapa generasi pembaca (terutama di Taiwan dan
Hongkong). Dalam kategori inilah kita harus meletakkan, untuk zaan yang paling kuno:
Riwayat Sun Bin dan Pang Juan yang terjadi pada zaman kerajaan berperang (Sun Pang
douzhi yanyi), “Musim Semi dan gugur Tombak dan Huangdi, Dong xi han yanyi) yang
mengisahkan riwayat dinasti Han dari timur dan barat, dan Sanhe mingzu baojian yang
berlangsung di bawah pemerintahan Wendi dari dinasti Han. Untuk periode Tang, kami
menemukan lebih banyak lagi, di samping kisah-kisah terkenal jendral Xue Renggui dan
anaknya Xue Dingshan (Xue Rengui zheng dong, zheng xi), perlu juga disebut kisah
kehebatan seorang jendral lain yang tidak kurang tekenal, Luo Tong (Luo Tong sao bei) yaitu
Fang Tang yanyi yang berkaitan dengan ratu Wu Zetian (684-705) dan terakhir Lu Mudan
atau “Bunga Punia Hijau” dan Fenzhuang Lou atau “kisah sebuah ruang penerima tamu”.
Masa song dilukiskan juga: pertaa-tama melalui perilaku pendiri dinasti Zhao Kuangyin yang
diceritakan dalam Feilong zhuan atau “kisah naga terbang”, kemudian dengan kisah
kehebatan Jendral DiQing di wilayah barat dan selatan yang diceritakan dalam wuhu ping xi,
ping nan dan diulang kembali dalam Wanhua Lou atau “Pavilyun dengan sepuluh ribu
bunga”; terakhir dengan pertempuran rekaan jendral Yang Wenguan di Fujian (Yang wengan
ping nan min quanzhuan). Jika priode ongol agak terlupakan, zaman Ming justru mendapat
kehormatan; awal pendiri dinasti Zhu Yuanzhang dikisahkan kepada kita dalam Zhu Hongwu
yanyi ; perjalanan kaisar Zhengde di wilayah selatan dalam Zhengdejun you jiangnan ; dan
terakhir ekpedisi-ekspedisi besar kasim Zheng He di lautan selatan dalam Sanbao taijian xia
xiyang ji.
Akhirnya patut dicatat genre terakhir, yakni cerita silat (wuxia xiaoshuo) di mana
uncul para tokoh yang memperjuangkan nasib rakyat yang tertindas dan menentang
ketidakadilan. Pada masa tersebut, roman yang termasuk ke dalam genre tersebut mash
belum banyak diterbitlan. Ia akan memegang peranan penting pada awal abad ke-20. Di sini
kami hanya dapat menyebut Shuihu zhuan atau “Roman Tepi Air” yang menggambarkan
secara mengagumkan perlawanan para “perampok” di wilayah berawa-rawa Liangshan
(Shandong ) dan Qianlonghuang you jiangnan di mana kaisar Qianlong ditampilkan sebagai
penentang ketidakadilan yang tidak ragu meninggalakan istana untu mengembalikan
keamanan di selruh negeri.
C. Gerakan Penerjemahan dari Bahasa Tionghoa dan Kegiatan Sastra Baru
Khazanah karya terjemahan yang kaya ini yang disediakan bagi pembaca dalam
jangka waktu beberapa tahun saja menimbulkan suatu pernyataan, yanitu munculnya suatu
publik pembaca secara mendadak. Dengan meneliti katalog Perpustakaan Nasional RI dan
Uniiversitas Leiden kami menyimpulkan bahwa hampir tidak ada karya Melayu Tonghoa
yang diterbitkan sebelum tahun 1875 di Batavia oleh Olgie Co, dan ditemukan oleh C.W.
Watson tampaknya tidak ditulis oleh seorang pengarang Tionghoa. Di samping itu, kami
hanya menemukan jejak satu karya lain yang ditulis oleh “seorang Tjina” yang tetap anonim
dan diterbitkan apda tahun 1882. Perlu dicatat pula bahwa syair Melayu-Tionghoa cetakan
yang paling tua yang kami ketahui tidak terbit sebelum tahun 1884.
Barangkali kita harus mencari asal-mula kegiatan sastra baru ini dalam pertambahan
penduduk penduduk Tionghoa (di Jawa, dari tahun 1860 sampai dengan 1880, jumlahnya
bertambah dari 149.000 menjadi 207.000 orang), dan mungkin juga komposisi budaya
penduduk itu. yang datang terakhir sering tidak mampu membaca bahasa Tionghoa tetapi
telah belajar berbicara dalam bahasa melayu dan dalam waktu singkat dapat belajar
membacanya. Adapun keturunan imigran, mereka telah kehilangan keiasasaan menggunakan
bahasa Tionghoa tulis kalau bukan bahasa Tionghoa lisan. Namun, kedua kelompok itu tetap
mengandung nostalgia tentang kisah-kisah Tionghoa yang masih tetap diceritakan oleh para
orang tua secara lisan. Di samping itu, perlu dicatat bahwa seiring dengan kedatangan
penjajah Belanda dalam jumlah besar setelah pembukaan terusan Zues (1869) agaknya
perkembangan percetakan di Hindia Belanda telah menunjang perkembangan kesusastraan
itu. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu pula diingatkan bahwa pada pertengahan abad ke-19,
di Thailand terlihat pula gerakan penerjemahan banyak roman Tionghoa. Jika sanguo atau
“Roman Tiga Kerajaan” telah diterjemahkan sejak thun 1802, perkembangan pesat sastra
Tionghoa-Thai baru terjadi pada tahun 1865. Pada tahun itu, roman-roman mulai dicetak
karena sebelumnya tetap berbentuk naskah tulisan tangan. Dengan membaca daftar
terjemahannya itu kami dapat melihat banyak persamaan dalam peilihan karya aslinya.
Kami mengakhiri tulisan ini dengan menarik perhatian pembaca munculnya inspirasi
baru pada penulisan prosa, yang waktu itu berupa roman Melayu klasik, dan dengan cepat
melahirkan kesusastraan local berbentuk roman, yang langsung ditulis bahasa MElayu oleh
para pengarang Tionghoa. Hal itu terjadi sekitar tiga puluh tahun sebelum penerbitan roman
berbahasa Indonesia karangan Marah Rusli: Sitii Nurbaya (1922).
D. Syair dari adanya Buku cerita Cina yang sdah disalin bahas Melayu.
I. Banyak lah tabe hormat besrenta,
Pada Pembatja sekalian rata,
Dari hal segala boekoe tjerita,
Njang ada terdjoewal di toko kita.
II. Die bawah ini saja menbrita,
Pada sekalian pembatja kita,
Dari al segala boekoe tjerita,
Harganja djoega poen ada besrenta.
III. Dari hal dagangan itoe,
Harep pembatja priksa njang tentoe,
Saja terangken satoe persatoe,
Boekoe sam ok terseboet njang kesatoe,
IV. Sam kok ini boekoe pertama,
12 berikoetnja ada lah sama-sama,
Samboengannja keloewar lagi tida lama,
Patoet die beli tida pertjoema.
V. Ada djoega sam kok tjitakan die Soerabaja
Lauw Pie mengoendang Khong Bing itoe tjeritanja
Soedagar Poei Tjien Hie njang ampoenja,
Tan siauw Tjiak itoe djoeroe pengaranja.
VI. 13 Boekoe hng Kiauw Lie Tan,
Soedagar Tjiong Hok Long poenja boewatan,
Soedah tetap die djoewal contan,
Satoe roepiah dia iket rotan.
VII. Die iket rotan harganya mati,
Tidaklah koerang harga njang mesti,
Boekanja djoewal tepong roti,
Itoeng timbang dan itoeng kati.
VIII. Karangan Lie Kim Hok Boekoe Lek Bo tan,
Tjeritanja bagoes soedah kelihatan,
Tjap Djie Ija petangan sang radja setan,
Melihatin sakit dating kekoelon-wetan.
IX. Tjhit liap sing djoega Lie Kim Hok njang karang,
Tjerita bagoes dari djaman sekarang,
Boekoe see ijoe tjitakan Semarang,
Karangan Sie Hian Ling njangn amat garang.
X. Tan sha-Go nio tjerita loetjoe,
ABC besar moeat Tjerita Khong Hoe tjoe,
Boekoe Song Kang Tee Go Tjai Tjoe,
Ngo Bie Ijan tjerita swatoe kong tjoe.
XI. Hong Kiam Tjoen Tjioe, tjerita Tjien Sie Ong,
Tong See Han tjerita Tjhojow Pa Ong,
Karangan Poei Tjien Hie Boekoe Lo Wan Ong,
ABC ketjil moeat tjerita Sie Go .Ong
XII. Ka’ toedjoe Tio Kong In “Hwi Liong Toan”,
Ong Tjiauw Koen pigi di “Hoo Hoan”,
Boekoe Soen Pin ke doewa Bang Koan,
XIII. Ijo Boen Kong pekkoel die “Lam Ban”,
Menjamboeng Ping see, Ngo ho ping Lam,
Karangan Ijap Goan Taij Boekoe Tong See Han,
Radja Tjing Tik Koen melanjtjoeng die”kang Lam”.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sastra di Indonesia mendapat pengaruh besar dari masyarakat Tionghoa perantauan
terlihat dari beberapa hasil karya mereka dalam bentuk syair iklan yang menjadi salah satu
corak khas. Seperti sebuah syair iklan yang ditulis di Semarang pada tahun 1886 oleh seorang
bernama Ting Sam Sien dengan tujuan promosi memperkenalkan kepada khalayak ramai
terjemahan roman-roman Tonghoa pada waktu itu sedang diasarkan di tokonya.
B. Saran
Tumbuh kembangnya sastra merupakan hasil upaya secara sadar dari beberapa orang
yang menjadi tonggak penggerak dalam perkembangan sastra di Indoensia dan mempelajari
sastra juga tidak lepas beberapa sejarah sastra. Untuk itu dengan adanya makalah ini dapat
menambah wawasan dan tidak menutup kritik serta masukan dari pembaca terkait konten
dalam makalah ini.

Vous aimerez peut-être aussi