Vous êtes sur la page 1sur 24

BLOK DENTAL PHARMACY

SELF LEARNING REPORT


MINI QUIZ DISCUSSION 1
ANALGESIK DAN ANTIINFLAMASI

Tutor :
drg. Anindita Laksitasari

Disusun oleh:
Silvia Nur Fatmawati
G1B016026

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PURWOKERTO

2018
ANALGESIK

A. Gambaran Umum Nyeri


Nyeri merupakan sensasi yang mengindikasikan bahwa tubuh
sedang mengalami kerusakan jaringan, inflamasi, atau kelainan yang lebih
berat seperti disfungsi sistem saraf. Oleh karena itu nyeri sering disebut
sebagai alarm untuk melindungi tubuh dari kerusakan jaringan yang lebih
parah. Rasa nyeri seringkali menyebabkan rasa tidak nyaman seperti rasa
tertusuk, rasa terbakar, rasa kesetrum, dan lainnya sehingga mengganggu
kualitas hidup pasien atau orang yang mengalami nyeri (Ferdianto, 2007).
Nyeri dapat digambarkan sebagai suatu pengalaman sensorik dan
emosional yang tidak menyenangkan dan berkaitan dengan kerusakan
jaringan yang sudah atau berpotensi terjadi berdasarkan kerusakannya.
Sensasi nyeri ditimbulkan oleh suatu cedera atau rangsangan yang cukup
kuat untuk berpotensi mencederai (Price, dkk, 2005). Nyeri merupakan
mekanisme protektif bagi tubuh dan menyebabkan individu bereaksi untuk
menghilangkan rangsang nyeri tersebut (Guyton, dkk, 2007). Nyeri dapat
dibagi atas dua bagian yaitu nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut
berlangsung singkat (kurang dari 6 bulan) dan berkaitan dengan faktor
penyebabnya (Price, dkk, 2005) sedangkan nyeri kronik biasanya menetap
sekurang-kurangnya 6 bulan.
Selain itu nyeri juga dibagi menjadi 2 jenis yaitu nyeri yang
disebabkan ostimuli noksius (trauma, penyakit atau proses radang) dimana
sistem saraf nyeri berfungsi secara normal. Misalnya nyeri pasca
pencabutan gigi, termasuk dalam nyeri ini, dan merupakan nyeri akut yang
biasa berlangsung 3-5 hari. Selanjutnya nyeri neuropatik yang terjadi akibat
lesi jaringan saraf baik perifer maupun sentral yang dapat muncul secara
spontan (tanpa stimulus) maupun dengan stimulus atau juga kombinasi
(Purba, 2006).
Praktek Kedokteran gigi seringkali dihadapkan pada keluhan pasien
yang bersumber dari gejala tanda yang mendorong pasien datang ke dokter
gigi. Salah satu gejala yang paling sering dikeluhkan pasien adalah nyeri
pada gigi. Nyeri gigi merupakan perasaan tidak menyenangkan pada gigi
yang menandakan adanya kerusakan pada struktur gigi yang disebabkan
oleh rangsangan luar (seperti mekanik, suhu dan kimia) dan rangsangan dari
dalam (seperti flora rongga mulut, penyakit sistemik, plak dan karang gigi).
Penyebab nyeri gigi yang paling umum adalah adanya inflamasi yang
berasal dari pulpa atau struktur penyangga gigi (Katzung, 2007).

B. Patofisiologi Nyeri
Fisiologi nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis
kompleks yang disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang merefleksikan
empat proses komponen yang nyata yaitu transduksi, transmisi, modulasi
dan persepsi, dimana terjadinya stimuli yang kuat diperifer sampai
dirasakannya nyeri di susunan saraf pusat (cortex cerebri).
1. Transduksi
Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada
ujung saraf. Suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik
kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima
ujung-ujung saraf perifer (nerve ending) atau organ-organ tubuh
(reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni).
Kerusakan jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau trauma
lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin
inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor
nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin,
serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal
sebagai sensitisasi perifer (Guyton, 2007).
2. Transmisi
Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan
proses transduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke
medulla spinalis, dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum
diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalamicus dan sebagian ke
traktus spinoretikularis. Traktus spinoretikularis terutama membawa
rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral serta
berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi.
Selain itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps
interneuron dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin.
Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di cortex
cerebri dan dirasakan sebagai persepsi nyeri (Guyton, 2007).
3. Modulasi
Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat
(medulla spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem
analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri
yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan proses
ascenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen (enkefalin,
endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat menekan impuls nyeri pada
kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu posterior sebagai pintu
dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk
analgesik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri
sangat subjektif pada setiap orang (Guyton, 2007).
4. Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses
tranduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan
menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai persepsi
nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai
diskriminasi dari sensorik (Guyton, 2007).

Gambar 1. Patofisiologi Nyeri


C. Pengertian Analgesik
Analgesik adalah obat yang selektif mengurangi rasa sakit yang
berperan dalam sistem saraf pusat atau pada mekanisme nyeri perifer, tanpa
secara signifikan mengubah kesadaran. Analgesik menghilangkan rasa
sakit, tanpa mempengaruhi penyebabnya (Tripathi, 2003). Menurut Mita
dan Husni (2017) analgesik adalah obat yang digunakan untuk mengurangi
atau menghilangkan rasa sakit atau obat-obat penghilang nyeri tanpa
menghilangkan kesadaran. Obat ini digunakan untuk membantu meredakan
sakit, sadar tidak sadar kita sering mengunakannya misalnya ketika kita
sakit kepala atau sakit gigi, salah satu komponen obat yang kita minum
biasanya mengandung analgesik atau pereda nyeri.

D. Jenis Analgesik
Menurut Djati (2018) analgesik sebagai penghilang rasa nyeri dibagi
menjadi 3 kelompok berdasarkan kandungannya yaitu :
1. Analgesik Opioid (Narkotik)
a. Agonists of opioid receptors – morphine hydrochloride misalnya :
promedol, omnopon, fentanyl, codeine.
b. Agonists – antagonists and partial agonists of opioid receptors
misalnya : pentazocin, buprenorphine.
2. Analgesik Non Opiod
a. Parasetamol
b. Non steroidal anti-inflammatory drugs - NSAIDs misalnya :
acetylsalicylic acid, paracetamol, analgin, indometacin, butadion,
ibuprofen, pyroxicam, diclofenac-sodium, ketorolac, ketoprofen.
3. Analgesik Campuran
Misalnya tramadol yang tergolong dalam opioid sintetik lemah,
sehingga dapat berikatan dengan reseptor morfin pada tubuh manusia.
Obat ini memiliki efektifitas yang sama dengan morfin atau miperidin
walaupun reseptor tramadol berjumlah lebih sedikit. Tramadol mengikat
reseptor µ-opiod, sehingga menyebabkan potensi kerja tramadol
menjadi lebih rendah bila dibandingkan dengan morfin.
Selanjutnya terdapat 2 kelompok analgesik berdasarkan mekanisme
kerjanya yaitu :
1. Analgesik Perifer (NSAID)
Analgesik jenis ini bekerja dengan cara menghambat enzim
siklooksigenase yang akan mengubah asam 3 arakidonat menjadi
prostaglandin dimana prostaglandin adalah mediator nyeri ).
(Ganiswarna dkk, 1995). Penggunaan dalam jangka waktu panjang
dapat menyebabkan gastritis yang apabila telah parah menyebabkan
perdarahan pada saluran cerna, gangguan asam-basa, menghambat
ekskresi asam urat, agranulositosis dan gangguan fungsi trombosit
(Sardjono dkk, 1995).
2. Analgesik Sentral/SSP (Opioid)
Analgesik golongan opioid bekerja di sentral menempati reseptor di
kornu dorsalis medulla spinalis yang menjaga pelepasan transmiter dan
rangsang nyeri sehingga terjadi penghambatan rasa nyeri). Penggunaan
dalam jangka waktu panjang dapat menyebabkan terjadinya adiksi atau
ketergantungan (Ganiswarna dkk, 1995).

E. Karakteristik Beberapa Analgesik


1. Analgesik non opiod

Tabel 1. Dosis analgesik yang disarankan untuk nyeri gigi


a. Parasetamol (Acetaminophen)
Parasetamol merupakan jenis analgesik non opiod yang
memiliki karakteriktik yang berbeda dengan jenis analgesik non
opiod lainnya (NSAID), antara lain :
- Mekanisme serotonergic sentral
- Menghambat sintesis prostaglandin H2, sedangkan
analgesik non opiod lainnya menghambat sintesis
prostaglandin G2
- Menghambat aktivitas enzim siklooksigenase pada CO-
X 3, sedangkan analgesik non opiod lainnya
menghambat pada CO-X 1dan 2
- Aktivitas reseptor cannabinoid

Parasetamol merupakan jenis alagesik yang sering


digunakan, akan tetapi jenis ini tidak disarankan untuk pasien yang
mengalami gangguan hepar (Djati, 2018).

b. Aspirin

Tabel 2. Dosis pemakaian aspirin

Aspirin biasanya jarang diresepkan untuk anak-anak karena


berpotensi menimbulkan terjadinya Reye’s Syndrome yang dapat
menyebabkan pembengkakan pada hati mapun otak selain itu aspirin
tidak disarankan digunakan pasca pembedahan karena mengalami
efek anti koaagulan (Djati, 2018).
c. Ibuprofen

Tabel 3. Dosis pemakaian ibuprofen

Ibuprofen memiliki sifat hipersensitivitas terhadap aspirin sehingga


tidak disarankan digunakan bersamaan, selain itu ibu profen memiliki
kontraindikasi bagi penderita maag dan ibu hamil (Djati, 2018).

NSAID OPIOID
F. Cara Pemilihan Analgesik

Grafik 1. Urutan Pemilihan Analgesik Menurut WHO


Menurut Djati (2018) ada beberapa hal yang perlu diperhatiakan dalam
memilih analgesik diantaranya :

1. Mendiagnosis kondisi pasien secara umum dan nyeri yang dirasakan


2. Memahami penjalaran nyeri dan mekanisme kerja analgesik dalam tubuh
3. WHO 3 Step Analgesic Ladder
ANTIINFLAMASI

A. Gambaran Umum Radang


Inflamasi merupakan bentuk respons protektif setempat yang
ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi
menghancurkan, mengurangi, atau mengurung (sekuestrasi) baik agen
pencedera maupun jaringan yang cedera (Dorland, 2002). Inflamasi
(peradangan) merupakan reaksi kompleks pada jaringan ikat yang memiliki
vaskularisasi akibat stimulus eksogen maupun endogen. Dalam arti yang
paling sederhana, inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan
untuk menghilangkan penyebab awal jejas sel serta membuang sel dan
jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan sel (Robbins, 2004).
Penyebab inflamasi antara lain mikroorganisme, trauma mekanis,
zat-zat kimia, dan pengaruh fisika. Tujuan akhir dari respon inflamasi
adalah menarik protein plasma dan fagosit ke tempat yang mengalami
cedera atau terinvasi agar dapat mengisolasi, menghancurkan, atau
menginaktifkan agen yang masuk, membersihkan debris dan
mempersiapkan jaringan untuk proses penyembuhan (Corwin, 2008).
Respons inflamasi terjadi dalam tiga fase dan diperantarai oleh
mekanisme yang berbeda :
1. Fase akut, dengan ciri vasodilatasi lokal dan peningkatan
permeabilitas kapiler
2. Reaksi lambat, tahap subakut dengan ciri infiltrasi sel leukosit
dan fagosit
3. Fase proliferatif kronik, dengan ciri terjadinya degenerasi dan
fibrosis (Wilmana, 2007).
Gambar 2. Gejala terjadinya inflamasi

Respon antiinflamasi meliputi kerusakan mikrovaskular,


meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan
radang. Gejala proses inflamasi antara lain:

1. Kemerahan (rubor)
Terjadinya warna kemerahan ini karena arteri yang
mengedarkan darah ke daerah tersebut berdilatasi sehingga
terjadi peningkatan aliran darah ke tempat cedera (Corwin,
2008).
2. Rasa panas (kalor)
Rasa panas disebabkan karena jumlah darah lebih banyak di
tempat radang daripada di daerah lain di sekitar radang.
Fenomena panas ini terjadi bila terjadi di permukaan kulit.
Sedangkan bila terjadi jauh di dalam tubuh tidak dapat kita lihat
dan rasakan (Wilmana, 2007).
3. Rasa sakit (dolor)
Rasa sakit akibat radang dapat disebabkan beberapa hal
yaitu: adanya peregangan jaringan akibat adanya edema
sehingga terjadi peningkatan tekanan lokal yang dapat
menimbulkan rasa nyeri, adanya pengeluaran zat – zat kimia
atau mediator nyeri seperti prostaglandin, histamin, bradikinin
yang dapat merangsang saraf – saraf perifer di sekitar radang
sehingga dirasakan nyeri (Wilmana, 2007).
4. Pembengkakan (tumor)
Gejala paling nyata pada peradangan adalah pembengkakan
yang disebabkan oleh terjadinya peningkatan permeabilitas
kapiler, adanya peningkatan aliran darah dan cairan ke jaringan
yang mengalami cedera sehingga protein plasma dapat keluar
dari pembuluh darah ke ruang interstitium (Corwin, 2008).
5. Fungsiolaesa
Fungsiolaesa merupakan gangguan fungsi dari jaringan yang
terkena inflamasi dan sekitarnya akibat proses inflamasi
(Wilmana, 2007).

Selama berlangsungnya respon inflamasi banyak mediator kimiawi


yang dilepaskan secara lokal antara lain histamin, 5-hidroksitriptamin
(5HT), faktor kemotaktik, bradikinin, leukotrien dan prostaglandin (PG).
Dengan migrasi sel fagosit ke daerah ini, terjadi lisis membran lisozim dan
lepasnya enzim pemecah. Obat mirip aspirin dapat dikatakan tidak berefek
terhadap mediator-mediator kimiawi tersebut kecuali PG (Wilmana, 2007).

Grafik 2. Pembentukan metabolit asam arakidonat dan peranan dalam inflamasi

(Robbins, 2004)
B. Pengertian Antiinflamasi
Antiinflamasi merupakan golongan obat yang memiliki aktivitas
menekan atau mengurangi peradangan. Radang atau inflamasi dapat
disebabkan oleh berbagai rangsangan yang mencakup luka-luka fisik,
infeksi, panas dan interaksi antigen-antibodi. Berdasarkan mekanisme kerja
obat-obat antiinflamasi terbagi dalam dua golongan, yaitu obat
antiinflamasi golongan steroid dan obat antiinflamasi non steroid.
Mekanisme kerja obat antiinflamasi golongan steroid dan non-steroid
terutama bekerja menghambat pelepasan prostaglandin ke jaringan yang
mengalami cedera. Obat-obat antiinflamasi yang banyak dikonsumsi oleh
masyarakat adalah non steroid anti inflammatory drug’s (NSAID). Obat-
obat golongan NSAID biasanya menyebabkan efek samping berupa iritasi
lambung (Kee dan Hayes, 1996).
Tujuan utama dari pengobatan inflamasi ini yaitu meringankan rasa
nyeri, yang biasanya menjadi gejala awal yang timbul dan keluhan utama
terus menerus dari pasien serta memperlambat atau membatasi proses
perusakan jaringan. Obatobat antiradang, analgesik, dan antipiretik
merupakan suatu kelompok senyawa yang heterogen yang sering tidak
berkaitan secara kimiawi (walaupun kebanyakan di antaranya merupakan
asam organik), namun mempunyai kerja teraupetik dan efek samping
tertentu yang sama (Roberts dan Morrow, 2008).

C. Jenis Antiinflamasi
Obat antiinflamasi dibagi menjadi 2 kelompok utama yaitu
antiinflamasi kortikostreroid dan non steroidal anti inflammatory drugs
(NSAID).
1. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah derivat hormon steroid yang
dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Hormon ini memiliki peranan
penting seperti mengontrol respon inflamasi. Hormon steroid
dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu glukokortikoid dan
mineralokortikoid. Glukokortikoid memiliki efek penting pada
metabolisme karbohidrat dan fungsi imun, sedangkan
mineralokortikoid memiliki efek kuat terhadap keseimbangan
cairan dan elektrolit (Katzung, 2012).
Kortikosteroid ditemukan pada tahun 1950, pertama kali
digunakan untuk terapi irritable bowel disease (IBD). Pasien
IBD merasakan efek pengobatan gejala penyakit mereka sejak
hari pertama menggunakan kortikosteroid (Crohn & Colitis
Foundation of America, 2015). Kortikosteroid banyak
digunakan dalam pengobatan karena efek yang kuat dan reaksi
antiinflamasi yang cepat. Kortikosteroid banyak digunakan
untuk tatalaksana penyakit inflamasi seperti reumathoid arthritis
(RA) dan systemic lupus erythematosus (SLE) (Arthritis
Australia, 2008).
Kortikosteroid juga diresepkan dalam berbagai pengobatan
seperti replacement therapy pada penderita insufisiensi adrenal,
supresor sekresi androgen pada congenital adrenal hyperplasia
(CAH), dan terapi kelainan-kelainan non endokrin seperti
penyakit ginjal, infeksi, reaksi transplantasi, alergi, dan lain-lain.
Kortikosteroid juga banyak diresepkan untuk penyakit kulit,
baik itu penggunaan topikal maupun sistemik (Johan, 2015).
Kortikoseteroid memiliki banyak efek samping,
Kortikosteroid sering disebut life saving drug karena dalam
penggunaanya sebagai antiinflamasi, kortikosteroid berfungsi
sebagai terapi paliatif, yaitu menghambat gejala saja sedangkan
penyebab penyakit masih tetap ada. Hal ini akhirnya
menyebabkan kortikosteroid banyak digunakan tidak sesuai
indikasi, dosis, dan lama pemberian. Penggunaan yang terus
menerus menyebabkan efek samping yang serius dan bersifat
merugikan. Efek samping yang ditimbulkan oleh kortikosteroid
akan menjadi semakin buruk apabila digunakan tidak sesuai
dengan aturan pakainya, baik itu dosis maupun lama pemakaian
(Gilman, 2012).
Guidry dkk (2009) menyebutkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara durasi pemakaian kortikostroid dengan
mean severity score efek samping kortikosteroid. Salah satu efek
samping dari kortikosteroid adalah menurunkan jumlah limfosit
dan monosit di perifer dalam 4 jam. Hal ini terjadi karena adanya
redistribusi temporer limfosit dari intravaskuler ke dalam limpa,
kelenjar limfe, duktus torasikus dan sumsum tulang (Aziz,
2006).
Pemberian glukokortikoid menyebabkan penurunan jumlah
limfosit, eosinofil, monosit, dan basofil dalam sirkulasi, tetapi
glukokortikoid juga menyebabkan peningkatan leukosit
polimorfonuklear (netrofil) dalam sirkulasi. Penggunaan
kortikosteroid dalam jumlah banyak dan waktu yang lama juga
dapat menurunkan proses pembentukan fibroblas serta
menurunkan jumlah gerakan dan fungsi leukosit (Aziz, 2006).
Menurut Crohn & Colitis Foundation of America (2015), selain
memiliki efek antiinflamasi yang cepat, kortikosteroid juga
memiliki efek imunosupresif.
Efek ini menyebabkan penurunan aktivitas sistem imun
tubuh yang pada akhirnya dapat menyebabkan seseorang lebih
mudah terinfeksi penyakit. Kortikosteroid memengaruhi sel
darah putih (leukosit) dengan cara menurunkan migrasi sel
inflamasi (PMN, monosit, dan limfosit) sehingga penggunaan
kortikosteroid dalam waktu yang lama dapat meningkatkan
kejadian infeksi. Penelitian lain juga mengungkapkan
penggunaan kortikosteroid akan meningkatkan infeksi
nosokomial, polimikrobial, dan jamur selama dirawat di rumah
sakit sehingga kortikosteroid meningkatkan risiko kematian
ataupun kecacatan pada pasien acute critical illness (David dan
Dolores, 2007).
2. NSAID
NSAID merupakan obat-obat yang bekerja dengan
mekanisme menghambat sintesis prostaglandin tanpa
menghambat pembentukan eikosanoid seperti leukotrien yang
berperan juga dalam peradangan (Roberts dan Morrow, 2008).
Berbeda dengan golongan kortikosteroid yang menghambat
pembentukan asam arakhidonat melalui peningkatan sintesis
lipokortin-1 yang merupakan inhibitor fosfolipase A2 yang
bekerja mengkatalisis pembentukan asam arakhidonat.
Penghambatan asam arakhidonat dapat mencegah terbentuknya
mediator inflamasi baik yang melalui jalur siklooksigenase
maupun lipooksigenase. Oleh karena itu kortikosteroid memiliki
aksi yang lebih luas dan lebih poten dibandingkan NSAID yang
hanya menghambat jalur siklooksigenase (Ikawati, 2006).
Produksi prostaglandin akan meningkat apabila sel
mengalami kerusakan. Secara in vitro terbukti bahwa
prostaglandin E2 (PGE2) dan prostasilin (PGI2) dalam jumlah
nanogram menimbulkan eritema, vasodilatasi, dan peningkatan
aliran darah lokal. Histamin dan bradikinin dapat meningkatkan
permeabilitas vaskular, tetapi efek vasodilatasinya tidak besar.
Dengan penambahan sedikit prostaglandin, efek eksudasi
histamin plasma dan bradikinin menjadi lebih jelas. Migrasi
leukosit ke jaringan radang merupakan aspek penting dalam
proses inflamasi (Wilmana dan Gans, 2007).
Prostaglandin tidak bersifat kemotaktik, tetapi produk lain
dari asam arakidonat yakni leukotrien B4 merupakan zat
kemotaktik yang sangat poten. Prostaglandin mempunyai
banyak efek, termasuk diantaranya adalah eritema, vasodilatasi,
peningkatan aliran darah lokal, menyebabkan sensitasi reseptor
nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi. Prostaglandin
maupun leukotrien bertanggung jawab bagi sebagian besar dari
gejala peradangan (Wilmana dan Gans, 2007).
Siklooksigenase (COX) terdapat dalam dua isoform yang
disebut COX-1 dan COX-2. Enzim COX-1 esensial dalam
pemeliharaan berbagai fungsi dalam kondisi normal di berbagai
jaringan khususnya ginjal, saluran cerna dan trombosit. Aktivasi
COX-1 pada mukosa lambung menghasilkan prostasiklin yang
bersifat sitoprotektif. Sedangkan enzim COX-2 memiliki fungsi
fisiologis di ginjal, jaringan vaskular dan pada proses perbaikan
jaringan (Wilmana dan Gans, 2007).
Dalam keadaan normal COX-2 tidak terdapat di jaringan,
tetapi dibentuk oleh sel-sel radang selama proses peradangan.
Kadarnya dalam sel meningkat sampai 80 kali (Tjay dan
Rahardja, 2002). Tromboksan A2 yang disintesis trombosis oleh
COX-1 dapat menyebabkan agregasi trombosit, vasokonstriksi
dan proliferasi otot polos. Sebaliknya prostasiklin yang
disintesis oleh COX-2 di endotel makrovaskuler dapat melawan
efek tersebut dan menyebabkan penghambatan agregasi
trombosit, vasodilatasi dan efek antiproliferatif (Wilmana dan
Gans, 2007).
Diklofenak adalah derivat sederhana dari asam fenilasetat,
menyerupai flurbiprofen dan melcofenamat. Obat ini adalah
penghambat siklooksigenase yang relatif non-selektif dan kuat,
juga mengurangi bioavaibilitas asam arakidonat (Katzung,
2002). Derivat-fenilasetat ini termasuk NSAID yang terkuat
daya antiradangnya dengan efek samping yang kurang kuat
dibandingkan dengan obat lainnya (indometasin, piroxicam)
(Tjay dan Rahardja, 2002).
Absorpsi obat ini melalui saluran cerna berlangsung cepat
dan lengkap. Obat ini terikat 99% pada protein plasma dan
mengalami efek lintas awal (firstpass effect) sebesar 40-50%.
Walaupun waktu paruh singkat yakni 1-2 jam, diklofenak
diakumulasi di cairan sinovia sehingga efek terapi di sendi jauh
lebih panjang dari waktu paruh obat tersebut(Roberts dan
Morrow, 2008).

Tabel 4. Contoh obat NSAID

Efek samping yang paling umum dimiliki oelh NSAID adalah ulkus
peptikum, sehingga telah dikembangkan NSAID yang selektif menghambat
enzim siklooksigenase-2 dan diyakini lebih aman untuk lambung. Namun
berbagai penelitian menunjukkan adanya peningkatan risiko penyakit
kardiovaksular pada penggunaan NSAID, sehingga penggunaan NSAID
saat ini menjadi perhatian terutama bagi pasien yang sejak awal sudah
memiliki penyakit kardiovaskular. Dari hasil metabolisme asam
arakhidonat yang dihambat oleh NSAID, prostasiklin memegang peranan
penting dalam patofisiologi terjadinya gangguan kardiovaskular akibat
NSAID (Marsico dkk, 2017).
Berkurangnya kadar prostasiklin dan prostaglandin E2 yang bersifat
vasodilator dan meningkatnya kadar tromboksan yang bersifat
vasokonstriktor pada penggunaan NSAID yang non-selektif akan
menyebabkan terjadinya trombosis, destabilisasi plak ateroma, dan
aterogenesis. Enzim siklooksigenase-2 diketahui sebagai sumber utama
yang membantu produksi prostasiklin, yang memiliki efek kardioprotektif
pada cedera reperfusi pada kondisi iskemia (White dkk, 2011).
NSAID yang selektif terhadap enzim siklooksigenase-2 berisiko
lebih besar untuk menyebabkan hipertensi. Penghambatan enzim
siklooksigenase-2 berhubungan dengan berkurangnya produksi
prostaglandin E2. Jika produksi prostaglandin E2 berkurang maka akan
terjadi penurunan ekstresi natrium harian melalui urin sebesar 30%-50%.
Pada pasien dengan fungsi ginjal yang normal, akan terjadi adaptasi pada
ginjal untuk meningkatkan ekskresi natrium sehingga homeostasis natrium
di dalam tubuh dapat dipertahankan, namun pada pasien yang mengalami
penyakit ginjal kronik proses adaptasi ini terganggu sehingga dalam waktu
1-2 minggu setelah mengonsumsi NSAID akan terjadi retensi air dan garam
dalam jumlah yang cukup banyak (White dkk, 2011).
Hal ini menyebabkan terjadinya edema, hipertensi, hingga gagal
jantung pada kasus yang berat.4 Dua meta-analisis menunjukkan bahwa
NSAID dapat meningkatkan tekanan darah dengan tekanan arteri rerata
(mean arterial pressure) sebesar 3,3 mmHg dan 5 mmHg pada pasien
hipertensi. Pada pasien hipertensi yang mengonsumsi dua obat
antihipertensi, NSAID dapat meningkatkan tekanan arteri rereta sebesar 6
mmHg. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian NSAID pada pasien
hipertensi yang mengonsumsi obat antihipertensi akan menurunkan
efektivitas obat antihipertensi yang dikonsumsi (Stollberger dkk, 2003).
Selain menghilangkan efektivitas obat antihipertensi, NSAID juga
dapat berinteraksi dengan obat antihipertensi golongan penghambat ACE,
ARB, dan diuretik. Interaksi ini menyebabkan terjadinya gagal ginjal akut
sebesar 25,9%. Efek samping lainnya yang dapat terjadi karena interaksi ini
antara lain ialah hiponatremia dan hiperkalemia, efek samping ini
khususnya terjadi pada pasien lansia (Fournier dkk, 2014).
Untuk pasien dengan gagal jantung kongestif, penggunaan NSAID
dapat memperparah dan mengeksaserbasi gagal jantung. Hal ini dibuktikan
dari studi Rotterdam yang menunjukkan adanya peningkatan risiko
rekurensi sebesar 10 kali lipat pada pasien gagal jantung yang mendapatkan
satu resep NSAID (RR 9,9; 95% CI 1,7-57). Patofisiologi yang mendasari
terjadinya eksaserbasi gagal jantung adalah inhibisi produksi prostaglandin
menyebabkan terjadinya retensi natrium dan air, meningkatkan resistensi
vaskular sistemik, dan menurunkan respon tubuh terhadap diuretik.
Penelitian oleh Gislason dkk menunjukkan adanya hubungan dosis
dengan peningkatan risiko perawatan di rumah sakit untuk gagal jantung
dan infark miokard, serta semua penyebab mortalitas untuk pasien yang
mengonsumsi rofecoxib, celecoxib, ibuprofen, diclofenac, dan naproxen.
Oleh sebab itu The American College of Cardiology Foundation/American
Heart Association HF merekomendasikan bahwa obat golongan NSAID
harus dihindari atau dihentikan penggunaannya pada pasien gagal jantung
(Robert dkk, 2016).
Tabel 5. Jenis Kortikosteroid beserta dosis yang disarankan
DAFTAR PUSTAKA

Azis, A.L., 2006, Penggunaan Kortikosteroid di Klinik, Lab Divisi Gawat Darurat
FK UNAIR, Surabaya.
Corwin, E.J., 2008, Buku Saku Patofisiologi Corwin Edisi ke 3, EGC, Jakarta.
David, G.G., Dolores, S., 2007, Greenspan`s Basic and Clinical Endocrinology Ed
8, McGraw-Hill Companies
Djati, F.K., 2018, Analgesik, disampaikan pada kuliah tatap muka 2 November
2018, Jurusan Kedokteran Gigi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Dorland, 2002, Kamus Kedokteran, EGC, Jakarta.
Ferdianto, 2007, Rasionalitas Pemberian Analgetik Tramadol Pasca Operasi di RS
Dr Kariadi Semarang, Undip Press, Semarang.
Fournier, J.P., Sommet, A., Durrieu, G., Poutrain, J.C., Mestre, M.L., dkk, 2014,
Drug Interactions Between Antihypertensive Drugs And Non-Steroidal
Antiinflammatory Agents: A Descriptive Study Using The French
Pharmacovigilance Database, Fundamental & Clinical Pharmacology,
28(1):230-5. 8
Ganiswarna, S., 1995, Farmakologi dan Terapi Edisi IV, Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Gilman, A.G., 2012, Goodman dan Gilman Dasar Farmakologi Terapi Edisi 10,
EGC, Jakarta.
Guidry JA, George JN, Vesely SK, Kennison SM, Terrell DR, 2009, Corticosteroid
Side-Effect and Risk for Bleeding in Immune Thrombocytopenic Purpura:
Patient and Hematologist Perspectives, European Juornal of Hematology, 83:
176-82.
Guyton, A.C., Hall, J.E., 2007, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, EGC, Jakarta.
Johan R., 2015, Penggunaan Kortikosteroid Topikal yang Tepat, Jurnal Continuing
Professional Development, 42 (4): 308-12.
Katzung, B.G., 2007, Farmakologi Dasar dan Klinik, Diterjemahkan oleh Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Penerbit Salemba
Medika, Jakarta.
Katzung, B.G., 2007, Farmakologi Dasar dan Klinik, EGC, Jakarta.
Kee, J.L., Hayes, E.R., 1996, Farmakologi Pendekatan Keperawatan, EGC,
Jakarta.
Marsico, F., Paolillo, S., Filardi, P.P., 2017, NSAIDs and cardiovascular risk, J
Cardiovasc Med, 18(1):40-3.
Mita, R.S., Husni, P., 2017, Pemberian Pemahaman Mengenai Penggunaan Obat
Analgesik Secara Rasional Kepada Masyarakat Di Arjasari Kabupaten
Bandung, Jurnal Aplikasi Ipteks Untuk Masyarakat, Vol 6 (3) : 193 -195.
Price, S.A., Wilson, L.M., 2005, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6 Vol 2, Diterjemahkan oleh Pendit, B.U., dkk., EGC, Jakarta.
Purba, J.S., 2006, Nyeri Punggung Bawah Studi Epidemiologi, Patofisiologi dan
Penanggulangan, BNS No 7 (2): 85 - 93.
Robbins, 2004, Buku Ajar Patologi Robbins Edisi 7 Volume 1, EGC, Jakarta.
Roberts, L., Morrow, J.D., 2008, Senyawa Analgesik-Antipiretik dan Antiradang
serta Obat-obat yang digunakan dalam penanganan pirai dalam Buku
Goodman & Gilman Dasar Farmakologi Terapi Volume 1 Edisi 10, EGC,
Jakarta.
Robert, L., O’Braynt, C.L., Cheng, D., Dow, T.J., Ky B. 2016, Drugs That May
Cause Or Exacerbate Heart Failure, Circulation, 134(1):1-39.
Sardjono, O.S., Hadi, R.D., 1995, Farmakologi dan Terapi Edisi 4, Gaya Baru,
Jakarta.
Stollberger, C.,Finsterer, J., 2003, Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs In
Patients With Cardio- or Cerebrovascular Disorders, Z Kardiol, 92(1):721-9.
Triphati, K.D., 2003, Antimicrobial Drugs : General Consideration Essential of
Medical Pharmacology Fifth Edition, Brothers Medical Publisher, Jaype.
White, W.B., Cruz, C., Impact of NSAIDs on cardiovascular risk and hypertension,
Italian Journal of Medicine, 2011; 5(1):175-83.
Wilmana, F.P., 2007, farmakologi dan Terapi Edisi ke 5, bagian Farmakologi
Universitas Indonesia, Jakarta.

Vous aimerez peut-être aussi