Vous êtes sur la page 1sur 26

TUGAS KELOMPOK

“ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI DENGAN


HIPERBILIRUBINEMIA”

Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah : Keperawatan Anak II


Dosen pengampu : Ns. Natalia Devi, M. Kep., Sp. Kep. An

Disusun Oleh

Kelompok 1 :

1. Adi Chandra Prasetiawan (010218A018)


2. Nizar Heru Ferdiansyah (010218A011)
3. Bambang Supriyanto (010218A020)
4. I Gusti Bagus Dedi A. (010218A006)

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS NGUDI WALUYO
2018/2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Setiap ibu yang telah melahirkan menginginkan anaknya lahir dalam

keadaan sehat dan tidak ada kelainan – kelainan pada bayi tersebut. Tetapi

keinginan tersebut tidak akan diperoleh oleh setiap ibu. Karena sebagian kecil

ada yang lahir dalam keadaan abnormal. Misalnya anak lahir dengan BBLR,

ikterus, hidrosefalus, dan kelainan – kelainan lainnya. Hal ini di sebabkan oleh

banyak factor pencetusnya. Seperti kurang teraturnya antenatal care ibu saat

hamil, asupan gizi yang kurang baik pada ibu maupun pada janin yang di

kandung, atau penyakit yang diturunkan oleh ibu sendiri.

Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada

sebagian neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama

kehidupannya. Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60%

bayi cukup bulan dan pada 80% bayi kurang bulan. Di Jakarta dilaporkan

32,19% menderita ikterus. Ikterus ini pada sebagian lagi mungkin bersifat

patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan

kematian, karenanya setiap bayi dengan ikterus harus mendapat perhatian

terutama apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau

kadar bilirubin meningkat lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam. Proses hemolisis

darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih dari 1 minggu serta

bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl juga merupakan keadaan yang menunjukkan

kemungkinan adanya ikterus patologik. Dalam keadaan tersebut

2
penatalaksanaan ikterus harus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk

ikterus dapat dihindarkan

B. Rumusan masalah

Adapun rumusan masalahnya adalah bagaimana cara memberikan asuhan

keperawatan pada bayi dengan hiperbilirubinemia?

C. Tujuan penulisan

1. Menjelaskan dan memahami pengertian hiperbilirubinemia


2. Menjelaskan dan memahami etiologi hiperbilirubinemia
3. Menjelaskan dan memahami patofisiologi dari hiperbilirubinemia
4. Menjelaskan dan memahami pathway hiperbilirubinemia
5. Menjelaskan dan memahami klasifikasi hiperbilirubinemia
6. Menjelaskan dan memahami manifestasi klinik hiperbilirubinemia
7. Memahami dan melakukan pemeriksaan penunjang pada bayi dengan
hiperbilirubinemia
8. Memahami dan melakukan penatalaksanaan pada bayi dengan
hiperbilirubinemia
9. Memahami komplikasi hiperbilirubinemia
10. Memahami konsep asuhan keperawatan (pengkajian, diagnosa, intervensi,
implementasi dan evaluasi) pada bayi dengan hiperbilirubinemia

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian
Hiperbilirubinemia merujuk pada tingginya kadar bilirubin terakumulasi
dalam darah dan ditandai dengan jaundis atau ikterus, suatu warna kuning pada
kulit, sklera, dan kuku. Hiperbilirubin merupakan temuan yang wajar pada bayi
baru lahir dan pada kebanyakan kasus relatif jinak. Akan tetapi hal ini, bisa
juga menunjukkan keadaan patologis (Wong, ddk, 2009).
Hiperbilirubinemia merupakan kondisi bayi baru lahir dengan kadar
bilirubin serum total lebih dari 10 mg% pada minggu pertama yang ditandai
dengan ikterus (ikterus neonatorum patologis). Hiperbilirubinemia merupakan
suatu keadaan meningkatnya kadar bilirubin di dalam jaringan ekstravaskuler,
sehingga konjungtiva, kulit, dan mukosa(Hidayat, 2004).
Hiperbilirubinemia (Ikterus neonatorum) adalah keadaan ikterus yang
terjadi pada bayi baru lahir yaitu meningginya kadar bilirubin di dalam
jaringan ekstravaskuler sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh
lainnya berwarna kuning (Ngastiyah, 2005).
Hiperbilirubin adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang
menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar
bilirubin tidak dikendalikan (Mansjoer, 2001).

B. Etiologi
Menurut Ngastiyah (2005), ada dua kemungkinan yang dapat
menyebabkan hiperbilirubin pada bayi, yaitu penyebab fisiologis dan penyebab
patologisdengan penjelasan sebagai berikut :
1. Penyebab ikterus fisiologis
a. Kurang protein Y dan Z
b. Enzyme glukoronyl transferase yang belum cukup jumlahnya.
2. Penyebab ikterus patologis
a. Peningkatan produksi

4
 Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat
ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus
dan ABO.
 Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
 Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan
metabolik yang terdapat pada bayi hipoksia atau asidosis .
 Defisiensi G6PD/ Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
 Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20
(beta), diol (steroid).
 Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar
Bilirubin Indirek meningkat misalnya pada berat lahir rendah.
 Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.
b. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan
misalnya pada hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu
misalnya Sulfadiasine, sulfonamide, salisilat, sodium benzoat,
gentamisisn, dan lain-lain.
c. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme
atau toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti
Infeksi, Toksoplasmosis, Sifilis, rubella, meningitis, dan lain-lain.
d. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra hepatik.
e. Peningkatan sirkulasi enterohepatik misalnya pada ileus obstruktif,
hirschsprung.
Menurut Wong, dkk (2009), ada beberapa kemungkinan yang dapat
menyebabkan hiperbilirubin pada bayi, antara lain :
1. Faktor fisiologis (perkembangan – prematuritas)
2. Berhubungan dengan pemberian ASI
3. Produksi bilirubin yang berlebihan (misalkan, penyakit haemolitik, defek
biokimia, memar)
4. Gangguan kapasitas hati untuk menyekresi bilirubin terkonjugasi (misalkan
defisiensi enzim, obstruksi duktus empedu)
5. Kombimasi berlebihan produksi dan kekurangan sekresi.

5
6. Beberapa keadaan penyakit, misalmya hipotiroidisme, galaktosemia, bayi
dari ibu diabetes.
7. Predisposisi ginetik terhadap peningkatan produksi (Penduduk Amerika
Asli, Asia)
Cara untuk menentukan derajat ikterus menggunakan rumus kramer :
Daerah Luas Ikterus Kadar Bilirubin
1 Kepala dan Leher 5 mg%
2 Daerah 1 + badan bagian atas 9 mg%
3 Daerah 1, 2 + badan bagian bawah dan tungkai 11 mg%
4 Daerah 1, 2, 3 + lengan dan kaki dibawah lutut 12 mg%
5 Daerah 1,2,3,4 + tangan dan kaki 16 mg%

Keterangan :
1. Kepala dan leher
2. Daerah 1 (+) bagian badan atas
3. Daerah 1, 2 (+) badan bagian bawah
dan tungkai
4. Daerah 1, 2, 3 (+) lengan dan kaki
dibawah lutut
5. Daerah 1, 2, 3, 4 (+) telapak tangan dan
kaki
Contoh :
1. Kulit bayi kuning dikepala, leher dan bagian badan atas berarti bilirubin
kira-kira 9 mg%
2. Kulit bayi kuning sampai seluruh badan sampai kaki dan tangan berarti
jumlah bilirubin 16 mg%

C. Patofisiologi
Bilirubin merupakan salah satu hasil pemecahan hemoglobin yang
disebabkan oleh kerusakan sel darah merah (SDM). Ketika sel darah merah
dihancurkan, hasil pemecahannya terlepas ke sirkulasi, tempat haemoglobin
terpecah menjadi dua fraksi: heme dan globin. Bagian globin (protein)

6
digunakan lagi oleh tubuh, dan bagian heme diubah menjadi bilirubin tidak
terkonjugasi, suatu zat yang tidak larut yang terikat pada albimin.
Di hati bilirubin dilepas dari molekul albumin dan dengan adanya enzim
glukuronil transferase, dikonjugasi dengan asam glukoronat menghasilkan
larutan dengan kelarutan tinggi, bilirubin glukuronat terkonjugasi, yang
kemudian diekskresi dalam empedu. Di usus kerja bakteri mereduksi bilirubin
terkonjugasi menjadi urobilinogen (pigmen yang memberikan warna khas pada
tinja. Sebagian besar bilirubin tereduksi dieksresikan ke feses, sebagian kecil
dieliminasi ke urine.
Normalnya tubuh mampu mempertahankan keseimbangan antara
destruksi SDM dan penggunaan atau ekpresi produk sisa. Tetapi, bila
keterbatasan perkembangan atau proses patologis mempengaruhi
keseimbangan ini, bilirubin akan terakumulasi dalam jaringan dan
mengakibatkan jaundis.
Terdapat dua fase jaundis fisiologis yang teridentifikasi pada bayi term.
Pada fase pertama, kadar bilirubin bertahap naik sampai sekitar 6 mg/dl pada
hari ketiga kehidupan, kemudian menurun sampai plato 2 sampai 3 pada hari
ke lima. Kadar bilirubin akan tetap dalam keadaan plato pada fase kedua tanpa
peningkatan atau penurunan sampai sekitar 12 sampai 14 hari yang kadarnya
akan menurun ke harga normal < 1 mg/dl. Pola ini bervariasi sesuai kelompok
ras, metode pemberian makanan (ASI vs Botol), dan usia gestasi. Pada bayi
preterm, kadar bilirubin serum dapat memuncak sampai setinggi 10 sampai 12
mg/dl pada hari keempat sampai kelima dan perlahan menurun selama periode
2 sampai 4 minggu.
Rata-rata bayi baru lahir memproduksi dua kali lebih banyak bilirubin
dibandingkan orang dewasa karenalebih tingginya kadar eritrosit yang beredar
dan lebih pendeknya lama hidup sel darah merah (hanya 70 sampai 90 hari,
dibandingkan 120 hari pada anak yang lebih tua dan dewasa). Selain itu,
kemampuan hati untuk mengkonjugasi bilirubin sangat rendah karena
terbatasnya produksi glukuronil transferase. Bayi baru lahir juga memiliki
kapasitas ikatan plasma terhadap bilirubin yang lebih rendah karena rendahnya

7
konsentrasi albumin dibandingkan anak yang lebih. Perubahan normal dalam
sirkulasi hati setelah kelahiran mungkin berkontribusi terhadap tingginya
kebutuhan fungsi hati.
Normalnya bilirubin terkonjugasi direduksi menjadi urobilinogen oleh
flora usus dan dieksresi dalam feses. Akan tetapi, usus bayi yang steril dan
kurang motil pada awalnya kurang efektif dalam mengeksresi urobilinogen.
Pada usus bayi baru lahir, enzim β-glucuronidase mampu mengonversi
bilirubin terkonjugasi menjadi bentuk tidak terkonjugasi, yang kemudian
diserap oleh mukosa usus dan ditransfor ke hati. Proses ini dikenal sebagai
sirkulasi atau pirau enteropatik (Wong, dkk, 2009).
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban
Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat
peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia.Gangguan pemecahan
Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh.
Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi
Hipoksia dan asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar
Bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus
yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak
jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang
bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini
memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi
dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut
Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat
tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20
mg/dl.
Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak
hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah
melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir
Rendah, Hipoksia, dan Hipoglikemia (Ngastiyah, 2005).

8
D. Pathway
Haemoglobin

Hemo Globin

Feco Biliverdin

Peningkatan destruksi eritrosit (gangguan konjungsi eritrositbilirubin /gangguan


transport bilirubin/peningkatan siklus enteropatik), Hb, dan eritrosit abnormal.

Pemecahan bilirubin berlebihan

Suplay bilirubin melebihi tampungan hepar

Hepar tidak mampu melakukan konjugasi

Sebagian masuk kembali ke siklus enterohepatik

Peningkatan bilirubin unkonjuned dalam darah 


Ikterik neonatus pengeluaran mekonium terlambat/obstruksi usus 
tinja berwarna pucat.

Ikterus pada sklera, leher, dan badan, peningkatan bilirubin indirect > 12 mg/dL

Gangguan metabolik  Hiperbilirubinemia Indikasi fototerapi

Kerusakan integritas kulit Terpapar sinar dengan intensitas tinggi

Risiko Kekurangan volume cairan Fluktuasi suhu lingkungan

Ketidakefektifan termoregulasi

9
E. Klasifikasi
Berikut ini merupakan klasifikasi dari hiperbilirubin, yaitu :
1. Ikterus prehepatik
Disebabkan oleh produksi bilirubin yang berlebihan akibat hemolisis sel
darah merah. Kemampuan hati untuk melaksanakan konjugasi terbatas
terutama pada disfungsi hati sehingga menyebabkan kenaikan bilirubin yang
tidak terkonjugasi.
2. Ikterus hepatic
Disebabkan karena adanya kerusakan sel parenkim hati. Akibat kerusakan
hati maka terjadi gangguan bilirubin tidak terkonjugasi masuk ke dalam hati
serta gangguan akibat konjugasi bilirubin yang tidak sempurna dikeluarkan
ke dalam doktus hepatikus karena terjadi retensi dan regurgitasi.
3. Ikterus kolestatik
Disebabkan oleh bendungan dalam saluran empedu sehingga empedu dan
bilirubin terkonjugasi tidak dapat dialirkan ke dalam usus halus. Akibatnya
adalah peningkatan bilirubin terkonjugasi dalam serum dan bilirubin dalam
urin, tetapi tidak didapatkan urobilirubin dalam tinja dan urin.
4. Ikterus neonatus fisiologi
a. Timbul pada hari ke2 dan ke-3 dan tampak jelas pada hari ke-5 dan ke-6.
b. Kadar Bilirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada
neonatus cukup bulan dan 10 mg % pada kurang bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari
d. Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg %
e. Ikterus hilang pada 10 hari pertama
f. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis tertentu
g. Bayi tampak biasa, minum baik, berat badan naik.
5. Ikterus neonatus patologis
Adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah mencapai suatu
nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak
ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan

10
yang patologis.Karakteristik ikterus patologis (Ngastiyah, 205) sebagai
berikut :
a. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama kehidupan. Ikterus menetap sesudah
bayi berumur 10 hari ( pada bayi cukup bulan) dan lebih dari 14 hari
pada bayi baru lahir BBLR.
b. Konsentrasi bilirubin serum melebihi 10 mg % pada bayi kurang bulan
(BBLR) dan 12,5 mg% pada bayi cukup bulan.
c. Bilirubin direk lebih dari 1mg%.
d. Peningkatan bilirubin 5 mg% atau lebih dalam 24 jam.
e. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi
enzim G-6-PD, dan sepsis).
Ada juga pendapat ahli lain tentang hiperbilirubinemia yaitu Brown
menetapkan Hiperbilirubinemia bila kadar Bilirubin mencapai 12 mg% pada
cukup bulan, dan 15 mg % pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10
mg% dan 15 mg%.

F. Manifestasi klinik
Tanda dan gejala yang timbul dari ikterus, yaitu : letargi, kejang, tidak
mau menyusui, spasme otot, perut membuncit, pembesaran hati, faeses
berwarna seperti dempul, tampak ikterus: sklera, kuku, kulit, dan membran
mukosa. Jaundice pada 24 jam pertama disebabkan karena penyakithemolotik
waktu lahir, sepses, atau ibu dengan diabetik. Gejala yang timbul, antara lain :
1. Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada
neonatus adalah letargi, tidak mau minum, dan hipotoni.
2. Gejala kronik : tangisan yang melengking, meliputi hipertonus dan
opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa
paralysis serebral dengan atetosis, gangguan pendengaran, paralysis
sebagaian otot mata dan dysplasia dentalis).

11
G. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan bilirubin serum
a. Pada bayi cukup bulan, bilirubin mencapai kurang lebih 6mg/dl antara 2-
4 hari setelah lahir. Apabila nilainya lebih dari 10mg/dl tidak fisiologis.
b. Pada bayi premature, kadar bilirubin mencapai puncak 10-12 mg/dl
antara 5-7 hari setelah lahir. Kadar bilirubin yang lebih dari 14mg/dl
tidak fisiologis.
2. Pemeriksaan radiology
Diperlukan untuk melihat adanya metastasis di paru atau peningkatan
diafragma kanan pada pembesaran hati, seperti abses hati atau hepatoma
3. Ultrasonografi
Digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic dengan ekstra
hepatic.
4. Biopsy hati
Digunakan untuk memastikan diagnosa terutama pada kasus yang sukar
seperti untuk membedakan obstruksi ekstra hepatic dengan intra hepatic
selain itu juga untuk memastikan keadaan seperti hepatitis, serosis hati,
hepatoma.
5. Peritoneoskopi
Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto dokumentasi
untuk perbandingan pada pemeriksaan ulangan pada penderita penyakit ini.
6. Laparatomi
Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto dokumentasi
untuk perbandingan pada pemeriksaan ulangan pada penderita penyakit ini.

H. Penatalaksanaan
Tujuan primer penanganan hiperbilirubinemia adalah mencegah
ensepalopati bilirubin, inkomatibilitas darah, membalikkan proses hemolitik.
Bentuk penanganan melibatkan tindakan umum dan tindakan khusus :
1. Tindakan Umum
a. Memeriksa golongan darah ibu (Rh, ABO) pada waktu hamil.

12
b. Mencegah trauma lahir, pemberian obat pada ibu hamil atau bayi baru
lahir yang dapat menimbulkan ikterus, infeksi dan dehidrasi.
c. Pemberian makanan dini dengan jumlah cairan dan kalori yang sesuai
dengan kebutuhan bayi baru lahir.
d. Imunisasi yang cukup baik di tempat bayi dirawat.
2. Tindakan khusus
a. Fototerapi
Fototerapi terdiri atas pemberian lampu fluoresen ke kulit bayi yang
terpajan. Cahaya lampu akan membantu eksresi bilirubin dengan cara
fotoisomerasi, yang mengubah struktur bilirubin menjadi bentuk larut
(lunirubin) agar eksresinya lebih mudah. Beberapa studi menunjukkan
bahwa lampu fluresen biru lebih efektif dalam menurunkan bilirubin,
akan tetapi karena cahaya biru dapat mengubah warna bayi, maka lampu
fluresen cahaya normal denga spektrum 420-460 lebih disukai sehingga
kulit bayi dapat diobservasi lebih baik mengenai warnanya (jaundis,
palor, sianosis) atau kondisi lainnya. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam pelaksanaan fototerapi, antara lain (Surasmi, Siti
Handayani, dan Heni Nur Kusuma, 2003) :
1) Lampu yang dipakai sebaiknya tidak digunakan lebih dari 500 jam
untuk menghindari turunnya energi yang dihasilkan oleh lampu yang
digunakan.
2) Pakaian bayi dibuka agar bagian tubuh bayi dapat seluas mungkin
terkena sinar.
3) Kedua mata bayi ditutup dengan menggunakan penutup yang dapat
memantulkan cahaya untuk mencegah kerusakan retina. Pemantauan
iritasi mata dilakukan setiap 6 jam dengan membuka penutup mata.
4) Daerah kemaluan ditutup dengan menggunakan penutup yang dapat
memantulkan cahaya untuk melindungi kemaluan dari efek
fototerapi.
5) Posisi lampu diatur dengan jarak 20-30 cm di atas tubuh bayi untuk
mendapatkan energi yang optimal.

13
6) Posisi tubuh bayi diubah tiap 8 jam, agar tubuh bayi mendapatkan
penyinaran seluas mungkin.
7) Suhu tubuh bayi diukur tiap 4-6 jam.
8) Pemasukan cairan dan pengeluaran urine, feses, dan muntah diukur
dan dicatat, dan dilakukan pemantauan tanda-tanda dehidrasi.
9) Hidrasi bayi diperhatikan, bila perlu tingkatkan konsumsi cairan.
10) Catat lamanya penyinaran.
Ada beberapa kelainan yang dapat ditimbulkan oleh karena penyinaran,
yaitu (Surasmi, Siti Handayani, dan Heni Nur Kusuma, 2003) :
1) Peningkatan kehilangan cairan yang tidak diukur.
2) Frekuensi defekasi meningkat oleh karena peningkatan pembentukan
enzim laktase yang berfungsi untuk meningkatkan peristaltik usus.
3) Timbulnya kelainan kulit “flea bite rush” di daerah muka, badan,
dan ekstremitas. Kelainan ini akan hilang jika terapi sinar dihentikan.
4) Peningkatan suhu tubuh bayi oleh karena peningkatan suhu
lingkungan atau gagguan pengaturan suhu tubuh bayi.
5) Gangguan lain yang kadang ditemukan, antara lain : gangguan
minum, letargi, gangguan pertumbuhan, dan mata, serta iritabilitas.
b. Pemberian obat
Penatalaksanaan farmakologis hiperbilirubinemia dengan fenobarbilat
dipusatkan pada bayi dengan penyakit haemolitik dan paling efektif jika
diberikan pada ibu beberapa hari sebelum persalinan. Fenobarbital
membantu sintesis glukuronil transferase dalam hati, yang akan
meningkatkan konjugasi bilirubin dan klirens hati pigmen dalam empedu
dan sintesis protein yang dapat meningkatkan albumin untuk menambah
tempat ikatan bilirubin. Akan tetapi penggunaan fenobarbital pada
periode antenatal maupun pasca natal tidak terbukti efektif dibandingkan
obat lain dalam menurunkan bilirubin. Produksi bilirubin pada bayi baru
lahir dapat dikurangi dengan menghambat oksigenasi heme (suatu enzim
yang diperlukan untuk pemecahan heme menjadi biliverdin dengan
metalopofirin, terutama tin-protoporfirin dan tin-mesoporfirin.

14
Bayi cukup bulan yang mengalami jaundis juga mendapat manfaat dari
pemberian ASI yang sering. Usaha preventif ini ditujukan untuk
membantu meningkatkan motilitas usus, mengurangi pirau enterohepatik,
dan menstabilkan flora bakteri normal sehingga secara efektif
memperbanyak eksresi bilirubin terkonjugasi.
c. Transfusi tukar
Penggantian sirkulasi darah neonatus dengan darah dari donor dengan
cara mengeluarkan darah neonatus dan memasukkan darah donor secara
berulang. Pergantian darah mencapai 75-85%. Tujuan dari tukar
transfusi, yaitu menurunkan kadar bilirubin indirek,mengganti eritrosit
yang dapat dihemolisis, membuang antibodi yang dapat menyebabkan
hemolisis, dan mengoreksi anemia. Saat transfusi, darah donor
dihangatkan sesuai dengan suhu temperatur ruangan. Selain itu ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain :
1) Neonatus harus dipasangi monitor kardio-respirasi.
2) Tekanan darah harus dipantau.
3) Neonatus dipuasakan, bila perlu pasang selang nasogastrik.
4) Neonatus dipasang imfus.
5) Disediakan peralatan resusitasi.

I. Komplikasi
1. Terjadi kernikterus, yaitu kerusakan pada otak akibat perlengketan bilirubin
indirek pada otak terutama pada korpus striatum, thalamus, nucleus
subtalamus hipokampus, nucleus merah didasar ventrikel IV.
2. Kernikterus; kerusakan neurologis, cerebral palsy, RM, hyperaktif, bicara
lambat, tidak ada koordinasi otot, dan tangisan yang melengking.
3. Retardasi mental - Kerusakan neurologis
Efek Hiperbilirubinemia dapat menimbulkan kerusakan sel-sel saraf,
meskipun kerusakan sel-sel tubuh lainnya juga dapat terjadi. Bilirubin dapat
menghambat enzim-enzim mitokondria serta mengganggu sintesis DNA.
Bilirubin juga dapat menghambat sinyal neuroeksitatori dan konduksi saraf

15
(terutama pada nervus auditorius) sehingga menimbulkan gejala sisa berupa
tuli saraf.
4. Gangguan pendengaran dan penglihatan
5. Kematian, (Donna L. Wong, 2008).

J. Konsep asuhan keperawatan


1. Pengkajian
Bagian pengkajian fisik rutin, meliputi mengobservasi adanya bukti
jaundis dengan interval teratur. Jaundis paling sering dapat dikaji secara
realibel dengan mengobservasi kulit bayi dari kepala ke kaki, warna sklera,
dan mmbran mukosa. (Wong, 2009). Penekanan langsung pada kulit,
terutama pada tonjolan tulang, seperti tulang pada ujug hidung atau
sternum akan menyebabkan pemutihan dan kemungkinan pewarnaan
kuning menjadi jelas. Untuk bayi berkulit gelap, warna sklera,
konjungtiva, dan membran mukosa oral lebih realibel untuk menjadi
indikator
a. Pengumpulan data
1) Identitas klien
Meliputi nama bayi atau nama Ibu, jenis kelamin, umur, alamat,
agama, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2) Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus hiperbilirubin yaitu
ditemukan ikterus pada sclera, kuku dan kulit.
3) Riwayat kehamilan
Kurangnya antenatal care yang baik. Penggunaan obat-obat yang
meningkatkan ikterus, seperti: salisilat sulkaturosic oxitosin yang
dapat mempercepat proses konjungasi sebelum ibu partus
4) Riwayat persalinan
Pembantu persalinan (dukun, bidan, dokter). Lahir prematur /
kurang bulan, riwayat trauma persalinan

16
5) Riwayat post natal
Adanya kelainan darah tapi kadar bilirubin meningkat kulit bayi
tampak kuning.
6) Riwayat kesehatan keluarga
Seperti ketidakcocokan darah ibu dan anak, gangguan saluran cerna
dan hati (hepatitis)
7) Pengetahuan Keluarga meliputi
Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah
mengenal keluarga lain yang memiliki yang sama, tingkat
pendidikan, kemampuan mempelajari Hiperbilirubinemia
b. Pola kebutuhan sehari-hari
1) Aktivitas / istirahat : Latergi, malas
2) Sirkulasi : Mungkin pucat, menandakan anemia.
3) Eliminasi : Bising usus hipoaktif, Pasase mekonium mungkin
lambat, Feses lunak/coklat kehijauan selama pengeluaran
bilirubin,Urine gelap pekat, hitam kecoklatan (sindrom bayi bronze)
4) Makanan/cairan : Riwayat perlambatan/makan oral buruk, ebih
mungkin disusui dari pada menyusu botol, Palpasi abdomen dapat
menunjukkan perbesaran limfa, hepar.
5) Neurosensori : Hepatosplenomegali, atau hidropsfetalis dengan
inkompatibilitas Rh berat. Opistetanus dengan kekakuan lengkung
punggung,menangislirih, aktivitas kejang (tahap krisis).
6) Pernafasan : Riwayat afiksia
7) Keamanan : Riwayat positif infeksi/sepsis neonatus, Tampak ikterik
pada awalnya di wajah dan berlanjut pada bagian distal tubuh, kulit
hitam kecoklatan sebagai efek fototerapi.
8) Penyuluhan/Pembelajaran : Faktor keluarga, misal: keturunan etnik,
riwayat hiperbilirubinemia pada kehamilan sebelumnya,
penyakithepar, distrasias darah (defisit glukosa-6-fosfat
dehidrogenase (G-6-PD). Faktor ibu, mencerna obat-obat (misal:

17
salisilat), inkompatibilitas Rh/ABO. Faktor penunjang intrapartum,
misal: persalinan pratern.
c. Pemeriksaan fisik
1) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada
nyeri kepala.
2) Muka
Tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris,
tak edema.
3) Mata
Sklera mata kuning (ikterik) kadang-kadang terjadi kerusakan retina
4) Hidung
Tidak/ada pernafasan cuping hidung.
5) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi
atau nyeri tekan.
6) Mulut dan Faring
Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan.
7) Leher
Tidak ada penonjolan, reflek menelan ada namun menurun.
8) Sistem Integumen
Kulit berwarna kuning sampai jingga dan mengelupas.
9) Thoraks
Bentuk dada umumnya tidak mengalami gangguan (simetris), jenis
pernapasan biasanya abdomen dan perhatikan ada atau tidak retraksi
dinding dada
b. Pemeriksaan diagnostic
1) Golongan darah bayi dan ibu, mengidentifikasi inkompatibilitas
ABO.
2) Bilirubin total: kadar direk bermakna jika melebihi 1,0 – 1,5 mg/dL
kadar indirek tidak boleh melebihi peningkatan 5 mg/dL dalam 24

18
jam, atau tidak boleh lebih 20 mg/dL pada bayi cukup bulan atau 15
mg/dL pada bayi pratern.
3) Darah lengkap: Hb mungkin rendah (< 1 mg/dL) karena hemolisis.
4) Meter ikterik transkutan: mengidentifikasi bayi yang memerlukan
penentuan bilirubin serum.

2. Diagnosa
a. Ikterik neonatus berhubungan dengan bilirubin tidak terkonjugasi di
dalam sirkulasi.
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan metabolik
(hiperbilirubin)
c. Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan fluktuasi suhu
lingkungan
d. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan terpapar sinar
dengan intensitas tinggi

3. Intervensi

No Diagnosa Noc Nic

keperawatan

1 Ikterik neonatus b. Setelah dilakukan Phothoterapy :


d. bilirubin tidak asuhan Neonate
terkonjugasi di keperawatan selama 1. Meninjau sejarah
dalam sirkulasi …. X 24 jam, ibu dan bayi untuk
diharapkan kadar faktor risiko untuk
bilirubin total kurang hiperbilirubinemia
dari 10 mg/dL (misalnya,
kriteria hasil: ketidakcocokan
 Bilirubin total Rh atau ABO,
kurang dari 10 polisitemia,
mg/dL sepsis,
prematuritas, mal
 Memar kulit presentasi)
normal 2. Amati tanda-tanda
 Membran ikterus
mukosa tidak 3. atura serum

19
kuning billirubin tingkat
 Kulit tidak ikterik sebagai protokol
yang sesuai atau
 Sklera anikterik
permintaan
praktisi primer
4. Melaporkan nilai
laboratorium
untuk praktisi
primer
5. Tempat bayi di
Isolette
6. lnstruksikan
keluarga pada
prosedur
fototerapi dan
perawatan
7. Memantau mata
untuk edema,
drainase, dan
warna
8. Tempat fototerapi
lampu di atas bayi
pada ketinggian
yang sesuai
9. Periksa intensitas
lampu sehari-hari
10. Memantau tingkat
biIirubin serum
per protokol atau
permintaan
praktisi
11. Mendorong
delapan kali
menyusui perhari
12. Dorong keluarga
untuk
berpartisipasi
dalam terapi
cahaya
13. Instruksikan
keluarga pada
fototerapi di
rumah yang sesuai
2 Kerusakan Setelah dilakukan Pressure
asuhan management:
integritas kulit b. d.
keperawatan selama 1. Jaga kulit agar

20
gangguan …. X 24 jam, tetap bersih dan
diharapkan kering
metabolik
integritas kulit bayi 2. Monitor kulit
(hiperbilirubin) normal dengan akan adanya
kriteria hasil: kemerahan
 Turgor kulit baik 3. Kaji lingkungan
 Tidak ada tanda- dan peralatan
yang
tanda kerusakan
menyebabkan
kulit (kulit kering tekanan
dan kemerahan 4. Hindari kerutan
pada kulit) pada tempat tidur
5. Oleskan lotion
atau
minyak/baby oil
pada deah yang
tertekan
6. Monitor proses
pen-yembuhan
area insisi
7. Monitor tanda
dan gejala infeksi
pada area insisi
3 Ketidakefektifan Setelah dilakukan Temperature
termoregulasi b.d. asuhan regulation
fluktuasi suhu keperawatan selama (pengaturan suhu) :
lingkungan …. X 24 jam, 1. Monitor suhu
diharapkan minimal tiap 2
termoregulasi pasien jam
stabil dengan kriteria 2. Rencanakan
hasil : monitoring suhu
 Tanda-tanda vital secara kontinyu
dalam batas 3. Monitor TD,
normal (RR bayi nadi, dan RR
4. Monitor warna
= 30-50 x/menit;
dan suhu kulit
Nadi bayi 120- 5. Monitor warna
160 x/menit; TD dan suhu kulit
bayi 85/64 6. Monitor tanda-
mmHg; suhu = tanda hipertermi
36-37,50 C) dan hipotermi
7. Tingkatkan
 Tidak ada
intake cairan dan
penurunan nutrisi
kesadaran 8. Selimuti pasien
 Perfusi jaringan untuk mencegah

21
adekuat (CRT hilangnya
<2dtk) kengatan tubuh
 Tidak ada 9. Diskusikan
dengan keluarga
sianosis
tentang
 Akral hangat pentingnya
 Nadi perifer pengaturan suhu
teraba kuat dan
kemungkinan
efek negative
dari kedinginan
10. Berikan anti
piretik jika perlu
4 Risiko kekurangan Setelah dilakukan Fluid management :
volume cairan asuhan 1. Timbang popok/
berhubungan keperawatan selama pembalut jika
dengan terpapar …. X 24 jam, diperlukan
sinar dengan diharapkan 2. Pertahankan
intensitas tinggi volume cairan pasien catatan intake
terpenuhi, dengan dan output yang
kriteria hasil : akurat
 Jumlah intake 3. Monitor status
dan output hidrasi
seimbang (kelembaban
membran
 Tanda-tanda vital mukosa, nadi
dalam batas adekuat, tekanan
normal (RR bayi darah ortostatik),
= 30-50 x/menit; jika diperlukan
bayi 120-160 4. Monitor vital
x/menit; TD bayi sign
5. Monitor masukan
85/64 mmHg;
manan/cairan dan
suhu = 36-37,50 hitung intake
C) kalori harian
 Turgor kulit 6. Kolaborasikan
elastis pemberian cairan
 Penurunan berat IV
7. Monitor status
badan tidak
nutrisi
melebihi 10% 8. Berikan cairan
dari berat badan IV pada suhu
lahir ruangan
9. Dorong masukan
oral
10. Berikan

22
penggantian
nesogatrik sesuai
output
11. Dorong keluarga
untuk membantu
pasien makan

4. Implementasi
Melaksanakan tindakan sesuai dengan intervensi yang telah di
rencanakan dan dilakukan sesuai dengan kebutuhan klien/pasien
tergantung pada kondisinya. Sasaran utama pasien meliputi peredaan
nyeri, mengontrol ansietas, pemahaman dan penerimaan penanganan,
pemenuhan aktivitas perawatan diri, termasuk pemberian obat,
pencegahan isolasi sosial, dan upaya komplikasi.

5. Evaluasi
Melakukan pengkajian kembali untuk mengetahui apakah semua
tindakan yang telah dilakukan dapat memberikan perbaikan status
kesehatan terhadap klien sesuai dengan kriteria hasil yang diharapkan

23
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hiperbilirubinemia merujuk pada tingginya kadar bilirubin terakumulasi


dalam darah dan ditandai dengan jaundis atau ikterus, suatu warna kuning pada
kulit, sklera, dan kuku. Hiperbilirubin merupakan temuan yang wajar pada bayi
baru lahir dan pada kebanyakan kasus relatif jinak. Akan tetapi hal ini, bisa
juga menunjukkan keadaan patologis (Wong, ddk, 2009).
Ada beberapa kemungkinan yang dapat menyebabkan hiperbilirubin pada
bayi, antara lain : Faktor fisiologis (perkembangan – prematuritas),
Berhubungan dengan pemberian ASI, Produksi bilirubin yang berlebihan
(misalkan, penyakit haemolitik, defek biokimia, memar), Gangguan kapasitas
hati untuk menyekresi bilirubin terkonjugasi (misalkan defisiensi enzim,
obstruksi duktus empedu), Kombimasi berlebihan produksi dan kekurangan
sekresi, Beberapa keadaan penyakit, misalmya hipotiroidisme, galaktosemia,
bayi dari ibu diabetes DAN Predisposisi ginetik terhadap peningkatan
produksi. (Wong, ddk, 2009).

B. Saran
Berdasarkan hasil prektik klinik laboratorium keperawatan, maka ada
beberapa saran yang sekiranya dapat digunakan meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan bagi pasien:
1. Bagi pasien
Pemerliharan lingkungan serta pola makan yang teratur dan menjaga
kebiasaan hidup sehat dan bersih perlu dilakuakan untuk menghindari
penyakit ini.Penanganan yang tepat dan cepat dapat membantu pemulihan
pasien serta mengindari terjadi komplikasi dari penyakit tersebut.
2. Bagi perawat
Pengkajian yang menyeluruh dan komperhensif perlu dilakuakn untuk
mengevalusai masalah yang dialami pasien. Pengkolaborasian dengan tim

24
kesehatan yang dapat membatu penanganan masalah pasin perlu dilakuakn
guna peningkatan derajad kesehatan pasien.
3. Bagi mahasiswa
Pemahaman landasan teori yang ada perlu dilakuakan agar tidak terjadi
kerancuan dari penegakan diagnose yang ada.

25
DAFTAR PUSTAKA

Betz & Sowden. 2000. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi 3. Jakarta: EGC.

Depkes.(2008). Pelatihan Klinik Asuhan Persalinan Normal. Jakarta: USAID

Hidayat, A. 2009. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan.


Jakarta: Salemba Medika.
Mansjoer, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.
Sarwono, P. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.
Soegeng Soegijanto. 2002. Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan.
Jakarta: Salemba Medika.
Surasmi, Siti Handayani, dan Heni Nur Kusuma. 2003. Perawatan Bayi Risiko
Tinggi. Jakarta: EGC.
Wong, D. L. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatik. Volume 1. Edisi 6. Jakarta: EGC.
NANDA NIC & NOC 2018
https://www.academia.edu/11325092/LAPORAN_PENDAHULUAN_LP_HIPER

BILIRUBINEMIA. Diakses pada tanggal 23 Maret 2019 pukul 20.00

https://www.academia.edu/29464373/Askep_Hiperbilirubinemia_Aplikasi_Nanda

. Diakses pada tanggal 23 Maret 2019 pukul 20.00

https://www.academia.edu/28136550/MAKALAH_HIPERBILIRUBINEMIA.

Diakses pada tanggal 25 Maret 2019 pukul 12.00

26

Vous aimerez peut-être aussi