Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Langkah-langkah Aceh itu diketahui oleh Belanda. Oleh karena itu, Belanda
mengancam agar Kesultanan Aceh tunduk di bawah pemerintahan Hindia
Belanda. Aceh tidak akan menghiraukan itu. Karena Aceh dinilai membangkang
maka pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda mengumumkan perang terhadap
Aceh. Pecahlah pertempuran antara Aceh melawan Belanda.
Doktrin para pejuang Aceh dalam melawan Belanda hanya ada dua pilihan
“syahid atau menang”.
Setelah melipatgandakan kekuatannya, pada tanggal 9 Desember 1873
Belanda melakukan agresi atau serangan yang kedua. Serangan ini dipimpin
oleh J. van Swieten. Pertempuran terjadi istana dan juga terjadi di
Masjid Raya Baiturrahman. Para pejuang Aceh harus mempertahankan
masjid dari serangan Belanda yang bertubi-tubi. Masjid terus dihujani peluru
dan kemudian pada tanggal 6 Januari 1874 masjid itu dibakar. Para pejuang
dan ulama kemudian meninggalkan masjid. Tentara Belanda kemudian
menuju istana. Pada tanggal 15 Januari 1874 Belanda dapat menduduki
istana setelah istana dikosongkan, karena Sultan Mahmud Syah II bersama
para pejuang yang lain meninggalkan istana.
.
Jatuhnya Masjid Raya Baiturrahman dan istana sultan, Belanda menyatakan
bahwa Aceh Besar telah menjadi daerah kekuasaan Belanda. Para ulebalang,
ulama dan rakyat tidak ambil pusing dengan pernyataan Belanda. Mereka
kemudian mengangkat putra mahkota Muhammad Daud Syah sebagai sultan
Aceh. Tetapi karena masih di bawah umur maka diangkatlah Tuanku Hasyim
Banta Muda sebagai pemangku sultan
Kerajaan boleh berakhir, tetapi semangat juang rakyat Aceh untuk melawan
dominasi asing sulit untuk dipadamkan. Sementara Cut Nyak Dien terus
mengobarkan perang jihad dengan bergerilya. Tetapi setelah pos pertahan
pasukannya dikepung tentara Belanda pada tahun 1906 Cut Nyak Dien
berhasil ditangkap. Ia dibuang ke Sumedang, Jawa Barat sampai meninggal
pada tanggal 8 November 1908. Namun perjuangan rakyat Aceh juga belum
berakhir. Di daerah Pidie sejumlah ulama masih terus melancarkan serangan
ke pos-pos Belanda tetapi semua ulama ini gugur dalam Perang Sabil melawan
kezaliman Belanda.
Sementara itu di pesisir utara dan timur Aceh juga masih banyak para ulama
dan pemimpin adat yang terus melakukan perlawanan. Misalnya ayah dan suami
Cut Nyak Mutia. Setelah ayah dan suaminya gugur, Cut Nyak Mutia melanjutkan
perang melawan kekejaman Belanda. Cut Nyak Mutia sesuai dengan pesan
suaminya Teuku Cik Tunong sebelum ditembak mati oleh Belanda disarankan
untuk menikah dengan Pang Nanggru. Oleh karena itu, Cut Nyak Mutia dapat
bersama-sama melawan Belanda dengan Pang Nanggru. Pada tanggal 26
September 1910 terjadi pertempuran sengit di Paya Cicem. Pang Nanggru
tewas dan Cut Nyak Mutia berhasil meloloskan diri hingga
akhirnya dapat didesak dan gugur setelah beberapapeluru menembus kaki dan
tubuhnya. Perang Sabil yang digelorakan rakyat Aceh
secara massal baru berakhir pada tahun 1912. Tetapi sebenarnya masih ada
gerakan-gerakan perlawanan lokal yang berskala kecil yang sering terjadi.
Bahkan dikatakan perang-perang kecil itu berlangsung sampai tahun 1942