Vous êtes sur la page 1sur 9

Laporan Praktikum Hari/tanggal : Kamis, 28 Februari 2019

Teknologi Bioindustri Golongan : P2


Dosen : Dr. Purwoko
Asisten :
1. Febriyanti Irawan (F34150044)
2. M. Nasrullah (F34150114)

PEMBUATAN BIOETANOL

Oleh:
Anisa Septi A. F34160051
Tsabitah Shofiyana F34160059
Rahma Maulida F34160060

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebutuhan dan konsumsi energi terus meningkat dari tahun ke tahun,


sementara sumber daya alam yang dapat menghasilkan energi makin terkuras
karena sebagian besar sumber energi saat ini berasal dari sumber daya alam
yang tidak terbarukan, seperti minyak, gas, dan batu bara (Hermiati et al. 2017).
Bioetanol merupakan salah satu sumber bahan bakar alternatif yang diolah dari
tumbuhan, dimana memiliki keunggulan mampu menurunkan emisi CO 2 hingga
18%. Bioetanol merupakan cairan hasil fermentasi gula dari sumber karbohidrat
dengan menggunakan bantuna mikroorganisme (Dahlan et al. 2009). Bioetanol
sudah dikenal sejak lama dan mengandung senyawa yang dapat dimanfaatkan
sebagai bahan bakar altenatif dan terbarukan. Etanol sebagai bahan bakar dapat
digunakan langsung atau dicampur dengan bahan bakar lainnya terutama gasoline.
Bieotanol dapat dikelompokkan sebagai bahan bakar yang ramah lingkungan
karena gas CO2 yang dihasilkan dari pembakarannya jauh lebih kecil
dibandingkan gas CO2 yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil.
Sehingga banyak masyrakat yang memanfaatkan bioetanol sebagai bahan bakar
terbarukan. Menurut Hambali et al. (2007), bioetanol memiliki karakteristik yang
lebih baik dibandingkan dengan bensin karena dapat meningkatkan efisiensi
pembakaran dan mengurangi emisi gas rumah kaca.
Bioetanol bersumber dari karbohidrat yang potensial sebagai bahan baku
seperti tebu, nira, sorgum, ubi kayu, garut, ubi jalar, sagu, jagung, jerami, bonggol
jagung dan kayu (Roni et al. 2015). Tebu merupakan tanaman tropis yang dapat
mengakumulasikan sukrosa pada batangnya. Tebu merupakan jenis tanaman yang
banyak mengandung gula (sukrosa). Sukrosa yang terdapat di dalam tebu akan
diekstrak untuk diambil molasesnya. Cairan sukrosa dapat diekstrak dengan
pengepresaan batang yang kemudian difermentasi lebih lanjut untuk
menghasilkan etanol. Proses tersebut biasanya membutuhkan lima tahap yaitu
penggilingan, pengepresan, fermentasi, distilasi dan dehidrasi (Riyanti 2009).
Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis terhadap kandungan alkohol atau
bioetanol terhadap molases yang diberi perlakuan berbeda-beda serta faktor-faktor
yang mempengaruhi dalam pembuatan bioetanol.

Tujuan

Pratikum ini bertujuan mengetahui pembuatan bioetanol dengan


melakukan pengamatan terhadap jumlah gas terbentuk, pH, persentase alkohol,
biomassa kering dan kadar gula pada masing-masing perlakuan yang diberikan.

METODOLOGI

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan, yaitu erlenmeyer, wadah, otoklaf, spektrofotometer,


labu erlenmeyer dengan leher angsa, timbangan, inkubator, dan pH meter. Bahan
yg digunakan, yaitu Saccharomyces cereviceae, molases, air, larutan urea, dan
asam sulfat 10%.

Metode

Saccharomyces cereviseae

dD
Disiapkan
DD

Diencerkan molases dengan air dalam erlenmeyer 450ml

Dimasukkan larutan urea konsentrasi 1 g/l sebanyak 50ml

pH kedua larutan diatur menjadi 4,5 dengan asam sulfat encer

Dibagi menjadi empat bagian

Disterilisasi dengan otoklaf selama 15 menit dan didinginkan

Dicampur secara aseptis dan diinokulasi dengan biakan khamir sebanyak 1 lup

Labu erlenmeyer ditutup dengan leher angsa yang diisi dengan larutan asam sulfat 10%

Labu diberi label dan diamati pada jam ke-0, 24, 48, 72, dan 96

Masing-masing labu ditimbang

Labu diinokulasi pada suhu kamar

Labu ditimbang kembali dan dilakukan pengamatan terhadap jumlah gas terbentuk, pH,
biomassa kering, dan kadar gula sisa.

Hasil pengamatan

dD

DD
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pengamatan

[Terlampir]

Pembahasan

Bioetanol merupakan salah satu biofuel yang hadir sebagai bahan bakar
alternatif yang lebih ramah lingkungan dan sifatnya terbarukan. Bioetanol dengan
rumus kimia C2H5OH, yaitu cairan biokimia pada proses fermentasi gula dari
sumber karbohidrat yang menggunakan bantuan mikroorganisme. Dalam
perkembangannya, produksi alkohol yang paling banyak digunakan adalah
metode fermentasi dan distilasi. Salah satu tanaman yang memiliki potensial
sebagai bahan baku sumber bioetanol, yaitu molasses. Molasses merupakan hasil
samping yang berasal dari pembuatan gula tebu (Saccharum officinarum).
Kandungan gula sukrosa pada molasses sekitar 48-55% (Prescott dan Dunn 1959).
Bahan baku lain yang dapat digunakan pada pembuatan etanol adalah nira tebu,
nira nipah, nira sorgum manis, nira kelapa, nira aren, nira siwalan, sari buah mete,
tepung-tepung sorgum biji, sagu, singkong, ubi jalar, ganyong, garut, umbi dahlia,
kayu, jerami, batang pisang, bagas dan lain-lain (LIPI 2008).
Proses pembuatan etanol dari molasses terdiri dari 3 tahap. Persiapan
bahan baku yang bertujuan untuk menyiapkan bahan baku yang akan digunakan
dalam proses, terdiri dari proses pengenceran. Tahap fermentasi merupakan tahap
penting dalam produksi etanol yakni menggunakan fermentasi bakteri yang telah
dipersiapkan dari tangki propagasi dalam proses ini akan dihasilkan etanol dengan
kadar 6-10%. Tahap pemurnian merupakan tahapan pemurnian dari hasil
fermentasi terdiri dari proses penyaringan, distilasi dan adsorpsi. Fungsi tahap ini
untuk memurnikan hasil fermentasi sehingga menjadi etanol dengan kadar 99,5%
(Retnaningtyas et al. 2017).
Prinsip uji yang dilakukan dalam pembuatan bioetanol tersebut dapat
dilihat dari berbagai macam faktor seperti jumlah gas yang terbentuk, derajat
keasaman (pH), kadar gula dan biomassa kering yang dihasilkan dengan berbagai
perlakuan yang diberikan. Prinsip uji dari jumlah gas yang terbentuk adalah untuk
mengetahui banyaknya jumlah etanol yang terbentuk berdasarkan perlakuan jam
yang diberikan. Jumlah etanol yang dihasilkan akan semakin meningkat seiring
dengan bertambahnya waktu fermentasi yang diberikan yang ditandai dengan
timbulnya gas atau gelembung-gelembung udara yang terbentuk dibagian
permukaan molasses hasil inkubasi (Wahyudi 1997). Prinsip dari derajat
keasaman (pH) adalah untuk mengetahui tingkatan pH yang dihasilkan selama
inkubasi agar menghasilkan bioetanol yang optimum yang memiliki pH sekitar 4-
6. Kadar gula merupakan suatu komponen yang terkandung di dalam sampel yang
dapat berpengaruh dalam pengoptimalan hasil akhir yang diinginkan. Prinsip dari
kadar gula tersebut adalah untuk menentukan jumlah gula pereduksi yang terdapat
pada sampel yang diuji dengan menggunakan refraktometer. Tinggi atau
rendahnya kadar gula yang dihasilkan akan sangat berpengaruh terhadap
konsentrasi bioetanol yang dihasilkan (Winarno 2002).
Biomassa merupakan istilah untuk bobot hidup, biasanya dinyatakan
sebagai bobot kering untuk seluruh atau sebagian tubuh organisme, populasi dan
komunitas. Biomassa tumbuhan merupakan jumlah total bobot kering semua
bagian tumbuhun hidup (Hamilton dan King 1988). Secara umum biomassa
merupakan bahan yang dapat diperoleh dari tanaman baik secara langsung
maupun tidak langsung dan dimanfaatkan sebagai energi dalam jumlah yang
sangat besar yang berupa total kandungan material yang terdapat didalamnya.
Biomassa adalah bahan organik yang dihasilkan melalui proses fotosintetik, baik
berupa produk maupun buangan. Selain digunakan untuk tujuan primer yaitu
serat, bahan pangan,pakan ternak, minyak nabati dan lainnya biomassa juga
digunakan sebagai sumber energi (bahan bakar). Umumnya digunakan sebagai
bahan bakar yang memiliki nilai ekonomis biomassa yang rendah (Lodhiyal
2003).
Tabel 1 menunjukkan data jumlah gas yang terbentuk pada setiap
perlakuan. Data tersebut diketahui mengalami peningkatan seiring dengan
bertambahnya lama fermentasi. Hal ini menunjukkan adanya kestabilan jumlah
gas yang dihasilkan dari awal hingga akhir fermentasi. Fermentasi alkohol pada
prinsipnya menghasilkan alkohol dan gas karbon dioksida. Menurut Hambali et al
(2008), 1 molekul glukosa yang tersedia akan dipecah oleh Saccharomyces
cerevisiae menjadi 2 molekul alkohol dan 2 molekul gas karbon dioksida. Gas
karbon dioksida yang dihasilkan memiliki perbandingan stoikiometri yang sama
dengan etanol yang dihasilkan, yaitu 1 : 1. Richana (2011) menambahkan,
meskipun secara teori perbandingan antara jumlah gas yang dihasilkan dan
produksi alkohol 1 : 1, namun pada kenyataannya hanya 70 – 80 persen gas yang
dapat diukur. Penelitian Azizah et al (2012) menunjukkan bahwa bertambahnya
waktu fermentasi berbanding lurus dengan jumlah gas yang dihasilkan dan
berbanding terbalik dengan kadar alkohol. Gas yang dihasilkan pada proses
fermentasi alkohol oleh Saccharomyces cerevisiae dapat menghambat aktivitas
dari Saccharomyces cerevisiae itu sendiri sehingga kadar alkoholnya menurun.
Semakin lama proses fermentasi maka gas karbon dioksida yang terbentuk juga
akan semakin banyak. Kondisi ini tidak baik bagi pertumbuhan Saccharomyces
cerevisiae dan juga untuk proses dihasilkan selama proses fermentasi maka
pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae akan berhenti meskipun Saccharomyces
cerevisiae masih dalam keadaan hidup. Kemudian akan menghasilkan alkohol
kembali jika gas karbon dioksida dihilangkan.
Derajat keasamaan (pH) merupakan salah satu faktor penting yang perlu
diperhatikan pada saat proses fermentasi. pH mempengaruhi pertumbuhan
Saccharomyces cerevisiae. Kisaran pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae
adalah pada pH 3,5-6,5. Saccharomyces cerevisiae tidak dapat tumbuh pada
kondisi basa. Menurut Elevri dan Putra (2006), produksi etanol oleh
Saccharomyces cerevisiae paling maksimal dapat dicapai pada pH 4,5. Nilai pH
dipengaruhi oleh produk yang dihasilkan selama proses fermentasi, dalam hal ini
adalah etanol. Berdasarkan Tabel 1, nilai pH konstan dari awal proses fermentasi
hingga akhir, yaitu 4,5. Hasil tersebut menunjukkan bahwa lama proses
fermentasi tidak merubah nilai pH. Namun menurut Anwar et al (2012), lama
fermentasi memberikan pengaruh terhadap nilai pH dimana semakin lama
fermentasi nilai pH cenderung meningkat. Hal ini dipengaruhi oleh etanol yang
dihasilkan oleh Saccharomyces cerevisiae. Akin et al (2008) menambahkan
bahwa pada saat produksi etanol meningkat, maka nilai pH juga cenderung
meningkat karena etanol bersifat asam.
Berdasarkan Tabel 1, terjadi penurunan konsentrasi gula dalam molases
seiring dengan bertambahnya lama fermentasi. Hasil ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Wardani dan Pertiwi (2013) yang menyatakan bahwa
semakin lama waktu fermentasi, semakin berkurang konsentrasi gula dalam
molases. Terjadinya penurunan kadar gula pada substrat selama fermentasi dari
hari ke hari karena gula diubah menjadi etanol oleh Saccharomyces cerevisiae.
Gula sederhana yang ada tidak semuanya dapat dimanfaatkan oleh Saccharomyces
cerevisiae. Saccharomyces cerevisiae hanya dapat menggunakan glukosa,
fruktosa, maltosa dan galaktosa, sedangkan gulalain yang tidak dapat
dimanfaatkan oleh khamir tertinggal dalam larutan (Arif et al 2016).
Tabel 1 menunjukkan bahwa biomassa kering tertinggi terdapat pada jam
ke – 72. Hasil penelitian Wardani dan Pertiwi (2013) menunjukkan produksi
etanol meningkat dengan meningkatnya konsentrasi biomassa yang terdapat
dalam substrat. Konsentrasi biomassa yang rendah mengakibatkan laju fermentasi
menjadi lambat, tetapi dapat menghasilkan etanol yang lebih tinggi karena setelah
sel memperbanyak diri akan mengkonversi gula menjadi etanol secara perlahan.
Maka selama fermentasi tidak akan terjadi akumulasi etanol yang bisa menjadi
racun bagi sel dan masih tetap bisa menghasilkan etanol hingga akhir fermentasi.
Dalam pembuatan etanol, inokulasi Saccharomyces cerevisiae yang terlalu tinggi
menyebabkan proses melemah lebih cepat dan menurunkan viabilitas sel setelah
fase pertumbuhan. Kondisi pertumbuhan dan metabolisme pada populasi sel yang
tinggi tidak diharapkan, karena mengganggu akses nutrisi, keterbatasan ruang, dan
interaksi antarsel (Arif et al 2016).
Berdasarkan Tabel 1, kadar alkohol yang dihasilkan meningkat lalu
menurun. Alkohol merupakan produk metabolit primer, yaitu produk yang
dihasilkan seiring dengan fase pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae. Perlakuan
lama fermentasi 96 jam mempunyai nilai kadar alkohol tertinggi (Tabel 1).
Penelitian Anwar et al (2012) memberikan nilai kadar alkohol tertinggi pada
perlakuan lama fermentasi 12 jam. Sedangkan penelitian milik Azizah et al (2012)
menghasilkan nilai kadar alkohol tertinggi pada perlakuan lama fermentasi 36
jam. Fase stasioner Saccharomyces cerevisiae terjadi mulai jam ke – 30, sehingga
jam inkubasi sebelum jam ke – 30 adalah fase pertumbuhan dipercepat (Suyandra
2007). Sedangkan Sari et al (2008) menyatakan bahwa lama fermentasi yang
paling optimal untuk pembuatan bioetanol adalah 3 hari. Jika fermentasi
dilakukan lebih dari 3 hari, justru kadar alkoholnya dapat berkurang.
Berkurangnya kadar alkohol disebabkan karena alkohol telah dikonversi menjadi
senyawa lain, misalnya ester.

DAFTAR PUSTAKA

Akin H, Brandam C, Meyer X, Strehaiano P. 2008. A model for ph determination


during alcoholic fermentation of a grape must by Saccharomyces cerevisiae.
Chemical Engineering and Processing: Process Intensification. 47: 1986-
1993.
Anwar MS, Al-Baarri AN, Legowo AM. 2012. Volume gas, ph dan kadar alkohol
pada proses produksi bioetanol dari acid whey yang difermentasi oleh
Saccharomyces cerevisiae. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. 1(4): 133-
136.
Arif AB, Diyono W, Budiyanto A, Richana N. 2016. Analisis rancangan faktorial
tiga faktor untuk optimalisasi produksi bioetanol dari molases tebu.
Informatika Pertanian. 25(1): 145-154.
Azizah N, Al-Baarri AN, Mulyani S. 2012. Pengaruh lama fermentasi terhadap
kadar alkohol, ph, dan produksi gas pada proses fermentasi bioetanol dari
whey dengan substitusi kulit nanas. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. 1(2):
72-77.
Dahlan, Muhammad H, Sari, Dewi, Ismadyar. 2009. Pemekatan Nira Nipah
Menggunakan Membran Selulosa Asetat. Palembang (ID): Universitas
Sriwijaya.
Elvri PA, Putra SR. 2006. Produksi etanol menggunakan Saccharomyces
cerevisiae yang diamobilisasi dengan agar batang. Akta Kamindo. 1(20):
105-114.
Hambali E, Mujdalipah S, Tambunan AH, Pattiwiri AW, Hendroko R. 2007.
Teknologi Bioenergi. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka.
Hamilton, King HLM. 1988. Daerah Aliran Sungai Hutan Tropika. Yogyakarta
(ID) : UGM Press.
Hermiati E, Mangunwidjaja D, Sunarti TC, Suparno O, Prasetya B. 2017.
Pemanfaatan biomassa lignoselulosa ampas tebu untuk produksi
bioetanol. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 29(4):121-130.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). 2008. Jurnal Ekonomi dan
Pembangunanan. Vol XVI.
Lodhiyal N. 2003. Biomass and net primary productivity of bhabar shisham
forests in central himalaya. For Ecol Manage. 176:217- 235.
Prescott SC, Dunn CG. 1959. Industrial Microbiology Third Edition. New York
(US) : Mc Graw-Hill Book Co.
Retnaningtyas AY, Hidayat RR, Widiyastuti, Winardi S. 2017. Studi awal proses
fermentasi pada desain pabrik bioethanol dari molasses. Jurnal Teknik Its.
6(1) : 123-126.
Richana N. 2011. Bioetanol: Bahan Baku, Teknologi Produksi, dan Pengendalian
Mutu. Bandung (ID): Penerbit Nuansa.
Riyanti EI. 2009. Biomassa sebagai bahan baku bioetanol. Jurnal Litbang
Pertanian. 28(3) : 101-108.
Roni KA, Herawati N, Rahman AA. 2016. Pembuatan bioetanol dari tanah
gambut dengan fermentasi menggunakan ragi. Jurnal Distilasi. 1(1):1-6.
Sari IM, Noverita N, Yulneriwarnai Y. 2008. Pemanfaatan jerami padi dan alang-
alang dalam fermentasi etanol menggunakan Trichoderma viride dan
khamir Saccharomyces cerevisiae. Vis Vitalis. 5(2): 55-62.
Suyandra IS. 2007. Pemanfaatan hidrolisat pati sagu (Metroxylon sp.) sebagai
sumber karbon pada fermentasi etanol oleh Saccharomyces
cerevisiae[Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Wardani AK, Pertiwi FNE. 2013. Produksi etanol dari tetes tebu oleh
Saccharomyces cerevisiae pembentuk flok (nrrl – y 265). Agritech. 33(2):
131-139.
Wahyudi. 1997. Produksi alkohol oleh Saccharomyces cerevisiae dengan tetes
tebu (molase) sebagai bahan baku utama [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Winarno FG. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka.
LAMPIRAN

Tabel 1 Hasil pengamatan sampel


Berat Etanol yang
Jumlah
Waktu Awal Setelah Biomassa Kadar terbentuk
Kelom- gas yang Kadar
inkubasi (g) inkubasi pH kering alkohol setelah
pok terbentuk gula
(jam) (g) (g/l) (%) distiliasi
(g)
(ml)
1 0 377,6 377,6 0 4,5 11 0,035 0 0
2 24 437,3 437 0,3 4,5 13 0,021 8 6,4
3 48 445,6 441,2 4,4 4,5 12 0,032 4 3
4 72 444,4 437,8 6,6 4,5 11 0,036 8 6,4
5 96 439,9 431,5 8,4 4,5 11 0,021 10 7,3
6 120 453,3 444,9 8,4 4,5 11 0,029 8 5,92

Tabel 2 Analisa data


Waktu Laju
Kelompok inkubasi Yp/x Yp/s Yx/s pertumbuhan
(jam) (sel/jam)
1 0 0 0 0,00009 #NUM!
2 24 304,76190 0,01464 0,00005 #NUM!
3 48 93,75000 0,00673 0,00007 #NUM!
4 72 177,77778 0,01440 0,00008 -0,096
5 96 347,61905 0,01659 0,00005 #NUM!
6 120 204,13793 0,01306 0,00006 #NUM!

Keterangan:
Yp/x= g produk/g sel
Yp/s= g produk/ g substrat
Yx/s= g sel/ g subtrat

Vous aimerez peut-être aussi