Vous êtes sur la page 1sur 18

BAB I

PENDAHULUAN

Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang membungkusnya.
Tanpa perlindungan ini, otak yang lembut akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami
kerusakan. Selain itu, begitu rusak, neuron tidak dapat diperbaiki lagi. Tepat di atas tengkorak
terletak galea aponeurotika, yaitu jaringan fibrosa padat, dapat digerakkan dengan bebas,
yang membantu menyerap kekuatan trauma eksternal.Di antara kuliat dan galea terdapat
suatu lapisan lemak dan lapisan membrane dalam yang mengandung pembuluh-pembuluh
besar. Bila robek, pembuluh-pembuluh ini sukar mengadakan vasokontriksi dan dapat
menyebabkan kehilangan darah bermakna pada penderita laserasi kulit kepala.

Hemiparese adalah kelumpuhan pada sebagian salah satu sisi tubuh, Beberapa orang
yang selamat dari serangan stroke akan mengalami disabilitas neurologis yang permanen dan
tidak mampu lagi berpartisipasi aktif dalam peran sosial dan aktivitas fungsional.

Hemiparese sinistra (Kelumpuhan Sebelah kiri) merupakan Kerusakan pada sisi


sebelah kiri otak (Hemisfer kiri otak) yang menyebabkan kelumpuhan tubuh bagian kiri.
Pasien dengan kelumpuhan sebelah kanan sering memperlihatkan ketidakmampuan persepsi
visuomotor, kehilangan memori visual dan mengabaikan sisi kiri. Penderita memberikan
perhatian hanya kepada sesuatu yang berada dalam lapang pandang yang dapat dilihatnya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Otak


1. Sistem Piramidalis

Traktus piramidalis di sebut juga sebagai traktus kortikospinalis, serabut


traktus piramidalis muncul sebagai sel-sel bezt yang terletak di lapisan kelima korteks
serebri. Sekitar sepertiga serabut ini berasal dari dari korteks motorik primer (area 4),
sepertiga dari korteks motorik sekunder (area 6), dan sepertiga dari lobus parietalis
(area 3, 1, dan 2). Serabut traktus piramidalis akan meninggalkan korteks motorik
menuju korona radiata substantia alba serebrum ke arah ekstremitas posterior kapsular
interna masuk ke diensefalon di teruskan ke mesencephalon,pons varolli sampai
medulla obloganta. Pada ujung akhir medulla obloganta, 80-85% serabut-serabut ini
akan menyebran kesisi yang berlawanan menuju ke anterior horn cell (AHC) dari
medulla spinalis yang kemudian menjadi tarktus kortikospinalis lateralis, tempat
menyilang ini di namakan descusstion piramidalis (sistem pyramidal). Sedangkan
yang 20% bagian serabut yang tidak menyilangkan langsung menuju medulla spinalis
pada AHC yang kelintasan piramidalis ini akan memberikan pengaruh berupa eksitasi
terhadap serabut ekstrafusal yang berfungsi dalam gerakan volunter. Sehingga bila
terjadi gangguan pada lintasan piramida ini akan terjadi gangguan gerak volunter pada
otot rangka bagian kontralateral
a. Cortex cerebri
Cerebrum (Telecephalon) merupakan bagian terbesar otak dan menempati
fossa cranial tengah dan anterior. Cerebrum juga disebut dengan cerebral cortex,
forebrain atau otak depan. Cerebrum merupakan bagian otak yang membedakan
manusia dengan binatang. Cerebrum membuat manusia memiliki kemampuan
berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran, perencanaan, memori dan kemampuan
fisual. Kecerdasan intelektual atau IQ manusia juga ditentukan oleh kualitas
cerebrum. Cerebrum dibagi oleh suatu celah yang dalam, fisura serebri
longitudinal, menjadi hemisferkiri dan kanan, dimana setiap hemisfer ini berisi
satu ventrikel lateral. Di otak bagian dalam, hemisfer dihubungkan oleh massa
substansi albikan (serat saraf) yang disebut korpus kalosum (corpus callosum).
Bagian superfisial cerebrum terdiri atas badan sel syaraf atau substansi
grisea, yang membentuk korteks serebri,dan lapisan dalam yang terdiri atas serat
syaraf atau substansi albikan. Secara umum, belahan belahan otak kanan
mengontrol sisi kiri tubuh, dan belahan orak kiri mengontrol sisi kanan tubuh.
Otak kanan terlibat dalam kreativitas dan kemampuan artistik. Sedangkan otak
kiri untuk logika dan berpikir rasional.
Cerebrum merupakan bagian otak yang terbesa yang terdiri dari sepasang
hemisfer kanan dan kiri dan tersusun dari korteks. Korteks ditandai dengan sulkus
(celah) dan girus. Cerebrum dibagi menjadi beberapa lobus, yaitu:
1) Lobus frontalis
Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi intelektual yang lebih tinggi,
seperti kemampuan berpikir abstrak dan nalar, bicara (area broca di hemisfer
kiri), pusat penghidu, dan emosi. Bagian ini mengandung pusat pengontrolan
gerakan volunter di gyrus presentralis (area motorik primer) dan terdapat area
asosiasi motorik (area premotor). Pada lobus ini terdapat daerah broca yang
mengatur ekspresi bicara, lobus ini juga mengatur gerakan sadar, perilaku
sosial, berbicara, motivasi dan inisiatif.
2) Lobus temporalis
Lobus temporalis temporalis mencakup bagian korteks serebrum yang berjalan
ke bawah dari fisura laterali dan sebelah posterior dari fisura parieto –
oksipitalis. Lobus ini berfungsi untuk mengatur daya ingat verbal, visual,
pendengaran dan berperan dlm pembentukan dan perkembangan emosi.
3) Lobus parietalis
Lobus Parietalis merupakan daerah pusat kesadaran sensorik di gyrus
postsentralis (area sensorik primer) untuk rasa raba dan pendengaran.
4) Lobus oksipitalis
Lobus oksipitalis berfungsi untuk pusat penglihatan dan area asosiasi
penglihatan: menginterpretasi dan memproses rangsang penglihatan dari
nervus optikus dan mengasosiasikan rangsang ini dengan informasi saraf lain
& memori.
5) Lobus Limbik
Lobus limbik berfungsi untuk mengatur emosi manusia, memori emosi dan
bersama hipothalamus menimbulkan perubahan melalui pengendalian atas
susunan endokrin dan susunan otonom.

b. Spinal Cord
Medula spinalis (spinal cord) adalah jaringan saraf berbentuk seperti kabel
putih yang memanjang dari medula oblongata turun melalui tulang belakang dan
bercabang ke berbagai bagian tubuh. Medula spinalis merupakan bagian utama
dari sistem saraf pusat yang melakukan impuls saraf sensorik dan motorik dari dan
ke otak. Saraf yang tipis yang merupakan perpanjangan dari sistem saraf
pusat dari otak dan melengkungi serta dilindungi oleh tulang belakang. Fungsi
utama sumsum tulang belakang adalah transmisi pemasukan rangsangan
antara periferi dan otak.
Pada potongan melintang, bentuk sumsum tulang belakang tampak terbagi
dua bagian, yaitu bagian tepi atau luar yang berwarna putih dan bagian dalam
berwarna abu-abu. Bagian tepi berwarna putih karena mengandung dendrit dan
akson, dan bentuknya seperti tiang.sedangkan bagian dalam berwarna abu-abu dan
bentuknya seperti sayap atau seperti huruf H. Sayap (bentuk huruf H) yang
letaknya mengarah ke perut disebut sayap ventral. Sayap ventral banyak
mengandung badan neuron motorik dan akson yang menuju ke efektor. Selain itu
terdapat vsayap yang mengarah ke punggung disebutsayap dorsal. Sayap dorsal
mengandung badan neuron sensorik. Sumsum tulang belakang berfungsi sebagai
pusat gerak refleks, sebagai penghantar impuls dari kulit atau otot ke otak, dan
membawa impuls motorik dari otak ke otot tubuh.
Sumsum tulang belakang merupakan salah satu bagian dari
sistem saraf pusat manusia yang menghubungkan sistem saraf tepi dan sistem
saraf pusat di otak. Sumsum tulang belakang berfungsi menghantarkan impuls
menuju otak dan berperan dalam proses gerak refleks. Sumsum tulang belakang
pada laki-laki umumnya mempunyai panjang sekitar 45 cm, sedangkan pada
wanita adalah 43 cm. Sumsum tulang belakang dilindungi oleh bagian-bagian
tulang belakang, yaitu tulang serviks, toraks, lumbar, dan sakral. Setiap bagian
tulang tersebut mempunyai dua fungsi jenis saraf dalam tubuh yang berlainan.
Selain berfungsi menghubungkan impuls ke otak, sumsum tulang belakang
berperan juga dalam mekanisme pergerakan refleks.
Ada 31 pasang saraf di tulang belakang yang tersebar mulai dari tengkorak
hingga tulang ekor. Sel saraf tulang belakang terdiri atas bagian akar ventral dan
akar dorsal. Sementara itu, sel saraf lainnya di tulang belakang hanya berfungsi
sebagai sel saraf penghubung (interneuron).
1) Sistem Saraf Tepi
Berdasarkan fungsinya, sistem saraf tepi dibagi menjadi dua, yaitu
sistem saraf aferen (sistem saraf sensoris) dan sistem saraf eferen (sistem saraf
motoris). Sistem saraf aferen tersusun atas neuron yang membawa implus dari
reseptor menuju sistem saraf pusat. Adapun sistem saraf eferen tersusun atas
neuron yang membawa impuls dari sistem saraf pusat menuju efektor. Sistem
saraf tepi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari jalur rangsang dan
tanggapan pada sistem saraf pusat. Dari diagram sebelumnya, dapat diketahui
bahwa sistem saraf tepi dibangun oleh dua tipe sel saraf, yaitu sel saraf
somatik dan sel saraf otonom. Kedua jenis sel saraf ini, dibangun oleh sistem
saraf sensorik dan motorik sehingga menjadi perantara impuls antartubuh
dengan sistem saraf pusat. Sistem saraf somatik membawa pesan dari organ
reseptor tubuh menuju sistem saraf pusat. Sistem saraf somatik terdiri atas 12
pasang saraf kranial di otak dan 31 pasang saraf spinal. Saraf kranial keluar
dari otak. Umumnya saraf ini terhubung dengan organ atau jaringan di kepala
dan muka. Adapun saraf spinal keluar dari sumsum tulang belakang
2. Sistem Ektrapiramidalis

Traktus ektrapiramidalis adalah rangka neuron yang di putus secara sinapsi


pada basal ganglia subkorticolis dan retikularis, walaupun tingkat distribusinya
segmental dengan rangkain jalan syaraf yang berputar atau lingkaran, ( Chusid, 1993).
Sistem ektrspiramidalis berkaitan dengan pengaturan sikap tubuh dan integrasi
otonom, sehingga apabila terjadi lesi pada sistem ektrapiramidalis dapat
mengaburkan/menghilangkan gerakan di bawah sadar dan menggantikan gerakan
diluar sadar, (Chusid, 1993,).
Traktus ektrapiramidalis merupakan suatu system dari serebellum yang
mengontrol dan menyeimbangkan gerakan volunter, sehingga system ini menambah
system kortikal dari kerja volunter motoric dengan meningkatkan fungsinya ke tingkat
yang lebih tinggi sehingga setiap gerakan volunter penampilannya lembut dan halus,
(Duus, 1996,).
Traktus ektrapiramidalis terdiri dari korpus striatum, globus palidus, inti-inti
talamik, nukleus subtalamikus, substansia nigra, formasio retikularis, batang otak,
serebelum serta korteks motoric tambahan ( area 4, 6, 8). Komponen tadi
dihubungkan satu dengan yang lain oelng masing-masing akson, dengan demikian
terdapat lintasan yang melingkar dikenal sebagai sirkuit. Lintasan sirkuit ini
dibedakan dalam lintasan sirkuit utama dan tersusun oleh 3 mata rantai (1) hubungan
segenap neocorteks dengan corpus striatum serta globus palidus, (2) hubungan
corpus striatum atau globus palidus dengan thalamus, (3) hubungan thalamus
dengan korteks area 4 dan 6. Dan 3 sirkuit penungjang yaitu (1) asesorik ke-1
merupakan sirkuit yang menghubungan striatum-globuspalidus-thalamusstriatum, (2)
asesorik ke -2 merupakan lintasan yang melingkar globus paliduscorpus
subtalamukus-globus palidus, (3) asesorik ke-3 dibantu oleh hubungan yang
melingkar striatum-striatum nigra. (Sidharta, 1999).

3. Sistem Sirkulasi Darah Di Otak


Darah mengangkut zat asam, makanan dan substansi lainnya yang diperlukan
bagi fungsi jaringan hidup yang baik. Kebutuhan otak sangat mendesak dan vital,
sehingga aliran darah yang konstan harus terus dipertahankan (Chusid, 1979). Suplai
darah arteri ke otak merupakan suatu jalinan pembuluhpembuluh darah yang
bercabang-cabang, behubungan erat satu dengan yang lain sehingga dapat menjamin
suplai darah yang adekuat untuk sel (Wilson, 2002).
1) Peredaran Darah Arteri
Suplai darah ini dijamin oleh dua pasang arteri, yaitu arteri vertebralis dan
arteri karotis interna, yang bercabang dan beranastosmosis membentuk circulus
willisi (Wilson, 2002).
Arteri karotis interna dan eksterna bercabang dari arteri karotis komunis
yang berakhir pada arteri serebri anterior dan arteri serebri medial. Di dekat akhir
arteri karotis interna, dari pembuluh darah ini keluar arteri communicans
posterior yang bersatu kearah kaudal dengan arteri serebri posterior. Arteri serebri
anterior saling berhubungan melalui arteri communicans anterior (Chusid, 1979).
Arteri vertebralis kiri dan kanan bersal dari arteria subklavia sisi yang
sama. Arteri subklavia kanan merupakan cabang dari arteria inominata,
sedangkan arteri subklavia kiri merupakan cabang langsung dari aorta. Arteri
vertebralis memasuki tengkorak melalui foramen magnum, setinggi perbatasan
pons dan medula oblongata. Kedua arteri ini bersatu membentuk arteri basilaris
(Wilson, 2002).
2) Peredaran Darah Vena
Aliran darah vena dari otak terutama ke dalam sinus-sinus duramater,
suatu saluran pembuluh darah yang terdapat di dalam struktur duramater yang liat.
Sinus-sinus dura mater tidak mempunyai katub dan sebagian besar berbentuk
triangular.
Sebagian besar vena cortex superfisial mengallir ke dalam sinus
longitudinalis superior yang berada di medial. Dua buah vena cortex yang utama
adalah vena anastomotica magna yang mengalir ke dalam sinus longitudinalis
superior dan vena anastomotica parva yang mengalir ke dalam sinus transversus.
Vena-vena serebri profunda memperoleh aliran darah dari basal ganglia (Wilson,
2002).

B. Patologi
1. Definisi

Subdural Hematoma adalah perdarahan yang terjadi antara duramater dan


araknoid, biasanya sering di daerah frontal, pariental dan temporal.Pada subdural
hematoma yang seringkali mengalami pendarahan ialah “bridging vein” , karena
tarikan ketika terjadi pergeseran rotatorik pada otak. Perdarahan subdural paling
sering terjadi pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah
temporal, sesuai dengan distribusi “bridging vein
Hemiparese adalah kelumpuhan pada sebagian salah satu sisi tubuh (Sue
Hinchliff).Hemiparese dextra adalah kelemahan badan sebelah kiri ditandai
dengan adanya tonus yang abnormal.
.

Gambar 1.1 sumbatan pembuluh dara otak

2. Etiologi
Subdural hematom. keadaan ini timbul setelah trauma kepala hebat, seperti
perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan
subdural . Pergeseran otak pada akselerasi dan de akselerasi bisa menarik dan
memutuskan vena-vena.Pada waktu akselerasi berlangsung, terjadi 2 kejadian, yaitu
akselerasi tengkorak ke arah dampak dan pergeseran otak ke arah yang berlawanan
dengan arah dampak primer.Akselerasi kepala dan pergeseran otak yang bersangkutan
bersifat linear.Maka dari itu lesi-lesi yang bisaterjadi dinamakan lesi kontusio. Lesi
kontusio di bawah dampak disebut lesi kontusio “coup” di seberang dampak tidak
terdapat gaya kompresi, sehingga di situ tidak terdapat lesi. Jika di situ terdapat lesi,
maka lesi itu di namakan lesi kontusio “contercoup”.

Hematoma subdural biasanya terjadi penumpukan cairan extraaxial dalam


ruang subdural potensial, antara membran arakhnoid dan duramater. Selain
disebabkan oleh trauma berat dengan kortikal robek bridging vein, mereka juga dapat
terjadi dengan trauma tembus, memar parenkim, dan pada pasien yang memiliki
diatesis hemoragik. Mereka mewakili sekitar 5% dari semua cedera kepala dan 65%
dari cedera kepala dengan kehilangan berkepanjangan kesadaran.

Adapun tanda-tanda dan gejala yang terdapat pada hemiparese dextra


disesuaikan dengan stadiumnya, yaitu:
a. Stadium akut
Pada stadium ini terjadi penurunan kesadaran yang dinamakan
opopletik fit. Serangan ini dapat didahului dengan sakit kepala, pusing tapi
kadang-kadang tanpa keluhan, maka penderita menjadi pucat, nafas bersuara berat
karena saluran nafas terhalang oleh lidah yang paralisis, pupil mata melebar.
Kadang satu pupil lebih lebar dari yang lain disebabkan oleh paralysis dari
iris/otot mata, denyut jantung dan nadi tidak teratur biasanya lambat. Anggota
gerak yang terkena menjadi fleksid paralysis, semua reflek hilang.
b. Stadium recovery
Stadium ini dimulai dengan tanda pulsa/denyut nadi menjadi lebih
cepat, temperatur/suhu tubuh naik, penderita gelisah, mudah terkejut dan kadang
sulit tidur. Sistem reflek kembali seperti semula pada system sehat, otot yang
mengalami fleksid paralisis menjadi spastik. Kebanyakan otot yang terserang
berada dalam keadaan fleksid untuk beberapa hari sampai 2 atau 3 minggu,
terutama pada daerah lengan dan jari tangan.
c. Stadiumspastisitas
Keadaan otot dan reflek sudah mulai kembali, tetapi berlebihan, timbul
ankle klonus dan reflek patologi (babinski sign). Lengan masih dalam keadaan
serangan yang lebih berat dibanding dengan tungkai dan wajah. Biasanya lengan
terfiksir melekat pada badan dengan posisi adduksi shoulder, semi fleksi elbow,
lengan bawah pronasi, wrist dan finger fleksi ini merupakan posisi karakteristik.
Tungkai terfiksir pada ibu jari oposisi, posisi lutut ekstensi, plantar fleksi,
eksternal rotasi dan mengalami drop foot. Bila wajah yang terkena serangan,
dampaknya lebih ringan dan yang terkena adalah wajah bagian bawah. Lidah akan
membelok ke samping bagian paralysis.

3. Patofisiologi

Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas
hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging veins” .
Karena perdarahan subdural sering disebabkan olleh perdarahan vena, maka darah yang
terkumpul hanya 100-200 cc saja. Perdarahan vena biasanya berhenti karena tamponade
hematom sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan
terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya
pembuluh darah. Disitu timbul lagi perdarahan kecil, yang menimbulkan hiperosmolalitas
hematom subdural dan dengan demikian bisa terulang lagi timbulnya perdarahan kecil dan
pembentukan kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah (higroma).
Kondisi- kondisi abnormal biasanya berkembang dengan satu dari tiga mekanisme.
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari
Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan
meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma
dan akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma.
Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari
perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata
dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata
hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua
mengatakan bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya perdarahan
subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya
perdarahan subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan
peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level
dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari
fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik.

BAB III

PROSES FISIOTERAPI

A. Identitas umum pasien

Nama : Tn. JK
No . Rm : 40 44 79
Tempat/Tanggal Lahir : 3-5-1949
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pensiunan
Alamat : jl.pattioro sompe no.11
Agama : kristen
Diagnosa medis : Subdural hematom + hemiparese dextra

B. Anamnesis khusus
a. Keluhan utama : kelemahan separuh badan
b. Lokasi keluhan : Sisi dextra (lengan dan tungkai)
c. Penyebab : Subdural hematom
d. Rpp : Dialami sejak 8 hari sebelum masuk rumah sakit,
riwayat dirawat di RS. Faisal dan dioperasi
craniotomy dengan diagnosis subdural hematom
sinistra + hemiparese dextra
e. Riwayat penyakit penyerta :

 Vital sign
- Tekanan darah :
- Denyut nadi :
- Pernapasan :
- Temperatur :

C. Inspeksi

a. Statis
1) Posisi lengan : Depresi shoulder dan pronasi
2) Posisi tungkai : fleksi dan abduksi hip disertai fleksi knee
b. Dinamis
Pasien merasakan kelemahan dan berat pada tangan dan tungkai bagian dextra

D. Pemeriksaan spesifik dan pengukuran fisioterapi


 Tes Motorik

 MMT
Gerakan Nilai Gerakan Nilai
Fleksor Shoulder 0 Radial Deviation 0
Ekstensor 0 Ulnar Deviation 0
Shoulder
Abduktor Shoulder 0 Fleksor Hip 2
Adduktor Shoulder 0 Ekstensor Hip 2
Fleksor Elbow 0 Abduktor Hip 2
Ekstensor Elbow 0 Adduktor Hip 0
Pronasi 0 Fleksor knee 2
Supinasi 0 Ekstensor knee 2
Fleksor Wrist 0 Dorso fleksi 0
Ekstensor Wrist 0 Plantar fleksi 0

 Pemeriksaan kogntif :

Pasien diajak berkomunikasi dengan cara diberikan beberapa pertanyaan dan pasien
merespon dengan kurang baik.

 Tes Tonus Otot menggunakan skala ASWORTH


Prosedur : Fisioterapi menggerakan persendian pada lengan dan tungkai pasien
disertai melakukan palpasi pada otot
Grade Keterangan
0 Tidak ada peningkatan tonus otot

1 Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan terusnya


tahanan minimal pada akhir ROM pada waktu sendi digerakkan
fleksi atau ekstensi

2 (1+) Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan danya


pemberhentian gerakan pada pertengan ROM dan adanya
tahanan minimal sepanjang sisa ROM

3 (2) Peningkatan tonus otot lebih nyata sepanjang sebagian besar


ROM tapi sendi masih mudah digerakkan

4 (3) Peningkatan tonus otot sangat nyata sepanjang ROM, gerak


pasif sulit dilakukan

5(4) Sendi atau ekstremitas kaku/rigid pada gerakan fleksi atau


ekstensi

Hasil: Nilai 2 (+1) Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan adanya
pemberhentian gerakan pada pertengan ROM dan adanya tahanan minimal
sepanjang sisa ROM

 Tes Koordinasi
1) Finger to finger
Kedua shoulder abduksi 90°, elbow ekstensi, minta pasien membawa kedua
lengannya ke horizontal abduksi & menyentuhkan kedua ujung jari telunjuk satu
terhadap yang lain
Hasil :
a) Ketepatan gerakan : Tidak dapat dilakukan
b) Kecepatan : Tidak dapat dilakukan

2) Pronasi Supinasi
Abduksi shoulder 90° dengan elbow ekstensi. Minta pasien untuk menyentuhkan
ujung jari telunjuknya ke ujung hidungnya. Tes dilakukan dalam gerakan cepat &
lambat, ulangi beberapa kali hitungan dengan mata terbuka lalu dengan mata
tertutup . Normal gerakan tetap tidak berubah dengan mata tertutup. Ulangi dan
bandingkan dengan tangan satunya
Hasil :
a) Ketepatan gerakan : Tidak dapat di lakukan
b) Kecepatan : Tidak dapat di lakukan

3) Heel to knee
Pasien & terapis saling berhadapan. Jari telunjuk terapis diluruskan menunjuk ke
atas dihadapan pasien. Minta pasien menyentuhkan ujung jari telunjuknya ke jari
telunjuk terapis. Selama pemeriksaan berlangsung posisi jari terapis diubah-ubah
dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan merubah jarak, arah dan kekuatan
gerakan
Hasil :
a) Ketepatan gerakan : Tidak dapat di lakukan
b) Kecepatan : Tidak dapat di lakukan

 Tes Keseimbangan
1) Keseimbangan statis
Berdiri statis
Pasien dan terapis saling berhadapan. Minta pasien untuk berdiri diatas lantai
selama 5 menit.
Hasil : Tidak dapat dilakukan

2) Keseimbangan dinamis
Duduk ke berdiri
Pasien dan fisioterapis saling berhadapan. Fisioterapis menjelaskan pada pasien
gerakan yanga akan dilakukan yaitu dari posisi duduk ke berdiri selama 5x repetisi
selama 10 detik.
Hasil : Tidak dapat dilakukan
E. Diagnosa dan problematik fisioterapi
“kelemahan otot ekstremitas dextra et causa subdural hematom”

Diagnosa ICF :
kelemahan otot ekstremitas dextra et causa subdural hematom

Impairment Acivity Limitation Participation Restriction


(Body structure and function)  Kesulitan melakukan  Kesulitan berjalan jauh diluar
 Keterbatasan gerak kesegala aktivitas fungsional rumah
arah berjalan
 Gangguan koordinasi dan
keseimbangan
 Gangguan tonus otot

E. Rencana Intervensi Fisioterapi


 IR
 TENS
 Aktif Exercise
 Pasif Exercise
 Resisted Exercise

F. Program intervensi fisioterapi


1. IR
Tujuan : Melancarkan sirkulasi darah
Persipan alat : Pastikan alat tersambung dengan listrik dan kabel
dalam keadaan baik. Kemudian nyalakan alat dan arahkan
pada daerah yang ingin obati.
Posisi pasien :Posisi pasien supine lying
Posisi fisioterapis : berdiri di samping bed
Teknik : Bebaskan area yang akan diterapi dari pakaian yang
menghalangi. Atur jarak IR 30-45 cm dari area permukaan kulit.
Arahkan IR pada leher, tangan, tungkai. Rapikan alat.
Time : 10 - 15 menit

2. TENS
Tujuan : Memeilhara fisiologis otot dan mencegah atrofi otot, re-edukasi fungsi
otot, modulasi nyeri tingkat sensorik, spinal dan supraspinal, menambah Range Of
Motion (ROM)/mengulur tendon, memperlancar peredaran darah dan
memperlancar resorbsi oedema
Posisi pasien: pasien tidur terlentang, pasien dalam posisi nyaman.
Posisi fisioterapist: terapis berada di sebelah pasien.
Teknik : Pasang elektroda pada sisi lateral dan medial tungkai pasien atau pada
daerah yang nyeri.

3. Aktif Exercise
Tujuan : Untuk melatih kekuatan otot pasien yang mengalami kelemahan
Posisi pasien : tidur terlentang di atas bed
Posisi fisioterapi : berdiri di samping pasein
Teknik : minta pasien untuk menggerakkan lengan dan tungkai secara aktif dan
masih memerlukan bantuan dari fisioterapis.

4. Pasif Exercise
Tujuan : Untuk melatih dan menghindari terjadinya kekakuan otot pasien yang
mengalami kelemahan
Posisi pasien : tidur terlentang di atas bed
Posisi fisioterapi : berdiri di samping pasein
Teknik : fisioterapis menggerakkan lengan dan tungkai pasien.

5. Resisted Exercise
Tujuan : Untuk melatih kekuatan otot pasien yang mengalami kelemahan
Posisi pasien : tidur terlentang di atas bed
Posisi fisioterapi : berdiri di samping pasein
Teknik : minta pasien untuk menggerakkan lengan dan tungkai secara aktif dan
masih fisioterapis memberikan tahanan minimal (sesuai dengan kemampuan
pasien)

G. Evaluasi Fisioterapi
Setelah melakukan terapi diperoleh hasil pengurangan rasa nyeri baik nyeri
tekan, nyeri diam, dan nyeri gerak berkurang, adanya peningkatan LGS trunk baik
fleksi, ekstensi, lateral fleksi kiri dan adanya peningkatan nilai kemampuan aktivitas
fungsional.
BAB IV
PENUTUP

Hemiparesis adalah istilah medis untuk menggambarkan suatu kondisi adanya


kelemahan pada salah satu sisi tubuh atau ketidakmampuan untuk menggerakkan anggota
tubuh pada satu sisi. Istilah ini berasal dari kata hemi yang berarti separuh, setengah, atau
satu sisi dan paresis yang berarti kelemahan.
Penyebab utama terjadinya hemiparesis adalah adanya kerusakan otak pada salah satu
sisi. Kerusakan otak pada sisi tertentu akan menyebabkan terjadinya kerusakan anggota tubuh
pada sisi yang berlawanan.

Dengan melakukan terapi dengan baik, maka pasien yang mengalami hemiparesis
dapat sembuh dengan baik. Ada yang mengalami perbaikan, ada juga yang sampai benar-
benar sembuh total. Hal tersebut tergantung dari derajat keparahan sebelumnya dan intensitas
terapi yang dilakukan.

Saran bagi pasien, agar melakukan home programe yang diberikan oleh fisioterapis
untuk dilakukan di rumah seperti dianjurkan untuk melakukan berjemur pada pagi hari, agar
AGA dan AGB bagian sinistra terasa lemas. Pasien dianjurkan selama beberapa menit untuk
menggunakan AGA dan AGB bagian sinistra untuk beraktivitas. Dengan begitu dapat
menjaga serta memelihara fungsi lingkup gerak sendi pasien tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Hernawati, Ika Yussi. 2009. Penatalaksanaan Terapi Latihan Pada Pasien Pasca Stroke
Hemorage Dextra Stadium Recovery. Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta. http://eprints.ums.ac.id/6637/2/J100060059.pdf

Justin Q, Maj. 2006. Subdural Hematoma. Military Medicine, Vol. 171, Hal 1-5.
Kurniasari, Yuniarsa. 2014. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Hemiparese Sinistra
Dengan Modalitas Infrared dan Terapi Latihan di RSUD Salatiga. Surakarta:
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
http://eprints.ums.ac.id/26899/13/02/02._NASKAH_PUBLIKASI.pdf

https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2016/09/epidural-dan-subdural-
hematom.pdf

https://sulfandyphysio.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html?
m=1

Vous aimerez peut-être aussi