Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang membungkusnya.
Tanpa perlindungan ini, otak yang lembut akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami
kerusakan. Selain itu, begitu rusak, neuron tidak dapat diperbaiki lagi. Tepat di atas tengkorak
terletak galea aponeurotika, yaitu jaringan fibrosa padat, dapat digerakkan dengan bebas,
yang membantu menyerap kekuatan trauma eksternal.Di antara kuliat dan galea terdapat
suatu lapisan lemak dan lapisan membrane dalam yang mengandung pembuluh-pembuluh
besar. Bila robek, pembuluh-pembuluh ini sukar mengadakan vasokontriksi dan dapat
menyebabkan kehilangan darah bermakna pada penderita laserasi kulit kepala.
Hemiparese adalah kelumpuhan pada sebagian salah satu sisi tubuh, Beberapa orang
yang selamat dari serangan stroke akan mengalami disabilitas neurologis yang permanen dan
tidak mampu lagi berpartisipasi aktif dalam peran sosial dan aktivitas fungsional.
TINJAUAN PUSTAKA
b. Spinal Cord
Medula spinalis (spinal cord) adalah jaringan saraf berbentuk seperti kabel
putih yang memanjang dari medula oblongata turun melalui tulang belakang dan
bercabang ke berbagai bagian tubuh. Medula spinalis merupakan bagian utama
dari sistem saraf pusat yang melakukan impuls saraf sensorik dan motorik dari dan
ke otak. Saraf yang tipis yang merupakan perpanjangan dari sistem saraf
pusat dari otak dan melengkungi serta dilindungi oleh tulang belakang. Fungsi
utama sumsum tulang belakang adalah transmisi pemasukan rangsangan
antara periferi dan otak.
Pada potongan melintang, bentuk sumsum tulang belakang tampak terbagi
dua bagian, yaitu bagian tepi atau luar yang berwarna putih dan bagian dalam
berwarna abu-abu. Bagian tepi berwarna putih karena mengandung dendrit dan
akson, dan bentuknya seperti tiang.sedangkan bagian dalam berwarna abu-abu dan
bentuknya seperti sayap atau seperti huruf H. Sayap (bentuk huruf H) yang
letaknya mengarah ke perut disebut sayap ventral. Sayap ventral banyak
mengandung badan neuron motorik dan akson yang menuju ke efektor. Selain itu
terdapat vsayap yang mengarah ke punggung disebutsayap dorsal. Sayap dorsal
mengandung badan neuron sensorik. Sumsum tulang belakang berfungsi sebagai
pusat gerak refleks, sebagai penghantar impuls dari kulit atau otot ke otak, dan
membawa impuls motorik dari otak ke otot tubuh.
Sumsum tulang belakang merupakan salah satu bagian dari
sistem saraf pusat manusia yang menghubungkan sistem saraf tepi dan sistem
saraf pusat di otak. Sumsum tulang belakang berfungsi menghantarkan impuls
menuju otak dan berperan dalam proses gerak refleks. Sumsum tulang belakang
pada laki-laki umumnya mempunyai panjang sekitar 45 cm, sedangkan pada
wanita adalah 43 cm. Sumsum tulang belakang dilindungi oleh bagian-bagian
tulang belakang, yaitu tulang serviks, toraks, lumbar, dan sakral. Setiap bagian
tulang tersebut mempunyai dua fungsi jenis saraf dalam tubuh yang berlainan.
Selain berfungsi menghubungkan impuls ke otak, sumsum tulang belakang
berperan juga dalam mekanisme pergerakan refleks.
Ada 31 pasang saraf di tulang belakang yang tersebar mulai dari tengkorak
hingga tulang ekor. Sel saraf tulang belakang terdiri atas bagian akar ventral dan
akar dorsal. Sementara itu, sel saraf lainnya di tulang belakang hanya berfungsi
sebagai sel saraf penghubung (interneuron).
1) Sistem Saraf Tepi
Berdasarkan fungsinya, sistem saraf tepi dibagi menjadi dua, yaitu
sistem saraf aferen (sistem saraf sensoris) dan sistem saraf eferen (sistem saraf
motoris). Sistem saraf aferen tersusun atas neuron yang membawa implus dari
reseptor menuju sistem saraf pusat. Adapun sistem saraf eferen tersusun atas
neuron yang membawa impuls dari sistem saraf pusat menuju efektor. Sistem
saraf tepi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari jalur rangsang dan
tanggapan pada sistem saraf pusat. Dari diagram sebelumnya, dapat diketahui
bahwa sistem saraf tepi dibangun oleh dua tipe sel saraf, yaitu sel saraf
somatik dan sel saraf otonom. Kedua jenis sel saraf ini, dibangun oleh sistem
saraf sensorik dan motorik sehingga menjadi perantara impuls antartubuh
dengan sistem saraf pusat. Sistem saraf somatik membawa pesan dari organ
reseptor tubuh menuju sistem saraf pusat. Sistem saraf somatik terdiri atas 12
pasang saraf kranial di otak dan 31 pasang saraf spinal. Saraf kranial keluar
dari otak. Umumnya saraf ini terhubung dengan organ atau jaringan di kepala
dan muka. Adapun saraf spinal keluar dari sumsum tulang belakang
2. Sistem Ektrapiramidalis
B. Patologi
1. Definisi
2. Etiologi
Subdural hematom. keadaan ini timbul setelah trauma kepala hebat, seperti
perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan
subdural . Pergeseran otak pada akselerasi dan de akselerasi bisa menarik dan
memutuskan vena-vena.Pada waktu akselerasi berlangsung, terjadi 2 kejadian, yaitu
akselerasi tengkorak ke arah dampak dan pergeseran otak ke arah yang berlawanan
dengan arah dampak primer.Akselerasi kepala dan pergeseran otak yang bersangkutan
bersifat linear.Maka dari itu lesi-lesi yang bisaterjadi dinamakan lesi kontusio. Lesi
kontusio di bawah dampak disebut lesi kontusio “coup” di seberang dampak tidak
terdapat gaya kompresi, sehingga di situ tidak terdapat lesi. Jika di situ terdapat lesi,
maka lesi itu di namakan lesi kontusio “contercoup”.
3. Patofisiologi
Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas
hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging veins” .
Karena perdarahan subdural sering disebabkan olleh perdarahan vena, maka darah yang
terkumpul hanya 100-200 cc saja. Perdarahan vena biasanya berhenti karena tamponade
hematom sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan
terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya
pembuluh darah. Disitu timbul lagi perdarahan kecil, yang menimbulkan hiperosmolalitas
hematom subdural dan dengan demikian bisa terulang lagi timbulnya perdarahan kecil dan
pembentukan kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah (higroma).
Kondisi- kondisi abnormal biasanya berkembang dengan satu dari tiga mekanisme.
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari
Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan
meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma
dan akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma.
Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari
perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata
dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata
hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua
mengatakan bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya perdarahan
subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya
perdarahan subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan
peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level
dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari
fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik.
BAB III
PROSES FISIOTERAPI
Nama : Tn. JK
No . Rm : 40 44 79
Tempat/Tanggal Lahir : 3-5-1949
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pensiunan
Alamat : jl.pattioro sompe no.11
Agama : kristen
Diagnosa medis : Subdural hematom + hemiparese dextra
B. Anamnesis khusus
a. Keluhan utama : kelemahan separuh badan
b. Lokasi keluhan : Sisi dextra (lengan dan tungkai)
c. Penyebab : Subdural hematom
d. Rpp : Dialami sejak 8 hari sebelum masuk rumah sakit,
riwayat dirawat di RS. Faisal dan dioperasi
craniotomy dengan diagnosis subdural hematom
sinistra + hemiparese dextra
e. Riwayat penyakit penyerta :
Vital sign
- Tekanan darah :
- Denyut nadi :
- Pernapasan :
- Temperatur :
C. Inspeksi
a. Statis
1) Posisi lengan : Depresi shoulder dan pronasi
2) Posisi tungkai : fleksi dan abduksi hip disertai fleksi knee
b. Dinamis
Pasien merasakan kelemahan dan berat pada tangan dan tungkai bagian dextra
MMT
Gerakan Nilai Gerakan Nilai
Fleksor Shoulder 0 Radial Deviation 0
Ekstensor 0 Ulnar Deviation 0
Shoulder
Abduktor Shoulder 0 Fleksor Hip 2
Adduktor Shoulder 0 Ekstensor Hip 2
Fleksor Elbow 0 Abduktor Hip 2
Ekstensor Elbow 0 Adduktor Hip 0
Pronasi 0 Fleksor knee 2
Supinasi 0 Ekstensor knee 2
Fleksor Wrist 0 Dorso fleksi 0
Ekstensor Wrist 0 Plantar fleksi 0
Pemeriksaan kogntif :
Pasien diajak berkomunikasi dengan cara diberikan beberapa pertanyaan dan pasien
merespon dengan kurang baik.
Hasil: Nilai 2 (+1) Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan adanya
pemberhentian gerakan pada pertengan ROM dan adanya tahanan minimal
sepanjang sisa ROM
Tes Koordinasi
1) Finger to finger
Kedua shoulder abduksi 90°, elbow ekstensi, minta pasien membawa kedua
lengannya ke horizontal abduksi & menyentuhkan kedua ujung jari telunjuk satu
terhadap yang lain
Hasil :
a) Ketepatan gerakan : Tidak dapat dilakukan
b) Kecepatan : Tidak dapat dilakukan
2) Pronasi Supinasi
Abduksi shoulder 90° dengan elbow ekstensi. Minta pasien untuk menyentuhkan
ujung jari telunjuknya ke ujung hidungnya. Tes dilakukan dalam gerakan cepat &
lambat, ulangi beberapa kali hitungan dengan mata terbuka lalu dengan mata
tertutup . Normal gerakan tetap tidak berubah dengan mata tertutup. Ulangi dan
bandingkan dengan tangan satunya
Hasil :
a) Ketepatan gerakan : Tidak dapat di lakukan
b) Kecepatan : Tidak dapat di lakukan
3) Heel to knee
Pasien & terapis saling berhadapan. Jari telunjuk terapis diluruskan menunjuk ke
atas dihadapan pasien. Minta pasien menyentuhkan ujung jari telunjuknya ke jari
telunjuk terapis. Selama pemeriksaan berlangsung posisi jari terapis diubah-ubah
dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan merubah jarak, arah dan kekuatan
gerakan
Hasil :
a) Ketepatan gerakan : Tidak dapat di lakukan
b) Kecepatan : Tidak dapat di lakukan
Tes Keseimbangan
1) Keseimbangan statis
Berdiri statis
Pasien dan terapis saling berhadapan. Minta pasien untuk berdiri diatas lantai
selama 5 menit.
Hasil : Tidak dapat dilakukan
2) Keseimbangan dinamis
Duduk ke berdiri
Pasien dan fisioterapis saling berhadapan. Fisioterapis menjelaskan pada pasien
gerakan yanga akan dilakukan yaitu dari posisi duduk ke berdiri selama 5x repetisi
selama 10 detik.
Hasil : Tidak dapat dilakukan
E. Diagnosa dan problematik fisioterapi
“kelemahan otot ekstremitas dextra et causa subdural hematom”
Diagnosa ICF :
kelemahan otot ekstremitas dextra et causa subdural hematom
2. TENS
Tujuan : Memeilhara fisiologis otot dan mencegah atrofi otot, re-edukasi fungsi
otot, modulasi nyeri tingkat sensorik, spinal dan supraspinal, menambah Range Of
Motion (ROM)/mengulur tendon, memperlancar peredaran darah dan
memperlancar resorbsi oedema
Posisi pasien: pasien tidur terlentang, pasien dalam posisi nyaman.
Posisi fisioterapist: terapis berada di sebelah pasien.
Teknik : Pasang elektroda pada sisi lateral dan medial tungkai pasien atau pada
daerah yang nyeri.
3. Aktif Exercise
Tujuan : Untuk melatih kekuatan otot pasien yang mengalami kelemahan
Posisi pasien : tidur terlentang di atas bed
Posisi fisioterapi : berdiri di samping pasein
Teknik : minta pasien untuk menggerakkan lengan dan tungkai secara aktif dan
masih memerlukan bantuan dari fisioterapis.
4. Pasif Exercise
Tujuan : Untuk melatih dan menghindari terjadinya kekakuan otot pasien yang
mengalami kelemahan
Posisi pasien : tidur terlentang di atas bed
Posisi fisioterapi : berdiri di samping pasein
Teknik : fisioterapis menggerakkan lengan dan tungkai pasien.
5. Resisted Exercise
Tujuan : Untuk melatih kekuatan otot pasien yang mengalami kelemahan
Posisi pasien : tidur terlentang di atas bed
Posisi fisioterapi : berdiri di samping pasein
Teknik : minta pasien untuk menggerakkan lengan dan tungkai secara aktif dan
masih fisioterapis memberikan tahanan minimal (sesuai dengan kemampuan
pasien)
G. Evaluasi Fisioterapi
Setelah melakukan terapi diperoleh hasil pengurangan rasa nyeri baik nyeri
tekan, nyeri diam, dan nyeri gerak berkurang, adanya peningkatan LGS trunk baik
fleksi, ekstensi, lateral fleksi kiri dan adanya peningkatan nilai kemampuan aktivitas
fungsional.
BAB IV
PENUTUP
Dengan melakukan terapi dengan baik, maka pasien yang mengalami hemiparesis
dapat sembuh dengan baik. Ada yang mengalami perbaikan, ada juga yang sampai benar-
benar sembuh total. Hal tersebut tergantung dari derajat keparahan sebelumnya dan intensitas
terapi yang dilakukan.
Saran bagi pasien, agar melakukan home programe yang diberikan oleh fisioterapis
untuk dilakukan di rumah seperti dianjurkan untuk melakukan berjemur pada pagi hari, agar
AGA dan AGB bagian sinistra terasa lemas. Pasien dianjurkan selama beberapa menit untuk
menggunakan AGA dan AGB bagian sinistra untuk beraktivitas. Dengan begitu dapat
menjaga serta memelihara fungsi lingkup gerak sendi pasien tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Hernawati, Ika Yussi. 2009. Penatalaksanaan Terapi Latihan Pada Pasien Pasca Stroke
Hemorage Dextra Stadium Recovery. Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta. http://eprints.ums.ac.id/6637/2/J100060059.pdf
Justin Q, Maj. 2006. Subdural Hematoma. Military Medicine, Vol. 171, Hal 1-5.
Kurniasari, Yuniarsa. 2014. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Hemiparese Sinistra
Dengan Modalitas Infrared dan Terapi Latihan di RSUD Salatiga. Surakarta:
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
http://eprints.ums.ac.id/26899/13/02/02._NASKAH_PUBLIKASI.pdf
https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2016/09/epidural-dan-subdural-
hematom.pdf
https://sulfandyphysio.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html?
m=1